Pendekar Pengejar Nyawa Jilid 39

Jilid 39

"Sejak kecil aku hidup ditengah pasir." demikian kata Liu Bu-bi, "Sejarah perkembangan kaum Bulim di Tionggoan tak kuketahui, kalau tidak mau dibilang terlalu asing bagi diriku."

Lebih lanjut Coh Liu-hiang tertawa pula, katanya: "Selamanya Yong-cui-san-cheng memegang teguh peraturan rumah tangga secara tradisi yang ditegakkan oleh nenek moyangnya, sudah tentu takkan sudi menyinggung nama manusia bejat yang memalukan ini, tapi kematian Hong-nio cu waktu itu betul-betul merupakan suatu peristiwa besar yang menggemparkan seluruh Bulim, banyak orang tak segan-segan meluruk datang dari tempat ribuan li jauhnya hanya untuk melihat mayatnya, tujuannya tak lain hanya ingin pula mengiris sekerat kulit dagingnya."

"Kalau toh tiada orang-orang Bulim yang pernah melihat muka aslinya," demikian tanya Liu Bu- bi, "darimana bisa diketahui bila mayat itu benar adalah mayat Hiong nio cu?"

"Karena orang yang membunuhnya bukan saja menggantung mayatnya tinggi di puncak pohon, malah diatasnya digantung pula sebuah spanduk besar dengan tulisan huruf-huruf merah yang besar maksudnya, bahwa mayat orang ini adalah Hiong nio cu pemetik bunga "pemerkosa" yang cabul itu, maka Sin-cui-kiong menggasaknya demi menuntut balas bagi para korban yang konyol oleh kekejamannya."

"Sin cui-kiong?" teriak Liu Bu-bi tertahan, "Memangnya Hiong nio-cu akhirnya menemui ajalnya ditangan Cui bo im ki?"

"Benar, lantaran yang membunuhnya adalah Sin cui kiong-cu, maka orang-orang aliran Kang- ouw baru yakin percaya benar bahwa mayat itu benar-benar adalah Hong nio cu, karena pihak Sin cui kiong pasti tidak akan keliru."

Oh Thi hoa selalu mengawasi Soh Yong-yong, kini tiba-tiba berkata: "Meski Hiong nio cu orangnya sudah ajal, kedok muka buatannya bukan mustahil ada yang dia tinggalkan, kedok muka yang dipakai oleh laki-laki perawakan sedang itu bukan mustahil adalah sisa dari hasil karyanya itu."

"Terang tidak mungkin." sela Li Ang siu tegas.

"Kedok muka itu toh tidak diukir merek atau nama pembuatnya, darimana kau berani begitu yakin akan pendapatmu?" tanya Oh Thi-hoa.

"Karena Hiong-nio cu ini hakekatnya bersuara banci dan beringkah laku seperti perempuan, namun ia justru mengagulkan diri sebagai laki-laki tertampan di seluruh jagat, dan semua kedok muka buatannya seluruhnya bertipe gagah dan ganteng mirip laki-laki tak mungkin dia membuat kedok muka sejelek itu."

"Em, Memang masuk akal." ujar Oh THi-hoa.

"Justru karena ciptaannya serba bagus mutunya, maka dia pandang buah karyanya sebagai mestika tidak ternilai, kedok muka buatan Siau-hak-thong dan Jian-bin-jin-mo mungkin masih ketinggalan dan tersebar di kalangan Kangouw menjadi milik orang lain, tapi kedok muka buatannya selamanya tiada seorangpun yang melihatnya."

Kembali Coh Liu-hiang menimbrung: "Apalagi kalau toh dia sudah ajal ditangan Sin-cui-kiong, umpama benar dia ada meninggalkan kedok muka buatannya, pasti terjatuh di tangan Im-ki, tak mungkin tersebar diluaran."

Kembali Oh Thi-hoa melirik kepada Soh Yong-yong, katanya: "Kalau toh Jian-bin-jin-mo dan Hiong nio-cu tak meninggalkan kedok muka buatannya di kalangan ramai, dan kedok muka yang dipakai orang itu mungkin adalah hasil karya dari Siau hak tong itu." "Tidak mungkin." Soh Yong-yong menyangkal dengan tegas.

Sejak tadi Oh Thi-hoa sudah perhatikan perubahan mimik Soh Yong-yong yang setiap kali nama Siau-hak-tong disinggung, maka sekarang diapun tidak perlu banyak tanya pula, dia menunggu penjelasan orang.

Betul juga Soh Yong-yong lantas menjelaskan: "Kedok muka buatan Siau-hak-tong, juga tak pernah tersebar di kalangan Kangouw."

"O, darimana kau bisa tahu?"

Dengan mata merah Soh Yong-yong tertunduk, katanya: "Karena seluruh kedok muka buatannya diwariskan kepadaku, karena aku.. aku adalah adiknya."

Seketika Oh Thi-hoa melongo, mulutpun terkunci rapat. Memang sejak lama dia pernah mendengar Coh Liu-hiang bilang bahwa Song Thiam ji, Li Ang siu dan Soh Yong-yong bertiga adalah anak-anak sebatangkara yang mempunyai riwayat hidup yang mengenaskan. Tapi tak pernah terpikir olehnya bahwa Soh Yong yong ternyata adalah saudara sepupu dari Siau sin tong "Bocah sakti" meski mulutnya terkancing, matanya justru menatap kepada Coh Liu-hiang, seolah- olah mau bilang: "Tak heran orang sering bilang Coh Liu-hiang pandai merubah bentuk dan banyak duplikatnya, kiranya diapun mewarisi hasil karya Siau sin tong, kau ulat busuk ini kenapa tidak sejak dulu menjelaskan kepada aku, memangnya masih ingin mengelabui aku?"

Coh Liu-hiang menyingkir, katanya: "Kalau orang tidak mau unjuk muka aslinya, itu adalah kebebasan orang, kitapun tak bisa menyelidiki asal usulnya sampai keakar-akarnya, yang terang orang tidak bermaksud jahat terhadap kita." tanpa memberi kesempatan orang lain bicara segera dia menambahkan: "Tadi waktu aku mohon diri dan mengucapkan terima kasih kepada Li locianpwe, mereka masih berada di sana, agaknya memang sedang menunggu kedatanganku, waktu aku berlalu Ui locianpwe, lantas menarikku ke samping, dia bilang kepadaku katanya teman itu seorang yang harus dikasihani, dia mempunyai banyak kesulitan yang tak mungkin dijelaskan kepada orang lain, diharap kita bisa memaafkan dia."

"Memaafkan dia apa? Kenapa Ui Loh-ce mendadak membicarakan hal ini kepadamu?" tanya Li Ang siu.

"Ini... mungkin karena dia orang yang memberitahukan seluk-beluk Sin cui kiong itu kepada Ui lo kiam khek, maka Ui lo kiam khek mengharap kita tak menyelidiki soal ini lebih lanjut."

Oh Thi-hoa berkata: "Oleh karena itu kau tak ingin menyelidikinya lebih lanjut benar tidak?" "Aku percaya Ui lo kiam khek pasti tak menipu aku, tak mungkin mencelakaiku, kalau toh aku

sudah berjanji kepadanya, maka aku pun takkan menjilat ludahku sendiri." tiba-tiba sikapnya jadi

serius, katanya dengan suara yang tertekan: "Setiap orang mempunyai hak untuk merahasiakan urusan pribadinya, asal dia tak melukai dan merugikan orang lain siapapun tiada hak untuk menyelidikinya."

"Benar orang yang suka menyelidiki rahasia orang lain, tentulah dia seorang yang rendah dan hina dina." Oh Thi-hoa memberi suara.

Selama ini Mutiara hitam selalu melengos dari tatapan mata Coh Liu-hiang, tak berani beradu pandang. Biji matanya yang bundar jeli dan dingin mantap itu diliputi kerawanan dan masgul, seolah-olah permukaan air danau yang bening mengapa ditutupi selapis kabut pagi yang mulai menipis. Tiba-tiba dia berdiri, katanya dengan menunduk: "Aku... sungguh aku amat merasa sungkan terhadap kalian, tapi... kalau sekarang kalian sudah bisa kumpul bersama, dosakupun terhitung ringan."

Li Ang siu membuka mata lebar-lebar, katanya: "Toaci kenapa kau ngomong demikian?"

Mutiara hitam tertawa sahutnya: "Karena aku harus segera pulang, maka kurasa perlu aku bicara dulu dimuka, aku..." belum habis dia bicara, Song Thiam ji dan Li Ang siu sudah menarik kedua tangannya.

Kata Song Thiam ji gelisah: "Kita toh sudah mengikat persaudaraan, masakah boleh kau tinggalkan kami pergi seorang diri?"

"Gurun pasir memang bukan tempat yang baik, tapi... disanalah rumahku... mungkin," tiba-tiba dia teringat bahwa dirinya tak punya rumah lagi, sampai disini suaranya tersendat pilu hampir menangis.

Li Ang siu ikut gugup, katanya: "Rumah kita adalah rumahmu juga, kau... kau..."

"Benar." timbrung Soh Yong yong, "Kita semua kumpul bersama, laksana saudara sepupu sendiri."

Song Thiam ji berkata keras: "Kalau kau ingin pergi, biar aku ikut kau." begitu tegas, tulus dan besar tekadnya.

Bayangan kabut di depan mata Mutiara hitam menjadi berkaca-kaca dari butiran air mata. sedapat mungkin dia menahan tetesan airmatanya, namun tak tertahan dia mengerling ke arah Coh Liu-hiang, seperti hendak berkata: "Mereka tidak mau aku pergi, bagaimana dengan maksudmu?"

Coh Liu-hiang tersenyum, katanya: "Walau kita tidak angkat menjadi saudara, namun terhitung sebagai sahabat karib, sekarang teman kita mengalami kesulitan, masa boleh kau tinggalkan temanmu pergi begitu saja?"

Ternyata ucapannya amat manjur. Mutiara hitam menghela napas penuh dikasihani "Kau..." suaranya tersendat dalam kerongkongan.

"Kuharap kau bisa menemani Thiam-ji dan Ang-siu pergi ke Bo-dhi-am, mereka masih anak- anak yang hijau tak punya pengalaman Kangouw, sebagai saudara yang lebih tua, kau wajib melindungi dan mengawasi mereka."

Mutiara hitam tertunduk diam, akhirnya pelan-pelan dia duduk kembali ditempatnya.

Song Thiam ji seketika bersorak girang, serunya: "Kami pasti mendengar petunjuknya, pasti tidak nakal."

Oh Thi-hoa terloroh-loroh serunya: "Kalau demikian, memangnya kau ini bocah nakal yang suka membuat gara-gara?"

Kontan Song Thiam ji melotot dan merengut kepadanya, namun senyumnya masih menghias ujung mulutnya.

Berkata Coh Liu-hiang: "Tapi kalian tak tahu dimana letak dari Bo-dhi-am itu, maka harap Li Kongcu suka membawa mereka kesana."

"Dan kau?" tanya Li Ang siu. "Aku berangkat bersama Siau Oh, masuk dari jalan lain ke dalam Sin cui kiong, Yong-ji akan menunjukkan jalannya, hari ini tanggal sembilan, kalau nasib kita baik, pada malam terang bulan, kita sudah bisa bersua di dalam Sin cui kiong."

Li Ang siu seperti menyadari sesuatu, katanya: "Kita sama-sama kaum hawa, maka paling tidak bisa masuk ke dalam Sin cui kiong, pasti takkan mengalami mara-bahaya, tetapi kau...?"

"Tak usah kuatir." seru Oh Thi-hoa tertawa lebar. "Kalau Cui bo-im ki itu toh seorang cewek, tanggung diapun takkan membunuh ulat busuk."

Coh Liu-hiang sengaja tarik muka, katanya: "Benar, paling dia hanya suka membunuh laki-laki macam tampangmu ini."

Oh Thi-hoa juga menarik muka, katanya: "Bukan aku takut dibunuh olehnya, celaka malah bila dia minta kawin kepadaku, sungguh berabe."

Li Ang siu dan Song Thiam ji sudah terloroh-loroh, saking geli mereka terpingkal pingkal dengan memegangi perut. Kata Song Thiam ji setelah tawanya mereda: "Kalau benar dia ingin kawin dengan kau, maka Sin cui kiong harus diganti dengan Sin cui kiong."

Itulah sebuah kota kecil yang terletak di pegunungan, maju lebih jauh lantas sudah memasuki alas pegunungan yang ratusan li panjangnya. Waktu Coh Liu-hiang, Oh Thi-hoa dan Soh Yong- yong tiba dikota kecil ini, hari sudah magrib menjelang petang.

Perduli sampai dimana saja, urusan terbesar yang dipentingkan Oh Thi-hoa adalah mencari arak, dia boleh tidak usah makan nasi, tidak tidur asal ada arak yang dapat dia habiskan sehari semalam.

Maklumlah kota pegunungan dengan penduduk yang jarang-jarang orang berlalu lalang dijalan raya. Tatkala itu tiba-tiba dari depan sana berbondong-bondong mendatangi beberapa orang, begitu melihat dandanan mereka Coh Liu-hiang lantas tahu mereka adalah kaum persilatan, sebaliknya begitu melihat rona muka orang-orang itu, Oh Thi-hoa lantas tahu bahwa mereka itu pasti kawanan setan arak, karena orang-orang yang suka minum arak biji matanya pasti berobah seperti biji mata ikan yang sudah mati. Demikian pula suara orang yang sering minum arak pasti teramat besar dan kasar, bila mereka menyangka sudah merendahkan suara untuk bicara, orang lain justru sudah pekak kupingnya saking ribut.

Baru saja Oh Thi-hoa hendak mencari tahu kepada mereka: "Dimana sih yang ada menjual arak?" maka pembicaraan mereka sudah didengarnya dengan jelas.

Kata seorang: "Dua tua bangka yang memasuki Thay pek-lau tadi apa kau tahu siapa mereka?"

Siapa tanya orang di sebelahnya: "Memangnya bapak mertuamu?"

Orang yang bicara dulu tertawa dingin, jengeknya: "Kalau benar dia bapak mertuaku sejak tadi aku sudah unjukan diri..." ketahuilah, dia orang bukan lain adalah Kun-cu kiam Ui Loh ce yang pernah memberantas habis delapan belas pentolan Bak kong cay itu, tentunya kau pernah mendengar nama besarnya?"

Benar juga orang itu agaknya tertegun dan jeri, selanjutnya tak berani bercuit. Orang ketiga justru tertawa katanya: "Khabarnya setiap kali bergebrak dengan lawan, tua bangka ini memberitahu lebih dulu jurus tipu apa yang hendak dia lancarkan apa benar kabar yang pernah kudengar itu?"

Jawab orang terdahulu: "Umpama kata jurus apa yang hendak dia lancarkan, tetap kau takkan kuat melawannya, di sini banyak tempat untuk minum arak, buat apa harus cari kesulitan dengan mereka?"

Sembari bicara mereka berbondong-bondong lewat disamping Coh Liu-hiang, malah diantaranya ada yang melirik dan melotot kepada Soh Yong yong, seolah-olah ingin mencicipi wedang tahu makan kacang goreng. Tapi teringat Kun-cu-kiam berada ditempat yang tak jauh dari sini betapapun dia tak berani mengumbar kebiasaannya.

Setelah mereka pergi jauh, Oh Thi-hoa baru tertawa: "Tak nyana Ui Loh-ce juga berada di sini, memangnya orang hidup dimanapun bisa berjumpa, entah bagaimana takaran minumnya? Biar kutemui mereka untuk adu minum."

Coh Liu-hiang berpikir, katanya: "Mungkin mereka tidak ingin bertemu dengan kita." "Kenapa?" tanya Oh Thi-hoa, tiba-tiba biji matanya berputar, katanya seperti menyadari

sesuatu: "Orang itu bilang mereka berdua, yang satu tentu laki-laki yang berkedok itu, bukan

mustahil mereka memang hendak ke Sin-cui kiong juga, kalau tidak masakah jauh jauh mereka datang ketempat ini?"

Coh Liu-hiang seperti sedang berpikir, maka dia tidak segera menjawab.

Tiba-tiba bersinar mata Oh Thi-hoa katanya: "Rekaanmu pasti tidak meleset, orang itu pasti ada hubungan erat dengan Sin cui kiong, kalau tidak seorang laki-laki segede itu, mana mungkin mengetahui seluk-beluk Sin cui kiong begitu jelas?"

Soh Yong yong mandah diam saja mendengarkan, memangnya hanya perempuan pintar seperti dia saja baru bisa mengerti disaat laki-laki bicara dia harus menutup rapat mulutnya sendiri.

Setelah lama menimbang-nimbang, berkata Coh Liu-hiang dengan tertawa: "Kalau toh mereka mempunyai kesulitan yang tidak ingin diketahui orang, kitapun tidak usah membuatnya runyam, tapi kawanan Kangouw tadi kelihatannya bukan orang baik-baik, kita harus perhatikan mereka."

"Aku setuju akan pendapatmu"

"Memangnya aku kan tidak akan menentang karena dengan mengikuti jejak mereka, bukan saja kau bisa mencampuri urusan mereka, sekaligus menikmati arak, kedua hal ini adalah kesukaanmu."

Oh Thi-hoa gelak-gelak, katanya: "Ulat busuk memangnya tidak kecewa menjadi teman Oh Thi-hoa yang paling karib."

Memang banyak arak ditempat tujuan kawanan persilatan itu, tapi di sini tiada sesuatu persoalan yang bisa diurusnya, karena kelihatannya orang-orang ini cukup tahu diri, malah tiada satupun yang mengigau karena terlalu banyak menghabiskan arak.

Setela puas minum, mereka lantas cari hotel dan masuk kamar tutup pintu merebahkan diri diatas ranjang dan tidur, tak lama kemudian terdengar gerosan mereka seperti babi yang sudah pulas. Coh Liu-hiang merasa di luar dugaan, asal ada arak dan belum lagi mabuk Oh Thi-hoa tidak perlu perdulikan urusan tetek bengek, sudah tentu mereka tidak ingin masuk gunung disaat hari menjelang malam, terpaksa mereka pun menginap didalam hotel itu.

Oh Thi-hoa masih punya cirinya yang lain, yaitu tidak mau kembali ke kamarnya untuk tidur. Setelah kentongan ketiga Coh Liu-hiang sudah menguap ngantuk, katanya: "Besok kita harus pergi ke Sin cui kiong, memangnya kau tidak ingin tidur memulihkan tenaga supaya urusan tidak terbengkalai?"

Oh Thi-hoa cengar-cengir, katanya: "Kalau kebanyakan tidur kepalaku malah pusing lebih baik, pada saat itulah terdengar suara "tak" diluar jendela. Seseorang merendahkan suara berat berkata: "Coh Liu-hiang keluar!"

Belum kata-kata ini habis diucapkan bayangan Oh Thi-hoa sudah berkelebat keluar jendela, selamanya dia tidak tahu takut akan bokongan orang, terpaksa Coh Liu-hiang ikut menerjang keluar. Tampak sesosok bayangan hitam berkelebat di atas wuwungan rumah di depan sana, agaknya malah masih sempat melambaikan tangan kepada Coh Liu-hiang, sekejap saja, tahu-tahu bayangannya sudah melesat tujuh delapan tombak jauhnya. Berapa tinggi Ginkang orang ini, sungguh membuat Coh Liu-hiang kaget.

Oh Thi-hoa bersuara rendah: "Tak nyana kita tak memberi kesulitan kepadanya, dia malah mencari kesulitan kita."

Coh Liu-hiang tahu dia yang dimaksud oleh Oh Thi-hoa adalah tokoh kosen ahli pedang yang berkedok itu, tapi Coh Liu-hiang justru rada curiga, katanya: "Kukira orang ini jelas bukan si dia itu."

"Kenapa bukan dia?"

"Dia sedang sibuk menyembunyikan asal usulnya sendiri, masakah kemudian mencari kita?" "Memangnya siapa kalau bukan dia? Jangan kau lupa, tokoh kosen ini berapa banyaknya

dalam jagat ini?"

"Kau pun jangan lupa daerah ini sudah termasuk lingkaran terlarang bagi Sin cui kiong."

Oh Thi-hoa tertawa tawa katanya: "Tapi orang itu terang adalah laki-laki, terang bukan murid dari Sin cui kiong, memangnya kau tidak bisa membedakan dia laki-laki atau perempuan?" karena bicara langkah kakinya menjadi mengendor, sementara bayangan itu sudah melesat dengan cepat, jaraknya semakin jauh.

"Lekas kejar!" seru Oh Thi-hoa.

"Kalau dia mencari kita, tentu akan menemui kami, buat apa tergesa-gesa?" benar juga, langkah orang di depan itupun jadi mengendur, akhirnya berhenti di pucuk wuwungan sebuah rumah kecil, kembali melambaikan tangan ke arah mereka."

Coh Liu-hiang tiba-tiba berkata: "Lekas kau pulang melindungi Yong-ji, jangan sampai terpancing oleh musuh."

Begitu getolnya Oh Thi-hoa ingin tahu siapa sebenarnya laki-laki yang memancing mereka keluar dengan kepandaian Gingkang setinggi ini, untuk apa pula mengundang mereka keluar, sungguh tak rela dia disuruh pulang. Tapi Coh Liu-hiang segera kembangkan kebolehannya, beberapa kali lompatan orang sudah melesat, jauh ke depan.

Apa boleh buat terpaksa Oh Thi-hoa hanya menghela napas terus putar balik, mulutnya menggerundel: "Bila bersama ulat busuk, ada urusan baik selalu tidak menjadi giliranku."

Malam berlarut suasana sepi tak kelihatan bayangan manusia mondar mandir didalam kota pegunungan ini, lampu-lampu sudah sama dipadamkan, hanya ada dua rumah saja yang masih menyalakan lampu diantara kamar-kamar hotel kecil itu, sebuah adalah kamar khusus buat para pegawai hotel, kamar yang lain adalah tempat tinggal Coh Liu-hiang.

Sudah tentu Soh Yong yong menetap ke kamar sebelah Coh Liu-hiang, di sebelah pekarangan terdapat tiga buah kamar lagi, semua ditempati rombongan laki-laki kawanan orang-orang persilatan itu, sinar lampu sudah padam kecuali gerosan tak terdengar suara lain.

Waktu Oh Thi-hoa kembali pula ke dalam kamar, sinar lampu tampak menyorot dari ketiga kamar ini, bayangan orang pun berpeta pada jendela kertas. Untuk apa orang-orang ini tengah malam buta rata pada bangun?

Dari kamar Soh Yong-yong tak terdengar suara apa-apa, sekilas Oh Thi-hoa berpikir, akhirnya dia bersembunyi di atap rumah, secara diam-diam mengawasi dan memperhatikan keadaan ketiga kamar itu. Dia tahu orang-orang itu bukan manusia baik-baik, tapi kalau tengah malam buta rata mereka bergerak hendak beroperasi, memangnya sasaran mana yang patut mereka incar didalam kota pegunungan kecil yang serba miskin ini? Tapi mereka menginap di sini, terang mereka mempunyai tujuan.

Oh Thi-hoa membuka mata lebar, batinnya: "Perduli kerja apa yang hendak mereka lakukan, hari ini kebentur di tanganku, terhitung mereka yang bakal ketiban pulung."

Tak lama kemudian, kamar dipaling kiri, tiba-tiba padam lampunya, dua sosok bayangan orang secara indap indap mengeloyor keluar, dengan jarinya mengetuk dua kali di atas jendela di kamar tengah, serunya lirih: "Kentongan ketiga."

Orang dalam kamar dengan tertawa segera berkata: "Kita sudah siap sejak tadi, memang sedang menunggu kalian" ditengah pembicaraannya dua orang memanggul dua buntalan besar berjalan keluar, katanya: "Bawalah dulu buntalan ini, kami hendak kencing dulu."

Dua orang di luar itu tertawa, makinya: "Kalian memangnya orang desa, belum lagi memikul harta, sekali minum lantas kencing-kencing."

Tengah mereka berkelakar dengan makiannya sambil menerima kedua buntalan itu, tak kira dua orang yang baru keluar dari kamar ini tiba-tiba mengeluarkan pisau dari lengan baju. "Cras" kontan dia kutungi leher kedua temannya sendiri. Kedua orang itu sama mengeluarkan suara gerungan terus roboh terkapar tak bernyawa lagi. Dua orang yang lain masing-masing mengeluarkan segumpal kapuk terus dijejalkan ke dalam mulut mereka, sehingga darah setetespun tidak bercucuran, cara kerja mereka sungguh cekatan, gampang dan ahli, agaknya memang sudah biasa membunuh mangsanya.

Sudah tentu perobahan ini amat di luar dugaan Oh Thi-hoa, sungguh tak pernah terpikir dalam benaknya bahwa orang-orang ini akan saling bunuh lebih dulu sebelum beroperasi dan berhasil dengan incarannya. Tatkala itu dari kamar paling kanan sudah melompat keluar dua orang, melihat perobahan ini agaknya amat kaget, seketika mereka menyurut mundur serta memegang golok masing-masing, bentaknya bengis: "Lui-losam, apa yang ingin kau lakukan?"

Dengan alas sepatunya Lui losam kalem saja membersihkan darah di ujung goloknya, katanya cengar-cengir: "Apapun tidak ingin kulakukan, cuma aku merasa bila sesuatu benda harus dibagi empat orang, jatahnya tentu lebih banyak daripada dibagi enam."

Mereka saling berpandangan lalu sama gelak tawa.

Berkata pula Liu losam: "Meski kita sudah menghilangkan jejak dari kejaran kawanan alap-alap itu, namun yang mengincar dagangan besar ini tentu masih ada rombongan lain pula, bukan mustahil di belakang kita ada yang mengikuti jejak mereka, haraplah lekas berangkat."

Baru sekarang Oh Thi-hoa lebih jelas bahwa mereka ternyata adalah kawanan begal, malah baru saja melakukan suatu dagang gelap tanpa modal, demi menghilangkan jejak dari kejaran yang berwajib, maka mereka lari ke kota pegunungan ini. Buntalan itu cukup besar dan menonjol entah apa yang terbungkus di dalamnya. tapi karena buntalan ini tak segan-segan mereka saling bunuh sendiri, terang buntalan itu pasti berisi sesuatu yang patut dibuat rebutan.

Hati Oh Thi-hoa sudah gatal, tangannya lebih gatal lagi, batinnya: "Kalau aku belum melihat apa isi buntalan ini mungkin malam ini aku tidak bisa tidur." Bahwasanya bukan saja dia ingin melihat apa isi buntalan itu, ke empat orang ini seolah-olah babi-babi gemuk yang diantar ke hadapannya, bila dia tolak, rasanya terlalu tidak menghargai diri sendiri.

Tatkala itu Lui losam sudah menjinjing buntalan itu, baru saja Oh Thi-hoa hendak menubruk keluar, tiba-tiba dilihatnya sesosok bayangan putih laksana segumpal kembang salju melayang turun dari tengah udara.

Lui losam dan teman-temannya seperti belum melihat, setelah bayangan putih itu melayang turun di hadapan mereka dengan ringannya baru serempak mereka dibuat kaget.

Oh Thi-hoa pun amat kaget, karena Gingkan bayangan ini sungguh amat hebat, sungguh dia tak habis mengerti didalam kota kecil di pegunungan ini, kenapa sekaligus tumplek beberapa tokoh-tokoh silat kosen yang bermunculan.

Kemudian orang membelakangi dirinya, maka dia tidak bisa melihat jelas raut muka orang, namun dari potongan badannya yang semampai dan ramping, rambutnya terurai mayang, kelihatannya adalah seorang gadis cantik rupawan yang masih muda belia. Karena begitu rasa kejut Lui losam dan teman-temannya hilang mereka lantas memicingkan mata, dengan terpesona mengawasi gadis baju putih ini, kalau laki-laki sampai memicingkan mata mengawasi dengan terpesona, gadis ini tentu tak berparas buruk. Oh Thi-hoa cukup berpengalaman dalam bidang ini.

Terdengar gadis baju putih itu berkata: "Dua mayat diatas tanah ini, apakah kalian yang membunuhnya?"

Lui losam malah menyengir tawa, katanya: "Apakah kami yang membunuh kedua orang, nona secantik kau ini, malah kesudian menjadi opas memakan sesuap nasi, dari pajak rakyat."

Berkata kalem gadis baju putih: "Kalau ditempat lain kalian membunuh orang, sedikitpun tiada sangkut pautnya dengan aku, tapi disini."

"Memangnya ada bedanya ditempat ini?" "Ditempat ini tak boleh membunuh orang!" "Tapi sekarang aku sudah membunuh kedua orang ini, coba katakan bagaimana persoalan ini harus diselesaikan?"

Sebetulnya hatinya rada takut berhadapan dengan gadis belia ini, karena dia tahu Ginkang nona ini amat tinggi, namun sekarang agaknya dia sudah kepincut kepati-pati oleh kecantikan si gadis dihadapannya, maka nyalinya bertambah besar. Karena laki-laki memang jarang berhati-hati setiap kali berhadapan dengan perempuan cantik. Oleh karena itulah gadis yang cantik sering dengan mudah menipu lelaki.

Berkata gadis itu: "Setelah kau membunuh orang, memang hanya ada dua cara untuk menyelesaikannya."

"Cara apa?"

"Cara pertama, mayat kedua orang ini harus kau makan sampai habis malah dengan lidahmu kau harus jilat sampai bersih noda-noda darah yang berceceran ditanah."

Lui losam tertawa lebar, katanya: "Aku orang ini sering makan apa saja, cuma makanan benar tidak mau makan mayat orang, hidangan kecil tidak mau makan lalat, gelak tawanya tiba-tiba terputus, seolah-olah dia sudah merasakan bahwa gadis dihadapannya ini bukan sedang berkelakar. Walau Oh Thi-hoa tak melihat muka orang tapi dia tahu paras orang tentu sudah berubah.

Terdengar gadis itu berkata dengan kalem: "Kalau kau tak ingin makan mayat ini juga tak menjadi soal, toh masih ada cara kedua."

"Cara... cara apa lagi?" suara Liu losam mulai gemetar.

"Cara kedua jauh lebih mudah dilaksanakan. marilah kau ikut aku." ajak si gadis lalu dengan gemulai dia putar badan, tahu-tahu sudah melayang naik ke pagar tembok.

Dalam sekilas pandang inilah Oh Thi-hoa akhirnya berhasil melihat raut muka orang.

Sebetulnya dia tidak terhitung teramat cantik namun ditengah malam yang tenang dan gelap ini, di bawah penerangan sinar bintang yang remang-remang, kelihatannya dia orang memang memiliki suatu daya sedot yang tak terlawankan oleh kawanan bandit itu.

Seolah-olah sudah melupakan tujuan semula. Lui losam dan ketiga temannya sekejap mereka ragu-ragu namun kejap lain serempak mereka sudah ikut lompat dan memburu.

Kamar tempat tinggal Soh Yong-yong masih seperti tak terdengar suara apa-apa, gelagatnya dis terlalu pulas, setelah mengamati pelajaran yang terdahulu, kali ini Oh Thi-hoa tidak berani ceroboh, dia tahu dirinya harus berjaga di sini, jikalau sampai Soh Yong-yong terbokong dan kena diingusi orang, bukan saja malu dia bertemu dengan Coh Liu-hiang, boleh dikata malu pada diri sendiri, malu menjadi manusia.

Tapi gadis baju putih itu memang cantik dan terlalu aneh tindak tanduknya, apa maksudnya menyuruh ke empat laki-laki itu mengikuti dirinya? Hendak dibawa kemana mereka berempat? Apa pula yang berisi didalam buntalan besar itu? Sungguh serasa hampir meledak rasa ingin tahu Oh Thi-hoa, kalau segera tidak memburu kesana untuk menyaksikan secara jelas, bukan mustahil dia kontan bisa menjadi gila. Dengan keras dia mengelus-elus hidungnya, disaat dia kebingungan tak tahu apa yang harus dia lakukan, siapa tahu saat itulah tiba-tiba Soh Yong-yong menongolkan kepalanya dari balik jendela serta melambaikan tangan kepada dirinya.

Tersipu-sipu Oh Thi-hoa melompat turun, serunya: "Hah! Kiranya kau belum tidur?" Soh Yong-yong berseri tawa, katanya: "Setelah kalian minum arak, suara bicaranya yang ribut bisa bikin si tuli kaget dan sadar dari pulasnya, masakah aku bisa tidur? Apalagi malam ini pekarangan ini begini ramai."

"Jadi kau sudah saksikan seluruhnya?"

"Aku lihat kalian keluar mengejar bayangan seseorang, tak lama kemudian hanya kau sendirian saja yang pulang."

Kalau dalam keadaan biasa mungkin Oh Thi-hoa akan menggoda hubungannya dengan Coh Liu-hiang, supaya paras orang merah dan malu, atau supaya orang lain gelisah menguatirkan keadaan Coh Liu-hiang. Tapi sekarang, seleranya bukan atas persoalan ini. Maka segera dia bertanya: "Peristiwa yang terjadi di pekarangan sebelah tadi, kaupun sudah melihatnya?"

"Apakah kau ingin menguntit mereka untuk tahu jejak mereka?" tanya Soh Yong-yong.

Bersinar mata Oh Thi-hoa, serunya senang: "Kau juga ikut? Bagaimana kalau kita pergi bersama-sama?"

"Aku tidak boleh pergi, karena perempuan itu bila diapun melihat diriku, bukan mustahil bisa menimbulkan kesulitan, tapi aku sih tidak menjadi soal."

"Kenapa?"

"Karena dia kenal aku, namun tidak mengenalmu."

"Dia kenal kau? Apa akupun mengenalnya? Siapakah dia?"

"Dia itulah utusan pihak Sin-cui kiong yang menemui Coh Liu-hiang itu, namanya Kiong lam Yan."

Oh Thi-hoa terperanjat, melongo sebentar, mulutnya menggumam: "Tak heran ilmu silatnya amat tinggi, kiranya murid kesayangan Cui-bo-im-ki."

"Lebih besar hasratmu untuk melihatnya kesana, bukan?" Kembali Oh Thi-hoa pegangi hidungnya, katanya: "Tapi kau..."

"Boleh silahkan kau pergi, aku kan bukan anak kecil, memangnya harus kau lindungi?"

Oh Thi-hoa kegirangan, katanya: "Kau memang nona yang baik, tak heran ulat busuk selalu memuji dirimu malah kuatir bila dia kurang hati-hati mungkin bisa menelanmu bulat-bulat."

Akhirnya toh dia memang bikin wajah Soh Yong-yong bersemu merah, diwaktu dia melesat ke atas pagar tembok, hatinya masih merasa riang, karena dia senang bila melihat wajah gadis rupawan bersemu merah dan malu-malu. Dia senang melihat hubungan muda mudi yang intim, bertautnya dua hati yang sepaham dan sepengertian, dia merasa hal-hal seperti itu merupakan kejadian paling sempurna baik dan indah dalam dunia ini.

Diam-diam diapun ikut bergirang bagi Coh Liu-hiang, karena diapun merasakan Soh Yong- yong memang gadis pujaan yang serba lengkap, serba baik. Dia menghirup napas panjang, mulutnya mengigau: "Ulat busuk memang lebih beruntung dari diriku."

Tapi sekarang Oh Thi-hoa menghadapi keadaan yang merisaukan hati, didalam waktu percakapannya ini, bayangan gadis baju putih dan Lui losam berempat sudah tak kelihatan lagi. Dia tahu langkah Lamkiong Yan takkan lebih lambat dari kecepatan larinya, tapi kekuatan lari Lui losam berempat, dia yakin meski hanya mengejar dengan satu kaki, dia masih kuasa menyandak mereka. Sekarang dia bertanya tanya, ke arah mana barisan mereka menuju? Jalan di sebelah kiri menuju ke jalan raya didalam kota, ke arah kanan ke jalan raya keluar kota, ke sebelah depan adalah arah kemana tadi dia bersama Coh Liu-hiang mengejar bayangan hitam tadi. Setelah meragu sebentar segera dia melesat lempang ke depan, karena dengan mengambil jurusan ini umpama tak berhasil menemukan Lamkiong Yan, paling tidak bisa bertemu dengan Coh Liu-hiang.

Arah yang dituju ini tiada jalan, yang ada hanya wuwungan rumah orang yang sambung menyambung. Masih segar dalam ingatannya diwaktu tadi dia berlarian di wuwungan rumah- rumah itu, tadi lampu di sebelah bawah sudah padam seluruhnya, maklumlah penduduk dalam kota pegunungan yang biasanya harus menghemat minyak, maka jarang orang menyulut pelita diwaktu tidur.

Tapi sekarang tiba-tiba dia lihat di depan sana ada beberapa rumah yang menyulut lampu, malah terdengar pula suara ketukan yang ramai kumandang dari sebelah pekarangan.

Pekarangan dimana kedengaran suara ramai itu banyak bertumpuk balok-balok kayu besar kecil di emperan rumah tergantung lampion besar yang menyorotkan sinar terang.

Sebetulnya Oh Thi-hoa hendak membelok ke samping, namun sekilas ujung matanya melihat dua orang, sedang sibuk mengerjakan peti mati.

Betapapun kecilnya sebuah kota bila penduduknya cukup banyak pasti disana terdapat sebuah pertukangan yang khusus membuat peti mati, karena setiap penduduk kota dalam waktu tertentu pasti ada orang yang meninggal, orang mati ini memerlukan peti mati, hal ini tak perlu dibuat heran.

Bahwa pegawai pertukangan kayu sibuk menyelesaikan peti mati, pastilah didalam peti itu ada jenazah orang. Hal inipun tak perlu dibuat heran.

Anehnya justru kedua orang ini bekerja ditengah malam buta-rata, memangnya disekitar tempat ini ditengah malam ini ada orang mati mendadak? Meski ada orang mati toh boleh dikerjakan besok pagi. Orang yang sudah mati kan tak perlu tergesa-gesa harus masuk peti mati, orang hidup sudah takkan sudi masuk ke dalam peti mati.

Mau tak mau tergerak juga pikiran Oh Thi-hoa, tak tahan dia akhirnya menghentikan larinya, maka segera dia dapati didalam pekarangan ternyata tersedia empat buah peti mati. Tiga diantara peti mati itu belum terpakai, ketiga peti mati ini masing-masing berisi satu jenazah.

Tanpa ragu-ragu Oh Thi-hoa segera lompat ketengah pekarangan, dua orang yang sedang sibuk memaku peti mati terperanjat, palu ditangan mereka sampai mencelat terbang saking kagetnya.

Oh Thi-hoa tak hiraukan mereka, dengan seksama dia periksa tiga peti mati yang masih terbuka itu, cukup sekilas saja dia melihat ketiga mayat didalam peti mati itu, seketika berubah air mukanya, tak kuasa mulutpun berteriak kaget: "Kiranya mereka"

Mayat-mayat yang berada di ketiga peti mati ini ternyata Lui-losam dan kawan-kawannya.

Sebelum ini Oh Thi-hoa masih melihat mereka hidup segar bugar, mimpipun dia tak menyangka dalam waktu yang begitu singkat keempat orang ini sudah rebah didalam peti mati tanpa bernyawa lagi. Dua orang tukang kayu itu sudah berlutut dan menyembah ratapnya ketakutan "Toaya ampun, kejadian ini bukan perbuatan kami."

Melihat muka pucat kedua orang ini, Oh Thi-hoa tahu orang pasti menyangka dirinya sekomplotan dengan Lui-losam, terpaksa dia unjuk tawa, dibuat-buat, katanya: "Akupun tahu kejadian ini bukan urusan kalian, tapi apakah yang telah terjadi akan mereka?"

Laki-laki yang berusia agak tua agaknya adalah juragan dari perusahaan pertukangan ini, dia membesarkan nyali menjawab: "Sebetulnya kami sudah tidur, tiba-tiba ada seorang dewi masuk ke kamar kami menggigil kami bangun, lalu suruh kami menyediakan empat peti mati dan menunggu di luar pekarangan."

"Apakah nona cantik yang berpakaian putih-putih?"

"Benar, meski merasa heran, tapi di sini sering tersiar adanya bidadari yang memberi berkah kepada para penduduk kota, malah katanya banyak bidadari di puncak gunung sana maka kami tak berani membangkang perintahnya."

"Mereka itu bukan bidadari, mereka adalah setan-setan air."

Dingin bulu kuduk juragan peti mati, katanya tergagap: "Bila... nona... air itu tak lama kemudian kembali, membawa empat.. empat laki-laki kemari, sikapnya tidak galak terhadap ke empat laki- laki itu, dia malah minta satu diantaranya membayar dua puluh tail perak kepadaku."

"Apa yang dikatakan orang itu?"

"Laki-laki itu agaknya malah kegirangan, katanya: "Mereka memang adalah temanku, membelikan peti mati juga pantas." Setelah mendengar penjelasannya ini baru hati kami lega, kukira ada teman-teman mereka yang meninggal, maka nona itu membawa mereka kemari untuk membeli peti mati. Seolah-olah ketiban rejeki, belum pernah dalam satu hari kami menjual empat peti mati sekaligus.. mana tahu.." giginya gemeretak, suaranya pun tak terdengar lagi.

Mengawasi mayat-mayat Liu losam didalam peti mati, Oh Thi-hoa jadi geli dan dongkol.

Sesaat kemudian juragan peti mati melanjutkan ceritanya: "Siapa nyana setelah uang kuterima, nona itu tiba-tiba berkata: "Cara kedua gampang saja, yaitu menyerahkan jiwa kalian." Baru saja kami merasa kaget, belum lagi tahu apa yang telah terjadi, tahu-tahu ke empat laki-laki itu sudah terkapar roboh tak bernyawa lagi." badannya gemetar dan ngeri, katanya dengan suara terputus-putus: "Selama hidup belum pernah aku... aku melihat... orang mati begitu cepat, empat orang segar bugar, entah kenapa. tiba-tiba sudah menjadi mayat semuanya."

Oh Thi-hoa ikut melongo, tanyanya: "Selanjutnya bagaimana?"

"Selanjutnya. nona itu mendadak menghilang dari hadapan kami." getir air muka juragan peti

mati, katanya menyambung: "Peristiwa ini kalau kuceritakan kepada orang lain pasti tak ada yang mau percaya, terpaksa malam ini juga kami kerja lembur untuk menyelesaikan kerja ini, terus diangkat keluar. mohon Toaya."

"Kau tak usah kuatir." Oh Thi-hoa tertawa: "Akupun bisa segera menghilang, urusanmu aku tak mau perduli lagi, tapi ke empat orang itu ada membawa buntalan besar, apa kau melihatnya?"

"Kelihatannya memang. agaknya sudah dibawa pergi oleh nona itu, kami sudah ketakutan

maka tidak melihat jelas. " belum habis dia bicara, Oh Thi-hoa benar-benar sudah menghilang

dari pandangannya. Juragan peti mati ini jatuh sakit tujuh hari, kalau ada orang tanya peristiwa apa yang terjadi pada tujuh hari yang lalu, maka dia lantas menyumpah-nyumpah dikatakan kerja apapun tidak pernah dia lakukan, cuma dikatakan malam itu dia bermimpi amat buruk.

Di sebelah biara pemujaan untuk dewa bumi terdapat sebuah petak rumah persegi, didalamnya banyak terdapat meja kursi, kiranya itulah sebuah rumah sekolahan, tapi guru tiada muridpun tentu bubar, tiada satu orangpun didalam ruang kelas. Tapi sinar api terpasang terang benderang, api lilin bergoyang gontai tertiup angin, kelihatannya menjadi seram.

Waktu Coh Liu-hiang mengejar sampai di sini, bayangan hitam itu tiba-tiba berhenti.

Orang itu ternyata adalah seorang kakek kurus kering, rambutnya sudah ubanan seluruhnya namun badannya masih kelihatan sehat dan kuat, berdiri ditengah gelap seperti sebatang tongkat bambu. Tiba-tiba dia membalik badan berhadapan dengan Coh Liu-hiang dengan tertawa: "Ginkang Maling romantis memang tak bernama kosong, tiada bandingannya dikolong langit."

"Ah, Cianpwe terlalu memuji." Coh Liu-hiang merendahkan diri. Disaat bicara ini dia sudah perhatikan orang tua dihadapannya ini katanya pula dengan tertawa: "Dalam kolong langit ini, bila ada yang tak dapat kukejar kecuali Ban-li-tok-hing Cay locianpwe pasti tiada orang lain, justru cianpwe malam ini membuat wanpwe terbuka matanya."

Orang tua itu gelak-gelak ujarnya: "Mendengar pujian Maling romantis, Losiu jadi merasa berkecil hati, sebetulnya bukan Losiu sengaja hendak pamer kepandaian, bahwa Losiu memancing Maling romantis ke tempat ini, karena didalam hotel itu terdapat beberapa kurcaci yang menyebalkan, kukira kurang leluasa bila bicara di sana."

Banyak orang berpendapat orang yang usianya semakin menanjak tua semakin sungkan dan suka merendah hati, hakekatnya bila jiwa seseorang semakin tua, dia semakin tidak mau mengalah malah sebaliknya suka mendengar puji sanjung orang lain akan kebolehan dirinya.

Apalagi pujian yang diucapkan oleh seseorang yang kira-kira setingkat dirinya, maka rasanya lebih syuur, tiada orang yang tak suka mendengar pujian semacam ini dalam dunia ini. Jikalau Cay Tok- hing tidak ingin supaya Coh Liu-hiang tahu akan tingkat kepandaiannya kenapa dia tadi tidak mau jalan pelan-pelan saja?

Setelah tertawa, lekas Coh Liu-hiang sudah mengerut kening, katanya: "Orang-orang kurcaci yang dimaksud Cianpwe, bukanlah. "

"Yaitu kawanan bandit yang tinggal di kamar sebelah kalian itu, sebetulnya tujuan Losiu menguntit jejak mereka, sehingga aku sampai di sini, sungguh tak kira di sini pula aku bisa jumpa dengan Maling romantis."

"Kalau demikian Wanpwe harus berterima kasih kepada mereka malah, entah apa sih kerja mereka sebenarnya? Sampai Cianpwe susah harus menguntit jejak mereka?"

Cay Tong hing tertawa-tawa, ujarnya: "Tua bangka seperti aku ini paling takut kesepian, soalnya mereka kuatir jiwanya tercabut oleh raja akhirat disaat tiada orang lain, demikian juga aku tua bangka ini, maka setiap hari selalu ikut mencampuri urusan orang lain." sampai di sini dia menarik muka, katanya lebih lanjut: "Mereka para kurcaci itu adalah Bu-bing-siau-cut dari Bulim, tapi belakangan ini mereka melakukan perbuatan yang terkutuk, aku tua bangka ini bersumpah hendak menghabisi jiwa mereka." Sebelum orang menyebutkan perbuatan terkutuk apa yang dilakukan orang-orang itu, Coh Liu-hiang pun tidak enak bertanya, maklumlah Coh Liu-hiang selamanya tidak suka cerewet. "Sekarang Losiu sudah menemukan jejak mereka." demikian tutur Cay Tok-hing lebih lanjut.

Namun belum sempat turun tangan, tentunya Maling romantis merasa heran?" "Ya, memangnya aku raga bingung."

"Itulah karena mereka seperti sudah picak matanya karena ketakutan sehingga pandangan mata dikelabui setan, dunia selebar ini, mereka justru lari ke tempat ini, tentunya kau tahu di dataran ini tak leluasa menghabisi jiwa orang."

"Memang, Wanpwe juga ada dengar, Cui-bo-im-ki melarang orang membunuh sesamanya di daerah seratus li sekitar Sin-cui-kiong, bila siapa berani melanggar undang-undang ini, maka jiwanya harus dihabisi juga."

"Bukannya Losiu takut akan larangan itu, soalnya lelaki tak leluasa berkelahi dengan perempuan, hidup setua ini buat apa aku harus bertengkar dengan kaum hawa?" Orang ini ternyata memang berwatak keras dan pedas sekali-kali dia tak mau tunduk kepada orang lain meski hanya mengadu mulut secara berhadapan.

Walau merasa geli dalam hati, namun Coh Liu-hiang hanya mengingatkan saja, "Memang benar ucapan Cianpwe, bertengkar dengan perempuan, laki-laki juga yang rugi."

"Sebetulnya Losiu sudah lama ingin minum bersama Maling romantis, sayang sekali kaum pengemis seperti aku tidak leluasa duduk didalam restoran, terpaksa kubawa kemari sementara meminjam tempat ini, semoga besok pagi bila Ang-siansing datang mengajar, jangan sampai dia jatuh mabuk mengendus bau arak yang kita tinggalkan di sini."

Berkata Coh Liu-hiang menahan tawa: "Entah Cianpwe sudah menyiapkan daging anjing, Wanpwe tidak makan daging anjing lho."

Cay Tok-hing menepuk pundaknya, katanya gelak-gelak: "Kukira kaupun sudah keracunan oleh teori dalam buku, par kutu buku bila memperbincangkan kaum jembel seperti kami tentu mengira kami ini doyan makan daging anjing, sebetulnya bukan setiap pengemis pasti suka makan daging anjing."

Lilin yang tersulut sudah tinggal separo guci arak yang ditaruh di bawah meja sudah terbuka segelnya, di atas meja masih terdapat sebungkus sayur asin yang dibungkus oleh kertas minyak. Agaknya Cay Tok-hing memang sudah menyiapkan perjamuan sederhana di sini.

Tapi beberapa hari yang lalu dia tak mau menemui diri Coh Liu-hiang, kenapa hari ini mendadak dia merubah haluan? Tiba-tiba Coh Liu-hiang menyadari bahwa pertemuan hari ini pasti bukan secara kebetulan. Orang pasti ada urusan penting sehingga mencari dirinya, yang terang pasti persoalan pasti sudah genting dan gawat.

Setelah menggak beberapa cangkir arak, tiba-tiba Coh Liu-hiang tertawa, katanya: "Apakah Cianpwe sebelumnya memang sudah tahu bila pihak Sin cui kiong memang sudah sengaja hendak mencari perkara kepada Wanpwe, sudah Cianpwe perhitungkan dengan masak bila Wanpwe pasti akan datang ke tempat ini, maka siang-siang sudah menunggu di sini, siap membantu kesulitan Wanpwe?"

Sekilas Cay Tok hing tertegun, katanya tertawa lebar sambil angkat cangkir: "Sering Losiu mendengar orang bilang, Coh Liu-hiang mempunyai nyali besi mempunyai hati yang luhur dan bajik lagi, kiranya tak berlebihan pujian ini, agaknya segala persoalan takkan bisa mengelabui kau." "Berita dari Kaypang memang amat tajam, bantuan Cianpwe justru membuat orang tunduk lahir batin, tapi persoalan kali ini."

"Losiu tahu persoalan ini orang lain tak boleh ikut campur, kedatanganku ini tak lain hanya mau melaporkan sesuatu persoalan saja, sekedar untuk menebus jasa pertolongan Maling romantis kepada pihak Pang kami."

Coh Liu-hiang berdiri terus menjura, katanya: "Terlalu berat ucapan Cianpwe."

"Persoalan yang hendak Losiu utarakan besar sangkut pautnya dengan murid murtad Pang kami, Lamkiong Ling itu."

"Mengenai Bu Hoa juga?"

"Ya, Bu Hoa" ujar Cay Tok-hing sambil meletakkan cangkir diatas meja. "Orang ini sudah beribadah namun tak mematuhi ajaran agama, dengan licin dia memelet seorang nona suci bersih dari murid Sin-cui kiong serta memperkosanya, sehingga jiwa orang akhirnya berkorban karenanya, tentunya Maling romantis sudah tahu akan kejadiannya."

"Tapi peristiwa ini Wanpwe belum pernah membicarakan kepada siapapun, entah dari mana pula Cianpwe bisa mengetahui peristiwanya sedemikian jelas?"

"Maling romantis membenci kejahatan pelindung kebenaran, tak sudi membongkar rahasia pribadi orang lain, sungguh suatu sikap yang patut dihargai, sayang sekali, kertas tak bisa membungkus api, betapapun rahasia perbuatan seseorang didalam kejahatan cepat atau lambat akhirnya pasti diketahui orang juga."

Dia menghela napas panjang, lalu melanjutkan: "Dosa Lamkiong Ling memang patut dicacah hancur, tapi sesudah dia mati segala dosanya pun himpas, setelah dirundingkan oleh para Tianglo akhirnya diputuskan, mereka tetap menguburkan jenazah Pangcu sesuai dengan kedudukannya, ini... sudah tentu lantaran mereka berpendapat keburukan rumah tangga tidak baik tersiar di luar, untuk pahit getirnya ini tentunya kau cukup memahami."

"Ya." Coh Liu-hiang mengiakan dengan manggut-manggut prihatin.

"Murid-murid Pang kami diwaktu mengumpulkan barang-barang peninggalan Lamkiong Ling, didapatnya di atas sekian barang-barangnya terdapat sebuah Bok-hi yang amat antik."

"Bok-hi?" Coh Liu-hiang mengerut kening.

"Bok-hi yang biasa digunakan oleh kaum pendeta dalam bersembahyang, murid Kaypang kami tidak bisa bersembahyang, darimana bisa ketinggalan Bok-hi? Maka kami lantas berpikir Bok hi ini pasti barang peninggalan atau titipan Bu Hoa."

"Ya, kukira demikian."

"Kita sama tahu Lamkiong Ling menjadi bejat dan nyeleweng lantaran hasutan dan tekanan Bu Hoa yang jahat dan keji itu, tak urung murid-murid yang memujanya sama merasa penasaran bagi kematiannya..." dia berhenti sebentar, lalu melanjutkan dengan suara rawan. "Maklumlah sejak kecil Lamkiong Ling adalah anak laki-laki yang patuh dan tunduk kepada orang tua, tahu seluk- beluk kehidupan manusia, para Tianglo Pang kami sama menaruh harapan besar atas dirinya, karenanya amat mendalam dalam sanubari kami." Coh Liu-hiang menghela napas sambil manggut-manggut, batinnya: "Putra sendiri melakukan kesalahan jamak, kalau orang tuanya anggap orang lainlah yang menyebabkan anaknya terjeblos ke dalam jurang hina."

Didengarnya Cay Tok-hing melanjutkan "Terutama Ih-tianglo yang paling penasaran dan sangat haru, tak tahan lagi dia rebut Bok-hi itu terus dibantingnya sampai hancur berkeping- keping. Siapa tahu setelah Bok-hi pecah, dari dalamnya muncul sejilid buku tipis."

"Buku tipis?" tergerak hati Coh Liu-hiang. "Apa yang tercatat didalam buku itu?"

"Buku tipis itu disimpan begini rahasia, kalau bukan mencatat pelajaran ilmu Lwekang atau ilmu silat tinggi, pastilah mencatat sesuatu yang serba penting dan rahasia. sebetulnya Losiu dan lain-lain bukan orang yang suka melihat rahasia pribadi orang lain, sebetulnya kami sudah berkeputusan untuk tidak membukanya, tapi Ong-tianglo berpendapat, bukan mustahil rahasia yang tercatat didalam buku ini besar sangkut-pautnya dengan Kaypang kami, maka dia berkukuh untuk membuka dan dibaca."

"Maklumlah sejak berdirinya sampai turun-temurun ratusan tahun secara tradisi, Kaypang selalu mengutamakan kejujuran dan kebenaran apalagi mencuri lihat catatan pribadi orang lain. betapapun dipandang sebagai perbuatan yang kurang dapat dihargai." Oleh karena itu Cay Tok- hing harus berputar kayun dulu dengan cerita panjangnya untuk menjelaskan hal ini, sudah tentu Coh Liu-hiang mandah mengiakan saja.

Setelah menghabiskan secangkir arak pula, Cay Tok hing melanjutkan ceritanya: "Benar juga dalam buku tipis itu mencatat rahasia Bu Hoa selama hidupnya, sungguh Losiu tak habis mengerti kenapa dia sudi mencatat segala perbuatan rendah dan hina serta memalukan itu."

Coh Liu-hiang tersenyum, ujarnya: "Kalau Cianpwe merasa semua perbuatannya itu nista dan memalukan, Bu Hoa justru menganggap karya hidupnya yang paling gemilang, kalau toh dia tak bisa membeber rahasia dirinya, terpaksa dia catat seluruhnya, sebagai koleksi dan untuk bacaan dikelak dihari tua."

Cay Tok hing ikut tertawa, katanya: "Agaknya Maling romantis dapat menyelami jalan pikiran orang-orang jahat ini begitu mendalam, kau menyelidikinya tak heran betapapun licin licik dan nakal seseorang, sekali kebentur dengan Maling romantis, dia tak akan berdaya sama sekali."

Terpaksa Coh Liu-hiang berdiri dan menjura lagi, dengan rendah hati tanyanya: "Apakah diantara catatan Bu Hoa itu ada juga menyinggung pengalamannya di Sin cui kiong?"

"Ya, memang begitulah, oleh karena itu sengaja Losiu meluruk kemari untuk melaporkan hal ini kepadamu."

"Tidak berani... banyak terima kasih..."

Coh Liu-hiang ragu-ragu sebentar, lalu tanyanya: "Maksud Cianpwe apa hendak meminjamkan buku catatan itu untuk kubaca?"

"Sebetulnya Losiu ada maksud meminjamkan, tapi... Bu Hoa dijuluki Biau ceng, banyak keluarga besar dari kaum Bulim di Kangouw sama berlomba untuk mengundangnya ke rumah masing-masing sebagai suatu kebanggaan, maka... didalam buku catatan itu tercatat pula tidak sedikit rahasia pribadi anak gadis dari putri-putri bangsawan, tokoh-tokoh ternama, bila sampai rahasia ini tersiar entah berapa banyak keluarga-keluarga kenamaan dalam Bulim yang bakal pecah berantakan. berapa banyak gadis-gadis suci bakal bunuh diri saking malu, oleh karena itu Losiu sudah bakar habis buku yang kotor itu."

"Bagus, tindakan yang tepat."

"Tapi catatan mengenai Sin cui kiong sudah Losiu baca dengan teliti, karena mungkin hanya dialah laki-laki yang benar-benar pernah memasuki Sin cui kiong secara terang-terangan, maka apa yang dia catat tentunya jauh lebih bernilai dan patut dihargai."

"Wanpwe mohon penjelasan."

"Bu Hoa memang seorang yang pintar dan cerdik, bukan saja mengenal seni musik, seni lukis dan seni tulisan, lebih pandai pula berkhotbah, sampaipun im-kiong cu dari Sin cui kiong pun ada mendengar nama besarnya, perlu diketahui Im-kiong-cu adalah seorang pemeluk agama yang saleh.

"Hal ini wanpwe sudah pernah dengar orang bilang."

"Sin cui kiong cu mengundangnya untuk berkotbah bukan saja Bu Hoa merasa amat bangga, malah kebetulan pula sesuai dengan keinginannya, karena memang dia sudah mengincar Thian-it- siu cui."

"Untuk menamatkan jiwa seseorang, tanpa menimbulkan gejala-gejala keracunan, kecuali Thian-it-sin cui, dalam dunia ini tiada benda lainnya lagi."

"Tapi meski dia sudah masuk ke dalam Sin cui kiong, toh dia tak punya kesempatan untuk turun tangan, soalnya Im kongcu amat keras mengawasi murid-muridnya, bahwasanya dia tidak pernah punya kesempatan untuk bicara sepatah katapun kepada nona-nona itu."

"O?"

"Dan lagi Im kongcu tidak menahannya tinggal di Sin cui kiong, setiap hari setelah lohor, lantas mengundangnya masuk untuk berkhotbah selama satu jam, setelah selesai kotbahnya segera mengantarnya keluar lembah, ingin berhenti sedetik saja pun tak diperbolehkan."

Coh Liu-hiang menepekur, tanyanya: "Siapa saja orang-orang yang menjemput antar dia?" "Yang menjemput dan mengantarnya adalah empat murid perempuan Sin cui kiong ke empat

orang ini sama lain saling mengawasi, sebetulnya memang tiada kesempatan sedikitpun, sampai pun Bu Hoa sendiri itu waktu sudah putus asa, siapa nyana pada suatu hari, tiba-tiba dia melihat satu diantara ke empat nona-nona itu ada yang diam-diam mengerling tawa kepadanya."

"Tentunya nona inilah yang bernama Sutouw King?"

"Benar waktu itu diapun belum tahu bila nona ini bernama Sutouw King, cuma terasa olehnya kerlingan mata gadis cantik ini mengandung rasa manis mesra, seolah ada naksir kepada dirinya, sayang sekali mereka tak punya kesempatan untuk bicara."

"Orang semacam Bu Hoa, untuk main asmara dan memelet gadis tak perlu pakai bicara segala." ujar Coh Liu-hiang.

"Tapi kalau tiada kesempatan, betapapun dia tidak bisa turun tangan." "Orang seperti dia, sudah tentu selalu berusaha mencari kesempatan." "Ya, memang begitulah" ujar Cay Tok hing gemas. "Menurut catatannya, Sin cui kiong terletak didalam sebuah lembah gunung yang permai subur laksana permadani, bunga berkembang biak, laksana alam dunia tersendiri, diantara taburan kembang dan pepohonan yang teratur dan tumbuh rapi terawat baik itu tersebar bangunan gubuk-gubuk dan gardu-gardu indah, disanalah murid- murid Sin cui kiong bertempat tinggal."

Diam-diam Coh Liu-hiang berpikir: "Cerita Yong-ji ternyata tidak salah, tapi apa yang dikisahkan Liu Bu-bi, apa pula yang terjadi akan dirinya?"

"Di dalam lembah terdapat air terjun," demikian Cay Tok-hing meneruskan ceritanya, "air tumpah dari tempat ketinggian seperti naga yang menari ditengah udara, di bawah air terjun terdapat sebuah kubangan, ditengah tengah kubangan itu terdapat pula sebuah batu besar, disanalah tempat Bu Hoa berkotbah. Begitu masuk ke lembah, Bu Hoa langsung duduk diatas batu besar ini mulai berkotbah, habis berkotbah lantas berlalu, dasar cerdik setelah dia rencanakan dan pikir pulang pergi, terasa hanya pada batu besar ini saja dia bisa meninggalkan langkah-langkah tipu dayanya."

"Langkah tipu daya apa?"

"Batu besar ini memang licin dan mengkilap bagai kaca, pada suatu hari waktu dia masuk lembah sengaja dia menginjak tempat becek yang berlumut hijau maka begitu melangkah naik ke atas batu besar ini, kakinya lantas terpeleset jatuh." dengan gemas Cay Toh-hing melanjutkan, "Semua orang sama tahu Bu Hoa adalah murid Siaowlim yang tinggi kepandaiannya, kalau dikata berdiripun dia tidak bisa tegak, orang lain tentu tidak mau percaya, tapi setelah alas sepatunya koto kena lumpur dan lumut, sukarlah dikatakan apalagi dia sengaja merubah beberapa kali gerakan baru terperosok jatuh ke air, betapa pintar gerak-gerik badannya sampai Im kiong cu pun kena dia kelabui."
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar