Pendekar Pengejar Nyawa Jilid 32

Jilid 32

Orang baju hitam itu masih belum berlalu dari kejauhan, dia masih menonton pertengkaran ini dengan berseri riang, sudah tentu Oh Thi-hoa semakin keripuhan, belakangan diapun naik pitam, serunya: "Kukatakan besok ya besok pasti kubayar, lepas tanganmu" dia membalik badan hendak melempar badan si kakek tua ini, siapa tahu cekalan kakek tua ini ternyata kencang dan kuat sekali, tahu-tahu pergelangan tangannya malah dipegang begitu keras seperti kacip.

Baru sekarang Oh Thi-hoa betul-betul terkejut, ternyata si kakek tua penjual mi inipun seorang tokoh kosen, gelagatnya orang malah sehaluan dan sejalan dengan orang baju hitam itu.

Kalau dalam keadaan biasa, Oh Thi-hoa tak perlu gentar, tapi bukan saja dirinya tinggal sebelah tangan yang bisa bergerak, malah Lwekangnya paling tidak sudah susut tujuh delapan puluh persen. Tangannya dicengkeram lagi, bergerakpun tidak bisa, orang baju hitam seorang saja dirinya kewalahan dan tak mampu menghadapinya, bila ditambah kakek tua ini, masakah dia bisa memilih jalan hidup.

Kakek tua itu masih merengek-rengek: "Tidak keluarkan uang peraknya, biar aku adu jiwa dengan kau."

Oh Thi-hoa tertawa dingin, jengeknya: "Kau tidak tahu kau. " belum habis dia berkata tiba-tiba

kakek tua dekap mulutnya, lalu berbisik di pinggir telinganya: "Bocah itu masih berdiri di sana, biar kubantu kau, dia tak akan bisa lolos."

Begitu Oh Thi-hoa melongo, kakek tua itu sudah mencaci lagi lebih keras dengan mulut berkaok-kaok, matanya berulang kali memberi tanda lirikan kepada Oh Thi-hoa supaya dirinya siap-siap.

Sebat sekali Oh Thi-hoa meronta dan membalik berbareng kakek tua itu pegang bahu dan pundaknya ikut menggelundung terus dorong kedua tangannya dengan kuat, meminjam kekuatan dorongan ini badan Oh Thi-hoa laksana anak panah mencelat terbang sejauh enam tujuh tombak. Sudah tentu orang baju hitam itu kaget, teriaknya tertahan: "Kau. "

Baru sepatah kata keluar dari mulutnya, tiba-tiba Oh Thi-hoa sudah terbang di atas kepalanya dan tancap kaki, di belakangnya satu tombak mencegat jalan larinya, dengan mengacungkan alat Bau-hi-li-hoa-ting Oh Thi-hoa membentak dengan bengis: "Barang apa yang ku pegang di tanganku ini, tentunya kau sudah tahu seujung jarimu saja berani bergerak, dua puluh tujuh batang paku perak ini akan kutancapkan ke atas badanmu!"

Orang baju hitam itu menarik napas panjang, katanya dengan suara sember: "Kau. apa yang

kau inginkan?"

"Sebetulnya ada dendam permusuhan apakah dengan Coh Liu-hiang, kenapa kau berbuat serendah itu dengan membokongnya?"

"Aku tidak punya dendam sakit hati apa-apa dengan dia" sahut orang baju hitam. "Jadi kau mendapat tugas dan perintah majikanmu untuk membunuh dia?" "Bukan!"

"Kalau demikian tanggalkan kedok mukamu biar kulihat jelas siapa kau sebenarnya?" Bergetar badan orang baju hitam, agaknya dia kaget menjublek.

Oh Thi-hoa tertawa gelak-gelak, katanya: "Aku sudah menduga, aku pasti kenal baik sama kau, oleh karena itu kau berusaha menyembunyikan kepala tidak berani dilihat orang, sekarang kalau kau sudah terjatuh ke tanganku, masakah kau ingin mengelabui aku lebih lanjut?"

Tiba-tiba orang baju hitam itu tertawa besar sambil menengadah, tangan bertolak pinggang. Oh Thi-hoa gusar, dampratnya: "Apa yang kau tertawakan?"

"Aku hanya menertawakan diriku sendiri, kenapa suka turut campur urusan tetek bengek, beberapa kali berusaha menolong jiwamu, kini bukan membalas budi pertolonganku, kau malah hendak membalas dengan dendam penasaran, menggunakan alat senjata rahasia sekeji itu pula untuk menghadapi aku."

Keruan Oh Thi-hoa melongo, tanyanya: "Kau pernah menolong jiwaku?"

"Waktu kau terkurung oleh Ciok-koan-im, siapa yang menolong kau dengan membunuh para murid Ciok-koan-im? Waktu kau minum arak beracun Ciok-koan-im, siapa pula yang memberi obat penawar kepadamu? Masakah kejadian belum lama ini sudah kau lupakan?"

Belum habis kata-katanya, Oh Thi-hoa sudah berjingkrak kaget, teriaknya: "Burung Kenari, jadi kau inilah Burung Kenari?"

"Hmm." orang baju hitam mendengus hidung.

"Kau, beberapa kali menolong jiwaku? Kenapa pula sekarang kau hendak mencabut jiwaku?" "Jikalau aku benar-benar menginginkan jiwamu, memangnya kau masih bisa hidup sampai

sekarang?"

Kembali Oh Thi-hoa tertegun dibuatnya, tanyanya: "Tapi kau, kau kenapa?" "Tidak usah kau banyak tanya." sentak orang baju hitam beringas. "Sekarang juga aku hendak pergi, jikalau hendak membalas air susu dengan air tuba, kebaikan kau bayar dengan kejahatan, silahkan kau sambitkan Bau-hi-li-hoa-ting itu kepadaku." mulut bicara, badanpun berputar, habis kata-katanya kakinya sudah berlari beberapa langkah.

"Tunggu dulu, aku ingin omong." Oh Thi-hoa berkaok-kaok.

Tanpa menoleh dan tidak dihiraukan seruannya, orang baju hitam itu lari ketempat gelap dan sekejap saja telah menghilang, terpaksa Oh Thi-hoa mengawasi bayangan orang pergi dengan mendelong sedikitpun dia tidak memperoleh akal cara bagaimana dirinya harus bertindak. Karena dia memang bukan manusia rendah diri yang membalas kebaikan orang dengan perbuatan jahat, betapapun misterius dan serba tersembunyi sepak terjang si Burung Kenari ini, betapapun orang pernah menolong jiwanya.

Tengah dia terlongo, didengarnya orang batuk-batuk di belakangnya, berkata seseorang dengan tertawa: "Koan-hucu, Koan Kong, di jalan raya Hoa-yong pernah juga melepas Coh Bing- tik, sikap Oh Tayhiap hari ini, tak ubahnya seperti pambek Koan-hucu pada jaman Sam Kok dulu, yang patut dipuji dan dibanggakan karena keluhuran budi dan kebijaksanaannya, setia dan dapat dipercaya." Ternyata kakek tua itu masih berada disitu, belum berlalu!

Lekas Oh Thi-hoa membalik badan terus menjura, sapanya tertawa getir: "Cayhe selamanya belum kenal dengan Lotiang, terima kasih akan bantuan Lotian barusan."

"Meski Oh Tayhiap tidak kenal Losiu, sebaliknya sejak lama Losiu sudah kenal baik nama besar Oh Tayhiap."

"Sungguh memalukan, harap tanya sukalah Lotiang memberitahukan namanya yang mulia?" "Losiu Cay-tok-hiang, atau si sebatangkara!"

"O, kiranya Ban-li-tok-hing "jalan sendirian laksaan li" Cay-loyacu dari angkatan tua Kaypang, tak heran sedikit jinjing dan lempar Cayhe laksa laksana naik awan menunggang kabut, Cayhe sungguh berlaku kurang hormat."

"Tidak berani, tidak berani."

"Tapi bagaimana Cianpwe bisa... bisa..."

"Kau ingin tanya bagaimana pengemis bangkotan seperti aku tahu-tahu ganti objek jadi penjual Mi, benar tidak?"

Oh Thi-hoa menyengir geli, katanya: "Cayhe memang sedikit heran."

"Sejak Coh Liu-hiang Maling romantis berhasil membongkar perbuatan jahat Lamkiong Ling, maka pandangan kaum persilatan terhadap pengemis aku ini berubah, setiap kaum persilatan melihat orang-orang pengemis malah amat menyolok mata, oleh karena itu bagi orang yang suka kelana di Kang-ouw seperti aku bila berpakaian seperti pengemis bukan saja tidak leluasa, kemungkinan bisa menimbulkan banyak kesulitan."

"Benar, sudah lama kudengar Cayhe paling benci kejahatan, paling suka menegakkan keadilan dan memberantas kelaliman, maka sepanjang tahun kelana kian kemari, sampai perbatasan yang liar dan belukar itu juga pernah dijajahi, tujuannya tidak lain untuk melihat benarkah didalam kehidupan manusia di mayapada ini memang ada kejadian yang tak adil, jikalau ada orang bisa mengetahui asal usul locianpwe, mungkin suara atau kejadian yang tidak adilpun takkan bisa terlihat lagi oleh Cianpwe."

Tertawa dan menyeka kotoran dimukanya, Oh Thi-hoa menambahkan: "Karena setiap orang yang punya nyali berbuat kejahatan di depan Ban-li-tok-hing, tidak berapa banyak dalam dunia ini, tapi si Burung Kenari itu bila tahu orang yang jualan Bakmi ini adalah Ban-li-tok-hing, mungkin sejak tadi telah ngacir."

Cay-tok-hing tersenyum ewa, katanya: "Losiu baru saja tamasya ke perbatasan yang liar dan belukar itu, tahu-tahu kudengar peristiwa besar yang memalukan di dalam Kaypang kami, untunglah Coh Liu-hiang si Maling romantis tanpa pamrih berhasil menolong bencana besar yang terpendam di dalam tampuk pimpinan Kaypang kami, kalau tidak nama baik dan kebesaran Kaypang kami selam berabad-abad bakal dibuat rusak dan runtuh ditangan murid murtad yang celaka itu."

"Seperti Cianpwe, Coh Liu-hiang pun mempunyai watak turut campur urusan orang lain."

Cay-tok-hing si batangkara tertawa: "Sudah lama Losiu dengar bahwa Oh Tayhiap adalah sahabat Coh Liu-hiang yang paling dekat laksana saudara sepupu sendiri, oleh karena itu begitu tadi aku mendengar Burung Kenari menyebut Hoa-ou-tiap, maka campur tangan ini tidak bisa tidak harus kulakukan juga."

Tiba-tiba berkilat sorot mata Oh Thi-hoa, tanyanya: "Cianpwe sudah lama kelana di Kang-ouw, adakah pernah mendengar asal-usul si Burung Kenari?"

"Disitulah letak keheranan Losiu, dinilai dari Ginkang si Burung Kenari ini, walau belum bisa dijajarkan dengan Ginkang Maling Romantis tapi didalam kalangan Kang-ouw sudah termasuk kelas wahid, seharusnya sudah punya nama tenar dan kebesaran di Bulim, tapi nama Burung Kenari, Losiu justru belum pernah mendengarnya."

Oh Thi-hoa mengerut kening, katanya: "Apakah orang ini tokoh muda yang baru saja keluar kandang? Tetapi dilihat dari sepak terjangnya dan perbuatannya yang culas serapi itu, tidak mirip seperti muka baru yang masih berbau pupuk bawang."

"Menurut pendapat Losiu, kemungkinan orang ini adalah samaran tokoh Kangouw kawakan yang menyamar saja. Burung Kenari hanyalah nama tiruan atau julukannya saja. Dan lagi bukan mustahil orang ini memang sudah dikenal oleh Oh Tayhiap, oleh karena itu dia mengenakan kerudung kepala supaya muka aslinya tidak kau kenali."

"Aku sendiripun sudah menduga akan hal ini, tapi sungguh tak pernah kupikirkan, siapakah diantara teman-temanku yang bakal berbuat sedemikian ini?"

"Masih ada satu hal, Losiu amat heran pula."

"Kalau orang ini tiada maksud mencelakai Oh Tayhiap, kenapa dia memancing Oh Thayhiap mengejarnya kemari?"

Seketika Oh Thi-hoa tertegun, tiba-tiba ia rasakan sekujur badannya dingin seperti hampir membeku, teriaknya tertahan dengan terbelalak: "Celaka, mungkin dia tipu aku dengan tipu memancing harimau meninggalkan sarangnya."

"Memancing harimau meninggalkan sarangnya apa?" tanya si Batangkara tak tahu. Tak sempat menjawab pertanyaan orang, tanpa pamitan lagi Oh Thi-hoa segera berlari bagai terbang, karena baru sekarang benar-benar dia sadari akan keadaan Coh Liu-hiang yang berbahaya. Namun baru sekarang dia sadar, sudah tentu amat terlambat.

Jendela tidak tertutup, kucing sudah mati, hembusan angin malam nan dingin membuat hawa kamar semakin dingin, kertas tulisan di atas meja terhembus melayang jatuh, lentera pun seketika padam.

Dengan penerangan lentera itu, kamar ini masih terasa redup dan gelap, kini lentera padam, keruan suasana terasa dingin gelap dan seram.

Seperti kucing yang sudah mampus di atas meja, Coh Liu-hiang rebah tanpa bergerak diatas pembaringan. Apakah nasibnya begini saja, menunggu ajal karena sakitnya atau bakal direnggut musuh dengan konyol?

Sekonyong-konyong sesosok bayangan orang muncul diambang jendela. Orang inipun mengenakan pakaian serba hitam yang ketat, kepalanya terbungkus kerudung hitam, gerak- geriknya selincah kucing, seenteng burung walet.

Punggungnya menggendong sarung pedang yang dibelit dengan tali melintang, pedang panjang sudah tersoren di tangannya, disembunyikan di belakang sikutnya, sekali membalik tangan, cepat sekali pedangnya akan dapat menembusi tenggorokan sasarannya.

Sekian lama dia mendekam di bawah jendela, dengan cermat dia memperhatikan keadaan dan pasang kuping. Didengarnya deru pernapasan Coh Liu-hiang berubah-ubah, adakalanya lemah, mendadak berubah berat dan menggeros, kalau lemah seperti napasnya hampir putus, kalau berat menggeros seperti dengus napas sapi.

Orang baju hitam ini mendengarkan sekian lamanya, sepasang matanya yang berkilat tajam dari balik kerudungnya menampilkan rasa puas dan senang, sudah didengarnya dari deru napas Coh Liu-hiang bahwa penyakitnya malah bertambah berat, bukan malah sembuh atau menjadi ringan. Tapi dia cukup sabar untuk tak segera menerobos masuk, terlebih dulu ia bergaya merentang kedua tangan lalu "Sret" menusukkan pedang ditengah udara, sambaran pedang ditengah udara bolong membara sambaran angin yang cukup keras. Kalau dalam keadaan normal biasanya Coh Liu-hiang tentu sudah mendengar dan terjaga bangun. Tapi kini sedikitpun tidak memperlihatkan reaksi apa-apa.

Baru sekarang orang baju hitam yang satu ini menongolkan badannya dengan berdiri tegak, ternyata perawakan badannya lebih tinggi dari orang baju hitam yang mengaku sebagai Burung Kenari tadi, badannya lebih kekar pula, namun ilmu Gingkangnya malah setingkat lebih rendah.

Menyadari kekurangan dirinya, maka orang ini bertindak penuh hati-hati dan waspada, dia tidak segera menerobos masuk kekamar, setelah menunggu pula sebentar, baru sebelah tangannya menekan alas jendela terus menyelinap masuk ke dalam.

Begitu gelap keadaan dalam kamar ini sampai lima jari tangan sendiripun tidak kelihatan, orang baju hitam ini seolah-olah sudah membaurkan diri di dalam kegelapan, meski masih berada di luar jendela tadipun sukar dilihat gerak-gerik bayangannya. Berdiri ditempat gelap kembali dia menunggu beberapa saat, deru pernapasan Coh Liu-hiang diatas pembaringan masih tidak teratur, kalau tidak mau dikatakan sudah kempas-kempis tinggal menunggu ajal.

Kembali orang baju hitam menggerakkan langkah pelan-pelan maju ke depan. Langkah kakinya amat enteng dan tenang, hampir tak mengeluarkan suara. Tapi habis hujan, jalanan di luar becek, maka alas sepatu orang inipun basah dan berlepotan lumpur, dua langkah kemudian "Srek" tiba-tiba sepatunya menggesek lantai mengeluarkan suara lirih. Walau suara gesekan ini amat lirih, tapi didalam suasana yang hening lelap seperti itu, kedengarannya justru amat nyata dan lebih menusuk pendengaran dari golok karatan yang sedang diasah.

Mungkin terkejut oleh suara gesekan lirih ini, Coh Liu-hiang seperti bergerak di atas pembaringan. Orang baju hitam seketika mematung diam seperti membeku, napaspun tak berani keras. Tak kira Coh Liu-hiang hanya sedikit membalikkan badan saja, kini mukanya menghadap ke sebelah dalam, ke arah dinding, didalam kegelapan orang baju hitam mengelus dada menghela napas lega, menunggu lagi beberapa kejap, mendadak dengan langkah cepat dia menubruk ke arah pembaringan, pedang di tangannya laksana ular sanca yang galak menusuk ke arah Coh Liu- hiang yang rebah di atas pembaringan.

Sembari berlari marathon, seperti berlomba mengejar prestasi, dalam hati Oh Thi-hoa mengumpat caci akan kebodohan dirinya, jikalau Coh Liu-hiang benar-benar sudah terbokong oleh orang, umpama dirinya masih bisa bertahan hidup, selanjutnya juga malu berhadapan dengan orang banyak.

Sungguh ingin rasanya tumbuh sayap dapat segera terbang kembali ke kamarnya. Akan tetapi mendadak dia menghentikan langkah.

Mendadak Oh Thi-hoa sadar dirinya tak berhasil mencari jalan untuk kembali ke penginapannya tadi. Tadi waktu mengejar Burung Kenari, dirinya telah diajak putar kayun putar sana balik sini, ia sendiri tidak tahu dirinya sekarang berada dimana, berapa jauh diri penginapannya, lebih celaka lagi diapun sudah tidak bisa membedakan arah.

Didalam malam nan gelap, sehabis hujan ditengah kota yang masih asing bagi dirinya, setiap jalan raya dan gang-gang sempit serta lorong panjang satu sama lain hampir mirip, demikian pula bangunan dan bentuk drai perumahan dari jalan ini dengan jalan yang itupun tiad bedanya.

Ingin dia menggedor pintu rumah orang, untuk tanya jalan, tapi disadari pula bahwa dia pun tak tahu apa nama penginapan yang ditinggali itu, karena dia lupa tanya dan tak ambil peduli tetek bengek ini, untuk tanya jalanpun tiada gunanya pula.

Sungguh hampir gila Oh Thi-hoa dibuatnya saking gugup, berdiri kehujanan, seluruh badannya sudah basah kuyup, mukanya basah karena air hujan, atau keringat? Mungkin juga air mata?

Tusukan pedang orang baju hitam dilontarkan dengan serangan ganas, bagai ekor kalajengking yang mengatup, cepatnya seperti kilat, dan lagi yang diarah adalah Hiat-to penting dibadan Coh Liu-hiang, dari jurus serangan dapatlah dibayangkan bahwa pembunuh ini sudah pengalaman dan orang yang ahli dialam bidang ini.

Maka terdengarlah "Blus" pedang panjang yang kemilau itu sudah menusuk tembus tapi bukan menghujam ke badan Coh Liu-hiang, ternyata hanya menusuk sebuah bantal.

Ternyata didalam detik-detik yang menentukan itu, Coh Liu-hiang sudah kempas-kempis itu mendadak mencelat berputar badan, dengan bantal dia menangkis tusukan pedang orang. Keruan kejut bukan main si orang baju hitam, menarik pedang, pedang tak bergeming segera terlintas dalam otaknya untuk melarikan diri meninggalkan pedang. Tapi meski reaksinya sudah amat cepat dan cekatan, toh gerakan Coh Liu-hiang lebih cepat lagi, belum lagi dia sempat menarik tangannya, tahu-tahu Coh Liu-hiang sudah pegang pergelangan tangannya.

Namun si orang baju hitam tidak menjadi gugup dan kehilangan akal, telapak tangan kiri tegak seperti golok, membabat pergelangan tangan Coh Liu-hiang. Tak nyana Coh Liu-hiang mendadak menarik tangan kanannya sehingga tebasan tangan kirinya mengenai tangan kanannya sendiri, saking sakitnya mulutnya mendehem keras.

Cepat sekali tangan Coh Liu-hiang yang lain tiba-tiba sudah berada di bawah ketiaknya, menepuk pelan-pelan, separuh badannya seketika kesemutan kemeng dan mati kutu tak bisa bergerak lagi.

Ditengah kegelapan, tampak sepasang biji mata Coh Liu-hiang laksana bintang kejora kelap- kelip, mana ada tanda-tanda sedang sakit dan kempas-kempis hampir mati. Baru sekarang badan si orang baju hitam benar-benar bergidik seram, suaranya serak sumbang: "Kau. " hanya sepatah

kata saja yang terucapkan, kata-kata selanjutnya terputus.

Coh Liu-hiang tersenyum, katanya: "Cayhe sudah perhitungkan bahwa tuan pasti akan datang pula, maka sejak lama sudah aku menunggumu disini."

Keringat gemerobyos membasahi kepala dan muka si orang baju hitam, katanya pula gemetar: "Kau. tidak sakit?"

"Walau badanku tidak sakit, tapi aku memang punya sakit hati, jikalau aku tidak bikin terang asal-usul dan maksud tujuanmu, penyakit hatiku ini tidak akan dapat disembuhkan!"

Orang itu menarik napas, katanya: "Coh Liu-hiang memang tidak bernama kosong, betul-betul punya kemampuan yang luar biasa, hari ini aku mengaku kalah dan terjungkal di tanganmu, apa keinginanmu", mendadak dia tertawa riang, katanya pula: "Aku tahu Maling romantis selamanya tidak melukai musuhnya, apa benar?"

"Tidak salah, tapi jikalau kau tidak terus terang mengenai asal usul dirimu sendiri, Kenapa berulang kali berusaha membunuhku dengan cara membokong, meski aku tidak merenggut jiwamu, terpaksa aku harus bertindak kasar kepadamu."

"Memangnya aku tidak punya dendam sakit hati dengan kau, kapan pula aku pernah kemari berusaha membunuh kau?"

"Masakah baru pertama kali ini kau hendak membunuh aku?" "Sudah tentu untuk kedua kalinya."

Berkilat mata Coh Liu-hiang, tanyanya pula: "Apakah kau bukan diutus seseorang kemari untuk melaksanakan tugasmu?"

"Tidak salah, aku hanya. " belum selesai dia bicara, tiba-tiba terdengar suara "Ser!" didalam

gelap agaknya ada seulas sinar kecil pendek berkelebat cepat sekali sudah menghilang.

Terasa oleh Coh Liu-hiang pergelangan tangan orang yang dipegangnya seperti mengejang dan kaku. Tiba-tiba badannyapun melonjak gemetar, sorot matanya memancarkan rasa sakit dan ketakutan, suaranya serak terputus-putus. "hanya... adalah. "

Berubah air muka Coh Liu-hiang, sentaknya, "Siapa? lekas katakan!"

Tenggorokan orang baju hitam berbunyi "krok, krok" lalu tak mampu bicara lagi, maka rahasia yang bersemayam direlung hatinya ikut terbawa oleh helaan napas yang terakhir, selamanya takkan terbongkar.

Ketika itulah dari luar terdengar suara teriakan Lu Giok-ham yang gugup dan prihatin. "Coh-heng, Coh-heng, apa kau terluka?" ditengah teriakannya Li Giok-ham bersama Liu Bu-bi sudah berlari datang terus melesat masuk lewat jendela.

Tak lama kemudian Liu Bu-bi sudah menyalakan lentera, melihat Coh Liu-hiang berdiri segar bugar di depan pembaringan, segera ia menarik napas lega, katanya berseri tawa kegirangan. "Terima kasih kepada langit dan bumi, terhitung kami sempat menyusul pulang tepat pada waktunya."

Kedua orang ini basah kuyup dan kotor berlepotan lumpur, gerak geriknya pun amat lambat dan lemah seperti kehabisan tenaga, jelas dalam sehari semalam ini mereka menempuh perjalanan dengan cepat tak mengenal lelah.

Sekian lama Coh Liu-hiang tatap mereka dengan nanar, akhirnya diapun menghela napas ujarnya: "Tidak salah, memang kalian pulang tepat pada waktunya."

Dengan mengangkat lentera di atas kepala Liu Bu-bi melotot ke arah orang serba hitam itu, katanya: "Ingin kami tahu siapakah orang ini sebetulnya, kenapa bersusah payah berusaha membunuh Coh Liu-hiang?"

"Hanya sayang sekali ini selamanya kami takkan tahu dengan tujuan apa dia kemari." "Kenapa?"

"Karena orang yang sudah mati masakah bisa bicara?"

Sesaat lamanya Liu Bu-bi terlongong, katanya kemudian: "Ya, memang aku tidak boleh terburu napsu membunuhnya, tapi mendadak melihat seseorang menenteng pedang berdiri di depan pembaringan Coh-heng, di luar tahuku pula bahwa penyakit Coh-heng sudah sembuh, karena gugupku, tanpa pikir panjang aku terus turun tangan tanpa ingat untuk mengompas keterangannya."

Li Giok-ham mengerut kening, katanya gegetun: "Memangnya aku sudah tahu watakmu yang sembrono ini, suatu ketika pasti akan bikin kapiran orang."

Coh Liu-hiang tertawa, katanya: "Untuk ini mana boleh salahkan dia, toh dia bermaksud baik juga."

Liu Bu-bi malah berkata sejujurnya. "Tapi kejadian ini memang harus salahkan aku semoga Coh-siansing."

"Jiwaku sudah tertolong, hatiku sudah amat berterima kasih, sungguh tiada maksud lain dalam benakku, kalau persoalan ini diperpanjang, hatiku jadi tidak enak dan membuat aku malu sendiri."

Li Giok-ham akhirnyapun tertawa lebar, katanya: "Tak kira penyakit Coh-heng bisa sembuh begini cepat, dari sini dapatlah dibuktikan orang baik tentu mendapatkan berkah dari Thian."

"sungguh harus disesalkan, tanpa kusadari aku tertidur nyenyak sehari lamanya, ternyata penyakitku sembuh sendiri, kalian malah susah payah harus kayun langkah menempuh perjalanan jauh dengan badan kotor dan tenaga habis, sungguh aku amat terima kasih dan hutang budi."

Tiba-tiba Liu Bu-bi berjongkok menanggalkan kain kedok orang hitam itu, lalu katanya gemas: "Coh-heng apa kau kenal siapa dia?" Dibawah penerangan api lentera, tampak roman muka orang ini pucat kehijauan, terlintas pula perasaan ketakutan disaat jiwanya belum ajal, tapi dari biji mata dan bentuk alisnya itu dapatlah diperkirakan bahwa semasa hidup orang ini tentu teramat kejam dan telengas.

"Bukan saja aku tidak kenal orang ini, malah melihatpun belum pernah."

Li Giok-ham mengerut kening pula, katanya: "Kalau demikian, kenapa dia hendak membokong Coh-heng? Memangnya ada seseorang yang berdiri di belakang layar?"

Coh Liu-hiang tidak segera menjawab, dari bantalnya tadi dia mencabut pedang panjang itu, di bawah penerangan lentera dia amat-amati dengan seksama, lalu menghela napas panjang, katanya: "Pedang ini memang mirip gaman yang peranti membunuh orang."

"Tidak salah." ujar Li Giok-ham. "Pedang ini tiga dim lebih panjang dari pedang umumnya yang sering dipakai oleh tokoh-tokoh pedang di Kangouw, namun jauh lebih tipis dan sempit. Malah dua mili lebih sempit dari Soat-coa-kiam milik orang Hay-lam-kiam-pay, orang yang mempergunakan pedang seperti ini ilmu pedangnya tentu mirip dengan ilmu pedang dari Hay-lam-kiam pay, mengutamakan kelincahan yang culas dan keji."

"Pengetahuan Li-heng amat luas, memang tidak malu sebagai putra seorang ahli pedang." Coh Liu-hiang memuji.

Agaknya Li Giok-ham hendak merendah diri, tapi Coh Liu-hiang sudah keburu menambahkan: "Orang yang menggunakan pedang ini aku memang tidak kenal, tapi pedang seperti ini pernah aku melihatnya sekali."

"O, Dimana?" tanya Li Giok-ham.

"Entah pernah Li-heng mendengar nama Setitik merah dari Tionggoan?"

"Apakah Coh-heng maksudkan adalah pembunuh bayaran yang hanya mengenal uang tanpa kenal buruannya dengan julukan "Membunuh orang tanpa melihat darah", setitik merah di bawah pedangnya itu?"

"Benar, dia itulah!"

Waktu ayah memberi komentar dan penilaian kepada tokoh-tokoh ahli pedang pada jaman ini, pernah juga menyinggung nama orang ini, katanya ilmu pedangnya merupakan aliran tersendiri yang membuka jalannya tersendiri. Sebetulnya kehebatan pedangnya boleh dijajarkan untuk bertanding dengan Hiat-in-jin Sia Tayhiap, namun sayang gerak dan tipu pedangnya mengutamakan kelicikan dan nyeleweng, sepak terjangnyapun terlalu lalim, maka tanpa sadari ilmu pedangnyapun menjurus ke jalan sesat. Sejak dulu kala, sesat takkan mengalahkan lurus, oleh karena itu bakatnya terlalu tinggi, betapapun ia rajin dan tekun belajar, kepandaiannya tetap tidak dapat mencapai puncak tinggi yang gemilang."

"Dari uraian ini saja sudah cukup menandakan kebesaran Li-locianpwe sebagai tokoh pedang nomor satu di seluruh jagat. Pada jaman ini, setiap orang yang mempelajari ilmu pedang harus mengukir petuah ini didalam kalbu masing-masing, selama hidupnya pasti tidak akan sia-sia."

Berkata pula Li Giok-ham: "Kalau hati jujur, ilmu pedangpun lurus, hati jahat ilmu pedang menjadi sesat! Hal ini memang merupakan teori yang tak terbantahkan sejak dulu kala." Mendadak Liu Bu-bi menyela: "Pedang pembunuh ini apakah mirip dengan milik Setitik merah dari Tionggoan itu?"

"Kecuali gagang pedangnya yang rada berbeda, selebihnya panjang pendek dan lebarnya pun tak berbeda."

Mengerling biji mata Liu Bu-bi, katanya: "Kalau demikian pembunuh ini bukan mustahil adalah utusan Setitik merah."

Coh Liu-hiang tertawa, ujarnya: "Sama sekali tidak mungkin!"

"Jadi maksud Coh-heng..." Liu Bu-bi berkata ragu-ragu lalu menggigit bibir.

"Maksudku yaitu bahwa pembunuh ini sendiri hakekatnya tiada permusuhan dengan aku, kalau tidak mau kukatakan belum pernah mengenalku, bahwa dia berusaha membunuh aku lantaran dia diutus atau dibeli orang lain."

Liu Bu-bi menerawang sebentar, katanya kemudian: "Tidak salah, kalau pedang yang dipakai pembunuh itu mirip milik Setitik merah dari Tionggoan, tentunya salah seorang saudara seperguruannya, sudah tentu diapun mempunyai usaha yang sama, yaitu membunuh orang untuk mengejar bayaran yang tinggi."

Li Giok-ham mengerut kening, katanya: "Apa benar didalam kalangan Kangouw ada begitu banyak orang yang usahanya terima bayaran untuk membunuh orang?"

"Menurut gelagatnya memang demikianlah." ujar Coh Liu-hiang. Tiba-tiba menggeledah badan si orang hitam, namun kantong baju kosong tidak membawa apa-apa. Memang orang-orang yang hidupnya mengejar untuk mencabut nyawa orang lain sekali-kali pantang membawa apa-apa yang mungkin bisa membuka identitas atau asal-usul orang itu sendiri, apalagi barang barang yang dibawanya itu bakal merupakan beban pula bagi dirinya.

Akhirnya Coh Liu-hiang menemukan dua macam barang di dalam lipatan baju dalamnya yaitu selembar chek yang berjumlah amat besar dan sebuah medali tembaga yang bentuk dan warnanya amat aneh.

Chek adalah pembayaran paling umum yang berlaku pada jaman itu, chek yang terpercaya pula, dimanapun chek ini diuangkan bisa segera diterima dengan cepat. Coh Liu-hiang menghela napas, katanya: "Dua puluh ribu tahil perak, tidak heran kalau begitu getol semangatnya hendak menghabisi jiwaku. Untuk dua puluh ribu tahil perak ini kemungkinan saja aku sendiri mau membunuh diriku sendiri, sungguh tak pernah terpikir olehku bahwa jiwaku ternyata berharga begitu tinggi."

Li Giok-ham geleng-geleng kepala, ujarnya: "Bahwa orang itu berani merogoh kantong mengeluarkan dua puluh ribu tahil untuk menamatkan jiwa Coh-heng, pastilah dia mempunyai dendam kesumat yang mendalam dengan Coh-heng."

Kembali Liu Bu-bi menimbrung: "Aku sudah dapat perkirakan siapa kiranya orang yang berani merogoh kantong untuk membayar sedemikian mahalnya."

"O, Siapa?"

"Chek dengan nilai uang sebesar itu, bank-bank dimanapun juga tidak akan sembarang mau mempergunakan, maka pada buku administrasi didalam bank itu pasti ada dicatat dengan jelas siapa pemakainya, asal kita pergi ke bank dan periksa kepada siapa pembayaran uang sebesar ini diberikan, bukankah kita bisa mengetahui siapa orang itu?" "Kukira cara ini belum tentu bisa berhasil." Coh Liu-hiang menanggapi.

Terbelalak mata Liu Bu-bi, tanyanya: "Kenapa? Memangnya Coh-heng sudah tahu siapa kiranya gerangan orang itu?"

Coh Liu-hiang menjelaskan kesangsiannya: "Kalau aku hendak membeli seseorang untuk membunuh orang, sekali-kali tidak akan kugunakan chek pembayaran atas namaku, oleh karena itu meski kita mengobrak abrik di kantor bank, bukan saja tidak berguna, malah mungkin kita bisa terpancing ke jurusan sesat, yang kita temukan adalah orang-orang yang tiada sangkut pautnya dengan peristiwa ini, tak ada hubungan dengan kita."

"Ya." akhirnya Liu Bu-bi bisa menerima penjelasan ini, "Analisa ini memang masuk diakal."

Coh Liu-hiang tertawa, katanya: "Namun paling tidak sekarang aku sudah berhasil mengetahui suatu hal."

"Coh-heng sudah tahu hal apa?" tanya Liu Bu-bi.

"Paling tidak sekarang aku sudah tahu bahwa orang itu pasti seorang hartawan, karena hanya untuk mencabut jiwa orang-orang itu bisa merogoh kantong sekali jreng dua puluh ribu tahil, kukira jumlahnya terbatas dalam dunia ini."

Sudah sejak tadi Li Giok-ham menepekur, kini dia membuka suara: "Lalu apa pula maksudnya dengan medali perunggu ini?"

Tampak medali perunggu bagian mukanya terukir garis-garis liku-liku seperti kembang di bagian tengahnya terukir tiga belas batang pedang yang membundar jajar, bentuk pedang itu satu sama lain mirip, mirip pula dengan pedang pembunuh yang sudah ajal ini, sebaliknya bagian medali perunggu kebalikannya ada terukir satu huruf delapan."

Berkata Li Giok-ham dengan mengerut kening: "Apa pula makna dari tiga belas pedang ini?" sudah sejak tadi dia memikirkannya tanpa dapat memecahkan artinya.

Mendadak bercahaya sorot mata Liu Bu-bi, katanya bertepuk tangan: "Maknanya kira-kira sudah kuketahui."

"Kau paham apa maksudnya?" tanya Coh Liu-hiang.

Kata Li Giok-ham sambil berpikir-pikir: "Tiga belas pedang, apakah tiga belas orang?" "Benar, ketiga belas orang ini tentunya punya usaha yang sama yaitu sebagai pembunuh

bayaran, tangan ditengah-tengah bundaran pedang itu merupakan simbol dari pemimpin dari mereka, orang ini termasuk orang yang ke delapan di dalam kelompok mereka, maka kebalikan medali ini terukir huruf 8", lalu dia unjuk tawa kepada Coh Liu-hiang katanya lebih lanjut: "Sementara Setitik merah dari Tionggoan kemungkinan adalah jagoan nomor satu dari kelompok tiga belas orang itu."

"Agaknya memang seperti dugaan kalian." ujar Coh Liu-hiang.

"Tapi yang amat menakutkan tentunya tangan itu, meski dia tidak pernah unjuk diri namun secara diam-diam dan sembunyi-sembunyi dia kendalikan gerombolan rahasia ini tiga belas orang itu diperalat untuk mengusahakan bayaran tinggi untuk setiap jiwa yang harus mereka bunuh." Berkata Li Giok-ham dengan tersirap kaget: "Di dalam kalangan Kangouw ternyata ada gerombolan yang mengobyekkan diri sebagai pembunuh bayaran, sungguh suatu hal yang amat menakutkan."

"Ya, kemungkinan merupakan suatu tragedi bagi kaum persilatan yang amat mengerikan dan menakutkan selama ratusan tahun mendatang ini." kata Liu Bu-bi pula.

Mulut Coh Liu-hiang tidak bicara, namun hatinya amat mendelu, pikirnya: "Tak heran Setitik merah selalu seperti tertekan oleh berbagai kesulitan dan beban berat, ternyata lantaran dia sudah terjeblos di dalam gerombolan rahasia ini dan tidak mungkin melepas diri. Oleh sebab itu setelah dia berkeputusan untuk tidak melanjutkan usahanya sebagai pembunuh bayaran, segera dia minggat ke tempat jauh di luar perbatasan, lari ke tengah gurun pasir. Karena dia tahu tangan ditengah kelompok pedang itu pasti tidak akan berpeluk tangan memberi kebebasan kepadanya."

Siapapun dia asal sudah terjeblos masuk ke dalam gerombolan ini kecuali mati, mungkin selama hidup jangan harap kau bisa membebaskan diri dari segala kesulitan. Baru sekarang pula disadari oleh Coh Liu-hiang kenapa sorot pandangan mata Setitik merah selalu membeku dingin, rawan dan gelisah. Sungguh Coh Liu-hiang amat menyesal kenapa sebelum ini dirinya tidak pernah memikirkan ke arah sana.

Terdengar Liu Bu-bi berkata dengan tertawa: "Tapi gerombolan ini sekarang tidak begitu menakutkan lagi."

"Kenapa?" tanya Li Giok-ham.

"Karena tidak berapa lama lagi, tangan itu pasti akan terbelenggu oleh borgol."

Li Giok-ham berpikir sebentar, cepat sekali dia sudah maklum akan kata-kata istrinya. katanya tertawa: "Tidak salah kalau sekarang mereka berani menepuk lalat di atas kepala Coh Liu-hiang si Maling romantis, tentunya Coh-heng tidak akan berpeluk tangan membiarkan mereka bukan?"

"Apalagi, kalau toh cara kerja gerombolan ini begitu rahasia dan terkoordinir dengan baik oleh si tangan itu didalam menekan setiap kontrak jual beli, maka cukup asal Coh-heng berhasil mencari tahu siapakah si "tangan" itu, maka tak sulit untuk mencari tahu siapa pula orang yang berani membayar dua puluh ribu tahil perak untuk membunuh jiwamu."

Coh Liu-hiang tiba-tiba tertawa, ujarnya: "Aku sih tak perlu tergesa-gesa mencari dia."

Meski Liu Bu-bi selalu dapat mengendalikan perasaan hatinya, namun sekarang rona mukanya menampilkan rasa heran dan kejut serta tak mengerti tanyanya: "Kenapa?"

"Orang seperti dia sampai pun melaksanakan pembunuhan kepada seseorang yang diincarpun tak berani turun tangan sendiri, kalau aku melihat tampangnya malah bikin naik pitam saja. Sekarang yang menjadi hasratku yang terbesar adalah menyambangi tokoh pedang nomor satu pada jaman ini, bukanlah hal ini jauh lebih menyenangkan dari pada mencari perkara dengan orang-orang kerdil yang kerjanya membadut untuk mengelabui pandangan orang lain?" Dengan tajam dia tatap muka Liu Bu-bi, lalu menambahkan dengan kalem, "Dan lagi cepat atau lambat toh dia pasti akan mencariku, kenapa aku harus susah-susah mencari dia malah?"

Liu Bu-bi segera unjuk tawa manis katanya: "Dan, yang paling penting mungkin Coh-heng kuatir nona Soh dan lain-lain teramat gelisah menunggu kedatanganmu?"

Mereka berhadapan dengan sama-sama berseri tawa, Li Giok-ham sebaliknya berubah air mukanya, teriaknya tersendat: "Mana Oh-heng, Kemana Oh-heng?" Agaknya baru sekarang dia sadar bahwa Oh Thi-hoa selama ini tidak berada didalam kamar ini, ternyata Coh Liu-hiang tidak menjadi gugup, setelah orang menanyakan, baru dia menjawab dengan tawar. "Tadi agaknya dia melihat jejak musuh yang mencurigakan, tanpa pikir panjang lantas keluar mengudak."

Liu Bu-bi tersirap kaget dan pucat mukanya, katanya: "Oh-heng hanya bisa menggerakkan sebelah tangannya, mana boleh begitu gegabah mengejar musuh?"

"Kukira tidak menjadi soal." ujar Coh Liu-hiang kalem.

"Tidak menjadi soal?" sela Liu Bu-bi. "Masa Coh-heng tidak kuatir dia terbokong atau terperangkap oleh kekejian musuh?"

"Aku yakin dia tidak akan mengalami sesuatu apa-apa yang merugikan dirinya." "Darimana kau bisa tahu?"

"Karena tujuan orang hanya ingin mencabut jiwaku bukan mengincar nyawanya, tapi paling hanya ingin memancing keluar, sehingga lebih leluasa untuk membunuh aku."

"Tapi... tapi kenapa sampai sekarang dia belum kunjung pulang?" "Kalau tidak sedang mencuri arak, pasti dia tersesat jalan."

"Coh-heng agaknya amat yakin dan begini tabah."

"Bukan hatiku tabah dan yakin benar, soalnya aku sudah mendengar suaranya."

Jarang orang bisa tahu sebelumnya kapan akan turun hujan, hal ini tidak perlu dibuat heran, karena betapapun orang yang benar-benar tahu akan ilmu perbintangan seperti Cu-kat Ling pada jaman Sam Kok dulu tidak banyak jumlahnya. Dan lebih aneh pula, jarang pula orang mengetahui kapan hujan itu akan mereda. Hujan seolah-olah berhenti di luar kesadaran orang-orang yang tidak pernah memperhatikannya.

Ditengah malam nan sunyi sepi itu, betul-betul juga kedengaran suara Oh Thi-hoa berkata kumandang ditengah malam nan gelap: "Nah benar yang ini."

Lalu terdengar pula suara serak tua lain berkata: "Kali ini tidak salah lagi."

"Pasti benar." sahut Oh Thi-hoa yakin. Habis kata-katanya bayangan Oh Thi-hoa sudah berkelebat masuk ke pekarangan, seperti seekor kucing yang menerobos masuk kamar setelah ekornya terinjak orang. Dilain kejap maka terdengar pula seruannya: "O, Jadi sudah kembali?" habis berseru, matanya melotot pula, katanya: "Ulat busuk, kenapa kau mendadak kau sudah merangkak bangun?"

Belum Coh Liu-hiang menjawab, sebuah suara serak tua di luar bertanya: "Apakah Coh Liu- hiang Maling romantis tidak apa-apa?"

Coh Liu-hiang memegang hidungnya, sahutnya "Terima kasih akan perhatian tuan, kenapa di luar?, silahkan masuk!"

Orang di luar itu menjawab: "Sebetulnya Losiu amat ingin bertemu dengan Maling romantis, tapi akhirnya kupikir, sekarang lebih baik aku tidak bertemu saja." "Kenapa?"

"Sekarang bila aku berhadapan dengan kau, paling tidak harus menyembah tujuh delapan belas kali kepadamu, tapi tua bangka setua aku ini harus berlutut menghadap orang lain, tentunya kurang leluasa, terpaksa biar lain kesempatan saja akan kucari jalan lain untuk membalas budi kebaikanmu, lalu adu minum pula dengan kau sepuas-puasnya." Bicara pada kata-kata terakhir, suaranya sudah semakin jauh, kira-kira puluhan tombak.

Coh Liu-hiang melengak heran, katanya: "Siapakah orang itu? Kapan aku pernah menanam budi kepadanya?"

"Tehadap dia pribadi kau sih tak memberi kebaikan apa-apa, tapi buat Kaypang." sahut Oh Thi-hoa.

"O, jadi dia anggota murid Kaypang?"

"Bukan murid, malah Tianglo dihitung tingkat kedudukannya, agaknya Jin Jip yang menjadi pangcu Kaypang yang terdahulu itupun setingkat lebih rendah."

Berputar biji mata Coh Liu-hiang, katanya kesima: "O, Apakah yang kau maksud adalah Ban-li- tok-hing, Cay locianpwe?"

"Tidak salah."

"Cara bagaimana kau bisa berkenalan dengan cianpwe aneh ini?"

"Memangnya kau baru setimpal berkenalan dengan para Cianpwe-cianpwe aneh itu, masakah aku tidak boleh kenal satu dua?" setelah tergelak tawa, segera menambahkan: "Jikalau kau iri hati, biar aku beritahu sekalian kepada mu, malam ini akupun ada bertemu dengan seseorang, seseorang yang ingin benar kau temui."

"Siapa?"

"Burung Kenari." agaknya Oh Thi-hoa masih ingin bicara, siapa tahu Coh Liu-hiang mendadak menjejalkan sesuatu barang ke dalam mulutnya, hendak dimuntahkanpun tidak bisa, keruan dia gelagapan, serunya: "Ini... apakah ini?"

Coh Liu-hiang tersenyum katanya: "Itulah obat penawar yang dibawa pulang oleh Li-heng suami istri dengan susah payah dari tempat jauh, nah lebih baik lekas kau rebahkan diri dan tidurlah dengan nyenyak saja."

Fajar tahu-tahu sudah menyingsing tanpa terasa oleh siapapun. Karena semua orang hendak menempuh perjalanan, begitu terang tanah mereka lantas berangkat, karena kedua belah pihak sama-sama harus tidur, maka Coh Liu-hiang berdua tidak bisa naik dalam satu kereta dengan Li Giok-ham suami istri.

Tapi bagaimana mungkin Oh Thi-hoa bisa pulas? Begitu kereta mulai jalan, dia lantas mendelik kepada Coh Liu-hiang, tanyanya: "Kenapa kau tak beri kesempatan aku bicara?

Sebetulnya ada persoalan apa yang ingin kau sembunyikan di hadapan mereka?" "Aku harus mengelabui siapa?"

"Kau kira mereka tidak dapat meraba maksudmu?" Mereka sengaja tidak mau naik sekereta dengan kita, maksudnya supaya kau bisa bicara kasak-kusuk dengan aku." "Darimana kau tahu bila kebalikannya justru mereka sendiri yang ingin kasak-kusuk di belakang kita?"

"Memangnya mereka punya persoalan apa harus kasak-kusuk di belakang kita?" "Memangnya tiada persoalan apa-apa yang harus dibicarakan, cuma mereka sedang mereka-

reka berapa sih yang sudah kuketahui?" "Apanya yang sudah kau ketahui?"

"Tahu akan muslihat yang mereka perankan secara diam-diam."

Hampir saja Oh Thi-hoa berjingkrak, serunya gusar: "Mereka pandang kau sebagai sahabat baik, bukan saja mentraktir kau makan minum, malah mengundangmu pergi ke rumahnya, ada orang hendak mencelakai jiwamu, mereka membunuhnya, sekarang kau malah menuduh mereka sedang merencanakan tipu muslihat hendak menjebak kau, kutanya kau, apa sih yang mereka incar akan dirimu? Apa yang diinginkan dari kau?"

"Tiada apa-apa yang diinginkan dari aku, kecuali jiwaku saja."

Oh Thi-hoa melotot sekian lamanya, tiba-tiba dia tertawa besar, katanya geleng-geleng kepala: "Kulihat otakmu belakangan ini rada sinting, asal orang menatapmu lebih lama, kau lantas mengira orang punya maksud apa-apa terhadap kau."

"Kalau begitu sekarang kutanya kau, jikalau Yong-cui-san-ceng kenapa mereka sendiri keluar bertamasya sejauh ini? Lalu kebetulan bertemu dengan kita, apakah benar di dunia ini ada kejadian yang begitu kebetulan?"

"Umpama kata mereka memang sengaja keluar hendak mencari kau, toh juga maksud baik mereka."

"Kalau bermaksud baik, kenapa tidak dijelaskan?"

Oh Thi-hoa mulai mempermainkan hidungnya, katanya mengerut kening: "Jadi kau mengira bahwa Yong-ji bertiga kena diculik mereka?"

Coh Liu-hiang manggut-manggut, katanya: "Masih ada, aku mendadak jatuh sakit, tiada orang lain yang tahu, kenapa pembunuh bisa mendadak datang?"

"Mungkin secara diam-diam mereka memang sudah menyelidiki keadaan kita, bukan mustahil pula pelayan hotel yang memberi kisikan kepada mereka." debat Oh Thi-hoa.

"Ya, memang ada kemungkinan, namun, begitu mereka pulang, baru saja tiba di pekarangan, lantas membunuh pembunuh itu, dan lagi di pekarangan rada terang oleh cahaya lentera dari kamar lain, sebaliknya kamarku gelap gulita, jikalau mereka sebelumnya memang sudah tahu bila pembunuh itu berada didalam kamarku, hakekatnya bayangan orang pun tidak terlihat."

Alis Oh Thi-hoa bertaut semakin kencang, katanya: "Jikalau pembunuh itu dibayar mereka, kenapa mereka harus membunuhnya?"

"Sudah tentu untuk menutup mulutnya." "Tapi orang yang memancing keluar adalah Burung Kenari, apakah Burung Kenari sekomplotan dengan mereka?"

"Tentunya kau sudah tahu bahwa Burung Kenari hanyalah nama samaran orang lain belaka." "Ya, aku sudah tahu."

"Nah masakah kau tidak tahu bukan mustahil mereka itulah yang menyamar dengan nama Burung Kenari?"

Oh Thi-hoa melongo, katanya kemudian: "Sepak terjang Burung Kenari walau serba misterius, tapi terhadap kita dia tidak bermaksud jahat, jikalau kau mau bilang Liu Bu-bi berusaha mencelakai kau, kukira mereka pasti bukan satu komplotan."

"Kenapa tidak mungkin? Dulu sudah kukatakan, Burung Kenari berbuat demikian itu memang dia sengaja hendak menanam budi kepadaku, supaya aku membalas budi baiknya."

"Kalau dia hendak mencelakakan kau, apa pula yang dia tuntut dari kau untuk membalas kebaikannya?"

"Kau melihat Burung kenari tapi tidak segera turun tangan melabraknya bukan?" "Sudah tentu aku takkan membunuhnya."

"Nah disitulah titik balik persoalannya, apa yang dilakukan Burung Kenari dulu akan diri kita, adalah supaya kita selanjutnya tidak akan membunuhnya... umpama kau, aku sudah yakin bahwa Liu Bu-bi adalah alias Burung Kenari, andaikata aku tahu dia hendak mencelakai aku, karena dia pernah menanam budi kepadaku maka sebelum dia berusaha mencelakai aku, siang-siang dia sudah membuka jalan mundurnya sendiri."

"Kenapa kau harus curiga bahwa Liu Bu-bi pasti Burung Kenari adanya?" "Dalam seluk-beluk persoalan ini tentu saja banyak sebab-sebabnya."

Mendadak Oh Thi-hoa meninggikan suaranya: "Tapi orang yang menggunakan Bau-hi-li-hoa- ting paling tidak bukan mereka."

"Kenapa bukan mereka?"

"Karena waktu itu, jelas mereka berada di dalam kamar tidurnya." "Apa kau melihat mereka dengan mata kepala sendiri?"

Oh Thi-hoa melengak pula, "Meski tidak melihat dengan jelas kita toh mendengar percakapan mereka."

"Kau tidak mendengar percakapan mereka hanya mendengar suara rintihan, suara jeritan kesakitan dibarengi gerakan meronta bukan?"

"Ya." "Setiap orang dikala sedang merintih dan menjerit-jerit kesakitan, suaranya bisa berubah lantaran rasa kesakitan itu, oleh karena itu umpama kau mendengar suara mereka rada ganjil, rada berlainan, kaupun takkan ambil perhatian, benar tidak?"

Kembali Oh Thi-hoa melongo dibuatnya, katanya: "Apakah waktu itu mereka sudah tak berada didalam rumah, jadi suara itu suara orang lain yang bersandiwara?" "Memangnya tidak mungkin?"

Coh Liu-hiang menarik napas panjang, mulutnya terkancing.

"Karena sejak mula kau selalu beranggapan bahwa mereka berada di dalam kamarnya maka tidak pernah kau bayangkan suara yang kau dengar itu adalah suara orang lain, kesalahan ini bisa saja dialami siapa saja tanpa disadari."

"Bukan saja Liu Bu-bi pintar, malah tindak tanduk dalam langkah-langkah rencananya teramat teliti dan cermat", kata Coh Liu-hiang lebih jauh. "Tentunya dia tahu untuk mencelakai jiwaku bukan persoalan gampang, oleh karena itu setiap kali sebelum dia turun tangan, pasti sebelumnya sudah mencari jalan mundurnya, supaya kita tidak pernah curiga kepada mereka."

Dengan gemas dan jengkel Oh Thi-hoa kucek-kucek hidungnya, gumannya: "Tapi aku masih kurang mengerti juga susah percaya."

"Bahwasanya aku sendiripun tidak paham seluruhnya, cuma gambaran persoalannya kira-kira sudah dapat kubayangkan."

"Coba kau beri penjelasan lebih terperinci!"

"Untuk suatu sebab, entah sebab apa Li Giok-ham suami istri bertekad mencari dan menemukan aku tapi waktu mereka menemukan kapalku, aku sudah tak berada di sana waktu mereka mengundurkan diri kebetulan Yong ji dan lain-lain pulang."

"Cara bagaimana mereka bisa kesampok dengan Yong-ji dan lain-lain?"

"Yong-ji bertiga hendak mencari aku, sudah tentu mereka harus pulang dulu, orang seperti mereka setiap berjalan di jalanan sudah tentu amat menarik perhatian orang banyak, benar tidak?"

"Em! Lalu?"

"Keluarga Li merupakan golongan persilatan yang punya wibawa dan besar kekuasaannya di daerah Kanglam, sudah tentu kaki tangan dan mata-mata mereka tersebar diberbagai pelosok, sudah tentu dengan gampang mereka mencari tahu hubungan dengan Yong-ji begitu, setelah mengetahui jejak mereka, sudah tentu segera meluruk datang."

"Em! Lalu?"

"Orang seperti Liu Bu-bi, sudah tentu gampang sekali mengikat persahabatan dengan Yong-ji beramai Yong-ji sendiri mungkin tak banyak kata, tapi Thiam-ji seperti kau, seorang yang jujur polos dan spontan."

"Hm! Kau ini mengagulkan aku, atau sedang mengejek aku?"

Coh Liu-hiang tidak perhatikan kata-katanya, katanya lebih lanjut: "Untuk mengorek keterangan diriku dari mulut Thiam-ji, bagi Liu Bu-bi tentunya bukan soal yang sulit."

"Mungkin dia beranggapan kau masih tinggal di padang pasir, maka diapun meluruk ke gurun pasir mencarimu."

"Dia hanya punya sedikit sumber berita ini, lalu menyusul ke padang pasir adu untung." "Tapi kenapa Yong-ji bertiga ikut ikut mereka, kenapa malah menetap di Yong-cui-san-cheng?" "Mungkin mereka diapusi, atau mungkin pula diculik setelah diingusi, atau mungkin,"

Sampai di sini dia tidak meneruskan kata-katanya, rona mukanya menampilkan rasa kuatir yang tak terhingga.

"Apa kau mau bilang bahwa Yong-ji bertiga hakekatnya tidak berada di Yong cui-san-ceng, malah bukan mustahil sudah dicelakai oleh Liu Bu-bi dan suaminya?"

"Sudah tentu ada kemungkinan ini, untungnya Liu Bu-bi bukan seorang culas yang doyan membunuh orang, yang dia hadapi hanya aku seorang, dan lagi bila dia hendak menanam budi dulu kepadaku, untuk mencari jalan mundurnya, kukira belum sampai hati membunuh mereka."

Lama Oh Thi-hoa menepekur, katanya mendadak: "Tapi diperhitungkan dari waktunya begitu dia tiba di padang pasir lantas menemukan tempat itu?"

"Ya, memang begitu."

Sebagai seorang putra hartawan besar dari kaum persilatan di Kanglam, bagaimana Li Giok- ham bisa begitu apal mengenai seluk-beluk di padang pasir, apalagi tempat tinggal Ciok-koan-im adalah sedemikian tersembunyi, cara bagaimana mereka begitu cepat dan leluasa menemukan tempat itu?"

"Sekarang masih ada dua pertanyaan yang belum mampu kujawab dan kupecahkan, satu diantaranya adalah soal yang kau ajukan ini."

"Lalu persoalan yang satunya lagi apa?"

"Sungguh aku tidak habis mengerti kenapa kedua suami istri itu begitu getol menginginkan jiwaku."

Oh Thi-hoa mengerut kening dan tenggelam dalam pemikiran, katanya kemudian: "Sekarang, terang mereka sudah tahu bahwa kau sudah mulai curiga terhadap mereka, tentunya merekapun sudah tahu semalam kau hanya pura-pura sakit saja, bukankah kedudukan mu sekarang tidak lebih berbahaya?"

Coh Liu-hiang tertawa tawar, katanya: "Tapi kalau aku belum membongkar kedok mereka, sudah tentu merekapun tidak akan membongkar kecurigaanku, sekarang mereka sudah tahu bila aku curiga terhadap mereka, maka sepanjang jalan ini, selanjutnya mereka tidak akan berani sembarang bertindak atau bertindak lagi."

"Apa mereka akan menunggu sesudah kau tiba di Yong-cui-san-ceng baru akan turun tangan?"

"Agaknya hanya jalan inilah yang harus mereka tempuh."

"Kalau hal ini benar, pasti mereka sudah mempersiapkan berbagai macam cara untuk berusaha menghadapi kau dengan wibawa dan kekuasaan keluarga Li di kalangan Kangouw, tentunya rencana kerjanya kali ini amat sempurna."

"Ya, akupun maklum akan hal ini."

"Kalau kau sudah tahu, kau tetap hendak antar kematian kesana?" "Urusan sudah terlanjur sejauh ini, apa bisa aku tidak kesana?"

"Ya, sudah tentu kau tidak bisa berpeluk tangan membiarkan Yong-ji bertiga berada dibelenggu mereka, akan tetapi..."

Coh Liu-hiang tiba-tiba tertawa, tukasnya: "Kau pun tidak perlu kuatir, meski perjalanan kita kali ini amat berbahaya, paling sedikit tidak akan menghadapi bokongan seperti Bau-shi-li-ting lagi."

"Dari mana kau bisa tahu?"

"Dengan wibawa dan ketenaran keluarga Li di Bulim, kalau mereka hendak membokong dan mencelakai jiwaku, pasti dilakukan ditempat lain, memperalat orang lain untuk mempertaruhkan jiwanya. Setiba di Yong cui sanceng, semua cara rendah dan kotor itu, masakah mereka berani melakukan? Memang mereka berani mempertaruhkan ketenaran nama baik dan gengsi Yong ci san cheng hanya untuk melakukan perbuatan yang jahat ini?"

"Benar, mereka tidak mempergunakan senjata rahasia pribadinya, namun menggunakan Bau hi-li hoa-ting, umpama kuatir membikin kotor dan merendahkan derajat Yong cui-san-cheng, jikalau kau mampus oleh Bau hi-li hoa-ting itu, orang lain takkan tahu bahwa kematianmu lantaran perbuatan jahat anak murid keluarga Li"

"Nah, jadi sekarang kau sudah paham?"

"Tak heran sekali gagal orang itu lantas membuang alat senjata rahasia yang amat berharga itu, kiranya memang dia takut bila kau mengetahui kalau alat itu berada ditangan mereka."
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar