Pendekar Pengejar Nyawa Jilid 36

Jilid 36

Liu Bu-bi menerjang, teriaknya: "Kalau begitu kenapa tidak segera kau lepaskan dia?" "Kalau Cayhe lepaskan dia, apakah kalian juga mau membebaskan diriku?"

Liu Bu-bi kertak gigi, serunya: "Asal kau tidak melukai dia, aku boleh berjanji kepda mu..." Sejak tadi Li Giok-ham tunduk lemas dan sayu, sekarang tiba-tiba dia membentak bengis: "Sekali-kali kau tidak boleh berjanji apapun kepadanya, mengapa kau lupa?"

Liu Bu-bi membanting kaki, serunya: "Sedikitpun aku tidak lupa, tapi kau..." masakah aku harus berpeluk tangan membiarkan orang menyakiti kau?"

"Aku mati tidak menjadi soal, meski dia benar menggorok leherku, kaupun jangan melepaskan dia pergi."

Ternyata air mata Liu Bu-bi bercucuran, katanya dengan pilu: "Aku tahu demi aku, kau tidak segan-segan..." belum habis kata-katanya mendadak Li Giok-ham menggerung kalap seperti benteng ketaton, dengan kepalanya dia menubruk dada Coh Liu-hiang sementara kakinya melayang menendang kemaluannya.

Perubahan yang tak pernah terduga bukan saja Ling Hwe-kek kaget dan berubah mukanya, karena semua hadirin maklum asal tenaga dalam Coh Liu-hiang dikerahkan, maka urat besar yang menembus ke jantung Li Giok-ham bakal tergeser pecah dan hancur, jiwanya pun binasa.

Maka terdengarlah "Blang" Li Giok-ham terhuyung mundur ke belakang, pedang di tangannya mencelat terbang, namun badannya tidak sampai tersungkur jatuh. Malah Coh Liu-hiang tertendang terguling-guling. Kiranya disaat yang amat gawat itu Coh Liu-hiang tidak kerahkan tenaga dalamnya, disaat-saat jiwa sendiri hampir saja terenggut elmaut, ternyata dia masih tidak tega melukai atau menamatkan jiwa orang lain.

Li Giok-ham gentayangan mundur, Coh Liu-hiang roboh terguling, selarik sinar pedang melesat terbang... pada saat itu pula mendadak bayangan Liu Bu-bi melesat maju. Badannya meluncur laksana bintang mengejar rembulan, sigap sekali ditengah udara dia menyambut pedang Li Giok- ham yang mencelat terbang itu, lalu dari atas menukik turun bersama pedang itu terus menusuk ke arah Coh Liu-hiang yang masih terguling di lantai.

Coh Liu-hiang tidak tega melukai orang, celaka adalah dia sendiri terlentang luka tidak ringan, mukanya sudah pucat pias, namun keringat sebesar kacang berketes-ketes membasahi seluruh kepalanya. Dengan mendelong dia awasi tusukan pedang Liu Bu-bi yang bakal memantek badannya di atas lantai dengan dada tembus sampai ke punggung.

"Trang" sekonyong-konyong terdengar benturan keras sehingga keluar api muncrat menyilaukan mata, begitu kerasnya suara benturan senjata keras ini seperti pekikan naga sehingga kuping terasa pekak.

Ternyata lima batang pedang ditangan Li Hwi-kek dan lain-lain serempak terayun ke depan memetakan jaringan sinar mengkilap yang ketat, tahu-tahu tusukan pedang Liu Bu-bi tertahan dan tersanggah ditengah udara. Begitu keras benturan ini sampai badan Liu Bu-bi tertolak mumbul ke tengah udara dan bersalto ke belakang meloncat dengan enteng tancap kaki tak bersuara, tangan yang memegang pedang sudah linu kemeng tak bisa bergerak, namun pedang masih digenggamnya dengan kencang, suaranya gemetar dan ngeri: "Cianpwe... Cianpwe, kenapa kalian menolongnya?"

Suara Siau Ciok bengis dan kereng: "Dia tidak tega melukai jiwa suamimu, sehingga terima tertendang roboh, mana boleh dalam keadaan seperti itu kau hendak membunuh dia, anak didik keluarga Li di Mao kau mana boleh melaksanakan perbuatan serendah dan tak tahu budi seperti ini?"

Liu Bu-bi tertunduk lemas, agaknya diapun terbungkam tak bisa berdebat lagi. Li Giok-ham mendadak berlutut, ratapnya: "Dia menaruh belas kasihan kepadaku, sudah tentu Wanpwe cukup tahu budi luhurnya ini Wanpwe tidak akan berani melupakannya apapun caranya Wanpwe pasti akan membalas budi kebaikan ini tanpa pamrih."

"Seenak udelmu kau bicara, kau kira sebagai orang persilatan harus mengutamakan budi pekerti, tegas dalam budi kebaikan dan dendam kesumat."

"Budi luhurnya terhadap Wanpwe terang akan kubalas ganda, tapi hari ini apapun yang terjadi sekali-kali Wanpwe tak akan membiarkan dia lolos dari sini."

"Apa-apaan ucapanmu ini?" bentak Siau Ciok mendelik.

Semakin dalam kepala Li Giok-ham tertunduk sahutnya: "Karena betapapun tebal dan mendalam budi luhurnya terhadap Wanpwe, takkan setebal dan sedalam budi luhur orang tua yang mendidik dan membesarkan diriku, jikalau hari ini Wanpwe membiarkan ia pergi karena dia menanam budi terhadap diriku, mungkin ayah bakal menyesal seumur hidup, bukan mustahil aku bakal dikutuknya. Bakti terhadap orang tua memang sukar dilakukan dan memerlukan pengorbanan, namun betapapun Wanpwe harus mengutamakan bakti lebih dulu tentunya para Cianpwe tidak akan membuat Wanpwe tidak berbakti terhadap orang tua bukan?"

Lama Siau Ciok termenung, pelan-pelan sorot matanya tertuju pada Li Koan-hu. Tampak rona muka si orang tua yang sudah loyo ini, dari pucat pasi kini berobah merah padam, daging di ujung bibirnya tampak gemetar keras, sepasang mata yang sudah hampa mendelong itu, kini menyorotkan kegusaran yang tak terlampias, seolah-olah mirip sepasang obor yang sakti, membakar dan menghidupkan kembali jiwa lapuknya yang tinggal menunggu ajal itu.

Siau Ciok akhirnya menarik napas, katanya sambil menarik sorot matanya: "Bagaimana menurut pendapat kalian?"

Ling Hwi-kek berempat kelihatannya serba susah, tiada satupun yang segera menjawab pertanyaan ini, dengan melirik satu persatu Li Giok-ham pandang mereka, katanya pula: "Wanpwe cukup tahu, dengan gengsi kedudukan dan ketenaran para Cianpwe, sekali-kali tidak akan turun tangan disaat lawan sudah terkalahkan, apalagi membunuhnya. Tapi mengingat hubungan intim para Cianpwe dimasa lalu dengan ayah, tentunya takkan berpeluk tangan dan tega membiarkan beliau memeras diri dalam keadaan yang tersiksa itu." Kini kepalanya terangkat, katanya lebih lanjut: "Sejak tujuh tahun yang lalu waktu beliau meyakinkan hawa pedang, tak beruntung Cay- hwe-ji-po, selama tujuh tahun ini keadaan lebih sengsara dan tersiksa daripada orang mati, memangnya para Ciapwe begitu tega..."

"Jangan kau banyak cerewet lagi!" sentak Siau Ciok bengis: "Aku hanya ingin tanya kepadamu, umpama kata sekarang kita membunuh Coh Liu-hiang, memangnya manfaat apa yang diperoleh ayahmu?"

"Wanpwe sendiri tidak tahu kenapa ayah begitu getol ingin membunuh jiwa orang ini, aku hanya tahu bahwa perintah dan kehendak orang tua tak boleh dibangkang, jikalau para Cianpwe belum lupa akan..."

"Tidak perlu kau peringatkan aku." tukas Siau Ciok keras. "Memangnya dulu Li Koan-hu teramat baik terhadapku, umpama aku bisa melakukan perbuatan terkutuk kepada manusia siapa saja dikolong langit ini sekali-kali aku takkan berani berbuat salah terhadapnya!" mulut bicara pelan-pelan dia menarik pedangnya, katanya: "Putusanku sudah tegas, entah bagaimana pendapat kalian?" Laki-laki bertubuh tinggi kekar menghela napas sahutnya: "Kalau Siao-lo berpendapat demikian, Losiu takkan banyak bicara lagi!"

Ling Hwi-kek berkata: "Dengan Hoan-hu-heng bukan saja kenalan baik, malah masih terhitung famili dekat, maka kedudukan dan keadaanku sendiri sebetulnya jauh lebih menyulitkan daripada kalian, maka... maka... mendadak dia membalikkan badan katanya: "Hari ini perduli kalian mau bunuh Coh Liu-hiang atau membebaskannya pergi, terpaksa aku anggap tidak melihat tak mendengar, lebih baik kalian boleh anggap aku tak hadir di sini."

Kini empat pedang sudah ditarik mundur. Laki-laki baju hitam yang bertubuh biasa itu agaknya lama sekali peras otaknya, baru sekarang dia bersuara dengan nada berat: "Pendirianku sama dengan Ling-heng." agaknya orang ini tidak suka bicara cukup beberapa patah katanya saja, dia lantas putar badan menyingkir ke pinggir.

Maka sekarang yang ketinggalan hanyalah laki-laki tinggi besar yang kekar itu, pedangnya masih teracung lurus ke depan, meski pedang tergenggam erat, namun ujung pedangnya kelihatan bergoyang-goyang dan gemetar.

Berkata Siau Ciok mengerut alis: "Aku tahu hubunganmu dengan Li Koan-hu paling mendalam, kenapa kau tidak buka suara?"

Laki-laki tinggi besar serba hitam ini menghela napas, katanya: "Bukan saja hubungan Koan- hu-heng dengan aku amat mendalam malah dia pernah menolong jiwaku, jikalau lantaran diriku sendiri, aku disuruh membunuh Coh Liu-hiang dengan pedangku ini tak menjadi soal, namun sayang..."

"Apa yang kau sayangkan?" tanya Siau Ciok tidak sabar.

"Tentunya Ciok-lo sudah tahu setiap patah dan tindak tandukku, bakal mempengaruhi ribuan anak murid Bu tong-pay kami, mana bisa, mana aku bisa..." suaranya gemetar terang bahwa hatinya amat mendelu dan perasaan hati sedang berada dalam tekanan keadaan.

Namun Siau Ciok segera membentak dengan bengis: "O, jadi kau sedang merisaukan kedudukan Toa-hu-hoatmu di Butong-san, tapi jikalau Li Koan-hu tidak menolong jiwamu, apa kau masih bisa hidup sampai sekarang?"

"Kenapa tidak kau copot saja kedudukan Toa-hu-hoatmu itu demi membalas kebaikannya?" Ternyata laki-laki tinggi besar dan kekar ini adalah Thi-san Totiang, pelindung pertama dari Bu-

tong-san yang sekarang. Diam-diam mencelos hati Coh Liu-hiang, terdengar Siau Ciok sedang berkata pula: "Biar kuberitahu kepadamu, setelah hari ini aku membalas budi kebaikan Li Koan-hu selanjutnya akupun malu untuk mengurus dan mengasuh serta memimpin murid didik dari perguruan Giok-kiam kami, selanjutnya aku akan mengundurkan diri mengasingkan diri di atas gunung, jikalau kau suka menjadi temanku, dengan senang hati aku sambut uluran tanganmu."

Dada Thi-san Totiang turun naik napasnya memburu keras, keringat bertetesan membasahi bahunya.

Mendadak Coh Liu-hiang menimbrung dengan tertawa: "Kukira Totiang tidak perlu sangsi dan serba salah, lebih baik kau tiru tekad para Tayhiap ini, gunakan diriku sebagai pembalasan kebaikan orang! Apa yang dinamakan "kesetiaan dan keadilan Kang-ouw" sebetulnya banyak ragam artinya, hari ini kau membunuh aku, bukan saja orang lain tidak akan menistamu sebagai seorang yang tak punya rasa cinta kasih dan tidak setia, malah orang akan mengatakan kau tegas memberikan budi kebaikan dan dendam sakit hati, bagi seorang laki-laki sejati yang membalas budi kebaikan orang lain. Sebaliknya jikalau hari ini kau bebaskan aku, kelak kau akan malu jadi manusia." Thi-san Totiang membanting kaki, mendadak dia angkat telapak tangan kirinya, terus diayun balik menebas ke pundak kirinya sendiri. "Krak" terdengar tulang patah dan remuk oleh pukulan tangannya sendiri.

Siau Ciok berteriak kaget, serunya: "Kenapa kau berbuat demikian?"

Thi-san Totiang terhuyung mundur, katanya serak dengan tertawa getir: "Kalian sudah melihat, Coh Liu-hiang, kaupun melihat bukan aku tidak sudi merintangi mereka membunuh orang, kenyataan sekarang aku sudah tak mampu menghalangi mereka lagi."

Bukan saja mula Liu Bu-bi sudah pucat pias tak berdarah, agaknya diapun terkesima saking kaget dan takut.

Kata Thi-san Totiang dengan serak: "Kenapa tidak segera kau bunuh dia? Apa pula yang kau tunggu?"

Tersipu-sipu Liu Bu-bi berlutut di lantai bersama Li Giok-ham keduanya menyembah tiga kali, serunya: "Terima kasih Cianpwe, budi luhur para Cianpwe selama hidup Tecu takkan melupakan."

Coh Liu-hiang menghela napas pelan-pelan katanya dengan tertawa getir. "Ada orang seperti Thi-san Totiang yang begitu simpatik terhadapku maka terbukti sudah bahwa "jalan kebenaran dan keadilan Kangouw" hakekatnya bukan omong kosong belaka, terhitung kematianku tidak sia- sia, aku mati tidak penasaran, cuma sampai sekarang aku tetap tak mengerti, kenapa kalian ingin benar membunuhku, akupun tahu sekarang kalian terang takkan mau memberi tahu kepadaku, agaknya matipun aku akan jadi setan gentayangan."

Maka ujung pedang Liu Bu-bi akhirnya terhujam kedada Coh Liu-hiang.

Coh Liu-hiang secara langsung merasakan ujung pedang Liu Bu-bi yang dingin itu sudah menembus ke dalam kulit dagingnya, anehnya dalam keadaan seperti itu, Coh Liu-hiang ternyata malah terlalu terang, sedikitpun tidak merasa takut, sampai sakitpun sudah tak terasakan lagi olehnya, yang terasa hanyalah ujung pedang yang tajam mengkilat itu sedingin es.

Entah mengapa pada detik-detik sebelum ajalnya ini, pikirannya mendadak melayang ke tempat nan jauh di sana, di suatu tempat di pucuk utara yang bertanah salju. Terbayang olehnya diwaktu dirinya masih kecil, waktu dia bersuka ria bergulingan dengan Oh Thi-hoa dibukit salju, secara diam-diam Oh Thi-hoa menyusupkan segenggam salju yang dingin itu ke dalam lobang baju di lehernya. Gumpalan salju itu terus melorot turun sampai di dadanya, perasaan diwaktu kecil dulu itu mirip benar dengan keadaan sekarang.

Bila orang mengacungkan gumpalan salju hendak menyusupkan kedalam bajunya, kau akan merasa takut, namun setelah salju yang dingin itu menyentuh dan mengalir di kulit badanmu, kau malah akan merasa suatu siksaan yang menyenangkan, seolah-olah pula kau merasakan terbebaskan dari segala belenggu dan kesulitan, karena sesuatu yang membuatmu merasa takut sudah berlalu.

Lantaran yang betul-betul ditakuti oleh orang, bukan benda itu sendiri, tapi hanyalah bayangan khayalnya saja terhadap kejadian itu, umumnya manusia takut menghadapi kematian, lantaran tiada manusia yang benar-benar memahami arti dari kematian itu, maka timbul berbagai bayangan atau khayal yang menakutkan terhadap kematian sendiri.

Dan kematian itu kini sudah berada di hadapan Coh Liu-hiang. Didalam masa hidupnya yang beraneka ragam, penuh humor dan serba romantis itu, dia sendiri tidak tahu berapa kali dirinya pernah menghadapi detik-detik tegang yang bakal merenggut jiwanya, tapi selama itu dia tak pernah kehilangan keyakinan dan kepercayaan terhadap dirinya sendiri.

Hanya kali ini saja, dia benar-benar sudah tak berdaya sama sekali, ia insyaf dalam keadaan seperti ini ditempat ini pula, sekali-kali takkan terjadi sesuatu keajaiban, pasti takkan ada orang yang bakal menolong dirinya lagi.

Secara langsung terasa olehnya, belum pernah dirinya begitu dekat dengan ajal, begitu dekat seolah-olah dia sudah dapat merasakan serta melihat keganjilan dari bayangan kematian itu, sehingga terasa pula olehnya bahwa "MATI" ternyata juga hanya begini saja, tiada sesuatu yang perlu dibuat takut, maka timbul ingatannya, bahwa bukan saja orang-orang yang takut mati amat kasihan, sesungguhnya amat menggelikan.

Maka setitik harapannya pada saat itu, hanyalah, semoga Oh Thi-hoa sudah membawa Soh Yong-yong dan lain-lain melarikan diri, jikalau sekarang dia tahu bahwa Oh Thi-hoa kenyataannyapun sudah teringkus dan tergenggam jiwanya ditangan mereka, maka perasaan hatinya sebelum ajal ini takkan begitu tenang dan tentram.

Sekilas ini, banyak sekali persoalan yang terbayang dalam benaknya, dia sendiri tidak tahu cara bagaimana didalam waktu yang singkat ini dia bisa teringat banyak persoalan itu. Dia merasa ujung pedang yang dingin itu masih berhenti di dadanya. Agaknya ujung pedang sedang berhenti mogok. Tak tertahan segera dia angkat kepala memandang ke arah Liu Bu-bi. Dilihatnya mata Liu Bu-bipun sedang menatap dirinya, roman mukanya yang cantik pucat itu seakan-akan menampilkan rasa pilu dan sedih, sayang dan kasihan.

Terdengar Li Giok-ham batuk-batuk kecil, katanya: "Coh-heng, terus terang kami merasa amat bersalah terhadap kau, semoga kau suka memaafkan tindakan ini."

Hampir saja Coh Liu-hiang tak tahan hendak tertawa, masakah seorang pembunuh mohon ampun dan minta maaf kepada korbannya, terasa oleh Coh Liu-hiang ucapannya ini teramat lucu dan ganjil kedengarannya.

Liu Bu-bi segera menambahkan dengan suara rawan: "Kami sendiri tiada niat membunuh kau, sungguh merupakan tindakan terpaksa." setelah menghela napas, dia pejamkan matanya.

Coh Liu-hiang tahu begitu matanya terpejam, maka ujung pedang segera akan menusuk ulu hatinya dan tamatlah jiwanya.

Tak tahunya pada saat itu pula tiba-tiba terdengar suara gaduh, seperti meja dan cangkir poci dan lain-lain di atas sama jatuh pecah berantakan, selanjutnya didengarnya pula seseorang membentak dengan suara yang dipaksakan: "Ta tahan!"

Dalam detik-detik yang menentukan jiwanya ini, sungguh mimpipun Coh Liu-hiang tidak akan pernah membayangkan ada orang bakal menolong jiwanya. Memang mimpipun tak pernah terpikir olehnya, siapakah sebenarnya yang menolong dirinya.

Itulah sebuah rumah mungil yang dipajang dengan indahnya, kain paris menutupi jendela, kain gordyn melambai tertiup angin, bau wangi memenuhi ruangan menyegarkan napas seolah-olah di situ adalah sebuah kamar seorang perawan. Tapi didalam pandangan Oh Thi-hoa tempat ini tak ubahnya sebagai penjara yang paling mewah belaka.

Nona Ping mondar-mandir dan tak mau berhenti didalam rumah, pinggangnya yang ramping seperti menggeliat dengan indahnya, dadanya yang padat montok seolah-olah hendak meledak menjebol kain sutra yang membungkusnya, sampaipun sulaman kembang dibagian dalamnyapun kelihatan samar-samar, adanya seorang gadis ayu dengan dandanan merangsang mondar-mandir di hadapanmu, sungguh merupakan rejeki besar bagi seorang laki-laki yang memperoleh tontonan gratis.

Tapi sekarang sedikitpun Oh Thi-hoa tidak merasa sedan beruntung dan terpesona, kalau semula dia ingin mencubit pinggul orang yang bulat itu, sekarang ingin rasanya dia memberi persen bogem mentah diujung hidungnya yang mancung itu. Gemas sekali hatinya. Lalu sekali pukul lagi bikin rontok seluruh giginya supaya kelak dia tidak berani membual dan ngapusi orang lagi, sayang sekali hatinya hanya bisa marah tanpa dapat berbuat apa-apa, karena kaki tangannya terikat sedemikian kencang. Bahwa orang tidak pukul rontok giginya sendiri sudah merupakan suatu keberuntungan.

Terasa lenggang nona Ping semakin lama semakin genit, gemulai dan mempesonakan sampai pandangan matanya mendelik dan kepala pusing, tak tahan dia menjerit: "Apakah pantatmu tumbuh bisul? Kenapa tidak kau duduk saja?"

Ternyata nona Ping betul-betul menghampiri ke depannya dan duduk.

Oh Thi-hoa tidak duga orang mau begitu dengar katanya, sesaat dia melongo katanya pula lebih keras: "Aku kan bukan bapakmu, kenapa kau begitu penurut?"

Bukan saja tidak marah, nona Ping malah tertawa lebar, ujarnya: "Apakah kau berpendapat jiwamu bakal segera mampus, maka kau lekas naik pitam, sebetulnya kau tidak perlu marah- marah karena aku jelas takkan membunuh kau."

Berputar biji mata Oh Thi-hoa, katanya: "Kalau kau tidak membunuhku, kenapa tidak lekas kau bebaskan aku?"

"Asal Coh Liu-hiang itu sudah mampus, segera aku membebaskan kalian."

Berkerut alis Oh Thi-hoa. Dengan tersenyum nona Ping segera menambahkan: "Bukan sja melepas kau, ke empat nona-nona itupun akan kami bebaskan seluruhnya, oleh karena itu lekaslah kau berdoa kepada Thian supaya Coh Liu-hiang lekas mati, semakin cepat dia mati semakin cepat kalian dibebaskan."

"Kalau demikian mungkin selama hidupku aku bakal terbelenggu seperti ini dan kau akan meladeniku pula."

"O?" nona Ping bersuara heran.

Oh Thi-hoa melotot, teriaknya: "Ketahuilah selamanya Coh Liu-hiang takkan mudah terbunuh, sekarang segera kau bebaskan aku, terhitung kau cerdik, kalau tidak bila dia sudah kemari, he he..."

"Aduh!" nona Ping terpingkel-pingkel. "Begitu menakutkan! Kalau kau menakut-nakuti aku, jantungku serasa hendak melonjak keluar."

Oh Thi-hoa menyeringai, jengeknya: "Sekarang tentu kau tidak perlu takut, namun bila dia sudah berada disini..."

Sekonyong-konyong di luar terdengar ada seseorang memanggil lirih: "Nona Ping." "Masuk..." sahut nona Ping, "kau sudah memberi laporan kepada Siau-hujin? Apa yang

dipesan oleh Hujin?" Yang masuk ternyata kacung cilik baju hitam itu, sahutnya menjura: "Siau-hujin hanya tertawa

-tawa saja, sepatahpun tidak memberi pesan apa-apa.

Nona Ping melerok kepada Oh Thi-hoa, tanyanya pula: "Apa kaupun ada melihat Coh Liu- hiang itu?"

Kacung cilik itu menyeringai tawa, sahutnya: "Sudah tentu melihat dia, memang laki-laki ganteng yang gagah, sedikitnya jauh lebih cakap dari yang ini, jauh lebih pintar pula."

Oh Thi-hoa mendengus, jengeknya: "Kau bocah ini tahu kentut."

Nona Ping tertawa cekikikan, katanya: "Justru karena bocah cilik tidak tahu urusan, maka apa yang dia ucapkan pasti jujur."

Kacung cilik itu tiba-tiba berkata pula: "Sering aku mendengar cerita orang katanya betapa lihai dan hebat Coh Liu-hiang yang digelari Maling romantis itu, tapi menurut apa yang sudah kulihat tadi, kecuali perawakannya gagah bermuka ganteng saja, yang lain-lain sih biasa saja, belum lama setelah aku masuk ke ruang dalam, dengan jelas kulihat sendiri dia ditendang terjungkal oleh Siau cengcu, rebah di tanah, bergerakpun tidak bisa."

Oh Thi-hoa gusar serunya: "Mungkin kau melihat setan disiang hari bolong."

Kacung cilik berbaju hijau ternyata tertawa peringisan katanya: "Jika kau anggap aku sedang membual, lebih baik jangan kau percaya."

Oh Thi-hoa melongo sesaat lamanya, akhirnya tak tahan ia berseru: "Walau aku tidak percaya, tapi tidak menjadi soal mendengar obrolanmu, yang terang dalam keadaan begini aku memang amat iseng."

"Kalau kau sedang iseng, sebaliknya aku sedang repot." kata kacung cilik itu tertawa. Aku tidak punya waktu untuk bercerita kepada kau, mulutnya bicara, badannya sudah berputar keluar.

Keruan Oh Thi-hoa jengkel dan gemes, tenggorokkannya terasa getir, namun dia tidak bisa berbuat apa-apa.

Tak kira, tak lama kemudian kacung cilik itu berlari balik cuma menongolkan kepalanya saja diambang pintu, katanya mengawasi dirinya: "Kalau kau ingin tahu bagaimana keadaan temanmu sekarang aku sih punya cara yang baik."

"Cara apa?" tanya Oh Thi-hoa tak tahan lagi.

"Jikalau kau suka memberi hadiah kepadaku, begitu hatiku senang, bukan mustahil segera ku ajak kau ngobrol."

"Hadiah apa yang kau inginkan dari aku?"

Berputar biji mata kacung cilik ini, katanya: "Yang lain aku tidak mau, aku hanya suka kotak perak didalam kantongmu itu."

Oh Thi-hoa tertawa dingin katanya: "Liu Bu-bi ternyata tidak melupakan benda ini, kenapa tidak dia sendiri yang mengambilnya kemari?" "Memangnya nyonya muda perlu turun tangan sendiri? Umpama aku saja sekarang jangan kata aku hanya ingin minta sesuatu barangmu saja, seandainya harus menelanjangi seluruh pakaianmu, kaupun hanya bisa melotot saja kepadaku."

Ternyata biji mata Oh Thi-hoa betul-betul melotot besar seperti bundar telur, dampratnya gusar: "Kau... kau berani?"

"Kenapa aku tidak berani, cuma aku ini seorang kacung dari keluarga Li ini, selamanya harus pegang tata tertib, sekali-kali aku tak sudi sembarangan ambil barang milik orang lain tanpa ijin, kecuali secara sukarela orang itu memberi kepadaku."

Nona Ping tertawa lebar katanya: "Kau jangan kuatir, Oh Thi-hoa biasanya terbuka tangan dia bukan orang kikir, sekali-kali dia tidak akan merasa berat memberikan barang yang kau inginkan, apalagi hanya mulutnya saja yang terkancing, sebetulnya hatinya sudah gugup setengah mati, jikalau kau tidak segera memberitahu keadaan Coh Liu-hiang yang sebenarnya, bukan mustahil dia bisa mampus karena kau bikin marah."

Walau amarah Oh Thi-hoa sudah berkobar tapi memang dia amat ingin besar tahu keadaan Coh Liu-hiang meski apa yang dia dengar dari penuturan mulut bocah kecil ini tidak seratus persen boleh dipercaya, namun masih mending dari pada tak tahu sama sekali, terpaksa dalam hati dia menghela napas, mulutnya segera terpentang lebar, serunya lantang: "Benar, Oh Toaya biasanya amat royal, apa yang diinginkan orang kalau dia punya dengan suka hati dia memberikan, nah boleh kau ambil sendiri."

"Kacung cilik itu sudah memburu maju sambil merogoh keluar kotak perak Bau-hi-li-hoa-ting itu, katanya tertawa gembira: "Kau sendiri yang memberi kepadaku dengan sukarela, aku tak memaksa kau lho, benar tidak?"

"Ya, terhitung aku situa bangka ini, kesandung oleh anak kecil, anggap saja hari ini aku terlalu sial." gumam Oh Thi-hoa uring-uringan.

"Apakah kau merasa sial? Kalau dibandingkan dengan temanmu yang satu itu, kau malah terhitung beruntung."

"Dia... bagaimana keadaannya sekarang?" tanya Oh Thi-hoa gelisah.

"Setelah ditendang roboh oleh Siau-chengcu, nyonya muda segera menubruk maju sambil menusukkan pedangnya, ternyata Coh Liu-hiang si Maling romantis yang kenamaan itu, berkelitpun sudah tidak mampu lagi."

Walau Oh Thi-hoa tidak percaya obrolan seorang bocah, namun mendengar cerita ini tak urung dia menjerit kaget, kacung cilik itu malah cekikikan geli, katanya dengan kalem: "Tapi kelima Cianpwe justru berpendapat nyonya muda tidak pantas membunuhnya, serempak mereka turun tangan menghalangi dan menangkis pedang nona muda..."

Sampai disini tak terasa Oh Thi-hoa menarik napas, katanya lagi: "Agaknya kelima orang itu memang tidak malu sebagai tokoh-tokoh kosen ahli pedang yang sudah kenamaan."

"Apa sekarang sudah mau percaya bahwa apa yang kukatakan tidak membual lagi?" tanya kacung cilik itu.

"Belum lagi Oh Thi-hoa buka suara lagi, nona Ping sudah mendahului: "Sudah tentu dia percaya karena seseorang bila mendengar kabar gembira tentu lebih mudah untuk mempercayainya." "Kalau demikian," ujar si kacung cilik, "kalau cerita kulanjutkan mungkin sepatah katapun tak mau dipercayainya."

"O, Coba kau teruskan ceritamu!" desak nona Ping ikut merasa heran.

"Karena kalau ceritaku kulanjutkan, maka tiada sepatah katapun yang merupakan kabar gembira."

"Apakah... apakah kelima Cianpwe itu akhirnya merubah haluan?" tanya Oh Thi-hoa gemetar. "Walau kelima orang-orang tua itu ada sedikit belajar keimanan, betapapun mereka belum

pikun, untuk masih bisa membedakan untung rugi dan berat ringan sesuatu persoalan. Setelah Siau cengcu ketengahkan pengertian yang mendalam perihal kesetiaan dan persahabatan, akhirnya kelima orang itu satu persatu mengundurkan diri."

Meski Oh Thi-hoa tidak percaya ucapannya, mau tak mau dia harus percaya juga akhirnya, tanyanya pula tak sabaran: "Belakangan bagaimana?"

"Belakangan aku mengundurkan diri." sahut kacung cilik itu.

Karuan Oh Thi-hoa berjingkrak gusar. teriaknya: "Kau tinggal pergi? Kenapa kau pergi dari sana?"

"Karena aku takut melihat orang mati, kulihat ujung pedang nyonya muda sudah menusuk ke dalam dadanya, maka secara diam-diam aku lantas mengeluyur keluar, tapi cepat atau lambat suatu ketika kau pasti akan percaya, hakekatnya aku tak perlu membual untuk menggertak atau menakuti aku."

Terasa oleh Oh Thi-hoa seluruh badannya menjadi kejang, keringat gemerobyos membasahi seluruh badan.

Berkata pula kacung cilik itu dengan tertawa: "Namun setelah aku pergi, bukan mustahil mendadak bisa muncul seseorang yang menolong jiwanya, sudah lama aku dengar katanya teman Coh Liu-hiang tersebar di seluruh kolong langit, apa benar?"

"Sudah tentu ada orang yang akan menolongnya." seru Oh Thi-hoa penuh keyakinan. Pasti ada orang yang datang menolongnya, sudah tentu..." beruntun berulang kali dia ucapkan kata- katanya ini, karena dia kuatir dia sendiripun tidak percaya maka sengaja dia ulangi dua tiga kali untuk memperteguh keyakinannya. Celaka adalah setelah tujuh delapan kali dia ulangi kata- katanya, hatinya masih belum mau percaya juga.

"Coba kau pikir" kata kacung cilik itu pula :" Siapa yang akan menolong dia?"

"Siapa saja bisa saja menolong dia, karena terlalu banyak untuk disebut satu persatu yang terang orang mau menolongnya." kata Oh Thi-hoa sengit.

"O! coba kau sebut saja dua tiga orang diantaranya."

"Umpamanya, umpamanya, Setitik merah dari Tionggoan, Bau li tok hing Cay locianpwe, Thian-hong Taysu, haha, tentunya kau kenal nama-nama beberapa orang ini?" meski sedapat mungkin dia menghibur diri dengan mulut nyerocos. tapi dia sendiri tahu bahwa orang-orang yang dia sebut namanya tadi takkan mungkin meluruk kemari dan lagi umpama benar mereka menyusul datang, belum tentu mereka mampu menolong jiwa Coh Liu-hiang. Biji mata kacung cilik itu kembali berputar katanya: "Benar, agaknya tadi aku seperti melihat berkelebatnya bayangan seorang Hwesio tua, kalau tidak salah memang Thian-hong Taysu."

"Apa benar kau melihatnya?" seru Oh Thi-hoa kegirangan.

"Em! Tapi setelah kutegasi, baru aku tahu ternyata dia bukan seorang Hweshio, tapi adalah seorang laki-laki botak."

Sudah tentu serasa orang yang kebakaran jenggot gusar dan gelisah, Oh Thi-hoa gusar lagi karena permainan bocah cilik ini.

Kacung cilik malah cekikikan katanya: "Kau jangan marah, bukan sengaja aku hendak membuat kau marah, soalnya kau sendiri suka mengapusi dirimu sendiri, terpaksa akupun ikut bantu kau menipumu juga.

"Kau kira bualanmu pantas dibuat girang ya?" damprat Oh Thi-hoa meronta-ronta, "Ketahuilah jikalau kalian benar sudah membunuh Coh Liu-hiang didalam waktu setengah bulan seluruh Yong cui-san-cheng ini bakal dibumi hanguskan dan diratakan dengan tanah, belum habis dia bicara, dari dalam rumah mendadak kumandang suara desingan yang nyaring, seolah-olah barang besi apa yang dipukul dengan gencar.

Setelah didengarkan dengan seksama, suara gaduh ini seperti kumandang dari dalam bumi.

Kacung cilik itu segera mengawasi nona Ping dengan tertawa, katanya: "Apakah macan betina itu sedang main gila lagi?"

Nona Ping menghela napas, katanya: "Dia sedang memanggil orang, bila aku tidak segera turun ke bawah, maka dia akan memukul terus takkan berhenti, sampai orang lain budek dan dongkol setengah mati."

"Kenapa tidak beri hajaran kepadanya supaya orang lain tahu akan tata tertib di sini, pasti dia akan tunduk dan menyerah mentah-mentah," kacung itu mengusulkan.

"Sejak mula aku sudah hendak unjuk gigi kepada mereka, namun nyonya muda justru bersikap ramah-tamah terhadap mereka, untung orang she Coh itu sekarang sudah tamat terhitung akupun boleh terbebas dari kesulitan."

Bila mata Oh Thi-hoa kembali melotot besar, serunya: "Apakah yang kau bicarakan adalah nona Soh dan lain-lain?"

Mengerling biji mata nona Ping, tiba-tiba dia tertawa dengan berkata; "Bukan kau ingin menjenguk mereka? Baik, sekarang juga kubawa kau kepada mereka, kulihat kau dengan macan betina itu memang pasangan yang setimpal."

Lalu dia menghampiri sebuah pigura yang dari lukisan cat kuno serta menurunkannya, maka tampaklah di belakangnya sebuah dinding merekah ke bawah dengan pintu yang cukup untuk turun seseorang ke bawah, undak-undakan batu. Kejap lain mereka sudah tiba di sebuah sel atau kamar tahanan di bawah tanah yang beruji besi.

Begitu Oh Thi-hoa tiba di ruangan bawah, sorot matanya seketika melihat tiga ekor kura-kura.

Ketiga ekor kura-kura besar itu merupakan lukisan dari tinta bak hitam yang melekat pada dinding tembok putih yang berhadapan dengan pintu masuk, yang paling besar ternyata digambar besar dari sebuah meja bundar. Lucu sekali bahwa kepala kura-kura itu ternyata berjenggot dan berkaca-mata, dan yang lain digambar rada kecilan, pada kedua sisi masing-masing ada dilukis tiga baris huruf-huruf pengenal yang berbunyi: "Gambar Li Giok-ham dan gambar Liu Bu-bi.

Dibawahnya tertanda Li Ang siu dari Tionggoan dan Song Thiam-ji dari King-nam.

Tak jauh dari gambar ketiga kura-kura ini, tertulis pula sepasang syair tampilan, masing- masing berbunyi: "Anaknya Linglung, babaknya pikun." "Mantunya gendeng, sekeluarga serba gila."

Kalau Oh Thi-hoa saat itu tidak sedang masgul dan gundah pikiran, mungkin ia sudah tertawa terpingkal-pingkal. Maka setelah maju lebih lanjut, maka dia melihat empat orang. Empat orang gadis muda yang rupawan laksana bidadari.

Yang terlihat oleh Oh Thi-hoa lebih dulu adalah gadis yang berambut kepalanya dikuncir dua, kulit mukanya bersemu abu-abu dengan bulat seperti kuaci, dikombinasi dengan sepasang mata yang jeli, lincah dan membundar besar. Tatkala itu gadis ini sedang memukulkan sebuah baskom tembaga pada terali besi tak henti-hentinya sehingga mengeluarkan suara kelontangan yang gaduh.

Gadis yang di sebelahnya berpakaian celana panjang warna merah menyala seperti api yang sedang membara, namun kulit badannya sedemikian halus, dua orang yang lain sedang duduk berhadapan dipojokkan sana main catur. Kalau di sebelah sini sedang ribut dengan suara baskom tembaga yang diadu terali besi, serasa bumi hampir ambruk, di sebelah sana keadaan justru tenang-tenang tanpa mengeluarkan suara.

Gadis yang di sebelah kiri lemah lembut pendiam, rambutnya yang diikal dengan alis lentik dan bulu mata yang panjang lebat, kerlingan mata yang jernih, selintas pandang bak bidadari yang turun dari kahyangan, sudah lama tidak dikotori oleh kehidupan duniawi.

Sebaliknya gadis yang duduk di sebelah kanan laksana kembang Tho yang mekar di musim semi, namun sedingin tonggak salju di musim dingin pula, roman mukanya yang pucat dengan sepasang biji mata bening setenang gelombang lautan teduh yang mengalun pelan-pelan.

Oh Thi-hoa menghirup napas panjang berulang kali, mulutnya lantas menggumam: "Akhirnya aku berhasil bertemu dengan mereka, namun sayang sekarang segalanya sudah terlambat."

Gadis berkuncir begitu melihat kedatangan nona Ping seketika tertawa besar, serunya: "Perempuan bodoh, memangnya kedua kakimu sudah buntung? Baru sekarang kau kemari, tidak mendengar panggilanku?"

Nona Ping tersenyum saja, sahutnya: "Aku bukan perempuan bodoh, logatmu sukar ku tangkap."

"Apa kau tidak mengerti? Kau tidak mengerti kenapa aku menamakan kau perempuan goblok?" seru gadis itu tertawa besar.

Mimik wajah gadis ini serba aneh dan kaya akan perbuatan yang berlainan, baru saja mukanya masih berseri tawa, tahu-tahu sudah menarik muka dan merengut jelek, serunya: "Kutanya kau, apakah keluarga majikanmu sudah mampus seluruhnya? Sampai ini waktu belum lagi dia membereskan persoalan kita?" logat perkataannya mengandung aksen orang selatan, lama kelamaan nona Ping baru paham apa yang dikatakan, tapi belum lagi dia memberi tanggapan, gadis baju merah itu sudah melotot kepada Oh Thi-hoa, teriaknya: "Oh.. Oh.. bukankah kau she Oh?" "Benar." sahut Oh Thi-hoa tertawa getir, "Aku memang Oh Thi-hoa, tak nyana kau masih ingat kepadaku."

Baru saja dia menyebut namanya sendiri, gadis lemah lembut itu segera tinggalkan biji-biji caturnya memburu ke depan terali besi, dengan melotot mereka awasi dirinya.

Oh Thi-hoa menghela napas, ujarnya: "Aku pun tahu kau bernama Soh Yong-yong, kau ini Li Ang-siu dan kau Song Thiam-ji dulu waktu aku melihat kalian, kalian masih kanak-kanak tak nyana sekarang sudah tumbuh besar.

Li Ang-siu tertawa lebar sahutnya: "Setiap orang tentunya bisa tumbuh dewasa benar tidak?" "Sejak lama aku ingin menjenguk kalian, sayang waktu sekarang ini kurang tepat, tempat ini

terlalu buruk."

Nona Ping menurunkan dirinya di depan terali besi, katanya tertawa: "Kalian sesama sahabat lama bertemu, silahkan ngobrol sepuas hati." mulut bicara sementara ujung kakinya menutul ke atas lantai, papan batu di bawah Oh Thi-hoa tiba-tiba menjeplak terbalik turun dan naik lagi, kontan badan Oh Thi-hoa terjeblos terus terguling-guling didalam terali besi.

Lekas Li Ang siu dan Soh Thiam-ji memburu maju memapaknya duduk, kejap lain tali urat kerbau yang membelenggu seluruh badannya sudah diputuskan seperti burung berkicau kedua orang ini lantas menghujani pertanyaan: "Bagaimana kau bisa datang kemari?"

"Aku sendiripun ingin tanya kalian, kenapa bisa berada di sini?" balas bertanya Oh Thi-hoa.

Song Thiam-ji segera berebut bicara. "Kami tamasya ke gurun pasir naik kuda dan..." dengan logat orang selatan dia nyerocos tidak henti hentinya, tiba-tiba berhenti lalu menambahkan: "Apa yang kukatakan mungkin kau tidak mengerti, biar dia saja yang cerita."

Li Ang-siu segera angkat bicara: "Cerita panjang kuperpendek saja, yang jelas kita sudah bertamasya ke gurun pasir, tak lama kita segera pulang mencari Coh Liu-hiang, namun ditengah jalan kami kesampok dengan Li Giok-ham, Liu Bu-Bi suami istri!"

"Kalian kenal kedua suami istri itu?" tanya Oh Thi-hoa.

"Siapa kenal mereka! Kebetulan hari itu kami mampir ke Kwi-gi-lau sekaligus mencari Siau- ceng-san untuk cari kabar, kebetulan merekapun berada di sana."

Diam-diam Oh Thi-hoa membatin: "Kemungkinan mereka bukan kebetulan berada di sana, yang terang mereka sengaja sedang menunggu kedatangan mereka."

"Semula kami merasa kedua suami istri ini memang sopan santun dan cerdik lagi, katanya mereka keturunan dari keluarga besar persilatan lagi, sehingga sedikitpun kami tak pernah curiga dan siaga akan muslihatnya."

Sampai di sini dia berhenti mengawasi Oh Thi-hoa lekat-lekat, tanyanya: "Jikalau kau tahu martabat mereka, apa kaupun bisa curiga dan siaga akan perangkap mereka?"

"Tidak, soalnya kita tidak secerdik dan seteliti Coh Liu-hiang."

"Dan karena itulah, dia ajak kami seperjalanan maka kamipun terima permintaannya. Tak nyana secara diam-diam mereka sudah memberi obat bius didalam air teh yang kami minum, waktu kami siuman, tahu-tahu sudah diantar ke tempat ini, sungguh aku tidak habis berpikir sebagai putra keturunan dari keluarga besar persilatan yang kenamaan, ternyata sudi melakukan perbuatan yang hina dan serendah ini."

"Kalau aku, akupun takkan menduga."

"Lebih aneh lagi," demikian tutur Li Ang-siu lebih lanjut, "Sampai detik ini, kami masih belum tahu tujuan dan maksud mereka, karena kami terkurung disini tidak pernah kami melihat cecongornya lagi." jarinya menuding Song Thiam-ji lalu meneruskan: "Meskipun setan cilik ini setiap hari pentang bacot memaki kalang kabut, setiap hari membikin ribut, namun apapun yang dia maki, penghuni perkampungan di sini seolah-olah sudah mampus seluruhnya, tiada satupun yang mau muncul kecuali saat-saat tertentu, saking dongkol maka kami menggambar tiga ekor kura-kura di atas dinding, tak nyana mereka betul-betul menjadi kura-kura yang selalu menyembunyikan kepalanya tak mau muncul menemui kami." menghela napas. "Coba pikir, apakah maksud mereka sebenarnya?"

Oh Thi-hoa merasa getir ternggorokannya, dia kebingungan tak tahu apa yang harus dia bicarakan.

Mendadak Soh Yong-yong angkat bicara: "Bukankah kau sudah bertemu dengan Coh Liu- hiang?" dengan tajam dia menatap mukanya, terasa Oh Thi-hoa kerlingan mata orang yang lembut dan hangat, mendadak begitu terang cemerlang, sehingga orang yang dipandangnya takkan bisa berbohong lagi dihadapannya.

Terpaksa Oh Thi-hoa mengangguk sahutnya: "Ya, aku memang sudah bertemu sama dia." "Lalu dimanakah dia sekarang?"

Oh Thi-hoa menundukkan kepala melengos dari tatapan sorot mata orang, sahutnya tersendat: "Aku... aku kurang jelas."

Soh Yong-yong maju ke depannya, katanya tandas: "Kau pasti tahu, kuharap kau jangan kelabui kami, apapun yang terjadi atas dirinya, kuharap kau suka memberi tahu kepada kami, karena kami punya hak untuk mengetahui." semula tutur katanya begitu lebut dan merdu mengasyikkan, namun lama kelamaan nadanya sudah mengandung kekuatiran, melengking dan gelisah, seolah-olah dia sudah mendapat firasat jelek.

Akan tetapi betapa Oh Thi-hoa akan tega menceritakan kabar buruk yang menimpa diri Coh Liu-hiang kepada mereka. Sayang sekali Oh Thi-hoa bukan seorang yang pandai menyembunyikan perasaan hati dan bisa menekan emosi, meski sepatah katapun dia tidak berbincang, namun rona muka Soh Yong-yong lambat-laun semakin pucat, kaki tangan dan bibirnyapun gemetar.

Agaknya seperti kehilangan keseimbangan badan, badannya tak kuat berdiri lagi, mendadak dia meloso jatuh, dengan menjerit bersama Song Thiam-ji dan Li Ang-siu berebut maju memapahnya. Tepat pada saat itu pula, terdengar gerungan lirih tertahan, mendadak Mutiara hitam sudah memburu datang dan sedang mencekik leher Oh Thi-hoa, kulit mukanya pucat tak berdarah, dengusnya sambil melotot: "Sebetulnya apa yang terjadi dan apa pula yang dia alami? Tidak kau katakan biar aku bunuh kau lebih dulu."

Tersipu-sipu Soh Yong-yong meronta bangun, serunya gemetar: "Lepaskan dia, lepaskan  dia... sekali-kali dia tidak punya maksud jahat." "Tapi kenapa dia tidak mau bicara?" sentak Mutiara hitam. "Apa sih yang ingin dia sembunyikan untuk mengelabui kita?"

Air mata bercucuran membasahi pipi Soh Yong-yong, katanya pilu: "Aku tahu kenapa dia tidak mau membuka mulut, karena dia kuatir kita sedih." habis kata-katanya tangisnya pun pecah sesenggukan. Li Ang-sui, Song Thiam-ji dan Mutiara hitam sama berdiri memjublek, ketiganya sama mendelong awasi muka Oh Thi-hoa.

Melihat rona muka dan sorot mata mereka, sungguh serasa ditusuk jarum ulu hati Oh Thi-hoa, sampai detik ini, baru dia benar-benar merasakan dan memahami betapa kecut perasaan seorang sedih hati."

Sekonyong-konyong bayangan seseorang seperti terbang menerjang ruang penjara di bawah tanah ini. Orang ini ternyata bukan lain adalah Li Giok-ham.

Begitu melihat orang ini, biji mata Li Ang-siu dan Song Thiam-ji seketika menyala seperti hendak menyemburkan api. Teriak Li Ang-siu dengan lantang: "Kau keparat busuk ini, berani kau kemari menemui kami?"

Song Thiam-ji menjerit-jerit dengan suara gemetar: "Kau apakan Coh Liu-hiang sekarang?"

Mutiara hitam membentak bengis: "Lebih lekas kau bunuh aku, kalau tidak cepat atau lambat aku pasti akan membunuhmu."

"Bangsat kurcaci." Oh Thi-hoa tidak mau ketinggalan memaki juga, "Beran kau berduel menentukan hidup mati dengan aku?"

Empat orang serempak pentang mulut memaki dengan suara keras dan ribut, namun Li Giok- ham ternyata seperti tunduk mendengar. Tampak rona mukanya pucat, lebih sedih dan harus dikasihani, lebih menakutkan, biji matanya digenangi warna darah, seluruh badan gemetar.

Setelah melihat tegas badannya, Oh Thi-hoa berempat malah melongo dan terheran-heran, disaat mereka bertanya-tanya tak habis mengerti, mendadak Liu Bu-bi ikut memburu datang.

Bukan saja tindak tanduknya kelihatan amat duka, juga kelihatan gugup dan ketakutan. Langsung dia memburu ke depan Li Giok-ham, dengan kencang dia peluk badan orang, serunya setengah meratap gemetar: "Akulah yang membuat gara-gara ini, akulah yang membuat kau celaka."

Li Giok-ham tidak bersuara, matanya lurus mendelong, tangannya pelan-pelan mengelus rambur Liu Bu-bi, sorot matanya penuh diliputi kepedihan, juga diliputi kasin sayang.

Mendadak Liu Bu-bi lepaskan pelukannya sambil putar badan, tengah merogoh sebatang badik yang kemilau terus menghujam keulu hatinya sendiri. Seperti orang gila yang kalap dengan kencang Li Giok-ham menubruk maju serta berteriak serak: "Mana boleh kau berbuat nekad ini, lepaskan tanganmu!"

Air mata sudah bercucuran dimuka Liu Bu-bi, serunya sesenggukan: "Sudah lama aku memberikan beban yang berlarut-larut kepadamu, aku mohon padamu, biarlah aku mati saja, setelah aku mati orang akan memaafkan segala kesalahan kita."

Li Giok-ham membanting kaki, katanya: "Coba kau pikir, setelah kau mati apakah aku masih bisa hidup?"

Bergetar sekujur badan Liu Bu-bi, klontang, badik di tangannya terjatuh di atas lantai, maka mereka lantas berpelukan dan bertangisan dengan keras.

Sungguh Oh Thi-hoa berlima terpaku dan melongo di tempatnya melihat pertunjukan aneh, ganjil dan memilukan ini. Tiada satupun yang tahu apa sebab kedua suami istri ini sekarang berubah begitu mengenaskan, begitu konyol? Memangnya mereka sedang bermain sandiwara pula?

Ditengah sengguk tangisnya, terdengar Liu Bu-bi berkata pula: "Sebetulnya memang aku tega berpisah dengan kau, namun diriku, mana aku tega membiarkan kau ikut sengsara dan tersiksa bersamaku?"

Berkata Li Giok-ham lembut: "Sejak kedatanganmu, setiap hari setiap waktu aku hidup dalam kesenangan, mana boleh kau katakan aku menderita malah?"

"Kalau begitu, marilah tinggal pergi saja. Ke tempat nan jauh mencari suatu tempat yang damai dan tentram, di sana kita menetap, siapapun tak perlu kita temui."

"Tapi kau..."

"Mungkin aku masih bertahan hidup beberapa bulan lagi, setelah beberapa bulan ini."

Li Giok-ham menukas ucapannya, katanya lembut: "Apapun yang terjadi aku tidak akan berpeluk tangan membiarkan kau mati, aku ingin kau hidup abadi."

"Tapi sekarang. "

"Sekarang kita belum putus harapan, paling tidak lima orang itu masih berada ditangan kita." Mendengar percakapan mereka semakin bingung dan pening kepala Oh Thi-hoa. Kenapa Liu

Bu-bi ingin bunuh diri? Kenapa mereka?"

Mendadak Li Giok-ham menghardik keras: "Berdiri di tempatmu, berani selangkah kau maju, akan kutamatkan jiwa mereka." entah sejak kapan kotak perak berisi Bau-hi-li-hoa-ting sudah berada di tangannya dan tertuju ke arah Oh Thi-hoa, tangan yang lain dengan kencang menarik Liu Bu-bi, seolah-olah kuatir kehilangan dirinya.

Dari undakan batu terdengar seseorang menghela napas, ujarnya: "Sampai detik ini, kalian masih belum kapok dan menyudahi persoalan ini? Buat apa pula kalian harus menyiksa diri?"

Ternyata suara ini keluar dari mulut Coh Liu-hiang. Coh Liu-hiang ternyata belum mati.

Siapakah yang menolong jiwanya?

Sudah tentu bukan kepalang senang Oh Thi-hoa dan Soh Yong-yong berempat. Serempak mereka berteriak: "Coh Liu-hiang, kaukah ini?" mereka tidak perlu jawaban, karena mereka benar- benar sudah melihat Coh Liu-hiang. Coh Liu-hiang masih berdiri di undakan batu terbawah, memang dia tidak maju lebih lanjut, karena dia cukup tahu betapa hebat perbawa sambitan dari Bau hi li hoa ting ditangan Li Giok-ham itu.

Sekarang Oh Thi-hoa berlima sama berhimpitan didalam kamar tahanan itu, mereka sama- sama terbidik oleh sambaran Bau hi li hoa ting itu.

Hakekatnya mereka tak sampai dan tak mungkin berkelit dari incaran Bau hi li hoa ting ini.

Oh Thi-hoa berjingkrak sambil bersorak kegirangan: "Ulat busuk, ternyata kau memang tidak mampus, aku tahu kau memang tak bisa mati, memangnya siapa yang bisa membunuh mu?" Meski senang tertawa namun Coh Liu-hiang menjawab dengan menghela napas: "Tapi kalau kali ini tiada orang yang menolong aku, jiwa ku ini terang sudah direnggut oleh mereka."

"Benar ada orang menolong kau? Siapa?" "Kau takkan bisa menerkanya."

"Sudah terang kau tidak akan menerka karena aku sendiripun tidak menyangka, bahwa orang yang menolong aku justru adalah Li Koan-hu Li-locianpwe."

Oh Thi-hoa melongo pula teriaknya: "Anaknya ingin mencabut jiwamu, masakah bapaknya bakal menolong kau malah?"

"Hakekatnya dia tidak tahu seluk-beluk persoalan ini, sekali-kali tak pernah terpikir olehnya hendak mencabut jiwaku, semua peristiwa ini tak lain tak bukan adalah rencana dan kehendak Li- kongcu suami istri sendiri."

"Tapi, tokoh-tokoh macam Swe It-hang itu bukankah mereka benar-benar datang karena undangan dan pesan Li Koan-hu sendiri?"

"Yang terang Li-kongcu ini memalsukan tulisan ayahnya dan memanggil mereka di luar tahu bapaknya, kalau anaknya bicara mewakili ayahnya, sudah tentu orang lain takkan curiga."

"Memangnya kenapa Li Koan-hu sendiri tidak menyangkal dan membongkar muslihatnya ini?" tanya Oh Thi-hoa.

"Karena sejak tujuh tahun yang lalu, Li-locianpwe tersesat jalan didalam latihan ilmunya sehingga darah macet dan badan cacat, sejak itu beliau tak bisa bicara lagi."

Semakin keheranan Oh Thi-hoa mendengar cerita ini, katanya: "Kalau badannya sudah cacat dan tak bisa bergerak, cara bagaimana bisa menolong kau?"

Selama hidup Li locianpwe jujur ksatria dan mengutamakan keadilan dan kebenaran secara gamblang dia mengawasi suatu peristiwa sesat di depan mata, celaka orang justru meminjam atau memalsu namanya, betapa pedih, marah sanubarinya melihat perbuatan putranya yang terkutuk ini, mungkin kaupun takkan dapat membayangkan keadaannya pada waktu itu, namun dia justru hanya bisa mengawasi dengan mendelong tanpa mampu mencegah atau berbuat apa-apa, bergerakpun tidak bisa.

"Mungkinkah karena amarahnya itu, sehingga hawa murninya yang tersumbat dalam latihannya dulu tiba-tiba jebol oleh arus kemarahan yang di luar batas itu?"

"Ya, begitulah terjadinya."

"Tanpa kau jelaskan, aku sudah mengerti apa yang terjadi selanjutnya." "O, Ya?"

"Waktu Liu Bu-bi acungkan pedang hendak membunuh kau, mendadak dilihatnya Li-locianpwe tiba-tiba bisa bergerak dan bicara sudah tentu kejutnya bukan main, seseorang bila tahu tipu muslihat dan perbuatan jahatnya sudah konangan dan terbongkar rahasianya, siapapun akan ketakutan."

"Tidak salah." "Waktu dia nekad hendak membunuh kau, kelima Cianpwe itu tentunya tak membiarkan maksudnya terlaksana, tatkala itu mungkin Li Giok-ham sendiri sudah lemas ketakutan maka segera dia ngacir ke tempat ini."

Coh Liu-hiang tersenyum, katanya: "Rekaanmu memang sembilan puluh persen benar, hebat benar otakmu memang sudah lebih cerdik. Tapi kalau kau pun bisa menemukan tempat ini, kenapa tidak kau bawa tua bangka yang tertipu itu kemari juga?"

"Urusanku sendiri, sudah tentu harus kubereskan sendiri pula." "Kau mampu membereskan?"

"Aku sendiri tidak tahu apa benar dalam dunia ini ada urusan yang tak bisa dibereskan, sedikitnya sampai detik ini aku belum pernah menghadapinya."

Sebetulnya soal ini boleh kelak dibicarakan pelan-pelan, tapi mereka justru nyerocos tidak henti-hentinya, seolah-olah sudah lupa dimana mereka bicara dan kapan mereka mengobrol. Seolah-olah tidak sadar bahwa Li Giok-ham dan Liu Bu-bi sedang berdiri di sana. Song Thiam-ji dan Li Ang-siu dan lain-lain sedang mengawasi dengan pandangan heran.

Dan yang membuat Soh Yong-yong berempat amat duka dan mendelu, bukan saja Coh Liu- hiang tidak ajak mereka bicara, sampaipun melirikpun tidak ke arah mereka, selama ini cuma sibuk bicara dengan Oh Thi-hoa.

Diantara mereka berempat hanya Soh Yon-yong seorang saja yang dapat meraba maksud hati Coh Liu-hiang, dia tahu mereka sedang memancing perhatian Li Giok-ham dengan percakapan ini. Asal perhatian Li Giok-ham rada terpencar dan sedikit lena, maka Coh Liu-hiang akan berusaha dan mendapat kesempatan untuk turun tangan merebut alat rahasia di tangannya itu, betapa cepat Coh Liu-hiang turun tangan, Soh Yong-yong cukup yakin dia pasti akan berhasil.

Apa boleh buat, ternyata tanpa berkedip pandangan Li Giok-ham masih menatap Coh Liu- hiang, tangannya masih kencang memegangi Bau hi li hoa ting itu. Apapun yang dikatakan Coh Liu-hiang seolah-olah tidak dia dengar, namun sedikit tangan Coh Liu-hiang bergerak, maka Bau hi li hoa ting di tangannya itu segera akan memberondong keluar.

Diam-diam Soh Yong-yong mengucurkan keringat dingin dan berdiri bulu kuduknya, hatinya tegang dan seram, karena dia maklum untuk merebut Bau hi li hoa ting ditangan Li Giok-ham itu, usaha Coh Liu-hiang akan berat, laksana mencabut gigi dimulut harimau.

Mendadak Li Giok-ham menghardik bengis: "Sudah selesai percakapan kalian?"

"Apa kaupun ingin bicara?" tukah Oh Thi-hoa. "Bagus, biar aku tanya kau dulu, bahwasanya Coh Liu-hiang ada permusuhan apa dengan kau? Kenapa kau hendak mencelakai jiwanya?"
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar