Rahasia Peti Wasiat Jilid 11

Jilid 11

“Jika berani sembarangan memaki lagi bisa segera kupotong hidungmu!” Bun-hiong balas mengancam dengan tertawa.

“Lepaskan!” teriak Coa-kat-bijin.

“Sebentar akan kulepaskan, sekarang aku ingin tahu dulu namamu, coba katakan?” ucap Bun-hiong.

“Mati pun takkan kukatakan padamu,” jawab si cantik dengan geregetan.

“Jika kau beri tahukan namamu, aku pun akan memberitahukan padamu tempat tinggal Kiu-bwe-hou, mau?”

“Untuk apa kau tanya namaku?” teriak si cantik dengan gusar. “Sebab aku sangat tertarik oleh perempuan seperti dirimu ini.”

Mendadak lunak pendirian si cantik, katanya, “Baik, akan kukatakan padamu, aku bernama Wan Kiau-kiau.”

“Benar hendak kau tolong nona Oh?” tanya Bun-hiong. Wan Kiau-kiau mengiakan.

“Terdorong oleh rasa simpatimu atau ada maksud tujuan lain?”

“Karena simpatiku, akan kubawa dia kemari untuk tinggal bersamaku.”

“Baik,” kata Bun-hiong. “Kiu-bwe-hou berdiam di Ma-cik-san di Thay-oh, nona Oh juga berada di sana.”

Habis berucap ia lantas lepaskan tangan si nona.

“Enyah, sampai sesak napas kau tindih diriku!” seru Kiau-kiau dengan napas tersengal.

Bun-hiong angkat tubuh, katanya dengan tertawa, “Ingin kunasihatimu, jika benar karena simpatimu dan ingin menolong nona Oh, maka sebaiknya jangan kau pergi ke sana.”

“Sebab apa?” tanya Kiau-kiau dengan terbelalak.

“Bagaimana pribadi Kiu-bwe-hou tentu sudah kau ketahui dengan jelas, permusuhannya dengan Oh Kiam-lam sangat mendalam, bilamana dia tahu engkau adalah bekas piaraan Oh Kiam-lam, tentu dia takkan mengampunimu.”

“Aku tidak takut,” kata Kiau-kiau. “Dengan parasku ini, kuyakin tiada seorang lelaki pun takkan bertekuk lutut padaku.”

Bun-hiong tertawa, katanya, “Bagaimana kalau kugantikan dirimu pergi menolongnya?”

“Hm, engkau punya keberanian itu?” jengek Kiau-kiau.

“Semula tidak ada, tapi sekarang ada,” jawab Bun-hiong. “Mengadu jiwa demi perempuan cantik serupa dirimu kukira cukup berharga.”

Kiau-kiau tertawa, tanyanya, “Engkau bicara sesungguhnya?”

“Ya, kenapa tidak?” Bun-hiong mengangguk dengan tersenyum.

“Baik, kita pergi bersama,” tukas Wan Kiau-kiau.

“Tidak, engkau tinggal saja di sini, biar kupergi sendirian.”

“Tidak, betapa pun aku harus ikut pergi,” kata Kiau-kiau tegas. “Jika benar kau khawatir aku akan dicelakai Kiu-bwe-hou, nanti setiba di Thay-oh biarlah kutinggal di tepi danau itu dan tidak ikut mendaki Ma-cik-san.”

“Jika begitu, buat apa ikut pergi?” ujar Bun-hiong.

“Sesudah nona Oh kau selamatkan, kan dapat kubawa dia ke sini sehingga engkau tidak perlu lagi menempuh perjalanan jauh kemari.”

Sesungguhnya Bun-hiong memang tidak benar bermaksud menyuruhnya tinggal di sini, maka ia lantas mengangguk setuju, “Baik, cuma engkau harus berjanji aku masih boleh datang lagi mencarimu.”

Kiau-kiau meliriknya sekejap dengan tertawa, “Hm, tuman, ya?

“Ya, habis engkau sangat memikat,” jawab Bun-hiong dengan cengar-cengir.

“Dari sini ke Thay-oh kira-kira makan waktu berapa lama?” tanya si nona. “Bergantung cara bagaimana engkau menempuhnya, jika menunggang kuda, paling lama setengah bulan,” jawab Bun- hiong.

“Wah, aku tidak suka menunggang kuda,” ujar Kiau-kiau. “Bagaimana kalau menumpang kereta saja?”

“Jika begitu diperlukan waktu 20-an hari,” tutur Bun-hiong.

Kiau-kiau tersenyum menggiurkan, katanya, “Kalau begitu, selanjutnya kita akan berada bersama selama 20-an hari, keenakan bagimu, apa pula yang kau harapkan?”

Bun-hiong tertawa, “Kapan kita akan berangkat?” “Besok,” ucap si nona.

“Engkau mempunyai kereta? “Ada.”

“Jika begitu, pakai keretamu, aku keluar kuda, tapi siapa yang akan menjadi kusir?” kata Bun-hiong.

“Siang Po-hok,” tukas Kiau-kiau.

“Jiu Goat akan menjaga rumah sebesar ini sendirian, engkau tidak khawatir?”

“Tidak menjadi soal, Kungfu Jiu Goat tidak lemah, kalau orang persilatan biasa saja sanggup dihadapinya,” ujar Kiau-kiau. “Pula, terus terang kuberi tahukan padamu, di segenap pelosok perkampunganku ini penuh terpasang alat perangkap, orang biasa tidak dapat sembarangan masuk ke sini.”

“Tadi bukankah aku sudah masuk kemari?” ujar Bun-hiong. “Itu lantaran Siang Po-hok membawamu kemari, kalau tidak, sampai tua pun engkau jangan harap akan mencapai tempat tinggalku ini.”

Bun-hiong tidak bicara lagi, tapi tangannya lantas beraksi pula

....

*****

Esok paginya mereka benar lantas berangkat dengan menumpang kereta kuda, menuju ke utara.

Sementara itu Liong It-hiong juga sudah sampai di kota Tengciu.

Tengciu adalah kota pantai, suatu kota yang terkenal dengan makanan laut, sedangkan pesut juga salah satu hidangan lezat di kota ini, banyak orang yang berdatangan hanya khusus ingin mencicipi daging pesut.

Dengan sendirinya kedatangan Liong It-hiong ke Tengciu ini bukan untuk makan pesut melainkan karena mengusut dan hendak menangkap Hiat-pit-siucay Hui Giok-koan, sebab menurut catatan dalam kitab Tui-beng-poan-koan To Po-sit mengenai tokoh-tokoh dunia persilatan, perangai Hui Giok- koan tercatat sebagai gemar makan ikan pesut, setelah berhasil membawa lari kotak hitam itu, sangat mungkin dia datang ke Tengciu untuk makan-minum sepuasnya.

Namun Tengciu juga bukan kota yang kecil, bila benar Hui Giok-koan datang ke sini, lantas di mana dia akan memondok?

Sukar bagi It-hiong untuk mencari tahu apakah Hui Giok-koan mempunyai kenalan di kota ini, sebab itulah dia cuma memperkirakan Hui Giok-koan memondok di suatu hotel di dalam kota, dan untuk menemukan dia harus didatangi dua tempat, yaitu di hotel atau di restoran.

Setelah dipikir It-hiong memutuskan akan mulai mencarinya dari hotel ke hotel.

Dari orang di pinggir jalan dapat diketahuinya bahwa di kota ini seluruhnya ada tiga buah hotel besar, yang pertama bernama In-hay-khek-can, kedua Sian-ci-lan-can dan ketiga: Kah-pin-koh-can. Langsung ia menuju ke In-hay-khek-can.

Tidak lama sampailah dia di depan hotel tersebut.

Melihat kedatangan tamu, cepat pelayan menyambutnya dengan tertawa, katanya sambil memberi hormat, “Apakah Tuan tamu ingin bermalam?”

Lebih dulu It-hiong memberi tip sepotong perak receh, katanya, “Tidak, aku ingin mencari seorang teman, entah dia tinggal di sini atau tidak?”

Karena mendapat persen, dengan senang si pelayan menjawab, “Ya, ya, numpang tanya siapa nama teman Tuan itu?

“Namanya Hui Giok-koan,” tutur It-hiong.

“Hui Giok-koan,” si pelayan mengulang nama itu sambil berpikir. “Oo ... rasanya di tempat kami tidak terdapat tamu bernama demikian ”

“Coba kau periksa daftar tamu di kantor,” pinta It-hiong.

Pelayan mengiakan terus menuju ke dalam hotel untuk tanya kasir di belakang meja, lalu keluar lagi dan memberi keterangan kepada It-hiong, “Maaf, Tuan tamu, di sini tidak terdapat tamu yang Tuan cari.”

It-hiong termenung sejenak, katanya kemudian, “Mungkin dia menggunakan nama samaran. Dia berusia antara 37-38 tahun, perawakannya agak lebih kurus sedikit daripadaku, juga lebih pendek sedikit. Wajahnya terhitung cakap, tampaknya rada menakutkan, sikapnya angkuh dan dingin.”

Pelayan berpikir lagi sejenak, lalu bertanya, “O, apakah dia selalu membawa senjata berbentuk potlot?”

“Aha, betul, betul dia, apakah dia masih tinggal di hotel kalian?” seru Bun-hiong dengan girang.

“Wah, sayang, dia sudah berangkat kemarin,” tutur si pelayan. “O, sudah berangkat?!” sungguh It-hiong sangat kecewa.

“Betul, dia tinggal dua hari di sini dan baru kemarin siang berangkat.”

“Apakah dia tidak menyatakan hendak menuju ke mana?” tanya It-hiong pula.

“Tidak, cuma sangat mungkin dia belum meninggalkan kota ini, sebab pagi kemarin dia menyuruh hampa membelikan sejumlah kado, katanya hendak mengucapkan selamat ulang tahun kepada seorang kawannya.”

“Apakah dia tidak menjelaskan siapa nama kawannya?” tanya It-hiong cepat.

“Wah, tidak,” jawab si pelayan.

“Berdasarkan apa kau bilang dia belum meninggalkan kota ini?” tanya It-hiong. “Sebab dia menunggang kuda, juga tidak menyewa kereta dan pergi begitu saja dengan membawa kado yang hamba belikan itu, tampaknya dia tidak siap untuk menempuh perjalanan jauh.”

It-hiong manggut-manggut, “Baik, terima kasih atas keteranganmu.”

“Terima kasih kembali,” jawab si pelayan.

It-hiong lantas naik lagi kudanya dan menyusuri jalan raya sembari berpikir, “Kedudukan Hui Giok-koan di kalangan hitam tidak terhitung rendah, jika dia benar akan memberi selamat ulang tahun kepada seorang kawannya, orang yang dimaksud tentu tokoh yang punya nama. Biarlah kucari tahu dulu, adakah tokoh dunia persilatan terkenal di kota ini?”

Untuk mencari keterangan tokoh dunia persilatan hanya ada dua tempat, yaitu rumah perguruan silat atau perusahaan pengawalan (Piaukiok).

Begitulah It-hiong mengambil keputusan akan mencari keterangan ke tempat-tempat tersebut.

Tapi meski dia sudah melintasi beberapa jalan besar di kota ini tetap belum ditemukan sesuatu Bu-koan (perguruan silat) atau Piaukiok.

Ia turun dari kudanya dan coba tanya seorang kakek penjual kurma, dari orang tua inilah diketahuinya di kota Tengciu tidak terdapat rumah perguruan silat atau perusahaan pengawalan.

Ia coba tanya pula, “Jika begitu, numpang tanya lagi, apakah di kota ini atau sekitarnya tidak terdapat seorang tokoh yang berilmu silat tinggi?” “Wah, aku tidak tahu,” jawab si kakek sambil geleng kepala.

Maksud It-hiong hendak tinggal pergi, tiba-tiba teringat lagi sesuatu, ia coba tanya pula. “Apakah bapak tahu di daerah mana di kota ini dapat membeli ikan pesut?”

“Beli saja di rumah makan atau di pasar,” jawab si kakek.

“Maksudku, di mana dapat membeli pesut hidup?” kata Bun- hiong.

Orang tua menuding ke arah timur, katanya, “Di luar kota sana ada sebuah sungai besar bernama Lau-kong-ho, di sana biasanya terjadi jual-beli pesut hidup, silakan Kongcu mencari saja ke sana.”

It-hiong mengucapkan terima kasih dan segera melarikan kudanya ke gerbang timur kota.

1a menduga harapan tipis untuk dapat menemukan Hui Giok- koan, tapi mengingat sudah berada di kota ini, betapa pun harus berusaha mencari lagi. Jika Hui Giok-koan mempunyai kegemaran makan ikan pesut, terpaksa ia mencarinya ke tempat yang biasa terdapat pesut.

Langsung ia menuju keluar kota mengikuti jalan raya, tidak lama kemudian, benar juga terlihat sebuah sungai, tertampak di kedua sisi tanggul sungai ada belasan rumah penduduk, ia pikir orang-orang ini tentu kaum nelayan yang biasa menangkap ikan dan pecut, segera ia datangi rumah-rumah penduduk itu.

Baru sampai di depan rumah-rumah itu, terdengar di tepi sungai sana ada orang berteriak, “Aha, bagus, akhirnya berhasil menangkap seekor!” Karena teriakan itu, serentak banyak orang berlari ke sana sembari berteriak senang, “Wah, besar amat pesut ini. Ai, Ma- lotia, mujur benar nasibmu, pesut ini sedikitnya laku terjual dua tahil perak.”

Meski It-hiong pernah juga makan daging pesut, tapi belum pernah melihat bagaimana bentuk pesut hidup, segera ia melarikan kudanya ke sana.

Setiba di tepi sungai, ia turun dari kudanya dan ikut berjubel di tengah kerumunan orang banyak, dilihatnya seekor pesut telah diseret ke tepi sungai, panjang pesut itu hampir satu meter, tubuhnya bulat, bagian perut melembung, bentuknya jelek.

Akan tetapi Ma-lotia atau bapak Ma yang menangkapnya kelihatan kegirangan serupa menemukan benda mestika.

“Ayo, lekas, bawa pesut ini ke tempat Wi-cengcu,” seru seorang.

“Wah, jangan, sudah terlambat,” tukas seorang lagi. “Terlambat katamu?” tanya seorang lain.

“Ya, sekarang kan sudah lewat tengah hari?” ucap orang kedua tadi.

“O, maksudmu sudah lewat waktunya perjamuan tengah hari?”

“Betul.”

“Wah, benar juga. Sungguh sayang. Bilamana tertangkap dua jam yang lalu tentu keburu dijual kepada Wi-cengcu.” “Tidak menjadi soal, boleh dijual saja kepada restoran di kota, tetap mendatangkan rezeki.”

“Hei, Ma-lotia, hendak kau jual ke mana?” demikian tanya seorang penduduk.

“Kupikir akan kujual kepada Wi-cengcu saja,” ucap Ma-lotia dengan tertawa.

“Akan tetapi dia menjamu tamu pada siang hari ini, sudah terlambat jika diantar sekarang.”

“Tidak apa-apa,” ujar Ma-lotia. “Biarpun tidak pesta juga Wi- cengcu biasa membeli, apalagi pesut sebesar ini.”

“Betul juga, lekas kau antar ke sana,” seru yang lain.

“Ya, akan kucari dulu karung kosong,” ujar si kakek dan segera berlari pulang ke rumahnya.

Liong It-hiong mendekati seorang tua dan coba tanya, “Numpang tanya Lotiang, orang macam apakah Wi-cengcu itu?”

Si kakek memandangnya sekejap, lalu balas bertanya, “Saudara cilik ini bukan penduduk daerah sini?”

“Ya, kudatang dari Kanglam,” jawab Bun-hiong.

“Pantas engkau tidak kenal siapa Wi-cengcu,” tutur kakek itu. “Beliau adalah tokoh terkenal di daerah kami sini, seorang hartawan besar, orangnya juga berhati baik, suka menolong orang miskin dan membantu yang kesukaran, bulan yang lalu beliau malahan menyumbang seribu tahil perak untuk membangun sebuah jembatan.” “Jika demikian, jelas Wi-cengcu itu seorang dermawan, entah di mana tempat tinggalnya?” tanya It-hiong.

“Perkampungan tempat tinggalnya itu bernama Liong-coan- ceng, hanya belasan li dari sini,” tutur si kakek.

“Apakah hari ini dia mengadakan pesta?” tanya It-hiong pula.

“Betul, hari ini adalah ulang tahun Wi-cengcu yang ke-60,” tutur orang tua itu. “Kabarnya ada beberapa ratus orang akan menyampaikan ucapan selamat ke Liong-coan-ceng, beberapa hari yang lalu beliau sudah memberi pesan agar berusaha menangkap beberapa ekor pesut, sungguh tidak kebetulan, selama beberapa hari ini cuma tertangkap dua-tiga ekor yang kecil dan baru sekarang tertangkap seekor sebesar ini.”

Tengah bicara Ma-lotia sudah berlari kembali dengan membawa sebuah karung goni, beramai-ramai orang banyak membantunya memasukkan pesut itu ke dalam karung dan diikat dengan baik, lalu diterobos dengan sebuah pikulan.

“Jisiaucu, ayolah bantu gotong pesut ini ke Liong-coan-ceng,” seru Ma-lotia.

Seorang pemuda tanggung berkepala borokan mendekat dan bertanya, “Bisa minum arak tidak?”

“Tentu, sesudah terima uang, akan kutraktir minum sepuasnya,” ujar Ma-lotia.

“Ayolah kubantu,” kata pemuda itu.

It-hiong tidak menghiraukan mereka lagi, ia mencemplak ke atas kudanya dan dilarikan ke arah selatan. Ia yakin Hui Giok-koan pasti berkunjung ke Liong-coan-ceng untuk memberi selamat kepada Wi-cengcu, sedangkan pesta ulang tahun Wi-cengcu itu diselenggarakan pada siang hari ini, maka dirinya harus cepat menuju ke sana, sebab sekarang sudah lewat tengah hari, mungkin pesta itu hampir bubar.

Bilamana hubungan Hui Giok-koan dengan Wi-cengcu kurang erat mungkin sehabis pesta akan terus mohon diri. Dan kalau telanjur pergi, tentu tidak gampang lagi untuk mencarinya.

Sebab itulah langsung ia melarikan kudanya menuju Liong- coan-ceng.

Hanya sepertanak nasi lamanya sudah tibalah dia di tempat tujuan.

Ternyata Liong-coan-ceng bukan perkampungan biasa melainkan terhitung sebuah kota kecil karena banyak tempat wisata di tempat ini, terutama ada tempat mandi air belerang, maka di tempat ini banyak tersedia sarana bagi kaum pelancong seperti hotel, restoran dan sebagainya, sungguh sebuah kota yang ramai.

It-hiong mendapatkan sebuah hotel, kuda diserahkan kepada pelayan, lalu ia cari keterangan tentang tempat tinggal Wi- cengcu.

Kiranya tempat kediaman Wi-cengcu terletak di pinggir kota, dekat kaki gunung. Segera ia berjalan kaki ke sana, dari jauh tertampak suatu kompleks bangunan di kaki gunung sana.

Sebuah jalan batu lurus menembus ke pintu gerbang perkampungan yang bergapura besar dengan papan bertulis empat huruf besar yang berarti “Keluarga Dermawan”.

Sangat megah bangunan gapura itu, di kedua samping gapura adalah sederetan tembok berwarna merah, kelihatan memang keluarga yang kaya raya.

Saat itu suasana kompleks perumahan ini kelihatan riang gembira, suasana pesta pora dengan macam-macam hiasan, di luar pintu gerbang banyak berparkir kereta kuda, tandu dan puluhan ekor kuda. Jelas kendaraan para tamu. Orang di dalam perkampungan hilir mudik kian kemari tiada hentinya, suara riuh gemuruh, melihat gelagatnya pesta belum lagi usai.

Liong It-hiong tidak bermaksud masuk ke perkampungan itu, sebab ia tidak kenal orang macam apakah Wi-cengcu itu, ia pun tidak ingin kedatangannya dilihat oleh Hui Giok-koan, maka ia mengambil keputusan akan menunggu saja di luar perkampungan, nanti kalau Hui Giok-koan keluar, lalu akan dikuntitnya.

Sebab menurut perkiraannya, tidak mungkin Hui Giok-koan menyampaikan ucapan selamat kepada Wi-cengcu dengan membawa kotak hitam itu melainkan pasti disembunyikan di suatu tempat, maka kalau ingin merampas kembali kotak itu harus menunggu selesai Hui Giok-koan menghadiri pesta itu dan membuntutinya secara diam-diam.

Ia coba mengamat-amati keadaan sekitarnya, dilihatnya di sebelah kiri jalan sana adalah hutan yang cukup lebat, di antaranya ada sebatang pohon cemara tua dan tinggi, dari atas pohon itu dapat mengintai keadaan di dalam perkampungan serta jalan di luar kampung.

Segera ia menyelinap ke dalam hutan, ia melompat ke atas pohon cemara itu dan menongkrong di suatu dahan pohon yang teraling oleh daun lebat.

Tak terduga, baru saja ia duduk di dahan pohon, mendadak dari sebelah atas ada orang menegurnya, “Hei, saudara cilik, kau mau apa datang ke sini?” Tentu saja It-hiong kaget karena sama sekali tidak menyangka di atas pohon itu sudah ada orang.

Cepat ia mendongak dan balas menegur, “Siapa itu?!”

Setelah diawasi barulah diketahui pada sebuah dahan lain di bagian atas sana juga menongkrong seorang tua yang bertubuh tinggi besar.

Usia kakek ini antara 57-58 tahun, badan gemuk dan muka bulat serupa Buddha tertawa yang gendut itu, kepalanya botak plontos, hanya sekitar pelipis ada sedikit rambut pendek keriting sehingga mirip ikat kepala.

Baju orang tua ini terlebih aneh, hanya memakai sepotong baju kulit macan tutul yang tak berlengan, celana yang dipakainya berwarna kelabu dan berkaki telanjang, bentuknya seperti seorang pemburu.

Tapi sekali pandang saja Liong It-hiong lantas yakin orang tua ini pasti seorang tokoh persilatan kelas tinggi, sebab dahan pohon yang didudukinya itu sangat kecil, namun tubuhnya yang gede itu ternyata seringan kapas tanpa membuat dahan kecil itu melengkung ke bawah, ini menandakan Ginkang kakek gendut ini pasti luar biasa.

Meski kejut dan heran di dalam hati, namun It-hiong tidak gentar, sebab ia tahu jika orang bersembunyi di atas pohon, tentu bukan orang dari Liong-coan-ceng.

Setelah menenangkan perasaannya, dengan tertawa It-hiong lantas bertanya, “Numpang tanya, siapa nama Locianpwe yang terhormat?”

Kakek berbaju kulit macan itu tertawa lebar, jawabnya, “Eh, kita tidak perlu saling memberi tahu nama masing-masing, jadi?”

“Baik,” jawab It-hiong tertawa, “Tapi apakah boleh kutahu untuk apa Locianpwe bersembunyi di atas pohon?”

“Jika aku yang tanya padamu akan kau jelaskan atau tidak?” si kakek balas bertanya.

It-hiong melengak, tapi dengan tersenyum ia menjawab, “Akan kujelaskan, yaitu menunggu orang di sini.”

“Menunggu siapa?” tanya si kakek berbaju kulit macan.

It-hiong mengangkat bahu, “Wah, maaf, tak dapat kukatakan.”

“Hehe, jika begitu, boleh juga kujelaskan, aku pun sedang menunggu orang, soal siapa yang kutunggu, hehe, juga tidak dapat kukatakan.”

Lalu si kakek menunjuk sebuah dahan kecil di sebelahnya dan berkata pula dengan tertawa, “Kenapa engkau tidak nongkrong saja di sini?”

It-hiong tahu orang hendak menguji kemampuannya, dengan sendirinya ia tidak mau dipandang lemah, dengan suatu lompatan ringan dapatlah ia mencapai dahan itu dan duduk di situ dengan santainya. Dahan itu pun tidak melengkung sama sekali.

Air muka si kakek tampak rada berubah, ia manggut-manggut sebagai tanda memuji, katanya, “Boleh juga, anak muda seperti dirimu mempunyai kepandaian sehebat ini.”

“Terima kasih,” jawab It-hiong. “Mengapa engkau tidak masuk ke perkampungan sana?” tanya pula si kakek.

“Dan Lotiang (bapak) sendiri kenapa tidak masuk ke sana?” It- hiong balas bertanya.

“Sebab aku tidak kenal Wi Ki-tiu, tidak ada sesuatu hubungan apa pun, “ jawab si kakek berbaju kulit macan.

“Sama, Cayhe pun begitu,” kata, It-hiong.

Si kakek memandangnya sejenak dengan tajam, lalu berucap pula dengan tersenyum, “Tapi jika kau mau masuk ke sana untuk mengucapkan selamat ulang tahun, mereka pasti takkan menolak kedatanganmu.”

“Ya, tapi Cayhe tidak bermaksud masuk ke sana untuk mengucapkan selamat,” ujar It-hiong.

Si kakek diam sejenak, lalu tanya lagi, “Orang yang kau tunggu itu kawan atau lawan?”

“Bukan kawan, juga bukan lawan.” tutur It-hiong.

“Habis orang macam apa dan ada hubungan apa denganmu?”

“Kalau kita tidak perlu saling memberi tahu nama masing- masing, bagaimana kalau kita juga tidak saling tanya maksud kedatangan kita, oke?”

“Baik,” si kakek tertawa. “Coba lihat, ramai sekali pesta di sana.”

Suasana di tengah Liong-coan-ceng memang sangat ramai, dipandang dari atas pohon yang tinggi itu, tertampak jelas di pelataran perkampungan itu berjajar 50-60 buah meja perjamuan yang penuh dikelilingi tetamu, pelayan tampak sibuk membawakan hidangan kian kemari, suara tertawa tetamu riuh rendah menggema angkasa.

Setelah memandang sejenak, dengan tertawa It-hiong tanya, “Apakah Locianpwe melihat orang yang engkau tunggu?”

“Tidak terlihat, cuma dia pasti berada di sana, tidak salah lagi,” ujar si kakek.

“Di tengah tetamu itu banyak tokoh dunia persilatan, bukan?” tanya It-hiong.

“Ya,” si kakek berbaju kulit macan mengangguk.

“Seorang hartawan yang terkenal berjiwa sosial ternyata banyak bergaul dengan tokoh dunia persilatan, ini menandakan Wi-cengcu sendiri pasti orang yang luar biasa,” ujar It-hiong.

“Ya, dia memang orang luar biasa, sebab ia sendiri tadinya juga tokoh dunia Lok-lim (rimba hijau alias kaum bandit), namanya tidak berada di bawah Oh Kiam-lam,” tutur si kakek.

“Oo, apa betul?” It-hiong menegas.

“Tentu saja betul,” tutur si kakek dengan tertawa. “Cuma dia sudah mengundurkan diri beberapa tahun yang lalu, tidak lagi melakukan pekerjaan membunuh dan membakar itu.”

“O, Tuhanku, orang begini mana sesuai untuk disebut sebagai dermawan?” keluh It-hiong sambil menghela napas.

“Sebutan dermawan dipasang olehnya sendiri,” kata si kakek. “Cuma akhir-akhir ini dia memang betul berbuat sedikit kebaikan, di sinilah letak kepintarannya. Bilamana seorang lebih dulu mencari jalan untuk memupuk kekayaan, kemudian mengasingkan diri di tempat lain, lalu muncul kembali dengan wajah yang tidak sama dan sengaja berbuat sedikit hal-hal yang kelihatan bajik untuk memperoleh pujian, orang, maka seterusnya dapatlah dia hidup aman tenteram dengan sebutan dermawan.”

“Jika begitu, nama aslinya tentu bukan Wi Ki-tiu?” tanya It- hiong.

“Dia memang bernama Wi Ki-tiu dan berjuluk Kui-sui-poa (swipoa setan), cuma sekarang dia telah ganti nama menjadi Co-im (amal leluhur).”

“Wah, jika dia berjuluk Kui-sui-poa, itu menandakan dia ahli berhitung dan tidak mau rugi,” ujar It-hiong.

“Selain begitu, dia memang juga menggunakan swipoa sebagai senjata,” tutur si kakek berbaju kulit macan tutul. “Malahan biji swipoanya dapat dilepaskan dan digunakan sebagai senjata rahasia. Kepandaiannya memang tidak rendah, selama berpuluh tahun dia malang melintang di kalangan Lok-lim daerah utara tanpa ketemukan tandingan yang berarti.”

“Mungkin sekali dia tidak sungguh-sungguh mengundurkan diri,” kata It-hiong.

“Oo, apa dasarnya?” tanya si kakek.

“Bilamana benar dia sudah cuci tangan dari pekerjaannya dulu, seharusnya dia jauh meninggalkan pergaulan dengan tokoh dunia persilatan dan tirakat di tempat terpencil. Tapi sekarang dia mengadakan pesta ulang tahun ke-60 dan datang sekian banyak tokoh persilatan untuk mengucap selamat kepadanya, ini menandakan dia tidak pernah benar- benar mengundurkan diri.”

“Ya, mungkin betul begitu, tapi masih ada alasan lain, yaitu dengan menggunakan kesempatan ini dia hendak menarik keuntungan sebanyak-banyaknya.”

“Keuntungan sebanyaknya bagaimana?” tanya It-hiong.

“Kau tahu tokoh dunia persilatan yang datang mengucapkan selamat kepadanya kebanyakan adalah bekas anak buahnya dahulu,” tutur si kakek. “Melihat betapa banyak tamu yang hadir itu, bilamana separuh di antaranya adalah kawan segolongannya, umpama saja ada 300 orang, kalau seorang menyumbang 100 tahil, maka sekaligus dia akan bertambah kaya 30 laksa tahil perak.”

“Ya, betul juga,” tukas It-hiong. “Padahal biaya perjamuannya yang 60 meja itu takkan lebih dari seribu tahil perak.”

“Betul, belum lagi sebagian tetamu yang lain, sedikit banyak juga ada yang menyumbang, maka dapat dipastikan hari ini dia mendapat untung besar,” kata si kakek.

“Hah, pantas dia mau memberi derma untuk membangun jembatan, rupanya dia mempunyai sumber rezeki sendiri,” ujar It-hiong.

“Lihat itu, Kui-sui-poa Wi Ki-tiu sudah keluar,” seru si kakek tiba-tiba.

Waktu It-hiong memandang ke sana, benar juga dilihatnya seorang tua dengan pakaian mentereng di bawah iringan beberapa orang tampak keluar perkampungan besar itu, lalu berdiri di sisi pintu gerbang, melihat gelagatnya dia siap mengantar kepergian para tamunya. “Kakek berpakaian perlente itukah Kui-sui-poa Wi Ki-tiu?” tanya It-hiong.

“Betul,” jawab si kakek.

“Tadi Locianpwe bilang tidak kenal Wi Ki-tiu, mengapa sekali pandang dapat kau kenali dia sebagai Wi Ki-tiu?” tanya It- hiong pula.

“Bila pesta usai, tuan rumah harus mengantar sendiri kepergian tetamu, itulah sopan santun pergaulan, maka dapat kuterka dia pasti Wi Ki-tiu.”

Dalam pada itu sudah ada tamu yang keluar, terlihat Kui-sui- poa Wi Ki-tiu sibuk memberi salam mengantar keberangkatan tetamunya, sikapnya cukup hormat dan rendah hati.

“Ssst, jangan bicara lagi, marilah kita mengamati sasaran kita masing-masing.” desis si kakek.

It-hiong mengangguk.

Tidak lama kemudian, para tamu berbondong-bondong keluar, ada yang menumpang kereta, ada yang naik kuda, ada pula yang naik tandu, sebagian berjalan kaki, semuanya melalui jalan batu yang lurus ini sehingga memanjang serupa pawai.

Dari atas pohon yang tinggi Liong It-hiong dan kakek berbaju kulit macan tutul itu dapat mengawasi setiap tamu itu dengan jelas. Hanya orang yang menumpang tandu dan kereta saja yang tak dapat terlihat wajahnya, tapi Liong It-hiong yakin Hui Giok-koan pasti tidak menumpang kereta atau naik tandu, maka yang diperhatikannya hanya tamu yang naik kuda dan berjalan kaki. Rupanya si kakek juga mempunyai pikiran yang sama, ia tidak memerhatikan orang yang menumpang kereta dan naik tandu.

Begitulah beramai-ramai beberapa ratus tamu itu beriring menelusuri jalan batu kecil itu menuju ke arahnya masing- masing, cukup lama juga barulah tetamu itu pergi seluruhnya.

It-hiong merasa kecewa, sebab di antara tetamu itu ternyata tidak ditemukan jejak Hiat-pit-siucay Hui Giok-koan.

Sungguh aneh, apakah dia memang tidak hadir ke sini?

Rasanya tidak begitu, sebab menurut keterangan pelayan hotel yang ditanyai Liong It-hiong, jelas diketahui Hui Giok- koan membeli kado untuk ulang tahun kawannya, kawan yang dimaksud itu pasti Kui-sui-poa Wi Ki-tiu adanya.

Bisa jadi Hui Giok-koan menumpang kereta atau naik tandu?

Rasanya juga tidak, sebab si pelayan hotel bilang dia berangkat dengan berjalan kaki, bahkan tempat Wi Ki-tiu berjarak tidak jauh, tidak nanti dia berkendaraan.

Habis ke mana perginya? Mengapa tidak tertampak bayangannya?

Mungkinkah sehabis mengucapkan selamat kepada tuan rumah lalu pergi lagi tanpa ikut dalam perjamuan?

Ini pun sangat tidak mungkin, kedatangannya ke Tengciu jelas karena ingin makan enak, yaitu menikmati daging pesut, mustahil kalau dia pergi lagi secara tergesa-gesa sebelum tercapai maksud tujuannya.

Atau, ini sangat mungkin, yaitu sebagai satu di antara ketujuh gembong kalangan hitam di daerah selatan, nama dan kedudukannya tentu lain daripada yang lain, maka dalam pesta Wi Ki-tiu ini tentu dia termasuk tamu yang terhormat, mungkin sekali Wi Ki-tiu akan menahannya agar tinggal lagi beberapa hari di tempatnya.

Berpikir sampai di sini, dalam hati Liong It-hiong sudah ada kepastian.

Dilihatnya si kakek berbaju kulit macan tutul itu juga sedang termenung bingung, jelas orang tua ini pun tidak melihat orang yang ditunggunya, maka dengan tersenyum It-hiong bertanya, “Apakah orang yang Locianpwe cari itu tidak kelihatan muncul?”

Si kakek bekernyit kening, katanya, “Ya, sungguh bedebah! Padahal berita yang kuterima sangat dapat dipercaya dan jelas mengatakan dia akan datang ke sini untuk mengucapkan selamat kepada Wi Ki-tiu.”

“Bisa jadi terjadi perubahan mendadak, umpamanya ada urusan lain yang lebih penting dan dia tidak jadi kemari,” ujar It-hiong.

“Tidak, justru kuyakin dia pasti kemari,” kata si kakek, “Dia adalah sahabat lama Wi Ki-tiu, tidak bisa tidak hadir.”

“Atau, mungkin juga dia sudah pergi dengan menumpang kereta atau naik tandu,” kata It-hiong pula.

Si kakek menggeleng kepala, “Tidak, ia tidak suka menumpang kereta, apalagi naik tandu, biasanya ia cuma suka naik kuda.”

Mendadak ia menatap It-hiong dan balas bertanya, “Dan bagaimana dengan orang yang kau tunggu? Terlihat?” “Tidak, ia pun tidak tampak batang hidungnya,” jawab It- hiong dengan menyengir.

“Mengapa bisa begitu?” tanya si kakek. “Entah,” It-hiong juga menggeleng kepala.

“Sekarang tetamu sudah pergi semua, apakah engkau hendak menunggu lagi di sini?” tanya si kakek.

“Tidak, segera aku mau pergi saja,” sembari bicara segera It- hiong bergaya hendak melompat ke bawah.

“Eh, nanti dulu!” seru si kakek.

“Ada apa?” tanya It-hiong, diam-diam ia menghimpun tenaga untuk menjaga segala kemungkinan.

“Begini,” kata si kakek. “Bilamana kau mau katakan siapa orang yang hendak kau tunggu, bisa jadi aku dapat bantu mencarinya bagimu.”

“Ah, terima kasih, kukira tidak perlu,” ujar It-hiong.

“Apakah tidak terpikir olehmu, orang yang hendak kau cari itu sangat mungkin masih ngendon di tempat Wi Ki-tiu?” ucap si kakek tiba-tiba.

“Oo ” It-hiong melenggong.

“Makanya kubilang jangan pergi dulu,” kata si kakek dengan tertawa. “Marilah kita menunggu lagi, bila hari sudah gelap dan mereka belum juga muncul, malam nanti kita masuk ke sana untuk mencarinya.”

Sesungguhnya memang sudah ada niat Liong It-hiong akan menyelidiki Liong-coan-ceng malam nanti, namun usul si kakek terasa di luar dugaannya, sahutnya dengan tertawa, “Apakah Locianpwe merasa kita dapat melakukan operasi bersama?”

“Kalau bisa saling membantu, apa alangannya?” ujar si kakek. “Mengapa Locianpwe tidak masuk saja sendirian ke sana?”

“Masuk sendirian ke sana juga tidak menjadi soal bagiku, tapi kalau bertambah seorang teman kan lebih baik?” ujar si kakek. “Nah, bagaimana, mau?”

It-hiong berpikir sejenak, katanya kemudian dengan mengangguk, “Baik malam ini biar kita operasi bersama, akan kita selidiki perkampungan itu.”

Si kakek tampak sangat senang, katanya dengan tertawa, “Kepandaianmu tidak rendah, makanya kuajak kerja sama denganmu. Engkau anak murid dari perguruan mana?”

“Ah, asal usul diriku ini hina dina, tidak pernah berguru dan juga tidak masuk sesuatu aliran,” jawab It-hiong.

“Masa? Kukira engkau terlampau rendah hati,” ucap si kakek. “Tampaknya Kungfumu pasti tidak di bawah Liong-hiap Liong It-hiong.”

“Haha,” It-hiong tergelak. “Mana kuberani dibandingkan Liong-hiap Liong It-hiong. Orang kan pendekar termasyhur, sedangkan Cayhe cuma seorang keroco. Eh, Locianpwe kenal Liong-hiap Liong It-hiong?”

“Tidak, tidak kenal,” jawab si kakek. “Cuma pernah kudengar kabar bahwa dia adalah toko angkatan muda yang paling menonjol. Terakhir kudengar dia pernah mengalahkan Kiong- su-sing Sun Thian-tik, tampaknya dia memang punya Kungfu sejati.”

“Locianpwe dengar dari siapa?” tanya It-hiong berlagak pilon. “Kudengar di rumah makan.”

“Ya, aku pun pernah dengar cerita seperti itu. Cuma kabarnya cara Liong It-hiong mengalahkan Kiong-su-sing Sun Thian-tik tidak dengan ilmu silat melainkan keduanya main catur dengan taruhan sebilah pedang mestika.”

“Oo, kiranya begitu,” si kakek tercengang.

Selagi It-hiong hendak bicara pula, tiba-tiba terlihat si nelayan tua Ma-lotia bersama anak tanggung Jisiaucu menggotong karung yang berisi pesut itu lagi mendatangi melalui jalan di kaki gunung.

“Itu dia, ada orang datang,” desis It-hiong menuding ke sana. Si kakek melongok ke sana, katanya, “Mereka bukan tetamu.”

“Ehm, melihat dandanan yang tua, tampaknya seperti seorang nelayan,” ujar It-hiong. “Entah barang apa yang mereka gotong itu?”

“Ya, entah apa?” kata si kakek. “Mungkinkah pesut?” tukas It-hiong.

Terbeliak mata si kakek, “Pesut? Ehm, betul juga, Wi Ki-tiu memang terkenal gemar makan daging pesut, setiap nelayan di daerah sini bila berhasil menangkap pesut pasti membawanya ke sini untuk dijual kepadanya.” “Tampaknya Locianpwe sangat jelas terhadap segala sesuatu sifat Wi Ki-tiu,” kata It-hiong dengan tertawa.

Si kakek berbaju kulit macan tutul itu tidak menanggapi, mendadak ia melayang turun ke bawah dan melangkah cepat ke sana mengadang di depan Ma-lotia, dengan kereng ia menegur, “Hei, ini jalan menuju Liong-coan-ceng, kalian berdua hendak ke mana?”

Ma-lotia mengira dia orang Liong-coan-ceng, ia berhenti dan menjawab dengan tertawa, “Kami justru hendak ke tempat kalian.”

Si kakek berbaju kulit macan berlagak garang dan bertanya lagi, “Untuk apa kalian ke sana?”

“Ini, kami berhasil menangkap seekor pesut besar dan hendak dijual kepada Wi-locengcu,” tutur Ma-lotia alias si kakek Ma.

“Pesta ulang tahun Cengcu sudah usai, mungkin Cengcu tak mau membeli lagi,” kata si kakek berbaju kulit macan.

“Tentu akan dibeli, Wi-cengcu sering memberi pesan, bila berhasil menangkap pesut boleh antar kemari kapan pun,” ujar Ma-lotia.

“Lantas akan kau jual berapa duit?” tanya si kakek berbaju kulit macan.

Ma-lotia tertawa, “Ah, masa hamba berani pasang harga segala, Wi-cengcu adalah langganan kami, terserah beliau mau memberi berapa.”

“Tampaknya tidak kecil pesut ini,” kata si kakek berbaju kulit macan. “Bagaimana kalau kubayar lima tahil perak?” Sebenarnya Ma-lotia hanya ingin menjual dua tahil perak saja, sekarang orang mau membayar lima tahil, keruan jauh melampaui harapannya, berulang ia mengangguk, katanya dengan tertawa, “Boleh, boleh!”

Si kakek lantas menyodorkan sepotong uang perak lima tahil, katanya, “Di tempat kami masih ada sebagian tamu yang belum pergi, kalian tidak perlu masuk ke sana, pesut ini serahkan saja kepadaku.”

Tentu saja Ma-lotia kegirangan, berulang ia menyatakan terima kasih, karung berisi perut itu lantas ditaruh di atas tanah.

“Tinggalkan juga pikulanmu, sebentar akan kusuruh orang menggotong ke sana,” kata si kakek baju kulit macan.

Setelah mendapat lima tahil perak, dengan sendirinya Ma-lotia tidak keberatan meninggalkan pikulan dan karungnya, apalagi syarat jual-beli juga terjadi begini mudah dan menguntungkan baginya. Berulang ia mengucapkan terima kasih pula, lalu tinggal pergi bersama kawannya.

Setelah kedua orang itu pergi, segera si kakek berbaju kulit macan mengangkat karung itu dan cepat menyusup masuk lagi ke dalam hutan.

It-hiong sudah dapat meraba maksud tujuan si kakek membeli pesut itu, jelas karena ingin menyamar dan supaya dapat masuk ke Liong-coan-ceng, diam-diam ia memuji, “Tua bangka ini tampaknya kasar, rupanya juga banyak tipu akalnya.”

Dalam pada itu si kakek telah menjinjing karung goni itu dan melompat lagi ke atas pohon, karung berisi pesut itu digantung di antara cabang pohon, lalu mendongak dan berkata kepada It-hiong dengan tertawa, “Saudara cilik, kau mau makan daging pesut tidak?”

It-hiong tersenyum, “Masa Locianpwe sudi mengundangku makan?”

“Ya, jika kau mau, nanti kita makan sepuasnya,” ujar si kakek tertawa.

“Ah, sudahlah,” ucap It-hiong.

“Ada maksudku hendak menyamar sebagai nelayan untuk menjual pesut ini kepada Wi Ki-tiu, kau berani ikut masuk ke sana atau tidak?” tanya si kakek.

“Kenapa tidak berani?” jawab It-hiong. “Cuma, engkau tidak khawatir akan dikenali?”

“Kita dapat merias dan berganti rupa,” ujar si kakek.

“Ya, betul, harus mengubah dulu wajah kita, tapi apakah Locianpwe membawa alat-alat rias?” tanya It-hiong.

“Biarlah kita mencari suatu rumah penduduk dan membeli dua potong baju bekas, lalu ditambah sebuah caping, kan beres?”

“Setelah masuk ke sana, lalu apa yang akar kita lakukan?”

“Tujuanku hanya ingin tahu orang yang kucari itu berada di sana atau tidak. Kalau ada malam nanti akan kumasuk lagi ke sana Kalau tidak ada, ya tidak perlu repot lagi pergi ke sana.”

“Baik, kalau begitu marilah kita menyamar,” ucap It-hiong.

Kedua orang lantas menerobos keluar hutan dan menuju ke suatu kampung yang terletak agak jauh sana. Tidak lama, mereka sudah kembali lagi ke kaki gunung di dekat Liong-coan-ceng.

Kini keduanya sudah menyamar sebagai kaum nelayan, keduanya sama memakai caping, muka dan tangan diberi hangus hingga kelihatan hitam kotor, biarpun orang yang kenal mereka, kalau bertemu sekarang, bila tidak diawasi dengan teliti juga akan pangling.

Si kakek berbaju kulit macan itu melompat lagi ke atas pohon dan menurunkan karung berisi pesut itu, katanya, “Marilah kita gotong ke sana.”

Begitulah kedua orang lantas menggotong pesut itu menyusuri jalan batu itu menuju ke Liong-coan-ceng. Hanya sebentar saja mereka sudah sampai di depan perkampungan itu.

Seorang centeng melihat kedatangan mereka dan segera memapak serta menegur, “Apa yang kalian bawa?”

Si kakek menurunkan pikulannya dan menjawab dengan membungkuk hormat, “O, pesut, kabarnya Wi-cengcu suka beli pecut, kebetulan hari ini kami berhasil menangkap seekor yang besar dan sengaja kami antar kemari.”

Centeng itu mendepak perlahan karung yang berisi pesut itu, “Wah, memang benar cukup besar. Cuma kedatangan kalian agak terlambat, pesta sudah bubar baru kalian antar kemari.”

Si kakek berlagak kecewa, “Wah, lantas bagaimana, tidak mau terima?”

“Coba tunggu dulu, akan kutanyakan,” kata si centeng. Lalu ia masuk ke dalam. Tidak lama keluarlah seorang Lokoankeh (kepala rumah tangga), ia suruh si kakek berbaju kulit macan membuka ikatan karung, sesudah memeriksa pesutnya ia tanya, “Baru saja tertangkap?”

“Ya, ya,” jawab si kakek.

Lokoankeh memberi tanda, “Baik, gotong masuk saja!”

Si kakek mengiakan, cepat ia mengikat erat lagi karung goni itu dan bersama Liong It-hiong menggotongnya dan ikut masuk ke dalam perkampungan bersama Lokoankeh.

Dalam hati kedua orang sama rada kecewa, sebab melihat gelagatnya mereka hanya dapat berhubungan dengan Lokoankeh saja dan tidak diberi kesempatan bertemu dengan Kui-sui-poa Wi Ki-tiu pribadi.

“Kalau tidak dapat bertemu dengan Wi Ki-tiu, itu berarti juga tidak mungkin dapat bertemu dengan orang yang mereka cari sehingga perjalanan mereka ini hanya sia-sia belaka.

Begitulah Lokoankeh membawa mereka melintasi pelataran yang luas dan memutar ke belakang sana, di situ terletak dapur.

It-hiong pikir bilamana sampai di dapur, kesempatan untuk bertemu dengan Wi Ki-tiu dan tetamu yang lain tentu terlebih kecil. Tiba-tiba timbul akalnya, mendadak ia berteriak, “Pesut, pesut besar! Ayolah lihat pesut besar!”

Karena gembar-gembor It-hiong, serentak banyak orang kampung sama berkerumun kemari hendak melihat.

Lokoankeh tampak kurang senang, ia melototi It-hiong sekejap dan mengomel, “Hus, ada apa berkaok-kaok?” Tapi si kakek berbaju kulit macan itu sengaja melepaskan pikulannya malah, katanya dengan tertawa, “Pesut sebesar ini memang jarang terlihat, tidak ada alangan biar ditonton sebentar oleh mereka.”

Habis itu ia terus membuka ikatan karung hingga pesut terlihat jelas.

“Wah, besar amat pesut ini!”

“Ya, sungguh besar, sedikitnya ada 50 kati!” “Pasti lebih!”

“Ini pesut harimau, betul tidak?”

“Ya, ini memang pesut harimau! Konon masih ada jenis pesut gajah!”

Begitulah macam-macam komentar orang kampung yang menonton itu, karena suara ramai inilah telah mengejutkan Kui-sui-poa Wi Ki-tiu yang sedang mengobrol dengan tetamunya di ruangan tamu sana, bersama kedua tamunya ia lantas keluar juga.

Kedua tamunya itu ternyata yang satu adalah Kiong-su-sing Sun Thian-tik dan yang lain ialah Hiat-pit-siucay Hui Giok- koan.

Girang sekali hati It-hiong melihatnya, tapi khawatir dikenali mereka, cepat ia melengos ke arah lain dan menunduk.

Kui-sui-poa Wi Ki-tiu adalah seorang kakek bermuka lebar dan bertelinga besar, sedikit pun tidak mirip orang yang licin dan licik. Bisa lantaran sedang gembira berhubung ulang tahun ke- 60, dia kelihatan berseri-seri, dengan tertawa cerah ia mendekat dan bertanya, “Ada urusan apa?”

“Lapor Cengcu,” segera Lokoankeh tadi memberi hormat, “kedua orang ini dapat menangkap seekor pesut besar, katanya hendak dijual kepada Cengcu, hamba pikir pesutnya memang besar, maka menyuruh mereka menggotong masuk ke sini.”

Kui-sui-poa Wi Ki-tiu ikut melongok ke dalam karung, seketika ia merasa senang juga, katanya, “Wah, memang pesut besar. Bagus, dibeli saja!”

Kiong-su-sing Sun Thian-tik dan Hiat-pit-siucay Hui Giok-koan juga ikut berkerumun maju untuk melongok. Sun Thian-tik lantas bersorak juga, “Aha, besar amat pesut ini! Wah, Wi- cengcu, mestinya aku sudah akan mohon diri, tapi sekarang rasanya berubah pikiran dan ingin merepotkanmu pula pada makan malam nanti.”

“Hahaha, jika Sun-tayhiap sudi tinggal lagi di sini, tentu saja kusambut dengan senang hati,” seru Wi Ki-tiu dengan terbahak.

Lalu ia pandang Hui Giok-koan dan menambahkan, “Eh, apakah Hui-laute juga gemar makan daging pesut?”

“Betul,” jawab Hiat-pit-siucay Hui Giok-koan dengan tertawa. “Kedatanganku ke Tengciu selain untuk mengucapkan selamat ulang tahun kepada Wi-cengcu, sesungguhnya juga ingin makan pesut yang merupakan makanan khas daerah sini.”

“Haha, bagus sekali, biarlah malam nanti kita bertiga minum arak dengan daging pesut,” seru Wi Ki-tiu dengan tertawa.

“Eh, saudara Giok-koan, orang bilang biji mata pesut sangat berbisa, apakah engkau berani makan matanya?” tiba-tiba Sun Thian-tik berseloroh dengan tertawa.

“Haha, asalkan Sun-heng berani makan, aku pasti juga berani,” jawab Hui Giok-koan.

Seketika lenyap senyum Sun Thian-tik, ucapnya, “Apa betul?” “Tentu saja betul,” sahut Hui Giok-koan tanpa pikir.

“Baik, sekarang juga kita coba,” seru Sun Thian-tik penasaran.

Dengan sendirinya Hui Giok-koan tidak mau dipandang lemah, kontan ia menjawab, “Jadi!”

Segera Sun Thian-tik berpaling dan berkata kepada Wi Ki-tiu, “Wi-cengcu, mohon engkau menjadi saksi, kami akan berlomba makan mata pesut, lihat saja nanti siapa yang tahan hidup dan siapa yang mati.”

“Hahaha!” Wi Ki-tiu tergelak. “Jangan Sun-tayhiap berkelakar. Selama 60 tahun umurku belum pernah kudengar ada orang tidak mati makan mata pesut. Ayolah, kita mengobrol lagi di ruang tamu.”

Habis bicara ia mendahului melangkah kembali ke tempat mengobrol semula.

Melihat tuan rumah tidak setuju pertandingan mereka, terpaksa Sun Thian-tik dan Hui Giok-koan hanya menyengir saja dan ikut masuk lagi ke ruang tamu.

Segera Lokoankeh tadi menyuruh si kakek dan Liong It-hiong menggotong pesut ke dapur, pesut dimasukkan ke dalam sebuah bak air, lalu bertanya, “Berapa harganya?” Si kakek menjawab dengan tertawa, “Ah, terserah kemurahan hati juragan di sini, mana berani kupasang harga.”

Lokoankeh menyodorkan dua tahil perak kepadanya dan berkata, “Ini dua tahil perak, ambil saja!”

Cepat si kakek menerimanya dengan kedua tangan sambil mengucapkan terima kasih berulang-ulang.

“Baiklah, sekarang kalian boleh pulang,” kata Lokoankeh. “Selanjutnya kalau dapat menangkap pesut lagi boleh antar saja kemari.”

Si kakek mengiakan dengan hormat, lalu berkata kepada It- hiong, “Ayo, nak, kita pulang!”

Begitulah kedua orang lantas pamit, yang satu memegang pikulan dan yang lain membawa karung, mereka meninggalkan Liong-coan-ceng dengan lagak gembira ria.

Setiba di tempat sepi si kakek menyusup lagi ke dalam hutan diikuti oleh Liong It-hiong.

Si kakek berbaju kulit macan tutul duduk di bawah sambil melempar-lemparkan kedua tahil perak hasil jualan pesut tadi, ucapnya dengan tertawa, “Keparat! Belinya lima tahil perak dijual cuma dua tahil perak. Berdagang cara begini mustahil takkan bangkrut setiap hari.”

It-hiong tertawa, “Tapi kuyakin Locianpwe pasti takkan rugi.”

“Ya, betul juga, tentu aku akan untung dengan cara lain,” kata si kakek dengan tertawa gembira.

“Siapakah kedua lelaki setengah baya yang muncul bersama Wi Ki-tiu tadi?” tanya It-hiong sengaja. “Yang seorang bernama Kiong-su-sing Sun Thian-tik dan yang lain berjuluk Hiat-pit-siucay Hui Giok-koan.”

“Ahh, kiranya mereka berdua,” It-hiong berlagak melengak. “Lantas orang yang mana di antara mereka yang hendak kau cari?”

Si kakek tertawa, “Coba kau katakan lebih dulu, siapa di antara mereka berdua yang hendak kau cari?”

It-hiong menggeleng, “Kedua-duanya bukan orang yang ingin kucari.”

“Oo, jika begitu orang hendak kau cari mungkin tidak datang ke Liong-coan-ceng, atau dia sudah pergi di luar tahumu,” ujar si kakek.

It-hiong berlagak kecewa, katanya, “Ya, tampaknya nasibku lagi jelek ”

“Sebaliknya orang yang ingin kucari sudah kulihat tadi,” kata si kakek berbaju kulit macan dengan tertawa.

“Oo, yang mana?” tanya It-hiong cepat. “Coba kau terka,” kata si kakek.

“Hui Giok-koan yang berjuluk Hiat-pit-siucay itu?” tanya It- hiong pula.

“Bukan, tapi Sun Thian-tik!” tutur si kakek.

Sejak mula dalam hati Liong It-hiong lamat-lamat dirasakan orang yang hendak dicari si kakek sangat mungkin orang yang sama dengan dirinya, sekarang setelah mendengar yang dicari si kakek bukan Hui Giok-koan, hal ini rada di luar dugaan malah, pikirnya, “Apakah dia bicara sejujurnya? Betulkah orang yang dia cari ialah Sun Thian-tik dan bukan Hui Giok- koan?”

Sekilas pikir, lalu ia tanya, “Locianpwe ada permusuhan dengan Kiong-su-sing Sun Thian-tik?”

“Ya,” si kakek mengangguk.

“Cara bagaimana bisa bermusuhan?” tanya It-hiong pula.

“Dia membawa minggat istriku, maka ingin kucabut nyawanya,” tutur si kakek.

“Hah, kan aneh,” ujar It-hiong tertawa. “Usianya jauh Lebih muda daripadamu, umur istri Locianpwe tentu juga tidak muda lagi, masa dia membawa lari istrimu?”

“Istriku justru masih sangat muda, baru berumur likuran,” tutur si kakek dengan penuh rasa benci dan dendam.

“Wah, tentu sangat cantik, makanya Sun Thian-tik kepincut,” ujar It-hiong.

“Betul, istriku memang cantik molek, makanya Sun Thian-tik tergila-gila padanya, selagi aku tidak di rumah dia membawanya minggat.”

“Sungguh perbuatan yang kotor dan rendah,” kata It-hiong.

“Begitulah, karena dia telah merusak rumah tanggaku, maka harus kubinasakan dia, tidak bisa tidak,” ucap si kakek dengan geregetan.

“Dan ketika melihat dia tadi, kenapa Locianpwe tidak segera turun tangan?” tanya It-hiong.

“Tidak boleh, kutahu kepandaiannya tidak rendah, apalagi dia menjadi tamu di Liong-coan-ceng, dalam keadaan begitu bila kulabrak dia tentu akan gagal total,” ujar si kakek.

“Lantas, cara bagaimana Locianpwe akan bertindak terhadapnya?” tanya It-hiong.

“Malam nanti dia tentu masih tinggal di tempat Wi Ki-tiu, diam-diam aku menyelundup ke sana, setelah dia tidur, akan kupenggal kepalanya.”

“Waktu masuk ke sana tadi telah kuperiksa keadaan perkampungan itu, melihat gelagatnya penjagaan mereka cukup ketat, usaha Locianpwe mungkin sulit terlaksana,” ujar It-hiong.

“Betapa pun aku harus mencobanya, sekalipun harus menyerempet bahaya,” kata si kakek tegas.

“Kenapa tidak tunggu saja sampai besok bila dia meninggalkan Liong-coan-ceng, kan dapat kau cegat dia di tengah jalan?”

“Tidak, rasanya aku tidak sabar lagi,” kata si kakek.

“Wah, sangat menyesal, karena orang yang kucari tidak berada di sana, terpaksa malam nanti tidak dapat kubantumu.”

“Ya, tidak apa-apa, bolehlah kau pergi!” ujar si kakek.

Melihat orang berubah sikap dan tidak menanggalkan baju bekas yang dipakainya dan berkata, “Jika begitu, maaf, kumohon diri lebih dulu.” Si kakek menatapnya dengan tajam dan berkata dengan nada mengancam. “Awas, jangan kau pergi ke sana dan memberitahukan padanya, jika terjadi demikian, tentu jiwamu pun akan kurenggut.”

“Locianpwe jangan khawatir, sama sekali tidak ada hubungan apa pun antara Sun Thian-tik denganku, untuk apa kuberi tahukan kepadanya?” sahut It-hiong.

Habis berucap demikian ia lantas meninggalkan hutan itu dan pulang ke tengah kota.

Setiba di hotel ia pesan pelayan menyediakan semangkuk mi babat, habis makan ia lantas tidur.

Nyenyak sekali tidurnya, waktu bangun ternyata sudah dekat tengah malam.

Meski dalam waktu begini masuk ke Liong-coan-ceng dirasakan terlampau dini, tapi ia memutuskan akan berangkat lebih pagi, sebab ia mencurigai orang yang ingin dicari si kakek sangat mungkin adalah Hiat-pit-siucay Hui Giok-koan, tujuannya bukan mustahil juga kotak hitam itu, sebab itulah ia tidak atau didahului orang.

Setelah ganti baju hitam, baju yang biasa digunakan untuk bekerja malam hari, ia selipkan pedang pandak yang dulu didapatnya dari Sun Thian-tik itu di pinggang, lalu membuka daun jendela, setelah yakin keadaan di luar sepi tiada orang, segera ia melompat keluar, melintasi pagar tembok belakang hotel terus menuju ke Liong-coan-ceng.

Hanya sebentar saja ia sudah sampai di kaki gunung dekat Liong-coan-ceng, ia tidak ingin kepergok si kakek berbaju kulit macan lagi, maka ia sengaja menyusup ke dalam hutan di sisi lain dan merunduk ke perkampungan itu.

Ia tiba di kaki tembok yang terletak agak jauh dari pintu gerbang, dengan ilmu “cecak merayap di tembok” ia merayap ke atas pagar tembok. Dilihatnya di dalam perkampungan terang benderang oleh obor, masih banyak orang yang bergerak kian kemari, ia menaksir bila sekarang juga menyelundup ke dalam akan sulit menyembunyikan jejak, maka ia mundur kembali ke dalam hutan dan mendekam di semak-semak yang lebat.

Tak terduga, baru saja ia berjongkok, segera didengarnya suara orang berjalan yang sangat perlahan dari tengah hutan di belakangnya. Dari suaranya dapat diduga terdiri dari dua orang pejalan malam.

Cepat It-hiong bersembunyi dengan menahan napas, sedikit pun tidak berani bergerak, diam-diam ia terkesiap, “Buset! Rupanya selain aku dan si kakek berbaju kulit macan itu masih banyak pula orang lain yang hendak menyusup ke sana.”

Tengah berpikir, suara kaki orang sudah sangat dekat, dilihatnya beberapa langkah di sebelah kiri sana muncul dua orang pejalan malam.

Sekali pandang dan tahu siapa mereka, hati It-hiong tambah terkejut, pikirnya, “Sungguh aneh, mengapa mereka pun datang ke sini?”

Kiranya kedua orang ini tak-lain-tak-bukan ialah Kim-kong Taysu dan Koh-ting Tojin adanya.

Kim-kong Taysu tetap membawa senjata tongkat dan Koh-ting Tojin tidak lagi membawa wajan antiknya, melainkan cuma memegang sebatang kebut bulu. Dengan langkah enteng mereka menerobos keluar hutan serupa Liong It-hiong, mereka pun menggunakan ilmu cecak merayap untuk merambat ke atas pagar tembok dan melongok keadaan di dalam perkampungan.

Habis itu, sama juga kelakuan Liong It-hiong, mereka menyurut mundur lagi ke dalam hutan.

Kim-kong Taysu duduk di bawah pohon, ucapnya lirih, “Masih dini, biarlah kita duduk sementara waktu di sini.”

Koh-ting Tojin ikut duduk di sebelah Kim-kong Taysu, ia pun mendesis, “Tadi tentunya Taysu melihat seorang centeng membawa semangkuk makanan ke dalam sebuah ruangan.”

“Ya, kulihat,” Kim-kong Taysu mengangguk.

“Melihat gelagatnya, Wi Ki-tiu dan tetamunya masih asyik makan-minum,” kata Koh-ting Tojin.

“Ehmm,” Kim-kong Taysu bersuara perlahan.

“Kau kira Wi Ki-tiu mengetahui atau tidak tentang kotak hitam yang dirampas Hui Giok-koan itu?” tanya Koh-ting dengan tersenyum.

“Entah, sebaiknya dia belum tahu,” ujar Kim-kong Taysu.

“Jika dia tahu, menurut pendapatmu, apa yang akan dilakukannya?”

“Hm, masa perlu dijelaskan lagi, tentu dia akan menahan orang she Hui itu dan memaksa dia menyerahkan kotak pusaka itu.”

“Jika terjadi demikian, mungkin kita harus lebih banyak membuang tenaga lagi,” ujar Koh-ting sambil meraba jenggotnya.

Kim-kong Taysu mengangguk sependapat. Mendengar sampai di sini, timbul rasa kejut dan heran dalam hati It-hiong, pikirnya. “Sungguh aneh, dari mana mereka mendapatkan berita ini sedemikian cepat? Padahal tentang direbutnya kotak hitam itu oleh Hui Giok-koan hanya diketahui aku dan Pang Bun-hiong berdua, lalu dari mana mereka mendapatkan kabar ini? Selain tahu Hui Giok-koan berhasil merampas kotak hitam itu, malahan mengetahui pula kedatangan Hui Giok-koan ke Liong-coan-ceng sini dan segera menyusul kemari.”

Belum habis terpikir, terdengar Koh-ting Tojin berkata pula, “Menurut penglihatanku, keparat she Wi itu resminya saja mengundurkan diri, tapi dia tetap bercokol di wilayah kekuasaannya serta membagi rezeki dengan begundalnya. Kuyakin dia pasti juga sudah menerima berita tentang kotak hitam yang direbut Hui Giok-koan itu.”

“Jika begitu, malam nanti dia tentu akan bertindak terhadap orang she Hui,” ujar Kim-kong Taysu.

“Untungnya orang she Hui itu tidak selalu membawa kotak pusaka itu sehingga masih besar harapan kita akan mendapatkannya,” kata Koh-ting Tojin.

Kim-kong Taysu tersenyum, “Dari mana Toheng mengetahui dia tidak membawa kotak hitam itu?”

“Hal ini dapat kupastikan, mutlak dia tidak berani membawa kotak itu dan berkeluyuran kian kemari,” jawab Koh-ting sambil meraba jenggot pula, lalu menyambung dengan tersenyum penuh keyakinan, “Apa pun juga, akhirnya kotak pusaka itu pasti akan kita dapatkan.” Kembali Kim-kong Taysu tersenyum, “Mungkin Miau-lolo dan Sun Thian-tik berdua juga sudah mendapat kabar, kedua orang ini agak sulit dihadapi.”

“Tapi mereka berdua pasti takkan bergabung untuk operasi bersama seperti kita,” kata Koh-ting Tojin. “Maka biarpun mereka datang kemari, tetap kita lebih unggul.”

Kim-kong Taysu memandang pagar tembok yang mengelilingi Liong-coan-ceng itu, katanya, “Kapan kita akan masuk ke sana?”

“Sebentar lagi, tunggu setelah mereka tidur,” jawab Koh-ting Tojin.

“Padahal kukira kita tidak perlu bertindak secara sembunyi- sembunyi begini,” ujar Kim-kong Taysu. “Lebih baik kita datang saja terang-terangan ke sana dan membekuknya, kan beres?”

“Tidak, jangan,” kata Koh-ting. “Soalnya bukan kutakut Wi Ki- tiu akan ikut campur, tapi kita harus menjaga gengsi, betapa pun kita berdua dalam pandangan orang persilatan kan bukan kaum bandit atau penjahat umumnya?”

Kim-kong Taysu tersenyum, katanya, “Tapi tindak tanduk kita sekarang masa ada bedanya dengan kaum bandit atau penjahat?”

Koh-ting Tojin angkat pundak, “Memangnya engkau Kim-kong Taysu yang termasyhur berharap dipandang orang sebagai bandit?”

“Asalkan bisa mendapatkan kotak pusaka itu, jangankan akan dipandang orang sebagai bandit atau penjahat, biarpun nanti harus masuk neraka juga kurela,” ucap Kim-kong Taysu. “Ya, aku juga sependapat denganmu,” ujar Koh-ting. “Tapi bilamana kotak itu dapat kita rebut tanpa diketahui siapa pun kan terlebih baik buat kita?”

Kim-kong Taysu tidak membuka mulut lagi, tampaknya ia memejamkan mata sedang mengheningkan cipta.

Koh-ting Tojin lantas bangun dan menuju keluar hutan, kembali ia merambat pagar tembok dengan ilmu cecak merayap, sejenak kemudian setelah melongok keadaan dalam perkampungan itu, ia mundur kembali ke tempat semula dan berkata, “Sontoloyo! Sudah jauh malam mereka masih makan- minum.”

Kim-kong Taysu tetap duduk dengan mata terpejam, ucapnya, “Biarkan saja, sebaiknya kalau mereka minum sampai mabuk sehingga lupa daratan, dengan begitu tindakan kita nanti bisa berjalan lancar.”

“Tampaknya di sana-sini cahaya lampu sudah dipadamkan, kukira kita sudah boleh mulai bergerak,” kata Koh-ting.

Mendadak Kim-kong Taysu membuka mata, “Toheng tidak sabar lagi dan ingin masuk ke sana tanpa menunggu setelah mereka tidur?”

“Jika kita masuk ke sana sekarang, kan dapat pula mendengarkan apa yang dipercakapkan mereka,” ujar Koh- ting Tojin. “Soalnya aku merasa sangsi orang yang makan minum bersama Wi Ki-tiu itu sangat mungkin tidak cuma seorang Hui Giok-koan saja.”

Kim-kong Taysu termenung sejenak, lalu berdiri dan berkata, “Baik, mari kita berangkat sekarang!” Begitulah kedua orang lantas keluar hutan dan merayap ke atas pagar tembok, setelah memeriksa keadaan sejenak, mereka terus melompat ke balik tembok sana.

Melihat kedua orang itu sudah menyusup ke dalam Liong- coan-ceng, It-hiong tidak menjadi cemas atau gelisah karena ketinggalan, sebaliknya ia rada senang malah, sebab dengan masuknya Koh-ting dan Kim-kong ke Liong-coan-ceng lebih dulu serupa juga dia mengirim dua pengintai yang akan mencarikan jalan baginya.

Siapa duga, baru saja timbul pikiran demikian, sekonyong- konyong terdengar suara bende dibunyikan bertalu-talu di dalam perkampungan luas itu.

Berbareng itu lantas ada orang berteriak-teriak, “Maling, maling. Tangkap maling, tangkap!”

“Itu dia, di sana, jangan sampai lolos!” “Kepung dia, bekuk dan hajar dia!”

Begitulah suara orang ramai disertai gonggong anjing di sana- sini.

Tentu saja It-hiong melengak. Padahal kepandaian Kim-kong Taysu dan Koh-ting Tojin sudah pernah dilihatnya, kalau cuma soal menyusup ke dalam perkampungan saja tidak mungkin begitu saja kepergok orang. Tapi sekarang baru saja mereka masuk ke sana seketika lantas kepergok, sungguh sukar dimengerti.

Malahan segera dilihatnya Koh-ting dan Kim-kong berdua buru-buru melintasi pagar tembok lagi dan cepat menyusup kembali ke dalam hutan dan bersembunyi di balik semak- semak yang lebat. Diam-diam It-hiong tertawa geli melihat kelakuan mereka, pikirnya, “Manusia memang tidak boleh berbuat busuk.

Contohnya kedua tokoh kelas tinggi yang berlainan agama ini, Kungfu mereka cukup memenuhi syarat untuk menjadi guru besar suatu aliran tersendiri, semuanya perkasa dan lihai, tapi begitu digembori orang sebagai ‘maling&;#8217;, seketika mereka pun ketakutan dan lari sipat kuping.”

Tengah berpikir, terdengar suara teriakan tangkap maling perlahan mulai bergeser menjauh ke sebelah sana, mungkin maling yang kepergok orang kampung itu bukan Kim-kong Taysu dan Koh-ting Tojin berdua, maka tidak mengejar ke jurusan sini.

Sebentar lagi suara teriakan pun mulai berhenti, agaknya malingnya keburu kabur, pemburuan pun dihentikan.

Segera It-hiong teringat kepada si kakek berbaju kulit macan tutul, pikirnya, “Ah, jangan-jangan kakek itu yang kepergok ketika menyusup ke dalam kampung? Tapi jelas dia juga bukan tokoh sembarangan mengapa begitu gampang kepergok peronda kampung?”

Baru saja ia berpikir demikian, dilihatnya Kim-kong Taysu dan Koh-ting Tojin telah merangkak keluar dari tempat sembunyinya, air muka kedua orang sama mengunjuk rasa bingung dan sangsi sambil memandang pagar tembok di luar hutan sana.

“Memangnya terjadi apa?” ucap Kim-kong Taysu dengan kening bekernyit.

“Siapa tahu?” jawab Koh-ting sambil menyengir kikuk. “Maling yang hendak mereka tangkap mungkin bukan kita berdua,” ujar Kim-kong.

“Ya,” Koh-ting mengangguk. “Aku memang juga lagi heran, masa baru saja kita melompat turun ke situ, seketika suara bende berbunyi, apakah mungkin maling yang kepergok mereka itu bukan kita berdua ”

“Bisa jadi,” ujar Kim-kong Taysu. “Maling macam apa yang begitu besar nyalinya sehingga berani menggerayangi Liong- coan-ceng?”

“Ya, memang maling luar biasa,” tukas Koh-ting Tojin.

Gemerdep sinar mata Kim-kong Taysu, katanya, “Jangan- jangan ada tokoh dunia persilatan lain yang juga datang kemari dengan maksud tujuannya yang sama seperti kita?”

“Betul, sangat mungkin,” kata Koh-ting.

“Jika benar demikian, malam ini kita jangan harap lagi akan dapat masuk ke Liang-coan-ceng,” ucap Kim-kong Taysu.

“Maksudmu?” tanya Koh-ting Tojin.

“Setahuku, penghuni Liong-coan-ceng kecuali Wi Ki-tiu dan beberapa orang kepercayaannya, hampir seluruhnya tidak mahir ilmu silat, mana bisa mereka memergoki orang yang menyusup ke sana di tengah malam buta?”

“Bisa jadi kepergok secara kebetulan,” ujar Koh-ting Tojin.

“Tidak,” kata Kim-kong Taysu. “Menurut dugaanku, tentu karena Wi Ki-tiu sudah tahu lebih dulu malam ini bakal kedatangan orang persilatan yang akan mencari perkara padanya, maka lebih dulu ia sudah mengatur persiapan.” “Wah, jika begitu, kita benar-benar tidak dapat masuk ke sana,” kata Koh-ting dengan kening bekernyit.

“Menurut pendapatku, bilamana Wi Ki-tiu tahu orang she Hui mendapatkan kotak pusaka dan menahannya di situ, kita tetap ada harapan akan merampas kotak itu,” tutur Kim-kong  Taysu. “Sebab kalau Wi Ki-tiu mendapat tahu tempat kotak pusaka itu disembunyikan, tentu dia sendiri akan pergi mengambilnya. Dan kita cukup menguntitnya secara diam- diam, begitu dia mendapatkan kotak itu, segera kita muncul merampasnya, kan cepat dan mudah?”

“Maksud Taysu malam ini kita tidak perlu masuk ke sana untuk menyelidiki?”

“Ya, kita sembunyi saja di luar sini dan diam-diam mengawasi gerak-gerik Wi Ki-tiu.”

Koh-ting Tojin berpikir sejenak, katanya kemudian dengan mengangguk, “Begini pun baik, kupercaya paling lambat esok pagi urusan pasti akan ketahuan dengan jelas. Jika besok orang she Hui meninggalkan Liong-coan-ceng tanpa terjadi sesuatu, dia yang akan kita buntuti, sebaliknya kalau yang meninggalkan perkampungan itu ialah Wi Ki-tiu sendiri, kita pun akan menguntit dia.”

“Betul,” kata Kim-kong Taysu. “Sekarang kita menunggu saja di jalan kecil sana.”

Habis bicara ia lantas mendahului merunduk ke jalan batu kecil itu.

Cepat Koh-ting menyusul ke sana, hanya sekejap saja kedua orang lantas menghilang di balik kerimbunan hutan.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar