Pedang Tanpa Perasaan Jilid 10

Jilid 10

Sam Jiu Kuan Im Sen Cin juga mempercepat langkah kakinya. Tetapi belum lagi dia sempat mengejar Tao Ling, tiba-tiba dari belakang terdengar suara siulan bagai burung hantu yang sedang meratap.

Suara siulan itu terputus-putus. Dapat diperkirakan bahwa sumbernya berasal dari jarak kurang lebih empat lima li. Berarti suara siulan itu terdengar dari arah gurun pasir. Begitu mendengar suara siulan itu, pasangan suami istri Tao Cu Hun langsung mengeluarkan suara seruan terkejut.

"Cu Hun, mari kita lihat!" teriak Sen Cin.

Tao Ling masih berlari di depan. Mendengar kata-kata ibunya, diam-diam dia merasa heran.

"Ma, kalian ingin balik lagi ke gurun pasir?" "Betul."

"Ma, aku harus segera sampai di Gin Hua kok, aku tidak ingin kembali ke gurun pasir itu lagi."

Perasaan Sen Cin pilu mendengar kata-kata putrinya.

"Ling ji, kau baru bertemu lagi dengan kami. Masa kau tidak memiliki sedikit pun perasaan rindu kepada ayah ibumu?" Pelupuk mata Tao Ling membasah.

"Ma, jangan salahkan anakmu. Justru kalian yang menyimpan sesuatu di dalam hati dan tidak bersedia mengemukakannya kepada anakmu ini."

Mimik wajah Sen Cin dan Tao Cu Hun lambat laun jadi berubah.

"Ling ji, apa yang kau katakan memang benar. Di dalam hati kami ada suatu masalah yang besar sekali dan sampai saat ini belum sempat kami katakan kepadamu. Urusan ini rumit sekali, tak dapat diceritakan dalam waktu yang singkat. Kau ikut dulu dengan kami, sesampai di gurun pasir dan bertemu dengan orang yang mengeluarkan suara siulan untuk memanggil kami itu kau sendiri akan mengerti semuanya," kata Tao Cu Hun.

Sejak beberapa hari yang lalu, Tao Ling selalu menanyakan tujuan ayah ibunya, tetapi mereka selalu ragu menjawabnya. Karena itu, Tao Ling yakin ada sesuatu masalah yang disembunyikan mereka dan tidak ingin diketahui olehnya.

Perasaan Tao Ling saat ini tidak tertarik lagi pada persoalan sebesar apa pun. Dia hanya ingin sampai di lembah Gin Hua kok secepatnya untuk menemui Lie Cun Ju. Setelah itu dia akan melanglang buana ke seluruh jagat untuk menghabiskan sisa hidupnya. Karena itu, pertanyaannya tadi juga dicetuskan secara spontan tanpa mengharap untuk mendapat jawaban dari kedua orang tuanya. Tidak disangka-sangka sekarang dia mendengar nada bicara ayahnya yang demikian serius, dan mimik wajahnya yang diliputi perasaan serba salah. Mau tidak mau hatinya jadi tergerak.

"Tia, kalau memang ada keperluan dengan kalian, mengapa orang itu tidak menyusul kemari saja?"

"Kalau mendengar suara siulannya, mungkin dia sudah bertemu dengan musuh yang tangguh," sahut Tao Cu Hun.

Tao Ling langsung tertegun mendengar keterangan ayahnya. "Siapa sih orang itu?"

Baru saja Tao Cu Hun ingin menyahut, tiba-tiba suara siulan itu berkumandang kembali. Dan kali ini nadanya melengking tinggi.

"Urusan sudah gawat, cepat kita kembali ke sana!" kata Sen Cin gugup.

Tangan Tao Cu Hun menyusup ke ikat pinggangnya. Seiring dengan suara siulan yang melengking tinggi itu, dia sudah meghunus pedang Hek pek kiamnya. Tubuhnya berkelebat, bersama istrinya Sam Jiu Kuan Im Sen Jin. Mereka lari secepat kilat kembali ke gurun pasir. Dalam sekejap mata, tubuh mereka sudah berada di tempat yang jauh sekali.

Untuk sesaat Tao ling jadi tertegun. Dia belum bisa mengambil keputusan untuk ikut serta dengan kedua orang tuanya atau langsung menuju lembah Gin Hua kok saja. Justru ketika pikirannya masih bimbang, tiba-tiba dari kejauhan berkumandang suara Tao Cu Hun.

"Ling ji. Kau ... ce ... pat pergi! Cepat tinggalkan tempat ini!"

Pada saat itu, Tao Cu Hun dan Sen Cin sudah berada di tempat yang jauh sekali. Bayangan mereka pun sudah tidak jelas dilihat. Entah apa yang sedang terjadi pada diri mereka. Tetapi suara teriakan Tao Cu Hun yang dicetuskan dengan mengerahkan tenaga dalamnya masih bisa terdengar dengan jelas.

Tadinya Tao Ling masih bimbang apakah ia harus mengikuti kedua orang tuanya kembali ke gurun pasir atau tidak. Tetapi mendengar suara teriakan ayahnya yang mencegah ia datang dan meminta dia selekasnya meninggalkan tempat itu, hatinya menjadi bingung. Padahal tadi kedua orang tuanya masih menganjurkan agar mengikuti mereka.

"Tia! Mengapa aku harus pergi?" teriak Tao Ling.

Sampai cukup lama, baru terdengar sahutan suara Tao Cu Hun. Tetapi yang diteriakkannya tetap dua patah kata yang sama.

"Cepat pergi!"

Tao Ling dapat mendengar suara ayahnya berkumandang dari jarak paling sedikitnya tiga li. Hatinya menjadi bingung. Mungkinkah dalam waktu yang demikian singkat telah terjadi sesuatu yang mengejutkan?

Saat itu juga, terbayang di pelupuk mata Tao Ling budi kedua orang tuanya yang membesarkannya dengan penuh kasih sayang. Dia juga merasa sikapnya yang bimbang tadi benar-benar tidak pantas. Karena itu, tanpa bimbang lagi, dia berlari kembali ke arah gurun pasir.

Kepandaian Tao Ling memang tidak lemah. Saat itu dia berlari dengan panik, kecepatannya tentu saja laksana terbang. Dalam sekejap mata, dia sudah menginjakkan kakinya kembali ke gurun pasir. Tampak pasir kuning bertebaran di udara. Tao Ling berlari lagi sejauh satu li lebih. Ternyata dia tidak mendengar suara apa pun dan tidak bertemu dengan seorang manusia pun.

Perasaan Tao Ling semakin bingung.

"Tia! Ma! Dimana kalian! Tia! Ma!" Tao Ling teriak sekeras-kerasnya.

Sembari berteriak, langkah kakinya tetap tidak berhenti. Setelah berlari sejauh belasan depa, tiba-tiba Tao Ling tertegun. Tampak di hadapan matanya terhampar segumpal darah segar.

Di tengah gurun pasir, tadinya yang terlihat hanya hamparan warna kuning, kini bertambah dengan adanya gumpalan darah berwarna merah, tentu saja merupakan pandangan yang sangat menyolok. Sedangkan darah yang tercecer di atas tanah itu dapat dipastikan baru mengalir belum berapa lama dari tubuh seseorang. Karena masih tercium bau amisnya dan warnanya masih demikian segar.

Setelah tertegun sejenak, tiba-tiba di benak Tao Ling timbul bayangan kedua orang tuanya dalam keadaan terluka. Perasaannya menjadi panic, cepat-cepat dia mendongakkan kepalanya. Tampak tidak jauh dari gumpalan darah itu masih ada tetesan darah lainnya yang memanjang ke suatu arah.

Tetesan darah itu terus memanjang ke depan. Tao Ling cepat-cepat menghambur mengikuti tetesan darah itu. Berlari kurang lebih setengah li, Tao Ling melihat seseorang terkapar di atas tanah dengan bersimbah darah.

Cepat-cepat Tao Ling membungkukkan tubuhnya untuk memeriksa keadaan orang itu. Ternyata dia menemukan orang itu sudah terluka parah. Wajahnya pucat pasi dan nafasnya tersengal-sengal. Namun orang itu bukan salah satu dari kedua orang tuanya.

Dengan susah payah orang itu membuka matanya. Nafasnya tinggal satu-satu. Saat itu Tao Ling baru melihat bahwa di pundak orang itu ada luka yang menganga. Lebar luka itu sungguh mengerikan.

"Dimana ayah ibuku?" tanya Tao Ling.

Luka orang itu masih mengucurkan darah. Tadinya Tao Ling ingin menolong orang itu, tetapi waktunya sudah demikian mendesak. Mana mungkin ia sempat menghentikan darah di luka orang itu. Tampak orang itu berusaha memberontak, mulutnya mengeluarkan suara erangan pendek.

Perasaan Tao Ling semakin tertekan. "Dimana ayah ibuku?" tanyanya sekali lagi.

Orang itu memaksakan diri untuk membangkitkan tubuhnya, kemudian tangannya menyusup ke dalam kantong seakan ingin meraba sesuatu. Tetapi baru saja tangannya menyusup ke dalam saku pakaiannya, tiba-tiba tenggorokannya mengeluarkan suara krek! Orang itu pun terkulai mati.

Perasaan Tao Ling benar-benar tertekan. Padahal dia ingin mendapat keterangan dari mulut orang itu tentang ayah bundanya. Kemana sebetulnya mereka? Tetapi belum sempat mengucapkan sepatah kata pun, orang itu sudah mati. Dia hanya sempat mengeluarkan suara erangan yang tidak menentu. Tao Ling sendiri tidak tahu apa artinya, atau mungkin hanya erang kesakitan?

Tao Ling sempat berjongkok di samping orang itu termenung beberapa saat. Timbul keinginan untuk menyusul ayah ibunya. Tetapi setelah berlari satu langkah, dia menolehkan kepalanya kembali menengok mayat orang tadi. Tiba-tiba hatinya tergerak, tangan orang itu masih menyusup di sakunya dan belum sempat ditarik keluar, tapi orangnya sudah keburu mati. Kalau ditilik dari gerakannya, tampaknya orang itu ingin mengeluarkan sesuatu dari sakunya namun tidak sempat lagi. Sedangkan barang yang ada dalam sakunya itu mungkin ada hubungannya dengan kedua orang tuanya.

Berpikir sampai di sini, segera Tao Ling kembali lagi dan berjongkok di samping mayat itu. Dia menarik tangan orang itu dari saku pakaiannya. Tampak tangan orang itu menggenggam segumpal kertas erat-erat. Perlahan-lahan Tao Ling merenggangkan jari jemari orang itu dan mengambil kertas yang sudah lusuh karena tergenggam. Dia merasa kertas itu seperti membungkus sesuatu yang berbobot.

Cepat-cepat Tao Ling membuka kertas itu. Ternyata yang terbungkus di dalam kertas itu merupakan seekor naga-nagaan dari emas murni yang panjangnya satu cun lebih dan menyorotkan sinar berkilauan.

Setelah melihat sejenak, perasaan Tao Ling kembali dilanda kebingungan. la tidak tahu apa artinya naga emas itu. Kemudian dia merogoh kembali saku pakaian orang itu. Kecuali sebuah peletekan api dan beberapa keping uang perak, di dalamnya ternyata masih ada sepucuk surat.

Ketika melihat sampul surat itu, Tao Ling langsung terkesiap. Karena huruf yang tertera di atas sampul surat itu adalah tulisan tangan ayahnya sendiri.

Ditujukan kepada Su Song heng, di Siau San.

Membaca nama 'Su Song', sekali lagi hati Tao Ling tercekat. Karena kedua huruf itu tidak asing lagi baginya. Orang yang bernama Su Song adalah seorang pendekar yang mempunyai nama besar di sekitar danau Ang Kit hu. Tetapi menurut cerita yang pernah Tao Ling dengar orang itu mempunyai cacat bawaan sejak lahir, yakni gagu. Mungkinkah orang yang mati ini pendekar yang mendapat julukan 'Pendekar gagu Su Song'?

Tao Ling hanya merenung sejenak. Kemudian dia mengeluarkan surat dari dalam sampul itu. Tampak di atasnya tertulis.

Salam untuk Song Heng, harap tidak terkejut dengan datangnya surat ini. Hengte ing hi mem-beritahukan kepada Song heng bahwa hengte sudah mendapatkan Tong tian pao Hong. Tetapi tidak tahu berapa jumlah keseluruhannya. Pada hengte sekarang ada dua buah. Apabila Song heng mempunyai minat bekerja sama. Harap datang pada tempat yang telah ditentukan untuk menentukan langkah berikutnya.

Harap hati-hati dalam perjalanan. Adikmu, Tao Cu Hun.

Setelah membaca surat itu, perasaan Tao Ling bertambah bingung. Sekarang dia yakin bahwa orang yang mati di hadapannya itu niemang si pendekar gagu Su Song. Dan apa yang disebut Tong tian po Hong, kemungkinan naga-nagaan jari emas yang ada di tangannya sekarang.

Ayahnya juga sudah mendapatkan dua buah naga-nagaan emas yang sama. Mereka berdua sudah berjanji untuk bertemu di suatu tempat. Tetapi Tong tian po Hong ini mungkin menyangkut suatu masalah yang besar sehingga dalam perjalanan bisa jadi ada yang ingin merebutnya. Karena itu ayahnya memperingatkan pendekar gagu Su Song agar berhati-hati. Namun akhirnya Su Song terkapar juga di gurun pasir ini dengan luka yang demikian parah sehingga selembar jiwanya tidak tertolong lagi.

Berpikir sampai di sini, kekhawatirannya terhadap keselamatan kedua orang tuanya tidak dapat ditahan lagi. Ketenaran si pendekar gagu Su Song tidak kalah dengan ketenaran ayah ibunya sendiri. Apalagi orang itu juga pernah mempelajari ilmu kebal. Ternyata sekarang dia mati juga di gurun pasir ini. Tao Ling khawatir kedua orang tuanya juga akan menemui kemalangan yang sama.

Karena itu pula, Tao Ling cepat-cepat memasukkan naga-nagaan dan surat itu ke dalam saku pakaiannya dan berlari lagi ke depan.

Setelah berlari kurang lebih satu setengah li, tampak di atas pasir kuning sebuah benda yang berwarna hitam pekat. Begitu agak dekat, Tao Ling dapat melihat dengan jelas. Ternyata sebatang pedang yang berwarna hitam dan merupakan senjata yang selalu digunakan ayahnya sehari-hari serta dipandang seperti nyawanya sendiri, yakni Hek pek kiam.

Hati Tao Ling langsung bergidik melihat pedang ayahnya ada di tempat itu.

Untuk sesaat tidak ada keberanian sedikit pun dalam hati Tao Ling untuk memungut pedang itu. Padahal Tao Ling sudah membayangkan, kedua orang tuanya menghilang secara tiba-tiba, sedangkan si pendekar gagu ditemukan mati di gurun pasir. Semua ini ada kaitannya dengan kedua orang tuanya. Maka dapat diduga bahwa apa yang terbentang di hadapannya bukanlah sesuatu yang menyenangkan.

Apalagi sekarang dia menemukan pedang Hek pek kiam ayahnya tergeletak di atas pasir.

Timbul firasat buruk d dalam hati Tao Ling. Seakan-akan dia melihat ayah ibunya terkapar di atas pasir bersimbah darah. Dan dalam keadaan yang sama dengan si pendekar gagu Su Song, mati.

Apabila benar demikian, berarti pedang Hek pek kiam itu merupakan satu-satunya benda peninggalan kedua orang tuanya untuk dirinya. Hati Tao Ling merasa perih, bahkan di dalam hatinya tidak ada keberanian sedikit pun untuk memungut pedang itu mengingat kemungkinan apa yang telah menimpa kedua orang tuanya. Tidak lama kemudian, tiba-tiba terdengar suara siulan yang melengking. Suara itu tidak berhenti- henti terdengar, entah berkumandang dari tempat yang tak seberapa jauhnya. Ketika suara siulan menyusup ke dalam telinganya, Tao Ling seakan tersentak bangun dari angan-angannya yang buruk. Dengan panik dia memungut pedang Hek pek kiam, kemudian berlari terus ke depan.

Pedang Hek pek kiam itu terdiri dari sebagian putih dan sebagian hitam. Kalau dari penampilan luarnya, tampaknya pedang itu tidak mempunyai keistimewaan apa-apa. Tetapi sebetulnya merupakan sebatang pedang yang bukan alang kepalang tajamnya. Juga merupakan sebatang senjata langka di dunia bu lim. Ketika Tao Ling memungut pedang itu, bayangan masa lain kedua orang tuanya pun terlintas di pelupuk matanya. Di satu pihak hatinya marah sekali. Marah terhadap musuh yang telah membunuh kedua orang tuanya. Di pihak yang lain, dia juga menyesali dirinya sendiri.

Dia menyesal, mengapa ketika terkurung bersama I Ki Hu di dalam rumah batu, hanya teringat kepada Lie Cun Ju, tidak teringat kepada kedua orang tuanya sendiri. Dan sekarang, mungkin kedua orang tuanya telah terpisah dengannya untuk selama- lamanya.

Dengan perasaan tak menentu, Tao Ling terus menerjang ke depan. Angin berhembus kencang sehingga rambutnya awut-awutan tidak diperdulikan lagi. Pasir-pasir yang beterbangan menghantam wajahnya. Tao Ling menutup seluruh panca inderanya sembari terus berlari. Dalam waktu yang singkat, dia sudah berlari sejauh tiga li.

Tiba-tiba pandangan matanya seperti berkunang-kunang. Tao Ling tertegun. Dia berusaha memusatkan perhatiannya. Ternyata di hadapannya tampak pemandangan yang aneh.

Entah sejak kapan, tahu-tahu tidak jauh dari hadapannya terbentang sebuah danau yang airnya jernih sekali. Di bawah cahaya matahari yang terik, air danau itu tampak beriak. Di tepi danau terdapat banyak pepohonan kecil. Benar-benar pemandangan yang indah. Melihat pemandangan yang demikian janggal, Tao Ling jadi tertegun.

Diam-diam dia berkata dalam hati.

"Entah sudah berapa kali aku bolak balik di gurun pasir ini. Mengapa sebelumnya, aku tidak pernah melihat pemandangan yang begini indah. Sekarang tenggorokanku sedang haus. Lebih baik aku minum dulu beberapa teguk air, baru melanjutkan pencarian."

Baru saja dia ingin menggerakkan kakinya, tiba-tiba dia melihat dua sosok tubuh sedang menghambur ke arah danau itu. Melihat kedua orang itu, hati Tao Ling langsung diliputi kegembiraan.

"Tia! Ma!" Tao Ling berteriak.

Tadinya dia mengira kedua orang tuanya telah celaka. Sekarang tiba-tiba dia melihat mereka. Maka hatinya jelas menjadi gembira. Suara teriakannya berkumandang sampai jauh. Sedangkan danau itu letaknya tidak terlalu jauh. Seharusnya kedua orang tuanya dapat mendengar suara panggilan Tao Ling.

Tetapi, kedua orang itu justru seakan-akan tidak mendengar suara teriakan putrinya. Mereka terus menghambur sampai di tepi danau kemudian baru berhenti.

Pada saat itu, Tao Ling baru dapat melihat bahwa tampang kedua orang tuanya tidak karuan. Pakaian mereka robek di sana sini, bahkan di sebagian tubuh mereka terdapat beberapa luka yang masih mengucurkan darah.

Kedua orang itu berhenti di tepi danau. Tao Cu Hun langsung mengulurkan tangannya menyusup ke dalam saku pakaian dan mengeluarkan semacam benda yang entah apa. Tangannya mengibas, benda itu dilemparkan ke dalam danau. Air danau bergerak- gerak menimbulkan gelembung seperti gelembung sabun. Semuanya terlihat jelas oleh Tao Ling.

Ketika Tao Cu Hun melemparkan sesuatu ke dalam danau, tampak seekor kuda berwarna hitam pekat menerjang datang. Di atas kuda itu duduk seseorang. Padahal Tao Ling sudah bertekad untuk menghambur mendekati kedua orang tuanya. Tetapi tiba-tiba saja dia merasa urusan ini benar-benar aneh sehingga sulit diuraikan dengan kata - kata.

Rupanya kuda itu berlari demikian pesat sehingga debu-debu beterbangan. Dan ketika sam-pai di depan pasangan suami istri Tao Cu Hun, Tao Ling dapat melihat mimik wajah ayahnya yang panik dan mulutnya bergerak-gerak seperti membentak penunggang kuda itu.

Namun yang membuat perasaan Tao Ling merasa aneh, dia tidak mendengar suara sedikit pun. Baik suara derap kaki kuda maupun suara teriakan ayahnya.

Begitu sunyinya tempat di sekitar Tao Ling, seakan-akan apa yang disaksikannya merupakan sebuah mimpi.

Kebingungan di dalam hati Tao Ling tak terkirakan lagi. Setelah tertegun sejenak, dia berteriak kembali sembari menghambur ke depan. Ketika mulai melangkahkan kakinya, dia masih sempat melihat seorang laki-laki bertubuh kurus tinggi mengenakan jubah hitam mencelat turun dari kudanya.

Bentuk tubuh orang yang mencelat turun dari kuda itu seakan tidak asing lagi bagi Tao Ling. Tubuhnya yang tinggi kurus serasa pernah dilihat oleh Tao Ling di suatu tempat. Tetapi untuk sesaat Tao Ling tidak dapat mengingatnya. Begitu mencelat turun dari kudanya, laki-laki berjubah hitam itu langsung mengibaskan tangannya. Ranting- ranting pepohonan kecil di tepi danau tampak terputus beberapa batang sehingga berserakan di atas tanah. Bahkan ada sebagian yang terpental di udara kemudian jatuh ke dalam danau sehingga menimbulkan percikan air di permukaan danau itu.

Tao Ling terus berlari menerjang ke depan. Tampak laki-laki berjubah hitam itu mulai berjalan setindak demi setindak menghampiri kedua orang tuanya. Tiba-tiba, kaki Tao Ling menginjak sebuah lekukan pasir. Dia hampir jatuh karena kehilangan keseimbangan. Begitu terasa kakinya menyurut ke depan, dia langsung mencelat ke udara dan berjungkir balik tiga kali. Ketika kakinya mendarat turun di atas pasir, Tao Ling segera mengalihkan pandangannya ke depan. Namun mendadak dia tertegun.

Tiba-tiba di depan matanya tampak terbentang pasir kuning yang tidak berbatas. Pasir- pasir kuning itu beterbangan karena hembusan angin. Di bawah cahaya matahari yang terik, pemandangan itu sungguh menyebalkan, dan sedikit pun tanpa mengandung keindahan. Danau yang jernih, laki-laki berjubah hitam, kuda hitam, kedua orang tuanya, dan ranting-ranting pohon yang terputus karena kibasan lengan laki-laki berjubah hitam itu, dalam sesaat semuanya hilang tanpa meninggalkan bekas sedikit pun. Seakan tidak pernah ada. Tadinya Tao Ling masih mengira ketika ia berjungkir balik, mungkin dia melayang turun di arah yang salah. Karena itu yang terbentang di hadapannya sekarang hanya pasir kuning belaka.

Tao Ling segera membalikkan tuhuhnya. Tetapi biar arah sebelah mana pun yang dihadapinya, apa yang dilihatnya tetap sama. Di mana-mana hanya pasir kuning belaka dan danau itu seperti raib entah ke mana.

Tao Ling segera mengucek-ngucek matanya. Tetapi yang terlihat tetap hamparan pasir berwarna kuning. Di mana-mana yang ada hanya pasir kuning, baik kiri kanan depan maupun belakang.

Mungkinkah apa yang disaksikannya tadi benar-benar hanya sebuah mimpi buruk? Tetapi, Tao Ling masih mengingat semuanya dengan jelas. Dia benar-benar melihat adanya sebuah danau yang airnya jernih sekali.

Bukan hanya danau itu saja yang dilihatnya, namun Tao Ling masih mengingat dengan jelas bahwa kedua orang tuanya sudah terluka cukup parah ketika menghambur ke tepi danau. Bahkan ayahnya melemparkan sehuah bungkusan ke dalam danau itu. Kemudian seorang laki-laki bertubuh tinggi kurus, bejubah hitam menerjang datang dengan menunggang seekor kuda berwarna hitam pula

Kalau ditilik dari gerak geriknya, tampaknya ilmu kepandaian laki-laki berjubah hitam itu jauh lebih tinggi daripada kedua orang tuanya sendiri. Dia khawatir kedua orang tuanya akan mati di tangan laki-laki berjubah hitam itu.

Namun, justru di saat-saat yang genting, belum lagi Tao Ling keburu sampai di tepi danau itu memberikan bantuan kepada kedua orang tuanya, tahu-tahu semua pemandangan di depan matanya sudah lenyap.

Tao Ling tahu kedua orang tuanya sedang menghadapi bahaya besar, tetapi dia tidak bisa berbuat apa-apa.

Di mana danau itu? Arah mana yang harus ditempuhnya untuk menolong kedua orang tuanya? Apakah semua yang dilihatnya tadi hanya khayalan semata? Tao Ling benar- benar tidak sanggup memastikannya, karena seumur hidupnya, ia belum pernah menemui kejadian yang demikian aneh.

Tao Ling terus berlari mengikuti jalan semula sembari mengingat-ingat mengapa bentuk tubuh si laki-laki berjubah hitam terasa tidak asing baginya. Siapa dia sebetulnya? Tidak lama kemudian, sebuah ingatan melintas di benaknya. Dia ingat sekarang. Laki-laki berjubah hitam pasti dia.

Sebetulnya, Tao Ling sendiri tidak dapat mengatakan siapa 'dia' yang dimaksudkannya. Tetapi dia berani memastikan bahwa laki-laki berjubah hitam merupakan orang yang sama ketika kokonya Tao Heng Kan mengadu ilmu dengan putra pertama pasangan suami istri Lie Yuan di gedung Kuan Hong Siau kemudian tiba-tiba membunuh lawannya, Li Po. Setelah itu Tao Ling bersama kedua orang tuanya kembali ke atas perahu, mereka sedang mencari jejak abangnya Tao Heng Kan. Saat itu Tao Heng Kan terlihat berada di dalam perahu dengan seseorang laki-laki bertubuh tinggi kurus. Kesan yang didapatkan Tao Ling saat itu dalam sekali. Dan sekarang dia ingat laki-laki berjubah hitam yang dilihatnya mempunyai bentuk tubuh yang sama dengan laki-laki dalam perahu itu.

Tidak diragukan lagi bayangan tinggi kurus yang dilihatnya dalam perahu pasti laki- laki berjubah hitam yang hendak mencelakai kedua orang tuanya.

Tapi siapa dia sebenarnya? Tao Ling justru merasa bingung.

Kepala Tao Ling terasa pusing tujuh keliling karena berbagai kejadian aneh yang dialaminya. Seperti histeris dia menjerit sekeras-kerasnya kemudian berlari kalap. Tubuhnya hampir terhempas jatuh oleh sapuan pasir kuning yang tertiup angin. Dia mencelat ke atas kemudian berlari lagi. Tao Ling sama sekali tidak memperdulikan lagi keletihan tubuhnya. Hanya satu niatnya saat itu. Dia ingin mencari danau berair jernih yang tiba-tiba menghilang itu.

Karena, Tao Ling yakin kedua orang tuanya sedang mempertahankn diri mati-matian dari serangan laki-laki berjubah hitam itu.

Mungkin, kedua orang tuanya saat ini sudah terluka parah dan mengharap kedatangannya untuk menyampaikan pesan yang terakhir.

Tao Ling yakin semua itu bukan mimpi, tetapi nyata melihat semuanya dengan jelas. Dan semuanya tiba-tiba menghilang secara misterius.

Dia sendiri tidak tahu sudah berapa lama dia berlari. Hanya terasa sepasang kakinya semakin lama semakin lemas. Matanya semakin lama semakin berkunang-kunang. Mulutnya seperti bisa menyemburkan api saking keringnya.

Tetapi, yang ada di sekitarnya tetap saja merupakan hamparan pasir kuning. Dimana sebetulnya danau itu? Tao Ling sendiri tidak berhasil menemukannya.

Akhirnya, Tao Ling tidak kuat lagi. Tubuhnya terjerembab di atas pasir. Sama sekali tidak ada kekuatan untuk bangkit kembali. Beberapa kali Tao Ling berusaha menumpukan kedua telapak tangannya di atas pasir untuk bangun, tetapi dia tidak berhasil juga.

Tao Ling menarik nafas panjang-panjang. Tubuhnya terbaring di atas pasir. Rasa panas menyengat seakan memanggang tubuhnya. Lambat laun sebagian tubuhnya tertutup pasir. Tao Ling berusaha mengangkat kepalanya. Tampak mata-hari masih bersinar dengan gagah di atas kepalanya. Hal ini membuktikan bahwa dia lari tidak seberapa lama. Paling-paling satu kentungan saja.

Tetapi, dalam waktu satu kentungan itu, Tao Ling sudah mengerahkan tenaga di luar batas kemampuannya.

Sejak tadi dia berlari terus. Namun tidak menyadari seberapa cepat dia mengerahkan kakinya. Seandainya saat itu dia dapat memperhatikan keadaannya sendiri, mungkin dia akan terperanjat mengetahui kemampuannya berlari secepat itu. Padahal, kecepatannya tadi, seharusnya dilakukan orang yang tenaga dalamnya tiga kali atau empat kali lipat darinya. Tapi, tanpa disadari, Tao Ling ternyata sanggup melakukannya.

Karena itu pula, setelah memaksakan did selama satu kentungan lebih. Tenaganya sudah terkuras habis. Akhirnya dia terjatuh di atas pasir. Bahkan tidak ada kekuatan sedikit pun untuk bangkit kembali.

Tao Ling mengguling-gulingkan tubuhnya di atas pasir. Dijilatinya bibir sendiri yang hampir

pecah-pecah karena keringnya.

"Tia . . . Ma! Di mana kalian? Cepat katakan kepadaku, di mana sebetulnya danau itu?" gumamnya.

Bintang-bintang yang tampak di pelupuk matanya, semakin lama semakin banyak. Akhirnya, setelah matanya semakin berkunang-kunang, kemudian berubah menjadi gelap, Tao Ling pun jatuh tidak sadarkan diri.

*****

Entah berapa lama sudah berlalu, Tao Ling tiba-tiba merasa nyaman. Dia siuman dari pingsan. Tampak dirinya masih terbaring di atas pasir. Namun sebagian besar dari pasir kuning di sekelilingnya sudah membasah. Gurun pasir yang entah sudah berapa puluh tahun kekeringan, tiba-tiba tersiram hujan. Timbul suara pletak! pletek! Air hujan itu tersedot ke dalam tanah.

Tiba-tiba saja Tao Ling merasa haus setengah mati, dia berusaha mengangkat kepalanya untuk menjilati pasir yang basah itu. Tetapi baru saja dia menjulurkan lehernya, sekonyong-konyong telinganya mendengar seseorang berkata.

"Ini ada air." Kemudian sebuah kantong kulit disodorkan ke hadapannya.

Untuk sesaat Tao Ling juga belum sempat mendengar dengan jelas siapa yang berbicara dengannya. Dia juga tidak memalingkan kepalanya. Tangannya mengulur ke depan menyanibut kantong kulit itu. Digenggamnya kantong itu erat-erat seakan takut direbut kembali. Hampir seluruh kepalanya menyusup ke dalam kantong kulit dan meneguk air di dalamnya dengan rakus. Setengah dari isi kantong kulit diteguknya.

Setelah itu, dia baru mendongakkan kepalanya.

Tampak seorang laki-laki yang usianya sudah setengah baya tapi masih terlihat gagah dan tampan berdiri di hadapannya. Di antara sepasang alisnya tersirat beberapa bagian hawa kesesatan. Dan laki-laki itu bukan orang lain. Jusru suaminya sendiri, gin leng hiat ciang I Ki Hu.

Mengetahui I Ki Hu ternyata sudah mengejarnya sampai di tempat itu, Tao Ling hanya dapat menarik nafas panjang-panjang. Ia tidak mengucapkan sepatah kata pun.

I Ki Hu tersenyum tawar.

"Hu jin, sekarang kita berkumpul lagi." "Iya. Sekarang kita berkumpul lagi," sahut Tao Ling seperti orang latah. Sekali lagi I Ki Hu tersenyum, tetapi kali ini tidak sekaku tadi.

"Apabila hu jin merasa sebal melihatku, boleh pergi sekarang juga. Teruskan saja arah yang kau tuju. Kalau berjalan satu hari satu malam lagi, kau sudah bisa keluar dari gurun pasir ini. Seandainya sekali waktu kau ingin bertemu lagi denganku, datang saja ke lembah Gin Hua kok, aku pasti ada di sana."

Kata-kata ini diucapkan oleh I Ki Hu dengan nada yang datar, tetapi sebetulnya hatinya sedang terguncang.

Bagi Tao Ling sendiri, menjadi istri I Ki Hu tentu saja karena terpaksa. Jelas dia juga menderita sekali, karena tidak mempunyai sedikit perasaan apa pun terhadap suaminya. Perbuatan I Ki Hu itu berarti telah menghancurkan seluruh hidupnya. la tahu, seumur hidupnya, tidak akan merasakan lagi kebahagiaan.

Tetapi pemikiran si Raja Iblis sungguh jauh berbeda dengan Tao Ling. Menurut I Ki Hu, Tao Ling dapat menjadi istrinya justru merupakan sebuah keberuntungan besar.

Dalam pikirannya, perbuatannya itu malah merupakan sebuah budi yang tidak alang kepalang besarnya, karena dengan menjadi istrinya, derajat Tao Ling ikut terangkat.

Bukan karena ilmu kepandaiannya yang tinggi dan kedudukannya di dunia bu lim membuat Tao Ling ikut termashyur. Namun karena selama ini dia menduda terus, berapa banyak perempuan yang telah digaulinya, boleh dibilang tak ada tandingannya lagi di dunia ini. Apalagi wajahnya yang tampan, setiap perempuan yang bertemu dengannya pasti jatuh cinta kepadanya dan minta dinikahi.

Di dalam benaknya terlintas bayangan putri Mo kau. Meskipun perempuan itu berwajah tidak cantik, tetapi banyak tokoh bu lim yang mengincarnya. Tentu saja hal itu karena nama besar Mo kau yang menjulang tinggi. Tetapi perempuan itu justru tergila-gila kepadanya. Karena itu I Ki Hu selalu menganggap bahwa setiap perempuan yang dapat menjadi istrinya, merupakan sebuah keberuntungan bagi perempuan itu sendiri.

Namun, Tao Ling justru menggunakan kesempatan di kala dia membunuh seluruh keluarga Sang untuk melarikan diri.

Tindakan Tao Ling itu sama saja memberitahukan kepada I Ki Hu bahwa gadis itu sama sekali tidak mencintainya. Seorang gadis yang sudah menjadi istrinya, toh masih tidak mencintainya, bahkan berusaha melarikan diri. Pukulan bathin ini bagi I Ki Hu tidak ada duanya lagi.

Ketika belum berhasil menemukan Tao Ling, kegusarannya seperti ingin membalikkan seluruh dunia. Namun akhirnya dia dapat menenangkan diri. Dalam perjalanan menuju lembah Gin Hua kok, dia melihat Tao Ling yang sudah terkulai lemas di atas pasir.

Entah mengapa, tanpa ia sadari ia dapat mengucapkan kata-kata barusan. Mendengar kata-kata I Ki Hu, perasaan Tao Ling justru menjadi gundah. Dia termangu-mangu beberapa saat. Tiba-tiba suatu ingatan melintas di benaknya. I Ki Hu pasti mengenal dengan baik situasi tempat ini. Dan apabila mengenal dengan baik sekali, tentunya dia tahu dimana letak danau berair jernih yang pernah dilihatnya.

Tao Ling segera berdiri dan mengibas-ngibas pasir yang melekat di seluruh tubuhnya. "Hu kun, apakah kau tahu di gurun pasir ini ada sebuah danau?"

Sepasang alis I Ki Hu langsung menjungkit ke atas. "Danau?"

"Benar," sahut Tao Ling cepat. "Sebuah danau. Airnya jernih sekali. Di sekelilingnya terdapat pepohonan kecil-kecil. Tadi aku masih melihatnya, tetapi entah bagaimana, tiba-tiba saja danau itu raib tidak ketahuan rimbanya."

I Ki Hu tersenyum tawar.

"Hu jin, aku percaya kau tadi memang melihat sebuah danau. Tetapi danau yang kau katakan itu letaknya empat puluh li lebih dari tempat ini. Lagipula arah yang kau ambil juga salah."

Tao Ling terkejut setengah mati.

"Empat puluh li lebih? Tapi aku benar-benar melihatnya tadi. Jaraknya paling-paling satu li lebih dari sini."

"Hu jin, apakah kau belum pernah mendengar kata 'fata morgana'? Apa yang kau lihat hanya khayalan belaka. Hal seperti itu tidak aneh bagi orang yang melintasi gurun pasir." I Ki Hu menukas, tanpa menunggu Tao Ling melanjutkan ucapannya.

Tao Ling tetap ngotot dengan pendapatnya sendiri.

"Bukan! Bukan khayalan! Terang-terangan kedua orang tuaku ada di tepi danau itu. Bahkan mereka bertemu dengan seorang musuh yang tangguh, mungkin saat ini nyawa mereka pun sulit dipertahankan lagi."

I Ki Hu mengeluarkan seruan terkejut.

"Akh! Rupanya kedua orang tuamu bertemu dengan musuh tangguh di tepi danau? Kalau begitu, silakan hu jin meninggalkan tempat ini. Aku sendiri akan menuju ke danau itu untuk melihat apa yang terjadi di sana."

Tao Ling mendongakkan kepalanya. Dia melihat kereta kuda I Ki Hu berhenti di tempat yang tidak jauh.

"Aku ikut denganmu."

I Ki Hu tersenyum sinis. "Toh kau sendiri yang melarikan diri, mengapa kau sekarang ingin bersama-sama denganku lagi?"

"Kalau kau tidak sudi aku mengikutimu, tidak apa-apa. Asal kau tahu saja, meskipun harus merangkak, aku tetap akan mencari danau itu sampai ketemu."

I Ki Hu tertawa terbahak-bahak.

"Sejak semula aku tahu bahwa hatimu keras sekali. Baiklah! Kita sama-sama pergi ke danau itu."

Selesai berkata, I Ki Hu menjulurkan lengan kirinya untuk meraih pinggang Tao Ling. Gadis itu hanya merasa ada sambaran angin yang kencang melanda dirinya. Tahu tahu tubuhnya sudah melayang bersama-sama I Ki Hu secepat kilat. Ketika mereka mendarat lagi, di atas tanah, keduanya sudah berada di depan kereta. Gerakan yang diperlihatkan I Ki Hu sungguh indah dan sudah pasti tidak dapat dilakukan sembarang orang.

Gerakan I Ki Hu meraih pinggang Tao Ling lalu melesat ke samping kereta, sebetulnya merupakan gin kang tingkat tinggi, yang hanya bisa dilakukan oleh orang yang mempunyai tenaga dalam sempurna. Di dunia ini orang yang dapat melakukan hal yang sama dapat dihitung dengan jari.

Baru saja Tao Ling naik ke atas kereta, tuhuh I Ki Hu sudah berkelebat lagi dan tahu- tahu sudah duduk di sampingnya. Tanpa mengucapkan sepatah kata pun, laki-Iaki itu mengayunkan pecutnya dan terdengarlah suara Tar! Tar! Tar! sebanyak tiga kali.

Kereta kuda itu pun meluncur ke depan dengan kecepatan tinggi.

Kurang lebih satu kentungan kemudian, mereka sudah meninggalkan gurun pasir. Suara laju kereta berderak-derak. Pemandangan di kanan kiri seperti berlari meninggalkan mereka. Hal ini membuktikan bahwa 1 Ki Hu menjalankan keretanya dengan kencang.

Bahkan Tao Ling tetap berharap agar kereta itu dapat dilarikan lebih cepat Iagi. Dengan perasaan kurang sabar, Tao Ling merebut pecut dari tangan I Ki Hu dan terus diayunkannya ke depan. Tidak lama kemudian, hidungnya mulai mengendus bau udara yang segar. 

Ketika Tao Ling mengalihkan pandangan matanya, ternyata dana itu sudah terlihat olehnya. Air danau itu begitu tenang. Persis dengan apa yang dilihatnya tadi. Hanya saja, tadi dia tidak mencium bau udara yang segar itu. Dan pemandangan pun tidak sejelas sekarang.

Kembali Tao Ling mengayunkan pecut di tangannya. Kuda-kuda putih itu terkejut, serentak mereka mengeluarkan suara ringkikan panjang dan melesat lagi ke depan sejauh satu depa lebih, setelah itu baru benar-benar terhenti. Karena dihentikan dengan mendadak, kereta itu pun terguncang-guncang. Tanpa memperdulikannya, tangan Tao Ling menumpu di kereta itu kemudian mencelat turun. Begitu turun dari kereta, dia segera melihat ranting-ranting pohon yang berserakan.

Tadinya Tao Ling mulai percaya bahwa apa yang dilihatnya memang hanya khayalan. Karena jarak yang sudah ditempuhnya, ternyata begitu jauh dari tempat yang tadi.

Sekarang dia percaya apa yang dikatakan I Ki Hu orang yang berada di gurun pasir memang ada kemungkinan menemui kejadian seperti yang dialaminya. Suatu tempat yang jaraknya puluhan li bisa terpampang di depan mata.

Pada saat itu juga, Tao Ling juga teringat keadaan kedua orang tuanya dan si laki-laki ber-jubah hitam. Dia dapat menduga bahwa kedua orang tuanya tidak sanggup melawan laki-laki berjubah hitam itu. Tao Ling menghampiri tempat itu dengan tergesa-gesa. Tetapi di atas tanah hanya tampak ranting-ranting pohon yang berpatahan. Tidak terlihat bayangan seorang pun.

"Tia! Ma!" Walaupun dia berteriak sampai tenggorokannya kering, tetap tidak ada sahutan sedikit pun.

Tao Ling berlari mengelilingi danau itu, tetap saja dia tidak menemukan siapa-siapa. Hatinya menjadi panik. Tapi tidak tahu apa yang harus dilakukannya. Ketika dia menolehkan kepalanya melihat ke arah I Ki Hu, suaminya itu sedang berjalan perlahan-lahan dengan tangan disilangkan di depan dada. Sepasang matanya mengawasi patahan ranting-ranting pohon dengan seksama.

"Entah kemana perginya mereka?” guman Tao Ling.

I Ki Hu tidak memberikan komentar apa-apa. Matanya masih menatap patahan ranting

– ranting pohon yang berserakan dan mengulurkan tangannya meraba bekas patahan di dahan pohon.

"Tadi kau mengatakan bahwa di di gurun pasir kau melihat kedua orang tuamu bertarung melawan seorang laki-laki berjubah hitam?" I Ki Hu bertanya sambil mendongakkan kepalannya.

"Aku tidak melihat mereka bertarung, hanya kalau ditilik dari keadaannya, akhirnya pasti terjadi pertarungan di antara mereka."

I Ki Hu menggeleng-gelengkan kepalanya. "Hu jin, bila aku mengatakan sesuatu harap kau jangan bersedih."

Perasaan Tao Ling langsung tercekat. Kakinya maju satu langkah dan tanpa dia sadari, dia telah mencengkeram lengan I Ki Hu erat-erat. "A ... pa yang terjadi pada mereka?" Nada suara I Ki Hu justru berbalik dengan suara Tao Ling. Suara laki-laki itu begitu tenang sehingga terkesan tidak berperasaan.

"Kemungkinan ayah ibumu tidak ada di dunia ini lagi."

Tao Ling menjerit histeris. Matanya berubah menjadi gelap dan hampir saja tubuhnya terkulai jatuh apabila I Ki Hu tidak cepat-cepat memapahnya. Sesaat kemudian Tao Ling baru berusaha menenangkan hatinya. "Jadi, laki-laki berjubah hitam itu yang mencelakai mereka?"

"Hal itu sulit dikatakan. Menurut keteranganmu, mereka berdua sampai di tepi danau ini sudah dalam keadaan terluka. Coba kau lihat, bekas patahan ranting-ranting pohon ini seperti ditebas senjata tajam. Hal ini membuktikan bahwa tenaga dalam laki-laki berjubah hitam sudah mencapai tingkat yang tinggi sekali. Dia sudah mencapai taraf menyambit bunga sebagai senjata rahasia dan dapat menggunakan selembar daun melukai lawannya."

Tao Ling ikut memperhatikan patahan ranting itu. Ternjata bekas patahannya licin sekali bagai disayat pisau yang tajam. Padahal laki-laki berjubah hitam hanya mengibaskan lengannya asal-asalan ketika mematahkan ranting-ranting pohon itu.

"Di dalam dunia ini, orang yang tenaga dalamnya sudah mencapai taraf itu sebetulnya tidak banyak. Gerakan tangan orang itu dapat mengakibatkan ranting-ranting pohon ini terputus sampai licin, benar-benar membuktikan tenaga dalamnya sudah begitu tinggi sehingga hantamannya setajam pisau. Sudah tentu kedua orang tuamu bukan tandingannya. Karena itu pula, aku berani mengatakan bahwa keadaan mereka lebih banyak celakanya daripada selamatnya," kata I Ki Hu.

Tao Ling terdiam beberapa saat.

"Siapa kira-kira laki-Iaki berjubah hitam itu?" tanya Tao Ling kemudian. I Ki Hu menggelengkan kepalanya. "Sulit dipastikan."

Dia mendongakkan wajahnya dan maju beberapa langkah, kemudian katanya lagi, "Hu jin, kalau menurutku, tentu berbahaya apabila kau berjalan seorang diri. Lebih baik kau ikut aku pulang ke lembah Gin Hua kok saja!"

Tao Ling menarik nafas panjang. "Aku . . . tidak ingin ke sana."

Ketika mengucapkan kata-kata itu, hati Tao Ling berdebar-debar, Dia takut I Ki Hu akan marah kepadanya.

Tetapi kenyataannya I Ki Hu tidak menunjukkan kegusarannya.

"Baiklah! Asal kau tingkatkan kewaspadaan. Sembari berkata, dia menundukkan kepalanya dan berjalan menjauhi Tao Ling. Tanpa menolehkan kepalanya sedikit pun, dia berkata kembali. "Kemana pun kau ingin pergi, terserah kehendakmu sendiri.

Tetapi dunia kang ouw, penuh dengan mara bahaya. Sedangkan kau hanya seorang perempuan yang lemah. Karena itu, aku tinggalkan kereta kuda ini. Para tokoh di dunia bu lim, asal mereka melihat kereta ini, sebagian pasti tahu asal usulnya. Pasti mereka tidak berani menimbulkan kesulitan untuk dirimu. Apabila orang yang tidak tahu asal usul kereta ini, pasti dia hanya seorang bu beng siau cut, dengan kepandaianmu sekarang, sudah cukup untuk menghadapinya." Selesai berkata, tubuh I Ki Hu berkelebat melesat ke depan. Dalam sekejap mata bayangan-nya sudah tidak kelihatan lagi.

Melihat perhatian I Ki Hu yang begitu besar dan bahkan meninggalkan kereta kudanya untuk dirinya, hati Tao Ling agak terharu. Diam-diam dia berpikir, seandainya dia menjadi istri I Ki Hu bukan atas dasar paksaan, pasti Tao Ling akan menganggapnya sebagai seorang yang berbudi karena perhatiannya yang demikian besar. Sekarang, meskipun sikap I Ki Hu terhadapnya cukup baik, tapi mana mungkin bisa mengembalikan kehilangannya yang demikian besar?

Tao Ling termangu-mangu di tepi danau beberapa saat. Kemudian dia baru naik ke atas kereta dan dijalankannya mengeiiiingi danau itu. Danau itu memang tidak seberapa luas. Dalam waktu yang singkat, kereta itu sudah kembali ke tempat semula dan Tao Ling tidak berhasil menemukan siapa-siapa.

Tao Ling tahu I Ki Hu tidak mungkin hanya menakut-nakutinya. Mungkin kedua orang tuanya memang sudah mati di tangan laki-laki berjubah hitam itu. Tetapi mengapa sarnpai mayat kedua-duanya pun tidak diketemukan?

la merenung sejenak di atas kereta. Tiba-tiba dia teringat, ketika danau itu muncul di hadapan-nya, yang menurut I Ki Hu disebut 'fatamorgana atau pemandangan semu', ia melihat kedua orang tuanya berlarian ke tepi danau. Sebelum laki-laki berjubah hitam sampai di hadapan mereka, ayahnya melemparkan suatu bungkusan ke dalam danau.

Meskipun Tao Ling tidak tahu apa isi bungkusan itu, tetapi kemungkinan besar benda di dalam bungkusan itu ada kaitannya dengan kematian kedua orang tuanya.

Mengingat sampai di sini, Tao Ling segera meloncat turun dari kereta. Kemudian dia membuka baju luarnya dan mengira-ngira tempat yang masih diingatnya lalu terjun ke dalam danau.

Memang danau itu tidak seberapa besar dan airnya juga tenang. Tetapi dalamnya ternyata lumayan juga. Tao Ling menyelam ke dasarnya, keadaan di bawah juga datar. Tao Ling meraba-raba dengan tangannya, tetapi tidak berhasil mendapatkan apa-apa. Dalam hati dia memang ragu bisa menemukan bungkusan yang dilemparkan oleh ayahnya. Tetapi karena sudah kepalang terjun, toh tidak boleh sekali cari tanpa berhasil lalu putus asa. Sekali lagi Tao Ling membuka matanya dan dengan seksama memperhatikan keadaan sekitarnya. Tangan dan kakinya terus bergerak ke sana ke mari. Kurang lebih setengah kentungan kemudian, ia menemukan sebuah bungkusan kecil.

Hati Tao Ling merasa gembira. Segera ia menutulkan kakinya dan mencelat ke luar dari dalam danau. Setelah sampai di tepi danau, dia memutar-mutar beberapa kali agar air yang membasahi tubuhnya terkibas jatuh. Kemudian dia membuka telapak tangannya, ternyata bungkusan itu memang bungkusan yang dilemparkan ayahnya ke dalam danau.

Tao Ling mengenakan kembali baju luarnya, lalu mencelat ke atas kereta. Setelah itu dia membuka bungkusan di tangannya, tampak sinar berkilauan. Ternyata isinya merupakan dua buah naga-nagaan emas yang bentuk maupun besarnya sama persis dengan yang didapatkan Tao Ling dari saku pendekar gagu Su Song.

Selain dua buah naga emas itu,tidak ada barang lainnya lagi dalam bungkusan itu. Tao Ling membolak balikkan dua buah naga-nagaan itu, tetapi sampai sekian lama dia masih tidak mengerti kegunaan barang itu. Baru saja dia bermaksud memasukkan kedua buah benda itu ke dalam saku pakaiannya, tiba-tiba dari belakangnya terdengar suara terkekeh-kekeh yang dingin.

Rasa terkejut dalam hati Tao Ling jangan dikatakan lagi. Baru saja dia ingin memalingkan kepalanya untuk melihat siapa yang mengeluarkan suara tawa yang tidak enak didengar itu, tahu-tahu kedua pundaknya telah ditekan oleh sepasang tangan dengan kuat.

Tenaga yang terpancar dari sepasang tangan itu bukan main kuatnya. Tao Ling tidak dapat menggerakkan tubuhnya sedikit pun.

"Siapa . . . kau?" tanya Tao Ling dengan gemetar.

Orang yang ada di belakangnya kembali tertawa dingin. Tao Ling memaksakan diri memalingkan kepalanya sedikit. Di bawah cahaya matahari, tampak bayangan orang itu dengan bayangannya sendiri menyatu. Tetapi bayangan tubuh orang itu jauh lebih panjang daripada bayangannya sendiri. Sekali lihat saja, Tao Ling langsung dapat mengenali orang itu. Ternyata si laki-laki berjubah hitam. Darahnya seakan mendidih mengetahui siapa orang itu.

"A ... pa yang kau lakukan terhadap kedua orang tuaku?" tanya Tao Ling. "Tidak melakukan apa-apa," sahut orang itu dengan nada suara menyeramkan.

Tao Ling hanya dapat melihat bayangan orang itu, tetapi tidak dapat melihat keseluruhan wajahnya.

"Sia ... pa kau sebetulnya?" tanya Tao Ling lagi.

Orang itu tidak menjawab. Tangannya menjulur lewat sisi leher Tao Ling dan diambilnya dua buah naga-nagaan emas dari tangan gadis itu. Pada dasarnya kedua pundak Tao Ling ditekan oleh tangan laki-laki itu. Dia merasa seakan ada benda yang beratnya ribuan kati membebani kedua pundaknya. Begitu sebelah tangan laki-laki itu menjulur ke depan, rasa berat itu pun jauh berkurang. Tao Ling segera mengeluarkan hawa murninya. Dikerahkannya tenaga untuk memberontak. Pada saat itu juga, Tao Ling segera menyadari bahwa tujuan laki-laki itu tentu kedua buah naga-nagaan emas di tangannya. Tao Ling segera mengibaskan tangannya. Kedua buah naga-nagaan dari emas itu pun dilemparkannya jauh-jauh.

Karena memberontak, Tao Ling pun terlepas dari cengkeram laki-laki berjubah hitam itu dan tubuhnya terjatuh dari kereta.

Terdengar orang itu mendengus marah. Terasa ada serangkum angin yang menerpa lewat. Ketika Tao Ling menolehkan kepalanya, tampak tubuh orang itu melesat di udara. Kedua naga-nagaan emas itu belum sempat mencapai tanah, tangan orang itu sudah menjulur dan meraih kedua benda itu.

Saat itu, Tao Ling juga belum sempat melihat wajah orang itu. Sebab ia langsung menerjang ke arah dua buah naga-nagaan eiuas yang dilempar oleh Tao Ling. Tetapi bayangan punggungnya justru terlihat jelas. Orang itu menggunakan stelan pakaian berwarna hitam, Ternyata dugaan Tao Ling memang tidak salah. Dialah si laki-laki berjubah hitam yang pernah dilihatnya.

Tao Ling ingat, ketika I Ki Hu membicarakan laki-laki ini, mimik wajahnya juga menyiratkan perasaan terkejut. Hal itu membuktikan bahwa kepandaian laki-laki herjubah hitam itu benar-benar sudah mencapai taraf yang tinggi sekali.

Kalau ditilik dari keadaannya, tampaknya ayah ibu Tao Ling lebih banyak celaka daripada selamat. Dan laki-laki berjubah hitam itu sudah pasti musuh bebuyutannya.

Kalau menurut hati kecilnya sendiri, ingin rasanya dia menerjang laki-laki berjubah hitam itu dan mengadu jiwa dengannya.

Tapi Tao Ling bukan orang bodoh. Dia tahu, apabila dia mengikuti emosinya menerjang ke depan, bukan saja dia akan mengantarkan nyawa secara sia-sia, tetapi dendam kematian ayah ibunya tidak diketahui orang lain, jangan lagi membicarakan urusan balas dendam.

Karena itu, Tao Ling menumpu sepasang tangannya di atas tanah, tubuhnya mencelat keatas kemudian turun tepat di dalam kereta. Tanpa menunggu si laki-iaki berjubah hitam membalikkan tubuhnya, dia langsung mengayunkan pecut dan menjalankan kereta itu secepat terbang.

Tao Ling sendiri tidak menyangka keempat ekor kuda itu dapat berlari demikian kencang. Hatinya merasa terkejut sekaligus gembira. Dari belakangnya terdengar suara siulan panjang. Ternyata laki-laki berjubah hitam itu sudah mengejarnya.

Perasaan Tao Ling tercekat seketika. Kereta kuda itu sudah dijatuhkan demikian cepat. Sehingga pemandangan di kedua sisi jalan seakan berjalan berbalik seperti terbang.

Tetapi laki-laki berjubah hitam itu tetap mengerahkan segenap kemampuannya untuk mengejar. Dapat dibayangkan apa yang diinginkannya.

Dalam keadaan panik, Tao Ling menyempatkan dirinya menoleh ke belakang. Tampak laki-laki itu bagaikan segumpal asap hitam yang mengikuti ketat di belakang kereta.

Jarak antara laki-iaki berjubah hitam dengan kereta yang ditumpanginya paling-paling belasan depa.

Hati Tao Ling semakin terkesiap. Cepat-cepat dia mengayunkan pecut lagi beberapa kali dan kereta pun melesat ke depan semakin pesat. Kereta itu berguncang hebat dan nyaris tubuh Tao Ling terpental keluar. Tao Ling segera menghimpun hawa murninya dan mengimbangi gerakan kereta. Dengan demikian kereta itu melesat lagi sejauh sepuluh li lebih. Tao Ling mengira dirinya sudah berhasil melepaskan diri dari incaran si laki-laki berjubah hitam. Tanpa sengaja dia menolehkan kepalanya. Hatinya kembali tercekat. Ternyata laki-laki itu masih laksana gumpalan asap hitam yang mengikuti terus di belakang kereta. Bukan saja dia tidak berhasil meloloskan diri, tapi jaraknya malah semakin dekat. Paling-paling tiga-empat depaan lagi.

Kepanikan dalam hati Tao Ling jangan dikatakan lagi. Dengan kalang kabut dia memecutkan cambuknya. Kuda-kuda itu meringkik kesakitan. Sekali melesat mereka menerjang ke depan sejauh dua-tiga depa. Kereta itu langsung terpental ke atas.

Kemudian terhempas kembali di atas tanah dengan keras. Terdengarlah suara krek! Penyambung kayu di depan kereta patah seketika. Sedangkan keempat ekor kuda putih itu terus melesat ke depan.

Saat itu juga, putuslah hubungan antara kuda dan kereta. Keempat ekor kuda tetap melesat ke depan, sedangkan kereta itu terhenti di pinggir jalan tanpa bergerak lagi. Tao Ling menatap keempat ekor kuda itu sambil menarik nafas panjang.

Tarikan nafasnya belum habis, laki-laki berjubah hitam itu melesat lewat di sisinya.

Melihat keadaan itu, Tao Ling menjadi bingung. Tadi laki-laki berjubah hitam itu mengejar ke arahnya. Sekarang kuda-kuda itu melesat pergi, Tao Ling merasa ajalnya pasti akan tiba, tapi tiba-tiba dia melihat laki-laki itu melesat lewat di sampingnya begitu saja. Apa gerangan sebabnya?

Tampak laki-laki berjubah hitam itu terus mempercepat langkah kakinya. Tubuhnya seperti terbang di udara. Terdengar suara siulan panjang. Laki-laki berjubah hitam itu telah berhasil menyandak seekor kuda kemudian mencelat ke atasnya. Sembari mencelat ke udara, tangannya mengirimkan dua buah pukulan berturut-turut. Kaki keempat ekor kuda itu pun lemas dan menekuk. Pada saat itulah, laki-laki berjubah hitam itu berjungkir balik di udara kemudian mendarat turun tepat di punggung salah satu ekor kuda. Kakinya menjepit perut kuda itu erat-erat. Terdengar suara ringkikan panjang, kuda itu pun berdiri lagi lain melesat ke depan secepat kilat.

Melihat gerak gerik laki-laki berjubah hitam itu, perasaan Tao Ling terkesima. Untuk beberapa saat dia duduk di atas tanah dengan termangu-mangu. Sekarang dia baru mengerti bahwa sejak tadi laki-laki itu bukan mengejarnya, melainkan ingin merampas salah seekor kuda yang menarik keretanya.

Akhirnya Tao Ling baru bisa menghembuskan nafas lega. Tapi barusan dia sudah melihat betapa tingginya kepandaian laki-laki berjubah hitam itu. Boleh dibilang hampir tidak dapat dibayangkannya. Pasti dia bukan tokoh sembarangan, tapi orang itu justru musuh besarnya. Tampaknya dendam kematian kedua orang tuanya sulit dibalas.

Tao Ling menarik nafas panjang-panjang. Matanya melirik sekilas ke arah kereta. Sekarang kuda-kuda yang menariknya sudah tidak ada. Kereta itu tidak berfungsi lagi. Begitu dia ingin pergi meninggalkan kereta kuda itu, tiba-tiba dari kejauhan terdengar suara siulan yang melengking tinggi. Nadanya seakan mengandung pertanyaan. Jarak sumber suara siulan itu masih jauh, tetapi suaranya berkumandang jelas sekali di telinga Tao Ling. Mula-mula Tao Ling agak tertegun mendengar suara siulan itu. Tetapi sesaat kemudian, dia mengenali bahwa suara siulan itu berasal dari I Ki Hu.

"Hu jin, kau tidak apa-apa bukan?" tanya I Ki Hu.

Nada suaranya penuh perhatian. Tao Ling yang mendengarnya sampai merasa terharu. Dalam sekejap mata, bayangan tubuh I Ki Hu sudah kelihatan. Lalu tahu-tahu sudah muncul di hadapannya. Melihat Tao Ling berdiri di pinggir jalan dengan termangu- mangu, wajah laki-laki itu tampak menyiratkan perasaan terkejut.

"Aih? Hu jin, kau tidak apa-apa bukan?" "Aku tidak apa-apa," sahut Tao Ling.

"Tadi aku melihat seorang laki-laki berjubah hitam menunggang salah seekor kuda putih kita. Dia melesat secepat terbang. Aku mengira telah terjadi sesuatu pada dirimu. Kalau memang kau tidak kenapa-napa, aku akan pergi saja."

Tao Ling menarik nafas panjang.

"Hu kun, aku ingin memohon sesuatu kepadamu, seandainya kau bersedia memenuhi permintaanku, maka seumur hidup ini aku rela mengikutimu."

I Ki Hu menggelengkan kepalanya.

"Hu jin, tak perlu kau bicarakan. Aku sudah tahu apa permintaanmu."

Tao Ling sadar I Ki Hu memang sudah tahu bahwa dia akan meminta laki-laki itu agar jangan mencelakai Lie Cun Ju. Kalau ditilik dari tampang I Ki Hu, dia juga tahu permintaannya tidak mungkin dikabulkan. Tanpa dapat dipertahankan lagi air matanya jatuh berderai.

"Kalau begitu, ten ... tu aku juga tidak berani memaksakannya."

"Hu jin, ingat baik-baik. Jangan sekali-sekali timbul pikiran ingin membalas dendam!" Hati Tao Ling langsung tergerak.

"Kenapa? Apakah kau sudah tahu siapa musuh besarku itu?" I Ki Hu menganggukkan kepalanya.

"Tadi ketika kuda putih itu melesat lewat di hadapanku, aku sempat melihat wajah penung-gangnya. Aih! Aku tidak menyangka ternyata dialah orangnya."

Tao Ling merasa penasaran.

"Hu kun, apakah ilmu kepandaian orang itu benar-benar demikian tinggi, bahkan sudah melampauimu?" Pertanyaan Tao Ling itu sebenarnya tidak aneh. Karena kepandaian I Ki Hu sudah mencapai taraf yang demikian tinggi. Sungguh sulit dibayangkan apabila masih ada orang lain yang dapat melampauinya.

I Ki Hu tertawa panjang.

"Melampauiku? Benar-benar lucu. Aku melihat orang itu, memang timbul rasa tercekat dalam hati. Tetapi bila dia melihatku, apa kau kira hatinya tidak mempunyai perasaan yang sama? Tampaknya dia sedang ada urusan penting, sehingga tidak memperdulikan apa-apa lagi, baru berani-beranian merampas kuda putihku itu."

Mendengar sampai di sini, kembali perasaan Tao Ling dilanda kebingungan.

"Ini benar-benar aneh. Setahuku, dia sendiri mempunyai seekor kuda berwarna hitam" "Tidak salah. Kuda itu bernama Cui hong be (kuda pengejar angin). Tetapi masih jauh bila dibandingkan dengan Sam tian pek (si putih secepat kilat) kepunyaanku. Mari kita cari dulu Cui hong be kepunyaannya baru kita tentukan langkah berikutnya."

Tao Ling merasa urusan itu semakin lama semakin rumit. Dan rasanya seluruh urusan itu ada kaitannya dengan laki-laki berjubah hitam itu. Apalagi menilik sikap I Ki Hu yang tidak bersedia mengatakan siapa laki-laki berjubah hitam itu. Ada baiknya juga bila menemukan kuda tunggangannya lebih dahulu.

Karena itu Tao Ling segera menyetujui usul suaminya. Mereka berdua tidak mempunyai tujuan tertentu, akhirnya hanya berjalan mengelilingi tempat sekitar itu. Kira-kira setengah kentungan kemudian, tiba-tiba terdengar suara ringkikan kuda.

Yang disusul dengan suara derap langkah kakinya yang tidak terburu-buru. Asalnya dari sebelah timur.

I Ki Hu dan Tao Ling segera memalingkan kepalanya. Tampak seekor kuda sedang berlari ke arah mereka dengan tenang. I Ki Hu langsung mengeluarkan suara siulan panjang.

"Ternyata dugaanku tidak meleset. Kuda hitam itu memang ada di sekitar sini," kata I Ki Hu.

I Ki Hu menarik tangan Tao Ling lalu diajaknya menghampiri kuda itu. Ketika jaraknya sudah dekat, mereka melihat di atas punggung kuda hitam itu tertelungkup dua orang.

"Tia! Ma!" Tao Ling menjerit keras-keras. I Ki Hu ikut tercekat. "Apakah kedua orang yang ada di atas punggung kuda itu ayah ibumu?"

Mana mungkin Tao Ling masih punya niat menjawab pertanyaannya. Yang tersisa pada dirinya hanya tangis tersengguk-sengguk. I Ki Hu segera melesat ke depan. Tangannya memegang kendali kuda kemudian menghentakkannya. Kuda itu pun segera menekuk kedua lututnya. Sebelah tangan I Ki Hu yang lain segera meraih tubuh pasangan suami istri Tao Cu Hun. I Ki Hu seorang tokoh yang sudah banyak pengalaman. Begitu tangannya menyentuh tubuh kedua orang itu, dia langsung dapat mengetahui apakah kedua orang itu masih hidup atau sudah mati. I Ki Hu menolehkan kepalanya dan berkata kepada Tao Ling.

"Ibumu sudah meninggal. Tetapi ayahmu masih mempunyai sisa sedikit nafas." Air mata Tao Ling berderai semakin deras.

"Apakah masih ada harapan bisa tertolong?" I Ki Hu menggelengkan kepalanya.

"Rasanya tidak mungkin. Tetapi apabila ada yang ingin dikatakannya, masih ada sedikit kesempatan."

Tangan I Ki Hu mengendur, diletakkannya pasangan suami istri itu di atas tanah. Tao Ling menelungkup di atas tubuh ibunya dan menangis beberapa saat. Telinganya mendengar suara panggilan ayahnya yang lirih.

"Ling ... ji ... Ling ... ji ..."

Tao Ling mendongakkan kepalanya. Tampak sebelah tangan I Ki Hu sedang menekan di belakang punggung ayahnya. Wajah ayahnya pucat pasi seperti selembar kertas.

Matanya tidak menyorotkan sinar lagi. Mulutnya bergerak-gerak memanggil namanya. Tao Ling segera menghambur ke sisi ayahnya sambil bertanya.

"Tia . . . siapa yang mencelakai kalian?"

Nafas Tao Cu Hun tinggal satu-satu, dengan susah payah akhirnya dia baru sanggup berkata.

"Ling ... ji, tia ... bersalah . . . kepada kalian."

Mendengar kata-kata ayahnya, Tao Ling jadi bingung. Air matanya masih terus berderai.

"Tia, mengapa kau harus berkata begitu?"

Dengan tubuh gemetar, Tao Cu Hun mengangkat kepalanya sedikit. Dia ingin meraih kepala Tao Ling. Tapi tangannya baru terangkat sedikit, sudah terkulai jatuh kembali.

"Tao sian sing, apabila masih ada kata-kata yang ingin kau sampaikan, utarakanlah secepat-nya, jangan menghabiskan waktu apalagi menghambur-hamburkan tenaga!" ucap I Ki Hu dengan panik.

Tao Cu Hun menarik nafas panjang. "Ling ji... apa .. . kah kau tahu di mana toako mu sekarang?" Tao Ling menggelengkan kepahnya, "Aku tidak pernah tahu di mana toako berada." Pelupuk mata Tao Cu Hun juga mulai membasah.

"Ling ji . . . sebe . . . lum terluka, tia melemparkan bungkusan . . . berisi dua buah Tong tian pao liong ke dalam danau."

"Aku tahu, bahkan aku sudah mengambilnya dari dalam danau." Tampak secercah sinar terang melintas sekilas di mata Tao Cu Hun.

"Sim . . . pan ba . . . ik-baik . . . kedua . . . Tong . . . ti . . . an pao ... li ... ong itu. Yang .

. . paling penting ... ka ... in pembung . . . kusnya ... Ja ... ngan sam . . . pai di . . .

ketahui ... o ... leh orang lain, agar . . . kematian . . . ayah . . . bun . . . damu tidak . . . sia-sia!"

"Tia, jangan bicarakan urusan ini dulu. Siapa sebetulnya yang mencelakai kalian?" teriak Tao Ling.

Mata Tao Cu Hun jelalatan ke sana ke mari, bibirnya bergerak-gerak seakan ingin mengatakan sesuatu, namun akhirnya tenggorokannya hanya mengeluarkan suara krok! krok! dua kali, laki-laki itu pun terkulai mati.

Tao Ling bersimpuh di sisi jenasah kedua orang tuanya termangu-mangu beberapa saat. Kese-dihannya terlalu dalam, pukulan bathin yang diterimanya terlalu hebat. Hal ini membuat Tao Ling tidak sanggup mengalirkan air mata.

I Ki Hu melepaskan tangannya yang menekan di punggung Tao Cu Hun. Kemudian berdiri tegak.

"Hu jin, dalam keadaan terluka parah, ayah ibumu masih berusaha naik ke atas punggung kuda, tentu tujuannya agar dapat ditemukan olehmu. Ini bukan hal yang mudah dilakukan setiap orang. Untuk apa kau terus bersedih?" kata I Ki Hu.

"Aku tidak sedih," sahut Tao Ling datar. I Ki Hu ikut menarik nafas panjang.

"Hu jin, kau tidak perlu membohongi dirimu sendiri. Menjelang kematiannya, ayahmu meng-ungkit soal Tong tian pao liong. Ini benar-benar bukan hal yang sepele. Kita ..."

Tao Ling tertawa getir.

"Aku belum sempat mengatakan bahwa kedua Tong tian pao liong itu sudah direbut oleh si laki-laki berjubah hitam."

I Ki Hu langsung mengeluarkan seruan terkejut. Mimik wajahnya menyiratkan kekecewaan.

"Tampaknya hu kun juga menginginkan Tongtian pao Hong itu?" sindir Tao Ling. I Ki Hu segera menggenggam tangan Tao Ling erat-erat.

"Hu jin, rumitnya urusan yang menyangkut Tong tian pao liong ini sulit dijelaskan. Urusan itu menyangkut suatu masalah yang sangat besar. Mengapa kau begitu ceroboh membiarkan orang itu merebutnya dari tanganmu?"

Tao Ling langsung menceritakan peristiwa yang dialaminya.

"Tetapi sekarang aku masih menyimpan sebuah Tong tian pao liong itu," kata Tao Ling.

Wajah I Ki Hu berseri-seri seketika mendengar keterangannya.

"Bagus sekali. Hu jin, tadi kau mengatakan bahwa setelah melemparkan Tong tian pao liong itu, si laki-laki berjubah hitam langsung mengeluarkannya dari dalam bungkusan kain kemudian pergi begitu saja?"

"Betul," kata Tao Ling sambil menganggukkan kepalanya.

"Lalu, pembungkus kedua Tong tian pao liong itu benar-benar selembar kain belacu?" Tao Ling berusaha mengingat-ingat.

"Aku tidak begitu memperhatikannya bisa jadi memang benar." "Lalu di mana kain itu sekarang?" tanya I Ki Hu cepat.

"Ketika berhasil mendapatkan bungkusan itu, aku langsung membukanya. Mungkin ketika aku melemparkannya, kedua Tong tian pao liong itu masih ada di dalam bungkusan kain itu."

"Tapi kau yakin laki-laki berjubah hitam itu hanya mengambil Tong tian pao liongnya saja?"

Sekali lagi Tao Ling menganggukkan kepalanya. Sikap I Ki Hu tampak agak panik. "Di mana kau lemparkan kain itu?"

Melihat I Ki Hu terus mendesaknya, hati Tao Ling agak jengkel.

"Mana aku ingat lagi?" sahutnya dengan ketus sambil memalingkan wajah. I Ki Hu menghentakkan kakinya di atas tanah.

"Hu jin! Hu jin! Kalau kau ingin membalas dendam kematian kedua orang tuamu, maka kau harus menemukan kain belacu itu!"

"Kenapa?" "Apakah kau belum pernah mendengar cerita yang ada hubungannya dengan Tong tian pao liong?"

"Tidak pernah."

"Urusan ini kalau diceritakan panjang sekali. Lebih baik kita kubur dulu kedua orang tuamu, baru cerita dengan tenang."

Tao Ling tertegun beberapa saat. Dia seakan-akan baru menyadari kedua orang tuanya sudah meninggal.

"Mari!" sahut Tao Ling kemudian.

Kedua orang itu segera menggali tanah dan menguburkan jenasah pasangan suami istri Tao Cu Hun.

"Hu jin, untuk sementara kau juga tidak kembali ke Iembah Gin Hua kok, maukah kau berjalan bersamaku?" tanya I Ki Hu.

"Kau hendak kemana?"

"Aku ingin mengejar laki-laki berjubah hitam itu." Tao Ling merasa heran.

"Aih, apakah kau tahu kemana perginya laki-laki berjubah hitam itu?"

"Tadinya aku juga tidak tahu. Tapi menjelang kematiannya, ayahmu mengungkit masalah Tong tian pao liong. Dan laki-laki berjubah hitam itu juga merebut dua buah Tong tian pao liong dari tangan-mu. Dengan demikian aku jadi tahu kemana dia pergi."

Mendengar kata-kata I Ki Hu, perasaan Tao Ling masih bingung juga. Tapi dia malas bertanya panjang lebar.

"Jadi kita tidak perlu mencari kain belacu itu lagi?" tanya Tao Ling.

"Tentu saja harus. Aku yakin laki-laki berjubah hitam itu tidak tahu pentingnya kain belacu itu. Maka, biarpun kita lambat sedikit, tidak menjadi masalah. Hu jin, naiklah ke atas kuda!"

Tao Ling mencelat ke atas Cui hong be. I Ki Hu mengikuti dari samping. Kuda itu mengeluarkan suara ringkikan. Begitu pantatnya ditepuk oleh I Ki Hu, kuda itu pun melesat ke depan secepat kilat.

*****

Tidak lama kemudian, mereka sudah sampai di tepi danau. Tao Ling menarik tali kendali kuda hitam itu. "Hu jin, dimana kau lemparkan kain belacu itu, masa kau tidak ingat sama sekali?" tanya I Ki Hu.

Tao Ling berusaha mengingat-ingat.

"Ketika itu aku sedang panik, jadi bungkusan kain itu aku lemparkan sekenanya saja. Di mana tepatnya aku tidak begitu ingat lagi."

I Ki Hu memperhatikan keadaan di sekitarnya.

"Terpaksa kita cari dengan teliti. Kalau tidak berhasil juga, ya sudah."

Pikiran Tao Ling justru berbeda. Dia tahu, menjelang kematian, ayahnya masih mengingatkan soal kain belacu itu. Pasti bukan tanpa sebab. Dengan kata lain, kain belacu itu pasti penting sekali artinya.

Karena itu, Tao Ling segera mencelat turun dari kuda, kemudian mulai mencari dengan sek-sama. Setiap gerombolan rumput disibaknya dengan hati-hati. Tapi kain belacu yang dilemparnya asal-asalan itu entah ada di mana. Kedua orang itu mencari- cari di tepi danau sampai kurang lebih setengah kentungan lamanya, namun tidak ada hasilnya.

I Ki Hu menarik nafas panjang.

"Hu jin, kalau tidak ketemu juga, ya apa boleh buat."

Hati Tao Ling merasa tidak rela. Dia tidak tahu, apa lagi yang harus dilakukannya. Akhirnya dia berdiri. Begitu dia berdiri, tiba-tiba tampak kain belacu itu tersangkut pada ranting sebuah pohon. Seketika itu hati Tao Ling merasa gembira sekali.

"Lihat, itu kainnya bukan?" kata Tao Ling. I Ki Hu mendongakkan kepalanya.

"Ini yang dinamakan, 'Mencari sampai sepatu besi pecah juga tidak ketemu. Tetapi tidak dicari malah datang sendiri'."

I Ki Hu menghentakkan kakinya. Tubuhnya melesat ke atas, tangannya menjulur ke depan, dan kain belacu itu sudah tercengkeram di tangannya. Sekejap kemudian dia sudah berdiri di samping Tao Ling. Mereka sama-sama melihat kain belacu itu.

Tampaknya kain itu tidak mempunyai keistimewaan apa-apa. Bahkan jahitannya juga kasar sekali.

Tetapi, di bagian tengah kain itu, terdapat lima titik bundar berwarna merah. Kalau dilihat sepintas lalu, kemungkinan bekas noda darah. Kelima titik merah itu tersusun rapi sekali. Bentuknya seperti bunga bwe. Selain itu, tak ada gambar lainnya lagi.

Tao Ling kebingungan. Dia mendongakkan kepalanya menatap I Ki Hu. Tampak sepasang alis suaminya menjungkit ke atas seakan-akan sedang menguras otaknya. Sesaat kemudian, tiba-tiba dia menepukkan kedua tangannya keras-keras. "Aku sudah tahu!" kata I Ki Hu.

"Apa yang kau ketahui?" tanya Tao Ling cepat.

"Kita berangkat dulu baru membicarakannya lagi," sahut I Ki Hu. "Kemana tujuan kita?"

"Jauh sekali. Mungkin kita memerlukan waktu berbulan-bulan di perjalanan." I Ki Hu menarik tangan Tao Ling kemudian mengangkat tubuh istrinya itu ke atas kuda.

Kemudian dia sendiri juga mencelat di belakangnya. Mereka segera memacu kudanya. Terdengar suara derap kaki kuda yang nyaring, mereka mengambil arah barat daya.

Diam-diam Tao Ling berpikir dalam hati.

"Tidak kembali ke lembah Gin Hua kok, bahkan kebetulan. Untuk sementara Lie Cun Ju tidak akan mengalami bencana."

Tao Ling tidak tahu, sejak meninggalkan lembah Gin Hua kok, telah banyak terjadi perubahan pada dirinya. Dan di dalam lembah Gin Hua kok juga telah terjadi berbagai peristiwa. Sudah lama Lie Cun Ju tidak berada di lembah itu lagi.

Kuda itu melesat terus ke depan sampai sejauh beberapa li.

"Hu jin, kau mengatakan bahwa kau belum pernah mendengar cerita mengenai Tong tian pao liong. Apakah kau pernah mendengar tentang tujuh orang Portugis berambut merah yang menjadi legenda masyarakat kita?"

Mula-mula Tao Ling tertegun. Kemudian hampir dia tertawa geli.

"Tentu saja pernah. Tapi itu kan cerita rakyat yang hanya dikisahkan para orang tua untuk menakut-nakuti anaknya agar mau disuruh tidur. Memangnya cerita itu benar?" Wajah I Ki Hu justru tampak serius sekali.

"Coba kau ceritakan apa saja yang pernah kau dengar."

"Ketika aku masih kecil, setiap mama menidurkan aku, mama sering menceritakan kisah itu. Setelah aku besar, dia tidak pernah bercerita lagi. Menurut cerita mama, entah berapa puluh tahun yang lalu, di daerah Tiong goan tiba-tiba kedatangan tujuh orang Portugis berambut merah. Mereka sendiri sebetulnya tidak punya kebiasaan apa- apa. Tapi mereka justru mengharapkan tokoh-tokoh di daerah Tiong goan mengangkat mereka sebagai pimpinan. Mula-mula orang-orang mengira mereka mempunyai kesaktian yang disembunyikan.

Tetapi kemudian kedok mereka terbongkar. Ternyata mereka hanya sekelompok orang yang tidak bisa apa- apa.Bahkan tidak mengerti ilmu silat sedikitpun. Tentu saja mereka semuanya mati terbunuh diwilayah Tiong Goan.. kata Tao Ling mengulangi kisah yang pernah didengarnya.

"Apa yang pernah dengar hanya sebegitu saja?" tanya I Ki Hu. Tao Ling mengerut-ngerutkan sepasang alisnya.

"Tentu masih ada beberapa bagian yang lucu. Kebanyakan mengenai diri ketujuh orang Portugis yang dipermainkan oleh tokoh-tokoh kita. Buat apa diceritakan lagi?"

"Hu jin, dulu ketika aku baru belajar ilmu silat, aku juga pernah mendengar cerita itu. waktu itu aku mengira cerita itu hanya karangan orang-orang iseng saja. Tetapi pada suatu saat aku jadi percaya dengan cerita itu. Bahkan benar ada kejadian tentang datangnya tujuh orang portugis yang ingin menjadi pemimpin di wilayah tionggoan." Tao Ling tertawa geli.

"Mana mungkin? Ketujuh orang itu tidak memiliki kepandaian sedikitpun. Mana bisa menjadi pemimpin tokoh persilatan di tionggoan? Kecuali kalau otak mereka sudah tidak waras.”

"Kau dengar dulu ceritaku. Dulu di dalam partai Mo kau, aku mendapat kepercayaan penuh dari kaucu tua. Justru karena usianya sudah lanjut, kaucu Mo kau enggan mengurus tetek bengek yang menyangkut Mo kau lagi. Boleh dibilang akulah yang menjabat sebagai ketua dalam partai Mo kau itu. Ketika aku membereskan pembukuan di dalam markas Mo kau, tanpa disengaja aku menemukan sebuah kitab kecil dari kulit kambing."

Perhatian Tao Ling jadi tertarik mendengar sampai di sini. "Apa yang tertulis di dalam kitab itu?" tanya Tao Ling.

"Kitab kecil itu merupakan buku harian peninggalan ketua Mo kau cabang tenggara. Sampai sekarang kitab itu sudah berusia tiga ratusan tahun. Untung saja hurufnya ditulis dengan darah kambing sehingga tidak mudah luntur. Meskipun usianya sudah tua, warnanya hanya menguning. Tadinya aku hanya membolak balik karena iseng. Ternyata pada salah satu halamannya tertera tanggal tiga bulan tiga, tertulis 'hari ini ketujuh orang Portugis datang mengantarkan berbagai batu permata seperti batu Manau, batu giok, dan lain-lainnya'."

"Orang Portugis memang terkenal sebagai pedagang batu permata. Seandainya mereka menghadiahkan batu-batuan itu kepada ketua Mo kau, rasanya tidak perlu diherankan.

I Ki Hu menganggukkan kepalanya.

"Tidak salah. Tetapi ketika aku membalikkan halaman berikutnya, di sana tertulis lagi. 'Tujuh orang Portugis datang lagi dan berbicara dengan serius terhadap ketua Mokau'. Kemudian ada lagi tulisan tertanggal bulan tiga tanggal sembilan, yang menyatakan 'Ketua Mo kau pergi dengan ketujuh orang Portugis'.

Tao Ling menjadi kurang sabar. "Apa artinya?"

I Ki Hu tertawa lebar. "Ada suatu hal yang aneh dan tidak kau ketahui." "Apa itu?"

"Ketua Mo kau cabang tenggara itu, sejak kepergiannya dengan tujuh orang Portugis, tidak pernah ada kabar beritanya lagi. Menghilang begitu saja. Hal ini menyebabkan terjadinya kekacauan di dalam cabang Mo kau itu sampai tujuh-delapan tahun lamanya."

Tao Ling memalingkan kepalanya. "Mengapa bisa demikian?"

"Saat itu, aku juga bertanya kepada diriku sendiri. Mengapa bisa demikian? Kemudian aku merenungkan kembali. Akhirnya aku yakin bahwa ketujuh orang Portugis itu memang benar-benar ada. Mereka juga sungguh – sungguh ingin menjadi pemimpin tokoh-tokoh persilatan diwilayah tionggoan. Meskipun mereka tidak mengerti ilmu silat, tapi pasti ada syarat tertentu yang menjadi pegangan. Namun karena syarat yang mereka miliki terlalu tidak memungkinkan, maka orang – orang pun tidak percaya dan mengira mereka tidak waras.”

Pada dasarnya Tao Ling memang seorang wanita yang cerdik.

“Menurut pendapatmu, ketua Mo Kau pada jaman itu percaya dengan persyaratan yang mereka miliki?” tukas Tao Ling.

I Ki Hu menganggukkan kepalanya.

“Tidak salah. Di dalam catatan itu tertera bahwa selam lima hari berturut – turut ketua Mo Kau cabang tenggara itu mengadakan perundingan serius dengan ketujuh orang Portugis itu. Pasti mereka berhasil membujuknya.”

Tao Ling menggeleng-gelengkan kepalanya. Baginya, hal itu terlalu mustahil. Hatinya tetap tidak mempercayai apa yang dikatakan I Ki Hu.

“Aku masih kurang percaya. Seandainya mereka memang memiliki sesuatu yang dapat membuat mereka menjadi pemimpin diwilayah Tionggoan, mengapa mereka tidak pergi mengambilnya sendiri?”.

Justru karena urusan itu berlalu sudah terlalu lama, maka apa saja yang terselip di balik sernua itu, bukan sesuatu yang dapat kita pahami."

"Lalu, apa hubungan cerita itu dengan Tong tian pao Hong?" I Ki Hu tersenyum.

"Hubungan yang menyangkut kedua urusan itu, di dunia ini yang benar-benar megetahuinya mungkin tidak lebih dari sepuluh orang." Tao Ling semakin penasaran. "Coba kau jelaskan."

"Kau tidak perlu terburu-buru. Kenyataannya aku merasa adanya ketujuh orang Portugis itu bukan hanya cerita karangan belaka, tetapi merupakan sebuah fakta. Tentu saja timbul minat-ku untuk menyelidikinya lebih lanjut. Aku menghabiskan waktu hampir setengah tahun untuk menyelesaikan pembukuan pihak Mo kau dan sembari membaca dengan teliti buku harian peninggalan cabang tenggara Mo kau jaman itu.

Akhirnya kembali aku menemukan sesuatu, yakni sebelum pergi dengan ketujuh orang Portugis itu, Mo kau terdahulu meninggalkan sepucuk surat kepada para pengikutnya."

"Oh?" Tao Ling berseru heran. "Kalau benar ada peninggalan surat, bukankah semuanya malah menjadi jelas?"

I Ki Hu menarik nafas panjang.

"Seandainya aku berhasil membaca surat itu, tentu semuanya akan jelas. Tetapi surat itu justru tidak ditemukan. Hanya terdapat sedikit catatan dari Mo kau kaucu itu.

Bahwa surat itu menyangkut nasib seluruh Mo kau. Dan ada seseorang yang mungkin wakil dari Mo kau kaucu itu juga menuliskan catatan yang sama. Bisa jadi orang itu pula yang menyimpan surat peninggalan Mo kau kaucu itu."

"Apa artinya semua itu? Aku benar-benar tidak menemukan setitik pun hubungan Tong tian po Hong dengan apa yang kau ceritakan itu. Coba kau jelaskan lebih detail!"

"Kalau dilihat sepintas lalu, memang tidak mudah menemukan kejanggalan apa-apa. Tetapi kalau diperhatikan dengan teliti dan dengan sedikit menguras otak, tidak sulit menemukannya. Sebelum kepergiannya, Mo kau kaucu itu pasti sudah ada persiapan. Dia sendiri menyadari bahwa kepergiannya mungkin membutuhkan waktu yang cukup lama, sehingga perlu mengadakan persiapan lebih dahulu atas kelanjutan partai Mo kau. Tetapi akhirnya, mungkin ada seseorang yang berhati culas di dalam Mo kau. Dia menyembunyikan surat peninggalan itu sehingga kemudian terjadi kekacauan besar di dalam partai."

Tao Ling merenung sejenak.

"Masuk akal juga. Coba kau teruskan keteranganmu!"

I Ki Hu mengernyitkan keningnya. "Kemudian aku memeriksa nama-nama kaucu generasi berikut. Akhirnya aku mendapatkan beberapa orang yang berkepandaian tinggi. Ada salah seorang yang kedudukannya tinggi sekali, gerak geriknya mencurigakan. Maka aku menaruh perhatian besar pada kaucu yang satu ini. Aku menyelidiki riwayat hidupnya. Ternyata setelah kaucu yang lama pergi bersama ketujuh orang Portugis, dia yang tadinya hanya seorang penasehat langsung mengangkat dirinya sendiri sebagai Mo kau kaucu. Banyak pengikut Mo kau yang tidak puas atas tindakannya. Akhirnya dia dibunuh oleh para pengikutnya. Menjelang kematiannya, ada beberapa catatan khusus. Justru yang menarik adalah kata-katanya menjelang kematian." Pada saat itu, seluruh perhatian Tao ling sudah tertarik pada cerita I Ki Hu. Dia mendengarkan dengan seksama.

"Apakah kata-kata yang diucapkan menjelang kematian orang itu ada kaitannya dengan orang-orang aneh dari Portugis?"

I Ki Hu menganggukkan kepalanya.

"Ternyata kecerdasan Hu jin melebihi orang lain. Orang yang menjelang kematiannya itu menderita luka yang terlalu parah. Meskipun ucapannya dicatat oleh pengikut Mo kau, namun tidak banyak yang bisa dipahami. Kata-katanya diucapkan dengan susah payah. Hanya beberapa patah kata saja, bahkan aku pun dapat menghapalnya luar kepala." I Ki Hu merenung sejenak, dia menarik tali kendali Cui hong be agar jangan berlari terlalu cepat. Kemudian baru meneruskan ucapannya. "Orang itu berkata, 'Mo kau kaucu . . . sebelah barat Kun Lun san . . . Orang-orang Portugis membawa tujuh buah Tong tian pao Hong ... dia tidak akan kembali lagi . . . kalian jangan bermimpi . .

. semuanya hanya aku . . . yang tahu' . . . Hanya beberapa patah kata itu yang diucapkannya."

Tao Ling merenung sesaat.

"Hu kun, jadi tujuan kita sekarang sebelah barat Gunung Kun Lun itu?"

"Tidak salah. Mungkin pada waktu itu orang yang meneruskan catatan itu masih membocorkan beberapa rahasia. Sebab sejak itu di dalam dunia bu lim bertambah lagi semacam cerita yang bekaitan dengan Tong tian pao liong. Dikatakan bahwa barang siapa yang berhasil mencapai tempat tertentu di sebelah barat Gunung Kun Lun, maka sekembalinya dari sana dapat menjadi tokoh nomor satu di kolong langit ini."

Tao Ling tertawa dingin.

"Hu kun, kepandaianmu sekarang boleh dibilang sudah menjadi tokoh nomor satu di kolong langit. Apakah kau masih ingin mengejar sesuatu yang belum jelas di sebelah barat Gunung Kun Lun itu?"

I Ki Hu tersenyum simpul.

"Hu jin, apa yang kau katakan tidak benar sama sekali. Meskipun kepandaianku sangat tinggi, tetapi bukan berarti tidak ada orang yang tidak dapat mengimbangiku. Karena itu tidak dapat disebut tokoh nomor satu di kolong langit ini. Lagipula, kalau ditilik dari keadaannya sekarang, tampaknya tempat tertentu di sebelah barat Gunung Kun Lun juga bukan hanya legenda belaka."

"Dari mana kesimpulanmu itu?"

"Sekarang aku sudah tahu bahwa apa yang disebut Tong tian pao liong ternyata bukan naga sungguhan. Tetapi tujuh buah naga ernas seperti yang ada padamu sekarang."

Tao Ling hanya berdiam diri. I Ki Hu melanjutkan kata-katanya kembali. "Sekarang ketujuh buah naga emas ini semuanya sudah muncul. Hal ini membuktikan bahwa tempat yang katanya bisa membuat seseorang menjadi tokoh nomor satu di kolong langit juga merupakan sebuah kenyataan."

Diam-diam Tao Ling berpikir dalam hati, dia menggunakan segala macam cara untuk melepaskan diri dari cengkeraman I Ki Hu, tujuannya ingin menyelamatkan selembar nyawa Lie Cun Ju

Sekarang, tidak disangka-sangka I Ki Hu percaya dengan legenda mengenai Tong tian pao liong dan ingin menuju sebelah barat gunung Kun Lun san. Meskipun tempat ini sudah termasuk wilayah barat, tetapi untuk mencapai gunung Kun Lun, masih harus menempuh perjalanan sejauh laksaan li. Ada baiknya seandainya bisa memancing suaminya itu pergi sejauh-jauhnya dari tempat itu.

"Kalau begitu, marilah kita pergi bersama-sama. Seandainya bisa menemukan suatu rahasia yang selama ini tidak diketahui orang lain, tentunya seru juga."

Meskipun I Ki Hu laki-laki yang kecerdasannya melebihi orang tain, tetapi saat itu seluruh perhatiannya sedang terpusat pada masalah yang ada kaitannya dengan Tong tian pao liong. Karena itu dia sama sekali tidak menyadari maksud hati Tao Ling yang sebenarnya.

Dia mengira Tao Ling sudah tergerak hatinya oleh serangkaian cerita yang ia kisahkan, sehingga bersedia melakukan perjalanan bersama-sama. Tanpa dapat ditahan lagi hatinya diliputi kegembiraan. Dia segera mengeluarkan suara siulan panjang dan mendepak kuda hitam itu agar melesat lebih cepat. Selama tiga hari tiga malam mereka terus menuju ke arah barat.

Sampai pada hari keempat, tampak sebuah sungai besar menghadangi perjalanan. I Ki Hu

mengendalikan kuda membelok ke arah barat dan meneruskan perjalanan. Sepanjang perjalanan I Ki Hu sering mengeluarkan kain belacu pembungkus Tong tian pao liong itu dan dibolak-balikkannya kemudian diperiksanya dengan teliti.

Kira-kira tengah hari, Tao Ling melihat dua orang berjalan berdampingan di tepi sebuah sungai yang airnya sudah mengering. Kalau dilihat dari bayangan punggungnya, mereka sepasang laki-laki dan perempuan. Yang perempuan berambut panjang mencapai bahu, pinggangnya langsing dan mengenakan pakaian serba putih. Mereka berjalan dengan perlahan-lahan. Walaupun wajah gadis itu tidak kelihatan, dapat dibayangkan bahwa wajah-nya pasti cantik sekali.

Bayangan punggung kedua orang itu rasanya tidak asing bagi Tao Ling. Ketika ia memper-hatikan sekali lagi, hatinya langsung berdebar-debar. Begitu mereka mendekat, tiba-tiba sepasang laki-laki dan perempuan itu menolehkan kepalanya. Tanpa dapat ditahan lagi air mata Tao Ling mengalir dengan deras. Tenggorokannya seakan tercekat.

"Koko!" teriak Tao Ling. Pada saat itu, laki-laki yang sedang berjalan bersama seorang gadis itu juga sudah menghambur ke arahnya sambil berseru.

"Moay moay!"

Tao Ling mencelat turun dari kudanya. Dia menghambur ke dalam pelukan pemuda itu. Memang bukan orang lain, tetapi kokonya sendiri, Tao Heng Kan.

Sedangkan gadis yang tadi hanya tampak punggungnya itu, juga sudah membalikkan tubuh-nya, ternyata I Giok Hong.

Ketika kakak beradik Tao Heng Kan dan Tao Ling saling berpelukan, I Giok Hong dan I Ki Hu. kedua ayah dan anak itu justru saling bertatapan dengan pandangan dingin. Mimik wajah I Giok Hong tampak menyiratkan keangkuhan dan sinar matanya mengandung sorotan merendahkan.

Terdengar I Ki Hu berkata.

"Hu jin, apakah kau ingin mengajak kokomu melakukan perjalanan bersama?" Tao Heng Kan melepaskan diri dari pelukan Tao Ling. la melirik I Ki Hu sekilas. "Siapa kau?" Tao Heng Kan menyapa I Ki Hu.

"Aku she I," sahut I Ki Hu dingin.

Sejak semula Tao Heng Kan sudah melihat ada kemiripan antara laki-laki setengah baya ini dengan I Giok Hong. Karena itu ketika I Ki Hu menyatakan dirinya juga she I, hatinya dilanda kebingungan. Untuk sesaat ia termangu-mangu, dengan menundukkan kepalanya ia bertanya.

"Moay moay, menga ... pa dia memanggilmu . . . hu jin?" Tao Ling menghapus air mata yang membasahi pipinya.

"Koko, kau tidak perlu menanyakan apa alasannya, pokoknya sekarang aku sudah menjadi istrinya."

Sepasang alis Tao Heng Kan langsung menjungkit ke atas. Agak lama dia berdiam diri. Ter-ingat kembali kata-kata I Giok Hong yang dulunya dikira hanya gurauan belaka.

"Apakah ayah dan ibu sudah mengetahui urusan ini?" tanya Tao Heng Kan kepada I Giok Hong.

Tao Ling menundukkan kepalanya dalam-dalam. "Kedua orang tua kita sudah tidak ada di dunia lagi." Wajah Tao Heng Kan langsung berubah hebat. "Apakah kedua orang tua kita mati di tangannya?" tanyanya sambil menunjuk kepada I Ki Hu.

Tao Ling menggelengkan kepalanya.

"Tidak ada hubungannya dengan dia. Koko, kau . . . sendiri mengapa bisa berjalan bersama I kouwnio?"

Tao Heng Kan menarik nafas panjang. Baru saja dia ingin menjawab pertanyaan Tao Ling, sepasang alis I Giok Hong sudah menjungkit ke atas sembari membentak.

"Heng Kan, mari kita lanjutkan perjalanan!"

"Giok Hong, kami kakak beradik sudah lama tidak berjumpa ..."

I Giok Hong tidak menunggu Tao Heng Kan menyelesaikna kata-katanya. la langsung tertawa dingin.

"Apa yang dipesankan oleh suhumu, apakah kau sudah lupa?"

Wajah Tao Heng Kan langsung menyiratkan perasaan apa boleh buat. "Moay moay, kita sudah akan berpisah lagi . . . kau . . . jangan . . . bersedih." I Ki Hu masih duduk di atas kuda. Dengan nada berat dia berkata ...

"Giok Hong, kakak beradik baru bertemu lagi, mengapa kau justru ingin memisahkan mereka?" kata I Ki Hu dengan nada berat.

Watak I Giok Hong memang tidak berprikemanusiaan. Apalagi setelah I Ki Hu mengambil Tao Ling sebagai istri dan membuat sepasang tulang kecil di kakinya patah. Dalam hatinya, tidak tersisa lagi kasih sayang sedikit pun antara ayah dan anak. Mendengar kata-katanya dia langsung tertawa dingin.

"I Sian sing, kau bisa mengurus istrimu yang cantik, termasuk boleh juga. Mengapa kau juga ingin menahan Tao kongcu?"

Mendengar putrinya sendiri menyebutnya dengan panggilan 'Tuan I' dan nada bicaranya yang

begitu ketus, kebencian I Ki Hu semakin meluap. Wajahnya berubah menjadi angker. "Apakah kau masih belum ingin menggelinding dari hadapanku?"

I Giok Hong tertawa terbahak-bahak.

"Tentu saja aku akan pergi. Heng Kan, jangan menunda waktu lagi!"

Tanpa dapat berbuat apa-apa, Tao Heng Kan maju beberapa langkah. la berjalan di samping I Giok Hong kemudian baru menolehkan kepalanya kembali. "Moay moay, kelak pasti masih ada kesempatan bagi kita untuk bertemu lagi. Dendam kematian kedua orang tua kita, bebankan saja pada kokomu ini!" Baru menyelesaikan kata-kata itu, I Giok Hong sudah menarik tangannya dan mengajaknya berlari meninggalkan tempat itu.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar