Laron Penghisap Darah Bab 27 : Melacak rumah penginapan Hun-lay.

Bab 27: Melacak rumah penginapan Hun-lay.

Hujan gerimis menyelimuti udara di senja itu, meski hanya hujan lembut, tidak urung membasahi juga seluruh tubuh mereka ketika harus menempuh perjalanan.

Untung sebelum Siang Hu-hoa sekalian meninggalkan perkampungan Ki-po-cay, hujan sudah turun duluan sehingga si pengurus rumah tanggal Jui Gi tahu apa yang harus dilakukan.

Dia menyediakan sebuah payung hujan, Yau Kun merasa sebuahpun sudah lebih dari cukup karena dia yang akan memayungi Siang Hu-hoa. Setelah berkumpul selama empat hari, dia merasa amat kagum dan sangat takluk akan kehebatan ilmu silat lelaki itu, sementara selama ini Siang Hu-hoa pun selalu meluangkan waktu untuk memberi banyak petunjuk akan rahasia ilmu silat.

Sementara menelusuri jalan raya, entah mengapa tiba-tiba muncul firasat jelek dalam hati Siang Hu-hoa.

Dia tahu Tu Siau-thian adalah seorang opas yang amat bertanggung jawab, bila tidak ada urusan penting, tidak mungkin dalam suasana begini dia tinggalkan kantor.

Apakah telah terjadi suatu peristiwa penting sehingga dia harus pergi?

Tiba-tiba ia berpaling sambil bertanya:

"Dikala tidak ada urusan, kebanyakan opas Tu pergi ke mana?"

"Bila tidak ada urusan, dia lebih banyak tinggal di dalam kantor" jawab Tan Piau tanpa berpikir panjang, "kalau hendak pergi ke suatu tempat, dia pun selalu berpesan dapat menemukan dirinya di mana"

"Dulu, pernahkah terjadi kejadian seperti hari ini?" kembali Siang Hu-hoa bertanya.

"Belum pernah"

"Selama berapa hari terakhir, apakah telah terjadi kasus lain?"

"Tidak satu pun yang terjadi"

"Atau mungkin ada kasus lama yang belum terselesaikan dan sekarang harus segera «liselesaikan?"

"Tidak ada, kasus yang terjadi disini hanya k;isus mengenai Laron Penghisap darah"

"Jangan jangan ia berhasil menemukan titik terang?" tanya Siang Hu-hoa lagi setelah termenung dan berpikir sejenak. "Soal ini mesti ditanyakan langsung kepadanya" Siang Hu-hoa segera terbungkam kembali.

Benarkah Tu Siau-thian telah menemukan sesuatu yang mencurigakan?

Kalau memang ada penemuan, berbahayakah itu? Kini, dimana dia berada?

Beberapa pertanyaan itu mungkin hanya Tu Siau-thian pribadi yang bisa menjawab dan memberi keterangan.

Saat itu Tu Siau-thian sedang berada diluar dinding pekarangan rumah penginapan Hun-lay.

Air hujan telah membasahi seluruh pakaiannya. Sebelum hujan turun, dia sudah tiba disekeliling tempat itu.

Sudah menjadi kebiasaannya untuk berkeliling diseputar kota selesai bersantap siang, tidak terkecuali hari ini.

Sementara masih berjalan, tiba-tiba dia teringat akan satu hal.

----- Kwee Bok pernah memelihara Laron Penghisap darah didalam rumah penginapan Hun-lay, tapi sesaat menjelang kedatangan mereka di rumah penginapan itu, mengapa kawanan laron tersebut terbang pergi hingga tidak tersisa seekor pun.

----- ke mana perginya rombongan Laron Penghisap darah itu?

----- setelah kepergian mereka dari rumah penginapan itu, apakah rombongan Laron Penghisap darah itu terbang balik lagi ke dalam rumah penginapan?

Dia ingin mengetahui rahasia ini, maka diputuskan untuk mendatangi rumah penginapan Hun-lay sekali lagi.

Bila Kwee Bok adalah pemilik kawanan Laron Penghisap darah itu atau Kwee Bok benar-benar adalah jelmaan dari siluman laron, berarti dialah pemegang kendali rombongan Laron Penghisap darah itu, dengan kematiannya, rombongan laron itu seharusnya ikut kalut dan tidak terkontrol lagi.

Kecuali si pemegang kendali yang sebenarnya adalah Raja laron, hanya Raja laron yang memimpin dan menguasahi kawanan laron tersebut, kalau tidak, niscaya kawanan laron itu tidak akan terbang balik ke rumah penginapan Hun-lay.

Sudah cukup lama kawanan laron itu tinggal di rumah penginapan Hun-lay, sudah berpuluh kali mereka masuk keluar disekitar sana, seharusnya kawanan makhluk itu hapal sekali dengan daerah seputar sana.

Aoalagi di dalam rumah penginalan Hun-lay tersedia makanan yang berlebihan, semestinya binatang binatang itu mempunyai kesan yang mendalam terhadap tempat ini.

Setelah meninjau dari berbagai kejadian yang berlangsung berapa hari terakhir, dapat disimpulkan kalau kawanan Laron Penghisap darah itu tidak berbeda dengan kawanan lebah, bahkan setingkat lebih tangguh, jadi tidak ada alasan kalau mereka tidak kenal jalan dan tidak bisa balik lagi ke rumah penginapan Hun-lay.

Tu Siau-thian hanya berharap ketika dia tiba di penginapan Hun-lay nanti, kawanan laron itu sudah berkumpul dalam ruangannya. Dia sama sekali tidak berminat mengumpulkan dan menggiring laron laron itu kembali ke sarangnya.

Sebab dia sadar tidak memiliki kepandaian seperti itu, pun tidak memahami bagaimana caranya mengendalikan kawanan laron itu, menjadi pawang Laron Penghisap darah dan membuat kawanan laron itu tunduk pada perintahnya.

Yang dia harapkan hanya bisa menangkap salah satu di antaranya.

Pada tanggal dua bulan tiga, dari atas sebatang poon ditepi telaga dia pernah menangkap seekor laron, bahkan jari tangannya sempat disengat oleh Laron Penghisap darah itu sehingga dengan gugup dia harus lepas tangan.

Dia berjanji didalam hati, jika berhasil menangkapnya lagi kali ini, apa pun yang terjadi dia tidak bakal lepaskan tangkapannya.

Asal dia berhasil menangkap seekor diantaranya, berarti dia bisa membuktikan apakah Laron Penghisap darah itu benar- benar bisa melalap daging manusia, menghisap darah manusia atau tidak.

Inilah tujuannya yang utama. Sebelum tiba di depan rumah penginapan Hun-lay, dia telah bertemu dengan seekor Laron Penghisap darah.

Hanya seekor Laron Penghisap darah, terbang lewat dari sisi bunga liar ditepi jalan dan terbang menuju ke depan.

Sebenarnya Tu Siau-thian ingin menangkap laron tersebut, tapi karena sambarannya mengenai sasaran kosong, terpaksa dia kejar laron itu hingga akhirnya sampailah di tempat tujuannya yang semula rumah penginapan Hun-lay.

Waktu itu hujan sudah mulai turun, Laron Penghisap darah itu terbang lebih cepat, ternyata air hujan tidak sampai membasahi tubuhnya.

Dia terbang melewati dinding pekarangan rumah penginapan dan terbang masuk ke dalam sebuah jendela.

Tu Siau-thian masih mengenal jendela itu. Jendela tersebut tidak lain adalah jendela ruangan yang digunakan untuk memelihara laron. Hari itu, lewat jendela itulah kawanan laron tersebut terbang keluar.

Sekarang hanya seekor Laron Penghisap darah yang terbang kembali, ke mana perginya kawanan Laron Penghisap darah lainnya? Apakah mereka telah kembali ke dalam ruangan itu? Kalau benar, dengan cara apa mereka mempertahankan hidupnya sekarang? Apakah dengan menggunakan darah didalam tubuh Si Siang-ho?

Tu Siau-thian berdiri termangu diluar dinding pagar, mengawasi laron itu terbang masuk ke balik jendela, dia masih memikirkan terus persoalan ini.

Mendadak tubuhnya bergidik, bulu kuduknya pada bangun berdiri. Dalam keadaan Iapar, mungkinkah kawanan Laron Penghisap darah itu melahap daging dan darah dari Si Siang- ho?

Jika darah dan daging Si Siang-ho sudah habis disantap, mungkinkah kawanan makhluk itu akan mulai mengincar orang orang dusun disekelilingnya?

Tu Siau-thian tidak berani berpikir lebih iiiuh, tanpa terasa dia celingukan memandang ke kiri dan kanannya.

Belakang rumah penginapan Hun-lay merupakan sebidang tanah berumput, disisi kiri dan kanannya merupakan dinding belakang rumah penduduk.

Tidak ada orang yang berlalu lalang disekitar sana, tapi dari cerobong asap rumah penduduk terlihat ada asap putih yang mengepul.

Diam-diam Tu Siau-thian menghembuskan napas lega, ada asap berarti ada orang, maka perhatiannya mulai dialihkan kembali ke jendela ruangan itu.

Seperti keadaan tempo hari, jendela ruangan dalam keadaan terbuka lebar, tapi suasana dibalik ruangan remang remang tidak jelas. Mungkinkah kawanan Laron Penghisap darah itu masih bersarang disitu?

Tiba-tiba dia tertawa, padahal gampang sekali untuk mengetahui hal ini, asal masuk ke dalam dan memeriksannya, bukankah sebuah jawaban yang pasti akan diperoleh? 0-0-0

Dinding pekarangan yang mengelilingi bagian belakang rumah penginapan Hun-lay sangat tinggi.

Tu Siau-thian harus berdiri tiga kaki dari dinding itu sebelum dapat melihat jendela ruangan itu dengan jelas.

Tapi suasana di dalam ruangan tidak nampak jelas, yang terdengar hanya suara dengungan yang sangat aneh.

Tu Siau-thian belum melupakan suara tersebut, karena suara itu pada hakekatnya mirip sekali dengan suara sekawanan laron yang sedang mengunyah daging manusia.

Sebetulnya Tu Siau-thian ingin berputar ke pintu depan dan masuk lewat sana, tapi sekarang, entah apa yang mempengaruhi jalan pikirannya, dia putuskan untuk masuk dengan melompati pagar pekarangan.

Suasana dalam rumah penginapan itu sudah menimbulkan rasa curiganya, dia memang punya watak banyak curiga.

Hujan makin lama semakin lebat, Tu Siau-thian menarik napas panjang panjang kemudian dengan jurus it-hok-ciong- thian (bangau sakti menerjang angkasa) dia melompat ke tengah udara.

Suasana dibalik dinding pekarangan tidak ada yang aneh, segala sesuatunya masih persis seperti keadaan semula, yang tertinggal hanya suara aneh yang kedengaran makin nyaring.

Tu Siau-thian celingukan sekejap dari atas dinding, kemudian dengan sekali lompatan dia melayang turun ke bawah.

Kemudian sambil menyingkirkan bunga-bungaan dengan ke dua belah tangannya, Tu Siau-thian berjalan menelusuri jalan setapak menuju ke beranda bagian dalam.

Ternyata pintu hanya dirapatnya, dengan sekali dorong Tu Siau-thian sudah menyelinap masuk ke dalam. Suasana didalam rumah penginapan amat gelap, walaupun dibagian halaman belakang terdapat dua buah jendela yang setengah terbuka, sayang saat itu senja telah menjelang tiba.

Dalam keremangan senja dan gelapnya suasana dalam ruangan, tidak nampak setitik cahaya lentera pun yang menerangi tempat itu.

Tu Siau-thian memperlambat langkah kakinya, selangkah demi selangkah dia maju terus ke depan.

Suasana dalam rumah penginapan itu bukan saja amat gelap, bahkan sepi sekali, sedemikian heningnya hingga mirip dengan suasana dalam pekuburan.

Tu Siau-thian masih ingat keadaan disitu, sebuah lorong menghubungkan halaman belakang dengan ruang utama, disisi kiri kanan lorong merupakan kamar kamar yang amat gelap lagi sepi.

Akhirnya dengan terseok-seok tibalah Tu Siau-thian di ruang depan rumah penginapan itu.

Di ruang utama pun tidak nampak cahaya lentera, dengan meminjam secercah sinar yang menyusup masuk melalui langit langit Tu Siau-thian mencoba untuk mengawasi sekeliling tempat itu.

Tidak seorang manusia pun tampak disitu, meja kursi serta perapot lain masih berada pada posisinya semula.

Ke mana perginya Si Siang-ho?

Sinar mata Tu Siau-thian pelan pelan dialihkan ke anak tangga yang menghubungkan lantai bawah dengan ruang atas, jangan-jangan dia berada diatas loteng? Dengan langkah lebar Tu Siau-thian menaiki anak tangga.

Suasana terasa makin hening, Tu Siau-thian berusaha memperingan langkah kakinya, belum lagi mencapai ujung loteng dia sudah mengendus bau busuk yang menusuk hidung, hanya kali ini bau busuk itu jauh lebih tipis dan tawar.

Mengapa tidak terendus bau busuk yang luar biasa seperti tempo hari? Jangan jangan kawanan laron itu belum terbang balik ke situ?

Akhirnya tibalah dia ruangan paling ujung, beberapa buah kerangkeng besi itu masih terletak disitu.

Dari balik ruangan dia dapat mendengar suara dengungan yang tidak terasa asing lagi baginya, hanya kali ini suara dengungan itu amat lirih dan lemah.

Ada berapa banyak Laron Penghisap darah yang berada disitu?

Tu Siau-thian tidak lupa dengan tombol otomatis didepan pintu, dia tekan tombol itu perlahan lalu melongok ke dalam ruangan.

Malam semakin kelap, suasana semakin gelap sementara hujan turun semakin deras.

Walaupun jendela berada dalam keadaan terbuka lebar, namun cahaya yang memancar masuk dari luar jendela amat tipis dan redup.

Tu Siau-thian hanya bisa memperhatikan benda didalam ruangan dengan memaksakan diri. Dia picingkan matanya dan sekali lagi mengawasi seputar tempat itu.

Semua benda yang ada dalam ruangan persis sama seperti apa yang dilihatnya tempo hari, rak bambu masih berada di posisi semula, tapi hanya dua tiga ekor Laron Penghisap darah yang sedang beterbangan disana.

Kemana perginya Laron Penghisap darah lainnya? Apakah bersembunyi semua dibalik rak bambu itu?

Tu Siau-thian memperhatikan berapa saat lagi sebelum akhirnya membuka pintu kamar dan berjalan masuk ke dalam. Dia bertindak sangat hati-hati, tidak terlalu besar suara yang ditimbulkan sewaktu membuka daun pintu, sementara Laron Penghisap darah yang sedang terbang menari diantara rak bambu pun nampaknya tidak menyadari akan kehadirannya.

Begitu masuk ke dalam ruangan, kembali dia mengendus bau busuk yang menusuk hidung.

Bau busuk yang terendus hari ini berbeda jauh dengan bau busuk waktu itu, saat itu tulang belulang sisa kelinci belum sempat dibersihkan, tulang belulang itu masih berserakan didepan rak bambu.

Agaknya bau busuk yang memuakkan itu berasal dari bangkai kelinci serta sisa tulang belulangnya.

Dari tulang belulang kelinci kembali Tu Siau-thian mengalihkan perhatiannya ke atas rak bambu, mengawasi Laron Penghisap darah yang sedang beterbangan disitu.

Kembali dia melangkah maju menghampiri rak bambu itu, tiga langkah......empat langkah hingga tiba persis didepan

rak bambu itu, suasana tetap hening dan tidak terjadi sesuatu apa pun.

Benar sekali penglihatannya tadi, hanya ada tiga ekor Laron Penghisap darah yang sedang beterbangan disitu.

Tu Siau-thian takut salah, dia mencoba menghitung. satu,

dua., tiga ternyata betul,

hanya ada tiga ekor laron.

Dalam ruang sebesar itu ternyata hanya dihuni tiga ekor Laron Penghisap darah, kemana perginya laron laron yang lain?

Mendadak Tu Siau-thian melangkah maju lagi ke depan, kakinya mulai menginjak tulang belulang yang berserakan dilantai ruangan. Suara gemuruh yang amat menyeramkan segera berkumandang dari balik rak bambu, suara tulang kelinci yang berhamburan ke mana mana....

"Ngguung. !" seekor Laron Penghisap darah terbang

keluar dari balik rak bambu, hanya satu ekor!

Sekarang kalau dijumlahkan berarti ada empat ekor, Tu Siau-thian merasa setengah lega. Dia yakin masih sanggup menghadapi serangan dari empat ekor Laron Penghisap darah.

Tapi perasaan curiga yang menyelimuti hatinya kini semakin menebal kemana

perginya kawanan Laron Penghisap darah lainnya?

Apa maksud dan tujuan ke empat ekor Laron Penghisap darah itu tetap tinggal dalam ruangan itu?

Pada saat itulah ke empat ekor Laron Penghisap darah itu mulai terbang menghampiri wajahnya.

Selain suara sayap yang membelah udara, seakan terdengar pula semacam suara yang tinggi melengking dan sangat aneh, meski lirih tapi menyeramkan.

Suara aneh itu seakan muncul dari mulut ke empat ekor Laron Penghisap darah itu, makin lama suara aneh tersebut semakin melengking.......

Bulu kuduk Tu Siau-thian makin berdiri, suara tersebut sangat mengerikan, terutama ditengah keheningan malam seperti saat ini.

Bila dicerna lebih mendalam, suara itu mirip sekali dengan suara orang yang sedang kelaparan, suara gemerutuknya perut seorang kelaparan yang tiba-tiba bertemu dengan hidangan lezat.

Tu Siau-thian pernah mendengar suara semacam ini, dia pun mempunyai pengalaman soal suara tersebut. Jika selama ini ke empat Laron Penghisap darah tersebut selalu berdiam di dalam ruangan itu, bisa dipastikan saat itu mereka sudah kelaparan setengah mati.

Apa yang mereka minum adalah darah, yang disantap adalah daging, sementara dalam ruangan hanya tersisa seonggok tulang belulang kelinci.

Paling tidak mereka sudah kelaparan selama enam hari, bukankah kehadiran Tu Siau-thian saat ini tepat pada waktunya?

Dalam waktu singkat ke empat ekor Laron Penghisap darah itu sudah tiba di hadapan Tu Siau-thian.

Tanpa sadar Tu Siau-thian melompat mundur ke belakang, dalam sekali lompatan dia sudah mundur setengah kaki jauhnya, nyaris sudah keluar dari pintu ruangan.

Reaksinya boleh dibilang sangat cepat dan lincah, tapi sayang gerakan tubuh ke empat ekor Laron Penghisap darah itu jauh lebih cepat dan lincah, dalam sekali kepakan sayap mereka sudah mengejar ke hadapan opas itu.

Dalam keadaan begini, tentu saja mereka tidak akan melepaskan Tu Siau-thian dengan begitu saja, bagi pandangan mereka, kehadiran opas tersebut tepat pada saatnya, opas itu merupakan hidangan paling lezat yang akan mereka nikmati.

Seseorang yang berbadan kekar pasti memiliki daging dan otot yang lebih kasar, cairan darah yang mengalir dalam tubuhnya pasti merupakan minuman yang terlezat......

Bagi kawanan Laron Penghisap darah itu, daging tidak terlalu penting, asal dapat menghisap darah segar, hal ini sudah lebih dari cukup, mereka adalah Laron Penghisap darah bukan laron pemakan bangkai.

Apakah saat ini mereka sudah dapat mengendus bau harumnya darah yang mengalir dalam tubuh Tu Siau-thian? Sadar akan gawatnya situasi, Tu Siau-thian sudah membuat persiapan, ketika melompat mundur tadi dia sudah menggenggam gagang golok, maka begitu berhenti melangkah mundur, goloknya segera diloloskan dari sarung.

Ketika sekilas cahaya golok berkelebat lewat, seekor Laron Penghisap darah sudah terpapas hingga terbelah jadi dua bagian.

Mata golok yang sangat tajam, serangan golok yang luar biasa cepatnya!

Pada saat yang bersamaan dia mengayunkan tangan kirinya, segulung angin pukulan yang kuat berhembus ke depan menghajar ditubuh ke dua ekor Laron Penghisap darah lainnya.

"Plaaak...!” kedua ekor makhluk itu segera mencelat ke belakang kemudian rontok ke atas tanah.

Kini tinggal satu ekor lagi! Laron Penghisap darah itu terbang dari atas kepala Tu Siau-thian langsung menyambar diatas batang hidungnya.

Satu perasaan aneh yang sukar dilukiskan dengan mata menyebar ke seluruh tubuh Tu Siau-thian, detik itu juga dia merasakan seluruh bulu kuduknya pada bangun berdiri.

Pada saat itulah dia merasakan batang hidungnya sakit sekali, entah benda apa yang menusuk hidungnya, tahu-tahu dia hanya merasakan ceceran darah yang mulai mengalir keluar dari sana.

Perasaan sakit semacam ini sudah pernah dia alami satu kali, yakni ketika jari tangannya tergigit tempo hari.

Waktu itu dia berhasil menggenggam seekor Laron Penghisap darah, sambil meronta dari genggamannya laron tersebut menusukkan jarumnya keatas jari tangannya dan menghisap darahnya. ----- Sekarang, apakah Laron Penghisap darah itu sudah menghujankan tabung jarumnya diatas batang hidung sendiri? Apakah dia sedang menghisap darahnya?

Dalam terkejut dan ngerinya dengan cepat tangan kirinya menyambar ke atas dan mencengkeram Laron Penghisap darah itu.

Dengan sekuat tenaga dia cengkeram laron itu dan membetotnya kuat-kuat, sekali lagi batang hidungnya terasa sakit sekali.

Tampaknya Laron Penghisap darah itu benar-benar telah menghujamkan tabung jarumnya diatas batang hidungnya.

Tanpa terasa dia mengalihkan sorot matanya ke atas Laron Penghisap darah yang berhasil ditangkap dalam genggamannya itu.

Laron Penghisap darah itu sudah tidak mampu meronta lagi dari cengkeramannya, karena Tu Siau-thian telah mencengkeram tubuhnya kuat kuat.

Kini yang tampak hanya kepala laron itu, tabung jarum diujung mulut laron itu kelihatan bergerak terus tiada hentinya, bergerak naik turun seolah sedang memompa sesuatu.

Pada ujung tabung jarum itu terlihat ada cahaya darah, tampaknya binatang itu memang sudah berhasil menghisap darah dari tubuhnya.

Sekali lagi Tu Siau-thian merasa bergidik, bulu romanya sekali lagi bangun berdiri.

Sebenarnya dia ingin sekali memeriksa apakah dibalik mulut laron itu terdapat gigi taring, dia ingin tahu apakah makhluk itu dapat mengunyah daging, sayang suasana disitu kelewat gelap hingga keinginannya tidak terkabulkan. Dengan mata melotot dia awasi terus kepala laron itu, meski dapat melihat tabung jarum dimulut makhluk itu yang masih bergerak naik turun, namun ia tidak berhasil melihat jelas keadaan dibalik mulutnya.

Laron Penghisap darah itupun sedang mengawasinya dengan mata mendelik, mata laron yang merah darah seakan penuh diliputi perasaan takut dan ngeri.

Tu Siau-thian seakan dapat merasakan hal ini, dia sangat gembira, serunya tanpa terasa:

"Jadi  kau  pingin   menghisap   darahku?'' "Ssssttt....sssst " dari mulut Laron Penghisap darah itu

bergema suara desisan yang aneh, atau mungkin itulah

bahasa laron?

Tapi apa jawabannya? Tu Siau-thian tidak mengerti apa arti suara itu, maka setelah tertawa dingin kembali ujarnya:

"Kau tentu pingin menghisap darahku bukan? Sayang kau sudah terjatuh ke tanganku sekarang. "

"Sssttt.....sssttt " kembali berkumandang suara desisan.

"Sebenarnya apa yang sedang kau katakan?" "Sssttt.....sssttt " hanya desisan aneh yang dia peroleh.

Akhirnya Tu Siau-thian menghela napas panjang, katanya lagi:

"Tampaknya kau memahami perkataanku, tapi sayang aku tidak memahami apa yang kau ucapkan"

Bila saat itu ada orang lain yang menyaksikan ulahnya, orang akan mengira dia sebagai orang yang tidak waras otidaknya, untung disitu hanya ada dia seorang.

Terdengar dia berkata lebih jauh: "Seandainya aku bisa memahami bahasamu, serumit apa pun kasus ini, sekarang pasti akan berubah jadi lebih sederhana dan gampang"

Dia memang seorang opas kenamaan, seorang opas yang banyak pengalaman, dia pandai menginterogasi, dia pun tahu bagaimana interogasi orang.

Manusia yang begitu besar pun gampang diatasi, apalagi menghadapi seekor laron yang begitu kecil?

0-0-0

Laron itu mendesis makin keras dan makin cepat, selain mendesis kini Laron Penghisap darah itu mulai meronta, sekuat tenaga meronta.

Tu Siau-thian merasakan hal ini, segera jengeknya sambil tertawa dingin:

"Kau kira aku akan membebaskanmu kali ini?"

Dia semakin memperkuat genggamannya. Tampak Laron Penghisap darah itu meronta semakin kuat, tabung jarumnya mendadak menjulur lebih panjang dan kali ini menusuk jari tangan Tu Siau-thian.

Kejadian ini sudah berada dalam dugaan opas itu, begitu laron tersebut mulai menusuk jari tangannya, ibu jarinya langsung didorong ke muka menahan kepala laron itu.

Karena ditekan ke atas otomatis kepala laron itu terdorong hingga menengadah dan tidak mampu bergerak lagi, dengan sendirinya tusukan jarum tabungnya juga mengenai sasaran yang kosong.

"Apa lagi yang akan kau lakukan sekarang?" kembali Tu Siau-thian menjengek sambil tertawa dingin.

Laron Penghisap darah itu benar-benar mati kutuknya. Sesaat kemudian, setelah berpikir sejenak kembali Tu Siau- thian berkata:

"Aku ingin memeriksa mulutmu, apa benar kau bergigi?"

Suara desisan aneh kembali bergema, kali ini suara tersebut akan mengandung nada ejekan, paling tidak Tu Siau- thian merasakan akan hal itu.

"Hrnmm, kau anggap dalam suasana seperti ini, dengan ketajaman mataku aku tidak akan berhasil memeriksa mulutmu?"

Suara desisan berhenti seketika, mungkinkah laron itu sudah mengakui?

Sambil tertawa Tu Siau-thian berkata lebih jauh: "Sebenarnya dugaanmu memang tidak salah, dalam situasi

semacam ini mataku memang tidak banyak berfungsi, tapi aku bisa mengubah suasana yang gelap jadi terang benderang..."

Sambil berkata dia segera menyarungkan kembali goloknya, mengambil keluar sebuah korek api dan menyalakan.

Kilatan cahaya terang segera menyinari seluruh ruangan, mengusir kegelapan yang semula mencekam tempat itu.

Dibawah cahaya api, warna Laron Penghisap darah itu nampak lebih indah dan menawan, tubuhnya yang berwarna hijau bagaikan sebuah pualam, matanya yang merah persis seperti sebuah bercak darah.

Sambil memegang obor Tu Siau-thian bukannya memeriksa laron dalam genggamannya, dia justru berjongkok dan memeriksa lantai disekeliling ruangan.

Mendadak sepasang matanya berbinar, dia menjumpai sesuatu diatas lantai darah! Darah itu meleleh keluar dari tubuh Laron Penghisap darah yang terbelah jadi dua itu, dua buah belahan tubuh laron hampir semuanya terbenam ditengah cairan darah.

Ceceran darah itu berwarna merah, persis seperti darah manusia, bau busuk yang sangat aneh tersebar keluar dari genangan darah itu.

Mengapa darah laron persis sama seperti darah manusia?

Tu Siau-thian kembali memeriksa dua ekor Laron Penghisap darah yang dijatuhkan dengan angin pukulan tadi.

Sepasang sayap ke dua ekor laron itu sudah patah jadi dua, seekor diantaranya sudah mati sementara yang lain masih hidup dan sedang meronta ditanah.

Laron yang tidak bersayap sudah kelihatan amat jelek, apalagi meronta tiada hentinya, keadaan itu nampak lebih memuakkan lagi.

Tu Siau-thian segera menancapkan obornya ke lantai, lalu dengan cepat dia loloskan goloknya kembali.

"Sreeet " dimana cahaya golok berkelebat, laron tanpa

sayap itu segera terpapas kutung dan terbelah jadi dua.

Darah segera berceceran dilantai, ternyata darah yang meleleh keluar dari tubuh Laron Penghisap darah itu merah persis seperti ceceran darah manusia!

Sekarang dia dapat menyaksikan dengan amat jelas, darah Laron Penghisap darah ternyata sama seperti darah manusia. Untuk sesaat dia berdiri tertegun.

Pada saat itulah mendadak dia mendengar suara yang sangat aneh, suara aneh itu seakan berasal dari tempat yang sangat jauh, tapi seperti juga berasal dari ruang sebelah.

Terlepas suara itu berasal dari tempat jauh atau dekat, yang pasti sumber suara itu dari bawah loteng, persis dibawah ruangan dimana dia berdiri sekarang. Dia memang memiliki ketajaman pendengaran yang hebat, daya ingatnya pun bagus. Dia masih teringat, dibawah ruangan dimana dia berada sekarang merupakan sebuah ruangan pula.

Mendadak satu ingatan melintas dalam benaknya, sebab suara aneh itupun bukan didengarnya.untuk pertama kali ini

Ketika pintu rahasia dalam ruang perpustakaan Ki-po-cay bergerak membuka, suara aneh seperti inilah yang terdengar olehnya.

0-0-0
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar