Jilid 05
Serangan ini selain ganas dan sakti, juga aneh bukan kepalang.
Paras muka gadis berbaju merah berubah hebat, kakinya segera memainkan langkah tujuh bintang, dalam waktu singkat dia sudah mundur sejauh beberapa kaki.
Begitu nona berbaju merah mundur, dia sama sekali tak memberi peluang bagi Bong Thian-gak untuk menguasai keadaan lagi, telapak tangannya diayunkan ke depan, kesepuluh jari tangannya dibentangkan dan langsung menyentil ke depan, secara tepat dia menerjang ke muka dan mengancam sepuluh jalan darah penting di tubuh Bong Thian- gak.
Serangan balasan itu dilancarkan dengan kecepatan bagaikan sambaran kilat.
Bong Thian-gak menjerit kaget, tubuhnya segera berkelit ke samping secara aneh, kemudian mundur sejauh tujuh- delapan kaki.
"Apakah nona anak murid Mi-tiong-bun?" serunya dengan wajah terperanjat.
Nona berbaju merah tersenyum, "Tadi sewaktu kau melepaskan pukulan untuk membinasakan Sam-kaucu, aku lihat di balik pukulanmu itu kau sembunyikan juga ilmu sakti dari Mi-tiong-bun yang disebut Tat-lay Lhama Sin-kang, kalau begitu kau pun anak murid Mi-tiong-bun dari Tibet?"
Bong Thian-gak benar-benar terkejut, segera tanyanya dengan suara dalam, "Sebenarnya nona murid siapa? Cepat utarakan atau aku akan turun tangan keji kepadamu."
"Sekali pun kau berhasil mencuri belajar ilmu Tat-lay Lhama Sin-kang dari Mi-tiong-bun, bukan berarti kau pasti dapat membunuhku, buat apa kau mendesak orang terus-menerus?"
Setelah menyaksikan dua gebrakan yang barusan berlangsung dan mendengarkan tanya-jawab kedua orang itu, paras muka Ho Put-ciang dan Thia Leng-juan berubah hebat.
Perlu diketahui, ilmu silat Mi-tiong-bun dari Tibet selamanya hanya diwariskan kepada kaum Lhama, selama ratusan tahun ini mereka tak pernah menurunkan kepandaian itu kepada orang lain.
Tapi kenyataan hari ini ada dua orang preman yang dapat mempergunakan ilmu sakti Mi-tiong-bun, tidak heran mereka jadi terperanjat bercampur keheranan.
Bong Thian-gak sendiri semenjak mengetahui gadis berbaju merah memiliki kepandaian silat ajaran Mi-tiong-bun, paras mukanya segera berubah menjadi serius dan berat.
Dalam waktu singkat sepasang tangannya sudah disilangkan di depan pusar, kemudian sambil memejamkan mata rapat-rapat dia berdiri diam.
Sebenarnya gadis berbaju merah itu pun bersikap acuh tak acuh, namun setelah menyaksikan cara Bong Thian-gak itu, rasa tegangnya segera menyelimuti wajahnya, cepat telapak tangannya satu di depan yang lain di belakang disilangkan di depan dada, sementara kakinya pun Iurus bergeser ke arah samping kiri, sementara sorot matanya yang tajam tiada hentinya mengawasi wajah Bong Thian-gak. Dari sikap Bong Thian-gak yang berdiri tegak bagai batu karang, Hu Put-ciang dan Thia Leng-juan segera tahu serangan yang hendak dilancarkan pemuda itu pasti semacam kepandaian sakti yang maha dahsyat.
Ketika memandang pula ke arah gadis berbaju merah itu, dia pun teIah menghimpun seluruh kekuatan dan tenaganya untuk bersiap sedia, tampaknya dia tahu jurus serangan yang hendak dilepaskan Bong Thian-gak itu merupakan jurus serangan yang menakutkan.
Bong Thian-gak memejamkan mata, tetapi ia terus mengikuti pergeseran badan si gadis berbaju merah itu, tampaknya dia sudah mengincar korbannya secara jitu dan telak.
Suasana tempat itu diliputi keheningan, hawa membunuh yang mengerikan membuat suasana terasa menegangkan.
Sepasang kaki nona berbaju merah sudah saling silang, bagaikan siput yang berjalan saja, pelan-pelan dia bergeser menuju ke arah sebelah kiri, wajahnya telah basah oleh butiran keringat sebesar kacang kedelai.
Tampaknya gerakan semacam itu cukup memeras tenaga maupun pikiran kedua belah pihak.
Mendadak terdengar gadis berbaju merah menghela napas sedih, kemudian ujarnya, "Sudahlah, kita tak usah bertarung lebih jauh, aku mengaku kalah saja!"
Sembari berkata dia segera menarik kembali sepasang telapak tangannya.
Akan tetapi Bong Thian-gak masih tetap memejamkan mata rapat-rapat. Seluruh pikiran, perasaan dan hawa murninya telah terhimpun menjadi satu, dia tak menjawab atau pun bergerak.
Menyaksikan keadaan itu, paras nona berbaju merah itu berubah hebat, tampaknya dia terkejut bercampur takut, segera serunya lagi, "Untuk bertanding, biasanya orang hanya membatasi sampai saling menutul saja, apakah kau baru puas setelah membinasakan diriku?"
Ho Put-ciang dan Thia Leng-juan yang mendengar perkataan itu mengerut dahinya rapat-rapat, mereka berdua saling pandang sekejap, kemudian bibir bergerak seperti hendak mengucapkan sesuatu, tapi akhirnya niat itu diurungkan.
Keadaan Bong Thian-gak waktu itu tak jauh berbeda dengan seorang pendeta yang sedang bersemedi dan lupa segala-galanya, dia seperti tidak mendengar perkataan gadis berbaju merah itu.
Melihat hal itu, nona berbaju merah terkejut bercampur gugup, mendadak saking gelisahnya, dia langsung menangis tersedu-sedu, serunya dengan suara iba, "Kau jangan membunuh aku, kau jangan membunuh diriku ... cepat kau tarik kembali seranganmu itu "
Perubahan ini membuat Ho Put-ciang dan Thia Leng-juan bingung setengah mati, "Benarkah Bong Thian-gak hendak membunuhnya? Sekali pun nona ini adalah anggota Put-gwa- cin-kau, tidak seharusnya dia membinasakan dirinya?”
Isak tangis nona berbaju merah makin memilukan, bagaimana pun juga suara tangisan gadis cilik memang gampang membangkitkan perasaan iba orang lain.
Siapa pun yang menyaksikan kejadian ini, lambat-laun hatinya akan menjadi lembek juga.
Akhirnya Ho Put-ciang menghela napas panjang, serunya, "Ko-siauhiap, tariklah kembali ilmumu itu!"
Ketika mendengar suara Ho Put-ciang itulah Bong Thian- gak membuka kembali sepasang matanya.
Tapi di saat yang sangat singkat itulah mendadak nona berbaju merah melejit ke tengah udara, kemudian dengan gerakan yang amat cepat bagaikan sambaran kilat dia berkelebat melalui atas kepala Thia Leng-juan dan melarikan diri dari situ.
Bong Thian-gak membentak, sepasang telapak tangannya dari kiri kanan segera diayun ke tengah udara melepaskan pukulan dahsyat.
Terasa segulung angin lembut berhembus, tahu-tahu gadis berbaju merah sudah berada sejauh tujuh-delapan tombak, kemudian dengan sekali lompatan, bayangan tubuhnya sudah lenyap di balik kegelapan sana.
Bong Thian-gak menjadi gusar, segera ia menyumpah, "Aku sudah tahu dia bakal kabur, ternyata akhirnya termakan juga oleh siasat busuknya!"
Ho Put-ciang dan Thia Leng-juan sekali lagi saling pandang sekejap, mereka saling membungkam, sementara paras mukanya dilapisi rasa malu dan menyesal.
Setelah menghela napas panjang, kata Ho Put-ciang, "Semuanya gara-gara aku, coba kalau aku tidak iba, tak mungkin dia dapat lolos dari sini, aku benar-benar telah berbuat salah, aku telah membuat Ko-siauhiap kecewa."
Bong Thian-gak menghela napas panjang, setelah ditatapnya wajah Ho Put-ciang dan Thia Leng-juan sekejap, katanya kemudian, "Ho-hengcu tak usah terlalu menyalahkan diri sendiri, ya, sesungguhnya rengekannya memang amat memelas hati, sekali pun orang yang berhati baja pun pasti akan iba mendengarnya, ai ... tiap anggota Put-gwa-cin-kau rata-rata licik bagaikan rase, nampaknya dunia persilatan benar-benar sudah terancam oleh mara bahaya besar."
"Ko-heng, apa kau yakin perempuan tadi anggota Put-gwa- cin-kau?" tanya Thia Leng-juan dengan wajah serius.
Bong Thian-gak menggeleng, "Aku tak berani memastikan, tapi sembilan puluh persen dia adalah orang penting dalam Put-gwa-cin-kau, bila dugaanku tidak keliru, gadis berbaju merah yang masih muda belia tadi adalah Kiu-kaucu."
Thia Leng-juan menghela napas, "Ai, kalau begitu percuma saja kita membunuh Sam-kaucu, mata-mata dalam Bu-lim Bengcu-hu juga tak bisa dibasmi secara tuntas!"
Bong Thian-gak turut menghela napas, "Ai, semua ini gara- gara diriku yang kurang tegas, coba kalau aku tega melancarkan serangan ganas, tak mungkin dia kabur dari sini. Yang penting sekarang kita harus segera kembali dulu ke gedung Bu-lim Bengcu dan menceritakan segala peristiwa ini kepada Ku-lo Locianpwe, kemudian kita baru berunding menyusun rencana berikutnya."
Maka ketiga orang itu pun segera mengerahkan ilmu meringankan tubuh kembali ke gedung Bu-lim Bengcu.
Waktu itu sudah mendekati tengah malam, Ho Put-ciang, Thia Leng-juan dan Bong Thian-gak langsung menuju ke loteng di sebelah timur.
Baru saja mereka bertiga tiba di bawah loteng, cahaya lampu sudah muncul dalam ruangan, tampak Ku-lo Sinceng telah menunggu di depan mulut tangga dengan wajah serius.
Ho Put-ciang bertiga pun membungkam, mereka buru-buru naik ke atas loteng.
Tampaknya Ku-lo Sinceng sudah tidak sabar menunggu lebih jauh, ia menegur, "Bagaimana dengan tugas kalian?"
Hu Put-ciang menghela napas panjang, "Ai, gara-gara Wanpwe bersikap teledor, usaha kita selama ini sia-sia belaka."
Dengan cepat keempat orang itu sudah duduk dalam ruang tamu, secara ringkas dan jelas Ho Put-ciang menceritakan semua peristiwa yang telah berlangsung kepada Ku-lo Sinceng. Selesai mendengar cerita itu, Ku-lo Sinceng memejamkan mata sambil termenung sejenak, kemudian pelan-pelan berkata, "Ho-hiantit sekalian berhasil membunuh Sam-kaucu, berarti usaha kalian sukses besar, mengapa dibilang usaha kalian sia-sia belaka? Gadis berbaju merah memang di luar dugaan siapa pun, tidak tahu bagaimana harus menghadapi, apalagi kalian telah mengerahkan segenap kemampuan."
Bong Thian-gak menghela napas, segera katanya pula, "Semakin Locianpwe tidak menegur, Wanpwe justru merasa semakin menyesal!"
Ku-lo Sinceng menggeleng kepala berulang kali, "Perkataan Ko-siauhiap kelewat serius, mengenai kemunculan gadis berbaju merah itu membuat Pinceng menemukan suatu petunjuk yang berharga sekali, mungkin petunjuk itu jauh lebih penting artinya daripada melenyapkan kaum mata-mata di gedung Bengcu ini."
"Kalian harus tahu, mata-mata yang diselundupkan ke dalam gedung Bengcu ini adalah orang pintar, tapi orang yang paling penting seperti Sam-kaucu yang menyaru sebagai Pinceng kini telah berhasil dilenyapkan, aku pikir sisanya sudah tidak mempunyai arti yang amat penting, sebab sisa mata-mata yang berada dalam gedung ini cepat atau lambat akan menampakkan wujudnya masing-masing dan berusaha kabur dari sini."
Dengan serius Thia Leng-juan bertanya, "Ku-lo Supek, kau telah berhasil menemukan petunjuk penting?"
Ternyata pendekar sastrawan dari Im-ciu ini adalah murid Sute Ku-lo Hwesio yang merupakan orang preman, oleh karena itu dia memanggil Supek kepada Ku-lo Hwesio.
Pendeta agung itu termenung sejenak, lalu berkata, "Asal kita dapat membuktikan gadis berbaju merah itu adalah anggota Put-gwa-cin-kau, ini membuktikan Cong-kaucu Put- gwa-cin-kau mempunyai hubungan yang sangat erat dengan perguruan Mi-tiong-bun di Tibet."
Bicara sampai di situ, Ku-lo Sinceng mengalihkan sorot matanya yang tajam ke wajah Bong Thian-gak, kemudian lanjutnya lebih jauh, "Ko-siauhiap, apakah kau dapat menerangkan dari siapa mempelajari ilmu sakti perguruan Mi- tiong-bun itu?"
Bong Thian-gak menghela napas sedih, "Dia adalah seorang kakek penyendiri yang keempat anggota tubuhnya cacat, Wanpwe tidak tahu nama serta asal-usul orang tua itu, dia memiliki ilmu silat sangat hebat, hampir semua ilmu berbagai perguruan dapat diyakinkan olehnya."
"Dia orang tua sudah meninggal dunia, Wanpwe berkumpul selama tujuh tahun lamanya dengan orang itu, dia meninggal pada tiga bulan berselang."
"Tokoh sakti itu sudah cacat keempat anggota badannya, tapi Ko-siauhiap yang cuma menerima pelajaran teori darinya pun sudah berhasil memiliki kepandaian silat begini sempurna, sudah jelas ilmu silat orang itu hebat sekali," kata Ho Put- ciang.
Bong Thian-gak tersenyum.
"Sebelum aku bertemu dengannya, aku sudah pernah berguru selama belasan tahun, oleh karena itu meskipun hanya mendapat teori saja dari Suhuku yang kedua ini, sedikit banyak rahasia ilmu silatnya berhasil juga kupahami."
"Ko-siauhiap, tampaknya kemujuran orang memang tak dapat diminta, secara beruntun kau dapat memperoleh didikan dari dua orang guru kenamaan, hal itu patut diberi ucapan selamat."
Pelan-pelan Bong Thian-gak mengangkat kepala, lalu memandang sekejap ke arah Ku-lo Sinceng, katanya, "Semua perkataan yang Wanpwe ucapan adalah kata-kata jujur dan sama sekali tidak bohong. Tentang ilmu silat aliran Mi-tiong- bun, setahuku kepandaian mereka tak pernah diwariskan kepada orang luar, Wanpwe tahu jelas akan hal ini. Si kakek yang menyendiri itu pun bukan anak murid Mi-tiong-bun, namun ilmu silat yang diketahuinya sangat luas, bahkan ilmu sakti Siau-lim-pay juga diketahuinya dengan jelas."
"Wanpwe dan dia orang tua hidup bersama dalam gua di sebuah lembah, tujuh tahun lamanya hidup berdampingan, meski sudah kuusahakan dengan segala cara untuk mencari tahu asal-usul orang tua itu, namun usahaku itu tak pernah berhasil."
"Kalau begitu dendam Sicu terhadap Put-gwa-cin-kau merupakan masalah gurumu yang pertama?" tiba-tiba Ku-lo Sinceng bertanya.
Bong Thian-gak mengangguk, "Tepat dugaan Locianpwe." Ku-lo Sinceng menghela napas dalam-dalam.
"Ai ... apakah Sicu bersedia melukiskan bagaimanakah raut wajah orang sakti itu?" pintanya.
"Sewaktu aku bertemu dengan Suhuku yang kedua ini, dia sudah berdiam cukup lama di dalam gua itu, badannya sudah tersiksa hingga tinggal kulit pembungkus tulang, sehingga pada hakikatnya sukar untuk dilukiskan bagaimanakah raut wajahnya."
"Dia tak pernah menjelaskan cara bagaimana keempat anggota badannya itu menjadi cacat kepadamu?" tanya Ku-lo Sinceng dengan kening berkerut kencang.
Bong Thian-gak menghela napas panjang. "Sesaat sebelum meninggal, dia orang tua hanya
mengucapkan beberapa patah kata saja, 'Selama hidup Lohu
sudah banyak melakukan kejahatan, terpengaruh oleh napsu sendiri sehingga menggunakan cara yang keji dan licik untuk memperoleh nama, pahala dan kekayaan, tapi akhirnya tujuh puluh tahun hidupku hanya terkurung percuma ... ai dendam kesumat dalam Bu-lim memang tak pernah berakhir, hukum karma selalu berlaku atas dosa-dosaku ini, Lohu harus merasa tersiksa selama tiga puluh tahun, hukuman memang tak akan pernah terhindar dariku '."
Sampai di situ, Bong Thian-gak berhenti sejenak, lalu sambungnya lebih jauh, "Di saat dia menghembuskan napas yang penghabisan itulah dia orang tua berkata lagi padaku, 'Kau kau adalah orang kedua yang pernah mendapat
warisan ilmu silat dariku, semoga kau dapat baik-baik mempergunakannya '."
Thia Leng-juan menyela bertanya, "Siapakah orang pertama?"
Bong Thian-gak tertawa getir. "Bila aku mengetahui hal ini, berarti aku akan mengetahui asal-usul Suhuku yang kedua," jawabnya.
Pelan-pelan Thia Leng-juan menggelengkan kepala berulang-kali, giimamnya, "Tak kusangka di dunia ini terdapat banyak orang dan kejadian aneh."
"Di saat guruku yang kedua meninggal dunia, dia berusia tujuh puluh tahun, dari kata-katanya menjelang ajal, peristiwa tragis itu terjadi saat dia berusia tiga puluh tahun, keempat anggota badannya menjadi cacat dan harus hidup menyepi di gua kematian dalam lembah terpencil. Ku-lo Locianpwe, dapatkah kau merenungkan jago persilatan manakah yang mirip dengan pengalaman guruku yang kedua ini."
Di saat Bong Thian-gak selesai menuturkan pesan terakhir gurunya tadi, Ku-lo Hwesio sudah memejamkan mata termenung.
Tak lama kemudian, dia baru membuka matanya dan menjawab dengan suara dalam, "Jago persilatan yang paling termasyhur pada waktu itu adalah Bu-lim Bengcu Thi-ciang- kan-kun-hoan Oh Ciong-hu, lalu Pak-hiap (pendeta dari utara) Thian-kay Lojin, Say-pit-ceng Ih Hoan, Mo-kiam-sin-kun To Tian-seng serta perempuan paling cantik di wilayah Kanglam Ho Lan-hiang. "
Sampai di sini, kembali Ku-lo Hwesio memejamkan mata rapat-rapat, kemudian baru melanjutkan, "Dari kelima orang ini, hampir boleh dibilang mereka tidak pernah melakukan kejahatan besar, dari usia mereka, Say-pit-ceng Ih Hoan dan Mo-kiam-sin-kun Tio Tian-seng yang agak mendekati, lagi pula asal-usul mereka memang sangat misterius."
Mendengar ini, Bong Thian-gak segera mengerut dahi, katanya kemudian, "Mungkinkah Mo-kiam-sin-kun Tio Tian- seng? Tapi waktu Tio Tian-seng terjun ke dunia persilatan baru berusia dua puluh enam tahun, ditambah tiga puluh tujuh tahun berarti usianya sekitar enam puluh lima tahun!"
"Kalau dibilang Say-pit-ceng Ih Hoan," sela Ku-lo Hwesio, "pada tiga puluh tujuh tahun lalu dia telah berusia empat puluh tahun, berarti dia berusia tujuh puluh tahun lebih."
"Selain kelima orang ini, apakah masih ada orang yang pantas dicurigai?"
"Masih ada empat orang buas lagi, mereka adalah To-ci- kim-kong (Malaikat raksasa berjari tunggal) Lui Ko Hoatsu, Jian-bin-hu-li (Rase berwajah seribu) Ban Li-biau, Thian-san- him-ong (Raja beruang dari Thian-san ) Ho Lak serta Hiat-bin- mo (Setan muka darah) Si Jit-ciang "
"Tapi dari keempat orang itu, ada tiga orang di antaranya telah dibunuh oleh Suhu," timbrung Ho Put-ciang cepat.
"Siapakah di antara mereka yang tidak berhasil dibunuh Oh-bengcu almarhum?" cepat Bong Thian-gak bertanya.
"Jian-bin-hu-li Ban Li-biau!"
"Kejahatan apa saja yang pernah dilakukan olehnya?" Ku-lo Hwesio menghela napas sedih, katanya pelan, "Tiga puluh tujuh berselang, Ban Li-biau merupakan tokoh penjahat ulung dunia persilatan, selain memperkosa, membunuh, mencuri dan merampok dia pun sering melakukan perbuatan jahat lainnya, hingga menimbulkan amarah segenap umat persilatan waktu itu, semua orang bergabung untuk bersama- sama menghabisi orang ini "Bagaimana akhirnya?"
Ku-lo Hwesio menghela napas panjang, "Sama sekali tiada kabar beritanya."
"Mengapa?"
"Ban Li-biau berjuluk Jian-bin-hu-li, membuktikan kecerdikan dan kelicikannya, selain itu dia pun pandai menyaru dan berganti muka, jarang ada orang di Bu-lim yang pernah melihat wajah aslinya, mana mungkin orang dapat membekuknya untuk dijatuhi hukuman? Untung tiga puluh tahun lalu Jian-bin-hu-li sudah lenyap."
Bong Thian-gak menghela napas sedih, "Ai ... sungguh tidak kusangka Suhuku yang kedua adalah Jian-bin-hu-li Ban Li-biau!"
"Apakah Ko-siauhiap yakin akan dia?" tanya Ho Put-ciang. "Dari ucapan dia orang tua menjelang ajal serta rasa
tobatnya dari kejahatan yang pernah dilakukan, hal ini membuktikan dia adalah Jian-bin-hu-li Ban Li-biau "
Ku-lo Hwesio turut menghela napas, "Betul, guru kedua Ko- siauhiap mungkin sekali adalah Ban Li-biau, sebab kecuali dia, tiada orang kedua di dunia ini yang bisa dicurigai!"
"Sebenarnya Pinceng menduga Jian-bin-hu-li adalah Cong- kaucu Put-gwa-cin-kau, kalau dipikirkan sekarang, kemungkinan besar Cong-kaucu Put-gwa-cin-kau adalah orang lain." Ketika selesai mengucapkan perkataan itu, paras muka Ku- lo Sinceng kembali berubah serius dan kereng, jelas benak Ku- lo Hwesio sekarang sedang dipenuhi persoalan lain.
Karena kecurigaan atas Jian-bin-hu-li Ban Li-biau sebagai pentolan Put-gwa-cin-kau gugur, dia berusaha memeras otak dan menduga lagi siapa gerangan orang yang cocok untuk dicurigai sebagai pentolan Put-gwa-cin-kau itu.
Bong Thian-gak memahami perasaan Ku-lo Sinceng sekarang, maka dengan perasaan berat semua orang pun bungkam.
Selang beberapa saat kemudian, barulah terdengar Ku-lo Hwesio berkata dengan lembut, "Fajar sudah menjelang tiba, kalian bertiga pergilah beristirahat dulu!"
Ho Put-ciang bertanya, "Ku-lo Supek, tolong tanya perlukah kita mengumumkan kepada para jago tentang peristiwa Sam- kaucu itu?"
"Lebih baik kita merahasiakan dulu persoalan ini, tunggu sampai tiba kesempatan yang lebih cocok sebelum diumumkan."
"Tapi " Ho Put-ciang menunjukkan keraguannya.
"Kehadiran Ko-siauhiap dalam gedung Bu-lim Bengcu ini "
"Oya hampir saja Pinceng lupa, antara Ko-sicu dengan
para pendekar telah terjadi perselisihan padahal kehadiran
para pendekar ke gedung Bu-lim Bengcu pun hanya untuk berbela-sungkawa atas kematian Oh-bengcu, sedang jenazah Oh-bengcu pun telah diputuskan untuk disimpan dalam gedung es, Pinceng rasa para jago persilatan boleh membubarkan diri kembali ke rumah masing-masing, lebih baik besok siang kita umumkan segala sesuatunya pada mereka, di samping mengumumkan peristiwa Sam-kaucu, juga menjelaskan kepada para jago yang hendak menangkap Ko-siauhiap." "Ku-lo Supek, tolong tanya apa tindakan kita selanjutnya untuk menghadapi Put-gwa-cin-kau?" tanya Thia Leng-juan pula.
Ku-lo Hwesio menghela napas panjang, "Kini bencana telah meluas di seluruh dunia persilatan, terpaksa bertemu satu membunuh satu, kita berusaha terus menumpas mereka sampai ludes."
"Kalau memang demikian, bukankah Jit-kaucu kini berada dalam kota Kay-hong, mengapa kita tidak ke situ untuk membekuknya?"
Dengan suara dalam Ku-lo Hwesio berkata, "Mengenai Jit- kaucu, hampir Lolap lupa meninggalkan pesan, perempuan ini telah berhasil memiliki ilmu Soh-li-jian-yang-sin-kang, boleh dibilang kepandaiannya sudah tiada tandingan lagi di dunia ini, bila kalian bertemu dengannya, lebih baik menyingkir, jangan coba menghadapi dengan kekerasan."
Mendengar itu, Thia Leng-juan tertegun. "Supek, memangnya kita harus duduk diam menunggu kematian dan membiarkan Jit-kaucu datang mencari kita?" serunya.
Mencorong tajam mata Ku-lo Hwesio.
"Sudah delapan tahun lamanya Pinceng duduk menutup diri dalam ruangan, Lolap sudah bertekad menaklukkannya."
"Locianpwe, caramu menaklukkannya berarti kerugian besar bagi umat persilatan?" tiba-tiba Bong Thian-gak menimbrung dari samping.
Diam-diam Ku-lo Hwesio terperanjat mendengar perkataan itu, pikirnya kemudian, "Masa dia dapat menebak suara hati Lolap?"
Pada saat itulah Thia Leng-juan bertanya lagi, "Supek, apakah kau hendak menghadapi Jit-kaucu seorang diri?" "Menurut apa yang Lolap ketahui, di dunia dewasa ini tiada orang kedua yang bisa lolos dari pukulan Soh-li-jian-yang-sin- kang itu tanpa menemui ajal."
"Supek, kalau engkau harus bertarung melawan Jit-kaucu dan seandainya terjadi hal-hal yang tidak diinginkan " Thia
Leng-juan tak mampu melanjutkan kata-katanya, dia bungkam dengan sedih.
Ku-lo Hwesio tertawa getir, "Setelah melakukan penyelidikan selama delapan tahun, Pinceng percaya musuh pun takkan memperoleh keuntungan apa-apa."
Mendadak Thia Leng-juan bertanya lagi, "Apakah Supek telah menulis surat tantangan untuk berduel dengan Jit- kaucu? Harap Supek jangan merahasiakan persoalan ini kepada kami "
Begitu ucapan itu diutarakan, Bong Thian-gak dan Ho Put- ciang amat terperanjat, mereka membelalakkan mata lebar- lebar dan menanti jawaban Ku-lo Hwesio.
Agak emosi Ku-lo Hwesio menjawab, "Lolap tidak menulis surat tantangan terhadap Jit-kaucu, tetapi telah menetapkan hari kematian untuk Pinceng."
"Apakah maksud perkataanmu itu?" tanya Bong Thian-gak dengan terkejut.
Dari dalam sakunya Ku-lo Hwesio mengeluarkan sepucuk surat dan diletakkan di bawah sinar lentera, kemudian ujarnya, "Surat ini baru kuterima setengah jam sebelum kalian pulang kemari."
Sementara itu Ho Put-ciang, Thia Leng-juan dan Bong Thian-gak bersama-sama mengalihkan sorot matanya ke atas surat itu.
Di atas kertas tadi tercantum beberapa kalimat yang berbunyi: Kepada yang terhormat Ku-lo Taysu dari Siau-lim-si. Kematian Sam-kaucu merupakan tanggung-jawabku,
apabila Cong-kaucu menegur, akulah yang mendapat hukuman.
Oleh sebab itu kumohon kepada Taysu agar berbelas kasihan dengan mengakhiri hidupmu dalam tiga hari mendatang atau pada malam hari keempat aku akan datang merenggut nyawamu, Tertanda: Jit-kaucu Put-gwa-cin-kau
Selesai membaca surat itu, Ho Put-ciang bertiga menjadi gusar dan terkejut.
Sambil tertawa dingin Bong Thian-gak berkata, "Sungguh amat besar nada bicara orang ini!"
Thia Leng-juan termangu beberapa saat, kemudian tanyanya, "Dengan cara bagaimana surat ini disampaikan kemari?"
"Waktu itu Pinceng sedang duduk bersemedi di atas loteng, kudengar ada dua orang pejalan malam sedang melintas, menyusul dari balik jendela melayang masuk sepucuk surat.
Waktu itu Pinceng agak ragu sejenak, ternyata si pengantar surat itu telah pergi, Ginkangnya tak malu disebut sebagai jagoan wahid di kolong langit."
Bong Thian-gak berkerut kening.
"Ketika si nona berbaju merah Ni Kiu-yu melarikan diri, jaraknya dengan waktu kita pulang cuma setengah jam, bagaimana mungkin ia bisa melapor lebih dulu berita kematian Sam-kaucu ini kepada Jit-kaucu?" gumamnya.
Begitu nama Ni Kiu-yu disinggung, Ho Put-ciang dan Thia Leng-juan turut merasakan suatu keanehan. "Tatkala kalian sedang menuturkan pertarungan melawan Sam-kaucu tadi, Lolap sudah merasa curiga," kata Ku-lo Hwesio, "Mungkin Jit-kaucu juga turut menyaksikan terbunuhnya Sam-kaucu dari atas pagoda Leng-im-po-tah, namun dia tidak muncul, di saat kalian sedang berusaha menangkap gadis berbaju merah itu, dia berangkat ke gedung Bengcu."
Thia Leng-juan manggut-manggut.
"Ya benar, kemungkinan memang begitu, namun sewaktu kami kembali ke pagoda Leng-im-po-tah untuk menangkap gadis berbaju merah itu, sama sekali tidak kujumpai ada orang melarikan diri dari situ," serunya kemudian.
"Atau kemungkinan juga Jit-kaucu sudah tahu kita hendak turun tangan membunuh Sam-kaucu," kata Ku-lo Hwesio.
"Bukankah persoalan ini hanya diketahui kita berempat?
Siapa yang membocorkan rahasia ini?" tanya Bong Thian-gak.
"Tentu saja tak ada orang yang membocorkan rahasia itu. Mungkin jejak Lolap sudah diketahui oleh Jit-kaucu dan dia pun telah dapat membedakan mana yang asli dan mana yang gadungan!"
Bong Thian-gak menghela napas.
"Ai... benar. Dari tulisan Jit-kaucu, tampaknya dia sudah tahu kita berencana membunuh Sam-kaucu "
Ku-lo Hwesio berkata lebih lanjut, "Kehadiran gadis berbaju merah di pagoda Leng-im-po-tah pun sudah pasti bukan suatu peristiwa yang kebetulan, mungkin sekali sedang melaksanakan perintah Jit-kaucu untuk memberi bantuan, sayang kedatangannya terlambat satu langkah dan Sam-kaucu telah tewas dipukul Ko-siauhiap."
Ho Put-ciang menghela napas panjang. "Ai, kalau begitu tindakan kita melepas gadis berbaju merah dari Leng-im-po- tah merupakan suatu tindakan yang keliru besar," keluhnya. "Yang sudah lewat biarlah lewat, kita tak usah menyinggungnya! Sedangkan mengenai tantangan Jit-kaucu, Pinceng bermaksud untuk menghadapinya seorang diri, itulah sebabnya aku tidak berniat memberitahukan kepada kalian."
Bong Thian-gak merasa darah panas dalam dada bergolak keras, serunya kemudian, "Locianpwe, soal tantangan Jit- kaucu, biar Wanpwe saja yang mewakili."
Ku-lo Hwesio tersenyum.
"Ko-siauhiap gagah dan mempunyai ilmu tinggi, dengan masa depan panjang, selain Jit-kaucu jangan lupa, masih ada Cong-kaucu yang merupakan musuh kita paling tangguh."
"Supek, Tecu mohon agar akulah yang pergi memenuhi janji itu," pinta Thia Leng-juan.
Kembali Ku-lo Hwesio menggeleng kepala berulang-kali. "Thia-hiantit, ilmu silat yang kau miliki sekarang sudah
mencapai tingkatan luar biasa dan jauh mengungguli gurumu,
tapi ilmu pukulan Soh-li-jian-yang-sin-kang dari Jit-kaucu bukanlah ilmu silat biasa!"
"Ku-lo Supek, bagaimana rencanamu menyambut tantangan Jit-kaucu itu?" Ho Put-ciang bertanya.
Ku-lo Hwesio menggeleng kepala berulang-kali. "Pinceng jelas belum mengambil keputusan, tapi sudah
pasti dalam empat hari ini "
Berbicara sampai di sini, dia berhenti sejenak, kemudian lanjutnya, "Soal pertarungan Lolap melawan Jit-kaucu, harap kalian tak usah risau, terus terang Lolap sudah mempunyai rencana cukup matang."
"Jika Ku-lo Supek menghadapi musuh sendirian, bisa jadi musuh akan menggunakan cara kita membunuh Sam-kaucu
...." Mendengar perkataan Ho Put-ciang itu, paras muka Ku-lo Hwesio berubah hebat, selanya, "Pinceng pun telah mempertimbangkan hal ini, harap Ho-hiantit tak usah kuatir."
"Tapi aku benar-benar tidak tenang "
Kentongan kelima sudah berbunyi, dari luar jendela sana tampak cahaya api sudah memancar menembus kegelapan, malam yang panjang pun telah berakhir.
Pelan-pelan Ku-lo Hwesio bangkit, berjalan ke sisi jendela dan menarik napas panjang, kemudian pelan-pelan ujarnya, "Sejak Oh Ciong-hu menjabat sebagai Bu-lim Bengcu, dunia persilatan telah melewatkan masa yang tenang dan aman, namun setiap kejadian di dunia ini seakan-akan mempunyai masa berlaku, sebab Thian telah mengatur semua kejadian ini untuk kita. Sekali pun Lolap mungkin akan mati dalam pertarungan ini, namun setelah terjadinya perubahan di Bu- lim, sudah pasti akan muncul seorang penolong yang akan menenteramkan kekacauan dan melenyapkan semua kejahatan dari muka bumi "
Sampai di sini, dia membalikkan badan dan duduk kembali di atas kasurnya, setelah itu katanya lebih jauh, "Ko-siauhiap, Ho-hiantit, Thia-hiantit, kalian bertiga merupakan tonggak dunia persilatan di masa mendatang, jaya atau kacaunya dunia persilatan di kemudian hari, keadilan dan kebenaran di dunia ini tergantung pada perjuangan kalian, oleh sebab itu keselamatan kalian jauh lebih penting daripada orang lain, aku minta kalian jangan bertindak hanya karena dorongan emosi."
"Kalian harus tahu, seorang Tay-enghiong, Tay-ho-kiat banyak membutuhkan persyaratan, bukan terbentuk mengandal keberanian saja, contoh yang jelas, di masa Sam- kok dulu, Lu Poh paling berani, tapi dia berani tanpa disertai rencana yang matang sehingga tak lebih hanya seorang panglima kasar. Sebagai seorang Enghiong sejati dibutuhkan penyesuaian diri dengan keadaan, bisa maju bisa pula mundur, bisa keras bisa juga lunak, segalanya harus diatur dengan perencanaan jangka panjang yang sempurna."
Nasehat Ku-lo Hwesio ini kontan membuat beban pikiran Ho Put-ciang, Thia Leng-juan dan Bong Thian-gak semakin berat, lamat-lamat mereka merasakan suatu firasat jelek yang sudah menjelang datang di hadapan mereka.
"Nah, sekarang kalian boleh pergi beristirahat!" Ku-lo Hwesio mengakhiri kata-katanya.
Maka Ho Put-ciang bertiga pun memberi hormat kepada Ku-lo Hwesio dan mengundurkan diri, mereka menuju ke loteng sebelah barat.
Setelah masuk ke dalam ruang tamu, Pa-ong-kiong Ho Put- ciang yang pertama-tama berkata, "Ku-lo Supek telah memutuskan untuk menghadapi Jit-kaucu seorang diri, dari nada suaranya, dia orang tua telah bertekad untuk mengorbankan diri demi terwujudnya cita-cita yang luhur, sekarang bagaimana baiknya?"
"Yang kita kuatirkan Jit-kaucu merencanakan suatu pengeroyokan, atau menggunakan siasat busuk untuk mencelakainya," kata Thia Leng-juan mengemukakan pula rasa kuatirnya.
Pelan-pelan Bong Thian-gak berkata, "Yang perlu kita ketahui sekarang adalah kapan dan dimanakah Ku-lo Locianpwe menerima tantangan dari Jit-kaucu?"
"Bagaimana cara kita mengetahuinya?" keluh Ho Put-ciang sedih.
"Mulai sekarang, secara bergilir kita harus mengawasi gerak-gerik Ku-lo Locianpwe, bila ia menunjukkan suatu tindakan, kita harus segera mengetahuinya."
"Benar," kata Thia Leng-juan. "Dengan demikian bisa dicegah pihak lawan melakukan pengerubutan." Tapi Ho Put-ciang menggeleng kepala, ujarnya, "Mendengar nasehat terakhir Ku-lo Supek tadi, lamat-lamat aku punya firasat dia lelah menyadari bahwa pertempuran ini lebih banyak bahayanya bagi dia daripada keberuntungan "
Bong Thian-gak menghela napas, "Jauh pada delapan tahun berselang, Ku-lo Locianpwe pernah menerima serangan Jit-kaucu, mungkin selama delapan tahun ini dia orang tua telah menyelidiki dan mendalami ilmu untuk melawan Soh-li- jian-yang-sin-kang, kalau dia orang tua sampai menderita kekalahan di tangan Jit-kaucu, siapa lagi di Bu-lim dewasa ini yang mampu menandingi perempuan ini?"
"Bagaimana pun juga Jit-kaucu harus dilenyapkan, cepat atau lambat Ku-lo Locianpwe juga akan berhadapan dengannya, hanya soal waktu saja, mungkin pertarungan ini berlangsung jauh lebih awal."
"Thia-heng, Ko-siauhiap, harap kalian beristirahat dulu, biar aku yang mengawasi gerak-gerik Ku-lo Supek dari sini," ujar Ho Put-ciang kemudian.
"Ho-bengcu, bila kau ada urusan silakan saja, aku belum berminat tidur," sahut Bong Thian-gak.
Meskipun pertarungan sengit yang berlangsung semalam amat memeras tenaga dan semua orang merasa lelah sekali, tapi setiap orang sedang dicekam perasaan tegang dan berat, maka Bong Thian-gak bertiga sama sekali tidak beristirahat.
Tengah hari itu Ho Put-ciang mengumpulkan semua jago dunia persilatan beserta Toan-jong-hong-liu Yu Heng-sui dan Oh Cian-giok, untuk mengumumkan penyaruan Sam-kaucu sebagai Ku-lo Sinceng serta perubahan situasi dunia persilatan akhir-akhir ini.
Sebagai kesimpulan terakhir, para jago yang diwakili sembilan partai besar mengutus Goan-ko Taysu dari Siau-lim- pay, Ui-hok Totiang dari Bu-tong-pay, Wan-pit-kim-to (Golok emas berlengan monyet) Ang Thong-lam dari Tiam-jong-pay dan Hian-thian-koancu Yu Ciang-hong dari Khong-tong-pay untuk berdiam dalam gedung Bu-lim Bengcu guna membantu Ho Put-ciang membangun kembali pamor Bu-lim Bengcu atau persekutuan dunia persilatan.
Sedangkan yang lain kembali ke partai masing-masing untuk melaporkan keadaan kepada ketua masing-masing, di samping secara diam-diam membersihkan mata-mata Put- gwa-cin-kau yang menyusup dan meningkatkan kewaspadaan untuk menghadapi setiap bentrokan yang mungkin meletus dengan pihak Put-gwa-cin-kau.
Sejak itu sembilan partai dunia persilatan dalam sehari saja telah berubah menjadi kelompok kekuatan yang maha dahsyat dan sanggup menghadapi segala perubahan yang mungkin terjadi.
Mengenai tantangan Jit-kaucu kepada Ku-lo Sinceng, kecuali Bong Thian-gak, Thia Leng-juan dan Ho Put-ciang, yang lain tidak diberitahu.
Waktu berlalu dengan cepat, tiga hari sudah lewat, suasana dalam gedung Bu-lim Bengcu pun tenang, namun ratusan manusia yang berada dalam gedung itu tak sedikit pun merasa tenang.
Terutama Ho Put-ciang, Thia Leng-juan dan Bong Thian- gak, selama beberapa hari ini paras muka mereka kelihatan kusut dan sayu.
Ku-lo Hwesio dari Siau-lim-si juga tak pernah meninggalkan loteng sebelah timur barang selangkah pun selama tiga hari ini.
Bong Thian-gak bertiga berada di bangunan sebelah barat, dapat menyaksikan keadaan Ku-lo Hwesio dengan jelas, ia masih tetap duduk bersila di atas kasur duduknya dengan tenang. Matahari senja telah condong ke barat, kabut malam pun lambat-laun menyelimuti angkasa. Kini Ho Put-ciang, Thia Leng-juan dan Bong Thian-gak telah berkumpul di atas loteng sebelah barat.
Sambil menghela napas panjang, Ho Put-ciang berkata, "Malam ini Ku-lo Supek tidak memasang lentera, jelas hendak melakukan tindakan pada malam ini."
"Ya, batas waktu yang diberikan Jit-kaucu bagi Ku-lo Supek untuk bunuh diri akan berakhir tengah malam nanti," sambung Thia Leng-juan.
Mendadak Bong Thian-gak menyela, "Mulai sekarang, kita bertiga harus memisahkan diri mengawasi tempat itu dari tempat terpisah."
Maka mereka bertiga pun segera keluar. Mereka berdandan sebagai pengawal gedung dan berpencar melakukan pengawasan.
Bong Thian-gak berada di balik kegelapan di sudut gedung sebelah barat laut.
Malam ini rembulan memancarkan sinar terang, membuat suasana liilak terlalu gelap, pemandangan pada radius seratus kaki masih dapat terlihat dengan jelas.
Angin malam berhembus membawa udara dingin, malam pun semakin kelam.
Mendadak tampak sesosok bayangan orang berjalan melalui mangan sebelah utara, di bawah sinar rembulan, tampak kepala orang Itu gundul, tak salah lagi inilah kepala seorang pendeta.
Dengan gerakan enteng seperti burung walet, Bong Thian- gak segera melompat keluar dari tempat persembunyiannya dan melakukan penghadangan dari arah timur laut. Bukan hanya Bong Thian-gak saja yang melakukan penguntitan, Ho Put-ciang dan Thia Leng-juan yang berjaga di tenggara dan barat daya pun serentak mengerahkan Ginkangnya melakukan penguntitan.
Gerakan tubuh keempat orang itu cepat sekali, cekatan dan hati-hati. Sekali pun penjagaan dalam gedung Bu-lim Bengcu amat ketat, ternyata tak seorang pun di antara mereka yang mengetahui jejaknya.
Tak selang beberapa lama, mereka sudah keluar pekarangan gedung Bengcu.
Pada saat itulah bayangan orang yang sedang berlari di depan sana mempercepat gerakan tubuhnya menuju ke arah tenggara.
Setelah melakukan pengejaran sejauh satu li, akhirnya Bong Thian-gak, Ho Put-ciang dan Thia Leng-juan bertemu satu sama lain.
Di tengah pengejaran itu, mendadak Bong Thian-gak berseru tertahan, katanya, "Aneh, seandainya orang di depan sana adalah Ku-lo Locianpwe, mengapa dia berlari secara terang-terangan dan sama sekali tidak berusaha menyembunyikan diri?"
Rupanya Bong Thian-gak teringat tantangan Jit-kaucu atas diri Ku-lo Hwesio dirahasiakan terhadap orang lain, berarti gerak-geriknya pasti akan dilakukan dengan hati-hati sekali, paling tidak dia akan mencari tempat tertutup atau sering menengok ke belakang.
Tapi orang yang sedang berlari di depan sana tak pernah berhenti, langsung menuju ke arah hutan tanpa sangsi atau curiga.
Baru saja Bong Thian-gak mengemukakan hal itu, Ho Put- ciang dan Thia Leng-juan juga merasa orang di depan sedikit pun tidak mirip Ku-lo Sinceng. Akhirnya Ho Put-ciang berseru tertahan, "Aduh celaka, kita sudah termakan siasat memancing harimau turun gunung."
"Lantas siapakah orang di depan sana?" tanya Bong Thian- gak kemudian.
"Mungkin Goan-ko Taysu!" "Mari kita menyusulnya!"
Selesai berkata, mereka segera mempercepat langkah, seperti anak panah terlepas dari busur, tak lama telah berhasil menyusul di belakang orang itu.
Sementara itu orang di depan sana merasa jejaknya sedang diikuti, mendadak saja ia memperlambat gerak tubuhnya.
Bong Thian-gak, Ho Put-ciang, Thia Leng-juan bertiga segera melampaui orang itu sambil berpaling.
Tampak orang itu berwajah bulat, berkulit putih dan berwajah merah, mengenakan jubah abu-abu yang kedodoran dan panjang.
Siapa lagi orang ini kalau bukan Goan-ko Taysu?
Ketika Goan-ko Taysu menyaksikan Ho Put-ciang bertiga telah menyusul, sekulum senyuman segera menghiasi wajahnya, katanya, "Toa-supek Pinceng menyuruh aku meninggalkan gedung Bengcu secara diam-diam pada tengah malam ini menuju ke arah tenggara, katanya aku akan segera bertemu dengan Ho-bengcu sekalian, ternyata kalian bertiga datang tepat pada waktunya, entah ada urusan apa kalian memanggil Pinceng datang kemari?"
Ketika mendengar perkataan itu, Bong Thian-gak sekalian merasa gelisah bercampur geli.
Ho Put-ciang tidak menjawab pertanyaan Goan-ko Taysu, sebaliknya bertanya cemas, "Ko-siauhiap, bagaimana cara menyusul Ku-lo Supek?" Bong Thian-gak menghela napas panjang, "Di saat kita mengejar Goan-ko Taysu tadi, Ku-lo Locianpwe sudah pasti telah berangkat untuk memenuhi janji, kemana kita harus menemukannya sekarang?"
"Kita sekarang berempat, mari kita berpencar ke empat penjuru mencarinya, ya ... apa boleh buat, lebih baik kita mengadu untung " kata Thia Leng-juan kemudian.
Agaknya Goan-ko Taysu masih bingung dan tak habis mengerti akan duduknya persoalan, segera tanyanya, "Ho- bengcu, sebenarnya apa yang telah terjadi?"
"Sekarang waktu amat mendesak dan tidak mungkin diceritakan, mari kita berpencar mencari Ku-lo Supek, begitu menemukan jejaknya kita harus membantunya secara diam- diam."
"Baik," sambung Thia Leng-juan, "Kita pakai gedung Bu-lim bengcu sebagai pusat, mari kita berpencar."
Selesai berkata dia membalik tubuh dan berlalu lebih dulu. Ho Put-ciang segera melakukan pencarian ke arah utara.
Kini tinggal Bong Thian-gak dan Goan-ko Taysu yang masih berdiri tak berkutik.
Melihat itu, Goan-ko Taysu segera bertanya, "Ko-sicu hendak mencari ke arah mana?"
"Ke arah selatan!"
Selesai berkata, dia lantas berangkat menuju ke arah barat.
Sepeninggal semua orang, Bong Thian-gak mendongakkan kepala memandang letak bintang, lalu menyapu pandang sekeliling tempat itu, akhirnya dia bergumam, "Ku-lo Sinceng memerintahkan Goan-ko menuju ke tenggara, menanti kita merasa tertipu dan balik kembali kalau begitu tempat yang
dituju kalau bukan timur pasti selatan. Ke arah timur menuju ke pantai pesisir, sedang ke arah selatan merupakan kuburan dan dataran bukit... ah, betul! Sudah pasti tempat itu."
Selesai bergumam Bong Thian-gak segera mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya yang sempurna menuju ke selatan.
Ilmu meringankan tubuhnya sangat sempurna, tak lama kemudian dia telah menempuh perjalanan sejauh puluhan li dan tiba di sebuah tanah berbukit-bukit.
Sejak kecil Bong Thian-gak hidup di kota Kay-hong, maka dia pun tahu tempat ini bernama Kui-thau-nia (Tebing kepala setan).
Sejauh mata memandang, di sana-sini hanya berupa tanah berbukit yang tinggi rendah tak menentu, berlapis-lapis memanjang ke arah selatan, tiap tebing berketinggian hampir tiga puluh kaki dengan bentuk seperti kepala manusia, oleh sebab itulah tebing itu dinamakan Tebing kepala setan.
Bong Thian-gak ragu sejenak, akhirnya dia mengerahkan Ginkang menuju tebing paling tinggi dari Kui-thau-nia, dari tempat ketinggian itulah dia mencoba memeriksa keadaan di sekitar sana.
Sinar rembulan yang memancarkan sinar lembut membantu penerangan sekitar sana, tapi suasana di sekeliling Kui-thau- nia amat sepi bagaikan kota mati saja.
"Mungkinkah aku salah menduga?" Bong Thian-gak berpikir.
Tapi ia segera berpikir lagi, "Tapi selain tempat ini, di sebelah selatan tak terdapat tempat lain yang cocok untuk melangsungkan pertarungan."
Sementara dia masih tertegun dan berdiri termangu, mendadak dari arah bukit sebelah utara Bong Thian-gak menyaksikan ada sesosok bayangan orang sedang meluncur datang dengan kecepatan tinggi. Waktu itu Bong Thian-gak sudah memilih tempat persembunyian, matanya mengawasi pendatang itu tanpa berkedip.
Sementara pendatang itu semakin mendekati bukit Kui- thau-nia.
Ternyata pendatang ini tak lain adalah Ku-lo Sinceng dari kuil Siau-lim-si.
Ku-lo Hwesio mengenakan baju berwarna kuning, tasbihnya tergantung di depan dada, tangannya memegang Hud-tim dan berjalan naik ke atas bukit dengan langkah amat tenang.
Ku-lo Hwesio yang bermata tajam memandang sekejap ke sekeliling tempat itu, kemudian berjalan ke tanah rumput dan duduk bersila di sana.
Tempat persembunyian Bong Thian-gak berada di belakang batu karang di sebelah kiri Ku-lo Hwesio, di depan batu cadas itu kebetulan tumbuh dua batang pohon pinus yang rendah sehingga menutupi batu karang tadi.
Bong Thian-gak menyangka Ku-lo Hwesio baru akan muncul pada saat ini, ketika ia mencoba mendongakkan kepala, tengah malam baru lewat seperempat jam, ia tak tahu jam berapakah Jit-kaucu menantang Ku-lo Hwesio untuk bertarung di sini?
Sementara itu Ku-lo Hwesio sudah duduk bersila di situ sembari bersemedi, Bong Thian-gak juga tak berani bertindak sembarangan, dia tahu saat Ku-lo Sinceng bersemedi, telinganya yang tajam dapat menangkap suara napas yang berada dua puluh kaki sekitar tempat itu.
Maka Bong Thian-gak segera menggunakan ilmu Kui-si- hoat (ilmu napas kura-kura) dengan menempelkan diri di batu cadas itu.
Waktu berlalu detik demi detik, menit demi menit ... tengah malam lewat... jam satu tiba .... Jam satu lewat, jam dua pun menjelang ... akhirnya malam yang panjang akan berakhir.
Diam-diam Bong Thian-gak berpikir, "Aneh, mengapa Jit- kaucu belum juga datang? Atau mungkin Ku-lo Hwesio akan menunggu seharian di sini?"
Belum habis ingatan itu melintas, di keheningan yang mencekam di Kui-thau-nia, mendadak berkumandang suara teguran dingin bagai es, "Ku-lo Hwesio, sejak kapan kau sampai di sini?"
Bong Thian-gak amat terkejut mendengar ucapan itu, dengan cepat dia mencoba mencari dengan mengarahkan ketajaman matanya.
Di tengah kegelapan malam yang paling gelap menjelang tibanya fajar, Jit-kaucu menampakkan diri.
Sesosok bayangan tubuh yang putih melayang keluar dari balik kabut yang tebal, seperti sosok bayangan setan tahu- tahu sudah berdiri di hadapan Ku-lo Hwesio.
Sementara itu Ku-lo Hwesio masih tetap duduk di atas tanah, sahutnya, "Menjelang tengah malam, Pinceng sudah sampai."
"Hwesio tua, begitu pagi kau sampai di sini, apakah kuatir aku memasang jebakan di sini?"
"Pinceng tidak berani."
Kembali Jit-kaucu tertawa dingin, "Sam-kaucu telah dikerubut di pagoda Leng-im-po-tah hingga menemui ajal, hari ini mengapa kau tak mengundang orang-orangmu itu, sehingga Kaucu tak usah repot-repot?"
Bong Thian-gak yang mendengar perkataan itu terkejut, segera pikirnya, "Mungkinkah dia tahu aku bersembunyi di sini?" Sementara dia masih berpikir, Ku-lo Hwesio telah menyahut, "Bila ada orang yang menyembunyikan diri di sini, rasanya juga tak bakal lolos dari pengintaian Li-sicu."
"Bagus," kata Jit-kaucu dingin. "Perjanjian kita pada kentongan kelima merupakan perjanjian menentukan mati hidup kita, sekarang kita boleh melangsungkan pertarungan."
"Tunggu dulu!" seru Ku-lo Hwesio tiba-tiba.
"Apakah kau hendak meninggalkan pesan terakhirmu?" "Sebelum pertarungan dimulai, Pinceng ingin mengajukan
beberapa pertanyaan kepada Li-sicu.
"Persoalan apakah yang hendak kau pahami?" "Pertama-tama, Pinceng ingin mengetahui lebih dulu
apakah Li-sicu adalah Li-siausicu yang pernah muncul di ruang belakang kuil Siau-lim-si pada delapan tahun berselang?"
"Daya ingatmu sangat bagus!"
Si Hwesio sudah mengira, tapi mendengar pengakuan itu, tak urung hatinya terperanjat juga.
Setelah berhenti sesaat, Ku-lo Hwesio kembali berkata, "Delapan tahun berselang, Li-sicu telah menggunakan ilmu Jian-yang-ciang untuk menghantam Pinceng, entah perselisihan atau dendam kusumat apakah yang terjalin antara Pinceng dengan Li-sicu?"
Jit-kaucu tertawa dingin, "Delapan tahun berselang, aku sudah menerangkan kepadamu bahwa aku mendapat perintah mencabut nyawamu, sama sekali tiada ikatan dendam atau sakit hati pribadi!"
"Omitohud!" puji syukur Ku-lo Hwesio untuk keagungan Sang Buddha. "Li-sicu memiliki ilmu silat yang amat dahsyat, namun perbuatanmu justru mencelakai orang secara sembarangan, apakah kau tak merasa bahwa tindakanmu ini melanggar norma-norma hukum Thian?" , "Suhuku telah membuang waktu selama dua puluh tahun untuk mendidikku siang malam, Hwesio tua, kau tak usah bersilat lidah lagi."
"Siapakah Suhu Li-sicu? Dapatkah memberitahu kepadaku?"
"Dia adalah Cong-kaucu Put-gwa-cin-kau."
"Apakah Cong-kaucu itu pria atau wanita?" kembali Ku-lo Hwesio bertanya sambil menghela napas panjang.
"Perempuan! Sebenarnya persoalan itu tidak boleh kuberitahukan kepadamu, tapi mengingat kau akan kembali ke langit barat, tidak ada salahnya kuberitahukan kepadamu!"
Sekali lagi Ku-lo Hwesio menghela napas, "Bila begitu, perkiraan Pinceng tak salah, kalau Li-sicu telah mengatakannya, mengapa tak kau sebutkan juga nama gurumu itu?"
"Sudah diberi hati minta ampela ... ai, padahal aku sendiri pun tak tahu siapa namanya."
"Masih ada satu hal lagi yang hendak kutanyakan, yaitu ilmu Soh-li jian-yang-sin-kang yang dilatih Li-sicu sudah berhasil mencapai tingkat berapa?"
"Sudah mencapai tingkat kesembilan, Hwesio tua, buat apa kau menanyakan persoalan ini?"
Dengan sedih Ku-lo Hwesio menghela napas panjang, "Sebab dalam pertarungan ini, Pinceng sama sekali tidak mempunyai keyakinan untuk menang, andai aku tewas di tangan Li-sicu, mungkin di Bu-lim dewasa ini tidak ada orang yang bisa menghadapimu lagi."
Jit-kaucu tertawa terkekeh-kekeh, "Kau adalah jago lihai nomor satu dalam Bu-lim, bila aku dapat membunuhmu, apakah di Bu-lim masih ada orang yang bisa mengungguli diriku lagi?" Dengan suara dalam Ku-lo Hwesio berkata, "Ilmu silat amat luas dan dalam, sama sekali tiada batasannya. Sejak dulu pun banyak orang berbakat yang berhasil mempelajari ilmu sakti dan menganggap dirinya tanpa tanding di kolong langit, tapi akhirnya mereka justru tewas di tangan orang lain. Li-sicu adalah seorang cerdik, tentunya kau dapat memahami perkataanku bukan?"
"Hm, kini kentongan kelima sudah lewat, kau tak usah banyak bicara lagi!" tukas Jit-kaucu dingin.
"Omitohud, para Nabi pernah berkata, tiada manusia yang tak pernah berbuat kesalahan, tapi siapa yang mau mengubah kesalahannya, dialah manusia bijaksana, Li-sicu mumpung belum terperosok lebih dalam lagi, lepaskanlah golok pembunuhmu, karena bila kau berpaling, di sanalah akan kau jumpai tepian."
Beberapa patah kata itu diutarakan dengan suara nyaring sehingga menggetarkan seluruh bukit dan mendengung tiada hentinya.
Paras muka Jit-kaucu berubah hebat, segera bentaknya, "Hari ini aku mengundangmu datang bukan untuk mendengarkan kuliah Taysu, bila Taysu memiliki ilmu sakti pelindung badan, gunakan saja dengan segera!"
Sementara itu fajar telah menyingsing di ufuk timur, cahaya keemas-emasan pun mulai memancar ke empat penjuru.
Jit-kaucu mengenakan pakaian berwarna putih dengan mantel yang terbuat dari bulu rase putih, begitu anggun, cantik dan memukau.
Sebaliknya Ku-lo Hwesio dari Siau-lim-si duduk bersila di tanah dengan sikap kereng dan serius, ia mengenakan kain berwarna kuning dengan tasbih tergantung di leher, sepasang tangannya dirapatkan menjepit sebatang Hud-tim. Kini kedua tokoh sakti dari dunia persilatan ini berdiri dalam jarak dekat tempat mata memancarkan sinar tajam saling tatap, pertempuran sengit akan segera berlangsung.
Bong Thian-gak berada puluhan kaki dari arena, matanya yang tajam mengawasi gerak-gerik kedua orang itu tanpa berkedip.
Mendadak Jit-kaucu melejit ke tengah udara, kemudian secepat kilat menerjang ke arah Ku-lo Hwesio.
Terhadap terjangan Jit-kaucu itu, Ku-lo Hwesio bersikap seakan-akan tidak melihat, dia tetap duduk bersila sambil memegang kebutnya tanpa bergerak.
Ketika terjangan Jit-kaucu hampir mencapai tubuh Ku-lo Sinceng, mendadak dia melesat dengan cepat, lalu melayang turun, kemudian dengan suara dingin bentaknya, "Hwesio tua, tenaga dalammu benar-benar amat sempurna, rupanya kau telah menguasai ilmu Tat-mo-khi-kang!"
Begitu selesai berkata, Jit-kaucu melejit kembali ke tengah udara. Pertarungan sengit dengan kecepatan tinggi pun segera berkobar.
Tatkala tubuh Jit-kaucu telah berada dekat Ku-lo Sinceng, tangan kanannya diayun berulang-kali dan secara beruntun melancarkan empat serangan berantai.
Ku-lo Hwesio segera melancarkan serangan balasan, sepasang telapak tangannya yang menjepit kebut mendadak menyambar ke samping, kebut tadi telah menari-nari dengan cepat.
"Wes", hembusan tajam menderu.
Untuk kedua kalinya terjangan Jit-kaucu mengalami kegagalan dan tubuhnya segera mundur.
Bong Thian-gak menonton jalannya dua kali bentrokan kekerasan dari Ku-lo Sinceng dan Jit-kaucu, hatinya terperanjat, pikirnya, "Kalau aku yang dihadapkan dengan serangan itu, mungkin serangan yang pertama Jit-kaucu pun tak mampu kutahan."
Setelah gagal dengan serangannya, tiba-tiba Jit-kaucu menghindar dengan wajah serius, selapis hawa dingin mencekam wajahnya, dihiasi pula dengan hawa nafsu membunuh yang mengerikan.
Sementara itu paras muka Ku-lo Hwesio juga berubah serius.
Mendadak Jit-kaucu mengangkat telapak tangan kirinya pelan-pelan, kemudian telapak tangan yang putih dan halus itu diluruskan ke depan, pada telapak tangannya lamat-lamat tampak cahaya merah membara seperti bola api yang berputar kencang.
Dengan kening berkerut, Bong Thian-gak membatin, "Mungkin serangan inilah yang dinamakan ilmu Soh-li-jian-sin- kang yang hebat itu!"
Belum habis ingatan itu melintas, tubuh Jit-kaucu sudah melejit lagi ke tengah udara dan melancarkan tubrukan ketiga kalinya.
Mungkin dalam serangan inilah akan ditentukan menang- kalah kedua belah pihak.
Pertarungan itu mungkin tidak akan berlangsung terlampau lama, oleh sebab itu Bong Thian-gak mengalihkan sorot matanya yang tegang mengawasi jalannya pertarungan tanpa berkedip.
Tampak Jit-kaucu pelan-pelan bergerak ke depan dan lambat-laun mendekat ke arah Ku-lo Hwesio.
Tiba-tiba telapak tangan kiri Jit-kaucu yang putih memancarkan cahaya merah yang amat menyilaukan mata, ibarat matahari yang baru terbit, bola api berputar-putar. Di saat itu pula telapak tangan Jit-kaucu segera memanfaatkan kesempatan untuk menerobos masuk.
Kenyataan membuktikan bahwa ilmu pukulan Soh-li-jian- sin-kang Jit-kaucu telah berhasil memecah pertahanan Tat- mo-khi-kang yang disalurkan Ku-lo Hwesio untuk melindungi tubuhnya.
Dalam waktu yang amat singkat itulah telapak tangan kedua belah pihak memainkan berbagai macam jurus serangan yang aneh tapi amat sakti.
Suara jeritan keras bergema di udara dan mengakhiri pertarungan itu.
Tubuh Jit-kaucu mencelat ke samping kanan kemudian jatuh terbanting ke tanah, kemudian tak berkutik lagi.
Sebaliknya jubah kuning yang dipakai Ku-lo Hwesio juga banyak terdapat lubang di sana-sini, namun dia masih tetap berdiri dan diam di tempat semula.
Bong Thian-gak yang menyaksikan adegan itu menjadi gembira, akhirnya Jit-kaucu berhasil juga dikalahkan.
Sebenarnya ia ingin keluar dari tempat persembunyiannya untuk memburu ke depan, tapi setelah menyaksikan Ku-lo Hwesio masih tetap berdiri tak berkutik di tempat semula, ia tertegun.
Tak lama kemudian, Ku-lo Hwesio menghembus napas panjang dengan sedih, lalu melangkah ke depan menuju ke arah Jit-kaucu yang terkapar di tanah itu.
Kini Bong Thian-gak dapat melihat muka Ku-lo Hwesio pucat-pias seperti mayat, tampaknya dia telah banyak kehilangan hawa murninya.
Setelah mengawasi beberapa kejap tubuh Jit-kaucu yang tak berkutik itu, Ku-lo Hwesio baru membalikkan badan dan berlalu dari situ. Bong Thian-gak ingin memanggil, namun setelah termenung sebentar dia lantas berpikir, "Entah bagaimanakah keadaan Jit-kaucu?"
Teringat akan Jit-kaucu, Bong Thian-gak segera teringat pula keindahan tubuh si nona yang telanjang bulat itu.
Ku-lo Hwesio berlalu dengan sangat cepat, bayangan tubuhnya sudah lenyap dari pandangan.
Pada saat itulah Bong Thian-gak muncul dari balik batu karang dan berjalan mendekat.
Matahari pagi telah memancarkan sinarnya menembus awan tebal dan menyoroti wajah Jit-kaucu.
Tampak Jit-kaucu memejamkan mata rapat-rapat, wajahnya yang cantik kini pucat keabu-abuan, tiada luka di atas tubuhnya, namun ujung bibirnya tampak noda darah, pakaiannya juga penuh dengan noda darah.
Diam-diam Bong Thian-gak menghela napas panjang, pikirnya, "Gadis yang begini cantik akhirnya harus menemui ajal dalam keadaan mengenaskan, tak lama kemudian dia akan berubah menjadi sekerat tulang-belulang."
Berpikir sampai di sini, dia lantas merenung lebih jauh, "bagaimana pun juga dia sudah mati, kasihan jenazahnya dibiarkan telantar disinari terik matahari, ditimpa air hujan atau mungkin akan menjadi santapan serigala kelaparan ....
Ai, bagaimana pun juga kematian akan mengakhiri segala- galanya, biarlah kubuatkan sebuah liang untuk mengubur jenazahnya!"
Bong Thian-gak segera mencabut pedangnya yang tajam dan menggunakan pedang sebagai sekop untuk menggali sebuah liang kubur di situ.
Setelah membuang waktu hampir setengah jam lamanya, dia telah berhasil membuat sebuah liang. Di kala Bong Thian-gak berpaling untuk mengubur jenazah Jit-kaucu, mendadak dia tertegun.
Rupanya jenazah itu sudah lenyap entah kemana perginya.
Sementara Bong Thian-gak terkejut, tiba-tiba terdengar seorang menegur dengan suara merdu, "Buat apa kau menggali liang kubur?"
Mendengar teguran itu kembali ia berpaling, hampir saja pemuda itu menjerit keras.
Ternyata Jit-kaucu sudah duduk di bawah pohon kurang lebih belasan kaki di hadapannya.
Jadi dia belum mati?
Bong Thian-gak sungguh terperanjat, sekali lagi ia mengawasi tubuh nona itu dengan seksama, ternyata ujung bibirnya masih penuh noda darah, pakaiannya juga masih berlepotan darah, hanya paras mukanya yang semula pucat- pias, kini sudah nampak lebih baikan.
Menyaksikan Bong Thian-gak lama sekali membungkam, Jit-kaucu menghela napas sedih, kemudian katanya, "Apakah kau membuat liang kubur itu untuk mengubur jenazahku?"
"Kau ... kau belum mati?" Bong Thian-gak berseru tergagap.
"Kalau sudah mati, bagaimana mungkin bisa bicara?" jawab Jit-kaucu hambar.
Bong Thian-gak segera menggerakkan badannya seraya berseru lantang, "Jika kau belum mati, maka aku harus mencabut jiwamu."
"Mengapa engkau hendak mencabut nyawaku?" tegur Jit- kaucu tanpa berubah wajah. Bong Thian-gak tertegun oleh pertanyaan itu, setelah termenung sebentar, ia baru menjawab, "Kau adalah pentolan yang menerbitkan berbagai keonaran dalam Bu-lim, sebelum kau mati, dunia persilatan tak akan memperoleh kedamaian."
"Ku-lo Hwesio saja tak mampu mencabut nyawaku, apalagi kau ... kau tak mungkin berhasil."
"Jadi kau hanya pura-pura mati?" tanya Bong Thian-gak dengan perasaan bergetar keras.
"Aku jatuh tak sadarkan diri tapi tidak mati, ilmu silat Hwesio tua itu memang sangat lihai, sangat sempurna, cuma sayang dia ...”
"Dia kenapa?" seru Bong Thian-gak cepat.
"Dia tak bisa hidup lebih tujuh hari," kata Jit-kaucu. "Mengapa tak dapat hidup lebih tujuh hari?"
"Tadi dia telah menggunakan pertarungan adu jiwa yang bisa menyebabkan kedua belah pihak sama-sama terluka, pada kesempatan itu jalan darah Jin-meh dan Tok-meh Hwesio tua itu telah kulukai dengan pukulan Soh-li-jian-yang- sin-kang. Dia tidak segera tewas karena tenaga dalamnya sempurna, tapi akhirnya tak akan lolos juga dari kematian."
Bong Thian-gak benar-benar terperanjat mendengar ucapan itu, "Sungguh perkataanmu itu?"
"Apa yang kuucapkan tentu saja sungguh-sungguh."
Paras Bong Thian-gak berubah hebat, dia tak menyangka jerih-payah Ku-lo Hwesio untuk melenyapkan Jit-kaucu dari muka bumi menjadi punah tak berbekas, dia tak segan mengorbankan jiwa sendiri dengan melakukan pertarungan adu jiwa.
Baginya, asal Jit-kaucu bisa dilenyapkan, sekali pun harus mati dia tak sayang, namun ia bertindak kurang teliti, sebelum memeriksa mati-hidup lawan, ia telah berlalu begitu saja dan akibatnya usaha yang dilakukan selama ini menjadi sia-sia belaka.
Tadi selagi Jit-kaucu tak sadar, bila Ku-lo Hwesio mengetahui gadis itu belum mati tentu akan menambahi dengan sebuah pukulan mematikan, sudah pasti Jit-kaucu takkan bisa hidup lebih lama.
Bong Thian-gak pun menyesal mengapa tak memeriksa lebih dulu atau mungkin Jit-kaucu memang belum ditakdirkan untuk mati?
Terdengar Jit-kaucu berkata, "Kau yang menjumpai aku mati ternyata tak tega membiarkan jenazahku terbengkalai di tanah terbuka, bahkan menggalikan liang lahat untuk mengubur jenazahku, meski aku tak jadi mati, namun kebajikan serta kemuliaan hatimu sungguh membuat aku terharu dan tidak akan melupakan kebaikanmu itu untuk selamanya."
Sementara itu pikiran Bong Thian-gak amat kalut, dalam keadaan dan kondisi seperti ini sudah seharusnya ia menampilkan diri dan menggunakan segenap kekuatan yang ada untuk menyelesaikan tugas Ku-lo Sinceng yang belum terselesaikan itu.
Begitu niat itu melintas, Bong Thian-gak segera mengambil keputusan dalam hati, sesudah tertawa dingin, katanya, "Aku tidak peduli bagaimana ilmu silatmu, aku bertekad bertarung melawanmu."
"Aku pun mengambil keputusan untuk tidak mencelakai jiwamu, sebagai ucapan terima kasihku atas kebaikanmu membuat liang lahat bagiku tadi."
"Maaf kalau begitu!" sambil berkata dia segera maju sembari melancarkan sebuah tusukan kilat.
Ilmu silat Bong Thian-gak sekarang telah mencapai tingkat yang luar biasa, tusukan itu pun disertai tenaga yang amat dahsyat, itulah ilmu pedang terbang Cwan-sim-kiam-hoat (Ilmu pedang penembus hati).
Jit-kaucu masih duduk di bawah pohon tanpa bergerak, menanti serangan itu datang, tiba-tiba saja dia menyentilkan jari tangannya ke depan.
Bunyi bergemerincing yang memekakkan telinga berkumandang memecah keheningan.
Sambil menarik kembali senjatanya, Bong Thian-gak mundur sejauh tiga-empat langkah, kemudian serunya dengan terperanjat, "Hm, ilmu jari Kiam-goan-ci!"
"Betul, inilah Kiam-goan-ci, ilmu sakti perguruan Mi-tiong- bun di Tibet. Kiu-kaucu perkumpulan kami pernah memberitahu kau punya ilmu sakti aliran Mi-tiong-bun, nampaknya apa yang dia laporkan memang benar."
"Kau maksudkan si nona berbaju merah itu?" "Ya, betul! Ni Kiu-yu!"
Bong Thian-gak memang sudah menduga gadis berbaju merah yang muncul di pagoda Leng-im-po-tah itu tentu merupakan anggota Put-gwa-cin-kau, ternyata apa yang diduga memang betul, gadis muda itu adalah Kiu-kaucu.
Jit-kaucu berkata lagi, "Hingga sekarang aku belum berhasil menduga riwayat hidupmu, tapi dari aliran ilmu silat yang kau miliki, bukan saja memahami ilmu silat Mi-tiong-bun dan menguasai seluruh aliran ilmu silat semua partai di kolong langit, bila dugaanku tidak salah hanya dua orang di kolong langit dewasa ini yang bisa mengajar seorang murid semacam kau ini."
"Siapakah kedua orang itu?" tanya Bong Thian-gak keheranan.
"Pertama adalah Cong-kaucu perkumpulan kami!" "Kau maksudkan Cong-kaucu Put-gwa-cin-kau?" seru Bong Thian-gak tertegun.
"Hari ini aku ingin kau bicara blak-blakan, benarkah kau utusan khusus yang dikirim Cong-kaucu untuk mengawasi diriku?"
Semakin mendengar, Bong Thian-gak semakin bingung, tapi dari perkataan Jit-kaucu ini pula dia tahu bahwa antara sesama anggota Put-gwa-cin-kau sebenarnya saling tidak percaya dan curiga.
Kemungkinan besar Put-gwa-cin-kau terbentuk karena usaha Cong-kaucu yang mempengaruhi orang dengan kekerasan.
Sekarang Bong Thian-gak dihadapkan pada suatu masalah penting yang harus diputuskan dengan cepat, tanpa terasa dia berkerut kening sambil termenung.
Dengan sorot mata tajam Jit-kaucu mengawasi wajah Bong Thian-gak lekat-lekat, gumamnya, "Selama puluhan tahun terakhir ini, Suhu amat baik terhadapku, mengapa aku harus mencurigai dia?"
Mendengar perkataan itu, Bong Thian-gak mengangkat kepala dan memandang sekejap ke arah Jit-kaucu, kemudian katanya, "Tadi Ku-lo sanseng telah berkata kepadamu, dari dulu hingga sekarang terdapat pentolan persilatan yang ingin menjadi raja dunia persilatan, coba berapa banyak orang yang tewas dengan nama rusak dan tubuh binasa? Bilamana kau pintar, sudah seharusnya berpaling ke jalan benar, mumpung sekarang masih belum terlambat."
"Kau menginginkan aku berbuat apa?" tanya Jit-kaucu dengan suara hambar.
"Melepas jalan sesat kembali ke jalan yang benar." Jit-kaucu tersenyum. "Kau belum menjawab pertanyaanku tadi?" serunya.
"Aku bukan anggota Put-gwa-cin-kau!" jawab Bong Thian- gak.
"Oh, kalau begitu kau adalah muridnya?" "Murid siapa?"
"Jian-bin-hu-li Ban Li-biau!"
Mendengar itu kontan paras muka Bong Thian-gak berubah hebat, tanyanya, "Kau pun kenal nama itu?"
"Tiada nama jago lihai di dunia ini yang tidak kukenal."
Diam-diam Bong Thian-gak terkejut, dengan cepat dia berpikir, "Sebelum menemui ajal. Suhu kedua telah berkata, ada seorang lain pernah memperoleh pelajaran ilmu silat darinya, mungkinkah orang itu adalah Jit-kaucu?"
Berpikir sampai di situ Bong Thian-gak segera bertanya, "Kau pernah berjumpa dengannya?"
"Kau ini bagaimana? Mengapa tidak menjawab dulu pertanyaan orang?"
"Ya, betul! Dia adalah guruku," jawab Bong Thian-gak kemudian dengan suara tegas.
Paras muka Jit-kaucu berubah hebat, tanyanya, "Sudah matikah dia?"
"Ya, baru beberapa bulan berselang."