Pedang Tanpa Perasaan Jilid 20 (Tamat)

Jilid 20 (Tamat)

"Kwe locianpwe, dugaanmu salah, kau masuk saja ke dalam goa, aku tidak akan mendustaimu!" Kwe Tok dapat mendengar nada suara Lie Cun Ju yang tulus. Tetapi dia tetap tidak berani masuk demikian saja ke dalam goa itu. Kembali dia termangu- mangu sesaat. "Lie kongcu, tentu kau ingin hidup dengan tenang bersama Tao kouwnio, tetapi saat ini Tao kouwnio sedang terluka parah. Rasanya di seluruh dunia ini tidak ada orang lain lagi yang dapat menyembuhkan lukanya kecuali aku!"

Mendengar ucapan Kwe Tok, sedikit harapan tumbuh lagi dalam hati Lie Cun Ju. "Benarkah Kwe locianpwe memiliki jalan untuk menyembuhkannya?"

"Tentu saja, aku memiliki dua butir pil yang sangat mujarab. Yang satu dapat menghidupkan kembali orang yang sudah hampir mati. Yang kedua dapat menguatkan tenaganya kembali. Bagaimana kalau aku menukarnya dengan pedang tanpa wujud itu?"

"Baik, baik," sahut Lie Cun Ju cepat. "Kalau begitu, kau bawa keluar pedang itu!" Lie Cun Ju melirik sekilas kepada Tao Ling. Tampak perempaun itu memejamkan matanya erat-erat dan nafasnya memburu. Tapi seperti sedang tertidur nyenyak. Lie Cun Ju tidak sampai hati mengusiknya.

"Kwe locianpwe, kau masuk saja ke dalam goa! Jangan khawatir! Keadaan Tao kouwnio sedang gawat, dia tidak bisa bergerak lagi dan aku tidak sampai hati meninggalkannya seorang diri."

"Lie kongcu, mungkin kau masih belum percaya juga dengan perkataanku. Bagaimana kalau aku melemparkan dulu kedua butir obat itu ke dalam goa?"

Dia tahu Lie Cun Ju bukan orang yang mudah mengingkari apa yang diucapkannya. Apabila pemuda itu sudah mendapatkan kedua butir obat yang dikatakannya pasti pedang tanpa wujud itu akan diserahkannya pula.

Kwe Tok segera mengeluarkan sebuah kota kecil dari balik pakaiannya. Dengan hati- hati dia membuka kotak itu. Kemudian dikeluarkannya dua butir pil berwarna coklat gelap.

Kotak kecil itu tadinya berisi sembilan butir pil penyambung nyawa. Pernah menjadi bahan percakapan para tokoh bu lim karena kemanjurannya. Karena berbagai kepentingan yang mendesak, Kwe Tok sudah menggunakan tujuh butir isi kotak itu untuk menyelamatkan jiwa orang yang memerlukannya, termasuk dirinya sendiri.

Sekarang sisanya tinggal dua butir. Sebetulnya Kwe Tok merasa sayang sekali. Tetapi tampaknya sekarang hanya itu satu-satunya cara untuk menukar pedang tanpa wujud itu. Karena itu, dia terpaksa melepas-kannya.

Kwe Tok menutup kembali kotak obat itu.

"Lie kongcu, kalau menilik ucapanmu barusan, tampaknya luka Tao kouwnio sudah parah sekali. Mugkin dua butir obat ini baru bisa menyembuhkannya."

"Terima kasih atas petunjuk Kwe locianpwe."

Kwe Tok segera melemparkan kotak itu ke dalam goa. "Lie kongcu, kotak itu sudah kulemparkan ke dalam goa, sambutlah!" katanya.

Lie Cun Ju menjulurkan kepalanya dari lekukan tempat persembunyiannya. Dia melihat sebuah kotak sedang melayang ke arahnya. Pemuda itu tahu watak Kwe Tok yang cukup gagah. Tidak mungkin orang tua itu mempermainkannya. Cepat-cepat dia menjulurkan tangannya untuk menyambut kotak itu.

Namun pada saat itu juga, tampak sesosok bayangan berkelebat, datangnya dari sudut yang lain. Sedangkan gerakan bayangan itu demikian cepat sehingga dalam sekejap mata sudah sampai di depan kotak yang sedang melayang. Bayangan itu mengambil kotak begitu saja.

Hati Lie Cun Ju terkejut setengah mati. Untuk sesaat dia sempat tertegun. Dia bermaksud menggerakkan pedang tan pa wujud untuk menyerang orang itu. Tetapi tiba-tiba orang itu membuka tutup kotak sambil membentak.

"Kalau kau melancarkan serangan, aku akan menelan dua butir obat ini."

Begitu mendengar suara orang tu, Lie Cun Ju langsung mengenalinya yaitu Hek Tian Mo, CenSim Fu. Kalau ditilik dari keadaannya, kemungkinan Cen Sim Fu sudah lama bersembunyi di dalam goa itu. Hanya saja dia tidak mengeluarkan suara sedikit pun. Menunggu datangnya kesempatan dia baru muncul dan merebut kotak pil itu.

Hati Lie Cun Ju panik sekali. "Jangan ditelan!"

Kwe Tok yang berdiri di depan goa langsung tertegun mendengar suara teriakan Lie Cun Ju.

"Lie kongcu, dengan siapa kau berbicara?"

Perasaan Kwe Tok juga panik ingin mengetahui apa yang terjadi. Tapi dia masih tidak berani mengambil resiko memasuki goa.

Perhatian Lie Cun Ju hanya tertuju pada kedua butir pil yang mau ditelan oleh Cen Sim Fu. Mana mungkin menyempatkan diri menjawab pertanyaan Kwe Tok.

"Apa yang kau inginkan?" tanyanya. Cen Sim Fu tertawa dingin.

"Luka yang kuderita parah sekali. Apabila aku menelan kedua butir pil ini, bukan saja lukaku dapat disemhuhkan, bahkan tenaga dalamku pun bisa bertambah sepuluh tahun latihan. Tapi bila kau ingin aku tidak menelan kedua butir obat ini, mudah saja. Asal kau berikan pedang tanpa wujud itu kepadaku."

Saat itu, Kwe Tok yang berdiri di luar goa juga sudah dapat mendengar bahwa orang yang berbicara itu bukan lain dari Cen Sim Fu. Sedangkan kotak berisi pil mujarab yang dilemparkannya ke dalam goa sudah berhasil direbut oleh orang itu. Hati Kwe Tok terkejut setengah mati. Apabila pedang itu masih ada di tangan Lie Cun Ju, Kwe Tok masih mempunyai akal untuk mendapatkannya kembali. Tetapi kalau sampai terjatuh ke tangan Cen Sim Fu, meskipun lengan orang itu tinggal satu, tapi bukan saja dia tidak bisa mendapatkan pedang itu kembali, bahkan ada kemungkinan bisa dikalahkan olehnya.

Karena itu cepat-cepat dia berkata.

"Lie kongcu, kata-kata orang seperti Hek Tian Mo tidak dapat dipercaya. Lagipula hatinya sangat keji, apabila pedang itu sampai terjatuh ke tangannya, dunia akan tertimpa musibah besar. Jangan sekali-kali menuruti permintaannya!"

Tapi saat itu juga Lie Cun Ju sudah menjawab 'Baik!' atas syarat yang diajukan Cen Sim Fu. Tentu saja Cen Sim Fu senang sekali.

"Berikan dulu pedang tanpa wujud itu kepadaku!" Kwe Tok berteriak sekeras-kerasnya.

"Lie kongcu, bila kau sampai serahkan pedang itu kepadanya, maka kau akan menyesal seumur hidup."

Tapi Lie Cun Ju sudah mengambil keputusan untuk menyerahkan bu heng kiam itu kepada Hek Tian Mo sebagai pengganti dua butir pil yang dapat menyelamatkan jiwa Tao Ling.

"Hek Tian Mo, ambillah pedang ini!" katanya cepat.

Tangan Lie Cun Ju menjulur ke depan. Cen Sim Fu menundukkan kepalanya. Dia melihat tangan pemuda itu seperti menggenggam sebatang pedang, tapi kenyataannya dia tidak melihat apa-apa.

Sejak pertama Cen Sim Fu sudah berencana, apabila siasatnya berhasil. Dia akan membunuh Tao Ling dan Lie Cun Ju terlebih dahulu. Kemudian dia akan menelan kedua butir obat itu

lalu bersembunyi di dalam goa sampai lukanya sembuh. Setelah itu dia baru keluar berhitungan dengan Kwe Tok.

Namun saat itu, ketika melihat Lie Cun Ju menjulurkan tangannya, hati Cen Sim Fu langsung tertegun. Sebab dia sudah kehilangan sebeiah tangannya, sedangkan tangan yang satu lagi hanya mempunyai satu jari. Untuk memegang benda biasa saja, hanya bisa menggenggamnya dengan telapak tangan. Apalagi untuk mengambil pedang tanpa wujud yang begitu tajam. Biarpun Lie Cun Ju rela menyerahkan kepadanya dan seandainya Kwe Tok tidak menunggu di luar goa sekali pun, dia merasa tidak mempunyai kesanggupan untuk memegangnya.

Ketika dia berpikir sampai di situ, hatinya bukan main perihnya. Mula saat itu ia tidak bisa bersaing dengan siapa pun lagi di dunia ini. Dia tertegun sejenak. "Aku tidak menginginkan pedang itu lagi!" katanya kemudian. Lie Cun Ju terkejut setengah mati.

"Lalu . . . kau . . . kau . . ."

Cen Sim Fu membuka kotak di tangannya. "Aku rasa lebih baik aku telan saja obat ini." "Hek ..." Lie Cun Ju berteriak panik sekali.

Saat itu Hek Tian Mo sudah mengambil dua butir pil di dalam kotak dan siap menelannya. Dalam keadaan panik, Lie Cun Ju tidak berpikir panjang lagi. Pedang tanpa wujud yang tadinya disodorkan, langsung ditikamnya ke depan.

Pedang itu memang tidak berwujud. Meskipun di siang hari, tetap saja sulit dilihatnya. Apalagi di dalam goa yang demikian remang-remang. Tadinya Cen Sim Fu sudah mengambil keputusan untuk menelan dulu dua butir pil itu, kemudian dia akan mencari seorang ahli untuk memasang tangan palsu kemudian baru menentukan langkah berikutnya. Entah bagaimana, baru saja dia mengambil dua butir obat dari dalam kotak, dadanya terasa dingin. Tubuhnya lemas dan hawa murninya membuyar.

Krok! Krok! Terdengar tenggorokannya mengeluarkan suara. Dari bagian dada dan punggungnya terus mencucur darah segar. Sesaat kemudian, tubuhnya terkulai jatuh di atas tanah.

Lie Cun Ju cepat-cepat maju ke depan dan mengambil kedua butir pil yang belum sempat ditelan oleh Cen Sim Fu. Bergegas dia membawanya kepada Tao Ling.

Pada saat itu, Kwe Tok yang berdiri di luar goa masih terus berteriak. "Lie kongcu jangan sekali-kali kau penuhi permintaannya!"

Meskipun suara Kwe Tok keras sekali, tetapi Lie Cun Ju sama sekali tidak mendengamya. Sebab pada saat itu, dia menemukan Tao Ling sudah tidak bergerak lagi.

Lie Cun Ju seperti disambar petir. Seandainya seluruh lembah itu ambruk sekali pun, pasti ia tidak mengetahuinva. Tadi nafas Tao Ling memang sudah lemah sekali.

Kemudian perempuan itu justru tidak bergerak lagi. Dalam anggapan Lie Cun Ju, karena lukanya yang terlalu parah, tanpa diketahuinya Tao Ling sudah mati.

Meskipun dua butir pil yang diberikan oleh Kwe Tok sangat mujarab, tapi mana mungkin bisa menghidupkan orang yang sudah mati.

Lie Cun Ju tertegun beberapa saat. Air matanya berderai bagai curah hujan. Mulutnya terus berteriak dengan histeris.

"Ling moay, ling moay . . .!" Air matanya menetes membasahi wajah Tao Ling. Tiba-tiba perempuan itu bergerak sedikit.

Rupanya keadaan Tao Ling saat itu memang sudah di ambang kematian, tetapi sedikit detak jantungnya masih ada. Antara sadar dan tidak, sayup-sayup dia mendengar suara teriakan Lie Cun Ju. Ingin sekali dia menyahut, tapi sepatah kata pun tidak sanggup dilontarkan oleh tenggorokannya.

Tao Ling sendiri menyadari dirinya sudah di ambang kematian, tetapi dia berusaha memberontak. Sampai air mata Lie Cun Ju menetes di wajahnya, dia baru sempat menggerakkan tubuhnya sedikit.

Melihat keadaan itu, Lie Cun Ju langsung terpaku. "Ling moay, rupanya kau belum mati."

Kwe Tok yang berdiri di luar goa terus ber-bicara keras-keras, tetapi tidak mendengar suara sahutan Lie Cun Ju, juga tidak mendengar suara Cen Sim Fu lagi. Hatinya dilanda kebingungan.

Perlahan-Iahan dia berjalan memasuki goa. Tangannya menggenggam pedang hijau yang memancarkan cahaya berkilauan. Ketika dia melongokkan kepalanya ke dalam, melihat Lie Cun Ju sedang membungkuk dan menyuapkan kedua butir obat yang diberikannya ke dalam mulut Tao Ling. Sedangkan Cen Sim Fu rebah di atas tanah dengan dada serta punggung yang masih mengalirkan darah.

Kwe Tok adalah seorang tokoh yang cerdas. Sekali lihat, dia sudah mengetahui apa yang telah terjadi. Saat itu Lie Cun Ju sibuk menyuapkan dua butir obat ke dalam mulut Tao Ling dengan hati-hati. Kedua tangannya sibuk sekali. Kwe Tok yakin pemuda itu tidak memegang pedang tanpa wujud itu. Pandangan matanya menoleh ke arah Cen Sim Fu. Darah masih mengalir. Di depan dadanya ada bayangan samar- samar sebatang pedang yang bersimbah darah. Kwe Tok sadar Lie Cun Ju belum sempat mencabut pedang itu dari dada Cen Sim Fu. Cepat-eepat dia mencabut pedang itu dan melirik sekali lagi ke arah Tao Ling dan Lie Cun Ju. Pada saat itu, dalam tenggorokan Tao Ling terdengar suara.

Krok! Krok! Krok!

Kwe Tok tahu obat yang diberikannya sudah bereaksi. Sebentar lagi nyawa Tao Ling pasti tertolong. Bergegas dia keluar dari goa itu.

I Giok Hong sedang menunggunya di luar goa. Ketika melihat kedatangan Kwe Tok, gadis itu langsung menyongsongnya.

"Bagaimana, Siok kong? Sudah berhasil mendapatkan pedang itu?" Kwe Tok menganggukkan kepalanya. "Sudah." Wajahnya berseri-seri. Dia mengeluarkan suara siulan yang panjang. "A Hong, partai Mo kau kita akan bangkit kembali. Pedang hijau ini biar kau saja yang menggunakannya!" Kwe Tok menyodorkan pedang hijau itu ke tangan I Giok Hong.

Tentu saja I Giok Hong juga merasa gembira. Cepat-cepat dia menyambut pedang hijau yang disodoran Kwe Tok.

"Sekarang kita harus meninggalkan tempat ini. Kita cari seorang pandai besi untuk membuat gagang pedang hijau itu dan juga sebuah gagang pedang untuk bu heng kiam. Dengan adanya dua batang pedang pusaka ini, siapa lagi yang dapat menandingi kita di dunia ini? Ha ... ha ... ha . . . ha . . .!"

I Giok Hong mendengarkan kata-kata Kwe Tok dengan tenang-tenang. "Siok kong, bagaimana dengan Lie Cun Ju dan Tao Ling?" tanyanya.

"Kau tidak perlu perdulikan mereka. Aku sudah berjanji untuk tidak mencelakai mereka berdua."

Sekilas tampak hawa pembunuhan tersirat di wajah I Giok Hong. Tetapi saat itu ia berdiri di samping Kwe Tok dan hawa pembunuhan itu hanya tersirat sekilas. Kwe Tok yang sedang merasa gembira tidak sempat memperhatikannya.

"Siok kong, apabila kedua orang itu tidak mati, aku benar-benar tidak tentram," kata I Giok Hong kembali.

"Omong kosong!" sahut Kwe Tok.

"Ini merupakan kenyataan, apakah kau tahu bahwa di dalam perut Tao Ling sudah terdapat benih I Ki Hu?" tanya I Giok Hong.

Sebetulnya janin di dalam perut Tao Ling tidak lain dari adiknya sendiri, tetapi ucapan I Giok Hong demikian ketus. Hal itu membuktikan bahwa wataknya benar-benar tidak berperasaan.

"Tentu saja aku tahu. Tapi kita sudah memiliki dua batang pedang pusaka ini. Apalagi yang perlu kita takutkan?"

"Siok kong ..."

Wajah Kwe Tok tampak kurang senang.

"Jangan banyak bicara lagi, A Hong. Cepat panggil bocah she Tao itu keluar dan berangkat bersama-sama kita!"

Tiba-tiba saja I Giok Hong berdiri terpaku. Saat itu Kwe Tok sedang menghapus jejak darah pada bu heng kiam dengan alas sepatunya. Ketika perlahan-Iahan I Giok Hong menghampirinya, orang tua itu sama sekali tidak menyadari. Dalam waktu sekejap mata, tiba-tiba I Giok Hong menghunjamkan pedang hijaunya ke depan.

Padahal kepandaian Kwe Tok lebih tinggi dari I Giok Hong beberapa kali lipat. Tetapi mimpi pun dia tidak pernah membayangkan satu-satunya cucu keponakannya yang masih hidup dapat menggunakan kesempatan untuk menurunkan tangan keji terhadapnya!"

Ketika dia merasakan ada sesuatu yang dingin terasa di punggungnya yang kemudian disusul dengan rasa sakit tidak terkirakan, tahu-tahu pedang itu sudah menembus dari punggung ke depan dadanya.

Sekonyong-konyong saja timbul niat untuk membunuh Kwe Tok dalam benak I Giok Hong. Sebab dia menyadari, dengan mengikuti orang tua itu, gerak geriknya di kemudian hari pasti di bawah pengawasan Kwe Tok. Lagipula hatinya yang jahat ingin menyerakahi kedua batang pedang pusaka itu seorang diri. Dia sudah membayangkan dirinya akan malang melintang di dunia kang ouw tanpa ada yang berani mengusik.

Pedang hijau itu berhasil menembus punggung Kwe Tok. I Giok Hong pun langsung mencelat mundur. Kwe Tok terhuyung-huyung beberapa langkah, tetapi dia tidak sampai terjerembab jatuh.

I Giok Hong terkejut setengah mati melihat kekuatan Kwe Tok yang tidak langsung mati mes-kipun sudah tertembus pedang hijau. Biarpun dia seorang gadis yang licik dan banyak akal, tetapi untuk sesaat seluruh tubuhnya gemetar dan tidak teringat untuk melarikan diri.

Setelah terhuyung-huyung beberapa kali, Kwe Tok lalu membalikkan tubuhnya. Sukma I Giok Hong seperti melayang seketika. Dia berdiri ter-paku tanpa dapat bergerak sedikit pun. Terdengar Kwe Tok berkata dengan tersendat-sendat.

"Ba ... gus se ... kali . . . Aku ki . .. ra watak . . . mu seperti ibu . .. mu, teta ... pi rupa . .

.nya pe . . . ngaruh ayah . . . mu lebih ku . . . at . . . bagus . . . se . . . kali!" Sembari berbicara, kakinya maju sempoyongan menghampiri I Giok Hong.

Dengan hati dilanda perasaan takut yang tidak terkatakan, I Giok Hong memejamkan matanya. Pada saat itu tangan Kwe Tok masih menggenggam pedang tanpa wujud.

Bila dia menghunjamkannya ke depan perlahan-lahan saja, I Giok Hong sadar selembar nyawanya sulit dipertahankan lagi.

Tiba-tiba saja timbul niatnya untuk melarikan diri, tapi kedua kakinya terasa lemas tanpa tenaga sedikit pun. Itulah sebabnya dia terpaksa memejamkan mata menunggu kematian.

Namun, justru di saat yang sama, telinganya mendengar suara yang cukup keras. Buk! Cepat I Giok Hong membuka matanya kembali. Tampak Kwe Tok sudah rubuh di atas tanah. I Giok Hong baru bisa menghela nafas lega. Terlihat Kwe Tok masih berusaha memberontak bangun. Tubuhnya bekelojotan beberapa kali, kemudian terdiam untuk selamanya.

Demi kedua batang pedang pusaka itu, jangankan yang terluka, sedangkan yang mati saja sudah dua orang, yakni Cen Sim Fu dan Kwe Tok. Pedang tanpa wujud terlebih- lebih lagi. Pedang itu dapat disebut sebagai pedang kematian. Baru muncul saja sudah mengakibatkan kematian dua jago kelas satu di dunia bu lim.

Darah yang mengalir dari dada Kwe Tok terus menetes persendian membasahi tangannya. Bu heng kiam pun memperlihatkan wujudnya yang samar-samar. I Giok Hong menatap mayat Kwe Tok dengan termangu-mangu. Dia seperti tidak percaya dirinya sanggup membunuh orang tua itu.

Tiba-tiba dia mendongakkan kepalanya dan tertawa terbahak-bahak. Entah berapa banyak tokoh dunia bu lim yang ingin mendapatkan rahasia besar yang ada kaitannya dengan Tong tian pao liong. Dan sekarang dia seorang yang mendapatkannya. Siapa lagi yang sanggup menandinginya mulai sekarang?

Dia terus tertawa terbahak-bahak sampai kira-kira sepeminuman teh lamanya. Kemudian matanya menatap mayat Kwe Tok dan berkata dengan sinis.

"Cuba lihat, apakah sekarang kau masih bisa mencegah aku mencelakai perempuan busuk she Tao itu?"

Sembari tertawa menyeramkan, tubuhnya berkelebat ke dalam goa.

"Hei kalian berdua, toh kalian begitu saling mencintai, sekarang aku akan mengirimkan kalian bersama-sama menuju alam baka. Keluarlah!" bentaknya dengan suara lantang.

Tindakan I Giok Hong saat itu sudah seperti orang yang tidak waras saking bangga terhadap dirinya sendiri. Jangankan dia memang sangat membenci Tao Ling, andaikata saat itu ada orang lain yang tidak dikenalnya, dia juga akan menusuk orang itu dengan pedang tanpa bayangan itu untuk memuaskan hatinya sendiri.

Tetapi meskipun dia sudah memanggil sebanyak beberapa kali, tetap saja tidak terdengar suara sahutan Tao Ling maupun Lie Cun Ju. Yang ada hanya gema suaranya sendiri.

I Giok Hong mengeluarkan suara tawa yang menyeramkan. "Kalian kira bisa bersembunyi selamanya?"

Sembari membentak, tubuhnya terus melesat ke daiam goa. Namun pada saat itu juga, dari belakang terdengar seseorang memanggilnya.

"Giok Hong!" I Giok Hong menolehkan kepalanya. Dia melihat orang yang berdiri di belakangnya tidak lain adalah Tao Heng Kan. Tiba-tiba saja matanya menyorotkan hawa pembunuhan.

Hati Tao Heng Kan langsung tertegun melihat sinar mata yang menyeramkan itu. Langkah kakinya pun terhenti seketika.

"Giok Hong, aku menunggu kalian di dalam goa sampai lama sekali, tapi kalian tidak muncul-muncul. Kalian . . ."

"Heng Kan, aku sudah memiliki dua batang pedang pusaka ini, berlututlah di hadapanku dan akuilah aku sekarang adalah tokoh yang paling hebat di dunia ini!"

Tao Heng Kan semakin bingung mendengar kata-katanya. "Giok Hong, kenapa kau?"

"Heng Kan, sebetulnya aku tidak ingin membunuhmu. Tetapi kau tidak dapat memuaskan perasanku. Kalau aku tidak dapat menahan kemarahanku, maka aku tidak ragu untuk mem-bunuhmu."

Tao Heng Kan hanya tersenyum tawar.

"Giok Hong, kau tahu bagaimana perasaanku terhadap dirimu, apa pun yang kau inginkan aku selalu menurut. Sebetulnya bukan persoalan kalau hanya berlutut di hadapanmu . . ."

I Giok Hong tertawa lebar. "Kalau begitu berlututlah!"

"Giok Hong, hari ini kau meminta aku berlutut di hadapanmu. Besok, lusa, entah berapa banyak orang yang kau harap bersimpuh di depanmu. Sampai kapan baru hatimu puas?"

"Memang itu yang kuinginkan. Aku ingin semua orang di dunia ini bertekuk lutut di hadapanku."

"Giok Hong, dengan demikian, kau semakin terjerumus dalam kesesatan dan sulit bangkit kembali."

"Omong kosong, aku mempunyai sepasang pedang pusaka ini, siapa yang berani mencari gara-gara denganku?"

"Giok Hong, Kwe Tok juga memegang pedang tanpa wujud di tangannya bagaimana dia bisa mengalami kematian?"

Rupanya ketika masuk ke tempat itu, Tao Heng Kan sempat melihat perbuatan I Giok Hong pada paman kakeknya. Hal itu membuat Tao Heng Kan termangu-mangu beberapa saat. Setelah I Giok Hong masuk ke dalam goa, dia baru mengikutinya dari belakang.

Sekarang mendengar ucapan Tao Heng Kan, justru 1 Giok Hong yang tertegun. Dengan mengandalkan kepandaian Kwe Tok yang sudah demikian tinggi, sebetulnya sulit menemukan tandingannya lagi di dunia ini. Tetapi Kwe Tok justru sudah mati. Kematian yang begitu cepat dan tanpa sempat mengadakan perlawanan sama sekali.

Berpikir sampai di situ, perasaan I Giok Hong jadi tertekan. "Heng Kan kau ingin aku membuang saja sepasang pedang ini?"

"Tidak perlu. Kau toh sudah mempunyai sepasang pedang itu, asal kau tidak mencari gara-gara dengan orang, sudah cukup bagimu untuk melewatkan hidup ini dengan tenang."

Sebetulnya hati I Giok Hong sudah mulai tergerak, tetapi setelah mendengar kata-kata Tao Heng Kan yang terakhir, tanpa dapat menahan diri lagi dia tertawa terbahak- hahak.

"Heng Kan, Heng Kan. Apakah pikiranmu itu tidak terlalu kekanak-kanakan? Apabila para tokoh dunia bu lim mengetahui aku telah mendapatkan sepasang pedang pusaka ini, kau kira mereka akan diam saja?

Tao Heng Kan tertegun sesaat.

"Giok Hong, kalau begitu kita bataskan waktu satu tahun. Seandainya ada orang yang sudah bosan hidup dan datang untuk merebut pedangmu itu, biarlah kau menjadi seorang jago di antara kaum perempuan yang ada di dunia ini, bagaimana?"

"Baik. Aku jamin kau pasti kalah dalam pertaruhan ini. Heng Kan, untuk sementara, biar aku menuruti apa yang kau katakan. Tetapi perlu kau ketahui bahwa seumur hidup kita ini, aku tidak pernah mendengarkan ucapan siapa pun dengan mudah."

"Aku tahu!" sahut Tao Heng Kan sambil menggenggam tangan I Giok Hong erat-erat.

"Bagus! Aku mempunyai dua orang musuh yang bersembunyi di dalam goa, aku akan meng-habiskan keduanya terlebih dahulu. Kau tunggu saja di luar!" kata I Giok Hong.

"Siapa kedua musuhmu itu?" tanya Tao Heng Kan. "Kau tidak mengenalnya. Tunggu saja aku di luar!"

Tanpa menunggu jawaban Tao Heng Kan, I Giok Hong langsung melesat memasuki goa. Dia tidak berani berteriak memanggil Tao Ling maupun Lie Cun Ju karena khawatir suaranya akan terdengar oleh Tao Heng Kan.

Hal itu membuktikan bahwa telah tumbuh perasaan di dalam hati I Giok Hong terhadap pemuda itu. Dia tidak menyatakan dengan sesungguhnya siapa kedua musuh yang dimaksudkan. Sebab dia tahu Tao Heng Kan akan mencegahnya dan dia takut dirinya tidak sampai hati menolak permintaan pemuda itu.

Namun walaupun dia sudah mengelilingi goa itu beberapa kali, tetap saja dia tidak berhasil menemukan jejak Tao Ling dan Lie Cun Ju. Apakah di dalam goa itu terdapat jalan tembus yang lain? Tapi mengapa I Giok Hong tidak dapat menemukannya.

Akhirnya dengan kesal dia keluar lagi dari goa itu.

Sebetulnya pada saat itu, timbul niat ingin membunuh Tao Ling dan Lie Cun Ju dalam benak I Giok Hong. Hal ini bukan karena dia merasa tidak tentram dengan adanya dua orang manusia itu di dalam dunia ini. Yang dikhawatirkannya justru janin dalam perut Tao Ling.

Usia kehamilan Tao Ling baru jalan bulan kelima. Yang diresahkan I Giok Hong justru apabila anak itu lahir dan mempunyai watak yang sama dengannya. Sekali mendengar riwayat hidupnya, anak itu pasti akan menjadi bumerang bagi dirinya kelak. Karena itu, selagi belum sempat dilahirkan, dia harus membunuh Tao Ling.

Setelah mencari-cari tanpa hasil, I Giok Hong melangkah keluar.

"Giok Hong, apakah urusanmu sudah selesai?" Terdengar Tao Heng Kan berteriak.

"Aneh, aku justru tidak menemukan mereka. Heng Kan, apakah kau melihat orang keluar dari goa ini?"

"Tidak," sahut Tao Heng Kan.

Tubuh I Giok Hong berkelebat, dia sudah melesat keluar dari goa itu. "Heng Kan, mari kita berangkat!"

"Kemana?"

"Aku dengar dari Lie Cun Ju bahwa wajahnya tiba-tiba menjadi cacat seperti kita ketika terjatuh ke dalam jurang dekat perkampungan keluarga Sang. Kita menuju ke sana saja untuk melihat-lihat. Siapa tahu kita berhasil menemukan laba-laba merah itu dan dengan demikian wajah kita dapat pulih kembali, bukan?"

"Baiklah, Memang ada baiknya kalau wajah kita dapat dipulihkan kembali. Orang- orang tidak akan ketakutan melihat kita. Oh ya, ngornong-ngomong, apakah kau melihat adikku?"

"Kalau kau ingin mencarinya, pergilah!" "Bukan begitu maksudku, Giok Hong."

Sebetulnya Tao Heng Kan mengira Tao Ling sudah berangkat bersama Lie Cun Ju sejak tadi. Mengingat mereka kakak beradik kembali harus berpisah dan entah kapan baru bisa bertemu kembali, hati Tao Heng Kan menjadi sedih, Diam-diam dia hanya dapat menarik nafas panjang. Sementara itu, I Giok Hong mengajak Tao Heng Kan meninggalkan tempat itu. Mereka menuju daerah Tiong goan. Setelah menempuh perjalanan kurang lebih sepuluh hari, mereka sampai di sebuah desa. I Giok Hong mencari seorang pandai besi dan memesan buah-buah gagang untuk pedang pusakanya. Dia juga memesan dua sarung pedang. Beberapa hari kemudian pesanannya sudah selesai. I Giok Hong menyelipkan kedua batang pedang itu di pinggangnya.

I Giok Hong tampak bangga sekali memiliki kedua batang pedang pusaka itu. Tao Heng Kan tidak memperlihatkan reaksi apa-apa. Baginya yang penting I Giok Hong tidak sengaja menggunakan pedang-pedang itu untuk mencelakai orang lain.

Mereka melanjutkan perjalanan menuju perkampungan keluarga Sang. Selama itu tidak ada peristiwa apa-apa yang terjadi. Beberapa hari kemudian mereka sudah sampai di perkampungan keluarga Sang.

Gedung besar itu sepi sekali. Tidak ada seorang pun di dalamnya. Mungkin apa pelayan sudah kembali ke rumah masing-masing setelah tiada kabar berita dari majikan muda mereka. Menurut desas desus yang terdengar di luaran. Sang Cin dan Sang Hoat mengikuti guru mereka, Kim Ting siong jin menuju daerah Biao.

Sementara itu, I Giok Hong dan Tao Heng Kan mengelilingi perkampungan keluarga Sang beberapa kali. Mereka tidak berhasil menemukan satu orang pun, akhirnya mereka keluar dari gedung itu.

Tidak lama kemudian mereka sudah sampai di tepi jurang. I Giok Hong melongokkan kepalanya melesat beberapa saat.

"Heng Kan, mengapa laba-laba merah itu bisa muncul di tempat ini?" tanyanya. Tao Heng Kan menggelengkan kepalanya.

"Aku sendiri tidak mengerti."

"Kalau menilik cerita Lie Cun Ju, dia pasti terjatuh dari tempat ini. Tetapi daerah ini begini luas, tentu sulit mencari seekor laba-laba merah.

"Heng Kan, kita berpencar mencarinya. Kau cari di sekitar tempat ini, aku ingin memperhatikan jurang ini sebentar."

Tao Heng Kan mengiakan. Dia mulai mencari dengan seksama. Tapi sampai satu kentungan lebih, mereka tetap tidak berhasil menemukan apa-apa. Sementara itu, I Giok Hong menatap lautan yang luas dengan termangu-mangu. Dia sedang membayangkan apa yang dialami Lie Cun Ju saat itu. Tiba-tiba dia melihat bayangan suatu benda yang melintas di atas permukaan laut. Hanya sekilas kemudian menghilang.

"Heng Kan, Heng Kan! Cepat kemari!" Tao Heng Kan yang sudah kemhali dari pencariannya yang sia-sia segera menghampiri I Giok Hong.

"Giok Hong, apakah kau menemukan sesuatu?"

"Tadi aku seperti melihat bayangan sebuah perahu yang melintas, tetapi tiba-tiba saja meng-

hilang."

"Akh . . . kau pasti salah lihat."

"Tidak. Heng Kan, kau tunggu di sini, aku akan turun melihatnya." "Jangan Giok Hong, berbahaya."

"Tidak apa-apa."

Tanpa menunggu komentar dari Tao Heng Kan, I Giok Hong langsung mengerahkan gin kangnya untuk mencelat ke dalam jurang. Gerakan tuhuhnya demikian indah.

Dalam sekejap mata sudah berhasil mencekal sebatang dahan pohon siong. Dengan pedang hijaunya, dia menebas hagian batang pohon sebelah atas yang agak besar. Batang pohon itu meluncur jatuh. Tubuh I Giok Hong pun melesat turun dan mendarat tepat di atas batang pohon itif. Dengan menggunakan batang pohon itu dia meluncur di atas permukaan air laut lalu mengambil arah lintasan perahu yang dilihatnya.

Tidak lama kemudian I Giok Hong melihat sebuah celah batu karang yang lebat. Otak I Giok Hong memang cerdas sekali. Begitu melihat celah itu, dia langsung sadar perahu yang dilihatnya pasti masuk ke dalam sana. I Giok Hong pun membelokkan batang kayu yang ditumpanginya untuk memasuki celah itu.

Sesampainya ke dalam, gadis itu melihat permukaan air yang tenang. Sekejap kemudian dia melihat daratan. Hati I Giok lantas bersemangat sekali. Dia menduga tempat ifis mungkin merupakan pengasingan seorang tokoh tua dunia bu lim. Karena itu, setelah berjalan ke dalam beberapa langkah. Dia segera berteriak.

"Sahabat siapa yang mengasingkan diri di tempat ini, bolehkah aku tamu yang tidak diundang ini menemuimu?"

Baru saja kata-katanya selesai, tiba-tiba dia melihat sesosok bayangan berkelebat di depannya. Tetapi dalam sekejap mata bayangan itu menyurut kembali.

Ketika sosok bayangan itu melintas sekejap, hati I Giok Hong langsung tergerak. Meskipun hanya sekilas, tapi pandangan mata I Giok Hong yang tajam langsung mengenalinya, yakni Lie Cun Ju yang dicari-carinya selama itu.

Apabila Lie Cun Ju ada di sini, tidak perlu diragukan lagi Tao Ling pasti ada juga.

I Giok Hong sama sekali tidak menyangka hahwa secara kebetulan dia bisa menemukan mereka di tempat seperti itu. Hatinya menjadi gembira. Tubuhnya segera berkelebat ke depan. "Tidak perlu bersembunyi lagi, aku sudah melihatmu."

Terdengar suara pintu membuka, Lie Cun Ju melangkah keluar dari dalam. I Giok Hong menataptya lekat-lekat. Sekali lagi ia tertegun

Karena wajah Lie Cun Ju sekarang sudah bersih seperti sedia kala. Urat-urat merah yang bertonjolan telah lenyap. I Giok Hong sampai mengeluarkan suara seruan terkejut.

"Kau sudah berhasil menemukan laba-laba merah itu?" Lie Cun Ju maju satu langkah.

"I kouwnio, bolehkah kita bicara disebelah sana?" "Kenapa?"

"Tao kouwnio baru tertidur, jangan sampai dia terganggu."

Wajah I Giok Hong berubah garang. Belum sempat dia memberi komentar, Lie Cun Ju sudah berkata lagi.

"I kouwnio, sekarang kau telah mendapatkan pedang hijau dan pedang tanpa wujud itu. Seharusnya perasaanmu sudah puas."

Rupanya ketika berada di sebuah goa dekat sebelah barat Gunung Kun Lun san, Lie Cun Ju dan Tao Ling sudah mengetahui apa yang sedang terjadi di luar. saat itu Tao Ling baru menelan kedua butir pil pemberian Kwe Tok dan selembar nyawauya boleh dibilang baru terenggut kembali dari tangan maut.

Mereka sadar setelah Kwe Tok mati, I Giok Hong pasti akan memasuki goa untuk membunuh mereka. Karena itu Lie Cun Ju segera menyusup ke dalam goa untuk menemukan jalan keluar yang lain. Ternyata di bagian paling dalam dari goa itu ada sebuah celah yang sempit sekali. Lewat celah itu Lie Cun Ju menarik Tao Ling perlahan-lahan melaluinya. Dan rupanya di balik celah itu terdapat jalan tembus yang lebar.

Saat itu sebetulnya I Giok Hong juga sempat melihat celah itu. Namun dia tidak menduga celah itu bisa dilalui. Dan dia keluar kembali tanpa mencobanya sama sekali. Sementara itu, Lie Cun Ju yang berhasil meloloskan diri dengan membawa Tao Ling, merasa tempat kediaman Kwe Tok merupakan sebuah pengasingan diri yang sesuai untuk mereka. lagipula sekarang di sana sudah kosong. Karena itulah Lie Cun Ju membawa Tao Ling ke tempat itu.

Baru saja mereka sampai di sana, Lie Cun Ju menemukan laba-laba merah. Kemudian diguna-kannya untuk menyembuhkan wajah mereka berdua. Bahkan Lie Cun Ju masih memelihara laba-laba merah itu. Dan dalam anggapannya untuk seumur hidup mereka tidak akan bertemu lagi dengan manusia lain. Ternyata baru kurang lebih satu bulan mereka menetap di tempat itu tahu-tahu sudah muncul I Giok Hong yang berniat jahat kepada mereka. Tentu saja hal itu sempat membuat Lie Cun Ju terkejut. Tetapi setelah merenung sesaat, dia merasa tidak ada gunanya melarikan diri ke mana pun juga. Barangkali memang sudah suratan nasib mereka berumur pendek. Dengan membawa pikiran demikian, perasaan Lie Cun Ju justru jadi tenang kembali.

Sementara itu, I Giok Hong yang mendengar kata-kata Lie Cun Ju barusan langsung tersenyum licik.

"Justru masih ada satu urusan yang membuat perasaanku kurang puas."

Lie Cun Ju tertawa getir. "Karena aku dan Ling moay masih hidup di dunia ini?"

I Giok Hong tertawa terbahak-bahak. Belum lagi dia mengatakan apa-apa, terdengar suara Tao Ling dari dalam pondok.

"Cun Ju, dengan siapa kau berbicara?" "Ling moay, keluarlah!"

Dari bagian pintu tampak sesosok bayangan berkelebat. Tao Ling berjalan ke luar dari dalam pondok. Baru lewat satu bulan perut Tao Ling sudah semakin membesar. Ketika melihat I Giok Hong, dia sempat tertegun. Namun ketika pandangan matanya beralih kepada Lie Cun Ju, dia melihat ketenangan di wajah kekasihnya. Saat itu juga dia bisa memahami isi hati Lie Cun Ju. Karena itu dia pun tersenyum lembut.

"Rupanya I kouwnio!"

I Giok Hong manusia yang penuh kecurigaan. Melihat Lie Cun Ju dan Tao Ling begitu tenang menghadapinya, dia malah mempunyai dugaan yang lain, jangan-jangan di dalam ponduk itu masih ada tokoh berilmu tinggi lainnya yang dapat mereka andalkan? I Giok Hong langsung tertawa dingin.

"Masih ada siapa lagi di dalam pondok itu, mengapa kalian tidak mengundangnya keluar sekalian?"

Lie Cun Ju saling berpandangan dengan Tao Ling lalu tersenyum. Mereka berdua berdiri berdampingan.

"Di tempat ini hanya ada kami berdua, tidak ada orang lainnya lagi."

I Giok Hong tampaknya masih kurang percaya. "Cepat serahkan laba-laba merah itu kepada-ku!"

"I kouwnio, mengapa kau begitu tegang? Kami' pasti akan menyerahkan laba-laba merah itu kepadamu."

"Masa kalian rela menyerahkannya begitu saja?"

I Giok Hong selalu menilai orang lain sania dengan wataknya sendiri. Apabila laba- laba merah itu dia yang menemukan, tentu saja dia tidak sudi menyerahkannya tanpa imbalan yang sesuai. Namun sikap Lie Cun Ju dan Tao Ling justru jauh berbeda dengannya.

Sekali lagi kedua orang di hadapannya tersenyum.

"I kouwnio, bagi kami tidak ada yang berarti lagi di dunia ini. Sedangkan kehidupan saja sudah tawar, apalagi hanya seekor laba-laba merah. Apabila kau mengalami kejadian seperti kami, tentu kau sendiri akan merasakannya."

"Hm . . . Kalau begitu kalian tidak takut lagi menghadapi kematian?"

"Setiap manusia toh harus mengalaminya, mengapa harus merasa takut?" sahut Tao Ling lembut.

"Baik. Aku ingin melihat sampai di mana kekerasan hati kalian itu."

Pedang hijaunya dihunusnya. Serta merta dia mengayunkannya ringan-ringan ke arah pundak Lie Cun Ju.

Tampak pundak Lie Cun Ju langsung mengucurkan darah segar. Segurat garis yang panjang terlihat saat itu juga. Pada saat itu hati I Giok Hong sudah marah sekali. Dia merasa benci kepada Lie Cun Ju dan Tao Ling. Dia juga merasa iri melihat kasih sayang mereka berdua. Dia tidak ingin membunuh keduanya sekaligus. Tetapi dia ingin menyiksa mereka perlahan-lahan.

Namun saat itu kembali dia tertegun. Lie Cun Ju yang pundaknya terluka dan berdarah tidak merintih sedikit pun. Bahkan Si mata Tao Ling pun tidak terlihat sinar cemas.

Mereka malah berpelukan dengan erat dan saling memandang dengan bibir tersenyum. Hal itu membuat kemarahan I Giok Hong semakin meluap-luap.

Dia mengayunkan pedangnya sekali. Saat itu pundak Tao Ling yang menjadi sasaran. Tetapi sikap Tao Ling sama dengan Lie Cun Ju tadi. Dia tidak meringis sedikit pun. Mereka masih juga tersenyum dan seakan tidak merasakan sakit sama sekali.

I Giok Hong menjadi kalap. Diayunkannya pedang hijau itu kesana kemari. Dalam sekejap mata tidak ada lagi bagian tubuh Lie Cun Ju dan Tao Ling yang iuuh.

Seluruhnya penuh dengan bercak darah yang mengerikan. Meskipun I Giok Hong menyerang mereka dengan gerakan yang ringan, luka di sekujur tubuh itu dapat dipastikan perih sekali. I Giok Hong ingin mendengar keduanya merengek dan memohon agar dia menghentikan perbuatannya. Naniun rupanya keinginannya itu tidak terkabul.

Baru saja I Giok Hong ingin mengayunkan pedangnya kembali, tiba-tiba terdengar suara ben-takan Tao Heng Kan.

"Giok Hong! Apa yang kau lakukan?"

Rupanya pemuda itu juga sudah menyusul tiba. Dan ia terkejut sekali melihat tindakan I Giok Hong yang begitu tidak berperikemanusiaan. Kemarahan I Giok Hong sedang meluap-luap. Begitu melihat Tao Heng Kan, dia justru tertawa terbahak-bahak.

"Bagus, bagus. Kedatanganmu tepat sekali. Aku ingin kau menyaksikan sepasang kekasih yang tidak takut menghadapi kematian ini."

"Giok Hong, kau benar-benar sudah gila. Rupanya kau sudah lupa perjanjian kita tempo hari?"

I Giok Hong langsung tertegun mendengar kata-katanya. Meskipun wataknya sangat kejam dan tidak berperikemanusiaan, namun I Giok Hong mempunyai satu persamaan dengan I Ki Hu, yakni tidak pernah menyalahi kata-katanya sendiri. Pedang yang sudah diangkat ke atas dan siap diayunkan, diturunkan kembali.

"Baik, Heng Kan. Aku tidak akan membunuh mereka sekarang. Karena sesuai dengan perjanjian kita. Selama setahun asal bukan orang lain yang mencari gara-gara denganku, aku tidak boleh membunuhnya. Tetapi ingat, larangan ini hanya berlaku untuk satu tahun. Dan sekarang satu bulan telah berlalu. Berarti tinggal sebelas bulan lagi. Sampai waktunya kau tidak bisa menghalangi apa pun yang ingin kulakukan."

Tao Heng Kan tahu watak I Giok Hong yang tidak boleh dikutak katik. Apabila dia sudah berkata demikian, biarkanlah semuanya berlangsung sesuai kehendak gadis itu. Sebelas bulan toh masih cukup lama. Selama itu Lie Cun Ju dan Tao Ling bisa melarikan diri sejauh-jauhnya. Karena itu dia pun menganggukkan kepalanya.

"Baiklah. Apabila waktunya sampai terserah apa saja yang kau inginkan!"

"Bagus. Selama sebelas bulan ini, aku tidak akan ke mana-mana, aku akan tinggal di sini sampai waktunya tiba!"

Betapa terkejutnya hati Tao Heng Kan mendengarkan kata-katanya. "Kau ... kau . . .!"

Tao Heng Kan sampai tidak sanggup mengatakan apa-apa.

"Kau kira aku begitu bodoh meninggalkan mereka di sini. Lalu memberi kesempatan kepada mereka agar dapat melarikan diri?" kata I Giok Hong sambil tertawa terbahak- bahak.

Lie Cun Ju dan Tao Ling yang sejak tadi terdiam, tiba-tiba melepaskan pelukan mereka dan menghampiri Tao Heng Kan.

"Koko, biarkan saja. Kami memang sudah jenuh menghadapi kehidupan ini. Kau tidak perlu membela kami sedemikian rupa!" kata Tao Ling.

"Tidak, moay moay. Sejak ayah dan ibu meninggal, hanya kaulah satu-satunya sanak keluargaku yang masih ada. Aku tidak dapat membiarkan dia berlaku semena-mena kepadamu." "Serahkanlah semuanya ke tangan Thian yang kuasa!" kata Tao Ling.

Tao Heng Kan hanya menarik nafas panjang mendengar kata-kata adiknya. I Giok Hong hanya mendengarkan pembicaraan mereka dengan sorot mata dingin.

*****

Di tempat itu terdapat dua buah pondok yang tadinya didiami oleh Kwe Tok dan si gagu. Lalu di bagian dalam ada sebuah goa yang menjadi tempat tinggal si perempuan setengah baya.

Sekarang pondok yang satunya ditempati Tao Ling. Tao Heng Kan dan Lie Cun Ju tinggal di pondok yang satunya lagi. Sedangkan Giok Hong tinggal di pondok perempuan setengah baya.

Selama berbulan-bulan, I Giok Hong tidak pernah menanyakan tempat siapa yang mereka tempati itu. Hal itu tidak penting baginya. Setiap hari dia hanya menghitung hari yang berlalu dan berharap waktunya cepat-cepat sampai agar dia dapat membunuh Tao Ling dan Lie Cun Ju.

Hari itu, pagi-pagi sekali. Terdengar suara gaduh dari dalam pondok Tao Ling. I Giok Hong yang baru melangkah keluar dari goanya langsung merasa curiga. Jangan-jangan ketiga orang di pondok itu sedang berusaha melarikan diri dari cengkeramannya.

Karena itu, tampak tubuhnya berkelebat dan secepat kilat dia menghambur ke arah pondok.

Dalam waktu yang bersamaan, Tao Heng Kan dan Lie Cun Ju juga menghambur masuk ke dalam pondok Tao Ling. Mereka melihat Tao Ling sedang membolak balikkan tubuhnya di atas balai-balai rotan dengan wajah meringis kesakitan Lie Cun Ju dan Tao Heng Kan panik sekali.

"Ling moay, ada apa?" teriak Lie Cun Ju.

Keringat dingin membasahi seluruh wajah Tao Ling. Mulutnya terus merintih. "Sakit . . . sakit . . ."

I Giok Hong juga sudah masuk ke dalam pondok. Melihat keadaan Tao Ling, gadis itu langsung tertawa dingin.

"Ambilkan sebaskom air panas!" bentaknya keras.

Tao Heng Kan dan Lie Cun Ju langsung menatapnya dengan perasaan terkejut. "Giok Hong, kau . . . kau . . ."

Lie Cun Ju tidak kalah paniknya.

"I kouwnio, waktu yang kau janjikan masih ada tujuh hulan lebih lagi . . ." "Manusia busuk, kau tidak tahu bahwa kekasihmu itu akan melahirkan? Dan orang yang melahirkan membutuhkan air panas, tahu?"

Perasaan Tao Heng Kan dan Lie Cun Ju langsung menjadi lega mendengar kata- katanya Lie Cun Ju cepat-cepat lari ke dapur untuk menjerang air panas. Ketika itu, I Giok Hong tampak berjalan mondar mandir seakan sedang merenung sesuatu.

Tidak lama kemudian Lie Cun Ju sudah kembali lagi membawa sebaskom air panas. I Giok Hong menyambutnya.

"Kalian keluarlah!" katanya.

Tao Heng Kan langsung keluar dari pondok itu. Sedangkan Lie Cun Ju tampak masih bimbang. Tao Heng Kan masuk kembali lalu menyeretnya keluar.

"Lie heng, biarkan Giok Hong sendiri yang menanganinya! Kita orang laki-laki toh tidak paham apa-apa mengenai hal itu."

"Tapi . . ."

"Jangan khawatir. Aku mengetahui dengan baik watak Giok Hong. Dia tidak akan mencelakai moay moay."

Lie Cun Ju terpaksa mengikuti saran Tao Heng Kan. Di depan pondok kedua laki-laki itu berjalan mondar mandir dengan gelisah. Suara rintihan Tao Ling semakin menjadi- jadi. Semua itu bagai irama yang mencekam jantung Lie Cun Ju. Dia tetap mencemaskan keselamatan Tao Ling juga anak dalam perutnya itu. Siapa yang bisa menjamin apabila I Giok Hong tidak akan membunuh bayi itu begitu terlahir nanti?

Bisa saja dia mengarang cerita bahwa anak itu memang sudah mati ketika dilahirkan.

Keringat dingin menetes terus di kening Lie Cun Ju. Tiba-tiba dia menghampiri Tao Heng Kan dan mencekal tangannya erat-erat.

"Tao toako, anak dalam perut Ling moay memang dari benih I Ki Hu, tapi aku tahu benar bahwa Ling moay tidak membenci anak dalam perutnya itu. Bahkan mencintainya. Apabila I kouwnio sampai mencelakakan anak itu, aku khawati Ling moay tidak sanggup menahan pukulan bathin yang demikian berat karenanya."

Tao Heng Kan yang mendengarnya sempat tertegun sejenak.

"Lie heng, untuk saat ini, aku berani menjamin Giok Hong tidak akan melakukan hal itu. Entahlah apabila waktu perjanjian kami telah habis nanti. Terserah kita lihat nasib saja."

Lie Cun Ju tidak mengatakan apa-apa lagi. Dia tahu saat ini Tao Ling sedang bergelut dengan maut. Tetapi sebagai seorang kekasih, tidak ada satu hal pun yang dapat dilakukannya. Bagaimana perasaan hatinya tidak menjadi perih mengingat hal itu? Dia mengepalkan kedua tangannya erat. Kakinya terus melangkah mondar mandir di luar pondok itu. Bagi perasaannya, waktu berlalu terlalu lambat. Setiap detik benar- benar sulit dilaluinya. Tiba-tiba telinganya mendengar suara jerit tangis seorang hayi.

Mula-mula Lie Cun Ju tertegun, kemudian dia menghambur seperti orang gila. Tao Heng Kan mengikuti di belakangnya.

"Ling moay, Ling moay bagaimana keadaanmu?"

Lie Cun Ju menerjang ke dalam pondok. Tam-pak I Giok I long sedang memondong seorang bayi yang masih merah. Sedangkan Tao Ling herharing di atas balai-balai dengan mata terpejam. Perasaan Lie Cun Ju khawatir sekali. Dia segera mendekati Tao Ling.

"Ling moay, Ling moay, apakah kau haik-baik saja?" Perlahan-lahan Tao Ling membuka matanya. "Anakku . . . anakku . . ." katanya lemah.

1 Giok Hong memandangi mereka dengan sinar mata dingin.

"Seorang bayi perempuan, manis bukan?" katanya sembari menundukkan kepalanya kembali menatap bayi dalam pondongannya.

Tao Heng Kan maju beberapa langkah untuk melihat bayi itu. Cantik sekali dan mirip dengan I Giok Hong.

"Anak yang manis, tapi sayangnya dia tidak akan mengetahui siapa orang tuanya yang sebenarnya," kata I Giok Hong samhil tersenyum manis.

Tao Ling dan Lie Cun Ju terkejut setengah mati. Demikian pula Tao Heng Kan. "I Giok Hong, apa maksudmu?" tanya Lie Cun Ju tajam.

I Giok Hong tertawa terbahak-bahak.

"Tidak apa-apa. Aku hanya akan membawa anak ini ke tempat tinggalku. Sebagai jaminan bahwa kalian tidak akan melarikan diri. Sampai waktunya nanti, aku akan membunuh kalian berdua dan anak ini akan kupelihara sampai besar."

"Tidak! Tidak . . .! Berikan anakku! Berikan anakku!" jerit Tao Ling histeris. Tawa I Giok Hong semakin keras.

"Kalian lihat! Wajahnya mirip denganku, bukan? Semua orang pasti akan percaya bila kau mengatakan ini anakku."

"Kau gila!" bentak Tao Heng Kan. "Jawaban apa yang akan kau berikan bila orang menanyakan di mana ayahnya. Ingat, kau masih seorang gadis, Giok Hong!" Mata I Giok Hong menyorotkan sinar yang tajam.

"Dengan memiliki dua batang pedang pusaka ini, siapa yang berani mengajukan pertanyaan seperti itu di hadapanku? Akan kucincang habis tubuh orang yang berani menanyakannya."

Tao Ling berusaha bangkit dari tempat tidur. Tapi keadaannya masih terlalu lemah. Hampir saja dia terjatuh kembali apabila tidak cepat-cepat dipapah oleh Lie Cun Ju.

"Ling moay, bagaimana keadaanmu?" Tanya Lie Cun Ju. Tao Ling berusaha memberontak.

"Aku . . . tidak apa-apa. Aku . . . ingin melihat anakku!"

Lie Cun Ju membiarkan Tao Ling berbaring kembali di atas balai-balai. Dia menghampiri I Giok Hong.

"I kouwnio, biarkanlah Tao kouwnio melihat anaknya!" I Giok Hong tertawa terkekeh-kekeh.

"Baiklah. Aku akan berbaik hati membiarkan kau melihatnya satu kali. Tetapi setelah itu aku akan membawanya ke tempat tinggalku."

Tao Heng Kan berdiri di belakang I Giok Hong. Dia mengedipkan matanya memberi isyarat kepada lie Cun Ju. Tentu saja Lie Cun Ju mengerti maksud Tao Heng Kan.

Terpaksa dia menganggukkan kepalanya.

"Terserah I kouwnio. Asal sekarang kau berikan dulu bayi itu kepada ibunya!"

I Giok Hong menyodorkan bayi itu kepada Tao Ling. Tao Ling memeluknya dengan segenap kasih sayang. Dia mengecup seluruh wajah bayi itu dengan air mata bercucuran. Tetapi I Giok Hong tidak memberinya kesempatan lama-lama menggendong anaknya. Tanpa perasaan kasihan sedikit pun dia merenggut bayi itu kemhali.

"Sudah. Sekarang aku akan membawa bayi ini ke tempat tinggalku,"

Tao Ling menangis tersedu-sedu. Kepalanya terasa pening tujuh keliling. Sesaat kemudian dia terkulai tidak sadarkan diri karena tekanan bathin yang menimpanya.

Lie Cun Ju panik sekali. Cepat-cepat dia menghampiri perempuan itu. Hatinya terasa perih. Matanya melihat I Giok Hong mengbambur ke luar dari pondok dengan memhawa bayi merah itu.

Lie Cun Ju dan Tao Heng Kan merasa tertekan karena mereka tidak dapat berbuat apa- apa, meskipun 1 Giok Hong memhawa bayi itu di hadapan mata mereka. Keduanya kbawatir 1 Giok Hong akan berlaku buruk pada bayi itu, walaupun tidak dengan membunuhnya.

*****

Hari-bari kemhali berlalu. Tubuh Tao Ling semakin kurus karena memikirkan anaknya. Satu hal yang masih membuat perasaannya terhibur, yakni mendengar dari Lie Cun Ju dan Tao Heng Kan bahwa 1 Giok Hong memperlakukan anaknya dengan baik. Setiap pagi gadis itu memetik buah-buahan yang ada di sekitar tempat itu dan memeras sarinya untuk diminumkan kepada si bayi. Bahkan Tao Heng Kan pernah mendengarnya berceloteh dengan si kecil sambil tertawa-tawa. Tampaknya hati I Giok Hong yang keras itu pun mulai tergugah dengan kemanisan adiknya itu.

Hal itu pula yang selalu ditekankan oleh Lie Cun Ju agar Tao Ling tabah menghadapi cobaan yang berat. Namun diam-diam mereka semua memendam kekhawatiran akan apa yang akan menimpa mereka apabila waktunya tiba.

Hari itu pagi-pagi sekali I Giok Hong sudah datang. Dia menggendong bayi yang sekarang kelihatan mulai membesar itu. Tao Ling menatap anaknya tanpa mengedipkan matanya sekali pun.

Sejak melahirkan tempo hari, baru kali ini Tao Ling melihat anaknya kembali. Selama itu I Giok Hong hanya mengijinkan Tao Heng Kan melihat anak itu, bahkan Lie Cun Ju pun dilarangnya melihatnya.

Sekarang tiha-tiba saja I Giok Hong membawa bayi itu ke pondok Tao Ling. Mereka sadar waktu perjanjian antara Tao Heng Kan dan I Giok Hong telah hahis. Mereka cemas memikirkan apa yang akan dilakukan oleh I Giok Hong terhadap bayi itu dan Tao Ling. Kemungkinan I Giok Hong bisa melepaskan Lie Cun Ju, sebab targetnya memang hanya Tao Ling dan sang bayi yang menurutnya kelak bisa menjadi bumerang bagi dirinya.

I Giok Hong memandangi mereka satu persatu dengan pandangan dingin. "Tao kouwnio, apakah kau tahu hari apa sekarang?"

Tao Ling berdiri terpaku memandangi anaknya. Sikapnya tenang sekali. "Aku tahu. Hari ini adalah hari kematian kami bukan?"

"Nah! Sekarang pertama-tama aku akan membunuh bayi ini. Kalian sebaiknya jangan mencoba-coba menghalangi, sebab tidak akan ada gunanya!"

Tao Ling menerjang ke depan.

"Tidak! I kouwnio, kau tidak boleh membunuhnya! Bunuhlah aku, bunuhlah Cun Ju, tapi biarkan bayi itu hidup!"

"Benarkah kau demikian menyayangi anak ini sehingga rela mengorbankan nyawamu sendiri?" tanya I Giok Hong sambil tertawa dingin. Wajah Tao Ling murung sekali, tapi di baliknya tersirat ketegasan hatinya. "Benar! Aku rela kau membesarkan anak itu. Biar kami saja yang mati."

Tao Heng Kan langsung menghampiri I Giok Hong dan berniat membujuknya.

"Giok Hong, adikku sudah rela kau membesarkan anaknya, lepaskan ia dan Lie heng. Jangan berbuat dosa lagi!"

I Giok Hong mendelik kepada Tao Heng Kan dengan marah.

"Diam kau! Jadi sekarang aku harus melepaskan mereka, agar kelak mereka kembali lagi untuk membalas dendam kepadaku?"

"Giok Hong, mereka bukan manusia seperti itu. Kau tidak perlu khawatir!"

"Tidak! Kecuali mereka berdua sudah mati, kalau tidak, untuk selamanya aku tidak akan tenang!"

Lie Cun Ju dan Tao Ling hanya berdiri dengan termangu-mangu.

"Giok Hong, kau tidak puas-puasnya mencelakai orang!" teriak Tao Heng Kan. I Giok Hong tidak memperdulikan Tao Heng Kan.

"Apakah kalian sudah mempertimbangkan baik-baik? Kalau kalian tidak bersedia mati, maka kau akan membunuh anak ini sekarang juga."

Baru saja ucapannya selesai, Tao Ling sudah berteriak seperti orang kalap. "Tidak. Aku bersedia mati," teriaknya.

Lie Cun Ju tertawa getir.

"I kouwnio, kami sudah bertekad untuk mati. Turun tanganlah!" I Giok Hong tertegun beberapa saat.

"Aku tidak akan membunuh kalian, biar kalian yang mencari jalan kematian sendiri."

Kata-kata I Giok Hong itu bagai petir yang menyambar di siang hari. Untuk sesaat Tao Heng Kan jadi tertegun. Dia berdiri terpaku tanpa sanggup mengucapkan sepatah kata pun.

Lie Cun Ju segera memondong tubuh Tao Ling. Mulutnya terus mengeluarkan suara tawa yang terbahak-bahak. Dia berjalan ke luar dari pondok. I Giok Hong menyerahkan anak itu kepada Tao Heng Kan. "Kau tunggu saja di sini! Mereka akan membunuh diri, jadi tidak ada sangkut pautnya dengan diriku."

Hati Tao Heng Kan merasa seperti disayat sembilu.

"Giok Hong, apakah kau tidak merasa menyalahi hati nuranirnu sendiri mengucapkan kata-kata seperti itu?"

I Giok Hong menarik nafas panjang. ,.

"Aih! Mengapa kau berkata demikian? Mereka boleh saja tidak mati. Kalau kau merasa tidak sampai hati, panggillah mereka kembali!"

Lie Cun Ju memondong Tao Ling dan terus melangkah. Dia seakau tidak mendengarkan panggilan I Giok Hong. Karena hati mereka sadar, bagaimana kejinya gadis itu. Apabila mereka kembali, pasti jiwa anak itu yang akan dikorbankan.

Tao Heng Kan menggendong anak Tao Ling. Satu patah kata pun tidak sanggup diucapkannya.

1 Giok Hong mengeluarkan suara tawa yang merdu. Kemudian dia ikut keluar. Lie Cun Ju berjalan sampai tepi daratan. Dia memondong Tao Ling naik ke atas sebuah sampan. Lalu mendayung perlahan-lahan. I Giok Hong naik ke atas sampan lainnya serta mengikuti dari belakang.

"Kalian berdua mendayung terus sampai ke tengah lautan. Setelah itu loncatlah ke dalam laut!"

Lie Cun Ju terus mendayung. Sebelah tangannya memeluk Tao Ling erat-erat. Sesampai di tengah lautan, segulung ombak yang besar menghempas datang. Sampan itu terguling. Segulungan ombak yang lain kembali menghempas, sampan itu terbalik kembali. Tampak di atas sampan itu sudah tidak ada seorang manusia pun.

I Giok Hong tertawa terbahak-bahak. Dengan mendayung sampannya dia kembali ke celah goa tempat tinggal mereka. Begitu naik ke atas daratan, dia segera berteriak sekeras-kerasnya.

"Heng Kan, Heng Kan."

Ingin sekali dia menyatakan kegembiraan hatinya kepada Tao Heng Kan. Tetapi meskipun dia sudah memanggil beberapa kali tetap saja tidak ada sahutan dari Tao Heng Kan. Perasaan I Giok Hong dilanda kebingungan. Tubuhnya berkelebat memasuki pondok. Begitu sampai di dalam, tampak di atas meja ada secarik kertas. I Giok Hong segera meraihnya. Tampak di atas kertas itu tertulis.

Laba-laba merah ada di sini. Apabila anak ini ada di tanganmu, setiap saat ada kemungkinan dicelakai olehmu. Lagipula aku tidak ingin setelah besar anak ini mempunyai sifat yang sema denganmu. Karena itu aku membawanya jauh-jauh. Di dunia ini kau hanya sebatang kara. Banggalah dengan kedua batang pusakamu dan jadilah tokoh terhebat di dunia kang ouw! Di bagian bawah kertas itu tidak tertera nama penulisnya. Tapi sekali lihat saja I Giok Hong sudah tahu bahwa surat itu ditinggalkan oleh Tao Heng Kan. Kemarahan dalam hati I Giok Hong jangan dikatakan lagi. Dia selalu beranggapan bahwa Tao Heng Kan sangat mencintainya. Apa pun yang dilakukannya, pemuda itu tidak akan pernah meninggalkannya. Tapi, sekarang dia toh ditinggalkan

Dengan kalap I Giok Hong menghunus pedang hijaunya. Ketika itu dilontarkan ke atas dan pedangnya pun mengayun kesana kemari sehingga surat itu menjadi carikan kertas kecil-kecil. I Giok Hong masih belum puas. la mengibaskan pedang hijaunya dengan kalap. Semua perabotan di dalam pondok itu tidak ada satu pun yang utuh. Keadaan di dalam ruangan itu porak poranda diamuk kemarahannya. Bahkan dia menghambur ke luar dan menghancurkan seluruh pondok itu. Setelah pekerjaannya selesai, dia baru terhenyak. Saat itu suatu ingatan melintas di benaknya. Laba-laba merah itu. Tadi dia melihat sehuah kotak kecil tergeletak di samping surat yang ditinggalkan Tao Ileng Kan. Isinya pasti laba-laba merah.

Dengan panik 1 Giok Hong menerjang memasuki pondok kembali. Karena amukannya tadi, tidak ada satu pun perabotan yang masih utuh. Dan kotak tadi pun tergeletak di atas tanah dalam keadaan hancur. I Giok Hong memeriksanya dengan telili. Laba-laba merah itu tidak ada lagi. Mungkin sudah pergi entah ke mana.

Dengan kesal I Giok Hong menghantam tujuh-delapan pukulan ke dinding pondok. Seluruh pecahan kayu dihongkarnya, namun laba-laba merah itu tetap tidak berhasil diketemukan.

Tiba-tiba I Giok Hong melihat ada sedikit celah di lantai yang tadinya ditempati balai- balai. Diam-diam dia berpikir dalam hati, mungkinkah laba-laba itu sudah menyusup ke dalamnya? Bergegas dia menghampiri celah itu. Ternyata sebilah papan yang dapat diangkat ke atas. Tan pa menunda waktu lagi I Giok Hong membukanya.

Tampak sehuah lubang yang cukup dalam. Namun keadaan di dalamnya gelap gulita. Untung saja pandangan mata Giok Hong sangat tajam. Dengan hati-hati dia memperhatikan beberapa saat. Dia tidak dapat mengira dalamnya lubang itu.

Namun ada suatu benda sebesar kepalan tangan yang mengeluarkan cahaya berkilauan di sudut dasar lubang itu.

Hati I Giok Hong jadi tergerak. Tanpa susah payah dia sudah mendapatkan sepasang pedang pusaka yang menjadi rebutan para tokoh di dunia bu lim. Hal ini membuktikan peruntungannya yang bagus. Mungkinkah benda di dasar lubang itu juga sejenis benda pusaka yang tidak ternilai harganya dan telah ditakdirkan dia pula yang memperolehnya?

Berpikir sampai di situ, semangat gadis itu menjadi menyala-nyala. Dia tidak berniat mencari laba-laba merah itu lagi. Diambilnya sebuah batu lalu dilemparkannya ke dalam lubang itu. Kalau ditilik dari suaranya, kedalaman lubang itu mungkin meneapai dua depa lebih. Dengan kepandaiannya sendiri, tidak sulit baginya untuk meloncat turun atau naik kembali.

Tetapi untuk sekian lama dia masih berjongkok di tepi lubang itu mempertimbangkannya. Apakah perlu dia menempuh bahaya itu? Kalau dipikir-pikir, tempat ini pasti milik seorang cianpwe yang sakti sebelumnya. Kemungkinan secara tidak disengaja berhasil ditemukan oleh Lie Cun Ju. Begitu anggapan I Giok Hong dalam hatinya. Sinar berkilauan yang ada di dalam lubang itu memang menarik minatnya, tapi apakah di daiamnya juga dipasang perangkap yang dapat membahayakan jiwanya . . .?

Setelah beberapa saat tidak ada reaksi mencurigakan dari dalam lubang itu, I Giok Hong pun memberanikan dirinya untuk menuruninya. Tubuhnya meluncur secepat kilat dan dihunusnya kedua batang pedang pusakanya untuk berjaga-jaga terhadap segala kemungkinan. 

Namun dia dapat mendarat di bawah dengan mulus. Tampak di tengah-tengahnya terdapat sebuah meja persegi dari batu. Di atasnya meja itu ada suatu benda mirip lencana dari emas dengan bentuk segi tiga. Tanah yang dipijaknya terdiri dari pasir. Dan tembok di sekelilingnya terbuat dari batu. Sedangkan cahaya berkilauan yang dilihatnya dari atas tadi adalah lencana emas yang ada di atas meja batu itu.

I Giok Hong merasa penasaran, tetapi dia tidak berani sembarangan menyentuh lencana itu. Dengan pedang hijaunya dia menyungkit lencana itu. Kemudian terdengar suara dentingan.

Tring!

Tidak ada hal apa pun yang mengejutkan. I Giok Hong menghampiri meja batu dan diambilnya lencana itu.

Benda itu berat sekali. Lebih berat dari emas biasa. I Giok Hong tahu kalau yang digenggamnya bukan benda sembarangan. Gadis itu memperhatikan dengan seksama. Di tengah-tengah lencana itu ada gambar wajah iblis dengan rambut beriap-riap dan menyeramkan sekali. Di atasnya terukir beberapa huruf yang berbunyi Lencana emas ketua Mo kau.

Jantung I Giok Hong langsung berdegup-degup membaca tulisan itu. Sejak mendapatkan pedang pusaka, memang sudah timbui niat untuk membangun kembali partai Mo kau. Tentu saja cita-citanya itu atas pengaruh KweTok juga.

Saat itu dia menggenggam lencana kebesaran atau tanda diri dari ketua Mo kau. Hatinya gembira sekali. Dia sudah membayangkan entah berapa banyak tokoh sesat di dunia yang menyembahnya dan mengelu-elukan namanya dengan gegap gempita. Dan seperti halnya Gin leng hiat ciang, di mana lencananya sampai, tidak ada seorang tokoh bu lim pun yang berani membantah terhadap perintahnya.

Untuk beberapa saat I Giok Hong berdiri termangu-mangu. Kemudian dengan hati- hati sekali dia memasukkan lencana itu ke dalam balik pakaiannya. Kembali dia memperhatikan keadaan di dalam ruangan. Dia melihat ada dua buah gentong besar di sudut ruangan. Bagian atas gentong itu ditutup dengan sebilah papan. I Giok Hong berjalan menghampirinya. Di atas papan itu tertulis: Jenasah ketua Mo kau generasi ketiga puluh sembilan, Kwe Suang.

Sedangkan papan di atas gentong yang lain tertulis: Jenasah putri ketua Mo kau, Kwe Na.

Membaca tulisan itu, hati I Giok Hong termangu-mangu. Dia menggumamkan nama Kwe Na itu berulang kali, tiba-tiba hatinya terasa perih. Dengan lirih ia memanggil.

"Mama! Mama! Aku akan membangkitkan kembali partai Mo kau. Dan akan memaksa setiap orang di dunia ini mengakuimu sebagai ketua Mo kau generasi keempat puluh."

Begitu membaca nama Kwe Na tadi, I Giok Hong langsung menyadari bahwa jenasah yang ada di dalam gentong itu pasti ibunya sendiri yang mati di tangan I Ki Hu.

Meskipun watak I Giok Hong sangat keji dan sejak kecil dia tidak pernah mengenal ibunya, tetapi tidak urung saat itu air matanya bercucuran juga dengan deras mengingat penderitaan ibunya. Dia juga sudah dapat menduga bahwa tempat yang selama itu ditempatinya bersama Tao Heng Kan dan yang lainnya, pasti tempat tinggal yang dihuni Kwe Tok sebelumnya.

I Giok Hong membungkukkan tubuhnya untuk membuka tutup gentong itu. Meskipun dalam hati dia mempunyai dugaan bahwa mayat ibunya saat itu pasti tinggal tulang belulang belaka, tapi dia tidak dapat menahan keinginan hatinya untuk melihat sekejap.

Namun apa yang dilihatnya benar-benar mengejutkan gadis itu. Wajahnya sampai pucat pasi, mulutnya mengeluarkan seruan terkesiap. Ternyata mayat ibunya di dalam gentong itu masih utuh. Posisinya duduk bersila seperti orang yang sedang bersemedi. Dan yang membuatnya terkejut justru wajah ibunya yang begitu jelek. Hidungnya pesek dan besar, bibirnya tebal. Sepasang pipinya bertonjolan sehingga tidak ada sebagian kecil pun yang enak dilihat.

Baru saja I Giok Hong hendak menutup kembali gentong itu dengan papan tadi, tiba- tiba terdengar suara.

Ser! Ser! Ser!

Dari dalam gentong meluncur keluar tiga gulung asap berwarna ungu.

I Giok Hong terkejut sekali. Tanpa menunda waktu lagi, dia mencelat ke atas untuk menghin-darkan diri. Gerakan tubuhnya sudah terhitung cepat, tetapi gulungan asap itu tidak kalah cepatnya. Belum lagi tubuhnya sampai di ruangan atas, kaki kirinya sudah terasa ngilu. Rupanya senjata rahasia yang menimbulkan gulungan asap ungu itu sudah menancap di betisnya. Dengan panik I Giok Hong membantingkan tubuhnya di atas lantai pondok, kemudian bergu-lungan beberapa kali. Dengan menahan rasa sakit si gadis terus menerjang ke luar dan berlari memiju tepi daratan serta menceburkan dirinya ke dalam air.

Anehnya gulungan asap berwarna ungu itu tetap mengejarnya sampai I Giok Hong loncat ke dalam air.

Wes . . .!

Tampak gulungan asap itu pun ikut tercebur.

Tidak lama kemudian, permukaan air tampak merah menyolok karena bercampur dengan darah segar. Lalu sekejap mata kemudian membuyar dan mengalir ke bagian yang lain.

Kurang lebih setengah kentungan kemudian, I Giok Hong baru menyembulkan kepalanya. Wajahnya pucat pasi. Ketika mengetahui gulungan asap tadi sudah tidak ada lagi, dia baru bisa menghembuskan nafas lega. Ketika tubuhnya naik ke tepi daratan, kemhali terlihat cairan darah yang bercampur dengan air. Ternyata kaki kirinya sudah terputus sebatas paha.

I Giok Hong menggeretakkan giginya erat-erat. Dia menotok beberapa jalan darah dekat pangkal pahanya untuk menghentikan pendarahan. Dia ingin memherontak untuk herdiri, tetapi tenaganya sudah tidak ada lagi. Dan sekejap kemudian, dia pun terkulai tidak sadarkan diri.

Ketiga gulungan asap yang meluncur keluar dari gentong tadi adalah tiga hatang senjata rahasia yang dilumuri racun jahat dari wilayah Biao. Merupakan salah satu jenis senjata rahasia andalan partai Mo kau.

Ketika partai Mo kau masih jaya-jayanya, memang hanya Siu Lo Cun Cu yang menyimpan senjata rahasia itu. Di saat I Ki I In membangkang atau mengkhianati Mo kau, Kwe Tok memang sedang tidak ada di tempat. Sedangkan satu-satunya orang kepercayaan pihak Mo kau yang berhasil meloioskan diri, yakni si gagu segera membawa jenasah ketua Mo kau serta putrinya. Dia mengawetkan jenasah kedua orang itu agar tidak membusuk untuk selamanya dan berkelana ke mana-mana mencari Kwe Tok. Ternyata jerih payahnya memang tidak sia-sia. Dia berhasil menemukan orang tua itu.

Kwe Toklah yang memasukkan jenasah abang dan keponakannya ke dalam gentong. Dia pula yang menyiapkan tiga batang senjata raliasia beracun itu di dalamnya. Semua itu tadinya dilakukan untuk menghadapi I Ki Hu. Kwe Tok khawatir, meskipun tempat tinggalnya itu cukup terpencil, tapi siapa yang bisa menjamin kalau si Raja Iblis I Ki Hu tidak akan menemukannya.

Dan satu hal lagi yang diyakini oleh Kwe Tok. Seandainya I Ki Hu menemukan tempat itu, pasti dia juga melihat gentong berisi jenasah ketua Mo kau dan putrinya. Dan mengingat kebencian I Ki Hu terhadap bekas istrinya itu, dia pasli akan menghancur lumatkan jenasah perempuan ini. Itulah sebabnya Kwe Tok memasang perangkap, yakni sebuah alat rahasia yang akan bekerja secara otomatis apabila tutup gentong itu dibuka. Rencananya itu memang sudah bagus sekali. Tetapi Kwe Tok tentu tidak pernah menyangka kalau bukan I Ki Hu yang menjadi korbannya namun cucu keponakannya sendiri.

Sedangakn I Giok Hong yang pada saat itu mencelat ke atas, untung saja mempunyai reaksi yang cukup cepat. Bila tidak, tentu bagian tubuhnya yang terserang dan selembar nyawanya pun tidak dapat dipertahankan lagi. Ketika melihat gulungan asap ungu itu, tiba-tiba I Giok Hong teringat pesan yang pernah ditinggalkan ayahnya dengan wanti-wanti. Apabiia melihat gulungan asap ungu seperti itu, cepat menghindar dan loncat ke dalam air. Hanya itu satu-satunya jalan untuk meloioskan diri dari kejarannya. I Ki Hu sudah pernah mengingatkan kehebatan senjata rahasia andalan Mo kau yang satu itu. Dia juga pernah mengatakan bahwa bagian tubuh yang terkena serangan senjata rahasia itu harus segera dipotong agar racunnya tidak menjalar atau naik menyerang jantung. Apabila hal itu sampai terjadi, meskipun si tabib sakit Hua To hidup kembali, tetap nyawanya tidak dapat diselamatkan.

Itulah sebabnya I Giok Hong lungsung berlari menuju tepi daratan dan loncat ke dalam air. Tanpa berani menyembulkan kepalanya terlebih dahulu, I Giok Hong mengeraskan hati untuk memotong sendiri sebelah kakinya di dalam air.

Ketika itu, I Giok Hong yang jatuh tidak sadarkan diri sampai kurang lebih enam-tujuh ken-tungan, perlahan-lahan bangun kemhali. Dia berusaha untuk bangkit dengan menumpu pada pedang hijaunya yang dijadikan tongkat. Ketika menundukkan kepalanya, I Giok Hong langsung mengeluarkan suara tertawa yang melengking tinggi dan tajam. Perlahan-lahan pula dia berjalan menuju pondok.

Setiap kali melangkah, rasa sakit yang ada pada lukanya begitu menggigit. Wajahnya pucat pasi tapi sepasang matanya menyorotkan sinar kebencian. Seakan ingin menghancurkan seluruh orang yang ada di dunia ini untuk mencairkan kemarahan dalam hatinya karena kehilangau sebelah kakinya itu.

*****

Tidak banyak tokoh bu lim yang mengetahui bahwa I Giok Hong telah mendapatkan pedang pusaka berupa pedang hijau dan pedang tanpa wujud itu. Tetapi secara berturut-turut, mayat I Ki Hu, Cen Sim Fu, dan Kwe Tok ditemukan oleh para tokoh bu lim.

Saat itu juga, seluruh dunia bu lim menjadi gempar. Mayat-mayat itu ditemukan di daerah sebelah barat Gunung Kun Lun san. Hal itu menjadi topik hangat bagi seluruh umat bu lim. Mereka tidak habis pikir siapa yang sanggup membunuh ketiga tokoh yang dikenal sebagai orang-orang yang ilmunya tertinggi di jaman itu.

Namun berita itu hanya menjadi buah bibir selama setengah tahun lebih, kemudian perlahan-lahan situasi pun menjadi dingin kembali. Sampai satu tahun kemudian, terjadi kembali sebuah peristiwa yang aneh.

Berita ini persis seperti segulungan angin yang lembut dan dalam sekejap mata sudah menghembus ke seluruh dunia. Lagi-lagi hal itu menjadi pusat perhatian kaum bu lim. Yang dimaksud dengan peristiwa aneh, adalah kematian seorang tokoh sesat yang sudah lama mengasingkan diri. Kalau hanya mati saja tentu tidak dapat disebut aneh. Kematian tokoh sesat itu begitu mengerikan. Dan dia juga seorang tokoh angkatan tua dari Mo kau.

Ketika I Ki Hu mengkhianati pihak Mo kau orang ini malah ikut-ikutan membunuh sejumlah anggota Mo kau untuk mengambil hati I Ki Hu. Ilmu kepandaian orang itu cukup tinggi namun dia mati dengan pinggang tertebas putus.

Di bagian keningnya terdapat sebuah tanda seperti cap dari lencana bergambar tidak jelas. entah lencana apa, sebetulnya tidak ada orang yang tahu. Namun kebetulan hari itu, beberapa sahabat tokoh itu datang berkunjung. Selain melihat saja, mereka mengenali tanda itu dibuat oleh lencana emas milik ketua Mo kau tempo dulu.

Dan tidak sampai satu bulan, berita itu sudah tersebar luas. Sebetulnya sejak I Ki Hu mengkhianati partai Mo kau dan malang melintang di dunia kang ouw, hampir tidak ada orang yang berani mengungkit nama itu. Namun diam-diam mereka juga mengetahui bahwa seorang tokoh angkatan tua pihak Mo kau yakni Siu Lo Cun Cu Kwe Tok tidak sempat menjadi korban I Ki Hu. Dan kemungkinan pada suatu hari nanti, orang itu akan muncul kembali untuk berhitungan dengan I Ki Hu. Apabila hal itu sampai terjadi, berarti di dunia hu lim kembali terjadi badai topan yang dahsyat.

Namun, tidak disangka-sangka, badai yang ditunggu-tunggu tidak datang, justru mayat I Ki Hu serta Kwe Tok tahu-tahu ditemukan secara berturut-turut. Dan orang-orang mengira, sejak saat itu nama Mo kau pun akan lenyap dari dunia kang ouw.

Peristiwa itu baru berlalu setengah tahun lebih.

Tiba-tiba lencana emas tanda diri ketua Mo kini mendadak muncul di dunia bu lim. Dan begitu muncul, seorang tokoh sesat berilmu tinggi pun menjadi korban.

Dalam waktu setengah bulan itu, entah berapa banyak bekas anggota Mo kau yang tadinya tidak berani memperlihatkan muka di kala I Ki Hu masih hidup, tiba-tiba mendapat surat undangan yang diantarkan oleh serombongan gadis cantik. Di bawah setiap undangan tertempel gambar lencana Mo kau. Di dalamnya tertulis bahwa partai Mo kau telah bangkit kembali. Setiap bekas anggota Mo kau harus memenuhi panggilan ke bukit Giok Li hong, tempat markas Mo kau dulu berada.

Para anggota Mo kau itu sudah lama menyembunyikan diri dari keramaian. Mereka juga men-dengar tentang pembunuhan atas tokoh Mo kau yang dulunya ikut berkhianat, malah tidak lama kemudian mereka mendapat surat undangan yang menyatakan bangkitnya kembali partai Mo kau. Tentu saja hati mereka gembira sekali. Berbondong-bondong mereka berangkat ke bukit Giok Li hong untuk memenuhi undangan tersebut.

Kurang lebih tiga bulan setelah undangan tersebar, yakni musim dingin. Seluruh permukaan bukit Giok li hong diselimuti oleh salju yang tebal. Bahkan di atas puing- puing reruntuhan pun telah penuh oleh salju.

Puing-puing reruntuhan itu tadinya merupakan sebuah bangunan yang megah seperti istana tempat berpusatnya markas Mo kau. Kemudian seluruh bangunan itu dibumi hanguskan oleh I Ki Hu. Kebakaran pada waktu itu memakan waktu dua bulan lebih baru berhasil dipadamkan. Maka sekarang bangunan megah itu hanya tinggal puing- puing dan reruntuhan tembok-tembok istana itu. Meskipun demikian, dapat dibayangkan sampai di mana kejayaan Mo kau dulunya.

Dalam beberapa hari itu, orang-orang yang berkumpul di sekitar reruntuhan itu semakin lama semakin banyak. Meskipun salju turun dengan deras, namun tepat pada hari yang ditentukan dalam undangan, setiap orang yang mendapatkan surat undangan itu, tetap berdiri tegak menunggu. Tidak ada seorang pun yang mengeluarkan suara.

Wajah mereka menyiratkan semangat yang menyala-nyala. Tapi juga terselip ketegangan yang tidak terkirakan.

Mereka menunggu dengan hati bedebar-debar apa sebetulnya yang akan terjadi. Tiba- tiba terdengar suara dentangan sebanyak tiga kali.

Tang! Tang! Tang!

Bunyi lonceng itu membuat wajah setiap orang berseri-seri seketika. Mereka menjatuhkan diri berlutut. Tampak di balik reruntuhan, muncul empat orang gadis yang cantik-cantik. Mereka menggotong sebuah genta yang panjang dan perlahan- lahan melangkah ke depan.

Keempat gadis cantik itu berjalan menuju puing-puing yang letaknya paling atas. Mereka meletakkan genta itu lalu memukulnya kembali sebanyak tiga kali.

Dari kerumunan orang banyak, tampak tampil keluar dua orang kakek berusia lanjut. Wajah mereka putih bersih, jenggot panjang melambai-lambai di bawah dagu. Mata mereka menyorotkan sinar yang tajam. Pandangan mereka mengedar ke para hadirin sekilas kemudian berkata dengan suara lantang.

"Harap Kaucu tampil keluar agar hamba sekalian dapat menyembah!"

Sebetulnya kedudukan kedua kakek itu di dalam partai Mo kau tidak seberapa tinggi. Tetapi kalau dihitung dari sisa anggota yang masih ada, selain usia mereka yang tertua, kedudukan mereka juga paling tinggi. Itulah sebabnya, ketika menerima surat undangan dari ketua Mo kau yang baru, mereka menampilkan kedua kakek itu sebagai juru bicara.

Tentu saja, di antara sisa anggota Mo kau masih ada orang yang kedudukannya lebih tinggi dari kedua kakek itu. Tetapi tempo dulu mereka telah banyak mengalami kejadian pahit dan kerugian yang besar, sehingga mereka hampir tidak percaya lagi kalau Mo kau dapat bangkit kembali. Karena itu mereka tidak mau menampilkan muka. Dan apabila melihat situasinya kurang menguntungkan, mereka mengambil keputusan untuk ngeluyur pergi secara diam-diam.

Begitu kedua kakek tadi menyelesaikan ucapannya, terdengar salah seorang gadis yang berdiri di samping genta berkata.

"Kaucu sebentar lagi akan tampil. Para anggota Mo kau sudah lama memisahkan diri. Sudah lupakah terhadap peraturan Mo kau?" Tampak para hadirin saling memandang sekilas. Tentu saja mereka tidak melupakan peraturan Mo kau yang harus menyembah dengan mencium tanah apabila ketua Mo kau akan muncul. Tetapi, sebetulnya orang-orang yang berkumpul di puing-puing reruntuhan bekas markas Mo kau itu dulunya tidak ada seorang pun yang mempunyai kedudukan menonjol. Jadi selama menjadi anggota Mo kau mereka pun tidak pernah mendapatkan kesempatan untuk bertemu langsuug dengan ketua Mo kau sendiri.

Pada saat itu, hati mereka masih diliputi kebimbangan antara percaya dan tidak terhadap kaucu yang baru itu. Apabila diminta mereka bersujud dengan penghormatan yang tertinggi itu, sebetulnya hati mereka masih ragu. Terdengar suara mereka berkasak kusuk membicarakan hal itu.

Tetapi tidak ada seorang pun yang menjalankan perintah itu.

Gadis yang berbicara tadi langsung mengeluarkan suara tawa yang dingin. Jari tangannya menunjuk kepada kedua kakek yang berdiri di depan mereka.

"Usia kalian sudah begitu tinggi, apakah kalian juga tidak memahami peraturan ini?"

Kedua kakek itu saling melirik sekilas, kemudian memhalikkan tubuhnya, dan berteriak dengan suara lantang.

"Partai Mo kau akan bangkit kembali. Apa salahnya saudara sekalian melakukan penyembahan ini?"

Mendengar ucapan orang tua itu, suara kasak kusuk pun terhenti seketika. Tidak lama kemudian, sebagian besar orang-orang yang berkumpul di tempat itu sudah menjatuhkan diri berlutut dan mencium tanah. Tampak beberapa orang lainnya agak bimbang sejenak, namun akhirnya ikut menyembah juga.

Saat itu kerumunan orang banyak sudah menjatuhkan diri berlutut di atas tanah. Hanya tersisa dua orang yang tidak melakukan penyembahan itu. Mereka tetap berdiri tegak di tempat semula.

Tampak kedua orang itu mengenakan pakaian yang ringkas. Wajah mereka ditutup dengan schelai cadar hitam. Hanya sepasang mata yang terlihat. Kalau ditilik dari profil tubuhnya. dapat dipastikan mereka adalah sepasang laki-laki dan perempuan. Tetapi tidak bisa diduga tokoh dari mana mereka itu.

Saat itu, semua orang lainnya sudah menekuk lutut. Hanya mereka berdua yang masih berdiri tegak. Tentu saja pemandangan itu sangat menyolok. Kedua kakek tadi langsung menuding kepada mereka.

"Sahabat berdua, mengapa masih belum menyembah juga?"

"Apabila Kaucu sudah tampil nanti, toh masih belum terlambat untuk menyembah juga!" jawab yang laki-laki. Dari nada suaranya dapat dipastikan bahwa usianya masih cukup muda. Kedua kakek tadi tidak mengatakan apa-apa. Mereka segera memhalikkan tubuh dan ikut menjatuhkan diri menyembah. Terdengar suara lonceng sebanyak tiga kali.

Tang! Tang! Tang!

Para hadirin segera mendongakkan kepala mereka. Tampak di atas puing-puing reruntuhan tempat keempat gadis tadi menggotong sebuah genta besar, muncul lagi empat orang gadis lainnya.

Keempat gadis yang baru muncul itu tampak mengangkat sebuah alas berbentuk bundar. Di atas alas itu duduk seorang gadis. Pada saat itu lonceng kembali berbunyi sebanyak tiga kali. Hal itu menandakan kaucu telah muncul. Tetapi para hadirin melihat orang yang digotong ke luar lagi lagi seorang gadis. Tanpa dapat ditahan lagi, hati mereka menjadi tertegun seketika.

Dan ketika melihat gadis itu, ada beberapa orang yang tidak dapat menahan kedongkolan hatinya, lalu bangkit berdiri.

Rupanya usia gadis itu masih muda sekali. Sebetulnya wajahnya sangat cantik. Hal itu terlihat dari bentuk hidung dan bibirnya yang bagus dan matanya yang bening berkilauan. Sayangnya seluruh wajah itu dipenuhi urat-urat merah yang bertonjolan sehingga menimbulkan kesan menyeramkan. Di pinggangnya terselip dua batang pedang, rambutnya terurai sampai ke bahu. Sudah wajahnya tidak enak dilihat, bahkan dia juga seorang cacat. Kakinya hanya satu.

Pada saat itu, orang-orang yang herkumpul di bukit Giok li hong rata-rata sudah berusia empat puluh tahun ke atas. Sejak I Ki Hu mengkhianati partai Mo kau, boleh dihilang partai itu sudah terpecah belah tidak karuan. Dan peristiwa itu sudah terjadi dua puluh tahun yang lalu. Seandainya ada anggota Mo kau yang dulunya baru berusia dua puluhan sekarang tentu sudah empat puluhan umurnya.

Padahal, mendengar kebangkitan partai Mo kau, mereka menduga ada seorang tokoh tua berilmu tinggi yang tadinya mungkin merupakan kenalan baik ketua yang lama. Sekarang, ketika melihat yang muncui justru seorang gadis berusia dua puluhan tahun, tentu saja mereka merasa seperti dipermainkan. Itulah sebabnya ada beberapa orang yang ilmunya agak tinggi langsung bangkit berdiri dengan wajah merah padam.

Tampak keempat gadis itu sudah sampai di samping genta. Dan sang gadis yang tadinya duduk di atas sebuah alas itu langsung mencelat turun. Meskipun dia hanya mempunyai sebuah kaki, tapi ketika meloncat turun tubuhnya tanpa limbung sedikit pun. Sepasang matanya menyorotkan sinar yang tajam. Pandangannya mengedar kesekitar.

"Para hadirin semuanya sudah menjatuhkan diri berlutut di hadapanku, mengapa kalian beberapa orang tiba-tiba bangkit kembali?" tanyanya dengan nada dingin.

Saat itu ada empat orang yang bangkit kembali dari berlututnya. Ditambah dengan sepasang laki-laki dan perempuan yang tidak menjatuhkan diri tadi semuanya berjumlah enam orang. Dan pada saat gadis berkaki satu itu muncul di depan umum, tampak tubuh sepasang laki-laki dan perempuan itu sempat bergetar sedikit. Mereka pun mendekatkan diri agar lebih merapat.

Para pembaca sekalian, gadis berkaki tunggal yang baru muncui dan mengaku dirinya sebagai

ketua Mo kau yang baru bukan lain yakni I Giok Hong. Setelah memotong kakinya sendiri I Giok Hong sempat jatuh tidak sadarkan diri sampai enam-tujuh kentungan lamanya. Kemudian dia tersadar lagi dan berjalan menuju pondok yang tadinya ditempati Tao Heng Kan dan Lie Cun Ju. Meskipun luka yang dideritanya saat itu cukup parah, tetapi untung saja tempat kediaman almarhum Kwe Tok itu terpencil sekali. Sehingga I Giok Hong bisa merawat lukanya dengan tenang. Setelah lukanya sembuh dan sudah terbiasa dengan kecacatannya, I Giok Hong baru muncui kembali di dunia persilatan. Dia menyebarkan undangan untuk sisa anggota Mo kau dan menyatakan akan membangkitkan partai itu kembali.

Saat itu I Giok Hong melihat ada enam orang yang tidak bersedia berlutut di hadapannya. Jelas kemarahannya meluap.

Tampak salah satu di antara keenam orang itu, yakni seorang laki-laki berjenggot lebat berjalan ke depan.

"Nona, apakah kau yang menyebarkan undangan dengan lencana emas?" "Tidak salah," sahut I Giok Hong.

"Lencana emas partai kami sudah lama hilang. Mungkin nona yang menemukannya. Tetapi satu hal yang perlu nona ketahui, untuk menjadi kaucu dari parti kami, diperlukan kepandaian yang tinggi sekali."

I Giok Hong tertawa dingin.

"Saudara tentunya meragukan aku mempunyai kesanggupan seperti itu bukan? Mengapa saudara tidak mencobanya saja?"

Sepasang kaki laki-laki berjenggot itu menghentak di atas tanah. Tubuhnya melesat ke depan dan sampailah dia di hadapan I Giuk Hong. Saat itu tangan I Giok Hong sedang menggenggam lencana emas tanda diri ketua Mo kau. Laki-laki berjenggot itu menjura sekejap ke arah lencana itu.

"Harap nona maafkan kelancangan cayhe!" katanya.

Meskipun laki-laki berjenggot itu tidak memandang sebelah mata kepada I Giok Hong, tetapi dia juga tidak berani kurang ajar karena tangan gadis itu memegang lencana emas milik ketua Mo kau.

"Silakan hunus senjatamu dan mulailah menyerang!" kata Giok Hong dingin. "Harap nona sambut dulu dua pukulanku ini!" Sepasang lengan kakek itu menjulur ke depan dan dihantamkannya dua pukulan ke depan. Sejak semula tangan I Giok Hong sudah menggenggam gagang pedang tanpa wujud. Melihat serangan si kakek berjenggot datang, tangannya diangkat ke atas.

Tahu-tahu pedang tanpa wujud sudah dihunus. Laki-laki berjenggot itu hanya mendengar suara dentingan yang lirih. Dia melihat tangan gadis itu menggenggam sebuah gagang pedang Untuk sesaat dia jadi tertegun. Tepat di saat ilu, tampak tangan I Giok Hong mengibas. Pedang tanpa wujud itu ditebaskan ke arah pinggang si laki- laki berjenggot. Orang itu tidak sempat mengeluarkan suara keluhan sedikit pun.

Darah memercik ke mana-mana, sepertinya dia juga tidak sempat merasakan pinggangnya putus menjadi dua bagian dan nyawanya sudah melayang seketika.

Kejadian itu tampaknya di luar dugaan para hadirin. I Giok Hong mencelat mundur dua tindak, kemudian berkata dengan nada dingin.

"Siapa lagi yang tidak sudi mengaku aku sebagai ketua Mo kau?"

Tindak tanduk I Giok Hong barusan benar-benar membuat perasaan para hadirin jadi terkejut. Untuk sesaat, suasana di bukit Giok li hong begitu sunyi mencekam. Bahkan dua di antara orang yang hangkit tadi tanpa dapat menahan kelemasan kakinya dan kembali jatuh berlutut.

Gerakan I Giok Hong tadi sesungguhnya terlalu cepat dan aneh. Para hadirin hanya sempat melihat si laki-laki berjenggot menghantamkan pukulannya, tahu-tahu sudah mati. Mereka hanya melihat I Giok Hong berdiri di tempat semula tanpa bergerak sedikit pun.

Kepandaian seperti itu jangankan melihat, rasanya mendengar pun belum pernah. Melihat laki-laki berjenggot itu mati dalam keadaan demikian mengenaskan, hati siapa yang tidak terkejut.

Setelah dua orang di antara mereka menjatuhkan diri berlutut lagi, kecuali sepasang laki-laki dan perempuan yang sejak semula tetap berdiri tegak, tinggal seorang kakek tua bertubuh pendek yang tetap berdiri. Terdengar dia bertanya dengan suara lantang.

"Mohon tanya, ilmu apa yang nona gunakan untuk membunuh saudaraku tadi?"

"Aku hanya sembarangan menggerakkan pedangku, ternyata dia tidak sanggup menyambut-nya, berarti salah sendiri.

Tiba-tiba saja tubuh si pendek mencelat ke depan, tahu-tahu pedangnya sudah tergenggam di tangan dan menyerang ke arah dada I Giok Hong. Sekali lagi I Giok Hong mengibaskan pedangnya ke depan. Sama seperti pertama tadi, tanpa sebab musabab yang pasti, kakek tua bertubuh pendek itu sudah terkapar di atas tanah dengan leher hampir putus.

Setelah itu tidak ada orang yang berani mengatakan apa-apa lagi. Suasana semakin men-cekam. Tampak sepasang laki-laki perempuan itu berjalan ke depan.

I Giok Hong menatap mereka berdua dengan dingin. "Kalian berdua juga tidak sudi berlutut di hadapanku?"

Kedua orang itu saling melirik sejenak. Terdengar yang perempuan berkata. "I kouwnio, mana anakku?"

I Giok Hong tertegun sesaat. Wajahnya sempat berubah sekejap, tetapi sesaat kemudian sudah pulih kembali seperti sedia kala.

"Oh, rupanya Tao kouwnio."

Begitu mendengar suara perempuan itu, 1 Giok Hong segera mengenalinya yakni Tao Ling. Hatinya merasa terkejut juga melihat perempuan itu sungguh panjang umur.

Meskipun terang-terangan dia melihat mereka tertelan ombak, ternyata dia tetap hidup. Kalau perempuan bercadar itu Tao Ling maka tidak perlu diragukan lagi laki-laki bercadar itu pasti Lie Cun Ju.

"I kouwnio, mana anakku?" tanya Lie Cun Ju.

"Mana anakmu?" I Giok Hong malah berbalik mengajukan pertanyaan.

"Jangan main-main I kouwnio. Aku tidak ingin mencari keributan denganmu. Aku hanya ingin mengetahui di mana adanya anakku sekarang?"

"I kouwnio, apa pun yang kau lakukan, kami tidak mau tahu sebetulnya. Asal kau kembalikan saja anak itu!" kata Lie Cun Ju.

"Tanyakan dulu pada sepasang pedangku ini!"

Tao Ling saling memandang sekilas dengan Lie Cun Ju. Tiba-tiba tubuh mereka berkelebat. Mata 1 Giok Hong seperti herkunang-kuuang. Gerakan mereka begitu cepat. I Giok Hong tidak dapat mengikutinya. Dan belum lagi sempat dia melakukan apa-apa, kedua tangannya terasa ringan. Sepasang pedang pusakanya sudah terjatuh ke tangan Tao Ling dan Lie Cun Ju.

I Giok Hong berdiri dengan termangu-mangu. Dia tidak habis mengerti mengapa ilmu kedua orang itu bisa tiba-tiba menjadi demikian tinggi. Tubuh Tao Ling dan Lie Cun Ju berkelebat lagi ke belakang. Sementara itu, tubuh I Giok Hong tiba-tiba terhuyung- huyung seakan hampir tidak kuat menerima pukulan bathin yang begitu hebat.

Lie Cun Ju maju ke depan satu langkah.

"I kouwnio, sebelah kakimu sudah kutung. Kami menganggapnya sebagai hukuman yang patut kau terima. Kami juga tidak akan menyulitkan dirimu lagi. Dimana anak itu?"

Sampai saat itu, I Giok Hong tidak sanggup bersikap sombong lagi.

"Anak itu sudah dibawa oleh Tao Heng Kan pada saat kalian terjun ke dalam laut!" Tao Ling tertegun beberapa saat. "Kemana perginya kokoku itu?" "Siapa yang tahu?"

Tao Ling langsung mengeluarkan suara siulan yang panjang. Tanpa mengucapkan apa- apa, dia menarik tangan Lie Cun Ju dan melesat meninggalkan tempat itu.

Rupanya ketika terjun ke dalam laut, mereka berdua dihempas ombak laut yang besar dan ter-dampar di sebuah pulau yang kosong. Di dalam pulau itu mereka menemukan sebuah gedung kecil tapi mewah sekali. Gedung itu sudah lama kosong, tiada penghuni seorang pun di dalamnya. Tanpa disengaja mereka menemukan sebuah kotak tua. Di dalamnya terisi setengah bagian dari kitab Leng Can Po Liok. Tao Ling dan Lie Cun Ju mempelajari isi kitab itu sampai tamat. Tanpa mereka sadari pula ilmu mereka sudah tiada tandingannya di dunia ini. Akhirnya mereka bertekad untuk terjun kembali ke dunia persilatan untuk mencari anak Tao Ling yang dikiranya masih ditahan oleh I Giok Hong.

Sejak peristiwa di bukit Giok li hong, jejak I Giok Hong pun menghilang dari dunia persilatan. Para tokoh dunia kang ouw semua tahu adanya dua tokoh berilmu tinggi seperti Lie Cun Ju dan Tao Ling. Namun sampai bertahun-tahun tidak pernah terdengar berita bahwa mereka berhasil menemukan anak Tao Ling.

Nasib manusia memang sudah ditentukan, siapa pula yang dapat menduga apa yang terjadi kelak?

T A M A T
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar