Laron Penghisap Darah Bab 08: Bayangan Laron Berlapis-lapis

 
Bab 08: Bayangan Laron Berlapis-lapis

Dari dalam sakunya Jui Pakhay mengeluarkan sepucuk surat, sambil disodorkan ke depan, ujarnya:

“Aku sempat menulis sepucuk surat ini.”

“Surat? Apa yang akan kau perbuat dengan surat ini?” “Untuk kuserahkan kepadamu.”

“Buat aku?” Tu Siau-thian tercengang.

“Bukan, surat itu bukan untukmu,” Jui Pakhay menggeleng. “Lantas, kenapa kau serahkan kepadaku?”

“Karena aku sudah tidak punya kesempatan untuk keluar lagi dari tempat ini, sedang sekelilingku juga tidak ada seorangpun orang yang bisa kupercaya, maka dari itu terpaksa kugunakan kesempatan ini untuk menyerahkannya kepadamu, tolong bantu aku untuk sampaikan surat tersebut kepada alamat yang kumaksud.”

“Aku harus menghantar surat ini kemana?” “Ke kantor polisi.”

“Serahkan kepada siapa?”

“Kepada penguasa setempat, Ko Thian-liok!”

Tampaknya Tu Siau-thian sangat tercengang dengan sikap rekannya itu, buru buru dia bertanya lagi: “Sebenarnya apa isi surat ini?”

“Sebetulnya bukan sebuah surat, lebih tepatnya sebuah surat wasiat.”

“Surat wasiat?”

“Aku minta tuan Ko untuk mengaturkan semua harta warisanku sepeninggalku nanti.”

“Ooh ”

“Tentu saja bila aku masih bisa hidup sampai esok pagi, surat tersebut tidak perlu kau sampaikan lagi, segera kembalikan kepadaku,” Jui Pakhay menambahkan sambil tertawa paksa.

“Maksudmu, untuk sementara waktu kau minta aku untuk menyimpankan surat wasiat ini?”

“Benar.”

Tiba-tiba Tu Siau-thian  tertawa  tergelak. “Hahaha aku kuatir sepeninggal gerombola laron

penghisap darah itu, aku sendiripun telah berubah jadi sesosok mayat kering, kalau sampai begitu, tentu saja aku tidak bisa sampaikan suratmu itu kepada yang bersangkutan.”

“Kalaupun kau telah berubah jadi sesosok mayat mengering, toh masih ada dua orang anak buahmu.”

“Siapa tahu mereka akan senasib pula dengan diriku?” ucap Tu Siau-thian sambil berpaling sekejap memandang ke dua orang anak buahnya.

“Oooh, tidak kusangka hatimu begitu mulia ”

Tu Siau-thian menghela napas panjang, ujarnya:

“Kalau sampai kau dengan andalanmu jit-seng-toh-hun, It- kiam-coat-mia tujuh bintang pencabut nyawa, pedang sakti perenggut sukma pun masih tidak yakin bisa hidup, bagaimana mungkin sepasang tombak pendeknya ditambah ruyung bajanya mampu menandingi kehebatan pedang tujuh bintang pencabut nyawamu?”

“Belum tentu gerombolan laron penghisap darah itu akan menyerang kalian, seandainya kalian pun tertimpa musibah hingga mati semua, aku yakin surat tersebut pun akan turut musnah, jadi tidak perlu dipermasalahkan.”

Tu Siau-thian tidak mengerti, dia mengawasi rekannya dengan termangu.

Buru-buru Jui Pakhay menjelaskan:

“Sebab selain surat itu, aku masih mempersiapkan lagi sepucuk surat dengan isi yang sama sekali berbeda, surat itu kutaruh menjadi satu dengan kitab catatanku itu, bila kita semua harus mati bersama, tiga hari kemudian pun surat tersebut tetap akan sampai ke tangan pejabat Ko.”

Tu Siau-thian semakin tidak mengerti, dia semakin tertegun.

Terdengar Jui Pakhay berkata lagi:

“Tiga hari lagi seorang sahabatku akan tiba di sini, dalam keadaan apa pun dia pasti akan muncul di tempat ini, dengan kecerdasan otaknya, aku yakin dia pasti akan menemukan kitab catatan beserta surat wasiatku itu, di atas surat sudah kucantumkan nama si penerimanya dengan jelas, aku percaya dia akan membantu aku untuk menyampaikannya.”

“Tampaknya kau termasuk orang yang sangat berhati-hati.” “Kalau seseorang sudah berada dalam keadaan seperti ini,

bagaimana mungkin dia tidak berhati-hati?”

“Boleh aku tahu, siapa sih temanmu itu?” tiba-tiba Tu Siau- thian bertanya.

“Siang Hu-hoa!” “Apa? Siang Hu-hoa?” begitu nama tersebut disebut, paras muka Tu Siau-thian, Tan Piau maupun Yau Kun segera berubah hebat.

“Memangnya kalian belum pernah mendengar nama sahabatku itu?” tanya Jui Pakhay sambil melirik ke tiga orang itu sekejap.

“Aku rasa tidak banyak lagi jago dalam persilatan yang tidak pernah mendengar nama dari sahabatmu itu.”

“Betul,” Jui Pakhay mengangguk berulang kali, “nama besarnya memang cukup tersohor di dalam dunia persilatan, aku lihat di antara jagoan pedang yang ada di dunia saat ini, mungkin dialah jagoan nomor wahid.”

Kelihatannya Tu Siau-thian sependapat dengan ucapan rekannya, katanya:

“Walaupun aku belum pernah berjumpa dengan orang ini, pun belum pernah melihat ilmu pedangnya, tapi di dalam dunia persilatan saat ini rasanya memang belum ditemukan orang ke dua yang sanggup menandingi kehebatannya.”

“Kalian pasti tidak menyangka bukan kalau aku mempunyai seorang sahabat yang hebat macam dia?”

“Aku sudah kenal denganmu bertahun-tahun lamanya, tapi baru pertama kali ini kudengar cerita tersebut.”

Jui Pakhay tidak bicara lagi, dia termenung dan terbungkam mulutnya.

Kelihatannya Tu Siau-thian tidak merasakan perubahan aneh di wajah rekannya itu, kembali ujarnya:

“Menurut apa yang kudengar, konon sahabatmu itu tinggal di perkampungan selaksa bunga Ban-hoa-sanceng?”

Jui Pakhay tidak menjawab, dia hanya mengangguk. “Aku rasa selisih jarak dari perkampungan Ban-hoa sanceng sampai di sini tidaklah terlampau jauh,” kembali Tu Siau-thian berkata.

“Dengan menunggang kuda tercepat pun butuh enam hari untuk sampai di sini.”

“Apakah kau tidak berusaha menghubunginya sejak awal?” “Tanggal tujuh aku baru mengutus Jui Gi untuk membawa

suratku berangkat ke perkampungan Ban-hoa sanceng.” “Jui Gi?”

“Mestinya kau tidak asing dengan orang ini!”

“Yaa, rasanya aku ingat kalau ada manusia seperti ini.” “Keluarganya turun temurun selalu bekerja melayani

keluarga Jui, aku percaya seratus persen dengan orang ini, karenanya dialah yang kuutus untuk pergi menjumpai Siang Hu-hoa.”

“Seharusnya kau utus dia lebih awal lagi, mungkin saat ini dia sudah tiba di sini.”

“Kalau bukan betul-betul terpaksa, semestinya aku tidak ingin pergi mencarinya ”

Setelah menghela napas panjang, lanjutnya:

“Sebab. sebetulnya kami sudah tidak bersahabat lagi”

“Oya?”

Jui Pakhay tidak menjelaskan lebih jauh, dia alihkan sorot matanya ke atas surat itu dan katanya:

“Surat ini sudah disegel dengan lak merah dan bukan kali pertama kukirim surat semacam ini kepada ko thayjin, biarpun belum tentu dia mengenali gaya tulisanku, tapi bila disejajarkan dengan surat yang lama, bentuk maupun modelnya persis sama.” “Kau kuatir ada orang mengganti atau merubah isi surat wasiatmu itu?” tegur Tu Siau-thian sambil tertawa.

“Yaa benar, aku memang menguatirkan hal ini, itulah sebabnya di atas segel tersebut sengaja kuberikan cap pribadiku sebanyak dua kali.”

Kemudian setelah tertawa paksa, lanjutnya:

“Surat wasiat yang telah dirancang macam begini, tentunya tidak bakal terjadi hal-hal yang tidak diinginkan bukan?”

Tu Siau-thian tidak langsung menjawab, ujarnya setelah menghela napas:

“Kalau dibilang otakmu sudah tidak waras, kau sudah jadi orang gila, kenapa jalan pemikiranmu masih begitu teliti dan cermat?”

Jui Pakhay ikut menghela napas panjang, tapi dia tidak berkata apa-apa, suratnya segera dilontarkan ke depan.

Ketika Tu Siau-thian menerima surat tersebut, dengan cepat dia menutup kembali pintu ruangannya, oleh sebab itu dia pun tidak bisa berkata apa-apa lagi.

Serta-merta sorot matanya dialihkan ke atas surat itu, diperiksanya sekejap dari depan ke belakang, dari atas hingga ke bawah, memang surat itu merupakan sepucuk surat yang sangat rapat dan tertutup.

Dengan sangat hati-hati Tu Siau-thian menyimpan surat itu ke dalam sakunya, lalu setelah mengerling sekejap ke arah dua orang pembantunya, dia berkata lagi:

“Di sebelah sana terdapat gardu, mari kita berjaga-jaga di dalam gardu itu saja.”

Waktu itu sisa cahaya senja sama sekali sudah lenyap dari pandangan, rembulan yang bulat di ujung langit sana nampak masih bening bagaikan air. ??>

Bangunan gardu itu berada di tengah pepohonan dan bebungaan, namun daun-daunan dan pohon-pohonan tersebut sama sekali tidak menutupi pandangan orang ke empat penjuru, tidak terlampau sulit untuk melihat keadaan ruang perpustakaan dari situ, sebaliknya dari ruang perpustakaan pun tidak sulit untuk memandang ke arah gardu.

Di tengah gardu itu terdapat sebuah meja yang terbuat dari batu dan beberapa buah bangku dari batu pula.

Tu Siau-thian segera memilih sebuah bangku yang persis menghadap ke arah ruang perpustakaan dan duduk, perasaan hatinya mulai tegang bercampur sedikit panik.

Tan Piau dan Yau Kun duduk di sisi kiri kanannya. “Komandan,” ujar Yau Kun kemudian, “kalau didengar dari

nada pembicaraan orang she-Jui itu, tampaknya di sini benar-

benar terdapat makhluk yang disebut laron penghisap darah itu?”

“Dalam kenyataan memang ada!”

“Apakah komandan juga telah menjumpai sendiri makhluk itu?”

“Betul, sudah bertemu sebanyak dua kali” Tu Siau-thian mengangguk.

“Benarkah makhluk itu adalah laron yang bisa menghisap darah?” desak Yau Kun lebih jauh.

Sekali lagi Tu Siau-thian mengangguk. Berubah paras muka Yau Kun, serunya:

“Kalau dilihat jawaban komandan yang begitu meyakinkan, apakah kau pernah juga dihisap darahnya oleh makhluk itu?”

Untuk kesekian kalinya Tu Siau-thian mengangguk. “Waktu itu yang muncul hanya seekor, baru saja laron penghisap darah itu mulai menghisap darahku, segera kukebaskan tanganku hingga terlepas gigitannya.”

Kali ini paras muka Yau Kun benar-benar berubah hebat, seketika dia terbungkam.

Tan Piau yang berada di sisinya tidak tahan untuk ikut menimbrung, tanyanya:

“Bagaimana sih ceritanya hingga orang she-Jui itu direcoki makhluk tersebut?”

“Aku sendiripun kurang begitu jelas.” “Dia sendiri juga tidak tahu?”

“Bila kudengar dari logat bicaranya, jelas dia tahu secara pasti, Cuma dia enggan untuk mengatakannya, seakan ada kesulitan yang sukar diterangkan.”

Setelah berhenti sejenak, tambahnya: “Cuma, sekalipun dia enggan berbicara pun tidak jadi masalah, sebab pada malam nanti, besar kemungkinan kita akan peroleh sebuah jawaban yang jelas.”

“Tampaknya malam sudah menjelang tiba ”

Tu Siau-thian mengalihkan pandangan matanya ke luar gardu, benar saja, kegelapan malam mulai menyelimuti seluruh jagad.

Halaman mulai terselubung dalam kegelapan, hanya sedikit cahaya remang terlihat memancar keluar dari balik ruang perpustakaan.

Lambat laun Tu Siau-thian bertiga pun terkepung di balik kegelapan, dalam suasana seperti ini mereka bertiga tidak banyak bicara lagi.

??> Malam semakin larut, bulan yang purnama pun lambat laun semakin bergeser ke tengah angkasa.

Cahaya lentera yang menyorot keluar dari balik jendela ruang perpustakaan makin bertambah terang-benderang, seluruh daun jendela seakan berubah jadi memutih karena bermandikan sinar.

Bayangan tubuh Jui Pakhay kelihatan lamat-lamat, ada kalanya dia nampak berdiri, ada kalanya berjalan kian kemari, ada kalanya berputar-putar saja dalam ruangan seperti semut yang kepanasan di atas kuali.

Biarpun tidak terdengar suara apa pun, walau hanya bayangan tubuh Jui Pakhay yang nampak, namun Tu Siau- thian bertiga dapat ikut merasaan ketidaktenangan, kepanikan serta ketidaksabaran orang itu.

Tanpa sadar mereka bertiga pun ikut panik, ikut tidak tenang, tidak sabar, sampai kapan kawanan laron penghisap darah itu baru akan munculkan diri?

??>

Malam bertambah larut, rembulan semakin tinggi menerawang, juga nampak semakin bulat.

Sinar rembulan yang dingin menyinari seluruh permukaan bumi, kabut tipis mulai membungkus seluruh halaman.

Entah darimana datangnya kabut itu, tidak tahu pula sejak kapan kemunculannya, di bawah cahaya rembulan lapisan kabut tipis itu seakan menyebarkan hawa dingin yang menggidikkan hati.

Tu Siau-thian bertiga seolah sudah kaku karena kedinginan, mereka sama sekali tak bergerak, cahaya rembulan yang ikut membeku seolah tak pernah bergeser pula dari jendela ruang perpustakaan. Kini cahaya lentera yang muncul dari balik jendela nampak semakin terang, seluruh permukaan jendela seolah telah berubah jadi putih bersih karena lapisan salju.

Bayangan tubuh Jui Pakhay masih tertera pula dari balik jendela, sesosok bayangan tubuh yang sama sekali tak bergerak.

Bila ditinjau dari bayangan yang memantul, tampaknya Jui Pakhay sedang duduk di sisi lentera, betapa panik dan gelisahnya seseorang ada saatnya juga untuk bersikap tenang.

Kentongan pertama, kentongan ke dua, kentongan ke tiga....

Kini rembulan sudah berada tepat di atas angkasa, bening bulat bagaikan sebuah cermin, sebuah bulan purnama yang amat sempurna.

Suara kentongan sekali lagi berkumandang, tiba-tiba...

rembulan itu seakan retak dan mulai merekah....

Selapis awan yang berbentuk sangat aneh tiba-tiba melayang datang, seakan ada sebuah tangan iblis yang muncul entah dari mana dan secara tiba-tiba menerkam sang rembulan dan mencabik-cabiknya.

Awan itu berwarna merah pekat, merah bagaikan genangan darah segar.

Kini sang rembulan seakan sudah tercebur ke dalam sebuah bak berisi darah, rembulan yang merah darah....

Saat itu Tu Siau-thian kebetulan sedang menengok ke angkasa, sebenarnya dia ingin menikmati indahnya bulan purnama, namun yang terlihat olehnya adalah bulan purnama yang berwarna merah, merah darah kental.

Perasaan bergidik segera mencekam seluruh hatinya, sungguh aneh, mengapa awan dan rembulan yang muncul pada malam ini tampak begitu aneh? Kini cahaya rembulan sudah sama sekali lenyap di balik awan berwarna merah darah itu.

Dan pada saat itu pula bayangan tubuh Jui Pakhay yang berada di tepi jendela mulai menunjukkan sebuah reaksi yang luar biasa.

Diikuti kemudian sebuah jeritan ketakutan yang sangat menggidikkan hati:

“Laron penghisap darah!”

Suara jeritan dari Jui Pakhay, akhirnya laron penghisap darah itu muncul juga!

Sorot mata Tu Siau-thian segera dialihkan kembali ke arah ruang perpustakaan diikuti “Criiing!” terdengar suara pedang yang diloloskan dari sarungnya berkumandang memecahkan keheningan.

Semua suara itu jelas muncul dari balik ruangan, sedemikian nyaringnya suara itu sehingga Tu Siau-thian bertiga yang berada di dalam gardu pun dapat mendengar dengan jelas sekali.

Malam itu memang malam yang kelewat sepi.

Bayangan pedang, bayangan manusia melejit hampir pada saat yang bersamaan, tiba-tiba seluruh cahaya lentera di dalam ruang perpustakaan itu padam.

Seketika itu juga kegelapan yang luar biasa mencekam seluruh bangunan perpustakaan itu.

Tu Siau-thian tidak berayal lagi, segera bentaknya: “Cepat!”

Golok telah diloloskan dari sarungnya, hampir pada saat yang bersamaan dia sudah melayang keluar dari gardu itu, langsung menerjang ke arah ruang perpustakaan. Reaksi dari Tan Piau dan Yau Kun cukup cepat juga, Yau Kun segera membalikkan kedua lengannya meloloskan sepasang tombak yang tersoren di punggungnya, “Criiiing!” Tan Piau juga telah meloloskan senjata ruyung bajanya yang selama ini melilit di pinggangnya, hampir pada waktu yang bersamaan ke dua orang itu sudah menerjang keluar dari gardu dan mengikuti di belakang komandannya.

Dalam satu kali lompatan Tu Siau-thian sudah melayang turun tepat di depan pintu ruang perpustakaan, segera teriaknya keras:

“Saudara Jui!”

Tiada jawaban, suasana dalam ruang perpustakaan sangat hening, amat sepi, keheningan yang amat menakutkan!

“Bagaimana komandan?” bisik Yau Kun kemudian ketika tiada reaksi dari dalam ruangan itu.

“Kita dobrak!” perintah Tu Siau-thian.

Begitu selesai bicara, kaki kanannya langsung melayang ke depan dan “Duuuk!” menghajar di atas pintu ruangan.

“Braaak!” pintu ruangan segera jebol terhajar tendangan dahsyat itu.

Sambil memutar goloknya membentuk selapis cahaya perlindungan yang membungkus seluruh tubuhnya, Tu Siau- thian siap menerjang masuk ke dalam.

Kini pintu ruangan sudah terbuka, seandainya gerombolan laron penghisap darah itu menerjang keluar dari balik ruangan maka lapisan cahaya golok itu dapat dipakai untuk sementara waktu memblokir serbuannya.

Di luar dugaan tidak ada laron penghisap darah yang muncul dari balik ruangan, jangan lagi segerombolan, seekor pun tidak nampak. Suasana di balik pintu sangat gelap, sedemikian gelapnya hingga sulit melihat keadaan di sekelilingnya dengan jelas.

Tu Siau-thian memandang sekejap sekeliling tempat itu, kemudian dia menjatuhkan diri ke lantai dan berguling masuk ke dalam ruangan, mengikuti gerakan itu cahaya golok diputar sedemikian rupa untuk melindungi tubuhnya.

Tidak usah diperintah lagi, Yau Kun dan Tan Piau segera mendobrak jendela yang berada di kiri dan kanan ruangan, lalu yang satu melintangkan sepasang tombaknya untuk melindungi badan, yang lain memutar ruyungnya langsung menerjang masuk ke dalam ruang perpustakaan melalui jendela yang terbuka itu.

Dalam waktu singkat mereka bertiga sudah tertelan di balik kegelapan.

Kegelapan hanya berlangsung dalam waktu singkat, tiba- tiba berkelebat sekilas cahaya terang, sebuah korek api telah disulut orang.

Tu Siau-thian memang bukan opas kemarin sore yang miskin pengalaman, korek api ternyata berada di dalam genggamannya.

Kini dia telah bangkit berdiri, mengangkat tinggi korek api tersebut dengan golok di tangan kanannya melintang di depan dada, sorot matanya yang tajam tiada hentinya bergeser memeriksa sekeliling tempat itu.

Sementara itu Tan Piau dan Yau Kun telah menyulut pula dua obor, suasana di dalam ruang perpustakaan pun kembali jadi terang-benderang.

Sekarang semuanya sudah terlihat jelas, di dalam ruang perpustakaan itu kecuali dia bersama ke dua orang anak buahnya, di situ tak nampak hadir orang ke empat.

Lalu ke mana perginya Jui Pakhay? ??>

Lampu lentera masih berada di atas meja, namun penutup lampu itu sudah terbelah jadi dua, begitu pula dengan sumbu api lentera, sumbu itu terbelah juga jadi dua bagian.

Tampaknya tusukan kilat yang dilancarkan Jui Pakhay dengan pedangnya telah membelah penutup lampu itu hingga terpapas menjadi dua bagian.

Bacokan pedang itu tepat membelah penutup lampu, tentu saja Jui Pakhay mempunyai alasan yang kuat untuk berbuat begitu.

Dia memang bukan orang gila, bukan orang yang tidak waras otaknya,

... Laron penghisap darah!

Waktu itu dia memang berteriak kaget: Laron penghisap darah! Mungkinkah laron itu muncul di sekitar atau di atas penutup lampu itu? Karena makhluk penghisap darah itu muncul di sana, maka serangan pedangnya ditujukan ke arah sana dan membuat penutup lampu serta sumbu lampunya terpapas jadi dua?

Untung sumbu lampu itu tidak terpapas habis dan masih bisa disulut, Tu Siau-thian segera menyulut kembali lampu lentera itu.

Dengan cepat cahaya lampu menerangi seluruh sudut ruang perpustakaan, kini suasana jadi terang benderang bagaikan di tengah hari.

Tu Siau-thian dapat melihat setiap benda yang ada dalam ruangan dengan jelas, Jui Pakhay memang benar-benar tidak berada dalam ruang perpustakaan.

Tidak nampak bayangan manusia, yang kelihatan justru bercak darah, bercak darah itu berada di tepi lampu lentera, di bawah cahaya sinar lampu yang terang. Darah itu berwarna merah cerah, cahaya darah yang membawa hawa sesat, mungkinkah berasal dari darah manusia? Atau darah laron?

Darah laron biasanya tidak berwarna, atau mungkin darah laron penghisap darah adalah pengecualian?

Kalau bukan berasal dan darah laron, berarti darah itu adalah darah yang meleleh keluar dari tubuh Jui Pakhay.

Bercak darah masih tersisa di atas meja, tapi ke mana perginya orang itu?

Tu Siau-thian mencoba mengambil darah itu dengan ujung jarinya kemudian diendus sebentar, setelah itu gumamnya:

“Kalau ditinjau dari baunya, darah ini semestinya darah manusia.”

Sudah belasan tahun dia bekerja sebagai seorang opas, sudah tidak terhitung jumlah penjahat yang jatuh ke tangannya, tentu saja kawanan penyamun itu tidak akan menyerah dengan begitu saja, ini membuat kehidupannya selama belasan tahun ini ibarat masuk keluar di antara kehidupan dan kematian, bahkan dia sendiripun sampai lupa sudah berapa banyak pertarungan yang dia lakukan.

Dengan pengalaman semacam ini, otomatis bau anyirnya darah manusia sudah sangat dikenal olehnya, karena golok andalannya entah sudah berapa kali mesti berpelepotan darah kental.

Tapi sekarang, dia tidak yakin akan penemuannya, dia tidak yakin kalau bercak darah itu berasal dari darah manusia.

Biarpun sudah dua kali dia menjumpai laron penghisap darah, namun tidak sekali pun pernah melihat darah dari kawanan laron itu.

Kawanan laron penghisap darah itu menghisap darah manusia, berarti darah yang terhisap akan tersimpan di dalam tubuhnya, mungkinkah lantaran menghisap darah manusia maka darah yang mengalir dalam tubuh laron penghisap darah itu berubah jadi darah manusia?

Atau mungkin cairan darah yang berada dalam tubuh laron penghisap darah pada hakekatnya sama persis seperti darah manusia?

Tu Siau-thian tidak berpikir lebih jauh, dia kuatir pikirannya bertambah kalut, dewasa ini masih ada persoalan lain yang jauh lebih penting daripada persoalan tersebut, persoalan yang butuh penyelesaiannya.

Terlepas rekannya masih hidup atau sudah jadi mayat, yang paling penting saat ini adalah menemukan dulu Jui Pakhay.

Setelah menyimpan korek apinya, dia ambil lentera dari atas meja dan menerangi sekeliling ruang perpustakaan itu dengan seksama.

Dengan bergesernya dia, cahaya lentera pun ikut bergeser, dia telusuri seluruh ruang perpustakaan, menggeledah dan meneliti setiap bagian dari ruangan itu.

Sudah barang tentu Tan Piau dan Yau Kun tidak berpangku tangan belaka, tempat yang telah diperiksa Tu Siau-thian, sekali lagi mereka periksa dan geledah dengan seksama.

Dengan pemeriksaan dan penggeledahan seperti ini, biarpun tubuh Jui Pakhay tiba-tiba berubah tinggal berapa inci pun rasanya tidak sulit untuk ditemukan oleh mereka bertiga.

Seorang manusia dengan perawakan setinggi tujuh depa, bila tiba-tiba berubah menjadi berapa inci saja tingginya maka hanya ada satu jawabannya, Jui Pakhay pasti telah bertemu dengan siluman atau dia sendirilah sang siluman itu.

Tadi dia berteriak kaget, meneriakkan laron penghisap darah, seandainya dia benar-benar telah berjumpa dengan siluman, semestinya siluman itu adalah seekor siluman laron penghisap darah!

Masa benar bukan hanya dongeng saja? Masa di dunia ini benar-benar terdapat setan iblis dan siluman?

Untuk ke tiga kalinya Tu Siau-thian menggeledah seluruh ruangan, selain pintu, jendela pun dia periksa satu per satu dengan seksama.

Pintu ruangan perpustakaan masih berada dalam posisi terkunci dari dalam, pintu itu terbuka lantaran jebol terhajar tendangannya, sementara Tan Piau dan Yau Kun menerjang masuk melalui daun jendela.

Ini berarti seluruh ruangan perpustakaan itu dalam keadaan terkunci dari dalam, sama sekali tidak ada akses keluar yang mungkin bisa dipergunakan.

Biar Jui Pakhay punya sepasang sayap pun mustahil dia bisa terbang meninggalkan ruangan itu tanpa membuka jendela atau pintu, apalagi ruang perpustakaan berada di bawah pengawasan yang ketat dari mereka bertiga.

Tidak mungkin dia meneriakkan laron penghisap darah tanpa sebab musabab yang jelas, dia baru menjerit keras karena telah berjumpa dengan laron penghisap darah tersebut.

Jeritan itu penuh dengan rasa takut, kaget, ngeri dan seram, jeritan yang sangat memilukan hati.

Sekalipun tidak sempat menyaksikan perubahan mimik mukanya, meski mereka hanya sempat mendengar suara jeritannya, tapi tidak sulit bagi mereka untuk membayangkan betapa ketakutannya orang itu.

Padahal bukan untuk pertama kalinya dia berjumpa dengan laron penghisap darah. Seandainya yang muncul waktu itu hanya berapa ekor laron penghisap darah, tidak nanti dia akan berteriak sekeras itu, tidak ada alasan baginya untuk menunjukkan rasa takutnya yang luar biasa.

Jangan-jangan pada saat yang bersamaan di dalam ruang perpustakaan telah muncul berjuta-juta ekor laron penghisap darah yang secara serentak menyerangnya?

Bila hal tersebut merupakan kenyataan, kenapa kawanan laron penghisap darah itu bisa lolos dari pengawasan Tu Siau- thian bertiga? Dengan cara apa mereka memasuki ruang perpustakaan dan mereka masuk melalui jalan yang mana?

Kelihatannya hanya hembusan angin yang bisa membawa mereka masuk ke dalam ruang perpustakaan melalui celah- celah pintu dan jendela yang apa, kendatipun bentuk tubuh kawanan laron penghisap darah itu lebih tipis dari kertas, mungkinkah dalam waktu yang relatip singkat mereka bisa masuk secara bersama? Mungkinkah berjuta-juta ekor laron itu bisa menyusup masuk dalam waktu singkat?

Sebenarnya laron penghisap darah yang dijumpai Jui Pakhay adalah laron penghisap darah macam apa?

Atau jangan-jangan... yang muncul waktu itu adalah raja sang laron? Rajadiraja dari kawanan laron penghisap darah?

Mungkinkah suasana seram yang mencekam tempat tersebut tatkala kemunculan sang raja laron, seribu bahkan selaksa kali lipat lebih menakutkan, lebih menyeramkan ketimbang keseraman yang dijumpainya ketika melihat kemunculan laron penghisap darah untuk pertama kalinya dulu?

Sejak dia menjerit kaget untuk pertama kalinya, hingga dia mencabut pedangnya, menerjang ke muka, padamnya cahaya lentera sampai kemunculan Tu Siau-thian bertiga dengan mendobrak pintu, semua kejadian tersebut hanya berlangsung dalam waktu singkat. Kalau benar Jui Pakhay gagal di dalam serangannya, kalau dia memang tewas dibantai kawanan laron penghisap darah, andaikata mayatnya sudah dibawa kabur kawanan makhluk seram itu, lalu... dengan cara apa mereka membawanya pergi? Melalui jalan mana mereka kabur dari situ?

Memangnya tubuh Jui Pakhay tiba-tiba menguap seperti segumpal kapur? Menguap di dalam ruang perpustakaan dan hilang lenyap dengan begitu saja?

Kejadian ini jelas bukan sulap, hanya sulap yang bisa berbuat begitu.

Benarkah di kolong langit memang terdapat setan iblis dan siluman?

Tu Siau-thian berdiri mematung, mengawasi bercak darah di atas meja dengan termangu, dia merasa sekujur badannya terasa sangat dingin, seolah-olah baru saja dia tercebur ke dalam kolam yang berisi bongkahan salju beku.

Tubuhnya dingin kaku bahkan menggigil keras, namun jidatnya basah oleh keringat, tentu saja keringat dingin!

??>

Bulan tiga tanggal enam belas, Tu Siau-thian masih melanjutkan penggeledahannya, seluruh bangunan perpustakaan Ki-po-cay hingga ke seluruh halaman di sekeliling bangunan itu telah digeledah dan diperiksa dengan seksama.

Selain Tan Piau dan Yau Kun, kali ini dia melibatkan pula sepuluh orang anggota opas lainnya. Tu Siau-thian bahkan turunkan larangan, barangsiapa yang terlibat dalam tugas ini dilarang membocorkan kejadian tersebut kepada siapa pun.

Sebelum melalui pembuktian yang jelas dan ditemukannya fakta, dia tidak ingin membocorkan berita yang sangat aneh dan menyeramkan itu kepada khalayak ramai, dia tidak ingin terjadinya kehebohan dan kegaduhan dalam kehidupan masyarakat.

Walaupun perintah itu dijalankan tegas, tidak urung cerita burung beredar juga di seantero kota dengan cepatnya.

Siapa yang telah membocorkan rahasia ini? Siapa yang telah menyebarkan berita burung itu?

Tu Siau-thian tidak punya waktu untuk mengusut kejadian itu, dia pun tidak membiarkan siapa pun mencegah atau menghalangi pemeriksaan dan penggeledahan yang dilakukan.

Seharian penuh mereka menggeledah setiap jengkal tanah yang ada di seputar gedung perpustakaan Ki-po-cay, namun bayangan tubuh Jui Pakhay masih tetap menjadi tanda tanya besar.

Kalau seseorang sudah mati, seharusnya ada mayat yang ditinggalkan.

Mungkinkah kawanan laron penghisap darah itu sekalian melahap mayat tubuhnya setelah menghisap kering cairan darah yang mengalir dalam tubuhnya?

??>

Bulan tiga tanggal tujuh belas, lingkup penggeledahan diperluas, kini mereka telah memeriksa setiap tempat yang ada dalam kota itu.

Usul ini bukan muncul dari Tu Siau-thian, melainkan atas perintah dari Ko Thian-liok, penguasa tertinggi kota itu.

Sebagaimana diketahui, Ko Thian-liok termasuk sahabat karib Jui Pakhay.

Di kota tersebut Jui Pakhay bukan saja termashur sebagai seorang hartawan yang kaya raya, dia pun termasuk seorang tokoh masyarakat yang berstatus sosial tinggi dan sangat terpandang. Berita tentang hilangnya sang hartawan segera menyebar ke seantero tempat, kini semua penduduk kota ikut mengetahui kabar tersebut, maka tak sedikit penduduk yang mulai bergabung dan ikut serta dalam pencarian itu.

Tapi alhasil, pencarian itu sama sekali tidak membuahkan hasil.

??>

Bulan tiga tanggal delapan belas, atas perintah Ko Thian- liok dilakukan penggeledahan sekali lagi dalam gedung perpustakaan Ki-po-cay, penggeledahan kali ini bukan dipimpin oleh Tu Siau-thian melainkan langsung oleh atasannya, Nyo Sin.

Akhirnya Nyo Sin harus turun tangan sendiri, dia pimpin langsung penggeledahan dan pemeriksaan tersebut.

Selama ini Nyo sin memang selalu berpendapat dia jauh lebih teliti ketimbang Tu Siau-thian, bahkan jauh lebih teliti dan cekatan ketimbang siapa pun.

Tu Siau-thian tidak pernah membantah pandangan seperti itu, tiap kali Nyo sin hadir di tempat kejadian, dia memang sangat jarang mengemukakan pendapat pribadinya.

Dia bukan termasuk orang yang gila nama, dia pun tidak pernah ambil perduli bagaimana pandangan orang lain terhadap dirinya.

Selama sepuluh tahun berbakti, dia hanya tahu setia pada tugas dan taat pada kewajiban.

Angin berhembus sepoi di pagi hari yang cerah itu, dengan langkah lebar Nyo Sin berjalan di paling depan, baju kebesarannya tampak berkibar ketika terhembus angin.

Tiba di depan pintu utara, dengan suara yang lantang Nyo sin segera menghardik: “Siapa yang akan masuk untuk mengabarkan kehadiranku?”

Tu Siau-thian segera mengiakan dan melangkah maju ke depan, saat itulah pintu utama Ki-po-cay dibuka orang, seorang kacung cilik menongolkan kepalanya dari balik pintu.

Teriak dari Nyo Sin memang sangat keras, suaranya ibarat guntur yang menggelegar di siang hari bolong, teriakannya paling tidak bisa bergema hingga sepuluh kaki jauhnya.

Sementara Tu Siau-thian sedang berbincang-bincang dengan kacung cilik itu, mendadak dari ujung jalan kedengaran suara kelenengan yang amat merdu bergema tiba.

Suara keleningan itu berasal dari kepala seekor kuda, begitu merdu dan nyaringnya suara tersebut membuat semua orang tanpa terasa sama-sama berpaling.

Dua ekor kuda berlari cepat di sudut jalan sana, tapi dalam waktu singkat ke dua ekor kuda tunggangan itu sudah berjalan mendekat.

Suara kelenengan yang merdu itu ternyata berasal dari kuda tunggangan yang pertama.

Kuda berbulu merah dengan kelenengan berwarna kuning emas, penunggangnya adalah seorang pemuda tampan berbaju putih dengan sebilah pedang mestika bergagang emas bersarung kulit ular tersoren di pinggangnya, seorang pemuda gagah yang nyaris mirip seorang pangeran.

Siang Hu-hoa!
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar