Pendekar Pengejar Nyawa Jilid 37

Jilid 37

Li Giok-ham menarik napas panjang, katanya: "Selamanya aku tak bermusuhan tiada dendam kepadanya, bahwa aku harus membunuh dia, karena terdesak keadaan dan.."

"Kau ini sedang bicara? Atau sedang Kentut?"

Ternyata Li Giok-ham tidak marah, ujarnya menghela napas: "Banyak persoalannya, aku percaya kau pasti takkan bisa mengerti." "Banyak persoalan semula memang sukar kupikirkan penjelasannya, tapi lambat laun sekarang aku sudah mendapatkan gambarannya yang terang."

"O" Coba kau terangkan !" kata Li Giok-ham.

"Yang membuatnya bingung dan masih tak mengerti adalah kalau toh kalian sudah melepas aku kenapa pula ingin membunuh aku ?"

"Belakangan baru aku mengerti" kata Coh Liu-hiang lebih lanjut dengan tertawa. "Karena akhirnya aku sadar hakekatnya selama ini kau sendiri tidak pernah menolong aku!"

"Kau... " Liu Bu-bi ragu-ragu, "Masakah kau sudah lupa didalam lembah sesat tempat kediaman Ciok Koan im itu?"

Mendengar ucapan orang, Coh Liu-hiang lebih yakin, "Tidak salah." tukasnya: "Hari itu memang kenyataan kau membunuh banyak orang, tapi tujuanmu bukan untuk menolong aku, karena waktu itu akupun sudah mengejar keluar, kau tidak bunuh mereka, aku tetap bisa lolos!"

Liu Bu-bi menjengek dingin: "Kalau kau tidak sudi terima budi pertolongan, akupun tidak bisa memaksa kau."

"Walau kau tidak pernah menolong aku, aku tetap berterima kasih kepadamu karena bila kau tidak turun tangan, Kui-je-ong ayah beranak, Oh Thi-hoa dan Ki Ping-yan mungkin sudah benar benar mati oleh arak Ciok Koan-im."

"Ternyata kau belum melupakan peristiwa itu sungguh harus dipuji." olok Liu Bu-bi. "Sungguh tentu aku tidak akan lupa, karena selama ini aku sedang heran, setelah bertemu

dengan Soh Yong-yong ditengah jalan, baru kalian menyusup ke padang pasir, bagaimana mungkin begitu tiba di gurun pasir, dengan mudah kau lantas dapat menemukan tempat kediaman Ciok-Koan-im di lembah sesat itu? Bukan saja letak lembah sesat itu tersembunyi penuh dipasangi jebakan dan alat-alat rahasia, jarang diinjak manusia luar lagi, jalanan didalam lembahpun simpang siur gampang menyesatkan, namun kalian berlenggang dengan mudah pergi datang seperti berjalan di tanah datar bagai di dalam rumahnya sendiri, bukankah hal ini amat mengherankan?"

Oh Thi-hoa angkat pundaknya, timbrungnya: "Benar, mendengar uraianmu ini, akupun ikut heran juga."

"Dan lagi," kata Coh Liu-hiang lebih lanjut: "Kepandaian Ciok-koan-im menggunakan racun amat pandai, arak beracun buatannya sudah tentu orang tidak tahu, ramuan racun apa saja dan tak bisa memunahkannya, maka setelah dia melihat Oh Thi-hoa rebutan arak beracun dan menenggaknya habis dengan Ki Ping-yan, segera dia berlalu, karena dia beranggapan dalam dunia ini tiada seorang tokoh siapapun yang mampu menawarkan arak beracunnya itu, maka tanpa sangsi dia tinggal pergi."

Lalu dengan tajam dia menatap Liu Bu-bi, katanya kalem: "Tapi seenak kau membubuhi obat kepada si pasien yang sudah kau ketahui penyakitnya saja kau memunahkan kadar racun yang mengeram dalam tubuh teman temanku itu, bukankah hal ini jauh lebih mengherankan?"

"Benar." kata Oh Thi-hoa angkat kedua tangan. "Kalau dia tidak tahu kadar racun apa yang tercampur dalam arak Ciok-koan-im, cara bagaimana dia bisa mengobati kami berempat dengan mudahnya?"

Jari-jari Liu Bu-bi yang putih halus dan runcing itu sedang meremas ujung bajunya, katanya: "Kedua kejadian itu, apakah kaupun sudah dapat memecahkannya?" Coh Liu-hiang tertawa tawar, katanya: "Meskipun kedua kejadian ini sulit diterangkan, namun kalian sendiri yang meninggalkan gejala-gejala yang kurang sempurna dan teliti, kalau bukan lantaran kedua peristiwa itu, mungkin selamanya aku tidak akan menebak tepat asal-usulmu yang sebenarnya."

Jari-jari Liu Bu-bi yang putih menjadi semakin putih dan pucat karena tenaga meremas ujung bajunya terlalu keras, malah kedua lengannya itu tampak gemetar semakin keras, katanya: "Kau... sekarang kau sudah tahu siapa sebenarnya aku ini?"

"Ingin aku bertanya dulu kepadamu, seseorang bila dia belum pernah berada didalam lembah kediaman Ciok-koan-im itu, apakah dia bisa pergi datang seenaknya?"

Liu Bu-bi menggigit bibir, sahutnya kemudian: "Tidak bisa."

"Seseorang bila dia tidak tahu racun macam apa yang ditaruh dalam arak Ciok-koan-im itu, mungkinkah dia bisa menawarkan kadar racunnya?"

"Tidak mungkin."

"Jikalau bukan orang kepercayaan Ciok-koan-im yang terdekat, terang tak mungkin bisa tahu jalan rahasia keluar masuk dari lembah sesat itu, maka diapun takkan tahu dosis racun yang tercampur didalam arak itu, benar tidak?"

Mendadak Liu Bu-bi tertawa terloroh-loroh. Agaknya dia sudah tidak bisa kendalikan emosinya sendiri, seperti orang linglung dia terloroh-loroh terus tak berhenti.

Akhirnya Oh Thi-hoa bertanya: "Dia... memangnya siapakah dia sebenarnya?"

Coh Liu-hiang menghirup hawa segar, katanya sepatah demi sepatah: "Masakah kau belum paham bahwa dia adalah murid kesayangan Ciok-koan-im?"

Liu Bu-bi ternyata adalah murid didik Ciok-koan-im. Sudah tentu penjelasan ini membikin Oh Thi-hoa terperanjat.

Sebaliknya, rona muka Li Giok-ham berubah hebat, bentaknya beringas: "Jikalau dia benar muridnya Ciok-koan-im, kenapa sesama saudara seperguruannya dia bunuh seluruhnya?"

Coh Liu-hiang tertawa dingin, ejeknya: "Kalau Ciok-koan-im sudah berangan-angan hendak menjadi ratu dinegri Kui-je, kalau dia membawa para muridnya yang sekian banyak jumlahnya, bukankah terlalu berabe dan membebani pundaknya?"

"Kau... kau kira Ciok-koan-im yang menghendaki dia membunuh semua saudara seperguruannya itu?"

"Ya, begitulah kejadiannya." Sahut Coh Liu-hiang.

"Lantaran orang-orang itu tidak pernah menyangka dia bakal turun tangan secara keji, maka mereka tiada satupun yang siaga, kalau tidak dengan tenaganya seorang, masakah dia dalam waktu sesingkat itu bisa membunuh sedemikan banyak orang?"

"Kalau demikian, jadi kau beranggapan lantaran dia murid didik kepercayaan Ciok-koan-im, maka dia bermaksud membunuhmu?" "Kecuali itu, agaknya sulit mencari alasan lain untuk menjelaskan persoalan ini." "Lalu bagaimana dengan aku?" tanya Li Giok-ham.

"Mungkin kaupun tertipu oleh dia, kau diperalat tanpa kau sadari. Kemungkinan dia adalah utusan Ciok-koan-im yang dipendam di Kanglam, maka dia sudi menikah dengan kau dengan embel-embel nyonya muda dari Yong-cui-san-cheng sebagai tameng, paling baik untuk menyembunyikan diri."

Tanya Li Giok-ham: "Kalau benar dia komplotan Ciok-koan-im yang setia, kenapa pula dia mau menolong Oh Thi-hoa dan lain-lain dari keracunan arak itu?"

"Karena waktu itu aku sudah membunuh Ciok-koan-im, melihat gelagat jelek dan tidak menguntungkan dirinya, maka terpaksa dia menolongnya, maksudnya dia supaya kelak dia bisa mengatur jalan mundur, yang terang kalau Oh Thi-hoa dan lain-lain mampus toh tiada manfaatnya bagi dirinya."

Li Giok-ham mendadak tertawa gelak-gelak! Nada tawanya mengandung penasaran dan gusar, seolah banyak penasaran yang tidak lampias. "Coh Liu-hiang, Coh Liu-hiang, kau memang terlalu pintar, namun sayang kau keblinger oleh kepintaranmu sendiri."

"Memangnya uraianku barusan salah?"

"Sudah tentu apa yang kau uraikan tidak salah, apa yang diketahui oleh Coh Liu-hiang yang serba pintar masakah bisa salah? Sekarang apapun yang kau katakan yang terang sudah tiada hubungannya sama sekali."

Sorot matanya seolah-olah hendak menyemburkan api, suaranya mirip gerungan gusar: "Karena sekarang kau jelas akan mati kalau tidak segera aku bunuh kalian."

"Apa kau sudah gila?" seru Oh Thi-hoa kaget.

"Benar, memang aku sudah gila tapi bila kau menjadi aku, kau akan lebih gila lagi." jari-jarinya gemetar sembarang waktu tombol kotak Bau hi li hoa ting itu kemungkinan tersentuh, kalau orang lain masakah berani adu mulut dan menyindirnya dengan pedas.

Tapi Oh Thi-hoa justru tidak peduli, teriaknya: "Sampai detik ini kau masih ingin melindungi dia?"

"Sudah tentu." sahut Li Giok-ham kalap.

"Sampai detik ini, kau masih belum percaya bila binimu ini adalah murid kepercayaan Ciok- koan-im?"

Sebetulnya Liu Bu-bi sudah tunduk kepala, tiba-tiba dia angkat kepala dan berseru beringas: "Benar, memang aku adalah murid Ciok-koan-im tapi sejak mula aku tidak pernah mengelabui dan merahasiakan diriku kepadanya!"

Oh Thi-hoa melongo, katanya menatap Li Giok-ham: "Jadi kau sudah tahu bila dia adalah murid Ciok-koan-im yang dipendam di Kang-lam sebagai mata-mata, namun kau tetap mempersunting dia sebagai istrimu, kecuali dia memangnya perempuan dalam dunia ini sudah mampus seluruhnya?" Dengan kencang Liu Bu-bi pegang tangan Li Giok-ham, dia tidak membiarkan orang bicara lagi. Namun tangannya sudah gemetar, katanya: "Segala caci maki yang paling kotor dan keji sudah kalian lontarkan kepada kami, bolehkah beri kesempatan untuk aku bicara, secara terbuka." "Cayhe sedang pasang kuping." ujar Coh Liu-hiang tersenyum.

"Diantara murid-murid yang dididik Ciok-koan-im, hanya aku dan Ki Bu-yong yang dipungutnya sejak kecil, jadi kami tumbuh dewasa disampingnya, kami berdua sama-sama anak yatim piatu, malah siapa-siapa nama ayah bunda kamipun tak tahu, semula beliau ada memberi nama kepadaku, setelah aku berada di sini, baru aku merubah she Liu dan bernama Bu-bi."

"Jadi nama Ki Bu-yong juga dirubah setelah roman mukanya itu dirusak?" tanya Coh Liu-hiang.

"Benar, semula dia bernama Bu-su "tiada maksud" dan aku bernama Bu-gi "tak terkenang"." Coh Liu-hiang menghela napas gumannya: "Bu-su, Bu-gi, Bu-hoa... ai!"

"Walau dia ingin supaya kami Bu-su, Bu-gi, betapapun kami ini manusia yang berdarah  daging, setiap orang setelah menanjak dewasa pasti dia akan terkenang ayah bundanya. Sudah tentu kamipun tidak ketinggalan apa boleh buat beliau setuju merahasiakan dan tak mau mencari tahu siapa ayah bunda kami sesungguhnya, setiap kali kami menyinggung hal ini, dia lantas marah dan uring-uringan."

"Bagaimana tindakannya terhadap para murid didiknya, aku sedikit pernah menyaksikannya." ujar Coh Liu-hiang.

"Tapi dia terlalu baik terhadap aku dan Ki Bu-yong, cuma watak Ki Bu-yong lebih pendiam dan suka menyendiri, berhati keras lagi. Sudah tentu sifatnya yang lugu itu tidak bisa mengambil hati gurunya, aku sebaliknya lebih..."

Dengan tertawa dingin, Oh Thi-hoa menukas: "Kau lebih pintar menepuk pantatnya minta aleman, hal ini tak perlu kau jelaskan karena aku sudah tahu."

Bahwasanya Liu Bu-bi tidak hiraukan ocehannya, katanya lebih lanjut: "Dalam pandangan orang lain, Ciok-koan-im seolah-olah benar-benar dibuat dari ukiran-ukiran batu, namun justru ia seorang manusia, orang yang punya darah dan daging, maka iapun memiliki sifat sifat lemah dari manusia umumnya."

"O?" Coh Liu-hiang bersuara heran.

"Ada kalanya, diapun merasa hambar, risau dan rawan, kesepian dan tersiksa dalam keadaan seperti itu, maka diapun meminjam arak untuk melampiaskan kedukaan hatinya, malah sering minum sampai mabuk dan tak sadarkan diri."

Oh Thi-hoa tertawa geli, ujarnya: "Tak nyana Ciok-koan-im ternyata punya hobby yang sama dengan aku."

"Lantaran hubunganku lebih dekat sama dia, maka sering dia minta aku menemani dia minum arak, pada suatu hari diapun mabuk-mabuk lagi, dalam mabuknya itu dia membuka sebuah rahasia kepada diriku."

"Rahasia apa?" tanya Coh Liu-hiang.

"Hari itu semalam suntuk kami minum arak, menjelang pagi saking mabuk kepalanya sudah lemas, matanyapun menjublek, tiba-tiba dia memberitahu kepadaku, ayah bunda Ki Bu-yong adalah dia yang membunuhnya." Terkesima Coh Liu-hiang dibuatnya, katanya: "Apakah karena dia hendak menerima Ki Bu- yong sebagai muridnya, maka dia bunuh kedua orang tuanya?"

"Ya, memang begitulah." sahut Liu Bu-bi karena amat terpengaruh oleh perasaannya, suaranya sampai serak, setelah merenung sekian lamanya lalu dia meneruskan: "Mendengar ucapannya, sudah tentu kejutku bukan main, takut lagi, waktu itu terpikir olehku, kalau ayah bunda Ki Bu-yong dibunuh oleh dia, apakah ayah bundakupun dibunuhnya juga?"

Sampai di sini Oh Thi-hoa ikut tegang dan ketarik, tanyanya: "Kenapa tidak kau tanya dia, waktu dia masih mabuk?"

"Sudah tentu kutanyakan, namun dia bilang, riwayat hidupku berlainan dengan Ki Bu-yong, aku adalah bayi buangan, dia sendiripun tidak tahu siapa ayah bundaku, waktu kutanya dia lagi, mendadak dia merangkulku dan menangis gerung-gerung, dikatakan dia seorang diri sebatang kara, tiada sanak tiada kadang, maka sejak kecil dia pandang aku sebagai anak kandungnya sendiri."

"Karena tangisnya itu maka kau lantas percaya begitu saja?" timbrung Oh Thi-hoa pula.

Liu Bu-bi kucek-kucek matanya, katanya: "Meski aku tak percaya namun sulit aku mencari bukti, sudah tentu akupun tidak berani membocorkan rahasia ini kepada Ki Bu-yong karena bila hal ini kuberitahu kepada dia, berarti aku mencelakai jiwanya."

"Benar, ujar Coh Liu-hiang, jikalau Ciok-koan-im tahu Ki Bu-yong sudah tahu akan rahasia ini, dia pasti tak akan membiarkan muridnya itu hidup lebih lama."

"Sejak malam itu, lahirnya aku tetap seperti dulu, namun batinku sudah jauh berubah tak mungkin aku bergaul intim dengan dia seperti dulu." sampai disini Liu Bu-bi menghela napas, lalu melanjutkan: "Perubahan Ki Bu-yong justru lebih besar dan menyolok dari aku, begitu usianya menanjak dewasa semakin lama sikapnya semakin dingin dan menjauhi Ciok-koan-im. Seumpama sekuntum kembang yang tumbuh ditengah udara, kelihatannya selalu dingin, begitu agung, sedih dan menawan hati, begitu cantik lagi. Meski aku ini seorang perempuan sampai akupun merasakan dia teramat cantik, begitu rupawan sampai sanubariku tak berani menyentuhnya, sudah tentu tidak berani aku membuka tabir rahasia itu."

Oh Thi-hoa menghela napas, katanya: "Sayang sekali kita tidak bisa menikmati roman mukanya yang cantik itu."

"Memang kasihan, takdir memang sudah tentukan nasib seseorang... aku sungguh tidak pernah menduga bahwa Ciok-koan-im merusak wajahnya nan ayu itu!"

"Kau juga tahu bila Ciok-koan-im lah yang merusak wajahnya?" tanya Oh Thi-hoa.

"Aku tahu." sahutnya kertak gigi: "Setelah tahu akan kejadian ini maka aku insaf akupun tak bisa lama-lama berada disamping Ciok-koan-im, meskipun berulang kali dia sudah berpesan wanti-wanti kepadaku, katanya dia takkan menggunakan kekerasan terhadapku, tapi dalam pandanganku, ia sudah berubah seperti ular beracun, cukup selintas pandang saja, aku sudah tidak tahan lagi."

Bercahaya sorot mata Coh Liu-hiang, katanya: "Memangnya kau melarikan diri?" "Aku bukan lari, kalau aku ingin lari, maka jiwaku takkan hidup sampai sekarang." "Jadi kau. "

"Aku cuma bilang, aku sekarang sudah dewasa, sudah tiba waktunya keluar melihat dunia dan cari pengalaman, sejak melihat dunia dan tumbuh dewasa ditengah gurun pasir yang serba gersang dan tersembunyi dalam lembah sesat itu, bagaimana keadaan dunia luar sedikitpun tidak tahu, maka aku mohon beliau suka memberi kesempatan aku keluar."

"Apa yang dia katakan?" tanya Coh Liu-hiang.

"Dia tidak berkata apa-apa, dia cuma tanya aku, kapan aku akan pergi?" "Bagaimana jawabmu?"

"Waktu itu aku sudah tidak sabar lagi, seharipun rasanya sudah tidak betah lagi tinggal disana, maka segera aku jawab: lebih baik besok pagi."

"Apa dia terus menerima dan memberi ijin kepadamu begitu saja?"

"Mendengar permohonanku, lama dia termenung, mendadak berkata: Baik, malam ini aku adakan perjamuan untuk memperingati keberangkatanmu. Aku sendiri tidak duga begitu lekas dan gampang dia mau melulusi permintaanku, keruan bukan kepalang senang hatiku."

"Ku kira terlalu pagi kau merasa senang." ujar Coh Liu-hiang.

"Malam itu juga dia betul-betul menyiapkan sebuah perjamuan untuk mengantar kepergianku, aku betapapun diasuh dan dibesarkan dia, teringat besok juga akan berpisah, hatiku merasa berat dan sedih juga, teringat orang begitu gampang memberi ijin dirinya untuk pergi, tak urung hati amat haru dan terima kasih sekali. Maka malam itu aku temani dia minum arak sebanyak- banyaknya."

Mendengar sampai di sini, lapat-lapat Oh Thi-hoa sudah meraba tujuan jahat dari kata-katanya itu, mau tidak mau dia ikut tegang juga bagi keselamatannya, tak tahan dia bertanya pula: "Bagaimana keesokan harinya?"

Muka Liu Bu-bi tidak menunjukkan perasaan hatinya, katanya tawar: "Hari kedua, dia mengantar aku sampai di mulut lembah, dia lepas aku pergi."

Oh Thi-hoa melongo, katanya: "Begitu saja dia mau melepas kau pergi?"

Kembali Liu Bu-bi menepekur rada lama, meski rona mukanya tidak menunjukkan mimik hatinya, namun kulit mukanya begitu pucat seperti mayat hidup, sorot matanya justru memancarkan kebencian yang berlimpah-limpah katanya dengan tegas: "Begitulah dia melepaskan aku pergi, karena sebelumnya dia sudah perhitungkan aku pasti akan kembali lagi."

"Kembali, harus kembali lagi?" tanya Oh Thi-hoa.

"Belum lima ratus li aku menempuh perjalanan, segera terasa perutku sakit sekali seperti disayat sayat, seolah-olah banyak ular-ular kecil menggerogoti perutku."

Seketika merinding sekujur badan Oh Thi-hoa, katanya: "Arak. arak itu beracun?"

Liu Bu-bi kertak gigi, sahutnya mendesis: "Benar. dalam arak ada racun, maka dia sudah perhitungkan, aku pasti akan merangkak balik, minta pengampunan dan obat pemunahnya, kalau tidak aku akan mampus ditengah gurun pasir, tanpa ada orang yang mengubur mayatku." Oh Thi-hoa seketika naik pitam, serunya: "Kalau dia sudah melulusi permintaanmu dan mengantar kau pergi, kenapa dia mencampur racun dalam arak itu?"

"Karena dia ingin supaya aku tahu akan kelihaiannya, supaya selama hayatku tidak berani membangkang dan durhaka kepadanya, supaya aku berlutut dan menyembah mohon ampun kepadanya... karena dia amat suka melihat orang menyembah dan meratap diujung kakinya."

Oh Thi-hoa menarik napas panjang, gumamnya: "Untung manusia sekeji itu kini sudah mampus."

Berkata Liu Bu-bi lebih lanjut: "Meski rencananya rapi, perbuatannya keji tapi dia lupa akan satu hal."

"Lupa apanya?", tanya Oh Thi-hoa.

"Dia lupa diwaktu dia mabuk, banyak rahasia yang pernah dia beritahu kepadaku."

"Dia memberitahu cara memunahkan racunnya kepadamu?" "Aku ini muridnya sudah tentu aku ikut mempelajari, cara menggunakan racun dan cara memunahkannya, kalau tidak mungkin kau pun takkan hidup sampai sekarang."

Oh Thi-hoa menyengir sambil mengelus hidungnya tanpa bicara lagi.

Maka berkatalah Coh Liu-hiang: "Tapi racun yang dia gunakan terhadap kau pastilah kadar racun yang belum pernah dia turunkan kepadamu, hakikatnya kau sendiri tak tahu racun apa yang dia taruh dalam arak yang kau minum, cara bagaimana kau bisa memunahkannya?"

"Aku mengerti akan hal ini, tapi pernah ia memberitahu kepadaku daun gania bukan saja dapat membuat seseorang terperosok ke dunia nista, ada kalanyapun dia ada manfaatnya untuk mencegah rasa sakit, karena dia bisa bikin manusia matirasa, dan tenggelam dalam kenikmatan hakikatnya orang yang sudah menggunakan obat ini, akan lupa dirinya, maka sejak mula, diam- diam aku sudah mencuri sekotak ganja itu, yang kubuat menjadi bubuk putih yang halus jadi sudah lama aku selalu siaga bila diriku diracun olehnya."

"Tapi bila seseorang setiap hari selalu tenggelam dalam pati rasa dan lupa daratan betapa kehidupannya tidak seperti mati?"

"Sudah tentu aku tahu menggunakan obat ganja untuk mencegah sakit, sama seseorang yang sudah ketagihan, candu, dan tak mungkin bisa memutus kebiasaannya itu. Tapi waktu itu sungguh aku tidak kuat lagi, menahan derita apalagi meski mati, aku bersumpah tidak sudi kembali, mohon ampun kepadanya apalagi menjadi budaknya seumur hidup."

"Maka kau lantas diperbudak oleh obat-obat ganja itu?" kata Coh Liu-hiang.

Liu Bu-bi tunduk diam, malu rasanya bila orang lain melihat mukanya. Karena derita membuat kulit dagingnya kejang berkerut kemerut.

Tampak Soh Yon-yong, Li Ang-siu, Song Thiam-ji bercucuran air mata, demikian juga muka Mutiara hitam menampilkan rasa pedih dan duka. Memang sesama perempuan kadang kala sukar menjadi sahabat karib, tapi betapa pun perempuan merasa iba dan simpatik terhadap sesama jenisnya, karena mereka berpendapat asal dia perempuan, maka dia patut dikasihani. Soh Yong-yong menghela napas, katanya: "Selama beberapa tahun ini hidupmu tentu menderita."

"Kalau demikian," kata Oh Thi-hoa, "Malam itu waktu didalam penginapan kau menjerit dan merintih menahan kesakitan, lantaran kadar racun dalam tubuhmu kumat, jadi bukan pura-pura belaka?"

"Dulu setiap kali penyakitku ini kumat, cukup asal aku menelan sedikit bubuk obat ganja, rasa sakitku segera lenyap. Tapi belakangan ini, meski aku menelan dua lipat obat bubuk itu lebih banyak, rasa sakitnya tidak hilang dan obat itu sudah tak manjur lagi."

"Ya, bukan lantaran obat bubuk ganja itu sudah kehilangan khasiatnya, adalah karena ragamu sudah mulai kebal dan tak mempan terhadap obat bubuk itu lagi, seumpama seseorang yang sudah kumat arak, semakin lama arak yang kau minum semakin banyak."

"Sedikitpun tidak salah." tukas Oh Thi-hoa. "Dulu cukup dua cangkir saja arak tertuang ke dalam perutku, badan terasa enteng seperti hendak terbang, segala kerisauan hati terlupakan semua, tapi sekarang umpama menghabiskan tiga sampai lima kati arak yang paling keraspun, rasanya seperti belum minum."

Tak tahan Coh Liu-hiang tertawa-tawa, dia tahu bagi seorang penggemar arak, bila ada kesempatan pasti suka mengagulkan diri akan takaran minumnya yang luar biasa, terdengar Oh Thi-hoa berkata pula: "Kalau malam itu benar kau memang sedang kumat penyakitmu, lalu siapakah yang membokong kami dengan Bau hi li hoa ting?"

Liu Bu-bi berdiam lagi, lalu sahutnya tawar: "Aku juga!"

Oh Thi-hoa melongo, katanya: "Jelas kudengar suaramu yang sedang sedang sekarat didalam kamar, mana mungkin kau bisa keluar membokong kami? Kau... tentunya kau tidak menggunakan ilmu sesat bukan?"

"Obat ganja itu sudah tidak begitu manjur seperti dulu untuk mencegah sakit, tapi masa kerjanyapun tidak terlalu lama, begitu mendengar suara kalian sudah keluar dari pekarangan, segera kusuruh seorang pelayanku pura-pura merintih seperti aku, setiap orang bila merintih kesakitan suaranya tentu berubah, umpama kalian merasakan perbedaan suaraku itu, toh tidak akan curiga."

"Lalu kau buang alat Bau hi li hoa ting didalam hutan, maksudmu supaya tidak konangan oleh kami?" tanya Oh Thi-hoa.

Liu Bu-bi mengangguk sambil mengiakan.

"Bahwasanya kalianpun tidak pergi mencari Cianpwe tujuh jari itu, karena dalam dunia ini hakikatnya tak pernah ada seorang seperti yang kau sebutkan itu?"

Liu Bu-bi tertawa, katanya: "Bukan saja tiada orang seperti itu, sampaipun paman Hiong yang kusebut itupun embel-embel saja."

"Kalian sengaja bilang hendak mencari orang, karena kalian sudah merogoh kantong mengeluarkan dua puluh laksa tahil perak untuk membeli seorang pembunuh, diwaktu dia melakukan pembunuhan, kalian kebetulan tiada ditempat, kalau tidak kalianpun tidak perlu mencari dia."

"Ya, memang begitulah kejadiannya." "Siapa tahu pembunuh itu justru teringkus oleh Coh Liu-hiang, kuatir dia membocorkan rahasia, maka kalian lantas membunuhnya."

"Sedikitpun tidak salah."

Mengawasi Coh Liu-hiang, Oh Thi-hoa tertawa getir, katanya: "Baru sekarang aku benar-benar sadar dan kagum pada kau, segala ramalanmu ternyata cocok seluruhnya."

Muka Liu Bu-bi seketika menampilkan rasa heran, tanyanya: "Kejadian itu, apakah sebelumnya sudah kau ketahui?"

"Tapi sulit aku mengerti kenapa kau hendak membunuh aku?" ujar Coh Liu-hiang. "Kalau kau bukan membalas dendam bagi kematian Ciok-koan-im, memangnya karena apa?"

Kembali Liu Bu-bi berdiam diri cukup lama, sahutnya kemudian: "Aku demi diriku sendiri." "Kau sendiri?" seru Coh Liu-hiang melengak.

"Apakah kau sendiri ada permusuhan dengan aku?"

"Aku tidak punya dendam tiada permusuhan dengan kau, tapi bila kau tidak mati, maka akulah yang mampus."

"Kenapa?" semakin tak mengerti Coh Liu-hiang dibuatnya.

"Beberapa tahun belakangan ini, penyakitku semakin sering kumat, malah jaraknya semakin dekat, maka obat ganja yang kuperlukanpun semakin banyak, sekotak yang kubawa keluar itu sudah habis, jadi aku harus membeli di kalangan Kang-ouw. betapa sulit mendapatkan bahan- bahan yang kuperlukan ini, aku insaf kalau keadaan berlarut semakin lama, meski aku tidak mati lantaran racun Ciok-koan-im, akhirnya aku akan mampus karena terlalu banyak makan obat ganja serta keracunan pula."

"Ya, memang begitulah akhirnya." kata Coh Liu-hiang.

"Aku sendiri menderita dan tersiksa sih tidak menjadi soal, tapi... tapi aku tidak tega menyeret dia ikut tersiksa, karena penyakitku ini, untuk mencari obat ganja, entah berapa banyak uang yang sudah dia keluarkan, betapa dia ikut menderita."

Muka Li Giok-ham pucat lesi, katanya kertak gigi: "Tak usah kau bicarakan hal itu lagi." "Urusan sudah terlanjur sedemikian jauh." demikian kata Liu Bu-bi: "Aku harus membeber

semua kejadian ini..."

"Memang harus dan pantas kau beber seluruhnya" timbrung Oh Thi-hoa.

"Menurut apa yang ku tahu, selama hidup Ciok-koan-im dia hanya takut terhadap seseorang, dia pernah bilang, orang ini boleh dikata adalah musuh bebuyutannya yang selalu merupakan lawan mematikan dari segala kemampuannya, seluruh kepandaiannya takkan mempan dan tak berguna sepeserpun untuk menghadapi orang yang satu ini!"

"Oh!" Oh Thi-hoa bersuara dalam tenggorokan: "Apa benar dalam dunia ini ada tokoh macam itu? Siapa dia?" Liu Bu-bi tidak menjawab pertanyaan, katanya lebih lanjut: "Maka aku lantas berpikir, kemungkinan orang ini bisa memunahkan racun Ciok-koan-im yang mengeram dalam badanku."

"Ya, diwaktu kau tahu dirimu sudah keracunan, seharusnya kau langsung pergi mencari dia." kata Oh Thi-hoa.

"Mesti sudah lama keinginanku mencari dia tapi selama itu aku tidak berani." "Apa yang kau takuti?"

"Karena bukan saja dia merupakan tokoh kosen yang berkepandaian silat paling tinggi diseluruh jagat ini, diapun orang yang amat menakutkan, wataknya sukar diraba, senang marah tidak menentu, bukan saja tidak mau membedakan benar salah, diapun tidak peduli jahat dan bajik, asal dia senang, apapun dapat dia lakukan, membunuh jiwa seseorang dalam pandangannya seperti memites seekor semut belaka!."

"Orang sebrutal ini, aku toh ingin menempurnya." kata Oh Thi-hoa.

Liu Bu-bi melerok kepadanya, sorot matanya menunjukkan penghinaan, seperti berkata: "Mengandalkan kepandaianmu Oh Thi-hoa saja, meski selaksa jumlahnya juga jangan harap kuat melawannya." tapi dia tidak utarakan isi hatinya, katanya kemudian dengan menghela napas: "Walau aku takut menemui dia, namun keadaan semakin mendesak aku untuk pergi kesana."

Tak tahan Oh Thi-hoa menyela lagi: "Sebetulnya kau sudah berhasil menemui dia belum?" "Sudah!"

"Apa dia mampu mengobati penyakitmu?"

"Sudah tentu dia bisa, cuma dia mengajukan syarat." "Syarat apa?"

"Syaratnya sepele saja, dia minta sesuatu benda dari aku."

Oh Thi-hoa mulai tegang, lapat-lapat dia sudah meraba syarat apa yang diminta oleh orang aneh itu. Tapi tak tahan dia bertanya juga: "Barang apa yang dia minta?"

"Yang diminta adalah batok kepala Coh Liu-hiang."

Sudah tentu semua orang sama tertegun mendengar penjelasan ini. Lama juga suasana  dalam bui di bawah tanah itu sunyi senyap. Akhirnya Oh Thi-hoa pula yang membuka suara sambil mengawasi Coh Liu-hiang: "Apakah otakmu merupakan barang mestika yang tak ternilai hargnya, kenapa begitu banyak orang yang menginginkan batok kepalamu?"

"Dengan kau, aku tidak bermusuhan tiada dendam, sebetulnya aku tidak tega dan sudi melakukan perbuatan sekeji ini untuk membunuh kau, tapi orang itu bilang, racun yang mengeram dalam tubuhku sudah berakar, paling lama bisa bertahan tiga bulan lagi, dalam tiga bulan ini jikalau aku tidak berhasil menyerahkan kepalamu kepadanya, dianjurkan supaya aku lekas mempersiapkan diri untuk ajal."

Tanpa sadar Coh Liu-hiang kucek-kucek hidung, katanya: "Sekarang sudah berapa lama?" "Sudah dua bulan." "Apakah omongan orang itu dapat dipercaya?"

"Jikalau kau tahu siapa dia, kau tak curiga akan ucapannya."

"Aku sih tak menduga, ternyata kau toh perempuan yang takut mati juga." demikian olok Oh Thi-hoa.

Bercucuran air mata Liu Bu-bi, katanya sesenggukan: "Aku tidak takut mati, aku hanya... hanya..."

"Hanya apa?" desak Oh Thi-hoa.

Dengan suara serak Li Giok-ham menyela pula: "Hanya karena aku, dia tidak tega pergi meninggalkan aku seorang diri, tentunya kau sudah paham bukan?"

"Aku sudah ngerti." ujar Coh Liu-hiang.

"Tentunya kau pun sudah tahu, bahwasanya dia bukan mata-mata dari siapapun. bahwa dia bukan mata-mata Ciok-koan-im seperti yang kau duga dia hendak merenggut nyawamu lantaran dia harus mempertahankan hidup."

"Manusia hidup kalau bukan demi pribadi sendiri dia akan kualat, untuk ini aku tidak menyalahkan dia. Apa yang dia lakukan dan perjuangkan memang pantas dan jamak."

Agaknya Li Giok-ham tidak menduga Coh Liu-hiang bakal mengeluarkan kata-kata ini, katanya kemudian setelah terlongong: "Kalau demikian sukalah kau memberi kesempatan kepadanya untuk melaksanakan keinginannya."

"Tadi sudah kukatakan, manusia hidup bukan demi diri sendiri dia akan kualat, meski aku ingin membantu dia, tapi paling tidak aku harus pikirkan dulu kepentinganku juga." dengan tajam ia awasi Li Giok-ham, maka lalu menambahkan dengan tertawa: "Jikalau kau diminta memenggal kepalamu sendiri untuk membantu orang lain, kau mau tidak?"

Muka Li Giok-ham yang pucat seketika merah padam, serunya kasar: "Tapi bantuan ini tidak bisa tidak harus kau lakukan."

"O? Apa ya?"

"Jikalau kau tidak mau mampus, biar kelima temanmu ini menebus kematianmu, tentunya kau tidak tega melihat kelima temanmu ini mampus gara-gara kau bukan?"

"Jikalau kau bunuh mereka, kalian suami istri..."

"Yang terang kami suami istri sudah tidak ingin hidup lagi."

"Agaknya kau ini memang romantis dan kukuh, demi Bini sendiri tak segan-segan kau melakukan perbuatan terkutuk apapun... tapi kenapa tak langsung saja kau gunakan Bau hi li hoa ting di tanganmu itu untuk membunuh aku?"

Li Giok-ham kertak gigi, serunya sumbang: "Aku tidak yakin berhasil membunuh kau, sekarang merupakan pertaruhanku yang terakhir kali, aku tidak mau main-main dengan taruhanku ini."

"Sedikitnya ucapanmu ini terhitung jujur." "Sampai di sini saja ucapanku, tak berguna kau mengulur waktu biar aku memberi kesempatan terakhir kepadamu untuk berpikir, setelah aku menghitung lima, kalau kau tidak mampus biar mereka yang gugur!"

Coh Liu-hiang geleng-geleng kepala, gumamnya: "Lima hitungan? Kenapa tidak tiga hitungan saja? Bukankah lebih pendek lebih tegang dan menusuk perasaan?"

Dengan muka membesi Li Giok-ham mulai hitungannya: "Satu..." karena tegang dan dihayati emosi suaranya kedengaran serak, dua kali mulutnya bergerak baru hitungan "Satu" terucap karena dia tahu jikalau Coh Liu-hiang tidak mau mati, meski Oh Thi-hoa, Soh Yong-yong, Li Ang- siu, Song Thiam-ji dan Mutiara hitam mampus, mereka suami istripun takkan bisa hidup lebih lama lagi.

Sikap dan mimik Coh Liu-hiang tetap tenang, seperti tidak rela atau mau jiwanya harus dikorbankan begitu saja.

"Dua!" dengan suara serak Li Giok-ham menambah satu hitungan lagi.

Ternyata Coh Liu-hiang tetap berdiri adem ayem sambil menggendong kedua tangannya, mulutnya menyungging senyuman malah.

Sungguh Li Giok-ham tak sudi melihat senyumnya, terpaksa dia melotot kepada Soh Yong- yong dan lain-lain, sudah tentu diapun tahu tiada seorangpun dari mereka yang mau bilang: "Coh Liu-hiang, lekas kau mampus saja! Biar kami yang bertahan hidup, kami adalah orang-orang yang terdesak oleh kau, jikalau kau sudi mati demi kami, seluruh orang dalam dunia ini akan memuja dan menyanjung dirimu."

Tapi Li Giok-hampun tidak mengharap mereka bilang demikian, dia menganggap mereka bilang: "Coh Liu-hiang sekali-kali kau tidak boleh mati! Biarlah kami yang mati! Kami orang-orang awam yang tiada berguna hidup dalam dunia fana ini, matipun tidak menjadi soal."

Lebih besar mereka harapannya bilang: "Dapat mati demi kau, kami akan mati dengan meram dan terhibur di alam baka, semoga kau tidak melupakan kami, setiap musim semi pada tanggal kematian kami, sulutlah dupa di depan pusara kami, kami sudah puas dan tentram."

Karena Li Giok-ham tahu bila mereka mengucapkan kata-kata ini, maka terciptalah suatu suasana kepedihan, kegagahan dan ketukan jiwa yang memilukan. Diapun tahu Coh Liu-hiang sesuai dengan julukannya sebagai Maling romantis, pasti hatinya akan terketuk oleh bujukan kata- kata ini dan berkobar serta mendidih darahnya, sehingga tak bis mengendalikan emosi sendiri.

Dikala itu umpama dia tak mau mati, maka dia suami istri pasti akan mampus.

Tapi kenyataan Soh Yong-yong dan lain-lain tetap bungkam, mereka berdiri tetap tak bergerak ditempat masing-masing, menunggu dengan tenang, bukan saja tidak tegang, sedih juga tidak.

Keruan kejut heran dan putus asa Li Giok-ham dibuatnya, kenyataan orang-orang ini tidak terpengaruh oleh suasana, memangnya mereka bukan manusia yang berdarah daging dan tidak punya perasaan dan emosi? Dengan tegang Li Giok-ham menambah hitungannya: "Tiga."

Mendadak Coh Liu-hiang tersenyum dan berkata: "Baru sekarang aku paham akan dua hal!" "Dua hal apa?" tercetus pertanyaan dari mulut Li Giok-ham. "Baru sekarang aku paham bahwa anak didik keturunan Yong-cui san-cheng memangnya tidak bisa melakukan kejahatan, karena bukan saja kau tak tahu cara bagaimana kau harus melakukan kejahatan itu, sampaipun cara bagaimana kau harus menggertak dan menakuti orangpun tidak tahu." sambil tersenyum dia meneruskan "Jikalau kau ingin orang takut akan rencanamu, maka kau sendiri jangan takut, jikalau kau sendiri sudah ketakutan lebih dulu, orang lain mana bisa kau bikin takut?"

Oh Thi-hoa bergelak, serunya: "Tidak salah, begitu pula bagi seorang yang suka humor, sekali-kali dirinya tidak boleh tertawa diwaktu mengucapkan kata yang lucu dan menggelikan, jikalau kau sendiri sudah terpingkel-pingkel, meski ceritamu amat lucu dan menarik, orang lain tidak akan tertawa melihat kelakuanmu sendiri."

Li Giok-ham gusar, dampratnya: "Kau kira..." Li Giok-ham gusar, "Kalian sangka..."

Coh Liu-hiang tidak beri kesempatan dia bicara tukasnya: "Anak didik dari keluarga elite seperti kalian ini masih mempunyai suatu ciri yang paling fatal."

"Ciri apa?" hampir saja Li Giok-ham tak bisa tahan diri, hendak bertanya. Tapi akhirnya dia urungkan malah menggembor keras: "Empat!"

Hakekatnya Coh Liu-hiang tidak hiraukan pada hitungannya, katanya lebih jauh: "Ciri kalian yang terbesar adalah tidak punya pengalaman Kangouw sama sekali, soalnya kalian sendiri tidak perlu berkecimpung dan berusaha di kalangan Kangouw berjuang dan bersusah payah untuk mencari hidup, kalian dilahirkan sudah hidup dalam kemewahan, merasa derajat sendiri jauh lebih tinggi dari orang lain, oleh karena itu sedikit banyak kalian sama berpandangan cupat dan sempit, anggap segalanya serba bisa, serba tahu dan serba punya, oleh karena itu tidaklah heran bila kalian sering lalai, ceroboh dan gampang keblinger."

Mendadak dia tuding Bau hi li hoa ting ditangan Li Giok-ham, katanya lebih lanjut: "Umpama kata, alat Bau hi li hoa ting ini sekarang merupakan tameng kehidupanmu, kalian suami istri kini hanya mengandal akan alat itu, apakah pegasnya tetap bekerja normal? Tidak kau lihat apakah kotak itu memang benar ada isinya?"

Sikap Li Giok-ham seperti kena lecut cambuk, katanya dengan serak: "Bau hi li hoa ting selamanya belum pernah gagal..."

"Tiada sesuatu yang abadi dan tak pernah salah didalam dunia ini, sampaipun matahari ada kalanya digigit anjing langit "gerhana", kenapa pula Bau hi li hoa ting ini tak mungkin gagal? Bukan mustahil alat dan pegasnya sudah karatan? Mungkin pula ada ulat-ulat kecil yang tiba-tiba menyusup ke dalam, sehingga lobang jarumnya tersumbat?"

Hidung Li Giok-han pun sudah mulai basah oleh keringat, tangan yang memegangi alat senjata rahasiapun mulai gemetar.

Berkata Coh Liu-hiang lebih lanjut dengan tawar: "Apalagi, umpama alat ini tak pernah gagal, sekarangpun tak berguna lagi, karena bahwasanya alat ini kosong, kemaren malam waktu kami menghadapi Thian-lo-te-hong suami istri paku-paku didalamnya sudah kita sambitkan seluruhnya."

Tiba-tiba Li Giok-ham terbahak-bahak, katanya: "Kau kira aku ini anak umur tiga tahun, masakah gampang kau gertak dengan omongan kentutmu ini? Biar kuberitahu terus terang, ocehanmu hakekatnya tiada sepatah kata pun yang kupercaya." Meski nadanya begitu dan tandas, sebenarnya hatinya sudah goyah, karena orang yang benar-benar punya keyakinan tidak akan tertawa begitu rupa, tawa semacam itu tak lebih hanya untuk menutupi kekalutan pikiran dan kekuatiran hatinya. "Jikalau kau tidak percaya," Coh Liu-hiang tetap kalem "kenapa tak kau periksa sendiri?"

"Tidak perlu aku memeriksanya, tak perlu!" seru Li Giok-ham dengan geram. Mulut mengatakan tidak perlu, namun tak tertahan biji matanya sudah melirik ke arah kotak yang dipegangnya, tangan yang lain tanpa sadarpun terangkat mengelus bagian permukaannya. Bahwasanya apakah kotak ini berisi atau kosong hakekatnya dia tidak akan bisa melihat dan merasakan, tak mungkin teraba oleh tangannya pula, maklumlah karena ketegangan urat syarafnya saja yang tak bisa mengendalikan perasaan diri sendiri lagi.

Tepat disaat biji matanya melirik itulah, meski hanya sekilas, laksana anak panah tiba-tiba badan Coh Liu-hiang melenting menubruk maju.

Sudah tentu kejut dan murka Li Giok-ham bukan kepalang, namun berkelitpun sudah tak sempat lagi. Meski gerak reaksinya cukup cepat, namun tiada sesuatu gerakan apapun yang bisa menandingi kecepatan gerak Coh Liu-hiang. Dikala dia sadar dirinya kena tipu Coh Liu-hiang sudah angkat kedua tangannya tinggi ke atas kepala, ditengah pergumulan seru itu, entah jari-jari siapa yang menyentuh tombol alat senjata rahasia Bau hi li hoa ting itu. "Bung" sinar perak laksana kilat sama ramai, dua puluh tujuh batang Li-hoa ting seluruhnya amblas tak kelihatan.

Seluruh tenaga dan semangat Li Giok-ham seakan-akan ikut melesat keluar, ikut menyertai seluruh paku-paku Li hoa-ting yang merupakan sandaran hidupnya, sekujur badannya seakan akan menjadi hampa dan melompong tak bersukma lagi, "Tang" kontan alat senjata rahasia itupun tak kuat dipegangnya lagi, jatuh berkelontangan di atas lantai.

Peristiwa ini berlangsung dalam waktu yang teramat singkat, suara dikala Li hoa-ting itu melesat keluar lalu menancap diatas batu, disusul suara kelontangan dari alat senjata rahasia yang jatuh itu, boleh dikata hampir berlangsung dalam waktu yang bersamaan, kejap lain suasana menjadi hening lelap, seperti tiada kehidupan lagi dalam alam semesta ini.

Tampak tangan kiri Coh Liu-hiang menyanggah tangan kanan Li Giok-ham, sementara sikut tangan kanannya menyelinap diantara ketiak kiri Li Giok-ham. Li Giok-ham sendiri seperti orang yang sudah kehilangan sukma, bukan saja matanya tidak mengawasi Coh Liu-hiang atau mengawasi orang-orang di sekitarnya, dengan mendelong dia mengawasi kedua puluh tujuh paku- paku yang amblas masuk ke dalam batu di atas langit-langit.

Sebetulnya Liu Bu-bi sudah melangkah hendak menerjang Coh Liu-hiang, tapi baru selangkah tiba-tiba dia tertegun dan menjublek di tempatnya. Diapun tak mengawasi Coh Liu-hiang, hanya mengawasi Li Giok-ham seperti orang linglung, sepasang matanya yang indah jeli itu penuh diliputi rasa pilu, rawan dan duka, penuh diliputi derita, juga terkandung rasa cinta yang tak terhingga. Dia tidak mengucurkan air mata, namun sorot matanya jauh lebih memilukan dari pada mengucurkan airmata.

Begitu sergapan Coh Liu-hiang berhasil, sudah tentu Oh Thi-hoa, Soh Yong-yong, dan lain-lain berjingkrak kegirangan, namun tiada satupun diantara mereka yang bergerak dan bersuara, tertawa atau bicarapun tidak.

Seolah-olah mereka sama haru akan nasib dan liku-liku percintaan kedua suami istri yang mengalami berbagai rintangan dan gemblengan, rasanya segan dan tak tega lagi melukai hati mereka, karena meski perbuatan mereka selama ini amat tercela dan menyakiti hati mereka, betapapun pengalaman hidup mereka jauh lebih harus dikasihani.

Tiba-tiba Song Thiam-ji mendekap mukanya, pecahlah tangisnya sesenggukkan. Memang selamanya jarang orang bisa meraba kapan nona-nona muda yang dimabuk asmara bisa mengucurkan air mata, karena sembarang waktu kemungkinan saja menghadapi setiap persoalan, gadis-gadis itu bakal menangis, mungkin saja lantaran cinta mereka mengalirkan airmata. Mereka bisa menangis karena sesuatau benda yang indah, namun mungkin pula bersedih karena melihat suatu tragedi yang tragis.

Mereka bisa menangis lantaran duka, namun bisa pula mengalirkan airmata karena kegirangan. Malah kemungkinan pula mereka bisa menangis bukan lantaran suatu persoalan.

Tapi air mata Sing Thiam ji sungguh airmata kejujuran, airmata murni, seolah-olah dia sudah lupa bahwa kedua suami istri ini adalah musuh yang dia benci dan ingin dibunuhnya, malah merekapun ingin membunuhnya. Namun dia menangis begitu pilu, sehingga orang tak tahan dan sama menyangka dia lebih rela memenggal batok kepala Coh Liu-hiang, untuk menolong kedua suami istri ini.

Biji mata Li Ang-siu, Soh Yong-yong dan Mutiara hitam, lambat laun ikut berkaca-kaca dan basah pula oleh airmata.

Oh Thi-hoa menghela napas, gumamnya: "Perempuan, oh perempuan... sungguh birahi."

Coh Liu-hiang tertawa getir, ujarnya: "Wah, karena tangisan kalian ini, akupun merasa seakan- akan aku inilah yang memang patut mati."

Tiba-tiba Li Ang-siu bertanya: "Kau... bagaimana keputusanmu akan mereka?"

Coh Liu-hiang termenung, katanya kemudian: "Sudah tujuh kali mereka berusaha membunuh aku."

"Tapi selanjutnya mereka takkan bisa mencelakai kau lagi," ujar Li Ang-siu.

Berkata Soh Yong-yong lembut: "Tadi kudengar mereka bilang, mereka hanya mencari suatu tempat yang sepi, hidup tentram ditempat pengasingan untuk beberapa bulan terakhir ini, kau... bolehlah kau beri kesempatan kepada mereka."

"Benar, boleh kau lepaskan mereka saja." Mutiara hitam ikut menimbrung. "Bagaimana maksudmu sendiri?" tanya Coh Liu-hiang kepada Oh Thi-hoa.

"Tidak boleh dilepas..." belum ucapan Oh Thi-hoa selesai, Song Thiam ji sudah berjingkrak, serunya sambil banting kaki: "Kenapa tidak boleh dilepas?"

"Kenapa kau ini begitu kejam?" Li Ang siu menimbrung.

Oh Thi-hoa menarik napas, katanya: "Jikalau sekarang kita biarkan mereka pergi, berarti membunuh mereka pula secara tidak langsung. soalnya Liu Bu-bi takkan hidup lama lagi, bila dia meninggal, apakah Li Giok-ham masih bisa hidup?"

Soh Yong-yong berempat sama tertegun, "Kau..." Li Ang-siu gugup. "Memangnya kau hendak menolong mereka malah?"

"Jikalau mereka berhasil membunuh Coh Liu-hiang, sudah tentu adalah musuh besarku.

Namun mereka tidak berhasil membunuh Coh Liu-hiang, sebaliknya pernah menolong jiwa kami, oleh karena itu bukan saja mereka adalah teman baikku mereka pula sebagai tuan penolongku." sampai di sini Oh Thi-hoa membusungkan dada, katanya keras: "Memangnya Oh Thi-hoa harus mandah saja mengawasi tuan penolongku mati karena keracunan?" Song Thiam ji tiba-tiba memeluknya, serunya tertawa dengan mengembeng airmata: "Kau memang orang baik." kulit mukanya tinggal satu dim di hadapan Oh Thi-hoa.

Oh Thi-hoa seperti merintih, katanya: "Jikalau kau memeluk lebih kencang dan tidak segera lepaskan, aku akan menjadi orang jahat."

Tersipu-sipu Song Thiam-ji lepaskan pelukannya, mukanya sudah merah malu, namun butiran airmata di pipinya belum lagi kering, seolah-olah buah apel yang masak basah oleh air embun.

Dengan tertawa besar Oh Thi-hoa menghampiri terali besi katanya: "Asal kau berterus terang siapa sebenarnya orang yang dapat menolongmu, kita akan bantu kau meminta obat pemunahnya kepada dia, jikalau dia tidak mau beri, hehe... jangan pandang si Kupu-kupu kembang lagi kepadaku kalau tidak kuhajar dia sampai gepeng kepalanya."

Li Giok-ham tetap mendelong mengawasi paku-paku di atas langit-langit. Demikian pula Liu Bu-bi mengawasi muka Li Giok-ham tanpa berkedip. Seolah-olah kedua suami istri ini tidak mendengar percakapan mereka.

"Cobalah kau sebutkan." pinta Soh Yong-yong lembut, "asal kau mau katakan, mereka pasti akan berdaya mendapat obat pemunah itu."

Dari celah-celah terali besi Li Ang-siu ulur tangan menarik lengan Liu Bu-bi, katanya: "Betapapun sulitnya urusan ini, Coh Liu-hiang pasti dapat berdaya untuk memperolehnya."

Akhirnya bercucuran airmata Liu Bu-bi, katanya pilu: "Sungguh kalian terlalu baik, kebaikan kalian terhadapku, selama hidupku ini mungkin takkan bisa kubalas."

"Cobalah kau sebutkan, terhitung kau sudah membalas kebaikan kita." ujar Li Ang-siu. Tiba-tiba Liu Bu-bi menarik tangannya, katanya gemetar: "Tak bisa kukatakan." "Kenapa tidak bisa?" Li Ang-siu menegas.

Kata Liu Bu-bi dengan airmata bercucuran: "Karena bila kukatakan, bukan saja tak berguna, malah kalian bisa celaka karenanya, sekarang aku... sungguh tidak tega aku membuat celaka."

"Kau kuatir kita terbunuh oleh orang yang memiliki obat pemunahnya itu?" tanya Li Ang-siu. Liu Bu-bi mengiakan sambil manggut kepala.

"Kalau begitu kau terlalu memandang rendah mereka berdua?" Li Ang-siu tertawa.

"Sampai detik ini memangnya kau belum percaya bila mereka memiliki kepandaian mujijat yang tiada taranya?" Song Thiam-ji menimbrung dengan banting kaki.

Liu Bu-bi tertawa sedih, ujarnya: "Jikalau ada orang bisa merebut obat pemunah itu dari tangan pemiliknya ini akupun tidak perlu susah payah berusaha hendak memenggal kepala Coh Liu-hiang, coba kau pikir, bila aku bisa mengundang Say Ih hang, Siau Giok kiam serta Thian lo te bong suami istri tokoh tokoh sakti lainnya untuk membunuh Coh Liu-hiang, sudah tentu akupun bisa minta mereka untuk berusaha meminta obat pemunah bagiku, kenapa aku tidak berbuat demikian?" "Masakah mengandal para Bulim Cianpwe itu, masih tidak akan mampu memperoleh obat pemunahnya dari tangan orang itu?"

"Umpama mereka meluruk bersama akhirnya akan gugur bersama pula secara sia-sia."

Baru sekarang Oh Thi-hoa amat kaget dibuatnya, katanya tersirap darahnya: "Katamu orang itu bisa membunuh Say It-hang, Siau Giok-kiam dan Thia lo-te-bong serta para Bulim Cianpwe lainnya secara mudah?"

"Tidak salah."

Lama Oh Thi-hoa terlongong, katanya seperti menggumam: "Apa benar ada tokoh sesakti itu dalam dunia ini? Sungguh aku tak habis percaya."

Tiba-tiba Coh Liu-hiang ikut menghela napas, ujarnya: "Tanpa dia jelaskan, sekarang aku sudah bisa menduga siapa tokoh yang dia maksudkan."

"Siapa"

"Cui-bok-im-ki"

Begitu menduga Cui-bok-im-ki ini, kulit muka Oh Thi-hoa seketika seperti dilabur selapis kapur yang tipis dan memutih jelas serta menyolok, sampaipun sinar matanya pun menjadi pudar. Yang lainnyapun ikut terbelalak kaget dan seperti mendengar sesuatu nama iblis yang amat mengerikan. Seolah-olah ke empat huruf nama ini mengandung suatu daya iblis yang bisa menyedot sukma dan alam pikiran orang, asal mendengar nama ini orang seolah-olah mendengar suatu berita buruk atau mendapat firasat jelek.

Hanya Mutiara hitam yang lama menetap di gurun pasir saja, yang seolah-olah tidak terpengaruh akan nama ini, Maka segera dia bertanya: "Nama Cui-bok-im seperti pernah kudengar, namun teringat lagi siapakah tokoh itu?"

"Cui-bok-im-ki adalah Sin-cui-nio-nio." tutur Oh Thi-hoa. "Dialah majikan dari penghuni Sin cui kiong."

Baru sekarang roman muka Mutiara hitam sedikit berubah.

Mengawasi Liu Bu-bi, Coh Liu-hiang bertanya: "Tidak meleset bukan tebakanku?"

Lama berdiam diri baru Liu Bu-bi menghirup napas segar, katanya dengan manggut manggut: "Ya, benar memang beliau adanya."

Berkata Hek-tin-cu: "Meski jarang aku masuk ke Tionggoan, namun pernah juga kudengar bahwa Cui-bok-im-ki adalah orang teraneh nomor satu di Bulim, kabarnya tabiatnya sedikit mirip Ciok-koan-im selama hidupnya amat membenci kaum laki-laki, perduli laki-laki siapapun asal melirik sekali kepadanya, maka jiwanya pasti tak akan diampuni."

Oh Thi-hoa mengelus hidung, katanya tertawa getir: "Kau salah dalam hal ini, sedikit pun tabiatnya tidak sama dengan Ciok-koan-im, bukan saja Ciok-koan-im tak membenci laki-laki, malah boleh dikata amat senang bergaul dengan laki-laki, terutama laki-laki yang cakap ganteng dan dirinya hanya seleranya terhadap laki-laki terlalu besar, oleh karena itu dia selalu ingin mencicipi yang segar, yang baru."

Liu Bu-bi menghela napas ujarnya: "Tapi Cui-bok-im-ki memang benar-benar membenci laki- laki, menurut apa yang ku tahu dalam dunia ini tiada seorang laki-lakipun yang pernah berdekatan apalagi bersentuhan sama dia, maka dalam Sin-cui-kiong takkan ada bayangan seorang laki- lakipun."

"Tapi akupun tahu jelas." timbrung Mutiara hitam, "bahwa tabiatnya memang sering berubah, senang dan gusar tidak menentu walau amat membenci laki-laki, namun jiwanya tidak begitu jahat, juga tidak seperti Ciok-koan-im, selalu berusaha mencelakai jiwa orang lain."

"Benar," sela Coh Liu-hiang, asal orang lain tidak mengganggu dia maka diapun tak akan mengusik orang lain."

"Lalu kenapa dia ingi membunuh kau? Memangnya kau pernah menggangu dia?" tanya Mutiara hitam.

"Ya, memang aku pernah membuatnya gusar" sahut Coh Liu-hiang gegetun.

"Bahwasanya ada permusuhan apa diantara kalian" tanya Liu Bu-bi. "Akupun tidak tahu, juga tak berani tanya kepada kalian."
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar