Pendekar Pengejar Nyawa Jilid 33

Jilid 33

"Sebetulnya sejak mula kau sudah tahu akan hal ini, kecuali anak murid dari keluarga Li. Siapa pula yang dapat memperoleh alat senjata rahasia yang amat berharga ini?"

"Kecuali anak murid hartawan besar yang paling kaya di seluruh bilangan Kanglam ini, siapa pula yang mampu sekali jreng membayar dua puluh ribu tail perak bagi seorang pembunuh untuk jiwamu?"

"Harus disayangkan, tidak berhasil mencuri ayam, mereka malah kehilangan segenggam beras."

Oh Thi-hoa tertawa besar, katanya: "Tapi kalau aku tentu memilih dua puluh ribu tail perak itu."

Mereka tertawa riang saling berpandangan, seolah-olah sudah merupakan situasi dan keadaan bahaya yang selalu mengintai mereka, terlupakan pula oleh mereka bila jiwa mereka mampus di Yong-cui-san-cheng, uang perak dan alat rahasia itu, bakal terjatuh kembali ketangan orang.

Hakekatnya didalam benak kedua orang ini selamanya tidak pernah terpikir soal mara bahaya segala.

Gunung itu dinamakan Hou-kiu atau harimau mendekam, semula dinamakan Hay yong san, letaknya di luar kota Soh-ciu sejak jaman dahulu kala, banyak maha raja pada dinasti kerajaan yang terdahulu sama dimakamkan di sini. Gunung ini tidak begitu tinggi, namun penuh dilembari catatan sejarah, dan dongeng-dongeng indah yang tersebar luas di kalangan rakyat jelata. Sejak lama sekali gunung ini sudah menjadikan tempat pesiar bagi para pelancongan.

Ternyata tanpa kurang suatu apa, dengan selamat Coh Liu-hiang dan Oh Thi-hoa sampai di Ko-soh. Mereka tidak mengitari tembok kota namun terus menerobos masuk begitu saja dan melewatinya. Li Giok-ham dan Liu Bu-bi masih bersikap wajar bicara dan kelakar, siapapun takkan tahu bahwa hati kedua belah pihak ada mengandung ganjalan-ganjelan serba rumit.

APakah Coh Liu-hiang keliru perhitungan? Setiba di kota yang terkenal karena keindahan alamnya ini, mau tidak mau akan timbul perasaan hangat dan nyaman dalam sanubari setiap pengunjung, siapa pula yang punya pikiran hendak membunuh orang?

Sepanjang jalan-jalan raya yang lebar dan bersih itu, dimana mana seolah-olah dipenuhi oleh kemolekan gadis-gadis rupawan, rambut mereka yang panjang dikepang bergoyang gontai tertiup angin, setiap kali beradu pandang selalu mereka melontarkan senyuman manis dan mekar.

Mata Oh Thi-hoa sampai mendelong kesima, mendadak dia tertawa lebar, katanya: "Adakah kalian pernah menyadari akan sesuatu hal yang lucu ? Orang di sini ternyata semuanya sama tidak suka pakai sepatu"

Tampak sekian banyak orang-orang yang hilir mudik dijalan raya yang ramai ini memang jarang ada orang yang bersepatu, malah ada yang bertelanjang kaki, kebanyakan mengenakan sandal rumput, tiada yang bersepatu dengan hak tinggi, terutama kaum wanitanya, langkah mereka jadi begitu halus gemulai membuat hati orang seperti dikili-kili.

Kembali Oh Thi-hoa tertawa, katanya: "Tahukah kalian kenapa mereka sama tidak suka pakai sepatu? Sebabnya akupun sudah bisa menjawab."

Li Giok Ham bertanya: "Kenapa?" "Karena kaki-kaki mereka terutama kaum wanitanya tumbuh jauh lebih baik dari kaki-kaki orang daerah lain, kalau kaki yang baik itu tidak dipertontonkan kepada orang, bukankah menyia-nyiakan karunia Thian?"

Memang kaki gadis kota Soh-ciu ini bukan saja bagus, malah sejak lahir mereka seperti memang sudah diberikan perbawaan. Terutama di luar kota, sering kita bisa lihat banyak sekali gadis-gadis yang membawa keranjang berisi kembang kenanga, dengan langkah enteng dan lincah mereka mengejar kereta-kereta yang berlalu lalang, melompat naik turun dengan gesit dan ringan, terdengar pula suara kata katanya yang menggunakan bahasa daerah, semerdu itu suara mereka, siapa yang tega untuk tidak membelinya beberapa kuntum?

Tujuh Li di luar kota, itulah Hoa-kiu-san. Tapi baru saja keluar pintu kota, dari kejauhan sudah tampak tanah pegunungan yang memanjang berwarna hijau permai dan megah, laksana seekor harimau yang sedang mendekam siap menerkam mangsanya, sikapnya garang dan galak, kepala terangkat ekor bergoyang dengan angkernya.

Waktu melewati kota Ko-soh mereka jalan kaki, setiba di luar kota kembali mereka naik ke atas kereta. Oh Thi-hoa membuka tutup jendela, mengawasi para gadis -adis desa yang lincah dan juga serta ayu-ayu tak tahan dia berkata kepada Coh Liu-hiang: "Badan dara-dara ayu ini sungguh amat ringan dan cekatan sungguh calon-calon berbakat untuk belajar silat, jikalau mereka meyakinkan ilmu Ginkangnya ku tanggung mereka pasti tidak akan lebih rendah dari kau."

"Memang sejak kecil mereka sudah biasa melakukan. Seolah-olah sudah dilatihnya dengan matang, entah berapa kali mereka lompat naik turun kereta setiap harinya, sudah tentu cara ini jauh lebih sederhana dan leluasa dari latihan Ginkang." Tengah dia bicara, tahu-tahu seorang nona kecil yang mengenakan baju hijau dengan sepatu rumput, rambutnya terkuncir besar mengkilat, lompat naik ke atas kereta di tangannya memegang kelompok-kelompok kembang kenanga yang dibuat membundar seperti bola katanya dengan seri tawa manis: "Kembang kenanga yang harum semerbak, Kongcu ya silahkan membeli beberapa kuntum."

Mengawasi tangan kecil mungil dan jari yang runcing-runcing itu Oh Thi-hoa tak tahan tertawa lebar, katanya: "Apakah kembangnya yang harum? Atau tanganmu yang harum?" Merah muka nona kecil ini, katanya dengan bibir cemberut, "Sudah tentu kembangnya yang harum, tidak percaya silahkan Kongcu-ya menciumnya.

Dengan bergelak tawa Oh Thi-hoa segera ulur tangan hendak menerima kembang itu, tak nyana Coh Liu-hiang merebutnya lebih dulu, katanya tertawa, "Kembang harum dan baik pasti banyak durinya, apakah kembang ini ada durinya? Jangan nanti menusuk hidungku lho."

Nona kecil itu cekikikan, katanya: "Kongcu-ya ini pintar berkelakar, mana ada kembang kenanga yang berduri di dunia ini?"

"Kalau demikian, baiklah aku beli beberapa kuntum, ujar Coh Liu-hiang. "Cuma sayang meski kembang ini indah, tiada orang yang mau memakainya, apa boleh buat, beberapa kuntum kembang ini kuhadiahkan kepada nona saja." mendadak bola kembang itu diangsurkan ke depan muka nona kecil itu.

Seketika berubah rona muka nona kecil ini, tahu-tahu badannya melejit ke atas terus bersalto sekali dan melompat jauh setombak lebih.

Oh Thi-hoa mengerut alis, katanya mengomel: "Nah, coba lihat, kau hidung belang ini bikin nona kecil itu ketakutan sedemikian rupa."

Coh Liu-hiang menghela napas, ujarnya: "Jikalau aku tidak bikin dia kaget ketakutan pergi, maka ia pasti akan merenggut jiwaku."

"Apa katamu?" teriak Oh Thi-hoa tersirap.

Coh Liu-hiang tidak menjawab, pelan-pelan dia mengelopak demi kelopak bola kembang kenanga itu, akhirnya tepat ditengah tengah bundaran kelompok kembang itu, tampak menongol keluar sepuluhan batang ujung jarum hitam kecil yang mengkilap.

"Jarum beracun?" teriak Oh Thi-hoa.

"Kalau aku tidak merebutnya segera, cukup asal jari-jari kecilnya itu melempar bola kembang ini, apakah jiwamu dan jiwaku masih bisa hidup sampai sekarang?"

Lama Oh Thi-hoa terkesima dengan mulut melongo, setelah menyeka keringat tak tahan dia bertanya: "Kali ini cara bagaimana kau bisa tahu akan muslihat musuh?"

"Nona-nona kecil itu sejak kecil sudah biasa menjual kembang dijalan raya ini, dari sini dapatlah dibayangkan bahwa mereka adalah anak-anak orang golongan miskin, siang hari menjual kembang, malam hari harus membantu menyelesaikan pekerjaan rumah, mana mereka bisa mempunyai tangan sehalus dan seputih seperti jari-jarinya yang runcing terpelihara begitu baik?"

Oh Thi-hoa masih melongo sekian lamanya pula, katanya tertawa getir: "Sepasang mata telingamu ini memang terlalu luar biasa." "Masih ada nona-nona kecil ini dilahirkan di sini dan dibesarkan di sini pula, lalu darimana mereka bisa bicara dengan logat kota yang begitu fasih, begitu dengar dia bicara, aku lantas tahu akan keganjilan ini."

"Agaknya kabar yang tersiar di kalangan Kang-ouw memang tidak salah. Sesuai dengan julukannya sebagai Maling romantis, Coh Liu-hiang memang seorang cerdik pandai, lalu dia menambahkan dengan suara pelan: "Menurut kau apakah nona cilik ini adalah utusan yang diperalat oleh mereka suami istri?"

Coh Liu-hiang membungkus jarum-jarum hitam itu dengan sebuah sapu tangan, katanya: "Setiba ditempat ini, masakah mungkin ada orang lain, kalau kali ini berhasil, bukan saja mereka bisa mungkir pura-pura tak tahu, kalau tidak berhasilpun tidak menjadi soal."

"Agaknya tempat yang harus kita tuju hari ini bukan Hu-kiu "Harimau mendekam" tapi adalah Hu-hiat "sarang harimau".

"Kalau tidak masuk ke sarang harimau, masakah kau bisa mengambil anak harimau?" "Bukan harimau jantan lho, tapi harimau betina."

Setiba di depan pintu gunung tepat di Hui-kiu, semua orang turun dari kereta, sikap Li Giok- ham suami istri tetap wajar dan bicara seperti biasa, bersenda gurau pula, seolah-olah tiada pernah terjadi apa-apa sepanjang jalan ini.

Apakah nona kecil itu tiada sangkut pautnya dengan mereka? Apakah rekaan Coh Liu-hiang kali ini meleset?

Di depan pintu gunung, ada terdapat sebuah pasar kecil, sungai kecil berliku-liku melalui pasar kecil yang ramai ini, ditempat dermaga yang tepat terletak di pusat pasar itu berhenti beberapa perahu pesiar, dari dalam perahu-perahu pesiar itu terdengar suara cekikikan tawa genit beberapa orang perempuan.

Setelah memasuki pintu pesanggrahan besar, di sini banyak kaum gelandangan dan kuli-kuli serta berbagai macam kaum jembel, begitu melihat ada tamu-tamu datang lantas merubung maju minta sedekah, ada pula yang dari kejauhan sudah menjura dan unjuk tawa berseri menyapa: "Li- kongcu sudah pulang? Hujin baik-baik saja?"

Coh Liu-hiang dan Oh Thi-hoa sekilas bertemu pandang hari mereka membatin: "Entah dalam rombongan pengemis ini adakah anggota Kaypang?"

Tatkala itu mereka sudah tiba di Jian jin-sek "batu ribuan orang" yang terkenal itu. Tampak sebidang batu besar yang dapat diduduki ribuan orang, selepas mata memandang, bukan saja tidak kelihatan ujungnya, sampaipun sebatang rumputpun tidak kelihatan, diujung utara batu datar ini malah terdapat sebuah panggung batu.

Terdengar Liu Bu-bi sedang berkisah: "Menurut tradisi sejak jaman dulu, kabarnya watu Go- ong membangun kuburan di sini menggunakan ribuan tukang batu, setelah kuburan selesai dibangun, kuatir tukang-tukang batu itu membocorkan alat-alat rahasia yang terpendam didalam kuburan ini. Go-ong perintahkan mengubur hidup-hidup ribuan tukang batu itu di bawah batu besar ini, oleh karena itu maka tempat ini dinamakan Jian jin-sek."

"Peristiwa kejam pada jaman dulu itu, ternyata diceritakan dengan nada riang dan lincah dari mulut Liu Bu-bi, seolah-olah cerita itu sendiri sedikitpun tidak berbau darah. Tak tahan Oh Thi-hoa bertanya: "Apa pula gunanya panggung batu itu?"

"Itulah tempat berkotbah bagi padri agung sejak jaman dinasti Tong yang dipimpin oleh Liang- pin."

Langkah kaki Liu Bu-bi selincah dan semerdu suaranya, angin pegunungan menghembus dari belakang batu, rambutnya tertiup melambai lambai, pakaiannya pun dihembus menari-nari, sehingga sekilas pandang dirinya laksana bidadari yang turun dari kahyangan.

Oh Thi-hoa terlalu asyik mendengarkan, memandangnya terpesona pula, dalam hati dia membatin dengan gegetun: "Secantik bidadari ini, apa benar dia sebagai seorang pembunuh yang kejam?"

Tak lama kemudian merekapun tiba di Kiam-ti "telaga pedang". Di sini tampak pepehonan tumbuh subur menghijau dan permai. Sebuah jembatan kayu laksana pelangi menjulang naik terus melintang ke seberang sebelah sana, air telaga jernih dan bening kehijauan terasa rada dingin, titik-titik buih berkembang di permukaan air."

Berdiri di pinggir empang terasa oleh Coh Liu-hiang bau harum nan dingin merangsang hidung, ditengah bayang-bayang warna kehijauan nan bening di dalam air empang seolah-olah mengandung hawa membunuh yang tebal.

Coh Liu-hiang tersenyum, katanya: "Pujangga terkenal dinasti Tong Liu Siu gim, menilai air di sini sebagai sumber air nomor lima di seluruh jagat, di luar tahunya bahwa air di sini pun besar manfaatnya buat merendam pedang, banyak tokoh-tokoh pedang masa lalu suka mencuci dan merendam pedangnya di sini, kini tempat inipun sudah diberi nama lain oleh jago pedang nomor satu di seluruh jagat Li-locianpwe, memang nama Kiam-ti amat serasi dan sesuai pula dengan situasi dan keadaannya."

"Khabarnya nama inipun mempunyai asal-usulnya sendiri." sela Liu Bu-bi. "O? Bagaimana ceritanya?" tanya Coh Liu-hiang.

"Khabarnya kuburan yang dibuat Go-ong itu tepat berada di telaga kecil ini, waktu beliau meninggal, tiga puluh batang pedang mestika ikut masuk liang kubur, sampai Ho yang-kiam yang turun temurun sebagai penegak negara itupun termasuk diantaranya, oleh karena itu tempat ini dinamakan juga Kiam-ti."

Coh Liu-hiang tersenyum ujarnya: "Jikalau aku bisa terkubur disini, berdampingan bersama kejayaan Go-ong dulu, kiranya tidak sia-sia perjalanku sejauh ini kemari!"

Tidak berubah sikap dan mimik Liu Bu-bi, katanya tertawa berseri: "Coh-heng sudah tahu bahwa air telaga di sini sebagai sumber air nomor lima di dunia, tahukah bahwa sumber air nomor tiga di dunia inipun berada di sini?"

Setelah mengelilingi Kiam-ti, di depan rada jauh sedikit mereka telah menemukan sebuah sumur batu yang besar sekali, permukaan sumur lebar beberapa tombak, di pinggir sumur dibangun sebuah gardu yang dikelilingi pagar kayu yang berlika-liku segi enam.

Coh Liu-hiang tertawa, ujarnya: "Tentunya inilah Lou-ih-teh-kin sumber air nomor tiga di dunia itu, dulu Li locianpwe ada mengundang tokoh-tokoh pedang terkenal di seluruh jagat di sini menikmati air teh dan mencuci pedang serta menilai ilmu pedang masing-masing. Sikap terjang dan kebesaran wibawa para Cianpwe yang terdahulu, sungguh merupakan cambuk dan tauladan bagi generasi muda seperti kita." Sekonyong-konyong terdengar seseorang menghela napas panjang katanya: "Namun harus disayangkan gunung dan air tetap abadi, para manusianya justru sudah tak lengkap lagi."

Waktu itu magrib sudah menjelang, tabir malam mualai mendatang, cahaya matahari menguning guram sudah mulai terbenam, bayangan harimau mendekam di puncak menara nan tinggi, seekor elang sedang terbang berputar sehingga pemandangan alam nan permai itu terasa menjadi tawar dan dingin.

Demikian pula helaan napas yang rawan dan mendelu itu, terasa amat patah semangat dan serba gegetun.

Tampak segulung asap tengah bergulung keluar dan mengepul baik ke udara dari gardu enam persegi itu. Gardu gunung nan dingin dan sepi, tampak duduk seorang kakek tua beruban dengan pakaian orang suci dan bersanggul kepala seperti kaum sastrawan. Seorang diri duduk didalam gardu menikmati minuman tehnya. Kesunyian yang mencekam dirinya agaknya mirip benar dengan elang yang sedang berputar-putar di puncak menara di atas gunung sana.

Bercahaya biji mata Coh Liu-hiang, katanya: "Apakah Lo siansing dulu juga salah satu orang yang hadir didalam pertemuan besar menikmati teh dan menilai ilmu pedang di sini itu?"

Orang tua beruban kembali menghela napas ujarnya: "Benar, cuma harus disayangkan para sahabat itu banyak yang sudah wafat, ketinggalan Losiu yang selalu kejangkitan penyakit, masih gelandangan di dunia fana ini, bila ingin mencari orang untuk menemani Losiu menikmati teh dan menilai ilmu pedang disinipun tak terlaksana lagi."

Coh Liu-hiang dan Oh Thi-hoa beradu pandang, seketika berdiri bulu roma mereka, hati pun mencelos dingin. Tokoh-tokoh pedang yang dulu pernah ikut menjajal pedang di sini tiada satupun yang tak mempunyai kepandaian pedang yang tiada taranya, jika sampai sekarang belum meninggal tentunya ilmu pedangnya sudah sempurna dan tak ada bandingannya.

Apakah kakek tua ini kebetulan hari ini iseng mengunjungi tempat lama yang penuh kenangan pahit getir, atau sengaja diundang kemari untuk menunggu didalam gardu itu? besar kemungkinan bukan secara kebetulan, memangnya siapa yang sedang dia tunggu?

Oh Thi-hoa segera tampil bertanya: "Entah siapakah nama mulia Lo-siansing?" Kakek tua tak berpaling, namun pelan-pelan dia menjawab: "Losiu Swe Ie-hang."

Terkesiap darah Coh Liu-hiang serunya: "Apakah Jay sing ih-su Swe-locianpwe yang dulu pernah membacok putus nyawa Kwe-thian-sing dan terkenal dengan julukan It-kiam-tang-sam- san, "pedang tunggal menggertakan tiga gunung" itu?"

Mendadak kakek tua itu berdiri, menengadah tertawa panjang daun-daun pohon dimusim rontok disekeliling gardu seketika bergetar rontok berhamburan seperti kembang salju melayang layang jatuh. Sehabis tertawa panjang berkata dengan lantang: "Coh Liu-hiang memang luar biasa, Losiu baru saja menyeduh teh baru, kenapa tuan tidak kemari sama-sama menikmati teh wangi ini?"

Tanpa berpaling namun dia sudah tahu bahwa yang datang ternyata adalah Coh Liu-hiang jelas bahwa sejak lama dia sudah mendapat kabar dari Li Giok-ham dan menunggu kedatangan Coh Liu-hiang ditempat ini.

Waktu Coh Liu-hiang dan Oh Thi-hoa berpaling, Li Giok-ham suami istri entah sejak kapan sudah menghilang secara diam-diam, tanpa diketahui kemana perginya. Diam-diam Coh Liu-hiang menghela napas namun dia unjuk senyum, katanya: "Menikmati minuman teh boleh kuiringi, jikalau hendak jajal pedang, Cayhe terus terang. "

Swe It-hang mendadak berpaling dengan mata mendelik, serunya bengis: "Terus terang kenapa? Meski usia Losiu sudah lanjut, namun pedang masih belum loyo!" maka terdengar "Sreng" seperti pekik naga mengalun diangkasa, tahu-tahu kakek tua ini sudah mencekal sebatang pedang panjang warna putih sebening air. Coh Liu-hiang yang berdiri beberapa tombak jauhnya masih merasakan hawa pedang yang dingin mengiris kulitnya.

"Pedang bagus!" tak tertahan Oh Thi-hoa berseru memuji.

"Sudah tentu pedang bagus" ujar Swe It-hang bangga dan angkuh, sorot matanya lebih tajam dari cahaya pedangnya, katanya melotot kepada Coh Liu-hiang: "Sudah tigapuluh tahun pedang Losiu ini tidak pernah meninggalkan sarungnya, hari ini demi kau dia melihat dunia pula, boleh kau merasa bangga karenanya."

Coh Liu-hiang menghela napas, ujarnya: "Pedang ternama keluar dari sarungnya, selamanya pantang kembali dengan kosong. Apakah hari ini Cianpwe sudah bertekad hendak memenggal kepala Cayhe?"

Beringas muka Swe It-hang, serunya lantang: "Angkatan pendekar sebagai kaum persilatan memangnya harus berani ajal di bawah pedang, memangnya kau takut mati?"

Sesaat berdiam diri, akhirnya Coh Liu-hiang berkata: "Kalau Cianpwe berkukuh hendak memberi pengajaran, Cayhe terpaksa harus melayani tapi semoga Cianpwe suka memberi penjelasan tentang satu soal, dengan kewibawaan dan gengsi Cianpwe tentunya tidak akan menyembunyikan persoalan ini."

"Soal urusan apa?" tanya Swe It-hang.

"Selamanya Cayhe tidak bermusuhan, tiada sakit hati dengan Cianpwe, sebaliknya Cianpwe berkukuh hendak menamatkan jiwa Cayhe, apakah mendapat pesan atau diperintah orang lain?"

Bertaut alis tebal Swe It-hang, sahutnya: "Memang tidak salah, tapi jikalau lawanku bukan Coh Liu-hiang si Maling romantis, Losiu pun tidak sudah turun tangan."

Coh Liu-hiang tertawa tawar, katanya: "Kalau Cayhe bertanya lebih lanjut dari siapa Cianpwe mendapat perintah ini, tentunya Cianpwe malu mengatakannya, tapi meski Cianpwe tak mau menerangkan, Cayhe pun sudah dapat meraba tujuh delapan puluh prosen."

"Bagus sekali, kalau begitu hayolah keluarkan senjatamu!"

"Baiklah," sahut Coh Liu-hiang belum lagi suaranya lenyap, tiba-tiba badannya melambung tinggi ke angkasa, melejit ke arah sepucuk pohon yang tinggi dan besar disamping sana, sekali raih dengan ringan dia memetik setangkai dahan pohon.

Swe It-hang dijuluki Jay-sing "memetik bintang" betapa tinggi ilmu Ginkangnya dapatlah dibayangkan dari nama gelarnya ini, tapi melihat gaya lompatan Coh Liu-hiang ini seketika berubah hebat rona mukanya.

Tampak dengan ringan tanpa mengeluarkan suara Coh Liu-hiang sudah jumpalitan balik menancapkan kakinya ditempat semula, dahan pohon itu dia kutungi sepanjang lima kaki di ujung dahan pohon itu masih terdapat tiga lima lembar daun pupus dengan melintangkan dahan di depan dada segera ia memberi gaya penghormatan kepada angkatan yang lebih tua, katanya: "Silahkan Cianpwe." Bertaut alis Swe It-hang, tanyanya: "Itukah senjatamu?" "Ya"

Swe Ih-hang gusar, dampratnya: "Anak muda terlalu pongah dan takabur, umpama Li Koan-hu sendiripun tak berani bersikap kurang ajar seperti kau ini terhadap Lohu."

"Sedikitpun Cayhe tidak takabur dan memandang rendah segala." "Memangnya apa maksudmu?"

"Asal dipakainya dengan betul, segala benda di dalam mayapada nan luas ini, semua adalah alat senjata yang dapat melukai orang, tergantung siapa pemakai dan cara bagaimana menggunakannya, umpama senjata sakti mandraguna peninggalan jaman kono, kalau si pemakainya tidak becus juga tidak akan bisa melukai orang. Cianpwe seorang kosen, mengapa tidak paham akan pengertian ini?" kata-katanya diucapkan secara wajar, enteng dan tawar namun maknanya betul-betul mengandung sindiran pedas yang menusuk perasaan.

Diam-diam Oh Thi-hoa bersorak geli dalam hari, dia tahu inilah salah satu strategi perang Coh Liu-hiang didalam menghadapi musuhnya, jikalau musuh terlalu tangguh, maka Coh Liu-hiang pasti menumpas kewibawaan dan menekan ketabahan hatinya lebih dulu.

Apalagi pedang ditangan Swe It-hang itu, terang adalah senjata sakti yang dapat mengiris besi seperti mengiris sayur, jikalau Coh Liu-hiang menggunakan senjata tajam yang terbuat dari logam melawannya, terang takkan kuat melawan ketajaman pedang lawan.

Kini dia menggunakan dahan pohon yang lemas untuk melawan musuh, yang diambilnya adalah cara lemas mengatasi kekerasan umpama tidak dapat merenggut keuntungan paling tidak dirinyapun tidak terlalu besar.

Baru sekarang Oh Thi-hoa betul-betul menyadari kecerdikan Coh Liu-hiang didalam menghadapi musuh, memang jarang dan tidak mungkin ditandingi orang lalu, hampir tak tahan dia ingin membujuk kepada Swe It-hang: "Kenapa kau begitu getol ingin bertanding dengan Ulat busuk? Jay sing ih-su julukanmu ini tidak gampang kau peroleh, kenapa kau harus mempertaruhkan gengsi dan nama baikmu yang bakal runtuh ini?"

Asap yang mengepul dari wedang teh didalam gardu sudah menguap hilang ditelan angin pegunungan.

Swe It-hang tidak banyak bicara lagi, selangkah demi selangkah dia berjalan keluar, langkah kakinya mantap dan amat pelan, hanya dua langkah kakinya beranjak Oh Thi-hoa sudah dibikin kaget dan melongo.

Oh Thi-hoa sendiri sering berkelahi dan suka melabrak musuhnya mati-matian, sejak kecil sampai setua ini wataknya belum pernah berubah, selama hidupnya setiap kali bertarung dengan lawan, hampir dikata dianggapnya seperti dirinya makan nasi dan minum air seperti layaknya kehidupan manusia umumnya.

Selama sepuluh tahun belakangan ini, boleh dikata musuh macam apapun pernah dihadapinya, sudah bukan mustahil bila diantara sekian banyak musuh-musuhnya terdapat pula tokoh-tokoh ahli pedang yang kenamaan. Diantara tokoh-tokoh pedang itu termasuk ahli pedangnya ad pula yang enteng dan cepat laksana kilat menyambar, ada pula yang amat ganas dan keji. Tapi peduli siapapun setelah gaya pedang dan jurus serangannya dilancarkan baru menjadikan ancaman yang fatal bagi musuhnya.

Tapi Swe It-hang yang dilihatnya sekarang bukan saja pedang panjangnya belum bergerak menyerang, sampaipun badaniahnya seolah sudah diasah menjadi senjata golok, seluruh badannya dari ujung kaki sampai atas kepala lapat-lapat mengeluarkan hawa membunuh yang bisa mengecilkan nyali musuhnya.

Sebagai orang di luar kalangan yang tiada sangkut paut dengan pertempuran adu jiwa ini Oh Thi hoa sudah merasakan ancaman berat ini, apalagi Coh Liu-hiang yang berhadapan secara langsung. Siapa akan menduga kakek tua sebagai sastrawan yang alim dan welas asih dengan gelaran si suci memetik bintang ini, didalam waktu sesingkat ini bisa berubah begitu kejam dan menakutkan.

Hembusan angin pegunungan yang menderu keras membuat pakaian sucinya yang longgar itu melambai-lambai, berbunyi nyaring, langkah kakinya tak berhenti terus melangkah ke depan tapi orang lain justru tidak merasakan bahwa badannya sedang bergerak.

Soalnya dia sudah himpun seluruh semangat, kekuatan dan jiwanya ke dalam segulung hawa pedang yang merupakan tumpuhan ilmu pedangnya, orang lalu cuma merasakan hawa pedangnya seperti menyesakkan napas sehingga seolah-olah sudah melupakan kehadiran badan kasarnya.

Badaniahnya sudah menyatu dengan hawa pedang dan bersatu padu, memenuhi mayapada diantara bumi dan langit, oleh karena itu disaat dia bergerak, seperti tak bergerak, waktu tak bergerak seolah-olah sedang bergerak.

Akhirnya Oh Thi-hoa betul-betul menemukan kebesaran pambek seorang Cianpwe kosen ahli pedang ini, betul-betul tak terjangkau oleh nalar dan pemikiran siapapun. Semula dia berniat membujuk dan menasehati Swe It-hang sekarang mau tidak mau hatinya gundah dan menguatirkan keselamatan Coh Liu-hiang malah.

Dia sendiri tidak habis mengerti dengan cara bagaimana baru dia bisa menggempur dan memecahkan perpaduan hawa pedang yang kokoh itu.

Hembusan angin gunung cukup deras, tapi seluruh mayapada dan isinya seolah-olah sudah membeku jadi satu.

Terasa oleh Oh Thi hoa keringat dingin sebesar kacang setetes demi setetes mengalir keluar, seluruh penghuni jagat dalam sekejap ini seolah-olah berhenti bergerak dan mati rasa sampai sang waktu seolah-olahpun berhenti. Terasa seolah-olah ada sepasang tangan yang tidak kelihatan, sedang mencekik lehernya. Napasnya hampir sesak dan berhenti sama sekali.

Sukar dia membayangkan betapa tersiksa keadaan Coh Liu-hiang pada saat itu, tapi pada saat itu mendadak Coh Liu-hiang melejit tinggi ke tengah angkasa laksana burung bangau raksasa melambung tinggi. Siapapun takkan menyangka di bawah tekanan tenaga musuh yang begitu hebat, dia masih kuasa melambung ke angkasa, siapapun takkan menduga kekuatan dan daya luncur lompatannya itu ternyata begitu cepat laksana samberan anak panah.

Sekokoh batu gunung Swe It-hang berdiri di tempatnya tak tergoyahkan, cuma pedang di tangannya itu sesenti demi sesenti terangkat naik, pedangnya itu seolah-olah diganduli bobot laksaan kati, kelihatannya begitu berat dan lamban sekali. Tapi dengan jelah Oh Thi-hoa masih bisa mengikuti gerak pedang orang ternyata dia telah mengikuti gerak-gerik badan Coh Liu-hiang selincah naga menari diangkasa, namun ujung pedang orang selalu mengincar badan Coh Liu-hiang dalam jarak dua dim saja. peduli kemanapun Coh Liu-hiang meluncur turun, terang takkan lolos dari ancaman tusukan pedang lawan.

Tapi akhirnya Coh Liu-hiang meluncur turun dan tancap kaki di tanah. Waktu melesat tinggi tadi badannya meluncur laksana anak panah, begitu tiba di atas langit, bergerak seperti kecapung menunggang bola api, berputar dan menari-nari, perubahannya tak terhitung banyaknya, dan tak mungkin ditiru serta tak bisa ditandingi.

Pedang Swe It-hang sudah siap bergerak menyerang. Pada saat itulah dahan pohon ditangan Coh Liu-hiang mendadak bergeming bergerak membundar, beberapa daun di ujung dahan itu, mendadak meninggalkan dahannya dan meluncur ke arah muka Swe It-hang.

Swe It-hang bersuit panjang, pedang berubah menjadi tabir cahaya yang rapat dan seperti gugusan gunung membundar.

Tampak oleh Oh Thi-hoa cahaya pedang orang sudah menelan Coh Liu-hiang bulat-bulat, beberapa lembar daun itu, sudah tertekan hancur lebur oleh kekuatan hawa peang yang tajam dan dahsyat itu, lenyap tanpa bekas.

Akan tetapi begitu cahaya pedang kuncup, pedang ditangan Swe It-hang tahu-tahu sudah menjuntai turun lunglai, rona mukanya kaku tidak menunjukkan mimik perasaan, seluruh kulit badannya seolah-olah didalam sekejap itu sudah membeku dan dingin.

Kalau dia diibaratkan sebuah golok, maka dia sekarang sudah berubah sebagai golok kayu, berubah tak bersinar, dan kelam, ketajaman dan kewibawaan hawa pedangnya pun sudah sirna tak berbekas lagi.

Waktu dia melirik ke arah Coh Liu-hiang, tampak orang sudah meluncur turun dan hinggap satu tombak di hadapan Swe It-hang, dahan pohon di tangannya sudah gundul dan terbeset kulit pohonnya karena ketajaman hawa pedang itu.

Bukan saja Oh Thi-hoa tidak tahu orang bagaimana Coh Liu-hiang lolos dan menyelamatkan diri dari kepungan cahaya pedang musuh yang dilandasi hawa pedangnya, diapun tak tahu bagaimana kesudahan dari akhir pertempuran kedua orang ini, entah siapa menang dan pihak mana kalah.

Entah berapa lama akhirnya Coh Liu-hiang membungkuk badan katanya: "Ilmu pedang Cianpwe tiada taranya, selama hidup belum pernah melihatnya."

Dengan hambar Swe It-hang mengawasinya, mulutnya menggumam: "Bagus, bagus, bagus sekali..." beruntun dia berkata tiga kali, pedang saktinya itu tiba-tiba berubah jadi selarik bianglala yang melesat terbang ke tengah udara laksana kilat menyambar d icuaca menjelang gelap ini, terus meluncur ke arah Kiam-ti. Sesaat kemudian, terdengar "Plung". Maka sejak ini Kiam-ti ketambahan sebatang pedang tajam luar biasa yang sakti.

Dengan hampa Swe It-hang melepas pedangnya ke tempat nan jauh di sana, seluruh badannya seolah sudah luluh, jiwa dan sukmanya seolah-olah sudah ikut pedangnya itu kecemplung ke telaga pedang.

Tak urung terunjuk rasa prihatin dan mendelu pada muka Coh Liu-hiang katanya menghela napas: "Cayhe mengambil keuntungan meski untung berhasil lolos dari pedang Cianpwe, tapi aku sendiri belum bisa menang, buat apa Cianpwe..."

"Kau tak usah bilang lagi." Coh Liu-hiang mengiakan dengan tunduk kepala.

Lama Swe It-hang menatapnya pula lekat-lekat, tanpa bicara sepatah katapun tiba-tiba dia putar badan terus melangkah lebar turun gunung.

Coh Liu-hiang geleng-geleng kepala, ujarnya menghela napas: "Memang tidak malu orang ini diagulkan sebagai Enghiong, cuma harus disayangkan, orang seperti ini semakin lama semakin jarang di Kang-ouw."

Tanya Oh Thi-hoa: "Ucapannya terakhir, Apakah maksudnya? Apa kau benar-benar paham?" "Dia memberitahu kepadaku, demi membalas budi kebaikan Li Koan-hu, umpama dia harus

mempertaruhkan jiwa raga sendiripun tak menjadi soal, oleh karena itu meski dia tak tahu kenapa Li Koan-hu ingin membunuh aku, tidak bisa tidak dia turun tangan."

"Kalau demikian jadi dia mendapat pesan Li Koan-hu mencegatmu di sini?" "Tentu saja demikian."

"Tapi kenapa Li Koan-hu hendak membunuh kau?"

"Seorang tua demi anak dan menantunya, urusan apapun bisa saja dia lakukan."

"Tadi cara bagaimana kau mengalahkan dia? Bukan saja aku tidak melihat jelas, kupikirpun takkan terpecahkan."

"Ilmu pedang orang ini memang sudah mencapai taraf yang tiada taranya, boleh dikata dia sudah membuat pedang yang berwujud itu menjadi abstrak "tidak berwujud" seluruh tubuhku sudah terkurung, hampir bernapaspun tak bisa lagi."

"Aku yang berada di luar kalangan saja serasa sesak, apalagi kau?"

"Kalau aku tidak cari akal untuk menjebol keluar dari kurungan hawa pedangnya lebih dulu, pasti pasrah dan menyerah untuk dipenggal kepalaku saja oleh karena itu aku terpaksa harus menyerempet bahaya, disaat dua ganti napas, mendadak aku melejit ke atas" Dengan tertawa getir ia melanjutkan: "Tentunya kau sudah tahu, menghadapi tokoh kosen seperti Swe It-hang, bukan saja sedang menghadapi bahaya, bila sekali seranganmu gagal berarti kau mengantar jiwamu!"

"Memangnya gerakan menyerang dengan cara terapung di udara ini, hanya bisa dilancarkan bila yang kuat menyerang yang lemah, karena sekali kau gagal, berarti kau kejeblos ke jalan buntu, maka waktu aku melihat kau menggunakan jurus seranganmu ini hampir saja mencolot keluar."

"Begitu badanku terapung ditengah udara, maka lebih jelas aku melihat pusat dari kekuatan hawa murninya yang kokoh dan tak tergoyahkan, oleh karena itu terlebih dulu aku gunakan daun- daun dari dahan pohon di tanganku untuk memancing gerakannya sehingga pemusatan hawa pedangnya itu buyar."

"Teorimu ini aku tak bisa menerimanya."

"Soalnya waktu itu dia sudah kembangkan seluruh kekuatan dan kemahirannya dalam mengendalikan hawa pedang itu, umpama air gentong yang luber atau anak panah yang sudah dipentang busurnya tinggal membidikkan saja cukup tersentuh sedikit saja, maka anak panah itu harus dilepaskan."

"Em, ya, perumpamaan ini memang tepat." "Nah, itulah teori yang kupakai."

"Teori apa? Aku masih belum paham."

"Dengan kekuatan tenaga dalam, aku sambitkan daun pohon itu, hawa pedangnya sudah penuh sesak, begitu tersentuh oleh sesuatu benda dari luar, seketika menimbulkan reaksi yang hebat luar biasa. Celaka adalah begitu hawa pedang itu bekerja, tak mungkin dikendalikan lagi, bukan saja beberapa daun pohon itu hancur lebur seluruhnya, umpama badan seseorang pun pasti luluh tak berbekas lagi."

"Begitu lihaynya."

"Tapi begitu hawa pedang itu bergolak dan bekerja maka tampaklah titik lobang kelemahannya."

"Kenapa?"

"Karena seluruh tumpuan kekuatannya terpusatkan pada titik itu, dengan sendirinya lantas menunjukkan kekosongannya maka aku tak sia-siakan kesempatan ini, dengan ujung dahan pohon di tanganku itu aku berhasil sedikit menutul kepalanya." sampai di sini Coh Liu-hiang tertawa panjang, katanya pula kemudian: "Namun demikian aku, toh terkena juga oleh tutulan tenaga hawa pedang yang dahsyat itu, sehingga terpental jauh beberapa tombak."

Oh Thi hoa menyela keringat katanya tertawa lebar: "Akan tetapi, apapun yang terjadi kenyataan sejurus kau dapat mengalahkan dia."

"Sejurus ini amat enteng dan gampang dikatakan, bahwasanya amat sukar dilaksanakan, apalagi walau ujung dahan kayu itu berhasil menutul kepalanya sekali-kali takkan mampu melukai dia, maka sebetulnya dia tidak perlu mengaku kalah."

"Kalau demikian, bila waktu itu dia tidak kalah dan melabrakmu lebih lanjut, bukankah jiwamu bakal amblas?"

"Itupun belum tentu." "Kenapa belum tentu?"

"karena tindakanku itu sudah membikin hawa pedangnya pecah tercerai berai, kalau dia berusaha memusatkan hawa pedangnya lagi dalam waktu sesingkat itu, akupun tidak akan memberi kesempatan kepadanya, maka dia merangsek lebih lanjut, kita masing-masing harus berkelahi mengandal kematangan permainan jurus silat masing-masing."

"Darimana kau tahu bila permainan jurus tipu-tipu silatnya tidak ungkulan melawan kau?" "Kalau membicarakan kehebatan jurus tipu-tipu silat yang terlihai, dalam kolong langit ini,

mungkin tiada seorangpun yang bisa menandingi Ciok-koan-im.

Oh Thi-hoa kedip-kedip mata, tanyanya tiba-tiba: "Jikalau Swe It-hang melawan Ciok-koan-im bagaimana?" "Ciok-koan-im pasti akan menang." "Berdasar apa kau berani berkata demikian?"

"Karena Swe It-hang sendiri belum bisa mengendalikan hawa pedangnya itu sedemikian rupa dan senyawa dengan raganya, dapat dimainkan sesuka hatinya, diapun belum mampu melebur hawa pedangnya itu ke dalam permainan jurus tipu-tipu ilmu pedangnya."

"Kalau dia berhasil melebur hawa pedang itu ke dalam jurus tipu perubahan ilmu pedangnya?" "Maka kepandaiannya takkan menemui tandingan dikolong langit."

"Aku mengharap dalam dunia ini ada seseorang seperti itu, supaya kaupun merasakan pahit getirnya, selamanya kau selalu menang perang, jikalau kalah sekali, mungkin kepandaian silatmu baru bisa mencapai taraf yang tiada taranya."

Sebetulnya Oh Thi-hoa berkelakar dengan ucapan ini, tak nyana Coh Liu-hiang justru menanggapi dengan serius: "Ya, memang begitulah, disitulah letak teori ilmu silat yang paling mendalam, harus disayangkan selama hidup ini aku paling gemar menyerempet bahaya, setiap kali berhadapan dengan musuh tangguh, tanpa kusadari secara reflek aku menggunakan jurus permainan yang menyerempet bahaya pula. bila aku kalah maka jiwaku tanggung mampus, oleh karena itu walau aku tahu akan kelemahanku ini, namun tetap aku main untung-untungan menyerempet bahaya untuk menempuh kemenangan."

Oh Thi-hoa malah melongo, katanya: "Sebetulnya tujuanmu bukan melulu ingin menang dan lagi bila kau tidak menggunakan cara yang menyerempet bahaya, jelas kaupun bakal mampus karena bila kau tidak membunuh atau melukai musuh, sebaliknya musuh bakal menamatkan riwayatmu."

"Maka cepat atau lambat, akan datang suatu hari, aku pasti akan mampus ditangan orang lain."

"Tapi kaupun tidak perlu kuatir, orang yang dapat membunuh kau, kukira sampai detik ini belum lagi lahir!"

Kabut semakin tebal sehingga tabir malam terasa semakin kelam.

Disongsong datangnya gulita ini mereka naik ke puncak gunung, melewati Yam yang-sung.

Hau-cu-beng, Toan-liau-nam. Kam-kain-swan. Sik-kiam-sek. Jin-sian-ting dan Sian-jin-tong.

Tapi mereka tidak menemukan jalan yang langsung menembus ke Yong-ciu-san-cheng.

Hampir saja Oh Thi-hoa sudah curiga bahwa Yong-cui-san-cheng apa benar terletak di Hou-kin- san ini. Kata Oh Thi-hoa dengan mengerut kening: "Apa kau sendiripun belum pernah berkunjung ke Yong cui san-cheng?"

"Belum, aku cuma dengar bahwa Yong cui san-cheng terletak dalam pelukan gunung jauh dari Tay ouw, pulau pasir yang indah permai dengan layar berkembang, asap mengepul ditengah rumpun bambu, merupakan tempat yang panoramanya terindah di seluruh gunung ini."

Waktu Oh Thi-hoa hendak bersuara lagi, tiba-tiba dilihatnya dikejauhan sana terangkat tinggi sebuah lampion perak, bergoyang-goyang terhembus angin, seolah terletak pada suatu puncak gunung yang tinggi. "Permainan apa pula itu?" ujar Oh Thi-hoa mengerut kening.

"Apapun yang akan terjadi di sana kita harus menengok kesana." ajak Coh Liu-hiang.

Cepat sekali mereka kembangkan Ginkang melesat ke atas puncak, setelah dekat dilihatnya sebuah menara raksasa, bercokol tinggi dengan angkernya ditengah hembusan angin gunung yang deras, menara ini tujuh tingkat setiap tingkatnya terdapat genteng wuwungan yang miring menjulur keluar.

Lampion merah itu tergantung di bawah payon genteng, yang paling tinggi, namun suasana sepi lenggang, hanya pohon menara yang bergoyang gontai mengeluarkan suara-suara melengking yang bersahutan, tiada tampak bayangan seorangpun di sini.

Siapakah yang menggantung lampion itu di atas sana, apa tujuannya?

Cahaya lampion laksana darah, di bawah penerangan cahaya merah darah ini, tampak pada dinding menara, di bawahnya bertuliskan sebaris huruf-huruf tapi karena tulisan berada di puncak tertinggi, sehingga tidak begitu jelas dan tak terbaca dari bawah.

"Matamu lebih jeli dari mataku, apa kau sudah melihat jelas apa yang tertulis di atas itu?" Agaknya Coh Liu-hiang seperti memikirkan sesuatu, dia cuma geleng kepala.

"Biar kutengok ke atas sana." kata Oh Thi-hoa. Baru saja dia hendak melompat, tahu-tahu Coh Liu-hiang sudah menariknya.

"Aku tahu pasti mereka sedang mengatur tipu daya di sini, tapi kalau kita tidak kesana hati terasa mendelu."

"Biar aku yang naik" kata Coh Liu-hiang. Tanpa menunggu jawaban Oh Thi-hoa badannya sudah melambung ke atas, dia sendiripun tahu bukan mustahil di atas sana ada perangkap keji yang menunggu dirinya, maka gerak-geriknya teramat hati-hati dan waspada.

Sebentar saja tampak badannya seenteng burung walet sudah mencapai tingkat ke enam, akhirnya dia sudah melihat jelas tulisan di dinding itu yaitu berbunyi: "Coh Liu-hiang mampus di sini." selintas pandang dia sudah membaca tulisan ini, mesti hati amat kaget namun sedikitpun dia tidak menjadi gugup, tanpa banyak membuang waktu langsung badannya meluncur turun ke bawah.

Siapa nyana pada saat itu pula sekonyong-konyong dari puncak menara terkembang sebuah jawa raksasa.

Selama ini Oh Thi-hoa menengadah mengawasi gerak-gerik Coh Liu-hiang, dengan jelas dilihatnya sinar kemilau dari benang-benang jala itu, seolah-olah terbuat dari kawat-kawat lemas yang halus, meski bobotnya enteng tapi daya luncurnya ternyata amat pesat.

Disaat Coh Liu-hiang hampir terbungkus dan terjerat oleh jala besar ini, tak terasa Oh Thi-hoa menjerit memperingatkan: "Awas!"

Ditengah peringatan Oh Thi-hoa itu, badan Coh Liu-hiang sudah melorot turun dengan lebih cepat, sehingga jala yang terkembang itu seolah-olah ketinggalan diatas kepalanya, keruan Oh Thi-hoa menghela napas lega.

Tak nyana dari tingkat kelima menara batu ini, sekonyong-konyong laksana kilat menyambar keluar sebatang sinar perak yang kemilau pula, agaknya seperti tombak arit yang melengkung, senjata yang jarang terlihat dan dipakai oleh kaum persilatan. ujung tombak menggantol kedua lutut Coh Liu-hiang.

Sudah tentu bukan kepalang kaget Coh Liu-hiang, namun dia tetap tenang, sigap sekali sebelah tangannya menepuk pinggiran wuwungan tingkat kelima, cepat sekali badannya sudah bersalto mundur ke bawah. Namun demikian setelah dia terhindar dari gantolan musuh, badannya berarti masuk perangkap jala lebar itu, seketika seperti ikan besar yang terjaring seluruh badannya bergelimang didalam jala, terus melayang turun dengan berputar-putar ditengah-tengah udara.

Tapi tombak gantolan itu cepat sekali terulur keluar pula dan menggantol jala sehingga jala tak sampai jatuh ke bawah, dengan sendirinya Coh Liu-hiang tergantung ditengah udara dengan tanpa bisa bergerak didalam jala meski dia sudah kerahkan seluruh kekuatannya, makin lama benang-benang jala itu malah mengencang dan menjirat kulit dagingnya.

Selama berdampingan berjuang dan malang melintang, entah berapa lama Oh Thi-hoa dan Coh Liu-hiang mengalami pertempuran antara mati dan hidup, namun selamanya belum pernah mereka menghadapi alat senjata serba aneh, perangkap serba licik dan licin seperti ini.

Reaksinya boleh dikata sudah amat cepat, namun perubahan yang dihadapinya justru lebih cepat lagi, hakikatnya Oh Thi-hoa sendiri tidak sempat mengawasi cara bagaimana Coh Liu-hiang bisa terjaring ke dalam jala musuh. Tampak sinar perak kemilau bergoyang, tahu tahu Coh Liu- hiang sudah tergantung ditengah udara.

Sekali merogoh tangan Oh-Thi-hoa lolos pisau pendek didalam slop sepatunya, tahu-tahu badannya sudah melejit tinggi, sinar pisaunya laksana bianglala terbang mengirim kearah jala besar itu.

Namun didengarnya Coh Liu-hiang membentak kepadanya: "Lekas mundur kedua orang ini tak boleh dilawan..." ditengah bentakannya ini, dari puncak menara tahu-tahu meluncur sesosok bayangan seperti burung raksasa.

Malam remang-remang sehingga tak terlihat jelas bentuk mukanya, yang terang orang ini berperawakan tinggi besar, solah-olah seorang didalam dongeng pada jaman purba dulu.

Terasa pandangan Oh Thi-hoa tiba-tiba menjadi gelap, seolah-olah menara raksasa ini tiba- tiba runtuh menindih ke atas kepalanya, ke arah manapun dia berkelit menghindarkan dirinya tetap terkurung didalam bayangan hitam ini.

Kalau kaum keroco yang menghadapi situasi segawat ini, saking takutnya mungkin sudah pikirkan keselamatan diri sendiri dan berusaha lari, jelas dia takkan lari dari tindihan bayangan raksasa laksana gugur gunung ini.

Betapapun nyali Oh Thi-hoa memang berlipat ganda lebih besar dari orang lain, bukan saja dia tidak lekas melorot turun berusaha menyelamatkan diri, dengan mengacungkan pisau di tangannya, dia malah menerjang naik memapak ke arah bayangan raksasa ini. Cara tempur dan serangan yang ingin mengadu jiwa dengan musuh seperti ini, biasanya dipandang perbuatan memalukan bagi seorang tokoh kosen, namun ada kalanya dapat merubah situasi memutar keadaan merebut inisiatif penyerangan lebih dulu. Soalnya lawan sudah yakin bila dirinya pasti menang, sudah tentu dia takkan sudai melayani cara tempur yang nekad ini, akan tetapi bagi siapapun untuk merubah gerakan jurus permainan silatnya didalam waktu sesingkat itu, jelas bukan urusan yang mudah dilakukan atau boleh dikata tidak mungkin. Diluar tahunya bayangan besar dari makhluk raksasa ini ternyata bergerak sedemikian lincah dan gesit sekali, mendadak bayangannya berputar, ditengah udara badannya melayang menyingkir lima kaki jauhnya.

Tepat pada saat itu pula, tombak gantolan mendadak ditarik mundur, sudah tentu Coh Liu- hiang yang tergantung ditengah udara dalam jala besar itu seketika melayang jatuh.

Coh Liu-hiang melayang jatuh sementara Oh Thi-hoa menerjang naik, keruan kedua-duanya saling terjang dengan kerasnya, untuk pisaunya dapat dia geser ke samping sehingga tidak melukai Coh Liu-hiang, berpaling seluruh hawa murni yang dia kerahkan, seketika dia buyarkan, dia rela dirinya keterjang sampai luka-luka, betapapun dia tidak mau membuat luka Coh Liu-hiang. "Blang" seperti meteor jatuh badan Coh Liu-hiang menumbuk Oh Thi-hoa dengan dahsyatnya.

Karena tenaga dan hawa murninya tiba-tiba kuncup, keterjang begitu keras lagi, seketika terasa kepalanya berat, matanya berkunang-kunang, tanpa kuasa Oh Thi-hoa jatuh semaput. Lapat-lapat masih terasa olehnya badan Coh Liu-hiang menindih di atas badannya. 

Belum lagi musuh bergerak atau menyerang, tahu-tahu pihak sendiri telah dipukul roboh dan tak bisa berkutik lagi.

Sesaat kemudian terdengarlah seseorang tertawa terpingkal-pingkal, serunya: "Banyak orang bilang betapa hebat dan lihainya kedua orang ini, ternyata hanya begini saja." suara orang ini kedengarannya melengking tajam dan cepat sekali, seperti suara anak kecil yang lagi menanjak dewasa, tapi setiap patah katanya dapat didengar sampai ketempat jauh, betapa kuat Lwekangnya, kiranya sudah terlatih beberapa puluh tahun.

Seorang lain segera menjawab: "Memangnya di kalangan Kangouw banyak kaum keroco yang suka mengagulkan diri, tapi kedua orang ini terhitung lumayan juga."

Suara orang ini justru seperti genta yang ditalu, dan lagi amat perlahan dan lamban, dia bilang sepatah kata, orang lain sudah berkata tiga empat kata.

Kuping Oh Thi-hoa terasa pekak waktu dia membuka mata, maka dilihatnya dua orang tinggi pendek berdiri di depannya.

Umpama orang pendek ini berjinjit paling hanya seperut orang di sebelahnya, badannya kurus kering seperti genteng, kepalanya menggunakan topi rumput yang besar sebesar roda kereta.

Seolah-olah mirip benar dengan jamur payung, seluruh badannya yang kurus itu terselubung oleh bayangan topinya, bahwasanya sukar terlihat raut mukanya.

Orang yang tinggi ini biji matanya seperti kelintingan tembaga, pinggangnya kira-kira dua pelukan orang dewasa, rambut panjang awut-awutan, sebagian di sebelah belakang dikuncir jadi dua, selintas pandang mirip benar dengan patung penjaga pintu kelenteng pemujaan.

Pakaian yang dikenakan kedua orang ini amat mewah kalau tidak mau dikatakan terlalu perlente, jelas tukang jahitpun seorang ahli yang sudah kenamaan, tapi pakaian perlente ini dipakai oleh orang-orang dengan perawakan seperti mereka, kelihatannya tidak keruan.

Yang pendek mengenakan jubah sutra yang baru berwarna menyala, namun dimana-mana berlepotan minyak, terang kancing pertama, namun dimasukkan ke dalam kancing ketiga.

Orang gede di sebelahnya juga mengenakan jubah panjang warna merah dengan celana panjang warna biru, sayang ukuran jubahnya ini paling tidak kurang tiga angka, karena panjangnya kurang dua kaki, dengan badan sebesar itu mengenakan pakaian ketat dan kependekan seolah-olah pakaiannya hasil curian saja.

Kedua orang yang aneh dan lucu ini, kenyataan memiliki kepandaian silat sedemikian tinggi.

Oh Thi-hoa hampir tidak percaya akan pandangan matanya sendiri, tanyanya: "Siapakah namamu? Kenapa..."

Belum habis pertanyaannya si pendek itu sudah berteriak: "Masakah aku ini tidak kau kenal?" "Memangnya Oh Thi-hoa Oh Tayhiap seperti aku ini kenal orang macam kalian ini?"

Si pendek menghela napas gumannya: "Tak nyana setelah malang melintang sekian tahun di Kang-ouw, bocah keparat ini sia-sia hidup setua ini, masakah aku orang tua inipun tidak dikenalnya" sembari bicara topi rumput di atas kepalanya ditanggalkan, katanya menambahkan: "Coba kau lihat biar jelas, siapa aku ini?"

Tampak oleh Oh Thi-hoa kepala orang ini gundul pelontos tanpa seutas rambutpun dan lagi kepalanya ini satu lipat lebih besar dari kepala orang biasa. Dengan badan yang kurus punya kepala sebesar itu, seperti sumpit yang diatasnya menusuk sebuah bakpao, sayang keadaan Oh Thi-hoa masih lemas dan linu bergerakpun tidak bisa, kalau tidak melihat tampangnya ini tentu tak tahan dia terpingkal-pingkal geli.

Berkata pula si pendek: "Sampai sekarang kau masih belum tahu siapa aku ini?"

"Aku hanya tahu bahwa kau ini adalah si gundul botak saja, memangnya apanya yang perlu dibuat heran?"

Si pendek pun tidak marah, malah tertawa berseri, katanya: "Kalau gundul lantas tiada apa- apanya?"

"Tidak ada apa-apanya? sudah tentu tidak punya rambut." "Tiada rambut berarti Bu-hoat, benar tidak?"

Selamanya belum pernah Oh Thi-hoa berhadapan dengan orang secerewet ini, malas rasanya meladeni bicara orang.

Si pendek kembali mengenakan topi rumput besarnya ke atas kepalanya, katanya sambil mendongak: "Dimana langit kenapa langit tidak kelihatan?" dengan menggunakan topi rumput sebesar itu mesti kepalanya mendongak, langit memang tidak dilihatnya. Tak tertahan Oh Thi-hoa tertawa, tapi sekilas otaknya berpikir kulit daging mukanya seketika kaku dan mengejang secara mendadak.

Si pendek tertawa riang, ujarnya: "Kini tentu kau sudah tahu siapa aku orang tua ini bukan?" "Kau..." suara Oh Thi-hoa serak tersendat. "Apakah kau ini Bo-hoat Bo-thian To Kau-ang?"

Bo hoat Bo-thian berarti tidak kenal aturan tidak mengenal Thian, To Kau-ang adalah aki jagal anjing.

Si pendek berjingkrak sambil tepuk tangan serunya: "Kau bocah ini ternyata pengetahuan juga, boleh dididik, boleh dipelihara!" lalu dia julurkan tangannya menuding si raksasa itu, katanya: "Kau tahu siapa dia?" Oh Thi-hoa menghela napas, katanya getir: "To Kau-ang dan To Hi-po selamanya seperti bandulan tidak pernah meninggalkan timbangan, tidak ketinggalan bandulan, masakah aku tidak tahu?"

"Benar, dia inilah istriku tercinta Thian-lote-hong To Hi-po adanya. Aku orang tua ini meski Bo hoat-bo thian, tapi begitu masuk kedalam Thian-lo-te-hong jangan harap bisa membalikkan badan lagi." Thian-lo te hong berarti pencakar langit jalan bumi.

Mahluk raksasa sebesar ini ternyata adalah seorang perempuan, hal ini sudah amat luar biasa, lebih menggelikan lagi bahwa perempuan ini ternyata adalah istri manusia kurus kerempeng yang kering ini, siapapun terpingkal-pingkal dan pecah perutnya.

Tapi Oh Thi-hoa tidak bisa tertawa lagi, karena dia cukup tahu meski kedua orang ini jenaka dan suka humor, namun selama seratus tahun mendatang ini dalam kalangan Bulim mereka adalah salah satu dari empat pasangan suami istri yang berkepandaian amat tinggi.

Bukan saja kedua orang ini menggunakan senjata yang jarang dipakai oleh kaum persilatan umumnya, ilmu silat merekapun luar biasa aneh dan lihai, sepak terjangnya sudah dirubah itu tangannya. Selamanya tiada orang yang tahu asal-usul perguruan kedua orang ini. Selamanya tiada orang yang tahu kapan mereka muncul, ada kalanya kedua orang ini laksana datangnya hujan badai, mendadak lenyap begitu saja, selama dua tiga puluh tahun belakangan ini sudah tak terdengar pula kabar berita mereka, maka tiada orang yang tahu kemana mereka pergi dan dimana mereka berada.

Tapi setiap kaum persilatan sama tahu satu hal, yaitu: Lebih baik kau berdoa terhadap Thian Yang Maha Kuasa, jangan sekali kali kau berbuat salah terhadap kedua suami-istri ini, siapapun jikalau berdosa terhadap kedua orang ini, maka selama hidupnya jangan harap bisa mengecap hari-hari dengan tentram dan sentosa.

Tampak To Kau-ang masih tertawa cengar-cengir, begitu lebar tawanya dan terpingkal-pingkal sampai napasnya memburu tersengal-sengal, tapi sekilas Toh Hi Po melirik kepadanya, seketika dia hentikan tawanya dan tidak berani meringis lagi
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar