Lentera Maut (Ang Teng Hek Mo) Jilid 22

Jilid 22

ADALAH pada saat itu, rombongan Kwee Tian Peng juga telah tiba, sehingga benar benar sangat menggirangkan bagi Nio Hoan Houw yang langsung mendekati dan melaporkan segala peristiwa yang telah terjadi.

Dipihak pemuda Lie Cong Liang, sudah tentu pemuda ini menjadi sangat terkejut ketika melihat kedatangannya sang paman yang memang sangat ditakuti itu, karena ilmu silatnya yang memang lihay dan adatnya yang pemarah.

Sementara itu Kwee  Thian Peng menjadi sangat gusar setelah Nio Hoan Houw selesai memberikan  laporannya. Segera dia mendekati kancah pertempuran, memerintah dara manja Kwee In Hong mundur, lalu dia maki pemuda Lie Cong Liang yang dia anggap sudah menjadi penghianat terhadap keluarga, sebab telah memihak dengan Tang Lan Hua, yang dianggap menjadi musuh mereka.

Sehabis memaki pemuda itu, maka Kwee Tian Peng lalu menyiapkan senjatanya, sebuah golok kay to  yang  panjang dan berat, yang selalu dipikul oleh dua orang pengawalnya.

Dengan didahulukan oleh suara seruannya yang mengguntur; maka Kwee Tian Peng mulai membuka serangannya.

Dipihak pemuda Lie Cong Liang, dia yakin bahwa dia tidak dapat menghindar dari pertempuran melawan Kwee Tian Peng yang dia masih panggil paman, sebab kalau  dia   tidak melawan, sudah pasti dia bakal dibinasakan !

Beberapa kali pemuda Lie Cong Liang berhasil menghindar dari serangan Kwee Tian Peng, sehingga sa lju sa lju pada berguguran kena senjata yang berat dan panjang. Akan tetapi di suatu saat tidak ada kesempatan buat Lie  Cong  Liang berkelit menghindar, sehingga terpaksa dia harus menangkis goloknya Kwee Tian Peng yang panjang dan berat, sehingga akibatnya tubuhnya jadi terlempar beberapa langkah, lalu dia terjatuh duduk dengan mulut mengeluarkan darah!

Kwee Tian Peng tertawa mengejek. Dia  puas melihat pemuda itu terjatuh dan keluar darah. Dia  sengaja tidak meneruskan serangannya sebaliknya dia sengaja menunggu sampai Lie Cong Liang bangun berdiri, setelah itu dengan didahulukan oleh pekik suaranya yang mengguntur, dia serang lagi pemuda itu.

Didalam telaga air panas Tang Lan Hua sempat melihat pemuda kekasihnya sedang terancam bahaya maut, bagaikan seekor tikus yang sedang dipermainkan oleh seekor kucing yang galak. Berulangkali dia  berteriak  hendak mencegah diteruskannya pertempuran itu, akan tetapi teriak  suaranya tidak dihiraukan.

Akhirnya dara yang malang itu menggerakkan sepasang kakinya. Memang lambat, akan tetapi dara yang bernasib malang itu menjadi girang; karena berhasil dia mengendalikan sepasang kakinya.

"Liang ko! aku sudah sembuh... !"  teriak  dara  yang bernasib malang itu.

“Lan moay, jangan dulu kau keluar. Masih perlu sedikit waktu lagi,.!” balas teriak Lie Cong Liang, sambil dia berusaha menghindar dari serangan Kwee  Tian Peng, akan tetapi karena perhatiannya terpecah, maka dia kena tendangan dan sekali lagi tubuhnya terlempar jauh dan terjatuh, sedangkan mulutnya kembali telah mengeluarkan darah segar.

Dara yang bernasib malang menjadi semakin merasa cemas melihat keadaan kekas ihnya yang sedang diancam bahaya maut. Dia paksakan diri merayap naik dari dalam kolam air panas. Dia berhasil meskipun semua gerakannya itu sangat lambat dia lakukan, oleh karena memang  belum  waktunya buat dia keluar dari dalam sumber air panas itu. Akan tetapi pada saat itu pemuda Lie Cong Liang benar benar sedang diancam bahaya maut. Sekilas terpikir oleh Tang Lan Hua bahwa sia-sia dia sembuh kalau pemuda kekasihnya harus binasa.

Pada saat itu dilihatnya pemuda Lie Cong Liang sedang bergulingan menghindar dari berbagai bacokan maut. Segera Tang Lan Hua melepaskan sebatang pedang Ceng liong kiam dari dalam sarungnya. Karena keadaan  yang  sangat mendesak, maka Tang Lan Hua melontarkan pedang pusaka itu, mengarah tubuh Kwee Tian Peng yang  sedang melancarkan serangan maut terhadap Lie Cong Liang.

Pedang Ceng liong kiam  itu me luncur dengan amat pesatnya dan membenam dibagian punggung Kwee  Tian  Peng, bahkan sampai tembus kebagian dada !

Kwee Tian Peng mendelik bagaikan tak percaya dengan kejadian itu. Dia masih kuat  berdiri, bahkan masih kuat melangkah untuk mendekati pemuda Lie Cong Liang, akan - tetapi pemuda itu sudah lompat berdiri, sebalikrya tubuhnya Kwee Tian Peng yang jatuh terguling, dengan dipunggungnya masih membenam sebatang pedang Ceng liong kiam.

Dara manja Kwee In Hong menyerang pemuda Lie Cong Liang bagaikan kuntianak yang sedang  mengamuk,  bahkan Nio Hoan Houw dan beberapa anak buahnya ikut  bantu mengepung, memaksa pemuda Lie Cong Liang  harus melakukan perlawanan, meski pun dia sudah sangat payah keadaannya bekas kena gempuran  hebat pada tenaga dalamnya oleh Kwee Tian Peng tadi. Sementara itu Tang Lan Hua masih berdiri lemah didalam ruangan tempat sumber air panas. Sepasang kakinya kembali terasa beku tak dapat dikendalikan, oleh karena sebenarnya  belum  waktunya  buat dia tinggalkan sumber air panas itu, dia masih memerlukan waktu untuk merendam lagi sepasang kakinya.

Dara yang bernasib malang itu kemudian teringat bahwa alangkah baiknya kalau kekasihnya bisa ikut masuk kedalam ruangan tempat dia berada supaya selamat  dari ancaman musuh sebab musuh sudah tentu tidak berani ikut masuk.

Setelah berpikir begitu, maka Tang Lan Hua  mengambil batu hitam 'ouw liong ta' dari dalam saku bajunya dan dia berteriak kepada pemuda kekasihnya.

“Liang ko.! kau sambuti... !"

Pemuda Lie Cong Liang sempat mendengarkan teriak suara dara tambatan hatinya, dan sempat pula dia melihat sesuatu benda hitam yang melayang kearahnya. Dia lompat menyambuti, kemudian  dia langsung memasuki ruangan tempat sumber air panas. Akan tetapi, selekas itu pula dia menjadi sangat terkejut dan terpesona.

Tubuhnya Tang Lan Hua masih berdiri dengan gaya sedang melempar batu hitam tadi, akan tetapi tubuh itu sudah terbungkus dengan salju putih, yang kemudian jadi membeku lalu berobah menjadi es yang bening dan keras, membungkus seluruh tubuh dara tambatan hatinya yang tewas seketika.

“Lan moay .. , !” teriak Lie Cong Liang dan dia tidak tahan untuk tidak menangis; sementara dibagian luar  ruangan tempat sumber air panas itu berkumpul dara manja Kwee In Hong berikut semua rombongannya yang semuanya berdiri terpaku terpesona.

Setelah mengetahui bahwa dara tambatan hatinya telah binasa menjadi patung yang berlapis es abadi, maka pemuda Lie Cong Liang keluar lagi dari dalam ruangan tempat sumber air panas itu, lalu bagaikan orang yang lupa  diri,  dia mengamuk ketengah orang banyak sedangkan Kwee In Hong maupun Nio Hoan Houw, mereka seperti sudah lupa dengan urusan permusuhan, sebaliknya mereka berusaha menghindari dari amukan pemuda Lie Cong  Liang,  sampai  kemudian datang rombongannya Lie Bok Seng yang ikut tiba di tempat itu.  Waktu melihat kedatangan rombongan ayahnya; maka tiba tiba pemuda Lie Cong Liang tertawa bagaikan tak sudahnya, sampai kemudian secara tiba tiba dia  lompat masuk lagi kedalam ruangan tempat sumber air panas, dan dia tewas menjadi patung berlapis es dalam sikap seperti orang yang hendak merangkul kekas ihnya!

Ternyata waktu tadi Lie Cong Liang mengamuk lupa diri, secara tidak disengaja atau karena memang dia tidak menghiraukan maka batu ouw liong ta terjatuh. Dan jatuhnya batu hitam itu secara kebenaran dilihat oleh Kwee In Hong.

Dara manja Kwee In Hong kemudian mengambil batu  hitam ouw liong ta dan dia bahkan memasuki ruangan tempat sumber air panas dengan maksud hendak merusak tubuh Lie Cong Liang berdua Tang Lan Hua, akan tetapi niat buruk itu batal dia lakukan,  karena mendadak dia  melihat adanya sebatang pedang Ceng liong kiam didekat sepasang insan yang sudah tidak berdaya itu.

Lupa dengan niatnya yang hendak merusak tubuh Lie Cong Liang berdua Tang Lan Hua, maka Kwee In Hong mengambil pedang Ceng liong kiam yang kemudian dia bawa berikut sarungnya yang istimewa. Kemudian dia pun teringat dengan sebatang pedang Ceng liong kiam  yang masih membenam ditubuh almarhum ayahnya sehingga cepat cepat dia lompat  keluar dari dalam ruangan tempat sumber air  panas  itu  lalu dia mendekati tempat ayahnya terbinasa  dan dia  cabut pedang Ceng liong kiam yang membenam didalam tubuh ayahnya, setelah itu secara tiba tiba dia tertawa dan terus tertawa sambil matanya liar mengawasi orang orang yang menyaksikan segala perbuatan dan setelah dia puas tertawa, maka secara mendadak dia lari menyusuri gunung Tiang Pek san sampai dia hilang dari pandangan mata orang orang yang menyaksikan.

Bagaikan orang yang sudah kehilangan semangat untuk hidup, Lie Bok Seng membiarkan segala tingkah yang dilakukan oleh Kwee In Hong dan dia bahkan membiarkan waktu rombongannya Nio Hoan  Houw meninggalkan  tempat itu dengan membawa jenazah Kwee Tian Peng.

Cukup lama Lie Bok Seng terdiam tanpa  mengucap  apa apa, sebab pikirannya sangat terpengaruh dengan perbuatan anaknya, Lie Cong Liang yang ternyata sangat berat cintanya terhadap Tang Lan Hua yang bernasib malang. Dia menyesal bahwa dia terlambat datang, dia menyesal sebab tidak dari awal dia membantu usaha Tang Lan Hua yang hendak menyembuhkan sepasang kakinya, dan dia menyesal bahwa dahulu dia pernah mempertemukan Tang Han Cin dengan Kwee Tian Peng, sehingga  hari itu terjadi peristiwa yang sedang dia hadapi. Pokoknya dia sesalkan dirinya dan dia sesaIkan semua perbuatannya, bahkan dia sesalkan kehidupannya!

Akhirnya Lie Bok seng memutuskan hendak bertapa ditempat itu, menghabiskan hari tuanya dengan menemani sepasang insan yang sudah membeku menjadi patung berlapis es abadi itu, dan kepada rombongannya diperintahkannya pulang buat memberikan kabar kepada Lie Cong Han yang memang tidak ikut sebab masih menderita  luka luka. Tiga tahun lamanya Lie Bok Seng hidup menyendiri bertapa diatas gunung Tiang pek san, menemani anaknya, Lie  Cong  Liang dan Tang Lan Hua yang didalam hati sudah dia  anggap menjadi mantunya, namun yang kedua duanya  sudah merupakan patung patung yang berlapis es abadi, sedangkan tempat Lie Bok Seng duduk menunggu adalah dibagian  luar dari ruangan yang terdapat kolam sumber air panas.

Dari tempatnya itu, terlalu sering Lie Bok Seng kelihatan termenung, mengawasi sepasang insan remaja yang sudah menjadi patung patung berlapis es abadi, lalu air matanya kelihatan membasahi mukanya, sebab agaknya dia terkenang lagi dengan masa lalu. Satu satunya yang dianggap menjadi hiburan  bagi orang tua itu, adalah bunyi suara tiupan dari  angin  gunung  Tiang pek san, yang kadang kadang terdengar pula suara bergelombang bagaikan bunyi suara guruh, memasuki tiang tiang es yang berdiri tegak dekat tempat dia  berada. Kemudian diseling dengan bunyi suara gugurnya es yang longsor, atau bunyi suara hujan yang lembut serta datangnya awan yang indah, atau bunyi suara gemercik dari butiran butiran cairan es, dibarengi dengan bunyi suara mengalirnya cairan cairan es yang menyusuri bukit bukit tertinggi. Dan semua aneka bunyi suara itu, bagaikan suara berirama yang membangkitkan semangat laki laki tua itu untuk mempertahankan hidupnya, dan selama sisa usianya itu, dia berusaha menciptakan berbagai ilmu yang sakti.

Segala irama alam itu, kemudian dicatat oleh Lie Bok Seng didalam suatu buku, dan dia memerlukan membikin sebatang seruling dari bahan inti es semacam batu pualam, sehingga seruling itu tidak mungkin dapat menjadi rusak atau patah.

Setiap kali mendengarkan sesuatu bunyi suara yang berirama, maka dia pun menirukan bunyi suara itu me lalui suara serulingnya, dan dari suara serulingnya  yang mengalun itu dia menirukan lagi memakai gerak pedangnya atau gerak serulingnya, yang juga terdengar mengalun karena liang liang dari seruling itu kemasukan angin  akibat  gerak  buatannya. Lalu semua gerak yang berirama atau gerak yang berdasarkan irama alam itu dia catat lagi dalam bukunya, sehingga selama tiga tahun dia bertekun dan bersusah payah, maka bukunya sudah kian menebal dan dia sudah kehabisan suara irama lain, sedangkan yang sudah dicatat olehnya ada sebanyak  tigapuluh enam kelompok irama, dan tiap  kelompok mempunyai panca benda irama menjadi semuanya sebanyak seratus delapan puluh jenis irama alam.

Ketigapuluh enam kelompok irama alam  yang  dicatatnya itu, menjadi memudahkan untuk seseorang menirukan irama irama itu memakai gerak pedang maupun gerak seruling, dan kalau seseorang yang menirukan gerak itu mahir ilmu s ilat dan mahir pula didalam ilmu meringankan tubuh,  maka gerak berirama itu berobah menjadi suatu gerak  irama  sakti, misalnya saja pada kelompok keduapuluh dari catatan  itu, yang sengaja dia beri nama "lui seng hua kong” atau bintang bintang berkisar diangkasa,  merupakan  jurus  ilmu  silat tentang perkisaran tempat (atau tubuh), dan jurus itu mempunyai panca beda atau lima beda. Kemudian pada kelompok ketujuh yang dia beri nama lui tian kauw ciok ( petir dan kilat berganti ganti), jelas mengandung arti untuk jurus ilmu s ilat yang menyerang secara bergelombang dengan gerak yang cepat bagaikan kilat atau petir yang menyambar !

( ooooodekz0shmhn0bbsc0ooooo )

SEMUA peristiwa itu, baik yang mengenai tentang kisah sepasang pedang Ceng liong kiam, maupun tentang  kisah Tang Lan Hua dan Lie Bok Seng yang mengasingkan diri di atas gunung Tiang pek san; pasti akan hilang punah tidak lagi menjadi perhatian orang-orang, apabila dikemudian hari dikalangan rimba persilatan menjadi heboh, karena sepak terjangnya seorang pendekar yang menggunakan  senjata seruling irama sakti (Mo Ti Cui In).

Kisah tentang seruling irama sakti ini, baru dikemudian hari Cie in suthay mengetahui dari gurunya, yakni Bok lan siancu yang terpaksa harus melakukan perjalanan lagi bersama sama Hui beng siansu dan Ciu Tong (kisah selengkapnya dapat dibaca secara tersendiri, dalam buku 'MO TI CUI IN' atau "SERULING MAUT" )

Sementara itu, Cie In suthay yang sedang melakukan perjalanan seorang diri hendak menemui si "macan terbang” Lie Hui Houw, di sepanjang jalan dan didalam  hati tak sudahnya dia menyebut "o mie to hud” kalau dia sedang terkenang dengan masa lalu, selagi dia melakukan petualangan dengan didampingi oleh si 'macan  terbang’  Lie Hui Houw.

('akan kususul dia kemanapun dia  pergi..’) demikian biarawati yang muda usia itu berkata didalam hatinya, sebab dia sudah bertekat hendak mencampuri urusan orang orang gelandangan yang katanya sedang saling gontok di kota Hie ciang.

Cie in suthay berhasil menemui si 'naga sakti’ Louw Sin Liong, akan tetapi si 'macan terbang’ Lie Hui Houw katanya sudah pergi ke dusun Liong bun, hendak menemui kakeknya Cin Siao  Yan, untuk kemudian  katanya mereka hendak menikah.

(‘mudah mudahan mereka tidak buru buru kawin...')  kata Cie in suthay seorang diri, waktu dia sudah pamitan dari si  'naga sakti’ Louw Sin Liong dan meneruskan  lagi perjalanannya hendak menyusul si 'macan terbang' Lie Hui Houw.

Biarawati yang muda usia dan yang cantik jelita itu menghendaki Lie Hui Houw dan Cin Siao Yan tidak buru buru kawin, sebab dia bermaksud mengajak pemuda itu pergi ke kota Hie ciang, berkelahi me lawan setan setan yang sedang merajalela.

Andaikata Lie Hui Houw dan Cin Siao Yan sudah menikah, tentu tidak enak buat Cie in suthay merusak bulan madu mereka, apalagi kalau tugas dikota Hie ciang akan membawa bencana bagi si 'macan terbang', sehingga Cin Siao Yan tentu akan menjadi seorang janda muda dan hal ini benar benar tidak diketahui oleh biarawati yang muda usia dan yang cantik jelita itu.

(‘O mie to hud ! mudah mudahan dia t idak gagal dan tidak mati;,.') Cie in suthay berdoa didalam  hati,  selagi  dia mengikuti arus orang orang yang sedang menuju kearah sebelah selatan. Cie in suthay adalah seorang biarawati yang muda usia dan yang cantik jelita. Meski pun dia berpakaian sebagai seorang biarawati; akan tetapi kecantikannya tidak mudah dia umpatkan, sehingga waktu dia melakukan perjalanan seorang diri, banyak laki laki jadi blingsatan dan banyak yang bersedia menjadi teman jalanannya kalau memang  biarawati  yang muda usia itu menghendaki.

Dimana saja dan kapan saja, laki laki tentu tidak mudah berbuat kurang ajar, kalau memang tidak diberi kesempatan. Itulah pendiria Cie in suthay yang tetap membawa diri secara tenang. Akan tetapi kalau sampai ada setan setan jahat yang coba coba mengganggu maka hati hati dengan kebutan yang dia baru terima dari gurunya; dan yang sekarang dia bawa bawa. Kebutan itu bukan dibikin memakai buntut kuda juga bukan buntut babi akan tetapi kalau kena mata bisa buta !

Kemudian waktu Cie in suthay tiba didusun Hong in cung maka dia merasa perlu beristirahat hendak melewati sang malam, akan tetapi biarawati yang muda usia itu merasa serba salah. Tidak layak rasanya buat dia menginap disebuah rumah penginapan sebab dia sendirian sedangkan didusun  itu  dia tidak melihat adanya kuil yang khusus buat kaum  bhiksuni, yang ada cuma kuil buat hweeshio yang gundul kepalanya. 'O mie to hud...’ puji seorang hweeshio gundul yang  mendekati Cie in suthay, dan meneruskan berkata.

“..rupanya suthay sedang bingung mencari  tempat mondok. Bagaimana kalau pinceng ajak kerumah seorang dermawan...?"

"Terima kasih kalau suhu hendak mengantarkan pinnie..." sahut Cie in suthay. Bagaimanapun dia merasa girang karena akan diantar untuk menginap dirumah seorang keluarga dermawan didusun itu.

"Mari kita pergi...” ajak hweeshio gundul itu yang jalan mendampingi Cie in suthay dan tongkatnya  yang  panjang  serta berat perdengarkan bunyi suara genta genta kecil yang terdapat dibagian kepala tongkat itu, yang tinggi me lewati kepala si hweeshio gundul.

“Ada kelenteng toa se bio didusun ini.." kata hweeshio itu yang menjelaskan selagi mereka jalan sama sama, dan hweeshio gundul itu lalu menambahkan perkataannya :

“.. , pengurusnya pinceng kenal; dari itu pinceng mampir dan numpang menginap "

Sekilas Cie in suthay melirik hweeshio gundul yang jalan disisinya itu. Tubuhnya kelihatan tinggi besar,  dengan kepalanya yang botak licin dan sepasang mata yang seperti mata ikan koki, sementara ditangannya memegang sebatang tongkat yang ukurannya lebih tinggi dari tubuhnya.

"Oh, jadi suhu bukan menetap di dusun  ini?” akhirnya sahut Cie in suthay yang semula mengira hwees io gundul itu merupakan salah satu imam didusun Hong in cung.

"Bukan; nama pinceng Cee bin hweesio. Siapa nama suthay, kalau pinceng boleh mengetahui... ?” sahut hweesio gundul itu, perlihatkan senyum seperti orang yang mau menangis.

"Cie in..” singkat saja Cie in suthay memberikan jawaban. “Oh! sebuah  nama  yang  bagus  sekali...”  Cie  bin  hwees io

memuji sambil dia  bersenyum  lagi dan melirik  lagi kearah Cie

in suthay yang jalan disisinya, sedangkan Cie in suthay pada saat itu sedang memperhatikan jalan yang mereka tempuh.

Keluarga dermawan yang dikatakan oleh Cee bin hweesio, ternyata adalah berupa  suami isteri petani yang hidupnya sederhana, memiliki rumah yang kecil akan tetapi tidak kotor, hanya letaknya terpisah jauh dari rumah penduduk lainnya.

Suami isteri petani itu kelihatan ketakutan waktu mereka kedatangan Cee bin hweesio yang membawa seorang biarawati muda usia yang cantik jelita, akan tetapi suami isteri itu menyanggupi menyediakan sebuah kamar buat Cie in suthay, bahkan cepat cepat mereka menyediakan makanan tanpa daging, sesuai seperti yang dipesan oleh Cee  bin hweesio.

('sediakan makanan tanpa daging... !') kata Cie in suthay didalam hati, mengulang perkataan Cee bin  hwees io tadi; sedangkan dia hanya manggut manggut seperti seekor burung yang sedang mengantuk, dan dia masih manggut manggut meskipun mereka sudah duduk berdua.

“Eh, mengapa suthay manggut manggut,,,,?" tanya Cee bin hweeshio yang kelihatan heran.

Cie in suthay mainkan kebutannya seenaknya,seperti dia sedang mengusir lalat, sambil dia berkata:

“Aku benar benar merasa kagum dengan sikap dermawan mereka, padahal mereka hidup sangat sederhana" demikian  dia berkata,

“Ha, ha ha! penduduk dusun ini semuanya patuh terhadap aku..” Sahut Cee bin hweeshio yang kelihatan kegirangan, sehingga dia menyertai tawa seperti gorila ketemu pacar.

"Wah wah wah ! kau tentunya seorang yang hebat..." puji Cie in suthay, sambil dia menyertai senyum manis yang dapat memikat selusin perjaka menjadi lupa daratan, akan tetapi masih untung bagi Cee bin hwees io, hweeshio merupakan seorang laki laki kawakan, jadi dia tabu dan tahu keadaan.

Waktu itu Cie in suthay duduk saling berhadapan dengan Cee bin hweeshio. Akan tetapi biarawati yang muda usia itu hanya makan sendirian, sebab Cee bin hweeshio tidak ikut makan, sebaliknya imam itu menemani sambil dia m inum  arak.

('dia tentu pandai ilm u silat,.,') kata Cie-in suthay didalam hati, sebab biarawati yang muda usia itu sedang menilai imam yang duduk m inum di hadapannya, selagi dia makan perlahan lahan, sampai mendadak dia  merasakan ada sesuatu yang merangsang membakar dada sampai dia menunda makan, mendekap bagian dadanya memakai sebelah telapak tangan kirinya, sambil didalam bati dia menyebut "o mie to hud".

“Ha ha ha,” tawa Cee bin hweeshio yang kegirangan, akan tetapi tiba tiba dia menjadi terkejut, waktu Cie in suthay memuntahkan makanan yang sudah dimakannya dan muntah itu mengarah pada muka si imam !

Cie in suthay memang sudah mempunyai dugaan jelek mengenai pribadi Cee bin hweeshio, dari itu dia  sudah waspada dan cepat cepat mengerahkan tenaga dalam, waktu dia merasakan ada yang tidak beres pada makanannya.

Muntah Ce in suthay mempunyai tenaga dorong  yang dahsyat, dapat membikin hancur muka Cee bin  hweeshio  kalau imam itu tidak Iekas lekas jatuhkan diri menyamping, berikut kursi yang tempat dia duduk. Dan waktu Cie in suthay menimpuk memakai sepasang sumpit, maka Cee bin hweeshio sudah bergulingan menghindar, kemudian  langsung lompat keluar rumah, sedangkan sumpit sumpit itu membenam hilang masuk kedalam lantai!

Gerak tubuh Cie in suthay bagaikan dewi pengasih yang sedang terbang, waktu dia  lompat mengejar si hweeshio gundul, sampai dia dihajar oleh Cee bin hweeshio memakai tongkatnya yang sejak tadi bersuara bising! Dengan tabah Cie in suthay menangkis memakai kebutannya yang kecil, dan bagian bulu bulu kebutan itu melibat tongkat Cee-bin hweesio yang berat dan panjang, untuk kemudian mereka berdua siling menarik memakai tenaga.

Dalam menghadapi lawannya yang berupa seorang imam, agaknya Cie in Suthay terlalu gegabah atau terlalu tabah, sehingga dia terlibat dalam adu tenaga dalam,  padahal imam itu bukan sembarang imam, sebab dia  adalah  seorang pendeta gadungan yang bernama Tiat tauw ciang Cee Kay Bu, si Kepala besi yang bejat moral! Bulu bulu pada kebutan Cie in suthay  tetap  melibat bagaikan me lekat pada tongkat besi Tiat tauw ciang Cee Kay Bu; hal itu harus tetap dipertahankan sampai salah satu pihak ada yang kena gempur jadi pecundang. Sebaliknya,  kalau terlepas selagi mereka sama sama menarik, maka  mereka akan sama sama jatuh celentang, dan sama sama menderita kena gempur tenaga dalam mereka !

Disaat keadaan mereka berdua sedang tegang dan gawat, maka dua orang pemuda yang mendekati dan diketahui oleh Cie in suthay, maupun oleh T iat tauw ciang Cee Kay Bu, akan tetapi mereka tidak menghiraukan sebab mereka sedang memusatkan tenaga dan perhatian mereka.

Dua pemuda yang baru datang tanpa diundang dan tanpa disengaja itu adalah Lim Thong Bu  bersama  temannya,  Ma Kian Sun, puteranya almarhum bekas piauwsu tua Ma Heng Kong.

Pemuda Lim Cong Bu adalah salah seorang ahliwaris kaum See gak hua kunbun golongan hurup 'Seng', murid kedua dari almarhum Coa Seng Hok, sedangkan pendiri kaum atau golongan See gak hua kunbun adalah Liauw Pek Jin, gurunya Tang Lan Hua.

Sehabis ikut dalam aksi mengganyang markas kegiatan si iblis penyebar maut, maka seorang diri Lim Thong Bu akan meneruskan berkelana, mencari si pencuri kitab See gak hua Seng pit kip yang dibawa lari orang sampai kemudian Lim Thong Bu menemukan bekas piauwsu tua Ma Heng Kong yang dibunuh oleh si iblis penyebar maut dalam  ujut  Sebagai Kui mo ong atau si biang hantu.

Pemuda Lim Thong Bu kemudian membawa jenazah Ma Heng Kong, dan Ma Kian Sun lalu bertekad mengikuti perjalanan Lim Thong Bu, sebab puteranya Ma Heng Kong itu hendak mencari balas terhadap orang yang sudah membinasakan ayahnya. Cukup lama kedua pemuda itu merantau dan cukup banyak mereka menemukan berbagai peristiwa, sampai ma lam itu secara di luar dugaan mereka bertemu dengan Cie in suthay yang sedang mengadu tenaga dalam dengan "Tiat tauw c iang Cee Kay Bu, yang kedua duanya memang sudah dikenal oleh pemuda Lim Cong Bu, sebab biarawati yang muda usia itu pernah ikut dalam aksi pengganyangan terhadap markas kegiatan si iblis penyebar maut, sedangkan si kepala besi Cee Kay Bu adalah komplotan orang yang telah mencuri kitab See gak hua Seng pitkip yang memang sedang dia cari.

Segera Lim Thong Bu siapkan diri, mengerahkan tenaga tay lek kim kong ciang dari See gak hua kunbun golongan hurup seng, bahkan sekaligus yang dia gabung dengan golongan hurup Hee dan Gie.

Pemuda itu kemudian  perdengarkan pekik suara yang nyaring memecah angkasa, sambil dia lompat dengan sepasang kaki yang siap untuk digunakan.

Baik Cie in suthay, maupan Tiat tauw ci an Cee Kay Bu, dua-duanya sempat mendengar pekik suara itu dan sempat melihat gerak pemuda Lim Thong Bu, yang sudah dikenal oleh Cie in suthay, akan tetapi belum dikenal oleh si Kepala  besi Cee Kay bu.

Kedua orang yang saling mengadu tenaga dalam itu lalu bersiap sedia, sehingga disaat sepasang kaki Lim Thong Bu menyentuh kebutan Cie in suthay dan tongkat besi Cee  Kay  Bu, maka mereka berdua sengaja melepaskan senjata-senjata mereka dan disaat senjata senjata mereka sedang terpental melayang ditengah udara, maka mereka lompat menyusul, merebut kembali senjata mereka, sebelum senjata mereka jatuh ditanah.

Dipihak pemuda Lim Thong Bu, dia langsung mengeluarkan goloknya, setelah dia berhasil memisah kedua orang orang yang sedang mengadu tenaga dalam itu. “Suthay, hweeshio gundul ini adalah musuhku, dari itu biarkan aku yang hadapi dia.” seru Lim Thong Bu  kepada Cie in suthay.

"Bocah haram! mengapa kau tuduh aku bagai musuhmu...

?” tegur Tiat tauw ci an Cee Kay Bu, sedangkan didalam hati si Kepala besi sedang memikirkan tenaga dahsyat dan  kepandaian istimewa yang dimiliki s i pemuda itu.

“Hweeshio gundul, aku tahu kau adalah si pendeta gadungan Cee Kay Bu. Muridmu Hoan Jin Ong berkomplot dengan Ouw bin liong Kwee Ong dan mencuri kitab See gak hua Seng pit kip. Aku adalah Lim Thong Bu, ahliwaris See gak hua kunbun golongan hurup Seng...”

Tiat tauw ciang Cee Kay Bu menjadi terkejut waktu dia mendengar pengakuan pemuda itu. Akan tetapi dia  tidak sempat berpikir lama, sebab Lim Thong Bu sudah menyerang memakai golok.

Dengan tongkat besinya yang berat dan panjang, Tiat tauw ciang Cee Kay Bu menangkis, akan tetapi tongkat besi  itu putus menjadi dua diantara sinar lelatu anak api yang banyak berhamburan !

Si Kepala besi Cee Kay bu sangat terkejut. Dia  yakin pemuda itu bukan memakai golok mustika, akan tetapi tongkatnya putus sebab pemuda itu telah mengerahkan  tenaga yang besar. Segera Cee Kay Bu siapkan diri sambil dia lompat mundur. Dikerahkannya tenaganya dengan ilmu  Tiat pou san, sampai tulang tulang didalam tubuhnya terdengar merentak berbunyi.

Sekarang ganti Lim Thong Bu yang menjadi terkejut. Juga Cie in suthay yang ikut melihat, sebab mereka tidak menduga kalau si Kepala besi Cee Kay Bu pandai dengan ilmu baju besi atau Tiat pou san, suatu ilmu kebal yang tidak mempan terhadap senjata apa pun juga! Akan tetapi, pemuda Lim Thong Bu sudah mempunyai persiapan buat dia  menghadapi musuh musuhnya yang mencuri kitab See gak hua seng pitkip, dan persiapan itu dia peroleh dari s i mahasiswa melarat Kiang Su Cee datuk See gak hua kunbun golongan hurup 'Gee' dan dari nenek San Cay  Hee, datuk See gak hua kunbun golongan hurup ‘Hee' menjadi caIon nenek mertua pemuda ini.

Maka terjadi saling serang antara Lim Thong Bu dan Tiat tauw ciang Cee Kay Bu. Dan pada pertempuran itu, kelihatan dua dua  pihak tak mau saling bentur senjata, sebaliknya mereka mencari bagian bagian kelemahan dari pihak lawan.

Pemuda Lim Thong Bu menghadapi kesukaran,  karena pihak lawannya sangat ketat menjaga bagian kelemahannya, yakni di bagian bawah antara sepasang pahanya,  Sedangkan di bagian kepala atau bagian tubuh lainnya, si Kepala besi Cee Kay Bu sudah kebal terhadap senjata tajam.

Diam diam Cie in suthay menjadi gelisah menyaksikan pertempuran kedua orang itu. Biarawati yang muda usia itu membayangkan betapa dia bakal repot kalau dia yang harus bertempur melawan si Kepala besi Cee Kay Bu, sebab meskipun dia mengetahui bagian kelemahan dari ilmu T iat pou san, akan tetapi apakah mungkin buat dia harus menyerang dibagian bawah lawannya, tepat diantara kedua paha  si pendita gadungan itu? ('o m ie to hud,,,') sekali lagi Cie In suthay harus memuji didalam hati, sementara mukanya segera berobah menjadi merah karena teringat dengan hal itu. Inilah kerugiannya sebagai seorang perempuan, apalagi sebagai seorang biarawati.

Dilain pihak, Lim Cong Bu perlihatkan kelincahan tubuhnya yang sudah mencapai batas kemampuannya. Pemuda ini mengancam bagian bawah lawannya  memakai goloknya, menggunakan jurus 'lian hoan to' dari See gak Hua kunbun golongan hurup 'Seng’. Selagi musuhnya kalang kabut  melindungi  bagian bawahnya yang diserang secara bergelombang tak hentinya; maka secara tiba tiba jari jari tangan Lim Cong Bu meraih sepasang mata Cee Kay Bu sampai pecah berdarah sepasang mata itu, dan hilang sudah daya lihat si Kepala besi, membikin si Kepala besi itu lalu mengamuk sebagai seekor banteng yang gila, sehingga Cie in suthay dan Ma Kian Sun yang menonton, harus waspada supaya tidak terkena serangan nyasar!

“Pendeta gadungan, kau bakal mati, dari itu cepat kau katakan, pada siapa kitab yang dicuri itu disimpan...?” seru pemuda Lim Thong Bu, akan tetapi pemuda itu  harus  buru buru pindah tempat, karena tempat itu digempur oleh sisa tongkatnya Cee Kay Bu, mengakibatkan tanah ditempat itu berhamburan.

"Bocah sinting! kau yang harus mati duluan,” maki Cee Kay Bu, yang lalu menyerang lagi secara membabi buta, sebab matanya memang sudah buta, tanpa dia bisa  melihat  apa yang diserangnya, sehingga dia hanya mampu  memusatkan alat pedengarannya, untuk memperhatikan tempat pemuda lawannya berada.

Pemuda Lim Thong Bu kemudian menganggap tidak ada gunanya dia menghambur waktu  dan tenaga, melayani banteng buta yang sedang mengamuk itu. Sekilas dia melirik kearah Cie in suthay dan biarawati yang muda  usia  itu  bagaikan mengerti dengan maksud kehendak Lim Thong Bu, sehingga cepat cepat dia 'ngepot' masuk kedalam rumah yang sudah ditinggal lari oleh dua penghuninya.

Bagaikan seekor burung garuda yang menyambar, maka tanpa perdengarkan bunyi suara tubuh Lim Thong Bu melesat mendekati Cee Kay Bu, yang lalu dia  tendang bagian bawahnya, tepat diantara sepasang pahanya sampai s i Kepala besi Cee Kay Bu menjerit seperti seekor babi yang mau disembelih, membuang tongkatnya  sebab sepasang telapak tangannya dia perlukan untuk mendekap bagian yang kena tendang tadi akan tetapi tidak tertolong lagi dia rubuh tewas, karena bagian bawahnya sudah remuk dengan darah membasahi celananya !

Ada suatu hal yang bisa membikin Cie in suthay jadi tersenyum seorang diri, kalau dia  teringat lagi dengan pengalaman pemuda Lim Thong Bu yang  menjadi  ahliwaris See gak hua kunbun golongan hurup Seng selagi dan setelah dia berpisah dari kedua pemuda itu.

Waktu itu Cie in suthay sedang duduk  makan seorang diri di sebuah rumah makan, sementara senyumnya itu  sudah tentu menarik perhatian beberapa orang orang yang ikut hadir di dalam rumah makan itu.

“Eh, kau lihat; biarawati itu tentu orang sinting...” kata seseorang pada temannya yang sama sama duduk makan. “Kenapa memang....” tanya temannya, sambil dia menunda kegiatan sumpitnya yang hendak dia gunakan  buat menjumput sepotong ati ayam.

“Aku lihat dari tadi tadi dia bersenyum seorang diri..." sahut temannya, yang rupanya sejak tadi mengawasi Cie in suthay, sebab biarawati yang muda usia itu sedang mengenangkan peristiwa yang pernah dialami oleh Lim Thong Bu.

Setelah berpisah dari Lim Thong Bu berdua Ma Kian San, maka Cie in suthay tidak mau tahu lagi dengan urusan yang bakal orang cela dia, dan dia duduk seenaknya di sebuah rumah makan atau menyewa kamar seorang diri di rumah penginapan.

Demikian hari itu dia tiba di kota Liong bun kwan, yang letaknya sudah tidak jauh lagi dengan dusun Liong bun tin, tempat si macan terbang, Lie Hui Houw yang hendak ditemui.

Dikota itu Cie in suthay menyewa sebuah kamar buat dia bermalam, lalu dia duduk di ruang makan dan bersenyum seorang diri karena dia teringat lagi dengan peristiwa yang pernah dialami oleh Lim Thong Bu, yang kisahnya dia dengar melalui seorang sahabatnya. Akan tetapi, diluar tahu Cie in suthay, senyumnya yang manis  itu telah mengakibatkan adanya beberapa orang orang yang menganggap biarawati muda usia itu adalah orang yang sinting, dan telah pula menawan hati seorang pemuda tampan berdandan seperti seorang pelajar atau siucay.

Pemuda tampan yang berpakaian semacam seorang pelajar itu, sangat mirip seperti Soan siucay Cie Poan Ciang, seorang pemuda yang menjadi kekasihnya Ang ie liehiap Lie  Su  Nio; dan kedua-duanya merupakan  rekan seperjuangan Cie in suthay, sebagai pendekar penegak keadilan.

Oleh karena itu, alangkah kurang ajarnya pemuda tampan yang tertawan hatinya oleh senyum manis  biarawati yang muda usia itu, apabila pemuda itu memang benar  benar  adalah Soan siucay Cie Poan Ciang, sebab seharusnya pemuda itu mendekati dan memberi hormat kepada Cie in suthay yang punya kedudukan lebih tua.

Sementara itu, Cie in suthay masih suka tersenyum seorang diri, tanpa dia merisaukan dan menghiraukan keadaan di sekitar tempat dia duduk dan makan seorang diri, sambil dia masih tenggelam dengan kisah lama yang pernah dialami oleh pemuda Lim Thong Bu.

Pemuda Lim Thong Bu asal penduduk daerah Siam say, di perkampungan Coan in cung, dekat gunung Coan in san.

Pemuda ini mempunyai seorang kakak laki laki yang sudah menikah dan waktu itu sudah punya anak umur setahun. Kakaknya bernama Lim Thong Hok; dan isteri kakaknya bernama Oey Lan Ing. Mereka bertiga merupakan murid murid kaum See gak hua kunbun golongan hurup Seng, dan orang orang see gak hua kunbun waktu itu masih saling gontok memisah dari dalam lima golongan yakni golongan golongan hurup Seng, Heng, Gee dan Thian. Waktu itu Lim Thong Bu bekerja sebagai orang piauwsu pada Tan wan piauwkiok dari Samsay, sehingga didusun Coan in tin hanya ada ibunya bersama Lim Thong Hok dengan istri dan anaknya.

Adalah pada suatu hari pejabat pemerintah kota Tung hay lantas mengirimkan orang utusan buat mengundang  Lim Thong Bu untuk meminta  bantuannya membasmi suatu kejahatan yang sedang terjadi didalam kota Tung hay koan.

Dua orang utusan itu tidak berhasil bertemu dengan Lim Thong Bu, yang sedang bertugas mengawal  kereta  piauw, akan tetapi mereka bertemu dengan Lim Thong Hok, dan kedua petugas itu kelihatan kecewa bercampur merasa cemas,

“Sebenarnya ada perkara kejahatan apa didalam kota Tung hay koan... ?' tanya Lim Thong Hok yang mengetahui bahwa kedua petugas itu sedang merasa kecewa bercampur cemas.

Akan tetapi kedua utusan itu tidak mengetahui bahwa Lim Thong Hok mempunyai ilmu, jadi mereka tidak memandang mata dan seenaknya bercerita mengatakan bahwa di dalam kota Tung hay koan sedang ada perkara kejahatan berupa pencurian; pemerasan dan perkosaan terhadap anak anak perawan dan perempuan perempuan yang masih muda usia bahkan tidak perduli bini orang, gundik orang ataupun janda janda, pokoknya cuma yang muda muda yang  hilang,  yang tua tua kagak ada yang hilang diculik.

“Itu sih cuma kejadian biasa buat kota besar seperti Tung hay koan, sebab di kota itu ada banyak rumah judi,  tempat isap candu dan juga banyak tempat tempat pelacuran, jadi kalau orang kurang duit, ya ngerampok atau nyolong..." kata Lim Thong Hok yang mulai kheki melihat lagak menghina dari kedua orang utusan itu.

“Memang kejadian biasa kalau yang melakukan kejahatan  itu adalah orang orang biasa ataupun orang orang sinting, akan tetapi kejahatan ini dilakukan oleh suatu siluman naga yang suka telan orang bulat bulat..”

Lim Thong Hok tertawa, akan tetapi kedua  petugas  itu tidak menghiraukan dan meneruskan bicara,  mengatakan bahwa banyak sekali orang orang kota yang sudah pernah melihat naga buas itu ditepi laut Tung hay,  dan  setiap  kali naga buas itu muncul, maka pasti terjadi kejahatan, entah berupa pencurian, perampokan ataupun penculikan terhadap cewek cewek.

("ini tentu perbuatan seorang orang....”) pikir Lim  Thong Hok didalam hati, sebab dia jadi teringat dengan kebiasaan seorang tokoh kejahatan yang sudah dia kenal, sehingga Lim Thong Hok lalu memutuskan mengajukan diri menggantikan adiknya.

“Bagus, kalau kau memang sudah bosan hidup,”  kata  kedua orang utusan itu, sebab dua duanya memang tidak memandang mata terhadap  Lim Thong Hok, akan tetapi mereka membawa juga Lim Thong Hok buat dihadapkan kepada atasan mereka.

Pejabat pemerintahan kota Tung hay koan kelihatan marah marah waktu kedua utusan itu membawa Lim Thong Hok datang menghadap; bukan Lim Thong Bu yang diundang.

"Orang yang disuruh undang bernama Lim Thong Bu, dia dikenal gagah, bisa menangkap siluman, dan untuk dia pemerintah menyediakan upah buat dia...” kata pejabat pemerintah itu semau gue.

"Tay jin, aku juga mau coba coba nangkap siluman. Kalau aku berhasil tidak perlu diberi upah, sebaliknya kalau aku mampus, ya sudah, tidak perlu jenazahku diurus supaya pemerintah tidak dirugikan. ,.” sahut Lim Thong Hok, juga semau gue sebab dia sedang kheki.

Akan tetapi, pejabat pemerintah itu ‘ngotot' dan bicara lagi

: “Jenazahmu memang tidak perlu dikubur atau  diurus, sebab akan ditelan hidup hidup oleh siluman naga itu, jadi  boleh juga kau coba coba...” dan pejabat pemerintah  itu ngitung ngitung didalam hati, akan tetapi memakai jari jari tangannya yang bergerak gerak. Maksudnya, berapa banyak dia bakal untung kalau Lim Thong Hok berhasil menangkap siluman naga, dan dia buru buru menambahkan perkataannya, selagi Lim Thong Hok belum sempat lagi bicara:

"...akan tetapi, ongkos kau makan dan mondok, harus kau bayar sendiri..."

Lim Thong Hok tidak mau melayani pejabat pemerintah itu bicara, dia  hanya teringat dengan kepentingan masyarakat yang sedang dilanda bencana.

Malam hari itu Lim Thong Hok diantar oleh kedua orang utusan yang sudah dikenalnya. Mereka menuju tepi laut Tung hay tempat siluman naga itu seringkali muncul, akan tetapi sampai tiga malam lamanya mereka tidak berhasil menemui yang mereka cari, sampai kedua petugas mulai percaya dengan Lim Thong Hok, yang dianggap sudah berhasil membikin siluman naga takut muncul, sebab siluman naga itu sudah membaui kedatangan Lim Thong Hok.

Akan tetapi pada malam berikutnya mereka menyusuri tepi laut sebelah barat, maka tiba tiba mereka mendengar  ada suara angin ribut yang menderu deru, kemudian  di angkasa ada sinar terang yang berwarna kuning emas, lalu berpeta menjadi semacam naga yang sedang terbang atau  menari nari, sehingga kedua petugas alat negara itu menjadi ketakutan, buru buru mereka umpatkan diri diatas sebuah pohon yang besar dan lebat.

Setelah sinar yang terang tadi hilang lenyap, maka keadaan disekitar tempat itu kembali menjadi gelap gulita, sampai sesaat kemudian terdengar suatu suara tawa yang menyeramkan, membikin takut orang orang yang mendengarnya. Waktu Lim Thong Hok mengawasi arah suara tawa itu terdengar, maka dilihatnya ada sesuatu yang sedang mendekati dia, yang ternyata berbentuk seorang manusia laki laki yang tinggi dan besar tubuhnya; memiliki wajah muka hitam menyeramkan sedangkan ditangannya memegang sebatang gada seperti cakar naga.

“Bangsat ! ternyata kau adalah Ouw bin liong Kwee Ong...!” maki Lim Thong Hok; karena tepat seperti yang memang sudah dia duga.

('ouw bin liong’ naga muka hitam)

Penjahat itu tertawa mengejek, lalu berkata :

“Dan kau adalah Lim Thong Hok, muridnya si tua  bangka Coa Seng Hok...!” balas maki Ouw bin liong Kwee Ong, yang sekaligus telah memaki gurunya Lim Thong Hok, sehingga Lim Thong Hok menjadi sangat gusar, lalu dengan goloknya dia mulai menyerang.

Ternyata kedua orang yang sedang bertempur itu memang sudah saling bermusuhan; mempunyai latar belakang dendam perguruan, sebab Lim Thong Hok dari See gak hua kunbun golongan hurup 'Seng’, sedangkan Ouw bin liong Kwee Ong dari See gak hua kunbun golongan hurup ‘Thian’, sebab  si naga bermuka hitam itu adalah muridnya Hui ho Pouw Kong Jin, si Rase terbang yang menjadi adik kandung dari  Moti cui in Pouw Thian Jiu, si Seruling maut yang menjadi dedengkot orang orang See gak hua kunbun golongan hurup 'Thian'. 

Dalam pertempuran itu, Ouw bin liong Kwee Ong telah menggunakan peluru asap yang mengandung racun ouw shia chang; sehingga waktu peluru asap itu meledak mengeluarkan asap warna hitam, maka Lim Thong Hok rebah pingsan sebab pengaruh asap yang mengandung racun dan Ouw bin liong Kwee Ong lalu membawa lari lawannya, yang sudah pingsan tidak berdaya. Setelah lama mereka menghilang; maka kedua petugas alat negara itu merayap turun dari atas pohon, memeriksa tempat tempat bekas pertempuran  dengan  tubuh  mereka yang masih gemetar ketakutan. Setelah itu mereka Iari kekantor pejabat pemerintah, memukul beduk tanda bahaya  tidak perduli ma lam sudah larut, membangunkan si pejabat pemerintah yang sedang asyik tidur didalam rangkulan bini mudanya yang kesembilan,  dan kedua petugas itu lalu mengarang cerita soal Lim Thong Hok, yang katanya sudah ditelan bulat bulat oleh siluman naga yang hitam  menyeramkan!

Pejabat pemerintah itu ikut  jadi ketakutan, dia  takut siluman naga bakal mencari dia, sebab dia sudah mengundang orang tolol yang sok ngaku jadi pendekar gagah.

Sampai pagi pejabat pemerintah itu tidak berani menyambung tidur. Dia memuja nama Tuhan, supaya mau melindungi dia dan dia bersumpah tidak jadi menambah bini muda, asal dia bisa diselamatkan dari bencana siluman naga.

Bahkan sampai dua malam berikutnya, pejabat pemerintah itu tetap tidak bisa tidur, biarpun empat  bini  mudanya sekaligus menemani dia. Didalam hati pejabat pemerintah itu memutuskan bahwa kalau siluman naga itu  datang  mencari dia, maka dia akan rela menyerahkan keempat bini mudanya itu.

Akan tetapi dihari ketiga itu, bukan siluman naga yang datang mencari dia, melainkan sepucuk surat yang tidak diketahui dari mana dan bagaimana cara datangnya, tahu-2 sudah ada di atas meja kerja pejabat pemerintah, dan dalam surat itu dikatakan bahwa Lim Thong Hok belum mati, akan tetapi disimpan dalam sebuah goa naga, dijadikan semacam sandera buat ditebus atau ditukar dengan kitab perguruan See gak hua Seng pit kip, dan Kitab perguruan itu katanya harus diserahkan kepada pengurus kuil Sim yang tong yang letaknya dekat pantai laut sebelah barat. Pejabat pemerintah kota Tung hay koan tidak mengerti dengan maksud surat itu, dan tidak pula mengetahui tentang arti kitab perguruan yang dimaksud. Surat yang diduga dari siluman naga itu, kemudian dikirim kerumah Lim Thong Hok buat diserahkan kepada isterinya  atau kepada ibunya  Lim Thong Hok.

Lim sie atau ibunya Lim Thong Hok, juga t idak mengetahui tentang adanya rahasia perguruan See gak hua kunbun, orang tua ini menangis memikirkan anaknya yang sedang dibawa lari oleh siluman naga dan mendesak menantunya memenuhi permintaan siluman naga itu, buat menukar Lim Thong Hok dengan kitab perguruan See gak hua Seng pitkip.

“Buku itu bisa kau cetak sebanyak kau mau akan tetapi suamimu tidak bisa kau bikin lagi...” Kata sang ibu mertua sambil meratap menangis.

Oey Lan Ing yang jadi mantu kelihatan patuh berbakti kepada mertuanya. Nyonya muda ini berkemas dan membawa kitab See gak hua Seng pit kip, lalu menyusul ketempat sang suami ditangkap s iluman naga.

Akan tetapi Oey Lan Ing tidak langsung menuju ke kota Tung hay koan. Dia berbelok arah menuju ke kota Siamsay, buat menitipkan kitab perguruan itu kepada T in wan piawkiok dengan pesan untuk diteruskan kepada sang adik ipar; Lim Thong Bu yang pada waktu itu sedang bertugas mengawal kereta piauw.

Nyonya yang masih muda usia itu mempunyai tekad  hendak mengadu nyawa kepada musuh, tidak sudi dia untuk memberikan kitab perguruan See gak hua Seng pitkip sebab sebagai murid bungsu si U lar belang Coa Seng Hok, maka Oey Lan Ing juga mengetahui tentang adanya sengketa orang orang See gak hua kunbun.

Demikian Oey Lan Ing me lakukan perjalanan seorang diri, meninggalkan rumah dia meninggalkan anaknya yang masih kecil di dalam asuhan sang ibu mertua, dan dia menuju Siamsay seperti yang dia rencanakan.

Pada suatu hari, Oey Lan Ing singgah di suatu kedai nasi yang letaknya disebuah desa yang agak ramai, karena nyonya muda ini bermaksud istirahat sambil makan siang.

Sebelum Oey Lan Ing selesai makan, tiba tiba terjadi suatu perkelahian antara beberapa orang laki laki, yang semuanya tidak dikenal oleh Oey Lan Ing. Nyonya  muda  ini meninggalkan meja tempat dia makan, buat melihat dengan mendekati tempat terjadinya perkelahian,  yang kemudian dapat didamaikan oleh para pengunjung kedai  nasi dan Oey Lan Ing lalu kembali ketempatnya buat menyambung makan.

Akan tetapi, nyonya muda ini menjadi terkejut, karena dia melihat bungkusan bawaannya hilang disamber orang, padahal bungkusan itu dia tempatkan diatas meja makan.

Oey Lan Ing tidak menghiraukan tentang uang maupun pakaiannya yang harus hilang dicuri orang, akan tetapi dia cemas sebab di dalam bungkusan itu justeru dia simpan kitab perguruan See gak hua Seng pitkip, dan kitab perguruan itu sekarang hilang.

Dalam gugupnya Oey Lan Ing menemui si pemilik  kedai nasi dan melaporkan tentang kehilangan itu, sedangkan si pemilik kedai lalu berkata :

"Aih ! ini tentu perbuatan dia...”

“Dia siapa...?" tanya Oey Lan Ing yang tetap kelihatan gugup bercampur gelisah.

“Perkelahian yang terjadi tadi, tentu akal perbuatannya.,.” kata lagi si pemilik kedai, yang tidak menjawab  langsung namun dia menambahkan perkataannya;

“.. dia adalah Soen Put Jie, manusia dengan seribu akal..” "Dimana tempat orang itu.. ?” tanya Oey Lan Ing, ingin segera mengejar si pencuri.

"Dari sini kouwnio jalan terus, dekat sebuah kuil tua belok kekiri, lalu kekanan, kekiri lagi dan kekanan lagi; sampai delapan belas kali tikungan, setelah itu kouwnio  bakal mencapai daerah pegunungan Leng siao san, nah disitulah kouwnio akan menemui rumahnya Soen Put Jie....” kata si pemilik kedai dengan memberikan gambaran memakai gerak sepasang tangannya, bagaikan orang yang sedang menari.

"Akan kususul ketempatnya itu, sementara aku belum membayar harga makanan, maka akan aku titipkan pedangku ini sebagai jaminan. ,." kata Oey Lan Ing, sambil dia melepaskan pedangnya dari ikat pinggangnya.

Pemilik kedai yang baik hati itu menolak  pemberian  Oey Lan Ing, dia bahkan mengatakan sekiranya Oey Lan Ing tidak berhasil menemui si pencuri itu, maka dia  mempersilahkan Oey Lan Ing menginap dikedai itu,  yang  memang menyediakan juga kamar kamar buat disewa para tamu yang hendak bermalam.

Oey Lan Ing mengucap terima kasih dan berjanji akan kembali, lalu dengan langkah kaki tergesa gesa dia mencari rumahnya Soen Put Jie, berdasarkan pengunjukkan si pemilik kedai tadi. Akan tetapi karena banyaknya jalan yang berliku liku, maka telah beberapa kali Oey Lan Ing menembus jalan yang sama atau yang pernah dia lewati, sehingga  perjalanan itu jadi memerlukan banyak waktu sampai hari menjadi malam baru dapat dia menemui rumah yang dia cari.

Nyonya muda itu lalu mengetok pintu rumah; akan tetapi sampai berulang kali tak ada orang yang menjawab atau membuka pintu itu, sehingga tidak sabar lagi Oey Lan Ing menunggu, dan dia lompat masuk melalui tembok halaman yang cukup tinggi. Rumah itu cukup besar dan luas, akan tetapi Oey Lan Ing tidak menemui adanya seseorang didalam  rumah  itu, meskipun ada beberapa pelita yang menyala  menjadi alat penerang.

('ada pelita, tentu ada orang...’) pikir Oey Lan Ing di dalam hati, dan dia terus memasuki rumah yang besar itu, meskipun bulu kuduknya mulai pada bangun, takut bertemu dengan setan setan gentayangan atau  mayat hidup yang suka melancong.

Ada sebuah kamar tidur yang Oey Lan Ing buka pintunya perlahan lahan, sebab pintu itu  ternyata  tidak  dikunci meskipun ditutup rapat, lalu Oey Lan Ing melihat ada seorang orang laki laki yang rebah diatas tempat tidur tanpa kelihatan bergerak.

Sejenak Oey Lan Ing terlihat ragu ragu. Laki laki itu rebah membujur celentang.

Ukuran tubuhnya panjang kurus, mukanya seperti muka tikus, ada sedikit kumis yang melintang. Laki laki itu tidak bergerak meskipun sudah cukup lama Oey Lan Ing berdiri mengawasi. Laki laki itu tetap diam sebab rupanya dia sudah mati.

Agak gemetar tubuh Oey Lan Ing, yang sudah berdiri disisi ranjang. Ada selembar kertas bertuliskan di sisi mayat itu, dan Oey Lan Ing mengambil, lalu membaca dengan bantuan sinar api lilin yang menyala.

"Temanku Tay Hin ! Kau terlalu mendesak aku, padahal kau tahu aku tidak berhasil memperoleh barang itu. Aku memilih mati minum racun, dari pada mati dibunuh oleh kau "

Demikian Oey Lan Ing membaca surat itu, yang dibagian bawahnya dibubuhi nama Soen Put Jie.

Oey Lan Ing jadi kesal,  menyesal karena dia datang terlambat. Pencuri itu sudah mati bunuh diri, jadi bagaimana mungkin dia dapat menemui lagi bungkusannya yang hilang? Apa kata gurunya almarhum karena kitab perguruan itu  dia bikin hilang?

Benar benar Oey Lan Ing menjadi kesal bercampur penasaran. Dia mau memeriksa semua isi rumah itu, buat dia mencari bungkusannya yang hilang, akan tetapi mendadak dia menunda niatnya itu, sebab dia  mendengar adanya suara seseorang yang mendatangi rumah itu, juga memakai cara melompati tembok halaman, menandakan orang yang sedang mendatangi itu pandai ilmu silat dan ilmu ringan tubuh.

Dengan cepat Oey Lan Ing umpatkan diri di bagian  belakang ranjang, terlindung dibalik kain kelambu, dan disaat berikutnya dilihatnya jendela kamar dibuka  oleh  seseorang dari luar, memakai golok yang tajam dan setelah jendela itu terbuka, maka seorang laki laki memakai tutup muka lompat masuk dengan sebelah tangan memegang golok.

Lalu laki bertopeng itu sejenak berdiri di dekat tubuh yang membujur sebagai mayat, lalu tiba tiba dia mengangkat goloknya, hendak membacok mayatnya Soen Put Jie.

Melihat kehendak laki laki yang memakai tutup muka itu, maka buru buru Oey Lan Ing menghadang dan menangkis memakai pedangnya. sambil dia membentak:

“Manusia biadab, orang sudah mati masih mau dibunuh. "

Laki laki yang memakai tutup muka itu menjadi sangat terkejut. Goloknya hampir lepas dari tangannya, sebab tidak menduga ada seseorang yang melindungi mayat Soen Put Jie yang sudah tewas akibat minum racun, apa lagi yang melindungi itu adalah seorang perempuan muda yang cantik jelita.

Setelah berhasil mengatasi rasa kagetnya maka laki laki itu memberikan perlawanan bertempur didalam kamar yang sempit itu; dengan ditonton oleh mayatnya Soen Put Jie yang diam diam jadi tertawa. Sambil bertempur, laki laki yang memakai tutup muka itu menjadi jatuh cinta terhadap Oey Lan Ing, akan tetapi oleh karena perempuan muda itu sangat tangkas; maka  cepat cepat lelaki itu lompat keluar lewat jendela, disusul oleh Oey Lan Ing yang merasa penasaran.

Sesudah kedua orang yang bertempur itu meninggalkan kamarnya, maka mayat Soen Put Jie lalu  bergerak  bangun, dan turun dari ranjang, lalu bergegas dia meninggalkan kamar itu dan menghilang lewat pintu belakang.

(Sekali lagi Cie in suthay jadi tersenyum seorang diri, mengenangkan pengalaman Oey Lan Ing atau isterinya Lim Thong Hok dan senyum manis biarawati yang muda usia itu, tetap memikat hati laki laki muda yang berpakaian sebagai seorang pelajar, yang diam diam terus memperhatikan, sementara kedua orang lain yang ikut lihat senyum manis itu sekali lagi harus membicarakan pendapat mereka :

“Aku sekarang yakin; dia benar benar orang sinting ,”

demikian kata yang seorang, dan temannya lalu menambahkan:

"aku justeru kasihan melihat dia sebab usianya masih muda dan cantik jelita.”

Cie in suthay tetap tidak menghiraukan dan tetap duduk makan seorang diri, bahkan tetap suka bersenyum atau  tersenyum !

O) hend(dwkz)bbsc (O

SEMENTARA itu, waktu  sudah menyelesaikan tugasnya mengantar kereta piauw, maka dalam perjalanan pulang ke rumahnya, Lim Thong Bu mengajak dua orang pembantunya singgah di kota Tung hay koan.

Waktu hendak singgah disebuah rumah makan, Lim Thong Bu membiarkan kedua pembantunya masuk lebih dulu, sementara dia membeli buah buah bekal buat dibawa pulang  ke rumah. Setelah selesai berbelanja, maka Lim Thong Bu memasuki rumah makan itu, dan dilihatnya kedua orang pembantunya sedang bertempur melawan seorang dara lincah yang cantik mukanya.

Dengan senjata golok ditangannya, maka Lim Thong Bu memasuki arena pertempuran dengan maksud memisah, akan tetapi dara lincah yang kena ditangkis pedangnya, menjadi marah dan memaki :

"Bagus ! kalian bertiga hendak mengepung aku ! kalian sungguh sungguh adalah laki laki pengecut….!”
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar