Elang Terbang di Dataran Luas BAB 40. RAHASIA RUMAH KAYU

BAB 40. RAHASIA RUMAH KAYU

"Lu-sam minta Oh Toa-leng bertiga menjajal ilmu pedangmu, karena Tokko Ci ternyata berada di sini.”

“Oh?"

"Kalau dibilang di kolong langit masih ada orang yang dapat melihat ilmu pedangmu dari mulut luka mereka yang mampus, tak diragukan lagi orang itu pastilah Tokko Ci."

"Oh?"

Tiba-tiba Pancapanah menghela napas panjang katanya, "Kau tak boleh ke sana, sama sekali tak boleh ke sana." "Tak boleh ke mana?" tanya Siau-hong bingung.

"Sebenarnya aku telah mengambil keputusan, asal ada berita tentang Lu-sam, maka aku segera akan memimpin anak buahku untuk melancarkan serangan, tapi sekarang kau sudah tak boleh ikut."

"Kenapa?"

"Kau seharusnya tahu kenapa?” “Aku tidak tahu."

"Ada Che Siau-yan dan Tokko Ci di sana, bukankah kau hanya akan mengantar kematian."

Siau-hong termenung, lewat lama sekali, tiba-tiba ia tertawa, tiba-tiba tanyanya kepada Pancapanah, "Orang semacam kita ini, apakah setelah mati bakal masuk neraka?"

Pancapanah tak dapat menjawab, dia pun tak ingin menjawab, tapi ujarnya juga, "Aku hanya tahu, kita pasti mempunyai banyak teman yang berada dalam neraka, oleh sebab itu bila mati nanti, aku lebih suka masuk ke dalam neraka."

Siau-hong tertawa terbahak-bahak.

"Begitu pula dengan aku," katanya, "Kalau neraka pun telah siap kita datangi, tempat mana lagi yang tak boleh dikunjungi?" Banyak orang suka tertawa.

Ada banyak orang disukai, orang yang disukai semuanya akan tertawa, tertawa gembira.

Karena tertawa seperti bedak wangi yang mahal harganya, bukan saja dapat membuat tampil cantik, juga dapat membuat orang merasa gembira.

Tapi tertawa pun ada banyak macam. Ada orang menggunakan nyanyian lantang sebagai pengganti menangis, ada orang menggunakan tertawa kalap sebagai pengganti nyanyian, ada orang yang suara tertawanya bahkan jauh lebih pedih dan mengenaskan daripada tangisan, ada pula yang suara tertawanya mungkin lebih gusar dari auman amarah.

Menanti Siau-hong selesai tertawa, tiba-tiba Pancapanah bertanya kepada Lu Kiong, "Apakah kau pun sering tertawa?"

"Aku jarang tertawa." "Kenapa?"

"Karena sering kali aku tak bisa tertawa," sahut Lu Kiong, "Terkadang aku ingin tertawa, tapi tak bisa tertawa, tak berani tertawa."

Pancapanah menatapnya tajam, sampai lama kemudian dia baru mengucapkan perkataan yang sangat aneh, "Kalau begitu aku berharap sekarang juga kau tertawa, sekalipun tak ingin tertawa pun kau harus tertawa."

"Kenapa?"

"Sebab kalau sekarang kau tidak tertawa, lain kali meski kau benar-benar ingin tertawa pun mungkin sudah tak dapat tertawa."

Lu Kiong memang ingin sekali tertawa, namun otot dan kulit wajahnya tiba-tiba jadi kaku.

"Kenapa?" kembali tanyanya.

"Pernahkah kau melihat orang mati tertawa?" Pancapanah balik bertanya.

"Belum pernah." "Tentu saja belum pernah," suara Pancapanah sedingin es, "Karena hanya orang mati yang benar-benar tak bisa tertawa.”

“Tapi sekarang rasanya aku belum mati."

"Betul, tentu saja sekarang kau belum mati," kata Pancapanah, "Tapi pernahkah kau berpikir, berapa lama aku akan membiarkan kau hidup?"

Paras Lu Kiong sama sekali tak berubah, karena wajahnya sudah tak bisa berubah jadi lebih jelek dan tak sedap dipandang.

Paras Siau-hong yang berubah, tak tahan tanyanya kepada Pancapanah, "Kau ingin dia mati?"

"Sedap orang tentu akan mati," jawab Pancapanah hambar, "Lebih lambat sedikit apa manfaatnya? Lebih cepat sedikit apa pula salahnya?"

"Tapi aku tak habis mengerti mengapa kau ingin membunuhnya?"

"Karena ada beberapa  persoalan  aku  pun  tak  mengerti. ”

"Soal apa?"

"Ada banyak persoalan yang tidak kupahami," kata Pancapanah, "Yang terutama adalah aku tak habis mengerti kenapa Lu-sam mengutus manusia semacam dia untuk menahan kita."

"Kau anggap dia bermaksud menahan kita?"

"Tentu saja, hanya manusia macam dia yang dapat menahan kita.”

“Kenapa?" "Karena bukan saja dia tahu aturan dan sopan, bahkan pandai sekali mengungkap suara hati seseorang. Hanya manusia yang tulus dan jujur yang bisa menahan kita."

Kepada Siau-hong tanyanya, "Tapi apa sebabnya Lu-sam menahan kita di sini? Apakah lantaran dia kuatir kita melacaknya lebih jauh? Ataukah karena dia sudah menyiapkan perangkap di sekitar tempat ini?"

Di sepanjang pesisir sungai berkumpul banyak orang, ada yang sedang membuat api, ada yang sedang memasak air, tapi paling banyak orang sedang memasak sayur, karena setiap hidangan harus dimasak oleh seorang ahli, seorang ahli dalam memasak jenis hidangan itu.

Pancapanah memandang sekejap sekitar sana, lalu katanya, "Jago lihai yang membunuh orang tak berkedip belum tentu bisa membuat api memasak air, juga belum tentu bisa membuat hidangan lezat atau mengiris daging, tapi orang yang bisa membuat api, memasak air, mengiris daging belum tentu bukan jagoan lihai yang membunuh orang tak berkedip."

Kepada Siau-hong tanyanya, "Benarkah perkataanku ini?" Siau-hong tak bisa mengatakan salah.

Pancapanah memperhatikan seorang lelaki kekar berkepala botak dan berbaju hijau yang sedang menjepit arang panas.

"Mungkin saja orang ini adalah seorang jago lihai dari dunia persilatan. Bisa jadi jepitan arang yang berada dalam genggamannya merupakan sebuah senjata yang lihai dan maha dahsyat," katanya, "Sedangkan orang yang sedang memanggangkan daging bercampur bawang itu bisa jadi di waktu lain sering memanggang daging manusia." Siau-hong tak bisa mengatakan kalau hal itu tidak mungkin.

"Bisa jadi setiap saat orang-orang ini akan melancarkan serangan terhadap kita, bisa juga setiap saat akan mencincang kita jadi irisan daging tipis atau memanggangnya jadi daging panggang,"

Kepada Siau-hong tanya Pancapanah kemudian, "Betul bukan perkataanku ini?"

Bagaimana mungkin Siau-hong bisa mengatakan salah? Tiba-tiba Pancapanah tertawa.

"Hanya saja belum tentu mereka pasti akan melakukan hal ini, mungkin tempat ini bukanlah sebuah perangkap, mungkin ketiga buah peti mati itu sudah pergi jauh, mungkin tidak kuatir terkejar oleh kita, karena itulah aku baru merasa agak keheranan."

"Apa yang kau herankan?"

"Heran mengapa Lu-sam bisa mengutus seorang yang begitu tahu aturan, begitu sopan, bahkan pandai bicara jujur untuk melayani kebutuhan kita di tempat ini," sahut Pancapanah, "Oleh karena itu, aku ingin bertanya kepadanya."

"Kau sangka dia tahu?"

"Mungkin dia memang tak tahu, sekalipun tahu pun belum tentu dia bersedia mengatakannya."

Siapa pun pasti yakin dan percaya, semua anak buah Lu- sam pasti merupakan orang-orang yang bisa menyimpan rahasia rapat-rapat.

Siau-hong sendiri pun percaya akan hal ini. "Oleh sebab itu terpaksa aku harus membunuhnya," Pancapanah menghela napas panjang, "Peduli dia tahu atau tidak, toh tak mungkin dia akan bicara terus terang, lalu kenapa aku tak boleh membunuhnya?"

Dia berpaling menatap Lu Kiong, lalu tambahnya, "Ketika Lu-sam memerintahkan kau kemari, dia pasti telah terpikir begitu, bukan?"

Ternyata Lu Kiong mengakui.

"Sam-ya memang telah berpikir begitu."

"Lalu mengapa masih tetap mengutusmu kemari," Pancapanah merasa sedikit tercengang, "Mengapa pula kau bersedia kemari?"

"Karena Sam-ya minta aku datang, maka aku pun datang," jawab Lu Kiong, "bila Sam-ya minta aku mati, aku pun akan mati."

"Aku sangat kagum kepadanya," Pancapanah mengangkat cawan dan meneguk habis isinya, "Terhadap siapa saja yang bisa menyuruh orang lain mati demi  dirinya, aku selalu merasa kagum."

Lu Kiong tertawa lebar.

Sebetulnya di waktu biasa dia seringkali tak bisa tertawa, tapi sekarang dalam situasi seperti ini, dia justru tertawa tergelak.

"Tapi dia telah menduga, aku tak bakal mati."

"Oh?" Pancapanah seperti makin keheranan, "Dia benar- benar bisa memperhitungkan secara tepat kalau kau tak bakal mati?"

"Benar!"

"Atas dasar apa dia begitu yakin?" "Karena Sam-ya telah memperhitungkan, orang semacam kalian berdua sebagai Enghiong, Hokiat, pasti tak akan membunuh seorang budak macam diriku, dan lagi kalian berdua membunuhku pun sama sekali tak ada gunanya."

"Memangnya dalam keadaan hidup kau berguna bagi kami?"

"Mungkin saja tak berguna," kata Lu Kiong, "Mungkin juga masih ada sedikit kegunaan."

"Sedikit yang mana?"

Mendadak Lu Kiong menutup mulut rapat-rapat, sepatah kata pun enggan berbicara lagi.

Dia hidup mungkin tak ada gunanya, mungkin juga masih ada sedikit kegunaan.

Sekarang walaupun dia enggan mengatakannya, mungkin di kemudian hari dia akan mengatakannya.

Tapi kalau sekarang dia mati, di kemudian hari bahkan mungkin untuk selamanya, dia tak akan berbicara lagi.

Lagi-lagi Pancapanah mengangkat cawannya sambil memuji, "Aku pun sangat kagum kepadamu, sebab kau memang seorang yang pintar, aku selalu mengagumi orang pintar, selamanya tak pernah mau membunuh orang pintar."

Setelah menghela napas, tambahnya, "Hanya saja secara kebetulan aku pernah membunuh beberapa orang di antaranya."

Tiba-tiba tanyanya kepada Siau-hong, "Menurut dugaanmu, mungkinkah aku membunuhnya?"

Pada saat Pancapanah mengajukan pertanyaan itu, nyaris hampir pada saat yang bersamaan ada seseorang menggunakan pertanyaan yang sama, sedang bertanya kepada seorang yang lain.

Waktu itu orang yang mengajukan pertanyaan itu sedang berdiri di atas tebing sambil menghadap ke arah sungai, berada di depan sebuah jendela kecil yang sangat rahasia letaknya, dalam sebuah bangunan kecil yang rahasia, di antara batu karang dan balik pepohonan lebat.

Jarak orang itu dengan Pancapanah selisih jauh, jauh sekali.

Pancapanah tak dapat melihat dia, tapi semua gerak- gerik Pancapanah seolah dapat dilihat orang itu dengan jelas sekali, bahkan semua pembicaraan Pancapanah pun seolah terdengar semua olehnya.

Orang itu adalah Lu-sam.

Di atas tebing di seberang sungai, di balik batu cadas, di tengah pepohonan lebat, terdapat sebuah bangunan kecil yang amat rahasia.

Sebuah bilik kayu yang kecil dan sukar ditemukan siapa pun.

Sekalipun ada orang yang menemukan tempat itu, belum tentu mereka menaruh perhatian, karena dilihat dari penampilannya, bangunan kecil itu sama sekali tidak memiliki keistimewaan yang memancing perhatian orang.

Sekalipun ada pelancong atau pemburu yang tersesat dan tanpa sengaja tiba di tempat itu pun, mereka tak akan menemukan suatu keistimewaan dari rumah kayu kecil ini, terlebih tak ada yang menyangka Hok-kui-sin-sian Lu-sam berdiam di sana.

Tapi Lu-sam memang berada dalam rumah kayu itu. Bukan hanya Lu-sam, Che Siau-yan pun ada di sana. Rumah kayu itu dibangun menggunakan kayu pohon Siong yang kuat dan kering, bukan saja tidak dicat, bangunan itu pun hanya memiliki sebuah jendela yang sangat kecil.

Di dalam rumah kayu itu terdapat sebuah ranjang kayu, sebuah meja kayu, tiga buah bangku kayu, sebuah almari kayu dan di bagian belakang dilengkapi sebuah dapur kecil.

Bila kau sering melakukan perjalanan di daerah pegunungan atau hutan, tentu sering melihat ada banyak rumah kayu semacam ini tersebar di atas perbukitan.

Biasanya tempat tinggal para pencari kayu, pemburu, pertapa serta orang pelarian berdiam di rumah semacam ini.

Namun bangunan rumah kayu ini sedikit berbeda.

Rumah kayu ini bukan tempat tinggal penebang kayu maupun pemburu, juga bukan tempat tinggal siapa pun.

Rumah kayu ini merupakan liang rahasia milik Lu-sam, bahkan boleh dibilang tempat rahasia terpenting di antara tempat-tempat rahasia lainnya.

Dinding kayu maupun meja tak ada yang dicat. Che Siau-yan duduk di sebuah bangku kayu dekat meja yang tidak dicat, ia sedang mengawasi Lu-sam. Gadis itu merasa amat keheranan.

Selama ini dia selalu menganggap dirinya adalah seorang yang pintar, jarang sekali urusan di dunia ini yang tidak dipahami olehnya.

Kenyataan dia memang pintar dan tahu segalanya.

Tapi kini dia tak habis mengerti, apa yang sebenarnya sedang dilakukan Lu-sam? Waktu itu Lu-sam sedang berdiri di depan satu-satunya jendela bilik kecil itu, tangannya menggenggam sebuah tabung bulat kecil.

Sebuah tabung bulat kecil yang panjangnya sekitar 60 senti, besar ruasnya lebih besar sedikit dari cawan arak, tapi pada bagian ujungnya sedikit lebih ramping dari bagian badan.

Tabung bulat itu diambil Lu-sam dari dalam almari yang terbuat dari kayu.

Sebenarnya isi almari kayu itu hanya beberapa stel pakaian kasar, namun sewaktu jari tangan Lu-sam menekan suatu dalam almari itu, tiba-tiba dari balik almari terpental keluar selembar kayu, di bawah kayu tadi muncul sebuah laci kecil, laci bercahaya keemas-emasan itu dilengkapi tujuh buah gembok.

Dari dalam laci kecil yang terkunci itulah dia mengambil keluar benda berbentuk tabung bulat itu.

Sambil berdiri di depan jendela, Lu-sam memicingkan mata sebelah kirinya lalu menempelkan bagian tabung bulat yang kecil itu di atas mata kanannya, sedang bagian tabung yang lebih besar diarahkan keluar jendela.

Begitulah dia berdiri di sana dengan posisi tegak, agaknya sedang mengamati sesuatu, bahkan berdiri cukup lama.

Lu-sam memang orang yang tidak gampang memperlihatkan perubahan emosinya, jarang sekali ada orang yang bisa melihat perubahan mimik wajahnya serta menduga jalan pikirannya.

Tapi saat ini mimik mukanya menunjukkan banyak perubahan, seakan-akan dari balik tabung kecil itu dia dapat menyaksikan banyak kejadian yang menarik, seperti seorang bocah kecil yang memakai teropong.

Lu-sam sudah bukan anak-anak lagi.

Tentu saja teropong kecil itu bukanlah teropong mainan anak-anak.

Che Siau-yan benar-benar tak dapat menduga apa yang sedang disaksikan orang itu? Dia pun tak habis mengeti apa yang sedang ia lakukan?

Tiba-tiba Lu-sam berpaling sambil tertawa, ia sodorkan teropong kecil itu ke tangan si nona.

"Kemarilah, coba kau ikut melihat."

"Melihat apa?" tanya Siau-yan, "Melihat teropong kecil itu?" Dengan cepat si nona menampik. "Tidak, aku tak mau melihat."

Dia benar-benar tak habis mengerti, apa bagusnya melihat memakai teropong kecil itu.

Tapi Lu-sam bersikeras menariknya untuk melihat.

"Kau harus melihatnya," kata orang itu, "Kujamin kau pasti akan melihat banyak kejadian yang menarik."

Siau-yan tidak percaya, tapi dia pun tidak lagi menampik.

Ketika ia meninggalkan Siau-hong dan memutuskan untuk bergabung dengan Lu-sam, gadis itu telah memutuskan untuk tidak bersikukuh dalam menghadapi setiap masalah.

Dia telah memutuskan untuk menjadi seorang gadis yang pintar dan penurut, sebab manusia semacam ini tak bakal rugi. Sebuah teropong kecil yang terbuat dari bahan emas, bukan saja bagus bentuknya, di kedua sisi tabung dipenuhi dengan ukiran bunga terbuat dari emas murni, tak diragukan benda itu pasti mahal harganya, apa mau dibilang ia justru tak dapat menebak apa kegunaannya?

Lu-sam meminta Siau-yan untuk memegang teropong itu dengan gaya seperti yang dia lakukan tadi, menggunakan kedua belah tangannya memegang ujung atas dan ujung bawah tabung itu, kemudian setelah mengarah keluar jendela, mata kanannya ditempelkan di ujung teropong sementara mata kiri dipejamkan.

"Aku tahu, kau adalah seorang bocah perempuan yang teramat pintar," ujar Lu-sam sambil tersenyum, "Tapi aku berani jamin, kau pasti tak akan menyangka apa yang bisa kau lihat melalui teropong kecil ini."

Ternyata Siau-yan memang benar-benar tak menyangka.

Mimpi pun dia tak menyangka kalau melalui teropong kecil itu, dia dapat melihat Siau-hong.

Siau-hong, Siau-hong yang tak takut mati.

Dia selalu menganggap diri sendiri adalah seorang wanita yang tak berperasaan, jauh lebih tak berperasaan daripada perempuan mana pun di dunia ini.

Karena dia memang teramat pintar, sejak banyak tahun berselang dia sudah tahu kalau kelewat gampang jatuh cinta merupakan suatu kejadian yang sangat menderita.

Dia selalu berusaha untuk melupakan Siau-hong.

Tapi mana ada perempuan di dunia ini yang bisa melupakan lelaki pertama dalam hidupnya dalam waktu singkat? Sejak ia menyaksikan sikap Siau-hong terhadap Yang- kong dan Soso, menyaksikan perasaannya terhadap mereka berdua, ia telah mengambil keputusan, dia harus meninggalkan lelaki ini secepatnya.

Lelaki yang nekat ini seakan seorang tak berperasaan, tapi apa mau dikata, dia justru sangat berperasaan, dibilang sangat berperasaan, dia justru sama sekali tak berperasaan.

Secara diam-diam dia pun mengundurkan diri dari bilik kecil itu, mundur dari lingkaran mereka yang rumit, sebab dia tahu, bila tetap tinggal di sana, dia akan berubah semakin menderita, semakin risau, semakin pedih hatinya.

Selamanya dia enggan menyiksa diri sendiri.

Sejak saat itu dia sudah tak ingin lagi bertemu dengan Siau-hong.

Bertemu lebih baik tak berjumpa, sekalipun masih ada bibit cinta, biarlah bibit cinta itu dipendam sebagai kenangan di masa mendatang.

Tapi kini sewaktu dia menggunakan teropong kecil itu untuk mengintip, ternyata Siau-hong yang tak berperasaan tiba-tiba muncul lagi di depan mata.

Di bagian tengah teropong itu merupakan ruang kosong, sementara di kedua belah ujungnya ditempeli lembaran benda yang bening seperti kristal.

Ketika dia mengangkat teropong itu dengan menempelkan bagian yang ramping di atas mata kanannya dan mengarahkan ujung yang lebih kasar ke depan jendela. Siau-hong si manusia nekat itu tahu-tahu sudah muncul di hadapan matanya. Lu-sam mengawasi terus wajahnya, tidak jelas apakah dia ingin tahu bagaimana perasaan gadis itu terhadap Siau- hong dari perubahan wajah serta reaksinya.

Dia tahu, saat ini si nona pasti telah melihat Siau-hong namun gadis itu tidak menunjukkan perubahan apa pun, sedikit reaksi pun tak ada.

Tangannya masih tetap mantap seperti tadi, parasnya pun sama sekali tidak mengalami perubahan.

Che Siau-yan tahun ini baru berusia enam belas tahun, tapi dia telah melatih diri seolah sudah berusia lebih dari tujuh belas tahun.

Kepada Lu-sam dia hanya bertanya, "Benda apakah ini?"

Yang dia tanyakan adalah teropong yang berada di tangannya.

"Aku sendiri pun tak tahu benda apakah itu," jawab Lu- sam, "Yang kuketahui benda ini berasal dari negeri Inggris yang jauh sekali dari sini, hingga kini belum ada nama untuk benda itu, sebab sejak dulu belum pernah benda ini beredar di daratan Tionggoan, hingga kini kecuali aku seorang hanya kau yang pernah melihatnya."

"O, ya?"

"Tapi sekarang benda itu sudah mempunyai sebuah nama," dengan bangga Lu-sam tersenyum, "Karena aku telah memberi sebuah nama untuk benda itu.”

“Apa namanya?"

"Sebetulnya aku akan memberi nama Jian-li-gan-cing (Mata cermin seribu li)," ujar Lu-sam, "Tapi nama itu kelewat udik, bahkan terdengarnya seperti benda mestika dalam dongeng." Kemudian terusnya, "Padahal ini bukan dongeng, benda itu nyata dan betul-betul bermanfaat, kegunaannya yang paling utama adalah bisa melihat tempat jauh seperti di depan mata, oleh sebab itu kuputuskan akan memberi nama Bong-wan-keng (cermin melihat jauh) untuk benda ini."

"Bong-wan-keng? Sebuah nama yang bagus," puji Siau- yan. "Benda ini memang barang bagus." Siau-yan sangat setuju.

"Oleh sebab itu benda dan nama pasti akan turun- temurun hingga ribuan tahun."

Biarpun Siau-yan sedang berbicara, namun matanya tak pernah bergeser dari teropong di tangannya, dia seakan tak mau melewatkan setiap gerak-gerik Siau-hong.

Tiba-tiba Lu-sam berkata lagi, "Aku tahu, kau pernah mempelajari semacam ilmu langka yang jarang sekali orang mempelajarinya."

"Pelajaran apa?" "Membaca bahasa bibir."

Ini pun sebuah nama baru yang sangat aneh, karena itu Lu-sam segera memberi penjelasan, "Asal kau dapat melihat gerak bibir seseorang waktu berbicara, kau akan segera mengetahui apa yang sedang dia bicarakan."

"Kau sepertinya banyak tahu tentang urusanku."

Ketika mengucapkan perkataan itu, Che Siau-yan sama sekali tidak memperlihatkan rasa tidak senangnya, malah sambil tertawa lanjutnya, "Kau pasti tahu cukup banyak, kalau tidak, bagaimana mungkin kau mau menampungku?"

Lu-sam pun tertawa. "Tampaknya kita berdua sama-sama saling memahami. Oleh karena itu aku percaya di kemudian hari kita pasti dapat lebih akrab."

Kemudian ia bertanya lagi, "Sekarang siapa yang sedang berbicara?"

"Pancapanah!"

"Apa yang sedang dia katakan?"

"Dia sedang keheranan," jawab Che Siau-yan, "Dia tak habis mengerti mengapa kau utus manusia macam Lu Kiong untuk melayani mereka."

Lu-sam tersenyum.

"Apa lagi yang dia bicarakan?"

"Dia bilang, orang-orang yang kau kirim untuk memasakkan hidangan buat mereka, kemungkinan besar setiap orangnya merupakan jago-jago berilmu tinggi," kata Siau-yan, "Dia pun berkata, bisa jadi japitan api yang digunakan petugas api merupakan sejenis senjata yang sangat lihai."

Mendengar itu Lu-sam menghela napas.

"Orang bilang Po Eng adalah seorang jagoan tangguh, menurut pendapatku, kehebatan Pancapanah sedikit pun tidak berada di bawah kemampuan Po Eng."

Mendadak tanyanya lagi, "Coba terka, mungkinkah dia akan membunuh Lu Kiong?"

Che Siau-yan tertawa.

"Sekarang dia  pun  sedang  bertanya  kepada Siau-  hong, menanyakan pertanyaan yang sama.”

“Apa jawaban Siau-hong?” “Separah kata pun Siau-hong tidak menjawab.” “Kalau menurut kau?"

"Aku pun seperti Siau-hong, perbuatan yang dilakukan manusia macam kau serta Pancapanah, selamanya tak pernah bisa kami pahami."

Dengan sepasang jari tangannya yang panjang, bersih dan terawat, Lu-sam membetulkan ikat pinggang berwarna emasnya, lewat lama kemudian baru bertanya, "Jadi menurutmu, aku adalah manusia sejenis Pancapanah?"

Che Siau-yan tidak menjawab pertanyaan itu, sementara Lu-sam pun seakan tidak ingin dia menjawab pertanyaan itu.

Kembali lanjutnya, "Bila aku menjadi Pancapanah, aku tak bakal membunuh manusia macam Lu Kiong.”

“Kenapa?"

"Pertama, karena manusia seperti Lu Kiong tidak berharga baginya untuk turun tangan sendiri. Kedua, karena di kemudian hari mungkin Lu Kiong bakal berguna baginya."

"Tadi Lu Kiong sendiri pun berkata begitu."

"Tapi di luar itu masih ada satu hal lagi yang jauh lebih penting."

"Soal apa?"

"Pancapanah enggan membunuh Lu Kiong karena dia tak mau menyerempet resiko."

"Menyerempet resiko?" tanya Siau-yan, "Resiko apa?" "Pancapanah   tidak   salah   melihat,   orang-orang  yang

kuutus  untuk  memasak  sayur,  memanggang  daging   dan

membuat api, semuanya memang jago-jago berilmu tinggi." "O, ya?"

"Orang yang menambah kayu bakar dan membuat api  itu punya julukan sebagai si Kepiting" Lu-sam menerangkan, "Jepitan besi yang dia gunakan untuk menambah kayu bakar itu memang merupakan senjata andalannya, bukan saja dapat menjepit senjata lawan, pelindung tangannya masih memiliki kegunaan lainnya."

"O, ya?"

"Begitu senjatamu terjepit, pelindung tangan di atas jepitannya itu segera akan memantul ke depan, asal dia sedikit membalikkan tangan, maka senjatanya akan segera menembus jantungmu."

Kemudian katanya lebih lanjut, "Senjata jepitan itu merupakan senjata andalannya, tidak banyak orang persilatan yang pernah melihatnya, sebab tak sampai satu tahun ia terjun ke dalam dunia persilatan, aku telah menampungnya. Sungguh tak kusangka ternyata Pancapanah pun dapat mengetahuinya."

"Apakah orang yang memanggang daging itu di hari biasa benar-benar sering memanggang daging manusia?"

"Orang itu mempunyai julukan sebagai Cha-cu(Garpu), siapa pun orangnya, asal bertemu dengannya, orang itu seakan seperti kena tusukan garpu, selamanya jangan harap bisa terlepas lagi."

"Kemudian dia akan menggunakan garpunya untuk mengantar orang itu ke atas panggangan dan memanggangnya?"

"Benar!" Lu-sam membenarkan, "jika kau terkena garpunya, mungkin dia tidak benar-benar mengantarmu ke atas api untuk memanggangnya, tapi perasaanmu waktu itu pasti tak jauh berbeda, bahkan mungkin jauh lebih menderita dan tersiksa daripada dipanggang di atas api."

"Siapa pula orang-orang yang lain?"

"Orang-orang itu pun hampir sama dengan mereka, hampir semuanya merupakan jago-jago berhati keji, telengas, dan membunuh orang tanpa berkedip."

"Mengapa mereka takluk dan tunduk kepadamu?" "Karena mereka kelewat kejam, karena itu baru tunduk

padaku," sahut Lu-sam, "Sebab kecuali bergabung dengan

kelompokku, pada hakikatnya mereka sudah tak bisa pergi ke tempat lain lagi, tak ada tempat berpijak bagi mereka dalam dunia persilatan."

Che Siau-yan menghela napas.

"Terhadap orang yang suka membunuh, tentu saja orang pun tak akan melepaskan mereka.”

“Tepat sekali."

"Jadi Pancapanah tidak membunuh Lu Kiong, karena dia menguatirkan orang-orang itu?" tanya Siau-yan.

"Hal ini teramat penting" kata Lu-sam, "Selama ini Pancapanah adalah seorang yang sangat berhati-hati, perbuatan yang tidak perlu tak mungkin akan dia lakukan, urusan yang tidak yakin berhasil dia terlebih tak akan melakukannya!"

"Lalu bagaimana dengan kau?" kembali Che Siau-yan bertanya, "Selama ini kau selalu berniat melenyapkan Pancapanah, mengapa tidak kau manfaatkan kesempatan ini untuk turun tangan?"

"Karena kesempatan ini tidak bisa terhitung amat baik." "Kenapa?" "Kemungkinan besar Pancapanah telah mempersiapkan jebakan di sekitar sini, dengan mengandalkan si Kepiting dan si Garpu sekalian, belum tentu mereka sanggup menghabisi nyawa Pancapanah."

Lu-sam menambahkan pula, "Karena tempat itu sesungguhnya bukan jalan mati, jalan mundur berada di empat penjuru, sekalipun ia tak mampu mengungguli pertarungan, mundur dari situ masih lebih dari cukup."

"Kalau memang sudah tahu begitu, mengapa kau harus memilih tempat semacam itu untuk mengundangnya?" Lu- sam menghela napas panjang.

"Kau anggap Pancapanah itu manusia seperti apa?" katanya, "Kalau bukan mengundangnya di tempat seperti itu, mana mungkin dia mau datang?"

"Kalau begitu aku semakin tak mengerti," kata Che Siau- yan ikut menghela napas.

Yang tidak dia pahami adalah, "Kau sendiri sama sekali tak bermaksud memanfaatkan kesempatan ini untuk turun tangan membunuhnya, kau pun tahu dia sendiri juga tak bakal turun tangan. ”

"Betul."

"Lalu kenapa kau masih mengutus Lu Kiong dan orang- orang itu untuk menahan Pancapanah dan Siau-hong di tempat itu?"

"Karena aku ingin mengawasi gerak-geriknya, selama ini sepak terjang Pancapanah ibarat setan gentayangan, lagi pula dia selalu bekerja seorang diri, manusia macam dia boleh dibilang merupakan manusia paling misterius dalam dunia persilatan selama seratus tahun terakhir."

Dalam hal ini siapa pun tak dapat menyangkal. "Oleh karena itu terpaksa aku harus menciptakan kesempatan semacam ini, kemudian menggunakan teropong jarak jauh yang kuperoleh dari pedagang Persia dengan menukarnya memakai kuda jempolan berkeringat darah serta golok mestika milik Cho Cho dari akhir dinasti Han yang pernah dipakai untuk membunuh Tong Cuo, untuk mengawasi gerak-gerik serta caranya berbicara."

Che Siau-yan menghela napas panjang.

"Jadi kau membayar mahal untuk semua ini tak lain tujuannya hanya ingin melihat dan memperhatikan gerak- geriknya?"

Ooo)d*w(ooO
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar