Kereta Berdarah Jilid 23 (Tamat)

Jilid 23 (Tamat)

“SONG SICU!” tiba-tiba Sin Hong Soat-nie angkat bicara pula dengan suaranya yang kalem. “Loo-niepun dengan memberanikan diri hendak bertindak sebagai mak comblang buat muridku, muridku Cing It justru turun gunung dikarenakan Kuan Ing. maka itu saat ini juga aku perintahkan dia orang untuk lepaskan jubah nikouw dan kembali jadi rakjat biasa untuk kawin dengan Koan Ing!”

Begitu perkataan dari Sin Hong Soat-nie diucapkan keluar, suasana di seluruh puncak jadi gempar. mereka semua pada termangu-mangu dibuatnya....

Para jago tidak menyangka kalau Sin Hong Soat-nie bisa bertindak begitu, hal ini benar-benar berada diluar dugaan mereka.

Song Ing sendiripun jadi melengak dibuatnya. ia memandang sekejap ke arah Koan Ing.

Belum sempat perempuan ini mengucapkan sesuatu tampaklah Cing It nikouw sudah menjatuhkan diri berlutut di depan Sin Hong Soat-nie.

“Suhu! kau orang tua janganlah berbuat begitu!” serunya sambil melelehkan air mata....

“Haaeee.... suthay!” sela Song Ing pula sambil menghela napas panjang. “Urusan ini kami tak bisa berbuat apa-apa, asalkan mereka setuju maka tak ada persoalan lagi yang dapat dibicarakan!”

Semula Cha Can Hong yang mendengar perkataan itu jadi tertegun dibuatnya, tetapi sebentar kemudian ia sudah tertawa terbahak-bahak dan berseru kepada Sang Su-im.

“Sang Toako! tidak disangka hian-say kita bukan saja memiliki kepandaian yang bagus diapun merupakan seorang pemuda yang begitu romantis. ”

Sang Su-im pun tertawa.

“Suthay!” ujarnya kemudian kepada Sin Hong Soat-nie. “Kali ini nona Song tidak berani mengabulkan permintaanmu, tetapi aku Sang Su-im boleh mewakili Koan Ing untuk menerimanya. Hey, Koan Ing. ajoh cepat menghunjuk hormat buat Suthay!” Perkataan dari Sang Su-im inipun kontan membuat suasana jadi gempar. Sin Hong Soat-nie meminta muridnya untuk melepaskan jubah nikouw kawin dengan pemuda tersebut hal ini sudah merupakan satu kejadian yang mengejutkan, siapa sangka Sang Su-im tanpa berpikir lebih panjang lagi ternyata sudah mengabulkan.

“Empek Sang! Ini. ” teriak pemuda itu kaget.

Sinar mata sijari sakti berkilat. ujarnya dengan serius, “Perempuan ini sangat baik memperlakukan dirimu, sewaktu kau naik kepuncak Sun Lie Hong secara diam-diam ia sudah mengalah buat dirimu, setelah turun dari gunung iapun baik- baik merawat kau orang, kini suhunya sudah setuju apa yang hendak kau bicarakan lagi?”

Koan Ing tak bisa berbuat apa-apa lagi, ia menoleh ke arah Song Ing tetapi perempuan itu cuma tersenyum saja tanpa berbicara.

Ketika menoleh pula ke arah kedua orang gadis itu, saat ini Cha Ing Ing serta Sang Siauw-tan sedang bergandengan tangan dan memandang ke arahnya sambil tertawa.

Hatinya jadi mantab. diam-diam pikirnya, “Mati hidup kita belum bisa ditentukan biarlah aku menurut saja!”

Diapun teringat kalau tangan dari Cing It terpotong dikarenakan dirinya, nikouw itu benar-benar bersikap baik terhadap dirinya. Ditambah pula tempo dulu ia pernah berpikir bahwa siapa saja yang bisa mendapatkan Cing It sebagai istri maka orang itu bakal hidup berbahagia.

Teringat akan perkataan tersebut tanpa terasa lagi ia sudah jatuhkan diri berlutut.

“Koan Ing mengucapkan banyak terima kasih atas maksud baik dari suthay” katanya,

“Heeei.... kalian baik-baiklah berjaga diri,” sahut Sin Hong Soat-nie kemudian sambil menarik tangan Cing It. “Cing It suci!” tiba-tiba terdengar Sang Siauw-tan menegur. “Siauw-tan sumoay! ada urusan apa?”

Sang Siauw-tan jadi melengak, sebenarnya ia bermaksud untuk menggoda Cing It tetapi melihat sikapnya yang amat tenang untuk beberapa saat lamanya ia jadi gelagapan dibuatnya.

“Aku merasa.... merasa amat girang!” sahutnya kemudian dengan gugup.

Cing It tersenyum, tak sepatah katapun yang diucapkan keluar. Melihat hal itu Sang Su-im segera tertawa terbahak- bahak.

Pada saat itulah suara seruling berkumandang memenuhi angkasa, beratus-ratus ular yang amat besar mulai bergerak naik ke atas puncak.

Sinar mata Koan Ing berkilat, pedang kiem-hong-kiamnya segera dibabat ke depan membinasakan lima ekor ular.

Kesepuluh jari tangan Sang Su-im pun berturut-turut menyentil keluar. terasalah serbuan dari kawanan ular itu semakin lama semakin banyak, dibunuh satu datang sepuluh, bunuh sepuluh datang seratus, seketika itu juga membuat semua orang terdesak.

Thian Yang Siuwsu sekalianpun kena didesak sehingga musti mendekati mereka.

Ooo)*(ooO

Bab 56

KOAN ING yang melihat kejadian itu matanya berkilat tubuhnya tiba-tiba bergerak dan membentuk sebuah lingkaran seluas sepuluh kaki lebih dan teriaknya:

“Barang siapa yang berani masuk ke dalam lingkaran ini jangan salahkan aku akan turun tangan jahat!” Setelah daerah gerak ditentukan maka semua orang terasa jadi lebih ringan ditambah pula kedelapan Orang lelaki berbaja hitam serta Thian Yang Siauwsu merupakan jago-jago dari Bu- lim, untuk menjaga diripun sudah lebih dari cukup.

Tetapi kawanan ular itu agaknya menerjang terus tiada hentinya, tenaga manusia ada batasnya bilamana hal ini diteruskan maka lama kelamaan akan pajah juga.

Satu jam dengan cepatnya berlalu, tetapi serbuan dari kawanan ular itu bukannya berkurang, sebaliknya semakin bertambah.

Matanya Thian Siang Thaysu mendelik bulat2, serangannya dilancarkan semakin dahsyat.

Segulung angin pukulan laksana mengamuknya ombak ditengah samudera dengan cepatnya menyapu datang, kurang lebih seribu ekor ular kecil berhasil dihantam hancur dan terpental jatuh ke dalam jurang disisinya.

Melihat kejadian itu Cha Can Hong jadi cemas. Buru2 teriaknya, “Thaysu jangan semberono dan terlalu mengumbar nafsu, bilamana Thaysu menghantam dengan menggunakan tenaga murni terus menerus maka hal ini hanya mendatangkan bahaya saja buat Thaysu sendiri.” 

Sekali lagi Thian Siang Thaysu mengirim satu pukulan dahsyat menghalau hampir separuh bagian dari kawanan ular itu,

“Daripada harus berpeluk tangan menanti saat kematian jauh lebih baik mengumbar hawa amarah dihati!” teriaknya murka.

“Haaa.... haaa.... kalau aku sih masih ingin tinggalkan sedikit tenaga untuk menghadapi Yuan Si!” seru Cha Can Hong sambil tertawa, tangannya kembali menyentil mati tiga ekor ular. Mendengar perkataan itu Thian Siang Thaysu merasa hatinya bergidik, ia jadi sadar kembali dan teringat kalau dirinya pun harus meninggalkan sedikit tenaga untuk menghadapi Yuan Si Tootiang.

Setelah hatinya jadi sadar nafsu murkapun jadi sirap. “Tetapi siapa yang bisa lolos dari kurungan kawanan ular

ini?.... ” tiba-tiba sisastrawau berusia pertengahan itu menimbrung. “Sekalipun ada orang yang berhasil meloloskan diri dari kurungan ular ini ada siapa pula yang bisa meloloskan diri dari kurungan binatang buas? untuk menghadapi Yuan Si Tootiang aku rasa hanyalah suatu impian disiang hari bolong saja.”

“Heeee.... heeee.... Bangsat! Lebih baik kau orang jangan bicara sembarangan, hati-hati aku bunuh kau sampai mati.” Potong Koan Ing dengan kerasnya.

Si sastrawan berusia pertengaban itu tertawa dingin tiada hentinya.

Cuaca semakin lama semakin gelap, walau pun orang- orang yang ada ditengah kalangan pada saat ini adalah jago- jago Bu-lim yang berkepandaian sangat tinggi tetapi mereka mulai merasa lemah.

Hanya si sastrawan berusia pertengahan seorang diri duduk bersila, agaknya terhadap suasana di sekelilingnya. dia Orang sama sekali tidak ambil gubris.

Sebaliknya Koan Ing merasa hatinya sangat cemas, ia telah memikirkan berpuluh-puluh cara tetapi tak ada sebuahpun cara yang bisa dilaksanakan.

Ditengah suara tiupan seruling kawanan ular itu menerjang semakin santar lagi, sedang cuacapun mulai gelap. keadaan

benar-benar amat menyeramkan. “Heeeeeei.... tak kusangka aku orang harus menemui kematian di tempat ini!” tiba-tiba si sastrawan berusia petengahan itu bergumam sambil menengadah ke atas langit.

Koan Ing sama sekali tidak ambil gubris terhadap perkataan orang itu, pedang kiem-hong-kiamnya tetap melanjutkan serangannya melawan ular tersebut, menoleh pun tidak!

“Koan Ing!” tiba-tiba si sastrawan berusia pertengahan itu berseru dengan menghela napas.

Setelah menghancurkan tiga ekor ular. barulah pemuda tersebut menoleh ke belakang, “Ada urusan apa ?”

“Aku sudah hidup di kolong langit selama delapan puluh tahun tetapi yang kuketahui selama ini hanyalah manusia2 yang mengutamakan nama besar dan kekajaan, tidak kusangka hari ini aku bisa temui pemuda semacam kau, hal ini benar-benar membuat hatiku girang.

“Pujian darimu, aku orang she Koan tidak berani untuk menerima hal tersebut!”

Kembali si sastrawan berusia pertengahan itu menghela napas panjang. “Heeeee.... kau kemarilah, aku ada perkataan yang hendak disampaikan benar-benar kepadamu!”

Koan Ing mengerutkan alisnya rapat-rapat. tubuhnya segera meloncat akan menghampirinya. Saat itulah Sang Su- im yang ada disisinya sudah memberi peringatan dengan suara yang lirih:

“Orang ini amat licik dan banyak akal kau harus bertindak hati-hati dan selalu waspada?”

Koun Ing mengangguk kemudian berjalan kehadapan si sastrawan berusia pertengahan.

“Kau orang ada urusan apa?” tanyanya sambil menyimpan kembali pedang kiem-hong-kiam tersebut. Si sastrawan berusia pertengahan itu tertawa sedih lalu menengadah menandang bintang dilangit.

“Selama hidup aku pernah berbuat jahat dan pernah berbuat baik, tetapi ada beberapa perkataan yang hendak aku sampaikan kepadamu, kau harus percaya kalau perkataan yang diucapkan oleh seseorang yang mendekati ajalnya adalah benar-benar dan sungguh. burung sesaat menemui ajalnya berpekiK tiada hentinya.... walaupun apa yang diucapkan Sang Su-im terhadap dirimu aku tidak tahu tetapi jika ditinjau dari perubahan air mukamu aku bisa menduganya?”

“Eeeei majikan rimba. perkataanmu sungguh aneh sekali.” tegur Koan Ing sambil tertawa. “Bukankah sekarang kita orang masih hidup semua? Buat apa kau bicarakan soal kematian?”

Si sastrawan berusia pertengahan itu tertawa pahit.

“Orang-orang yang aku tangkap untuk dijadikan anggota Rimba Wang Yu Liem kebanyakan adalah lelaki sejati, kau harus tahu harapanku untuk hidup telah putus. bilamana harapan hidup telah putus maka orang itu pasti mati. Setelah aku orang berpikir sangat lama akhirnya dalam hatiku mengambil keputusan sebelum menemui ajal aku ingin berbuat suatu pekerjaan baik!” katanya.

“Orang-orang itu telah menelan pil “Thian Ci Pek Siauw- tan”ku dan selamanya tidak bisa baik kembali,” ujar si sastrawan berusia pertengahan itu lagi sambil memandang sekejap bayangan punggung dari Thian Yang Siuwsu serta kedelapan orang berbaju hitam itu. “Tetapi sesudah aku mati tak ada orang yang bisa memberi petunjuk kepada mereka kecuali ada seseorang yang suka menelan semacam obat maka orang itu bisa menguasai mereka untuk selamanya, karena itu aku berharap kau suka menelan obat itu mewakili untuk memberi petunjuk buat mereka! kau sanggup bukan?” Koan Ing jadi melengak, Ia sama sekali tidak menyangka kalau si sastrawan berusia pertengahan itu bisa mengajukan permintaan seperti itu, untuk sesaat lamanya ia jadi bungkam dan termenung.

Kembali si sastrawan berusia pertengahan itu tertawa  pahit.

“Akupun tidak perlu berbuat licik terhadap dirimu. aku hanya berharap sebelum kematianku menjelang kau suka mengabulkan permintaanku ini. bilamana kau tidak setuju maka hal ini sama artinya kau tak punya Liang-sim?”

Selesai berkata dari dalam sakunya ia mengambil keluar sebutir pil berwarna merah dan diserarakan kepada Koan Ing.

Tidak menanti Koan Ing menerimanya lagi tangan kirinya tiba-tiba mencabut sebilah belati dan ditusukan ke arah pinggangnya sendiri!

Suara dengusan berat bergema memenuhi angkasa. ditengah mengucurnya darah segar dari si sastrawan berusia pertengahan itu rubuh menggeletak di atas tanah.

Koan Ing jadi melengak, ia sama sekali tidak menyangka kalau si sastrawan berusia pertengahan itu bisa melakukan bunuh diri, tanpa terasa lagi tangannya sudah menerima pil berwarna merah itu dan memandang ke tempat kejauhan.

Saat itu si sastrawan berusia pertengahan itu telah menggeletak ditengah ceceran darah segar, pedangnya menyobek pinggang hal ini membuktikan kalau ia benar-benar sudah mati.

Sesaat sebelum menemui ajalnya ia minta dirinya menelan pil itu untuk menguasai beberapa orang tersebut, apakah maksudnya agar ia tetap hidup terus?

Alisnya dikerutkan rapat-rapat, pertanyaan ini benar-benar membuat pikirannya kacau. Pada saat itulah mendadak tampak seso sok bayangan maunsia melayang turun kesis tubuhnya.

“Bocah! jangan telan pil tersebut” perintahnya.

Koan Ing jadi sangat terperanjat, ia mendongak kiranya

orang itu bukan lain adalah Song Ing.

“Bilamana dia sungguh-sungguh mati biarlah aku tusuk lagi tubuhnya dengan dua kali tusukan” seru Song Ing lagi sambil menusukkan pedangnya ke atas tubuh si sastrawan berusia pertengahan itu.

Baru saja pedangnya ditusukkan kebawah mendadak tubuh Si sastrawan berusia pertengahan itu menggelinding kesamping.

Melihat hal tersebut Song Ing jadi semakin gusar, sebenarnya dalam hati ia telah menaruh curiga, tidak sangka orang itu benar-benar sedang pura-pura mati.

“Keledai, kau sungguh licik dan kejam!” bentaknya gusar.

Sembari berkata pedangnya dengan cepat menutul ke arah kening dari si sastrawan berusia pertengahan itu.

“Tahan!” teriakan majikan dari Rimba Wang Yu Liem itu dengan suara keras. “Kau ada urusan apa lagi, ajoh cepat katakan.”

Koan Ing yang melihat kejadian itupun hatinya ikut merasa gusar, bilamana pil itu sungguh-sungguh ia telan mungkin situasi ditengah kalangan saat ini telah berubah.

“Hmmm! perkataan baik menjelang kematian.... heee....

kau benar-benar seorang yang berhati baik!” dengusnya dingin.

Si sastrawan berusia pertengahan itu segera tertawa terbahak-bahak, “Kali ini aku benar-benar telah kalah. pil “Thian Ci Pek Siauw-tan” ini setelah ditelan akan membuat orang itu seratus persen mendengarkan perkataanku bahkan sampai mati takkan sadar kembali. kini maksudku telah gagal.... heeei.    bilamana tadi kau suka menelan pil tersebut.

dengan kekuatan dari jago-jago yang ada tidaklah sukar untuk menolong aku lolos dari mara bahaya, cuma saja saat ini kalian pun belum menang karena bagaimanapun juga kalian belum tentu bisa hidup lebih lanjut. Heee.... heee     walaupun

begitu aku sebagai majikan Rimba Wang Yu Liem tidak sudi mati ditangan Suma Han!”

Selesai berkata belati ditangan kanannya segera ditusukkan ke arah dadanya sendiri tubuhnya dengan perlahan ikut rubuh ke atas tanah.

Koan Ing segera maju satu langkah ke depan untuk cekal denyutan jantungnya. terasalah denyutan itu semakin lama semakin perlahan dan akhirnya berhenti sama sekali.

Kali ini si sastrawan berusia pertengahan itu betul-betul telah membunuh diri!

Selagi ia berdiri termangu-mangu, mendadak mendengarlah Thian Yang Siuw-su serta kedelapan orang berbaju hitam itu membentak keras kemudian dengan dahsyatnya menerjang ke arah bawah tebing.

Koan Ing yang memandang bayangan punggung mereka cuma bisa menghela napas panjang. orang-orang itu sudah jadi gila semua.... Kepandaian silat dari Thian Yang SiUw-su pun sangat lihay sekali, tetapi dikarenakan kereta berdarah  tak disangka ia tidak memperoleh akhir cerita yang sangat mengenaskan.

Hanya di dalam sekejap saja tengah malam telah menjelang datang....

Semua Orang yang lagi putus asa tiba-tiba dapat menangkap suara tertawa tergelak yang amat nyaring bergema memenuhi seluruh angkasa, suara tertawa itu seketika itu juga mengacaukan irama dari seruling tersebut, seketika itu juga serangan kawanan ular itu jadi kacau balau dan pada melarikan diri keempat penjuru.

Melihat kejadian tersebut hati semua orang jadi amat girang bercampur terkejut.... dari manakah datangnya bala bantuannya?

Ditengah suara gelak tertawa, irama seruling itu berusaha untuk meronta tetapi akhirnya berhasil juga ditirukan oleh suara tertawa itu hingga suasana jadi amat kacau.

Binatang buas yang semua berhasil ditaklukkan melalui irama seruling kini pada bubar dan lari serabutan kesana- kemari.

Lama sekali Sang Su-im memperhatikan, akhirnia dengan rasa terkejut bercampur girang teriaknya:

“Aaaah kiranya dia!”

Baru Saja perkataan itu diucapkan keluar tampaklah seorang kakek tua berjubah putih yang berperawakan tinggi besar telah melayang datang.

“Haa.... haaa.... kiranya Orang Sang-heng masih teringat akan diriku!”

“Lam Kong-heng Bagaimana mungkin kau orang bisa tiba disini dari tempat yang begitu jauh? Hal ini benar-benar berada diluar dugaanku!” teriak Sang Su-im kegirangan.

Mendengar perkataan tersebut semua orang jadi tersadar kembali, kiranya orang itu adalah sitabib sakti dari daerah Tian Pian, Lam Kong Ceng adanya, tidak disangka dari daerah yang begitu jauh ia bisa muncul disini bahkan membantu mereka untuk mengundurkan kawanan binatang tersebut dengan suara tertawanya.

Sang Siauw-tan buru-buru majU memberi hormat dan disusul oleh Koan Ing mengucapkan terima kasih atas budi dan pertolongannya tempo hari. “Haaa.... haaa.... saudara cilik kau tak usah banyak adat.” seru Lam Kong Ceng sambil tertawa. “Ilmu pertabibmu telah aku ketahui sejak dahulu, kali ini akupun ada maksud untuk membantu kau orang!”

Setelah itu Sang Su-im pun mewakili dirinya untuk memperkenalkan para jago lainnya.

Beberapa saat kemudian tiba-tiba Thian Siang Thaysu merangkap tangannya memberi hormat.

“Pinceng mohon diri dulu dari saudara sekalian, sebelum berhasil menawan Yuan Si hatiku merasa belum lega,” katanya.

“Haaa.... haaa.... Taysu, kau tidak usah begitu tergesa!” seru Lam Kong Ceng sambil tertawa. “Orang yang meniup seruling itu masih ada di sekeliling tempat ini, dia pun tidak berani meninggaikan tempat tersebut. Bagaimana kalau kita jalan bersama-sama?”

“Haaa.... haaa. kalau begitu kebetulan sekali.” teriaknya.

Demikianlah dengan dipimpin oleh Lam Kong Ceng para jago mulai menuruni puncak tebing itu dan menuju kesebuah puncak yang ada disebelah kiri.

Puncak tebing itu amat curam dan berbahaya sekali.

Setelah mencapai di atas puncak maka terlihatlah di hadapannya muncul sebuah lekukan lembah yang ditengahnya dihubungkan dengan sebuah jembatan batu, di bawah jembatan merupakan suatu jurang sedalam ribuan kaki.

Di atas jembatan batu duduklah beberapa orang, yang paling depan bukan lain adalab “Sin Tie Langcoen” Ti Siuw-su adanya.

Tiga orang yang ada dibelakangnya bukan lain adalah silblis bongkok dari daerah Si Ih Chiet Han Kokcu serta Yuan Si Tootiang. Dan terakhir di atas puncak dihadapan mereka duduklah seseorang yang bukan lain adalah Giok Yang Coen” Suma Han!

Untuk menghubungi tebing sebelah sini dengan puncak diseberang sebelah sana hanya ada satu jalan saja.

Thian Siang Thaysu kerutkan alisnya rapat-rapat, tiba-tiba serunya, “Biarlah aku yang coba!”

Sehabis berkata tubuhnya menubruk ke depan naik ke atas jembatan batu tersebut.

Song Ing yang melihat kejadian itu segera mengerutkan dahi.

“Kau ikutilah dari belakang!” serunya kepada Koan Ing.

Pemuda itu dengan hormatnya menjura kemudian meloncat ke atas jembatan batu.

Saat ini Thian Siang Thaysu benar-benar sudah mencapai pada puncak kegusarannya, ditengah suara bentakan yang amat keras sepasang telapak tangannya didorong sejajar dada, dengan menggunakan ilmu kepandaian andalannya ‘Siang Thian Ciang Mo Ceng Kie’ ia menghajar tubuh Ti Siuw- su.

Melihat datangnya serangan yang demikian dahsyatnya Ti Siuw-su sangat terperanjat. ia pun bersuit nyaring sedang tubuhnya meloncat menyingkir.

Mengambil kesempatan itulah Thian Siang Thaysu segera menerjang ke depan.

Pada waktu itu Koan Ing telah mencabut keluar pedang kiem-hong-kiamnya tetapi sewaktu melihat tempat yang dipijak Ti Siuw-su hatinya jadi curiga.

Jembatan batu itu sudah lama sekali mendapatkan serangan angin dan hujan dan kini boleh dikata amat lapuk setelah dilewati Ti Siuw-su tadi maka sebagian dari jembatan tersebut telah mengendor.

Bilamana ingin naik ke atas jembatan itu masih tidak mengapa, tetapi bilamana bermaksud hendak melukai orang dan kerahkan tenaga, hal itu tidak mungkin terjadi.

Selagi hatinya tergerak itulah Ti Siuw-su telah balikkan badannya menubruk datang. seruling besinya dengan disertai desiran tajam menotok ke arah batok kepala pemuda  tersebut.

Sebaliknya Si Ih Mo Tuo yang ada dibelakangnya telah menubruk ke arah Thian Siang Thaysu.

Koan Ing merasa hatinya bergidik, tubuhnya menghindar  ke samping lalu melayang ketangah udara!

Thian Siang sendiripun tahu kalau dia orang tidak dapat menerima serangan musuh di atas jembatan batu tersebut. tubuh mereka berdua bersamaan waktunya meloncat ke atas.

Ti Siuw-su serta si Iblis bongkok yang melihat kejadian itu buru-buru membabatkan tongkat serta serulingnya ke atas jembatan batu tersebut.

“Brraaaaaaaammm. !” jembatan batu kena dipukul hancur

berantakan. sedang tubuh kedua orang itupun meloncat balik ke atas batu semula,

Dengan adanya kejadian ini bukan saja Koan Ing serta Thian Siang Thaysu merasa amat terperanjat, sekalipun Sang Siauw-tan serta Cha Ing Ing yang ada diataspun pada menjerit kaget.

Koan Ing membentak keras. tubuhnya yang ada ditengah udara bersalto beberapa kali lantas balik menubruk ke arah Ti Siuw-su, sedangkan Thian Siang Thaysu menghantam diri si Iblis bongkok. Seruling besi ditangan Ti Siuw-su dengan membentuk gerakan lingkaran menghalau datangnya serangan pedang dari Koan Ing, saat ini tubuh pemuda tersebut ada ditengah udara dan dibawahnya adalah jurang, maka itu asalkan dirinya berhasil memaksa ia untuk meluncur kebawah maka tamatlah riwajatnya.

Hati Thian Siang Thaysu benar-benar sangat murka, tubuhnya yang ada ditengah udara segera melancarkan serangan dengan menggunakan “Sian Thian Ceng Kie”nya, terasalah segulung asap putih yang amat dahsyat menekan diri Si Ih Mo Tuo.

Si lh Mo Tuo tertawa terbahak-bahak tongkat pualamnya berturut-turut melancarkan tiga serangan dahsyat menghantam hawa pukulan dari Thian Siang Thaysu.

Thian Siang Thaysu yang melihat serangannya tidak mengenai sasarannya, ia jadi semakin gemas, tubuhnya dengan amat hebatnya menubruk tubuh Si In Mo Tuo.

Koan Ing yang melancarkan serangan pedang ke depan dengan cepat kena ditangkis oleh seruling besi dari Ti Siuw-su, pedang serta seruling bentrok menjadi satu menimbulkan bunga-bunga api. seketika itu juga seruling besi tersebut kena dihisap oleh tenaga dalam Koan Ing.

Hal ini benar-benar membuat Si Tie Langcoen merasa berdesir.

Serangan dari Thian Siang Thaysu pada saat ini sudah lebih mirip dengan serangan binatang terluka, melihat kejadian itu Si Ih Mo Tuo jadi sangat terperanjat.

Tongkat pualamnya dibabatkan sejajar dada kemudian menekuk ditengah jalan menghantam batok kepala hweesio tersebut, agaknya ia hendak membinasakan musuhnya di dalam sekali kemplangan. Thian Siang Thaysu dengan kalapnya berteriak keras, tangannya dengan keras lawan keras menerima datangnya tongkat pualam itu Tak kuasa lagi tubuhnya tergetar sangat keras.

Si Ih Mo Tuo merasa amat terperanjat Tangan kanannya dengan gugup ditarik ke arah belakang dengan gerakan cepat.

Tetapi pada saat yang bersamaan pula tubuh Thian Siang Thaysu telah menubruk datang

Braaak!! Tubuh mereka berdua terpisah dan bersama-sama jatuh ke dalam jurang yang sangat dalam yang tak terlihat dasarnya itu!

Koan Ing merasa terkejut bercampur gusar, ia sama sekali tidak menyangka kalau Thian Siang Thaysu ternyata mengajak Si Ih Mo Tuo untuk mati bersama-sama.

Ti Siuw-su yang melihat kejadian itu hatinya pun merasa amat terperanjat, ditengah suara bentakan yang amat keras tangan kanannya mengendor.

Ditengah ajunan tangannya ia bermaksud untuk memukul jatuh Koan Ing berserta pedangnya ke dalam jurang.

Koan Ing bukanlah manusia biasa, ia menarik napas panjang dan tetap menghisap kencang-kencang seruling besinya itu.

Ti Siuw-su yang melihat senjatanya ikut terhisap kencang hatinya jadi bergidik.

Pertempuran antara jagoan berkepandaian tinggi justru ditentukan pada detik2 ini sedikit saja Ti Siuw-su berajal pedang kiem-hong-kiam ditangan Koan Ing telah membabat ke arah tubuhnya dan dengan paksa mendorong tubuh Ti Siuw-su terjatuh ke dalam jurang.

Suara jeritan ngeri berkumandang memenuhi angkasa, tanpa ampun lagi, tubuh Ti Siuw-su melayang ke dalam jurang dan semakin lama tubuhnya semakin kecil kemudian lenyap tak berbekas.

Kematian dari Thian Siang Thaysu membuat hawa amarah pemuda ini memuncak, dengan dinginnya ia memandang ke arah Chiet Han Kokcu, Phoa Thian-cu.

Tubuhnya tiba-tiba melayang ke depan dan berdiri ditengah batu yang digunakan oleh Si Ih Mo Tuo tadi.

Kokcu dari lembah Chiet Han Kok ini benar-benar sudah dibuat bergidik oleh sikap Koan Ing yang amat menyeramkan itu. mendadak ia menutup kembali jaringan emasnya dan menjura ke arah pemuda tersebut.

“Phoa Thian-cu rela mengaku kalah!” katanya perlahan. “Hmmmm! kalau begitu cepatlah menyingkir!”

Phoa Thian-cu menghela napas panjang tubuhnya meloncat ketengah udara kemudian bersalto beberapa kali dan melayang turun ke atas batu yang digunakan oleh Ti Siuw-su tadi.

Yuan Si Tootiang yang melihat Koan Ing berhasil pukul rubuh Ti Siuw-su ke dalam jurang Thian Siang Thaysu adu jiwa dengan Si Ih Mo Tuo ditambah kini Phoa Thian-cu mengaku kalah membuat hatinya terasa berdesir.

Mendadak dengan mata membara ia mengajunkan telapak tangannya ke depan, segulung hawa pukulan yang maha dahsyat dengan disertai suara desiran yang amat keras menggulung ke arah depan.

Sikokcu dari lembah Chiet Han Kok, Phoa Thian-cu sama sekali tidak menyangka bilamana Yuan Si Tootiang bisa melancarkan satu pukulan yang begitu dahsyat untuk membokong dirinya.

Di dalam keadaan gugup tubuhnya mencelat ketengah udara untuk menghindarnya. “Yuan Si-heng, apa maksudmu?” Teriaknya dengan amat terperanjat.

Yuan Si Tootiang hanya mendengus dingin telapak tangannya kembali mengirim satu pukulan yang sangat dahsyat ke depan.

Kali ini Phoa Thian-cu sudah mengadakan persiapan tubuhnya kembali mencelat ketegah udara dan bersalto beberapa kali untuk menghindar.

“Yuan Si-heng, kau jangan terlalu memaksa aku pun bisa memberi perlawanan kepadamu!” teriaknya gusar.

Yuan Si Tootiang kembali mendengus dingin, teriaknya tiba-tiba, “Heee.... kau berani mengkhianati diriku dan meninggalkan diriku selagi aku terjepit nyawamu tak bisa diampuni lagi!”

Sehabis berkata telapak tangannya kembali menyambar ke depan disusul tiga rentetan cahaya tajam berkelebat mengiringi angin pukulan tersebut.

Phoa Thian-cu sama sekali tidak menyangka Yuan Si Tootiang bisa turun tangan jahat terhadap dirinya, tubuhnya meloncat ke samping untuk menghindarkan diri dari kedua buah angin pukulan tersebut, sedangkan jalanya disambar kebawah memunahkan datangnya ketiga rentetan cahaya tajam yang mengancam dirinya.

Siapa sangka agaknya Yuan Si Tootiang sudah menduga akan hal itu, begitu ia selesai menyambitkan ketiga buah batu itu, kembali satu pukulan dahsyat menyusul datang.

Pukulan yang terakhir ini telah menggunakan seluruh tenaga yang dimilikinya.

Phoa Thian-cu tak sempat untuk menghindar tanpa ampun dadanya kena terhantam. ditengah suara jeritan ngeri yang menyajatkan hati darah segar muncrat keluar dari mulutnya. Tubuhnya pun dengan keras terpental lima kali ke belakang dan jatuh ke dalam jurang yang tak kelihatan dasarnya itu,

Setelah berhasil membereskan nyawa Phoa Thian-cu dengan angkernya Yuan Si Tootiang baru menoleh ke arah diri Koan Ing.

Wajah pemuda itu pada saat ini sangat dingin, pada masa hidupnya Thian Siang Thaysu justru bermaksud untuk menghadapi Yuan Si Tootiang, kini hweshio dari Siauw Sim pay itu sudah mati, maka itu bagaimana pun juga ia tidak akan melepaskan tosu itu.

Pedang Kiem-hong-kiamnya setelah berkelebat membentuk suatu gerakan setengah lingkaran lantas disilangkan di depan dada.

Lama sekali mereka berdua saling berpandangan mendadak Koan Ing bersuit nyaring tubuhnya dengan disertai sambaran pedang menubruk ke depan.

Pedangnya laksana naga emas yang melayang ditengah angkasa berkelebat menembusi udara kemudian menusuk lambung Toosu itu.

“Inilah jurus “Giok Sak Ci Hun!”

Yuan Si Tootiang tertawa dingin, pedangnya pun segera dicabut keluar. Diantara menyambarnya cahaya tajam, hawa pedang memenuhi angkasa. Dia telah menggunakan jurus ‘Koei Coa Peng Koei’ atau pura? ular mati berbaring dari ilmu pedang ‘Toa Cing Kiam Hoat’.

Sepasang pedang terbentur menjadi satu menimbulkan percikan bunga-bunga api. hawa pedang dengan cepat mengurung tubuh mereka berdua.

Para jago yang melihat kejadian itu dari samping merasa hatinya sangat terperanjat pertempuran pedang semacam ini benar-benar luar biasa sekali. Walaupun mereka semua merupakan jago-jago lihay tetapi selama hidup mereka belum pernah menemuinya.

Masing-masing pihak berusaha dengan menggunakan hawa pedang untuk rebut kemenangan, mendadak bayangan manusia berpisah, tubuh Koan Ing mencelat ke atas sedang Yuan Si Tootiang ditengah suara suitan yang amat panjang sepasang telapaknya dipentangkan.

Selapis kabut merah mulai meliputi tubuhnya, laksana seekor burung rajawali dengan seramnya ia mengejar tubuh Koan Ing,

Cha Ing Ing yang melihat kejadian itu menjent kaget, hati semua jagopun merasai tergetar.

Tenaga dalam Yuan Si Tootiang sudah berhasil mencapai pada taraf kesempurnaan ditambah lagi dengan kabut berdarahnya hal ini membuat dia orarg semakin lihay lagi.

Walaupun para jago ada maksud untuk turun tangan membantu tetapi di dalam keadaan situasi seperti ini tak seorangpun yang sanggup untuk membantu,

Koan Ing bersuit nyaring, tubuhtnya yang ada ditengah udara kembali mencelat ke atas.

Dengan cepatnya Yuan Si Tootiang berhasil menyusulnya, sepasang pedang kembali bentrok menjadi satu,

Tubuh Koan Ing dengan cepat melayang turun kebawah, “Hmm! Kau hendak lari kemana?!” teriak Yuan Si Tootiang

sambai mendengus dingin.

Ketika dilihatnya hawa murni pemuda itu seperti telah habis, ia segera membentak keras pedangnya dengan disertai desiran yang tajam disambitkan ke arah depan mengancam punggung Koan Ing. Koan Ing berteriak keras, ujung kaki kirinya kembali menutul batu, lalu bagaikan kilat balik badan menangkis datangnya sambitan pedang dari Yuan Si Tootiang itu.

Yuan Si tootiang jadi terperanjat, ia sama sekali tidak menyangka kalau Koan Ing berhasil menerima datangnya serangan pedang tersebut.

Buru-buru tubuhnya merandek ditengah udara kembali bersalto kebelaksng untuk melarikan diri.

Siapa tahu dalam hati pemuda itu telah ada perhitungan, pedang kiem-hong-kiamnya di dalam sekejap saja telah melancarkan serangan mengancam delapan belas posisi yang berbeda. kemudian tangannya diajunkan ke depan mengembalikan pedang dari Yuan Si Tootiang tadi.

Toosu Bu-tong-pay ini pada saat ini lagi kelabakan sekali, ia tak berhasil menghindarkan diri....

Diantara berkelebatnya cahaya tajam pedangnya telah menembusi punggungnya hingga ke depan dada.

Suara jeritan ngeri berkumandang memenuhi angkasa.

Para jago yang menonton jalannya pertermpuran itupun pada mengucurkan keringat.

Tubuh Koan Ing dengan gesit melanjutkan gerakannya kepuncak seberang.

Waktu ini Suma Han sudah dibuat keder oleh pertempuran yang baru saja berlalu keringat dingin mengucur keluar membasahi keningnya, ia merasa tenaga dalamnya tak dapat melampaui pemuda itu dan iapun tahu bilamana terjadinya pertempuran dirinya tentu kalah. 

Karena itu sewaktu Koan Ing tiba di hadapannya tak kuasa lagi Suma Han sudah menjatuhkan diri berlutut di hadapannya. Koan Ing tetap membungkam seribu bahasa, pedangnya tiba-tiba berkelebat ke depan mencukil keluar gulungan kertas yang ada di dalam sakunya kemudian diantara kilatan pedang kertas itu sudah hancur berkeping-keping.

“Heeei.... Kereta berdarah telah berlalu kau pergilah,” kata pemuda itu kemudian kepada Suma Han.

Si orang tua itu tertegun, sama sekali ia tak mengucapkan kata-kata.

Saat itulah Sang Siauw-tan serta Sang Su-im sekalian telah tiba disana, mereka hanya bisa menghela napas panjang saja....

Dan dengan demikian peristiwa KERETA BERDARAH itupun telah berlalu....

T A M A T
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar