Jilid 05

Jalan antara Hang-ciu dan Ho-pak, entah sudah berapa kali pernah dilalui Mao Bun-ki seorang diri, boleh dikatakan sudah hapal di luar kepala.

Ko Bun berduduk tenang di atas kudanya dan mengikuti jejak si nona, namun kedua matanya tidak terlalu tenang. Tiada hentinya ia memandang si nona dari atas ke bawah dan dari bawah ke atas. Tentu saja kelakuan Ko Bun ini membikin jantung Bun-ki berdebar-debar.

Baru pertama kali ini selama hidup Bun-ki mempunyai perasaan semacam ini. Rasanya enak, semacam perasaan nikmat yang sukar diuraikan.

Belum jauh mereka meninggalkan kota Hang-ciu, dari belakang lantas menyusul tiba beberapa penunggang kuda.

Ko Bun berkerut kening, katanya kepada Bun-ki, "Mungkin para suhengmu lagi yang menyusul kemari."

"Dari mana kautahu?" ujar Bun-ki dengan tertawa.

Belum lenyap suaranya, benarlah terdengar penunggang kuda dari belakang sedang berteriak, "Adik Ki! Adik Ki!"

Ko Bun angkat pundak terhadap Bun-ki, nona itupun tertawa geli.

Empat penunggang kuda yang menyusul tiba itu memang semuanya anggota Giok-kut-sucia. "Leng-hong-sucia" Kiong Liang-cang yang culas dan licik itupun termasuk diantaranya. Dia cukup sungkan terhadap Ko Bun, sebaliknya ketiga pemuda berbaju emas yang lain segera mengerumuni Bun-ki tanpa memandang Ko Bun barang sekejappun.

Salah seorang pemuda yang berkulit badan putih dan bersikap bangor lantas berkata, "Atas perintah suhu, kami diberi tugas ke empat propinsi di utara, yaitu Ho-pak, Ho-lam, Oh-lam dan Oh-pak. Menurut pendapat sumoay, siapa diantara kami yang paling cocok pergi ke Ho-pak?"

Cara bicaranya membawa sikap dan senyuman menyanjung si nona.

Tapi Bun-ki menjawab dengan tidak senang, "Peduli siapa diantara kalian yang mau pergi kesana?" Perlahan Kiong Liang-cang memindahkan tali kendalinya ke tangan kiri, tangan kanan lantas mengeluarkan beberapa biji mata uang, katanya, "Nah, barang siapa dapat menebak berapa biji yang kugenggam ini, dia yang akan mengiringi adik Ki ke Ho-pak. Sebaliknya jika kalian tidak dapat menebak, maka . . maka akulah "

Diam-diam Ko Bun merasa geli, pikirnya, "Tampaknya diantara sesama saudara seperguruan mereka ini sama menaksir kepada nona Ki."

Dengan tersenyum Ko Bun mengikuti permainan menebak mata uang diantara keempat saudara seperguruan itu. Apabila keempat orang itu mengetahui apa arti yang terkandung di balik senyuman Ko Bun ini, tentu tiada seorangpun diantara mereka mengharapkan tugas senang mengiringi si cantik ini.

Alhasil, si pemuda berwajah putih itulah yang 'beruntung', ketiga pemuda lain tampak kecewa dan tinggal pergi dengan kesal.

Dengan tersenyum Ko Bun lantas mendekati pemuda muka putih itu dan menyapa, "Bolehkah kutahu siapa nama anda yang terhormat?"

Pemuda muka putih itu meliriknya sekejap dan menjawabnya dengan angkuh, "Namaku Khong Hi, orang kangouw menyebutku "Giok-bin-sucia" (si duta batu kemala) "

Belum habis ucapannya ia lantas berpaling kearah Bun-ki dan mengajaknya bicara dengan sikap lain.

Sedikitpun Ko Bun tidak sirik, ia tetap tersenyum simpul. Sebaliknya Bun-ki merasa dongkol, sungguh ingin ia mengenyahkan "Giok-bin-sucia" sejauhnya, maka sikapnya sangat dingin terhadap sang suheng, sebaliknya melirik mesra ke arah Ko Bun.

Khong Hi bukan orang tolol, rasa dongkolnya sepanjang jalan lantas dilampiaskan terhadap diri Ko Bun, ya mengejek, ya menjengek.

Namun Ko Bun tetap tidak menghiraukannya.

Sikap garang dan angkuh Mao Bun-ki sebelum ini sekarang juga berubah sama sekali. Dia sekarang lebih sering bersikap malu-malu kucing serupa gadis pingitan. Entah apa yang menyebabkan gadis yang tidak kenal apa artinya malu ini mengalami perubahan sebesar ini?

Setiba di Go-hin, karena kamar hotel tak tersisa lagi, terpaksa Ko Bun bersatu kamar dengan Giok-bin-sucia Khong Hi.

Tengah malam, tiba-tiba Khong Hi mendengar di luar jendela ada suara jentikan jari yang biasa dilakukan Ya-heng-jin atau pejalan malam di dunia Kangouw.

Dia sudah berpengalaman, reaksinya sangat cepat. Segera ia meloncat turun dari tempat tidurnya dan mengenakan sepatu. Dilihatnya Ko Bun sedang mendengkur dengan nyenyaknya.

Ia menjengek dan menggerutu di dalam hati, "Huh, seperti babi mampus!" Dengan gesit ia terus melompat keluar jendela, ingin dilihatnya adakah terjadi sesuatu di luar.

Betul juga, dilihatnya ada bayangan orang berkelebat di depan sana, namun gerak-geriknya terlihat lamban. Khong Hi mendengus, tanpa pikir ia melayang ke arah bayangan orang itu.

Agaknya Mao Bun-ki juga terjaga bangun dan merasa sesuatu suara di luar. Dengan cepat iapun memburu keluar, tapi suasana di luar sunyi senyap tiada terlihat sesuatu.

Ia ragu sejenak, lalu ia memburu ke depan sana. Dengan cepat ia mengitari rumah penginapan itu. Sekilas dilihatnya ada bayangan orang berkelebat di balik pohon di kejauhan sana, tanpa pikir ia mengejar kesana.

Di tengah malam buta terdengar anjing di tetangga sebelah menggonggong. Mungkin karena mencium bau orang asing, atau bisa jadi tidak tahan kesunyian malam sehingga meraung seperti serigala di tengah hutan.

Bun-ki tidak berani gegabah. Dengan gesit ia berlindung di balik pohon dan mengintai kesana. Segera dapat dilihatnya sesosok bayangan bertengger di atas pohon sebelah sana dengan sikap seperti menantang.

Dengan gusar Bun-ki membentak perlahan, tiga titik sinar perak segera menyambar ke depan.

Siapa tahu orang itu tetap tidak bergerak. Tiga batang "To-liong-ciam" (jarum pembunuh naga) yang disambitkan Bun-ki itu tepat mengenai tubuhnya.

Anehnya bayangan manusia itu tetap tegak di atas, tidak bergerak, malah mendenguspun tidak, seakan-akan jarum To-liong-ciam andalan To-liong-siancu sama sekali tak berguna.

Keruan kaget Bun-ki. Pedang segera dilolos, cahaya merah membara segera menyambar, tapi gadis itu segera menjerit kaget.

Diantara cahaya merah yang terpancar dari pedangnya itu ia sempat mengenali bayangan itu adalah Giok-bin-sucia Khong Hi. Serangannya segera dibatalkan. Cepat ia melompat maju menghampiri suhengnya itu.

Akan tetapi setelah ia menyaksikan air muka suhengnya itu, ia menjerit kaget pula dan berdiri mematung dengan wajah pucat seperti mayat.

Ternyata dalam waktu yang amat singkat itu, Giok-bin-sucia Khong Hi ditemukan mati dalam keadaan mengerikan. Jalan darah Giok-ceng-hiat di belakang kepalanya ditutuk orang, mayatnya tergantung di atas pohon dengan kawat.

Tiga batang jarum To-liong-ciam yang ditimpukkan Bun-ki tadi secara rapi ditemukan menancap di atas jalan darah Ji-swan-hiat dan Ki-bun-hiat di dadanya. Di tengah kegelapan dapat terlihat ujung jarum yang berkilat. Di tengah malam gelap, wajahnya kelihatan pucat kehijau-hijauan, biji matanya melotot seakan-akan tidak tahu apa sebab kematiannya.

Angin berhembus membuat Bun-ki merinding, ia tak berani memandang lagi.

Sekarang ia baru merasa dirinya adalah seorang perempuan, banyak urusan yang tak bisa dihadapinya seorang diri, terutama dalam persoalan yang menyangkut mati dan hidup.

Mendadak ia teringat akan Ko Bun. Kembali ia merasa ngeri, cepat ia lari kembali ke rumah penginapan sambil berpikir, "Mungkinkah dia ?"

Manusia macam setan yang berada dalam kegelapan itu seakan-akan iblis keji dari neraka, dimanapun dan setiap saat dapat menjulurkan cakar setannya untuk merenggut nyawa orang yang ada hubungannya dengan Leng-coa Mao Kau.

Bimbang hati Bun-ki, takut dan bingung, untuk sesaat ia merasa kehilangan akal. "Perbuatan siapakah ini?" demikian ia pikir, "Kim-kiam-hiap? Atau Ya-heng-jin yang 

berkedok hitam itu?"

Bayangan pohon di bawah remang cahaya bintang seakan-akan berubah seperti bayangan setan yang mengadang jalan pergi Bun-ki, tanpa terasa gadis itu bergidik dan berkeringat dingin.

"Masa orang yang sudah berada dalam liang kubur bisa bangkit kembali dan datang membalas dendam?"

Ia tak berani berpikir lebih jauh, tak berani menjelaskan bagaimana datangnya kengerian itu kepada dirinya sendiri, meski bingung dan tak tahu apa yang mesti dipikirkan, tapi bayangan Ko Bun segera timbul lagi dalam benaknya.

Segera ia menerobos kegelapan dan lari kembali ke rumah penginapan.

Dalam waktu singkat ia sudah tiba di penginapan itu, dilihatnya daun jendela kamar Ko Bun dalam keadaan terbuka lebar.

Tanpa pikir ia melompat masuk ke situ. Ternyata Ko Bun masih tertidur nyenyak. Cepat- cepat ia menghampirinya dan menepuk tubuh yang berselimut itu, tapi dengan segera diketahuinya yang ditepuk itu bukanlah tubuh manusia.

Keruan ia terkejut, cepat ia menarik selimut. Ternyata isinya cuma bantal guling belaka, kemana perginya Ko Bun?

Ia berdiri melongo di depan pembaringan.

"Apakah nona Bun-ki disitu?" tiba-tiba dari belakang almari terdengar seorang bertanya dengan takut-takut.

Cepat Bun-ki melongok ke belakang almari. Dilihatnya Ko Bun berdiri ketakutan disitu. Setelah mengetahui yang datang adalah Mao Bun-ki, anak muda itu kelihatan lega. Agaknya ia tak tahan berdiri lagi, ia terkulai lemas bersandar pada almari, bisiknya dengan gemetar, "O, jika kau tidak datang lagi, aku bisa mati ketakutan."

Lalu ia tuding dinding dengan tangan gemetar. 

Bun-ki berplaing ke arah yang ditunjuk. Di atas dinding telah bertambah selembar kain hitam. Meski gelap dalam kamar, namun masih bisa terbaca empat huruf besar yang tertera di sana, "Dengan darah membayar darah."

Kembali Bun-ki terkesiap, peristiwa tujuh belas tahun yang lalu pernah didengar olehnya, tulisan "Dengan darah membayar darah" membuatnya ngeri.

Dengan suara gemetar kembali Ko Bun berkata, "Aku masih tertidur nyenyak ketika tiba-tiba dari jendela melompat masuk seorang yang menempelkan kain hitam itu di atas dinding, kemudian ia membangunkan aku dan tanya siapa diriku. Setelah itu kabur lagi lewat jendela."

"Macam apakah orang itu?" tanya Bun-ki sambil menghela napas, "apakah mengenakan baju serba hitam dan kepalanya juga tertutup kain kerudung hitam?"

"Ya, ya, betul, itulah orangnya, "sahut Ko Bun sambil mengangguk, "rupanya nona kenal orang itu!"

Bun-ki geleng kepala, kemudian memandang ke empat huruf besar itu dengan termangu.

Perlahan Ko Bun keluar dari balik almari. Ia pandang bayangan punggung gadis itu, wajahnya sama sekali tidak memperlihatkan rasa takut seperti dikatakannya tadi.

Akan tetapi begitu Bun-ki berpaling, wajahnya kembali berkerut seakan-akan orang ketakutan.

Dengan rasa kasihan Bun-ki memandang pemuda tampan itu, lalu menghampirinya sambil berbisik, "Jangan takut, aku akan menemanimu disini, mau?"

Tapi begitu perkataan itu diutarakan, tiba-tiba air mukanya berubah merah.

Dengan berseri gembira Ko Bun lantas berseru, "Jika nona bersedia menemaniku, sungguh baik sekali, kalau tidak "

Kalau tidak apa? Meski tidak diteruskannya tapi Bun-ki sudah mendapat alasan untuk tinggal dalam kamar anak muda itu.

Sesudah menyalakan lampu, mereka duduk di kedua sisi meja. Bun-ki merasa sinar mata Ko Bun mencorong bagai kobaran api sehingga hatinya juga mulai terbakar, terbayang olehnya musim semi yang indah dan hangat.

Tanpa terasa tangan mereka saling menggenggam dengan kencang.

Maka sampai pagi tiba mereka tetap duduk dalam keadaan begini. Bun-ki melupakan segalanya, bahkan lupa di atas pohon di luar sana masih tergantung mayat suhengnya dalam keadaan mengerikan. Bagaimana dengan Ko Bun? Apakah iapun melupakan segalanya? Dari senyuman yang menghiasi bibirnya dapat terlihat jawabannya, hanya sayang pada waktu itu Bun-ki tidak memperhatikannya.

Keesokkan harinya terjadi kesibukan dalam kantor pejabat keamanan kota Go-hin. Kepala polisi, Thi-jio (pentung baja) Ong Wi-kiat dibuat kebingungan oleh sesosok mayat lelaki yang ditemukannya itu, terutama baju warna emas yang dikenakan mayat tersebut membuatnya amat terkejut.

Tapi semua itu adalah teka-teki, sebelum tiba saat dibukanya teka-teki itu tak seorangpun mengetahui kejadian yang sesungguhnya.

Sejak itu, hubungan Ko Bun dan Bun-ki berlangsung makin mesra. Siapapun merasa kagum terhadap dua sejoli ini. Tapi banyak kejadian di dunia ini sukar diketahui keadaan yang sesungguhnya jika hanya dilihat dari luar saja. Demikian juga hubungan antara Ko Bun dengan Bun-ki.

Bagaimanapun juga kedua muda-mudi ini memang pasangan yang setimpal. Pergaulan bebas sepanjang perjalanan, lama kelamaan tumbuh juga benih cinta dalam hati mereka, terutama Bun-ki. Ia bukan saja berubah menjadi lembut dan pemalu, bahkan semua kepandaian seorang perempuan melayani seorang lelaki telah dilakukannya pada Ko Bun, membuat pemuda itu untuk pertama kalinya merasakan kehangatan dan kemesraan dari lawan jenisnya.

Sejak itu, di dalam hati Bun-ki yang suci bersih itu lantas tertera "cinta" atas diri Ko Bun. Siapapun tahu cinta pertama seorang gadis biasanya paling murni dan indah, tentu juga tak terlupakan selamanya.

Kematian Khong Hi yang mengerikan meski mendatangkan perasaan sedih Bun-ki, sebab bagaimanapun mereka dibesarkan bersama, empat huruf besar yang tertera di atas dinding pun mendatangkan perasaan ngeri baginya sebab sedari kecil ia sudah sering mendengar kisah 

yang berhubungan dengan keempat huruf tersebut.

Akan tetapi rasa sedih dan ngeri itu kini tidak mendapatkan tempat lagi dalam hatinya, sebab seluruh hatinya sekarang telah dipenuhi oleh huruf "cinta".

Tentu saja Ko Bun juga dapat merasakan kekuatan yang timbul dari huruf "cinta" itu di dalam hati si nona, dari tindak-tanduk serta cara bicara Bun-ki ia dapat merasakan semua itu.

Tapi seperti juga sebelumnya, ia selalu membawa senyuman yang misterius, membuat siapapun sukar menembusi rahasia hatinya lewat wajahnya yang tampan dan gagah itu.

Dia adalah seorang yang penuh diliputi rahasia.

Hanya saja Bun-ki tak dapat merasakan hal itu. Sepanjang jalan ia seperti malaikat penjaga yang selalu melindungi sastrawan "yang lemah tak bertenaga" ini. Bagaikan seorang ibu yang mengurusi makan minum anaknya, seperti seorang istri yang mengucapkan kata-kata lembut dan mesra kepada suami. Dari Hang-ciu menuju ke utara perjalanan dapat dilakukan melalui kanal. Penduduk di sekitar kanal amat padat, terutama wilayah Kangsoh dan Ciatkang, boleh dibilang merupakan daerah yang paling ramai di daratan Tionggoan.

Oleh karena itu sepanjang jalan ini sesungguhnya tak perlu terjadi sesuatu peristiwa pembunuhan dan sebagainya. Tapi karena kemunculan Kim-kiam-hiap, hal ini membuat para jago persilatana di wilayah tersebut menjadi lebih bergairah dan gembira.

Hal ini dikarenakan dunia persilatan sudah terlalu lama tak terjadi sesuatu perkara. Mereka yang biasanya tiada hubungan dengan Leng-coa Mao Kau dan mereka yang menaruh dendam terhadap si "ular sakti" ini sama berharap akan menyaksikan "keramaian" tersebut. Mereka ingin tahu "Mao-toaya" yang sudah sekian tahun merajai kolong langit ini mampu bertindak apa untuk menghadapi Kim-kiam-hiap setelah berulang kali menerima pukulan yang berat.

Sementara para begundal Leng-coa Mao Kau tak perlu diterangkan lagi, mereka lebih tegang dan kuatir, karena mereka tak tahu kapan Kim-kiam-hiap akan mampir ke rumah mereka dan memberi hadiah setimpal kepada mereka.

Mao Bun-ki sudah sering melakukan perjalanan melalui jalan raya ini. Semua jago persilatan yang ada hubungan dengan Mao Kau di sepanjang jalan ini tentu saja kenal pada putri pentolan Bu-lim ini. Hampir pada setiap tempat, asal Bun-ki muncul di tengah keramaian, pasti ada jago kenamaan daerah setempat yang datang menyambanginya.

Bun-ki seperti rada muak terhadap mereka itu, tapi Ko Bun justru menunjukkan rasa tertariknya. Bahkan dengan setiap jago persilatan yang berkunjung selalu dapat bercakap- cakap dengan intim. Ia selalu menanyakan nama mereka, alamatnya dan sebagainya.   

Sesungguhnya Bun-ki agak heran dengan tingkah laku Kongcu kaya ini. Ia tidak mengerti mengapa pemuda ini bisa menaruh perhatian terhadap jago persilatan itu, tapi asal Ko Bun senang, diapun ikut merasa senang pula.

Malam ini mereka mendapatkan hotel di kota Siok-ih, malam pada permulaan musim panas selalu indah.

Perlahan Bun-ki membuka jendela dan memandang bintang yang bertaburan di angkasa, bisiknya, "Malam ini kita tak perlu keluar. Panggil saja beberapa macam hidangan, marilah kita bersantap disini saja."

Ko Bun tertawa dan menghampirinya, membelai bahunya dengan lembut.

Belum lagi dia bicara, sambil tertawa Bun-ki berkata pula, "Kau ingin mengajak keluar, bukan?"

Sambil menekuk pinggang, dia melanjutkan, "Aku heran, mengapa kau suka bicara dengan lelaki-lelaki busuk macam mereka itu, mengapa kita tidak makan berduaan saja disini?"

Ko Bun tetap tidak berkata ap2, tapi akhirnya mereka berdua keluar juga. Walaupun keramaian malam di kota Siok-ih tidak terlalu meriah, tapi pasar malam di kota penghubung ini cukup menarik.

Setelah keluar rumah penginapan, Ko Bun dan Bun-ki menyusuri jalan raya dari selatan lalu belok ke kiri. Tiba-tiba sinar mata Ko Bun mencorong, ia melirik Bun-ki dan tertawa.

Gadis itu memandang kesana, seketika alisnya yang lentik berkernyit.

Sejauh mata memandang, hampir semua orang yang berada di jalanan itu mengenakan baju berwarna kuning emas. Tak ada baju warna lain yang tampak disitu. Tentu saja ini bukan secara kebetulan, tapi hanya ada satu alasan, yakni semua orang yang berada di jalanan ini adalah anak buah "Leng-coa" Mao Kau.

Selagi mereka berdua saling pandang dengan heran, tiba-tiba dua orang lelaki berbaju emas mengadang di depan mereka sambil membentak, "Malam ini jalanan disini akan dipinjam oleh Thi-jiu-san-wan (monyet sakti bertangan baja) Ho-siya. Jika kalian ingin bersantap lebih baik pergi ke tempat lain. Semua rumah makan yang berada di jalan ini tak ada yang kosong pada malam ini."

Sekali lagi Bun-ki mengerutkan dahinya, sedangkan Ko Bun lantas tertawa, sambil menuding ke arah Bun-ki katanya, "Kautahu siapakah nona ini?"

Belum habis ia berkata, tangannya sudah diseret Bun-ki dan diajak pergi. Sambil berjalan gadis itu mengomel tiada hentinya, "Kenapa kau menyebutkan namaku? Tampaknya disini terjadi sesuatu, aku enggan melibatkan diri."

Berputar biji mata Ko Bun, lalu tersenyum. Tiba-tiba dari depan sana muncul belasan orang.

Ko Bun bersuara heran. Belasan orang ini semuanya mengenakan baju compang-camping, jelas mereka adalah orang Kai-pang.

"Mana ada pengemis yang berjalan secara bergerombol di jalanan?" demikian pemuda itu berpikir. Tiba-tiba dilihatnya sinar mata seorang pengemis yang menatap mereka itu bersinar tajam sekali.

Hatinya kembali tergerak, sebab ini menunjukkan bahwa pengemis tersebut memiliki lwekang tinggi.

Ternyata rombongan pengemis itu berjalan menuju ke jalan tadi. Sedang kedua lelaki berbaju emas tadi bukan saja tidak mengalangi, malah menyingkir jauh-jauh.

Ko Bun tercengang, sedang Bun-ki juga lagi bergumam sambil memandang rombongan pengemis itu, "Aneh, mengapa mereka bisa bentrok dengan pihak Kai-pang? Siapa yang membuat gara-gara ini?"

Melihat itu Ko Bun tertawa, pikirnya, "Ah, jelas kaupun seorang yang suka pada keramaian." Setelah menunduk dan termenung sejenak, tiba-tiba Bun-ki menarik tangan Ko Bun dan diajak putar haluan ke arah tadi. Sambil berjalan katanya, "Kau tentu akan senang sekarang. Akan kuajak kau melihat keramaian."

Kecuali tersenyum, agaknya Ko Bun tak bisa bersikap lain.

Setiba di ujung jalan, kedua lelaki berbaju emas tadi lantas membungkukkan badan memberi hormat.

Ko Bun tercengang, pikirnya, "Masa mereka sudah kenali siapa gadis ini?"

Tentu saja Bun-ki juga mempunyai perasaan yang sama, siapa tahu dari belakang mereka tiba-tiba ada seorang berdehem.

Ketika Ko Bun berpaling, dilihatnya seorang lelaki berbaju emas bersama tiga orang lainnya telah berdiri di belakang mereka. Rupanya karena ramainya suasana, maka langkah keempat orang ini tak diperhatikan oleh mereka.

"Ah, kiranya orang yang diberi hormat oleh mereka bukan kami berdua, "demikian Ko Bun berpikir sambil tertawa geli.

Mata lelaki berbaju emas itu memandang ke atas dengan angkuhnya, ia sama sekali tidak memandang ke arah Bun-ki berdua.

Rupanya Bun-ki juga mendongkol oleh sikapnya itu, sambil mendengus mendadak ia mendorong bahu orang itu dengan keras.

Karena dorongan itu, kontan lelaki berbaju emas itu terhuyung-huyung mundur tiga langkah, hampir saja ia tak mampu berdiri tegak.

Menyaksikan itu, ketiga orang rekannya membentak gusar. Salah seorang diantaranya, seorang lelaki setengah umur berwajah merah, segera melompat maju. Tangan kirinya bergerak ke muka Mao Bun-ki, sedang tangan kanan terus menghantam dada gadis itu.

"Budak cilik, kau cari mampus?" bentaknya dengan marah.

Air muka Bun-ki berubah. Apabila sasaran serangan tersebut adalah seorang lelaki, maka hal ini bisa dimaklumi. Tapi dia adalah seorang gadis, bagian dada justru merupakan bagian terlarang.

Tak heran gadis itu semakin marah. Baru saja dia hendak memberi hajaran, tiba-tiba tubuh lelaki tinggi besar yang menyerang itu ditarik orang ke belakang secara paksa.

Diam-diam Ko Bun tertawa geli menyaksikan kejadian itu.

Kiranya sesudah lelaki berbaju emas itu terdorong mundur oleh Bun-ki tadi, tentu saja ia murka. Tapi setelah menatap wajah gadis itu, setelah melihat jelas wajah orang yang  mendorongnya, buru-buru dia melompat maju dan menarik lelaki yang memukul itu ke belakang.

Ditarik sekeras itu, lelaki itu menjerit kesakitan. Kiranya lelaki berbaju emas itu bukan lain adalah Thi-jiu-sian-san (monyet sakti berlengan baja) Ho Lim yang termashur namanya di sekitar wilayah Kang Soh dan Ciatkang.

Karena kuatir tanpa disadari ia menarik bahu anak buahnya dengan Eng-jiau-kang andalannya. Tak heran lelaki tersebut tak tahan.

Ho Lim sama sekali tidak peduli anak buahnya itu. Buru-buru dia menghampiri Bun-ki dan menjura, katanya sambil tertawa, "Rupanya Mao-toakohnio yang datang. Maaf jika paman tidak melihat dirimu, harap jangan kau marah."

Bun-ki mencibir, "Huh, kukira Ho-sisiok tidak kenal lagi padaku."

Dengan pandangan hina dia melirik sekejap lelaki tadi, ejeknya, "Agaknya orang gagah ini perlu belajar kenal dulu padaku."

Dari tanya-jawab barusan, agaknya lelaki berwajah merah itu sudah tahu nona yang dimaki "budak" itu adalah putri Mao-toa yang terhormat. Kontan mukanya berubah merah, sekalipun mendengar "tantangan" Bun-ki tersebut juga belagak seolah-olah tidak mendengar.

Biarpun ia punya nama yang cukup lumayan dalam dunia persilatan, tapi mana berani beradu kekuatan dengan putri Mao-toaya atau tuan besar Mao.

"Tadi berlagak sok, sekarang ketakutan " geli sekali Ko Bun menyaksikan kejadian itu tapi 

seperti juga sebelum ini, dia tetap tersenyum penuh arti.

"Kedatangan nona sungguh kebetulan sekali, sungguh kebetulan sekali " suara tertawa 

Thi-jiu-sian-wan mengingatkan orang pada monyet, namun sinar matanya yang tajam dan pelipisnya yang menonjol tinggi ciri khas seorang jago yang bertenaga dalam sempurna, 

membuat orang tak berani memandang enteng padanya meski geli terhadap kejelekan wajahnya.

"Kalian sudah datang dari jauh, paman harus baik-baik menjamu kalian. Hari ini, kebetulan    

."

Belum habis dia berkata, Bun-ki menukas, "Ho-sisiok tentu saja harus menjamu kami, Cuma 

kukuatir sebelum perjamuan selesai sudah kena digebuk oleh Ta-kau-pang (pentung penggebuk anjing)."

Setelah tertawa cekikikan, sengaja ia tarik tangan Ko Bun dan diajak pergi, katanya, "Lebih baik kami pergi saja!"

"Nona jangan bergurau, hari ini kami betul-betul ada urusan penting. Sebetulnya aku sudah mengutus orang ke Hang-ciu untuk memberi kabar kepada ayahmu, tapi sampai sekarang belum juga ada kabar beritanya. Aku sedang gelisah setengah mati, sungguh kebetulan non datang kemari." Sambil berkata dan tertawa, Thi-jiu-sian-wan segera memberi tanda mempersilakan Bun-ki berjalan di depan.

Dengan serius Bun-ki lantas berkata, "Paman Ho, kenapa kau mencari perkara pada Kai- pang? Bukankah ayah sudah bilang, kita jangan mencari gara-gara pada makhluk-makhluk menjemukan itu? Bicara terus terang, tiada lubang yang tidak disusupi mereka. Berurusan dengan mereka sungguh menjemukan sekali."

Thi-jiu-sian-wan menghela napas panjang, katanya, "Kalau dibicarakan, sungguh panjang sekali ceritanya. Masa aku tak tahu orang-orang Kai-pang itu menjemukan?"

Mereka lantas masuk ke jalan itu, diantara sekian orang hanya Ko Bun saja yang kelihatan paling tenteram, santai langkahnya seperti sedang berjalan-jalan keliling kota saja.

Setelah mengawasi sekeliling tempat itu, dia baru tahu 'masalah besar' yang dikatakan Thi- jiu-sian-wan tadi sesungguhnya bukan omong kosong belaka. Cukup melihat situasi jalanan tersebut dapatlah diketahui bahwa kata 'masalah besar' saja masih belum cukup melukiskan keadaan yang sebenarnya.

Kiranya jalan yang puluhan tombak panjangnya itu terdapat banyak sekali rumah makan yang berdiri di kedua sisi jalan, tampaknya tempat ini merupakan pusatnya rumah makan di kota ini.

Ketiga-empat puluh buah rumah makan sekarang berada dalam keadaan penuh dengan tamu, baik duduk di atas loteng, di bawah loteng, dalam ruangan maupun di luar ruangan.

Menurut penilaian Ko Bun, ia menduga orang-orang yang hadir dan memenuhi puluhan rumah makan ini pasti anak buah Leng-coa atau paling tidak adalah jago yang mereka undang.

Anehnya, tiga-empat puluh rumah makan yang penuh dengan jago-jago persilatan ini seharusnya gaduh suasananya, tapi ternyata keadaannya hening. Sekalipun terdengar suara pembicaraan juga dilakukan dengan bisik-bisik.

Dengan senyum dikulum Ko Bun memandang sekeliling tempat itu. Dari sinar matanya dapat diketahui dalam hati anak muda misterius ini telah timbul pelbagai rencana.

Hampir setiap tiga langkah berdiri seorang lelaki berbaju emas. Melihat kehadiran rombongan mereka, orang-orang itu sama memberi hormat.

Thi-jin-sian-wan berjalan di sisi Bun-ki dan langsung menuju ke arah sebuah rumah makan yang paling besar. Tentu saja Bun-ki juga dapat merasakan anehnya suasana, bahkan jauh lebih gawat daripada apa yang dibayangkan semula. Senyuman yang semula menghiasi bibirnya kinipun lenyap.

Baru tiba di pintu rumah makan itu, di ujung jalan sama terjadi kegaduhan. Ketika semua orang berpaling, tertampaklah belasan orang sedang berjalan mendekat. Dipandang dari kejauhan, terlihat rombongan itu semuanya mengenakan jubah kasa yang longgar dan berkepala gundul kelimis, ternyata serombongan hwesio.

Air muka Thi-jiu-sian-wan berubah semakin tak sedap dipandang, agaknya urusan bertambah gawat.

Setelah masuk ke jalan itu, tiba-tiba kawanan hwesio itu berhenti. Hanya tiga orang diantaranya yang melanjutkan perjalanan dengan langkah lebar.

Sepintas lalu Ko Bun seolah-olah tidak tertarik oleh persoalan itu, padahal ia mengamati semua itu dengan seksama. Dilihatnya meski ketiga orang hwesia itu bertubuh ceking, namun langkahnya tegap, sekilas pandang saja dapat diketahui asal-usul mereka pasti tidak sembarangan.

Bun-ki juga kelihatan terkejut, cepat ia bergeser ke samping dan berdiri di sisi Ko Bun untuk melindungi 'sastrawan yang lemah' itu.

"Omitohud!" terdengar pujian kepada sang Budha berkumandang.

Hwesio yang berjalan paling depan sudah amat tua, mukanya kering dan berkeriput, alis matanya melambai ke bawah dan berwarna putih.

Setelah memuji keagungan Budha tadi, ia membuka matanya. Segera Ko Bun merasa wajah paderi yang kurus kering ini seakan-akan bercahaya terang.

Dengan tangan terangkap di depan dada, ia berkata dengan lantang, "Aku Bak-it, datang dari Siong-san, sesungguhnya adalah tamu yang tak diundang. Tapi berhubung tindakan Ho-sicu menyangkut kepentingan dunia persilatan, maka Siau-lim-pai sebagai salah satu aliran persilatan merasa wajib turut menghadirinya. Kurasa Ho-sicu pasti tak akan menolak kedatangan kami bukan?"

Begitu mendengar nama "Bak-it" dari Siong-san, air muka Thi-jiu-sian-wan dan ketiga orang lelaki lain segera berubah hebat.

Ko Bun juga memandang pendeta tua Siau-lim-pai itu dengan lebih seksama.

Terdengar Thi-jiu-sian-wan tertawa terbahak-bahak, kemudian berkata, "Ho Lim sudah lama mendengar nama besar Sinceng (paderi sakti), karena mengira para Sinceng sudah jauh dari keramaian dunia, maka tak berani mengganggu ketenangan kalian. Kini Siangjin datang, sudah barang tentu kami sambut dengan senang hati."

Sekalipun ucapan itu diiringi gelak tertawa, tapi orang dapat menangkap tertawanya itu terlalu dipaksakan.

Perlahan Bak-it Siangjin memejamkan mata lagi sambil merangkap tangan di depan dada, ia tidak menggubris ucapan Ho Lim lagi dan bersama kedua orang lainnya menuju ke dalam rumah makan. Bun-ki tambah heran dan tidak tahu perkara apakah yang telah dibuat Thi-jiu-sian-wan sehingga pihak Siau-lim-pai yang sudah hampir sepuluh tahun tak pernah mencampuri urusan dunai persilatan ikut menghadirinya. Tapi dari sini dapatlah diduga bahwa ayahnya belum mengetahui kejadian ini. Jadi urusan ini adalah perbuatan Thi-jiu-sian-wan sendiri.

Tanpa terasa ia melirik sekejap ke arah Ho Lim dengan sinar mata menegur.

Walaupun selama beberapa tahun belakangan ini "Leng-coa" Mao Kau berhasil merajai dunia persilatan, namun hal tersebut hanya terbatas pada kalangan kaum Lok-lim saja. Sedangkan terhadap perguruan besar dalam dunia persilatan seperti Siau-lim-pai, Bu-tong-pai, Kun-lun-pai dan lain-lain boleh dibilang ia tak berani mengusiknya.

Sebagian besar para Tianglo (sesepuh) perguruan besar itu telah mengundurkan diri dari keramaian dunia. Murid yang berkelanapun tak pernah mencampuri urusan Leng-coa Mao Kau. Tentu saja hal ini disebabkan kelicikannya yang selalu memasang merek pendekar besar. Beberapa tahun belakangan ini ia lebih hati-hati dan banyak mengurangi perbuatan terkutuknya. Ini semua lantaran dia kuatir kalau perbuatannya itu akan memancing tindakan perguruan besar itu sehingga mengancurkan hasil usahanya selama ini.

Diam-diam Mao Bun-ki merasa tidak enak setelah menyaksikan semua ini. Cukup jago-jago Kai-pang dan Siau-lim-si saja membuatnya pusing, apalagi dari sekian banyak jago yang hadir dalam rumah makan, entah jago dari mana pula. Diam-diam ia menyesali Thi-jiu-sian-wan yang menimbulkan gara-gara bagi ayahnya.

Thi-jiu-sian-wan sendiripun tampak sedih, sambil menghela napas dia masuk dulu ke rumah makan.

Bun-ki segera menarik Ko Bun dan ikut masuk. Pemuda itu merasa telapak tangan si nona basah oleh keringat, jelas hatinya tegang bercampur kuatir. Tanpa terasa ia tersenyum.

Di luar dugaan Bun-ki, dalam ruangan rumah makan yang luas dengan puluhan meja perjamuan itu, hanya dua-tiga puluh orang yang hadir. Diantaranya ada seorang lelaki gemuk berduduk di dekat tangga loteng.

Ketika melihat kedatangan Thi-jiu-sian-wan, ia lantas menggebrak meja sambil berteriak, "Sungguh besar lagakmu, hampir satu jam lamanya aku si Gui gemuk menunggu disini!"

Thi-jiu-sian-wan melotot seperti mau mengumbar amarahnya, tapi urung. Ia menjura ke empat penjuru sambil tertawa getir, katanya, "Bila kedatanganku yang terlambat ini membuat para Bu-lim-cianpwe harus menunggu lama, dengan ini aku mohon maaf."

Bun-ki berkerut kening. Ia tahu paman Ho ini amat berangasan, tapi aneh, sekarang ia dapat mengendalikan diri dan bersikap hormat kepada orang lain.

Padahal ia tahu kepandaian paman Ho ini cukup lihai, bukan saja seorang pembantu andalan ayahnya, sesungguhnya dia pula komandan barisan ruyung Thi-ki-sin-pian yang tersohor itu. Tanpa terasa ia melirik beberapa kejap ke arah si gemuk itu, tapi tak dikenalinya. Maka sorot matanya beralih pula ke sekeliling ruangan itu.

Dari dua puluhan orang yang hadir, ketika Thi-jiu-sian-wan muncul, ada diantaranya yang berdiri memberi hormat, ada pula yang menjura sambil tetap duduk, tapi ada pula yang sama sekali tidak beranjak dari tempatnya, seakan-akan mereka sama sekali tak pandang sebelah mata terhadap saudara angkat pentolan Bu-lim yang disegani, tokoh Eng-jiau-pai (aliran cakar elang) dan komandan Thi-ki-sin-pian itu.

Keadaan ini berbeda dengan hari-hari biasa. Tanpa terasa hati Bun-ki tergerak, pikirnya, "Jangan-jangan mereka ini adalah tokoh perguruan terkemuka."

Sekali lagi ia memperhatikan orang-orang itu sekejap. Meski perawakan mereka berbeda namun semuanya memiliki ciri yang sama yakni sorot mata setajam sembilu.

Diam-diam Bun-ki tercengang, maklumlah, usianya muda dan kungfunya lihai, tentu saja dia tidak jeri menghadapi jago-jago tersebut. Ia hanya heran mengapa Thi-jiu-sian-wan yang biasanya prihatin ini bisa berbuat perkara tanpa mendapat persetujuan ayahnya?

Ia tidak tahu Thi-jiu-sian-wan sendiripun sedang mengeluh?

Kemudian sambil menunjuk Mao Bun-ki, Thi-jiu-sian-wan memperkenalkan, "Nona ini adalah putri kesayangan Mao-toako, secara kebetulan iapun datang kemari."

Bun-ki merasa berpuluh pasang mata sama menatapnya, tapi nona itu segera balas menatap semua orang secara wajar. Hal ini membuat Ko Bun yang berada di sampingnya diam-diam memuji ketabahannya.

Kedua puluhan orang itu tidak duduk berkelompok, setiap meja paling banter hanya berisi tiga sampai lima orang saja. Diantaranya malah ada tiga buah meja yang kosong. Thi-jiu-sian- wan langsung menuju ke meja utama di tengah dan berduduk disana. Secara kebetulan ia duduk di samping si "Gui gemuk" yang menggebrak meja tadi.

Ko Bun merasa serba asing di tempat begini. Dengan dandanannya yang sederhana sebagai seorang sastrawan, perawakannya yang tidak tinggi, tapi berwajah cerah, tentu saja segera memancing perhatian orang banyak.

Dengan tersenyum ia duduk di sisi Ho Lim tanpa mengucapkan sepatah katapun.

Beberapa saat kemudian, Thi-jiu-sian-wan berdehem beberapa kali, agaknya ia hendak menarik perhatian orang ke arahnya. Ia menjura, lalu katanya, "Walaupun siaute ada nama sedikit dalam dunia persilatan, tapi cukup kutahu diri. Dengan sedikit namaku ini masih belum sanggup mengundang kehadiran Saudara sekalian "

Berbicara sampai disini, mendadak si Gui gemuk mendengus dan menukas, "Tepat sekali, memang betul!" Tapi Ho Lim belagak tidak mendengar, ia berkata lebih jauh, "Terutama sekali bagi Bak-it Siangjing dari Siau-lim-pai, Cing-hong-kiam Cu-tayhiap dari Bu-tong-pai, para Tianglo dari Kai- pang dan Locianpwe yang telah mengasingkan diri, Hwe-gan-kim-tiau (elang emas bermata api) Sian-jiya yang pernah menguasai tiga puluh enam perairan di dunia. Mereka semua boleh dikatakan adalah Bu-lim cianpwe yang terhormat "

Si Gui gemuk kembali mendengus dengan wajah tak senang, sengaja ia membanting cawan keras-keras di atas meja.

Rupanya Thi-jiu-sian-wan sengaja hendak membuatnya k ki, maka namanya sama sekali tidak disinggung.

Ho Lim melirik sekejap ke arahnya, kemudian melanjutkan, "Walaupun demikian, kutahu kehadiran kalian adalah lantaran persoalan itu. Cuma sayang aku sendiri pun tak dapat mengambil keputusan atas masalah itu."

Baru saja ia berbicara, Gui gemuk kembali menggebrak meja sambil berteriak, "Kau si monyet tua yang tak tahu diri, jika kau tak dapat mengambil keputusan, lantas siapa yang akan mengambil keputusan?"

Air muka Thi-jiu-sian-wan kontan berubah. Belum lagi ia sempat mengumbar amarahnya, dari arah tangga terdengar seorang berseru dengan suara tinggi melengking, "Gui gemuk, belagak apa disini? Kau kan tahu juga bahwa si monyet memang tak dapat mengambil keputusan?"

Meskipun suara itu tidak keras, tapi cukup memekakkan telinga setiap orang.

Gui gemuk segera melompat bangun, dengan gusar teriaknya, "Siapa yang berani memanggil aku sebagai si Gui gemuk? Aku si gemuk ingin lihat macam apakah tampangmu itu!"

Bun-ki dan Ko Bun saling pandang dengan tertawa, pikir mereka, "si gemuk ini menyebut diri sendiri sebagai Gui si gemuk, tapi melarang orang lain memanggilnya si gemuk. Orang ini benar-benar lucu sekali."

Dari tangga perlahan naik seorang, katanya dengan tertawa, "Wah celaka! Rupanya Gui- tayhiap kita jadi kalap. Beberapa kerat tulangku yang lapuk ini jelas tak tahan menghadapi pukulan Lak-yang-jiu Gui-tayhiap. Baiklah Gui-tayhiap, biar aku si tua bangka minta maaf padamu!"

Sambil tertawa ia lantas menghampiri Gui gemuk.

Begitu orang ini muncul, suasana dalam ruangan menjadi gempar, sedangkan si Gui gemuk meski masih marah, hanya berduduk saja di kursinya.

"Ku kira siapa yang datang, rupanya kau si pengemis tua!" katanya.

Ko Bun berpaling ke sana, dilihatnya orang ini bertubuh ceking seperti bambu. Pakaiannya penuh tambalan, tapi bersih. Kulitnya putih halus bagaikan kulit badan anak gadis, waktu  tertawa di bawah matanya muncul keriput. Tapi sekilas pandang paling-paling usianya baru empat puluhan.

Pengemis itu tergelak, lalu berkata pula kepada si gemuk, "Gui-tayhiap, si pengemis ingin menasehatimu. Kulihat usiamu juga sudah lanjut, badanmu gemuk lagi, ada baiknya kau jangan cepat naik darah. Kalau sampai terserang angin duduk, bisa berabe jadinya."

Selama disindir dan dicemooh, si gemuk yang berangasan itu cuma duduk saja dengan wajah hijau pucat. Tapi sekarang dia tak tahan, sambil melompat bangun teriaknya, "Leng-hua- cu, Gui gemuk merasa berutang budi padamu. Aku tak dapat bertengkar denganmu. Tapi janganlah membuat kumarah, kalau tidak, anak muridmu yang bakal celaka."

"Hahaha, baik, aku tak mengusikmu lagi, "seru Leng-hua-cu sambil tertawa. Tanpa menggubris Thi-jiu-sian-wan yang sedang menjura ke arahnya, dia berjalan menuju ke meja yang ditempati orang Kai-pang.

Beberapa pentolan Kai-pang yang hadir disitu buru-buru berdiri dan menjura kepadanya.

Thi-jiu-sian-wan menghela napas dan duduk kembali. Bun-ki menarik ujung bajunya dan berbisik, "Apakah orang itu adalah Kiong-sin Leng Liong yang paling sukar dihadapi pada dua puluh tahun yang lalu? Sedang si gemuk itu mungkin adalah Gui Leng-ciu, salah seorang dari Kun-lun-ngo-lo (lima dedengkot dari Kun-lun)? Paman Ho, aku benar-benar tidak mengerti, baik hwesio Siau-lim-si, si kakek Siau dan Cu Pek-gi dari Bu-tong-pai, mereka kan tiada sangkut pautnya denganmu, mengapa kau mengusik mereka hingga semuanya datang kemari?"

Thi-jiu-sian-wan cuma menggeleng kepala sambil menghela napas, gumamnya, "Ai, anggap saja aku lagi sial!"

Sesungguhnya dia memang lagi sial. Sekalipun kedatangan jago-jago tua yang termashur di dunia persilatan itu bukan dia sasarannya, tapi dia terpaksa menghadapinya.

Tak lama hidanganpun disajikan. Ada yang bersantap dengan lahap seperti tak ada orang lain, tapi ada pula yang tidak makan sama sekali.

"Sesungguhnya apa yang terjadi?" kembali Bun-ki berpikir dengan heran. "Sudah hampir setengah hari paman Ho berbicara, tapi pokok persoalannya belum juga diutarakan. Orang- orang itupun tidak gelisah, kenapa bisa begini?"

Meskipun gelisah, tapi ia tak berani bertanya, setelah melihat wajah murung Ho Lim, ia menjadi kesal. Otomatis tiada nafsu makan.

Hidangan terus disajikan, arakpun dihidangkan tak berhenti, waktupun berlalu. Tanpa terasa wajah Thi-jiu-sian-wan semakin gelisah. Agaknya ia sedang menantikan kedatangan seseorang.

Ko Bun masih tetap tersenyum sambil bersantap. Ketika santapan manis mulai dihidangkan, ia bangkit berdiri dan berjalan ke tepi jendela, kemudian samil memandang bintang yang bertaburan di angkasa, ia menarik napas dalam-dalam. Tiba-tiba seorang berbangkit dan berjalan pula ke tepi jendela. Dari dalam sakunya ia mengeluarkan sesuatu benda, lalu ditiup dua kali dan mengeluarkan suara tinggi melengking.

Berbareng dengan bunyi sempritan itu, beratus orang lelaki kekar tiba-tiba bermunculan dari dua rumah makan di seberang jalan. Mereka semua memakai baju ringkas berwarna hitam dengan gagang golok menongol di balik bahu masing-masing.

Orang yang membunyikan sempritan itu adalah seorang lelaki bertubuh kekar. Sambil berdiri di depan jendela, dengan suara nyaring serunya kepada beratus orang berbaju hitam itu, "Tempat ini sudah tidak membutuhkan kalian lagi, lebih baik Saudara sekalian membagi diri menjadi tujuh kelompok. Malam ini juga berangkat pulang ke gunung."

Para lelaki berbaju hitam itu segera mengiakan. Serentak mereka membalik badan dan menyusuri jalan raya menuju ke selatan.

Ko Bun berdiri tak bergerak disitu. Tiba-tiba ia merasa ada sesosok tubuh yang halus menghampirinya. Tanpa berpalingpun ia tahu orang ini ialah Mao Bun-ki, sebab ia dapat mengendus bau harum dari tubuhnya.

Sambil menunjuk ke arah bayangan punggung orang-orang itu, Bun-ki berkata dengan lirih, "Mereka adalah anggota Koai-to-hwe (perkumpulan golok cepat) yang bermarkas di Tay-heng- san dalam bilangan propinsi Soasay. Sedang lelaki ini mungkin adalah salah seorang dari Tay- heng-siang-gi (sepasang pendekar dari Tay-heng). Sebenarnya ayahku ingin sekali menarik Koai-to-hwe ini ke pihaknya. Setelah menyaksikan kehebatan mereka sekarang, baru kutahu bahwa Koai-to-hwe memang hebat, tak heran kalau ayah merasa cemas." 

Ko Bun hanya mengiakan saja tanpa memberi komentar apa-apa.

Sementara itu seorang kakek berambut putih di meja tengah sedang berbisik sesuatu ke telinga seorang pemuda. Pemuda itu segera menuju ke tepi jendela, kemudian iapun berpekik nyaring.

Dengan berkumandangnya suara pekikan itu, dari tepi jalan kembali bermunculan beberapa ratus orang. Tanpa menantikan seruan pemuda itu, mereka sama membentuk kelompok sendiri dan secara teratur berjalan pergi.

Dengan suara lirih, Bun-ki kembali berkata, "Orang itu duduk di samping Siau Lo-tiau, mungkin mereka adalah jago-jago perairan. Selamanya mereka jarang sekali naik ke darat, entah mengapa merekapun datang kemari. Sungguh aku tidak mengerti."

Belum lagi Ko Bun menjawab, Kiong-sin Leng Liong telah bergerak. Entah dengan cara apa tahu-tahu ia sudah berteriak di tepi jendela, "Anak2 semua, orang lain sudah menarik diri, kalianpun boleh pergi."

Dari dalam sebuah rumah makan di sudut barat segera muncul segerombol besar kaum pengemis, entah berapa banyak jumlah mereka, sambil saling dorong merekapun berjalan meninggalkan jalan ini. Setelah kepergian orang-orang itu, suasana di jalan rayapun agak lengang, sedang yang masih berada disitu mungkin tinggal anak buah Leng-coa Mao Kau.

Ko Bun lantas berpaling ke arah Bun-ki dan berkata dengan tertawa, "Aku suka melihat keramaian, hari ini aku benar-benar sangat mujur, bisa menyaksikan pertemuan besar ini."

"Huh, masa kau merasa senang?" omel Bun-ki, "Betapa gelisahnya aku, mana tak tahu pula duduknya persoalan, ayah juga tidak datang, paman Ho macam orang bisu saja, sepatah katapun enggan menjelaskan."

"Adik Ki, kenapa kau pusing sendiri?" kata Ko Bun sambil tertawa, "Dengan kedudukan dan nama besar ayahmu dalam dunia persilatan, mana ada persoalan yang tak bisa diselesaikan? Kenapa kau gelisah?"

Setelah hidangan manis, sayur utama segera dihidangkan. Yang susah adalah ketiga pendeta dari Siau-lim-si. Memandang hidangan yang berupa daging, ikan, Hi-sit, Hai-som dan hidangan lezat lainnya itu, mereka hanya memandang belaka tanpa berani mencicipinya.

Waktu berlalu dalam keheningan, tak seorangpun buka suara.

Ketika Ko Bun melongok cuaca di luar jendela, ternyata waktu telah menunjukkan tengah malam.

Mendadak Gui Leng-hong menggebrak meja lagi, dengan suara keras teriaknya, "Aku Gui gemuk tak tahan berdiam terus menerus. Hai, monyet cilik, ingin kutanya padamu. Aku minta kau bicara sejujurnya."

Thi-jiu-sian-wan mendengus, "Hmm! Apa dasarmu?"

Bagaimanapun dia adalah jago kenamaan dalam dunia persilatan, tentu saja ia tak tahan menerima sikap kasar orang di hadapan sekian banyak jago persilatan lainnya. Maka dalam mendongkolnya dia menjawab dengan kata-kata kasar dan bernada menantang.

Betul juga, Gui Leng-hong segera naik pitam, teriaknya, "Kau berani berbicara kasar kepadaku? Baik, akan kulihat sampai dimanakah kepandaian monyet kecil seperti kau!"

Begitu selesai berkata, tubuhnya yang gemuk itu terus meluncur ke depan secepat terbang.

Jarak tempat duduknya memang berdekatan dengan Thi-jiu-sian-wan, sekali berkelebat saja ia sudah berada di samping Ho Lim. Segera ia menepuk bahu Thi-jiu-sian-wan Ho Lim.

Thi-jiu-sian-wan tahu kelihaian Gui Leng-hong, apalagi ketika dilihatnya tangan orang berwarna merah. Ia sadar bila tubuhnya sampai terhajar akibatnya dapat dibayangkan.

Ilmu pukulan Lak-yang-jiu dari Kun-lun-pai sudah puluhan tahun terkenal di dunia persilatan, hingga kini belum ada ilmu pukulan lain yang lebih hebat daripada pukulan maut tersebut. Sebagai seorang jago yang berpengalaman dan berpengetahuan luas, cepat Thi-jiu-sian- wan menekan telapak tangan kanan ke atas permukaan meja, kemudian tubuhnya melayang mundur sejauh tiga tombak lebih.

Kendatipun Tay-lik-eng-jiau-jiu terhitung pula kungfu keras dan dahsyat, namun ia tak berani menyambut serangan Lak-yang-jiu dengan keras lawan keras.

Cepat ia berkelit, kemudian bentaknya, "Orang she Gui, tempat ini bukan arena pertandingan. Kaupun seorang jago kenamaan, mengapa pakai cara kasar begini? Sedikit urusan lantas mencaci maki dan main hantam, macam apa "

Sambil bicara beruntun ia menggunakan tiga macam gerak tubuh untuk menghindarkan serangan Gui Leng-hong.

Mendengar sindiran tajam itu, Gui Leng-hong mendengus. Kedua telapak tangannya menyodok ke depan, "blang!" diiringi bunyi gemuruh yang keras, mangkuk cawan yang berada di atas meja di belakang Ho Lim terpental ke udara.

Tergetar oleh pukulan dahsyat itu, terpotong ucapan Ho Lim. Belum serangan itu tiba, sudah timbul perasaan yang tidak nyaman, pernapasan seperti mau putus.

Sekarang ia baru sadar kungfunya masih ketinggalan jauh bila dibandingkan kepandaian orang, tapi tempat dimana ia berada sekarang amat sempit, lagipula penuh meja di sekitar situ. Tertekan oleh hawa pukulan yang kuat itu, terasa tiada jalan lain untuk menghindar lagi.

Gui Leng-hong tertawa dingin, baru saja dia akan melancarkan serangan susulan sepenuh tenaga untuk memaksa 'monyet' itu mencium tanah, tahu-tahu jalan darah Cong-ngo-hiat di punggungnya terancam. Dalam kagetnya buru-buru dia mengegos ke samping.

Siapa tahu di antara cahaya tajam, ujung pedang tahu-tahu bergeser ke bawah dan mengancam jalan darah Cian-cin-hiat. Sungguh cepat dan tepat serangan ini dan sangat mengejutkan.

Cepat-cepat ia mengegos pula, siapa tahu dengan cepat ujung pedang itu turut menyambar ke sana dan mengancam Thian-tu-hiat dan Gin-kay-hiat di antara tenggorokan. Cahaya pedang merah membara seperti api, tajam menyilaukan mata.

Beberapa jurus serangan itu dilancarkan pada saat yang hampir sama, tak sempat berpikir kembali ia menyurut mundur. Di luar dugaan punggungnya sudah menempel dinding, padahal cahaya pedang lawan masih menyambar tiba.

Dengan Lak-yang-jiu sudah puluhan tahun Gui Leng-hong menjagoi dunia persilatan, walaupun usianya sudah tua, tapi tabiatnya justru pemberang.

Sebagai orang kedua dalam Kun-lun-ngo-lo, kungfunya memang jarang ada tandingannya, tentu saja hal inipun disebabkan ia jarang berkelana dalam dunia persilatan. Tapi sekarang ia  terdesak mundur berulang kali oleh beberapa serangan pedang lawan yang sama sekali tak sempat terlihat jelas, dalam marahnya mendadak ia membentak.

Telapak tangan kirinya menabas miring ke samping, sementara telapak tangan kanan diayun kemuka, melancarkan sebuah pukulan. Dia ingin menggetar patah pedang musuh dengan tenaga dalamnya yang sudah terlatih selama puluhan tahun.

Jurus serangan ini diluncurkan dengan indah dan juga berbahaya. Tanpa terasa para jago yang hadir sama memuji ilmu pukulan Lak-yang-jiu Kun-lun-pai memang tidak bernama kosong belaka.

Siapa tahu pada saat itulah tiba-tiba Gui Leng-hong menjerit kesakitan dan melompat ke udara. Ketika tiba kembali ke bawah, sekujur badan yang gemuk itu gemetar keras. Dengan sorot mata ngeri bercampur takut dia mengawasi seorang gadis bersenjata pedang berwarna merah berdiri di hadapannya sambil tersenyum. Gadis ini bukan lain adalah Mao Bun-ki.

Para jago sama menatap ke arah putri kesayangan Leng-coa Mao Kau ini dengan bingung. Mereka tidak menduga gadis secantik bidadari ini memiliki ilmu silat begini hebat.

Merekapun heran mengapa Gui Leng-hong sebagai salah seorang tokoh Kun-lun-ngo-lo bisa kecundang di tangan lawan hanya dalam beberapa gebrakan saja?

Jangankan para jago yang hadir ini, sampai Gui Leng-hong sendiri juga tidak jelas terjadinya peristiwa ini.

Ternyata ketika ujung telapak tangannya menyentuh pedang lawan, tiba-tiba dirasakan semacam getaran tenaga yang belum pernah dijumpai sebelum ini, membuat semua tenaganya tak sanggup dikendalikan dan menggigilkan sekujur tubuhnya.

Ia kecundang, namun kalah secara membingungkan.

Ditatapnya sekejap lawan yang masih muda dan berwajah cantik itu, kemudian diliriknya pedang merah orang, pikirnya, "Tenaga aneh ini entah lwekang dari aliran perguruan mana? Masakah gadis muda ini mampu menyalurkan tenaga dalamnya pada pedangnya?"

Sejak berumur sebelas masuk perguruan hingga kini Gui Leng-hong sudah lima puluh tahun lebih belajar ilmu silat. Sekalipun bakatnya terbatas sehingga tak mampu mencapai tingkatan yang paling tinggi, akan tetapi bagaimanapun ia terhitung salah seorang tokoh dunia persilatan. Tapi kenyataannya sekarang ia tak mampu mengetahui aliran manakah ilmu pedang yang digunakan gadis itu.

Sementara pelbagai ingatan berkecamuk dalam benaknya, Mao Bun-ki masih berdiri tegak dihadapannya.

Thi-jiu-sian-wan terbelalak mengawasi gadis itu, sedangkan Ko Bun mengawasi pedang di tangan si nona seakan-akan tenggelam dalam suatu pemikiran yang dalam dengan senyuman tetap menghiasi wajahnya. Kiong-sin Leng Liong segera berdiri, sambil tertawa terbahak-bahak dia berjalan ke depan Bun-ki, kemudian berkata, "Ombak dari belakang selalu mendorong ombak di depan, hahaha anak perempuan, kepandaianmu sungguh membuat mataku terbuka lebih lebar "

Belum habis dia berkata, Gui Leng-hong menghela napas panjang, tanpa mengucapkan sepatah katapun ia melompat pergi meninggalkan tempat itu. Dalam waktu singkat bayangannya sudah lenyap di balik kegelapan.

Kiong-sin (si dewa rudin) Leng Liong juga menghela napas, katanya, "Sekalipun Gui-loji seorang berangasan, tapi ia cukup jujur dan lurus, pula bisa membedakan antara budi dan dendam secara jelas. Ia boleh dibilang seorang lelaki sejati, tak nyana setelah turun gunung kali ini, dalam waktu singkat dia harus pulang lagi."

Setelah mengebaskan ujung bajunya yang penuh tambalan, katanya kepada Thi-jiu-sian-wan dengan serius, "Sobat kecil, walaupun kau tidak menyangka kami sekawanan tua bangka yang menjemukan akan datang kesini, sedikitnya kau tahu apa sebabnya kami datang kemari?"

Walaupun ia menyebut Thi-jiu-sian-wan yang sudah setengah umur itu sebagai 'sahabat kecil', namun Ho Lim tidak merasa tersinggung, bahkan dia segera menjawab, "Sesungguhnya wanpwe sama sekali tidak berniat mengusik para Locianpwe. Wanpwe hanya mendapat perintah dari Mao-toako untuk mengundang kawan-kawan dari Koai-to-hwe dan para enghiong yang bergerak di perairan untuk berkumpul disini. Bahkan para Tianglo dari Kai-pang tidak berani kami ganggu "

"Hm, soal ini aku si tua sudah tahu," tukas Kiong-sin Leng Liong dengan mendengus.

Setelah berdehem beberapa kali, Thi-jiu-sian-wan berkata lebih lanjut, "Sungguh tak nyana wanpwe menemui sesuatu hal secara kebetulan sehingga persoalan ini mengakibatkan kedatangan para Locianpwe."

Walaupun di luar dia menyebut menemui suatu 'secara kebetulan', namun dalam hati ia mengeluh dan menyesal.

"Para Locianpwe adalah orang-orang yang berbudi luhur, sudah barang tentu dapat memahami pula kesulitan yang wanpwe alami," katanya lebih jauh, "cuma saja "

Setelah termenung sejenak, ia melanjutkan, "Cuma saja, ada satu hal wanpwe merasa kurang mengerti "

Kiong-sin Leng Liong bergelak tertawa, sambungnya, "Bukankah aku tidak habis mengerti kenapa secara tiba-tiba kami bisa mengetahui persoalan ini?"

Ia sengaja berhenti sejenak. Setelah dilihatnya Thi-jiu-sian-wan manggut-manggut, baru disambungnya, "Anggap saja kalian lagi sial sehingga seorang musuhmu mengetahui soal ini    

. ."

Dia mengulapkan tangannya mencegah Thi-jiu-sian-wan yang hendak bertanya, lalu sambungnya, "Hal ini tak perlu kautanya, karena sekalipun kau tanyakan juga tak akan  kujawab. Padahal aku sudah terlalu banyak omong. Bila ditilik dari tingkah laku kalian selama belasan tahun dalam dunia persilatan, sewajarnya kalau aku turun tangan sejak dulu."

Setelah melirik sejenak ke arah Bun-ki, tiba-tiba ia tersenyum dan menambahkan, "Cuma lantaran kulihat pedang di tangan anak perempuan itu mirip sekali dengan benda milik seorang sahabatku, maka terpaksa aku mesti banyak bicara."

Walaupun ia sudah berbicara sedari tadi, tapi semuanya tetap merupakan teka-teki, makin mendengar Bun-ki merasa makin bingung. Dia benar-benar tidak mengerti apa sesungguhnya yang terjadi.

Padahal sedemikian rumitnya persoalan ini sehingga mereka yang terlibatpun kurang jelas persoalannya, bahkan kecuali Bak-it Siangjin dan Tui-hong-kiam Cu Pek-ih yang sekadar tahu masalahnya, yang lain seperti orang kedua dari Tay-beng-siang-kiat, Kim Ciau-kiat, Tay-oh-lo- tiau Siau Ci dan sekalian jago yang hadir hanya melongo belaka.

Suara berisik mulai terdengar dalam ruangan itu. Sebagian besar yang mereka bicarakan adalah kelihaian putri kesayangan Leng-coa Mao Kau.

Bun-ki menyimpan kembali pedang ke sarungnya, sedang Kiong-siu Leng Liong tersenyum sekejap ke arah gadis itu lalu juga kembali ke tempat duduknya. Sedangkan Ko Bun hanya mengawasi bayangan punggung nya yang ramping itu dengan termangu.

Sementara itu Thi-jiu-sian-wan masih berdiri tertegun di tempat. Bun-ki menghampirinya sambil berbisik, "Paman Ho, sebetulnya apa yang terjadi? Kalau kau tidak memberitahukan kepadaku lagi, aku bisa mati kesal."

Thi-jiu-sian-wan menghela napas panjang, katanya, "Nona, pernahkah kau dengar ayahmu membicarakan "

Belum habis dia berkata, suara derap kaki kuda terdengar berkumandang dari ujung jalan, agaknya bukan cuma seekor. Dengan wajah berseri Thi-jiu-sian-wan melongok keluar jendela. Tampak empat ekor kuda telah berhenti di depan rumah makan, ada dua orang lelaki berbaju emas sedang memegangi keempat ekor kuda itu. Agaknya si penunggang kudanya sudah masuk ke dalam.

Menyusul terdengar suara orang naik tangga dan muncul empat orang lelaki di ujung tangga.

Begitu melihat siapa pendatang ini, Thi-jiu-sian-wan segera berteriak kegirangan, "Hah, toako, engkau baru datang "

Bun-ki juga cepat berlari menyongsong kesana.

Diantara keempat orang itu, yang berjalan paling depan adalah seorang yang bertubuh jangkung, bermata tajam seperti mata elang. Begitu melihat Bun-ki berada disitu, wajahnya lantas berseri. "Rupanya kau juga berada disini?" serunya.

Tak perlu diterangkan lagi, orang ini bukan lain adalah pentolan Lok-lim selama belasan tahun bekalangan ini, Leng-coa Mao Kau.

Orang kedua berbahu lebar, berpinggang sempit dan berpunggung tegak. Sekalipun berusia lima puluhan tapi mukanya tampak segar dan sebilah pedang bergagang kuning tersandang di bahu kiri.

Dari dandanan orang bisa diketahui bahwa dia adalah Co-jiu-sin-kiam Ting-hi dari Jit-kiam- sam-pian.

Orang ketiga adalah seorang perempuan, pinggangnya ramping dengan wajah yang putih, matanya bulat besar, ketika tertawa kelihatan dekik pipinya yang dalam. Meski di bawah kelopak matanya sudah muncul garis keriput, tapi di bawah dandanannya yang rapi, keriput tersebut tidak nampak jelas.

Perempuan yang tak bisa diduga usianya ini adalah murid kesayangan adik ketua Tiam- cong-pay yang dulu, adik seperguruan ketua Thiam-cong-pay yang sekarang, Pek-poh-hui-hoa Lim Ki-cing.

Sinar mata Ko Bun hanya melintas sekejap pada wajah ketiga orang itu, tapi akhirnya berhenti pada wajah orang ke empat, ia tersenyum.

Kiranya orang yang mengikut di belakang Lim Ki-cing ini bukan lain adalah Pat-bin-ling-long Oh Ci-hui adanya.

Leng-coa Mao Kau berbicara beberapa patah kata dengan Bun-ki secara terburu-buru, kemudian dengan sorot mata tajam dia memandang sekeliling ruangan. Sikapnya kereng dan tak malu sebagai seorang pentolan Lok-lim.

Tidak lagi seperti bertemu dengan Thi-jiu-sian-wan tadi, kecuali Kiong-sin Leng Liong dan Bak-it Siangjin beberapa orang, hampir semua jago yang hadir itu sama berdiri dan memberi hormat.

Sebagaimana diketahui, nama besar Jit-kiam-sam-pian atau Tujuh Pedang Tiga Ruyung sudah tersohor berpuluh tahun lamanya. Apalagi kedudukan Mao Kau dewasa inipun sudah berbeda. Maka biarpun Thi-jiu-sian-wan juga orang kenamaan, sudah barang tentu selisih jauh bila dibandingkan dengan kedudukan maupun nama besar Leng-coa Mao Kau.

Kembali Mao Kau memandang sekeliling ruangan, dahi berkerut, tampaknya dia tidak menyangka disinipun hadir beberapa tokoh tangguh. Tapi ia lantas tertawa.

"Hahaha, bila kedatangan Mao Kau yang terlambat ini membuat sobat sekalian dan para Cianpwe menunggu agak lama, mohon sudi dimaafkan."

Setelah memandang sekejap ke arah Ho Lim, katanya pula, "Losi, mengapa kau tidak mengabarkan kepadaku bahwa selain Siau, Leng berdua Locianpwe, dari Siau-lim-si pun  datang seorang pendeta sakti? Tahu begini, sekalipun Mao Kau bernyali besar juga tak berani membiarkan para Locianpwe menunggu sekian lama."

Si ular Mao Kau memang licin, sekilas pandang saja ia dapat mengenali beberapa orang itu.

Si dewa rudin Leng Liong tergelak, katanya, "Siau-mao-cu (si Mao kecil), kami bukan menunggu kau, jadi tak perlu kau menyesal."

Kemudian dengan sinar mata mencorong tajam, terusnya, "Apa yang kami nantikan rasanya tanpa disebut pun kau tahu bukan?"

Mao Kau tertawa, ia maju ke depan dan mengambil cawan arak di depan Ko Bun, kemudian membalik badan, katanya, "Urusan lain boleh kita bicarakan nanti saja, sekarang Mao Kau menghormati kalian dulu secawan arak."

Ketika sorot matanya menyapu pandang sekeliling ruangan, dilihatnya Hwe-gan-kim-tiau (elang emas bermata api) Siau Ci pun turut berdiri, Mao Kau tertawa senang. Sekali tenggak ia menghabiskan isi cawan.

Bun-ki merasa bangga, sebab bagaimanapun ternyata semua orang sangat menaruh hormat kepada ayahnya, tiba-tiba ia melihat Ko Bun tetap berduduk di tempatnya tanpa bergerak.

Ia menghampiri anak muda itu, bisiknya, "Ayah mengajak minum, mengapa kau tidak ikut?" Nadanya menyesal dan setengah mengomel juga sedikit curiga.

Ko Bun mengangkat bahu dan tertawa, "Cawan arakku diambil ayahmu, kausuruh aku minum dengan apa?"

Bun-ki tertawa, dia serahkan sebuah cawan yang diambilnya dari meja kosong sebelah dan diberikan kepada Ko Bun.

Tapi waktu itu para jago sudah duduk kembali, arakpun habis ditenggak Mao Kau, maka Ko Bun minum sendiri araknya, padahal cawannya masih kosong.

Namun Bun-ki tidak memperhatikan hal itu dan juga tidak memikirkannya.

Leng-coa Mao Kau mengerling sekejap ke sekeliling, lalu katanya lagi dengan lantang, "Di dalam perjamuan ini, aku Mao Kau adalah tuan rumah."

Diliriknya sekejap ke arah si dewa rudin Leng Liong sambil tertawa, kemudian melanjutkan, "Terlepas dari apakah alasan kedatangan kalian, yang jelas aku merasa gembira sekali."

Sesudah berhenti sejenak, ia berkata pula, "Kemarin Ho-site mengirim surat ke Hang-ciu dan mengabarkan bahwa Tay-heng-siang-gi dari Tay-heng-san dan pemimpin besar tujuh belas perairan, Kim-li (ikan emas) Siau-siauhiap telah diundang datang. Baru saja Mao Kau merasa senang, siapa tahu keesokan harinya aku menerima laporan kilat lagi dari Ho-site yang  mengabarkan bahwa diantara kedua telaga Hongtik dan Ko-yu telah ditemukan suatu rahasia besar yang sudah terpendam selama beberapa ratus tahun."

Sekali lagi dia mengerling sekejap ke sekeliling ruangan, lalu terusnya, "Kalian semua adalah orang pintar. Beberapa orang Locianpwe mungkin lebih jelas tentang soal itu daripadaku. Sebagaimana diketahui, setiap orang tentu ingin mendapatkan mestika tersebut termasuk aku sendiri. Tapi kalau dibilang aku bersekutu dengan Siau-siauhiap hanya lantaran barang itu, aku betul-betul merasa penasaran. Buktinya Kim-jihiap dari Thay-heng, Si-tayhiap dari Huai-yang, Lam-siau-kiam-kek dari Hok-gu-san dan Pui-sia-tayhiap, di wilayah kekuasaan mereka tiada sesuatu harta karun, toh mereka ku undang juga kehadirannya?"

Kiong-sin Leng Liong seperti mendengus sekali, Bak-it Siangjin tak bergerak sama sekali, maka Mao Kau berkata pula, "Setelah mendapat kabar itu, aku bersama Co-jiu-sin-kiam Ting- tayhiap, Pek-poh-hui-hoa Lim Lihiap dan Oh-samte segera berangkat kesini. Sebab kutahu bila kabar ini sampai bocor, akibatnya bisa mengganggu ketenangan umum. Tapi buktinya secermatnya Ho-site bekerja, rupanya para Locianpwe toh mendapat tahu juga."

Tiba-tiba Kiong-sin Leng Liong tertawa nyaring, suaranya keras menggetar mangkuk dan cawan di atas meja.

Pek-poh-hui-hoa Lim Ki-cing tertawa ringan, tegurnya, "Locianpwe, kalau tertawa jangan keras-keras, bikin sakit telinga."

Kiong-sin Leng Liong berhenti tertawa, dia melotot sekejap ke arah Lim Ki-cing, tapi perempuan itu seakan-akan tidak melihatnya. Sambil membetulkan rambutnya ia berkata lagi, "Kun-goan-it ginkang Locianpwe memang lihai. Sewaktu kecil dulu akupun pernah mendengarnya. Sekalipun engkau tidak tertawa sekeras ini orang juga tahu kelihaianmu."

Kiong-sin Leng Liong tersohor karena ketajaman mulutnya, ia tak pernah kalah beradu lidah dengan siapa pun. Sungguh tak nyana hari ini ia ketanggor seorang perempuan.

Bun-ki menjadi geli, apalagi bila teringat bagaimana cara pengemis tua itu mempermainkan Gui Leng-hong tadi, pikirnya, "Inilah pembalasan yang setimpal."

Agaknya Lim Ki-cing juga tahu orang tak sampai berkelahi dengannya mengingat kedudukan orang yang terhormat itu, maka setelah berkata ia sempat mengerling sekejap ke arah Ko Bun dengan tertawa.

Ko Bun juga tertawa, tapi Bun-ki yang menyaksikan itu jadi mendongkol. Dengan wajah dingin ia memaki di dalam hati, "Rase tua, siluman tua, benar-benar tak tahu malu."

Setelah diganggu oleh Lim Ki-cing, kata-kata Kiong-sin Leng Liong tak jadi dilanjutkan lagi.

Pada kesempatan itu Leng-coa Mao Kau berkata pula, "Setelah para Locianpwe bertemu denganku sekarang, terasa legalah hatiku, sebab dengan nama baik Locianpwe, tentunya kalian takkan mengincar barang kami "

Belum habis ia berkata, kembali terdengar gelak tertawa nyaring. Yang tertawa ini adalah Hwe-gan-kim-tiau. Sejak awal dia tidak buka suara, tapi sekarang sambil mengelus jenggot ia berkata, "Mao- tayhiap, aku rada kurang paham pada perkataanmu itu. Ketika Thi-jiu-sian-wan Ho-sihiap berkunjung ke tempat putraku Siau Peng, dikatakannya bahwa pemisahan wilayah antara air dan darat yang terjadi dalam dunia persilatan telah mengurangi arti persatuan dalam dunia persilatan. Dikatakan bahwa wilayah pengairan dan daratan sepantasnya bersekutu. Dianjurkan agar putraku bersekutu denganmu setelah mempertimbangkan, pertama berhubung Mao- tayhiap adalah seorang tokoh besar, kedua, ucapan Ho-sihiap cukup meyankinkan, maka permintaannya dikabulkan. Kemudian Ho-sihiap minta Tay-heng-siang-gi yang merupakan saudara angkat putraku itu juga diajak bersekutu, inipun disanggupi putraku "

Setelah melirik sekejap ke arah Thi-jiu-sian-wan sambil tertawa dingin, ia melanjutkan, "Tentu saja semua ini berkat kepandaian Ho-sihiap bermain lidah sehingga putraku benar-benar menyerah pula "

Kembali ia tertawa dingin, lalu menyambung, "Tentu saja keberhasilan itu dikarenakan usia putraku yang masih muda, kurang pengalaman, tak bisa membedakan mana yang baik dan mana yang buruk, kebetulan lagi aku tak ada di rumah. Ketika aku pulang, Ho-sihiap sudah keburu pergi. Baiklah soal ini tak perlu diungkit lagi, tapi meskipun aku sudah hidup sekian puluh tahun, sudah banyak orang yang kujumpai, sungguh tak kusangka Ho-sihiap adalah manusia yang begitu lihai. Coba kalau tidak diberitahu oleh seorang tokoh sakti, aku si tua tentu tidak tahu Ho-sihiap yang merupakan komandan Thi-ki-sian-pian yang mengibarkan panji demi keadilan dan kebenaran bagi umat persilatan ini ternyata telah memanfaatkan kedudukannya sebagai tamu Congtocu danau Ko-yu dan Hongtik untuk menyelidiki rahasia terpendam di danau kami."

Jahe semakin tua semakin pedas, beberapa patah kata jago tua ini kontan saja membuat air muka Thi-jiu-sian-wan sebentar pucat sebentar hijau. Wajahnya yang memang buruk semakin buruk lagi sehingga persis seperti kulit jeruk yang sudah dikeringkan kemudian dimasukkan ke dalam cuka.

Air muka Leng-coa Mao Kau juga agak berubah, selagi ia hendak bicara, Sian Lo-tiau berkata pula lebih dulu, "Adapun kedatanganku ini adalah ingin memberitahukan kepada Mao- tayhiap, sekalipun Mao-tayhiap bersaudara sudah mengetahui letak harta karun dalam telaga Ko dan Hong tersebut, sedangkan aku si tua bangka belum lagi tahu, namun jika Mao-tayhiap ingin menggunakan kedudukan sebagai 'taman sekutu' untuk melakukan penyelidikan lagi ke pangkalan kami, maka kendatipun Mao-tayhiap adalah Bu-lim Bengcu dari daratan Tionggoan, aku si tua juga akan mengandalkan sedikit kekuatan kami sekeluarga Siau turun temurun di perairan untuk menghadapi kalian. Berada di hadapan Siau-lim-sinceng dan Bu-lim-sin-kai, aku tak berani takabur. Itulah sebabnya telah kuperintahkan kepada beberapa ratus saudara dari Koai-to-hwa dan saudara dari perairan untuk pulang lebih dulu. Nah, perkataanku hingga sampai disini saja, maaf aku si tua mohon diri lebih dulu."

Sampai disini sedikit banyak Mao Bun-ki baru tahu duduk perkara yang terjadi hari ini. Kendatipun tak tahu sebetulnya harta mestika apa yang terdapat di dalam telaga Hontik dan Ko- yu tersebut, lebih-lebih ia tak mengerti dengan cara bagaimana Thi-jiu-sian-wan berhasil mengetahui rahasia harta karun itu. Baru saja ia hendak bertanya, sambil tertawa Pek-poh-hui-hoa Lim Ki-cing telah berkata, "Siau-loyacu, engkau boleh dibilang seorang tua yang berbudi luhur. Tapi aku kurang begitu mengerti dengan perkataanmu tadi. Menurut perkataanmu tadi seolah-olah telaga Hongtik dan Ko-yu adalah daerah warisan keluarga Siau, sedang barang dalam telagapun merupakan harta pusaka keluargamu. Aku jadi ingin bertanya, kecuali orang-orang keluarga Siau, apakah orang lain tak boleh mengusiknya?"

Siau Lo-tiau melotot gusar, alis matanya yang panjang menegak. Dengan geram ia menjawab, "Kalau benar lantas bagaimana? Kalau tidak kau mau apa? Kau ingin berlagak dihadapanku? Hm, masih selisih jauh. Pergi, pergi! Disini tak ada tempat bicara bagi perempuan macam kau."

Sekasar-kasarnya Kiong-sin Leng Liong, dia masih terhitung seorang Tianglo dari golongan yang terhormat, maka terhadap Lim Ki-cing ucapannya tidak terlalu kasar dan tajam.

Berbeda dengan Siau Lo-tiau, sekalipun dia terhitung pula seorang Bu-lim-cianpwe, tapi asalnya dari golongan hitam. Sebab itulah melotot dan mendamprat kaum wanita sama sekali bukan soal baginya.

Lim Ki-cing merasa kehilangan muka, apalagi setelah melihat Ko Bun memandangnya dengan senyum tak senyum itu, hatinya tambah panas.

Sesungguhnya harta karun apakah yang dipersoalkan gembong-gembong dunia persilatan yang berkumpul ini ?

Cara bagaimana Mao kau akan menyelamatkan sengketa ini dan apa pula yang akan dilakukan Ko Bun, pemuda yang alim itu ?

Traktiran: (7891767327 | BCA A.n Nur Ichsan) / (1740006632558 | Mandiri A.n Nur Ichsan) / (489801022888538 | BRI A.n Nur Ichsan) ataupun bisa melalui via Trakteer yang ada dibawah

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar