Jilid 06
Mendengar perkataan dari Jien Wong ini, tidak terasa Koan Ing mengerutkan alisnya
rapat-rapat.
“Hmmm.... ” dengus Jien Wong kembali dengan amat dingin. “Sewaktu aku berumur tiga puluh tahun aku orang sama sekali tidak bernama di dalam Bu-lim, tetapi setelah berumur empat puluh tahun di dalam kolong langit tidak ada seorang manusiapun yang bisa menandingi diriku.”
Dengan pandangan tajam Koan Ing memperhatikan wajah Jien Wong terus menerus, padahal di dalam hati diam-diam pikirnya, “Bagus. bagus sekali, aku tidak menemui ajalnya di
tangan Ciu Tong, tidak mati di dalam kuil Han-poh-sie sebaliknya terjatuh ke tangan Jien Wong.... haa.... haaa....
boleh dikata inilah yang dinamakan Jodoh.”
Tiba-tiba Jien Wong melepaskan tangan kanannya lalu sambil mengerutkan keningnya rapat-rapat ujarnya, “Heeey kau terkena racunnya siapa? Kenapa begitu berat?”
Mendengar perkataan itu Koan Ing menjadi amat terperanjat, pikirnya, “Jien Wong ini manusia memang seorang yang sangat aneh, ternyata cuma di dalam satu kali pandangan saja dia sudah tahu kalau aku terkena racun yang amat berat sekali, bakat manusia semacam ini sungguh jarang terdapat di kolong langit.”
Jien Wong yang melihat Koan Ing tidak menjawab, seorang diri dia tenggelam kembali ke dalam lamunan. “Kau orang tidak usah memberitahu aku sendiri juga tahu,” gumamnya seorang diri. “Pekerjaan ini tentu hasil perbuatan dari Ciu Tong. kecuali dia orang tidak ada orang lain yang bisa berbuat pekerjaan seperti ini.”
Sambil berkata pikirannya sudah terjerumus ke dalam lamunan yang amat mendalam mulutnya komat-kamit bergumam seorang diri agaknya dia sedang berpikir dan mau mengambil keputusan tentang satu persoalan yang amat sulit.
Beberapa saat kemudian tiba-tiba telapak tangannya berkelebat dan membantu Koan Ing mengurutkan jalan darahnya, tetapi mulutnya tetap membungkam sedang pikirannya tetap terjerumus di dalam lamunan.
Koan Ing yang berdiri di samping juga berdiam diri, dengan pandangan amat tenang dia memperhatikan diri Jien Wong.
Di dalam sekejap saja tiba-tiba dia sepertinya sudah memahami akan suatu urusan Jien Wong ternyata bisa memperoleh kepandaian silat yang demikian tingginya sudah tentu diapun mempunyai hal-hal tertentu.
Sebentar saja dia sudah bisa memusatkan seluruh perhatian dan pikirannya untuk memikirkan satu persoalan tertentu, terhadap urusan lain bersiap seperti tidak melihat dan tidak mendengar, dengan kepandaian silat yang demikian tinggi dari dirinya hal ini merupakan satu-satunya titik kelemahan yang paling besar dari dirinya. Tiba-tiba terdengar Jien Wong tertawa terbahak-bahak lagi dengan amat kerasnya.
“Haaaa.... haaaa.... haaaa.... racun dari Ciu Tong ini kemungkinan sekali bisa menyulitkan orang lain tetapi tidak akan menyulitkan diriku!” serunya girang, “Aku kira di dalam kolong langit sekarang ini kecuali aku seorang sekalipun Ciu Tong sendiripun tidak akan berhasil memunahkan racun itu.”
Sekali lagi Koan Ing melengak Jien Wong tentu telah menganggap dia sebagai anak murid dari Kong Bun-yu, tetapi pada tempo hari ‘Si Thian-yu Khei Kiam’ pun merupakan salah seorang yang mengerubuti dirinya, kenapa ini hari dia mau membantu dirinya untuk mengobati racun yang ada di dalam tubuhnya?
“Tentang Suhumu aku dapat pergi mencari dirinya,” ujar Jien Wong lagi. “Urusan diantara kau dengan aku tidak punya sangkut pautnya dengan mereka.”
Dengan pandangan melongo Koan Ing memperhatikan diri Jien Wong, sepatah katapun dia tidak berbicara. Hampir- hampir dia tidak mau percaya atas perkataan dari Jien Wong ini, walaupun kepandaian silatnya amat tinggi, pikirannya sekalipun dipusatkan sesuai dengan kehendaknya tetapi di dalam Bu-lim saat ini cuma Ciu Tong seorang saja yang paling pandai dan paling paham di dalam ilmu obat-obatan. tidak mungkin seseorang cuma berpikir sebentar sudah dapat mengetahui segala-galanya.
Jien Wong yang melihat air muka Koan Ing memperlihatkan perasaan yang kurang percaya dia mendengus dingin.
“Di dalam tiga puluh hari aku bisa menyediakan obat penawar buat dirimu,” ujarnya sambil tertawa tawar.
Koan Ing yang mendengar dia berkata demikian di dalam hati segera merasa semakin heran lagi, mendadak tanyanya, “Kenapa kau tidak memandang sebelah matapun terhadap segala urusan.”
Begitu perkataan ini diucapkan keluar di dalam hati tidak terasa lagi telah merasa sangat menyesal.
Jien Wong dibuat agak melengak, tetapi sebentar kemudian dia telah tertawa terbahak-bahak.
“Ada urusan apa yang berharga untuk aku pandang dengan mata?” serunya keras. “Haaa.... haaa.... semuanya pasrah pada nasib urusan lain asalkan kau kepingin pergi berbuat, ada apanya yang tidak dapat dilakukan. ”
Koan Ing cuma merasakan otaknya bagaikan ditinju dengan martil besar.
“Pasrah pada nasib,” perkataannya ini mempunyai arti yang amat banyak, selama beberapa hari ini dia terus menerus menguatirkan mati hidupnya sendiri, selama ini pikirannya tidak terbuka tetapi di dalam sekejap ini, dia merasa hatinya jauh lebih ringan.
Si manusia tunggal dari Bu-lim, Jien Wong yang melihat Koan Ing dibuat tertegun oleh omongannya ini dia segera tertawa tergelak-gelak.
dia tidak mau percaya kalau hanya di dalam tiga puluh hari saja Jien Wong dapat membuat obat pemunah untuk dirinya. Tetapi ‘Pasrah pada nasib’ dia tidak perlu gelisah tentang soal ini
Dengan perlahan dia putar tubuh dan berjalan keluar dari gua tersebut.
Sesampainya diluar gua terlihatlah seluruh hutan rimba yang ada di dekat kuil Han-poh-si sudah ikut terbakar oleh api yang menjalar dari kuil tersebut seketika itu juga seluruh permukaan tanah diliputi oleh lautan api yang amat dahsyat sekali, salju nan putih yang berhamburan dari atas udara sama sekali tidak dapat menahan berkobarnya api.
“Haaaa.... haaaa bocah cilik harus banyak belajar” Serunya keras. Setelah berkata tubuhnya berkelebat lenyap dibalik gua.
Pikiran Koan Ing menjadi sadar kembali, cepat-cepat teriaknya, “Hey tunggu dulu, dimana itu bajingan Bun Ting- seng?” “Sejak semula dia pergi, pada lain waktu tentu kau dapat bertemu dengannya,” sahut si Manusia tunggal dari Bu-lim dengan keras.”
Dengan cepat dia berlari turun gunung, mendadak sinar matanya terbentur dengan sesosok bayangan manusia yang berkelebat dengan cepatnya menuju ke arah dirinya.
Melihat bayangan tersebut dalam hati Koan Ing merasa hatinya tergetar amat keras. orang itu memakai baju merah yang bukan lain adalah Sang Siauw-tan adanya sedang orang yang mengejar di belakangnya bukan lain adalah Husangko itu hwesio Tibet. Dia sedikit tertegun, tetapi sebentar kemudian sudah lari mengejar ke depan.
Terlihatlah Sang Siauw-tan yang berhasil mencapai depan tubuhnya mendadak rubuh ke atas tanah, Koan Ing jadi amat terperanjat dengan cepat dia maju dua langkah ke depan membimbing tubuhnya.
Saat itu wajah Sang Siauw-tan pucat pasi bagaikan mayat, agaknya dia sudah kehabisan tenaga.
Husangko semakin lama semakin mendekat, sewaktu dilihatnya Koan Ing pun ada disana dia agak ragu-ragu sebentar akhirnya sambil menerjang maju ke depan teriaknya keras, “Heee.... heee.... ini hari kalian berdua jangan harap bisa loloskan diri.”
Waktu ini dalam hati Koan Ing pun sedang marah besar, melihat Husangko menerjang ke arahnya dengan amat gusarnya dia segera membentak keras, pedang panjangnya digetarkan dan berturut-turut melancarkan tiga serangan gencar.
Di tengah berkelebatnya bayangan pedang yang menyilaukan mata seketika itu juga Husangko dipaksa mundur tiga langkah ke belakang, dia menjadi tertegun. “Cepat menggelinding dari sini!” bentak Koan Ing lagi dengan amat gusarnya, Jika kau tidak mau pergi jangan salahkan aku segera akan membuat darahmu berceceran mengotori permukaan tanah”
Dalam hati Husangko merasakan sedikit berdesir, dia benar-benar terpukul oleh kegagahan dan kewibawaan dari Koan Ing sehingga tidak terasa lagi sudah mundur dua langkah ke belakang.
Beberapa saat kemudian hatinya baru mulai tenang kembali, pikirnya di dalam hati, “Eeeh.... kenapa aku ini? Kenapa aku begitu tidak berguna?”
Hatinya menjadi semakin jengkel dan semakin gemas, serunya dengan dingin, “Koan Ing Kau jangan mengira kau adalah keponakan murid dari Kong Bun-yu lalu boleh bertindak sewenang-wenangnya, ini hari kalian berdua sudah membakar kuil Han-poh-si kami.... hee.... hee untuk
selamanya jangan harap bisa keluar dari daerah Tibet barang selangkahpun.”
“Kau mau pergi tidak?” bentak Koan Ing dengan dingin.
Husangko mana mau menunjukkan rasa jerinya terhadap diri Koan Ing? Bukan saja saat ini Koan Ing harus melindungi seseorang bahkan sebentar lagi suhunya bakal datang, Cuma seorang Koan Ing saja bagaimana dia mau memandang sebelah mata kepadanya? Dengan mematung dia berdiri tidak bergerak barang sedikitpun,
“Hee.... heee.... aku memangnya kepingin menjajal bagaimana tingginya tenaga dalam yang kau miliki,” ujarnya sambil tertawa dingin.
Dengan pandangan yang amat dingin Koan Ing memperhatikan diri Husangko, dia sudah memaksa Sang Siauw-tan sehingga menjadi sedemikian rupa, tidak perduli bagaimanapun ini hari dia tidak bisa melepaskan Husangko dengan begitu saja. Dia memandang sekejap ke arah Sang Siauw-tan yang berada di dalam pangkuannya, lalu tanpa mengucapkan sepatah kata pun sambil mengempit tubuhnya dia putar tubuh berlalu dari sana Melihat dirinya tidak digubris Husangko menjadi gusar.
“Mau lari kemana?” bentaknya dengan keras, dengan cepat dia lari mengejar.
Baru saja berjalan dua langkah ke depan mendadak Koan Ing membalikkan badannya melancarkan satu serangan dahsyat dengan menggunakan jurus ‘Hiat Cong Ban Li’ atau menguntit selaksa li, tampak berkelebatnya sinar pedang yang menyilaukan mata sambil mengempit tubuh Siauw-tan dia melancarkan serangan gencar ke arah Husangko.
Husangko menjadi amat terperanjat, walaupun Koan Ing mengempit seseorang tetapi serangan padanya begitu ganas dan dahsyat membuat hatinya sedikit bergidik.
Mana dia orang mengetahui kalau jurus serangan yang baru saja dia gunakan merupakan salah satu jurus yang paling dahsyat dari kedua puluh empat jurus hasil ciptaan Kong
Bun-yu sendiri, ditambah lagi Koan Ing melancarkan serangan tersebut di dalam keadaan gusar, kedahsyatannya sudah tentu amat hebat sekali sehingga membuat dirinya sendiripun merasa ada diluar dugaan.
Dengan cepat Husangko menggoyangkan toyanya ke samping memukul miring datangnya serangan dari Koan Ing, sedang tubuhnya Cepat-cepat melayang mundur ke belakang.
Koan Ing segera membentak keras, kaki kanannya melancarkan tendangan kilat menyambar toya yang ada di tangan Husangko, gerakan pedangnya sama sekali tidak berubah dengan dahsyatnya meneruskan serangannya menusuk alis dari Husangko. Melihat datangnya serangan yang begitu cepat dari Koan Ing. Husangko tidak berani memikirkan urusan lainnya, dengan cepat tubuhnya mundur ke belakang.
Baru saja Koan Ing mau mengejar lebih lanjut, mendadak terdengar suara bentakan yang amat berat berkumandang datang, “Hmm kau cari mati!”
Segulung angin pukulan yang amat kuat menghantam belakang punggungnya, tanpa menoleh lagi Koan Ing segera mengetahui orang itu tidak akan lain daripada suhu Husangko, Hud Ing Thaysu itu manusia paling jagoan di daerah Tibet pada saat ini....
Ooo)*(ooO
Bab 13
Koan Ing yang sedang enak-enaknya melancarkan serangan mendesak Husangko mendadak dari belakangnya terasa segulung angin pukulan laksana menggulungnya angin topan melanda badannya, dia tidak berani melanjutkan gerakannya untuk melukai diri Husangko, pedang panjang di tangan kanannya dengan cepat dibalik ke belakang
“Bruuuuk....!” pedang panjangnya sudah terkena pukulan Hud Ing Thaysu sehingga mengeluarkan suara dengungan yang amat keras membuat tubuhnya seketika itu juga tergetar mundur sejauh dua langkah ke belakang.
Tetapi Husangko yang baru saja lolos dari kematian saking takutnya membuat seluruh wajahnya pucat pasi bagaikan mayat.
Hud In Thaysu yang melihat serangannya cuma berhasil menggetar mundur Koan Ing sejauh dua langkah saja di dalam hati diam-diam merasa sangat terperanjat sekali, dia orang sama sekali tidak menyangka di dalam keadaan gugup Koan Ing masih bisa menerima serangannya tanpa mengakibatkan pedangnya terlepas dari tangan. Koan Ing yang melihat air muka Hud Ing Thaysu sudah berubah amat keren dia pun diam-diam mulai mengatur pernapasannya bersiap-siap menghadapi segala kemungkinan.
Dia tahu tenaga dalam yang dimilikinya masih terpaut amat jauh sekali dari tenaga dalam yang dimiliki Hud Ing Thaysu sedang saat inipun Hud Ing Thaysu sedang berada di dalam keadaan gusar dia tidak dapat mati konyol di tempat ini, apa lagi saat ini masih ada seorang Sang Siauw-tan yang berada di dalam keadaan tidak sadar.
Dengan amat dinginnya Hud In Thaysu mendengus keras, sinar matanya berkelebat tak henti-hentinya agaknya di dalam hati dia sedang memikirkan apakah perlu dia melancarkan pukulan yang mematikan untuk mencabut nyawa dari Koan Ing serta Sang Siauw-tan? Bukan saja dikarenakan di belakang layar mereka berdua masih ada tameng yang amat atos bahkan dia orang sebagai jagoan nomor satu di daerah Tibet saat ini boleh dikata merupakan angkatan tua dari mereka berdua, bahkan merupakan seorang pendeta yang beribadat dan sangat dihormati oleh banyak orang
Jikalau pada saat ini dia membinasakan diri Koan Ing bukan saja akan mencemarkan nama baik serta kedudukannya bahkan Sang Siauw-tan masih berada di dalam keadaan tidak sadar, bilamana dia turun tangan pada saat ini bukankah sama saja dengan turun tangan dikala orang lain dalam keadaan bahaya?
Tetapi dendam terbakarnya kuil Han-poh-si membuat hatinya amat gusar sekali, dia harus menuntut kerugian terbakarnya kuil tersebut.
Dia segera mendengus dengan beratnya, “Hmmm Koan Ing!” teriaknya dengan dingin. “Seharusnya kau orang tahu kau harus menerima kematianmu sekalipun Sian, Khei, Sin serta Mo ada disini semuapun di dalam ceng-li kau tidak bisa berbicara banyak.“ Koan Ing menarik napas panjang-panjang, dia tidak mengucapkan sepatah katapun, pikirannya terus menerus berputar memikirkan cara bagaimana menghadapi musuhnya yang amat tanggung ini
Hud Ing Thaysupun mengerutkan alisnya rapat-rapat sepasang tangannya dengan perlahan diangkat siap melancarkan serangan yang mematikan
Sinar mata Koan Ing dengan cepat berkelebat, dia tahu begitu Hud Ing Thaysu turun tangan dia tentu akan menggunakan jurus serangan yang mematikan, kepandaian ilmu silat ‘Thay Su Ing’ dari daerah Tibet bukanlah kepandaian yang biasa saja
Mendadak di dalam benaknya berkelebat satu ingatan, di tengah suara suitan yang amat panjang tubuhnya meloncat ke atas lalu menubruk dengan dahsyatnya ke arah Hud Ing Thaysu,
Hud Ing Thaysu sama sekali tidak menyangka Koan Ing berani turun tangan sambil mengempit tubuh dari Sang Siauw-tan di dalam keadaan tidak sadarkan diri, walaupun pemuda ini amat sombong sekali tetapi kepandaian silatnya tidak bisa memadahi dirinya walaupun begitu tetapi pemusatan pikiran sewaktu menghadapi musuh boleh dikata termasuk jagoan Bu-lim nomor satu.
Dia segera mendengus, sepasang telapak tangannya satu dari depan satu dari belakang berturut-turut melancarkan serangan dahsyat menghajar tubuh Koan Ing,
Jurus serangan yang digunakan olehnya bukan lain adalah jurus ‘Thian Hud Bun Kian’ atau Sang Buddha menampakkan diri yang merupakan jurus paling dahsyat dari ilmu ‘Thay Su Ing’.
Di dalam serangan yang dilancarkan oleh Hud Ing Thaysu ini bukan saja chusus menyerang pihak lawannya bahkan terasalah ada segulung tenaga sedotan yang amat kuat menyedot seluruh tenaga dalamnya.
Tenaga dalam yang dimiliki Koan Ing saat ini boleh dikata termasuk juga sebagai salah seorang jagoan nomor wahid dalam Bu-lim, sudah tentu terhadap perubahan yang dilakukan oleh Hud Ing Thaysu ini dia sama sekali memahami benar-benar, tetapi jika dibicarakan dengan mengambil keadaan pada saat ini dia sudah pasti tidak akan berani menerima datangnya serangan itu dengan keras lawan keras,
Saat ini dia harus mengempit seseorang asalkan satu jurus saja dia menerima serangan lawan maka Hud Ing Thaysu segera akan mengejarnya, saat itu jalan mundur buat dirinya akan tertutup semua, sekalipun mempunyai kepandaian yang tinggi pada saat itu tidak akan lolos lagi dari bencana.
Koan Ing segera mengerutkan alisnya rapat-rapat, pedang ditangan kanannya segera digetarkan sehingga membentuk gerakan setengah busur menyambut datangnya serangan.
Jurus serangan yang digunakan olehnya ini bukan lain adalah jurus ‘Hwee Hong Chiet Ci’ atau pelangi terbang patah tujuh bagian hasil ciptaan dari Kong Bun-yu sendiri, jurus serangan ini sebetulnya mengharuskan seorang jagoan untuk mengerahkan seluruh tenaga dalamnya yang amat tinggi untuk disalurkan ke dalam pedang sehingga menjadi tujuh bagian tenaga serangan yang bersama-sama menghajar musuh.
Di dalam keadaan apa boleh buat Koan Ing terpaksa harus melancarkan serangan dengan menggunakan gerakan ini.
Di tengah bentrokan pedang serta telapak tangan yang amat ramai terdengarlah Hud Ing Thaysu tertawa dingin, mendadak telapak tangan kanannya ditarik ke belakang.
Tetapi belum sempat telapak kirinya melancarkan serangan kembali dia merasakan kalau tenaga serangan yang disalurkan Koan Ing ke dalam pedangnya secara tiba-tiba lenyap tak berbekas, tenaga sedotan tangan kanannyapun sudah mencapai pada sasaran yang kosong, hal ini membuat hatinya sedikit melengak.
Tiba-tiba dia merasakan adanya desiran angin yang amat aneh menghajar ke tepi atas telapak tangannya, dengan cepat dia menoleh ke samping terlihatlah pedang Koan Ing sudah berada amat dekat sekali dengan tangannya.
Hud Ing Thaysu menjadi amat gusar sekali, dia membentak keras telapak tangan kirinya dengan cepat melancarkan satu pukulan dahsyat menghajar pedang dari Koan Ing.
Menurut pemikirannya begitu serangan ini dilancarkan maka pedang dari Koan Ing pasti akan terlempar jatuh dari tangannya, siapa tahu serangannya yang dihantam ke depan dengan menggunakan telapak tangan kirinya sudah mencapai pada sasaran yang kosong.
Hatinya terasa berdesir, segulungan hawa dingin yang menusuk tulang muncul dari dasar lubuk hatinya, jurus yang demikian anehnya ini dia orang sama sekali tidak pernah menemuinya.
Koan Ing yang melancarkan serangannya dengan gencar hanya di dalam sekejap saja seluruh perhatiannya sudah dipusatkan pada jurus serangannya, pikirannya dikumpulkan jadi satu membuat kedahsyatan dari jurus ‘Hwee Hong Chiet Ci’ ini bertambah hebat.
Hui Ing Thaysu yang serangannya mencapai pada sasaran yang kosong hatinya segera merasa kaget bukan main sekali, tetapi bagaimanapun dia adalah seorang pentolan dari satu aliran besar sepasang telapaknya dengan cepat berkelebat, dengan menggunakan jurus “Thian Hoo Ling Ling” atau sungai langit teramat dingin dari kedudukan menyerang berubah menjadi gerakan bertahan,
Baru saja serangan pedang dan Koan Ing mencapai pada tengah jalan, terlihatlah sepasang telapak dari Hud Ing Thaysu berkelebat tak henti-hentinya menutup datangnya serangan tersebut. Mengingat akan hal itu dengan cepat Koan Ing memiringkan pedangnya ke samping mengancam kening dari Hud Ing Thaysu.
Terhadap perubahan aneh Yang terjadi di dalam serangan pedang Koan Ing ini Hud Ing Thaysu sama sekali dibuat bingung, dengan namanya sebagai jagoan nomor wahid di daerah Tibet ternyata dia tidak sanggup untuk menerima gempuran dari serangan Koan Ing ini hal ini sungguh memalukan dirinya,
Air mukanya segera berubah hebat, kaki kanannya berputar dengan cepat dia menghindar ke samping dengan menggunakan ilmu langkah “Thian Hud Poh” dari aliran Tibet.
Tetapi tidak urung jubah panjangnya tergores juga oleh serangan pedang Koan Ing ini segera terobek satu goresan panjang,
Hud Ing Thaysu menjadi terkejut bercampur gusar, dia membentak keras, telapak kanannya didorong dengan hebatnya ke depan dengan menggunakan jurus “Hauw Han Cian Li” atau menyapu bersih selaksa li.
Koan Ing yang berhasil menggores sobek jubah dari Hud Ing Thaysu pun dibuat termangu-mangu oleh hasilnya ini, dia sama sekali tidak menyangka kedahsyatan dari jurus tersebut di dalam keadaan tertegun itulah hawa murni yang semula disalurkan malah balik kembali.
Sebetulnya Koan Ing menggunakan jurus ‘Hwee Hong Chiet Ci’ ini sudah melampaui batas kemampuannya, tetapi dikarenakan tadi dia menggunakan jurus tersebut dengan pusatkan seluruh perhatiannya pada serangan itu maka untuk sementara masih dapat dipaksa, tetapi setelah perhatiannya kendor tenaga yang semula disalurkan pun kini malah balik menyerang badannya sendiri membuat darah yang ada di dalam rongga dadanya terasa bergolak dengan amat kerasnya.
Serangan dari Hud Ing Thaysu melanda kembali dengan dahsyatnya, dengan tergesa-gesa dia miringkan badannya ke samping lalu menarik napas panjang-panjang balik membabat ke arah pergelangan tangan dari Hud Ing Thaysu.
Hud Ing Thaysu adalah jagoan nomor wahid dari daerah Tibet, ternyata ini hari dikalahkan di tangan Koan Ing seorang bocah muda, di dalam keadaan gusar segera dia mengambil keputusan untuk membasmi diri Koan Ing dari muka bumi.
Karenanya serangan yang dilancarkan keluarpun semakin lama semakin dahsyat, lima jari tangan kanannya dipentangkan lebar-lebar sehingga membesar beberapa kali lipat dari keadaan semula lalu dengan dahsyatnya mencengkeram pedang yang ada di tangan Koan Ing.
Koan Ing menjadi sangat terkejut, dia ingin menarik pedangnya tetapi keadaan semakin celaka lagi. Kiranya dia tadi meminjam gerakan serangan yang gencar itu untuk menekan pergolakan di dalam dadanya, kini serangannya ditarik kembali membuat kepalanya seketika itu juga menjadi amat pening sekali dan mundur ke belakang dua langkah dengan terhuyung2.
Pada saat yang bersamaan pula telapak kiri dari Hud Ing Thaysu sudah melanda datang.
“Bruuuk. !” dengan dahsyatnya serangan itu menghajar di
atas punggung Koan Ing.
Seketika itu juga Koan Ing muntahkan darah segar dengan derasnya, tubuhnya dengan terhuyung2 mundur beberapa langkah ke belakang lalu dengan cepatnya menggendong tubuh Sang Siauw-tan dan lari masuk ke tengah gunung.
Sebetulnya Hud Ing Thaysu mengira serangannya ini sudah cukup untuk membinasakan diri Koan Ing hanya di dalam satu kali pukulannya ini saja, tetapi dia sama sekali tidak menyangka kalau Koan Ing masih mempunyai kekuatan untuk melarikan diri dari situ.
Dengan termangu-mangu dia berdiam memandang disana, untuk beberapa saat lamanya di dalam hati entah bagaimana rasanya.
Kepalanya dengan perlahan ditundukkan memandang bekas sobekan pada jubah hweesionya, di dalam hati tidak terasa lagi dia merasa amat kecewa sekali
Jika dilihat dari Koan Ing yang menarik kembali pedangnya sambil mundur ke belakang dengan terhuyung2 agaknya dia telah menderita luka dalam yang amat parah, kini ditambahi lagi dengan satu pukulan yang begitu hebat, bukankah hal ini sama saja dengan menggunakan waktu orang susah turun tangan mencelakainya?
Dia adalah seorang hweesio yang beribadat tinggi, ternyata ini hari harus melakukan suatu pekerjaan yang demikian rendah, demikian hinanya di dalam hati benar-benar merasa sangat malu sekali.
Lama sekali Hud Ing Thaysu berdiam termangu-mangu disana.
“Suhu.... Koan Ing sudah melarikan diri,” terdengar Husangko yang ada disampingnya berteriak keras.
Hud Ing Thaysu menjadi melengak, dia angkat kepalanya dengan perlahan terlihatlah kuil Han-poh-si yang dibanggakan kini masih terbenam di dalam lautan api yang berkobar dengan dahsyatnya. di bawah tiupan angin utara yang amat keras di dalam sekejap saja sebuah kuil yang begitu megah sudah hancur berantakan menjadi abu.
Air mukanya berubah sangat hebat, hatinya merasa amat benci. amat gusar dan mendendam sekali.
Dia mendengus dingin, teriaknya, “Kejar dia sampai dapat!” Selesai berkata tubuhnya berkelebat ke depan, dengan memimpin diri Husangko dia melakukan pengejaran dengan cepatnya.
Tubuh mereka berdua bagaikan dua ekor burung elang yang melayang di atas permukaan salju hanya di dalam sekejap saja sudah melewati dua buah puncak gunung, terlihatlah dari tempat kejauhan Koan Ing sedang berlari menuju ke sebuah selat sambil menggendong tubuh Sang Siauw-tan.
Hud Ing Thaysu menjadi termangu-mangu. “Hey kembali!” teriaknya kepada diri Husangko.
Husangko sendiripun tertegun dibuatnya, dia sama sekali tidak menyangka kalau Koan Ing berani memasuki selat tersebut
Koan Ing yang membopong tubuh Sang Siauw-tan berlari masuk ke dalam selat tersebut segera merasakan batu-batu cadas berserakan memenuhi seluruh permukaan tanah, dia dengan sekuat tenaga berlari semakin cepat lagi mengelilingi batu-batu cadas itu dan akhirnya berhasil keluar juga dari antara batu-batu itu.
Pada saat ini di dalam benaknya dia cuma merasa heran kenapa batu-batu cadas itu sukar benar untuk diketahui? Ketika kepalanya didongakkan ke atas terlihatlah sebuah tebing batu yang curam terukirlah beberapa tulisan,
“Selat Hwee Im Shia, tahun Jien Hien.”
Suto Tiang-sian menutup selat di tempat ini.
Koan Ing yang melihat ditulisnya nama ‘Suto Tiang-siang’ di tempat ini hatinya seketika itu juga merasa bergidik, walaupun saat ini dia sedang menderita luka dalam amat parah tetapi di dalam keadaan terperanjat otaknyapun menjadi sedikit sadar kembali. Ketika membaca kembali, di samping tulisan besar itu dia bisa melihat adanya beberapa huruf yang agak kecil-kecil:
“Hwee Im mudah masuk sukar keluar, para jago Bu-lim terkubur di tempat ini.“
Koan Ing menjadi sangat terperanjat, ketika menoleh kembali ke belakang dia merasakan tempat itu penuh dengan kabut putih yang menutupi seluruh permukaan, bagaimana dirinya bisa masuk sampai disitu dia sendiripun tidak tahu.
Ketika memandang kembali ke arah depan terlihatlah puncak gunung yang menembus awan berdiri berjajar dihadapan mata, saking tingginya sehingga sukar untuk didaki.
Untuk beberapa saat lamanya dia dibuat berdiri termangu- mangu disana Suto Tiang-sian merupakan seorang manusia aneh yang paling ditakuti selama ratusan tahun ini, pada umur dua puluh tahun kepandaiannya sudah amat tinggi sukar diukur tetapi jadi orang amat tawar sekali terhadap dunia luar, bahkan pandai di dalam ilmu perbintangan karenanya pada waktu itu dia boleh dianggap sebagai orang yang memiliki bakat paling aneh
Tetapi dikemudian hari karena istrinya Cing Hong Li kedapatan mati ditangan “Hay Neh Sin Kiam” Tan Ciu Cu dia menjadi mendendam terhadap orang-orang dari tujuh partai besar, dengan menggunakan akal akhirnya dia berhasil memancing ciangbunjin dari tujuh partai untuk memasuki selat ini lalu menutup pintu selat dan bunuh diri.
Waktu itu berita tersebut benar-benar menggetarkan seluruh Bu-lim, bukan saja dikarenakan kepandaian silat dari Ciangbunjin tujuh partai besar semuanya berada di atas kepandaian dari Suto Tiang-sian bahkan ciangbunjin dari Hoa- san Pay “Than Siauw Suseng” Pek Si Thian pandai sekali di dalam ilmu bangunan, tetapi setelah terkurung di dalam selat itu tidak seorangpun yang bisa hidup lebih lanjut. Dikemudian hari banyak pula orang Bu-lim yang memasuki selat itu, tapi setelah masuk tidak ada seorangpun yang berhasil keluar dari selat itu, karenanya tempat itu lama kelamaan berubah menjadi tempat yang keramat bagi orang- orang Bu-lim.
Siapa sangka Koan Ing ternyata bisa memasuki tempat yang paling keramat ini. Setelah tertegun beberapa saat lamanya akhirnya tidak tertahan lagi Koan Ing tertawa geli sendiri, pikirnya, “Apakah mungkin aku diharuskan menemui ajal di tempat ini?”
Dengan perlahan dia memandang ke arah Sang Siauw-tan, mendadak terasalah dadanya amat mual dan sesak sekali, tidak kuasa lagi sekali lagi dia muntahkan darah segar dari mulutnya,
Dia berusaha untuk mempertahankan dirinya, perlahan- lahan dia jatuhkan diri duduk bersila di atas tanah dan menyandarkan tubuh Sang Siauw-tan ke dalam pelukannya.
Dengan pandangan sayu Koan Ing memperhatikan wajah dari Sang Siauw-tan yang pucat
pasi bagaikan mayat serta bajunya yang berwarna merah darah, kelihatan sekali wajahnya
amat kasihan sekali.
Lama sekali dia memperhatikan diri Sang Siauw-tan. akhirnya tidak tertahan lagi dia tundukkan kepalanya memberi satu Ciuman mesra ke atas bibirnya yang kecil mungil itu.
Pada waktu Koan Ing mulai memasuki selat tadi Sang Siauw-tan sudah sadar kembali dari pingsannya cuma saja dia terus berpura-pura belum sadar, dia tidak menyangka kalau Koan Ing berani mencuri cium bibirnya, saking malu dan cemasnya tidak terasa lagi wajahnya berubah memerah tetapi dia tidak berani buka matanya, karena saat ini dia masih berpura-pura pingsan dia tidak mau menggerakkan badannya barang sedikitpun juga.
Koan Ing yang melihat wajah Sang Siauw-tan secara tiba- tiba berubah memerah dalam hati segera tahu kalau sejak semula dia sudah sadar kembali dari pingsannya, dia tertawa, tangannya semakin kencang merangkul tubuh Sang Siauw- tan.
Semula Sang Siauw-tan mengira tentu Koan Ing akan melepaskan badannya, siapa sangka nyali dari Koan Ing ternyata jauh lebih besar daripada apa yang semula di duga, dengan pentangkan matanya lebar-lebar cepat-cepat dia melototi diri Koan Ing, Koan Ing pun tertawa tawar, dia balas memperhatikan dirinya,
Sang Siauw-tan yang melihat Koan Ing berbuat demikian mendadak dalam hati merasa amat gusar sekali, dengan cepat dia meronta dari badan Koan Ing dan meloncat bangun.
Tetapi sewaktu dilihatnya wajah Koan In amat pucat dan murung sekali hatinya menjadi lembek.
“Kau kenapa?” tanyanya tertegun.
“Aku cuma sedikit terluka, tidak mengapa,” sahut Koan Ing sambil memandang ke arah Sang Siauw-tan lalu dengan perlahan bangkit berdiri.
Sang Siauw-tan menjadi tertegun, teringat kembali ketika tadi dia membakar kuil Han-poh-si, dalam keadaan gusar lalu bagaimana dia dikejar oleh Husangko, ditolong oleh Koan Ing dan selanjutnya jatuh tidak sadarkan diri....
Dengan kehebatan dari tenaga dalam yang dimiliki Koan Ing saat ini ternyata dia terluka juga, sudah tentu orang yang melukai dirinya bukan lain adalah Hud Ing Thaysu adanya.
Tetapi bagaimana berhasil Hud Ing Thaysu mau membiarkan mereka loloskan diri dari cengkeramannya. ? Koan Ing segera maju ke depan memegang sepasang pundaknya, dia menghela napas panjang dengan amat sedihnya.
“Haaaaai.... tidak disangka kita berdua harus menemui ajal di tempat ini,” ujarnya murung.
Sang Siauw-tan jadi melengak, ketika dia dongakkan kepalanya dan melihat tulisan yang terukir di atas dinding tebing hatinya merasa sedikit bergidik, lama sekali dia berdiri mematung tidak bergerak barang sedikitpun juga.
Dengan perlahan Koan Ing memegang tangannya lalu ujarnya dengan perlahan, “Siauw-tan kau tahu aku betul-betul suka padamu, perkataan ini baru sekarang, aku berani memberitahukan kepadamu. “
Sang Siauw-tan menjadi melengak, mendadak dia teringat kembali sikapnya sewaktu baru saja dia berhasil menolong dirinya keluar dari kuil Han-poh-si, sekarang.... sekarang dia bersikap demikian, bukankah hal ini jelas sedang mempermainkan dirinya?
“Dalam hati dia merasa amat gusar sekali, sepasang tangannya dengan cepat direntangkan ke samping lalu bentaknya dengan gusar. “Pergi! Jangan sentuh aku!”
Koan Ing agak melengak, dia cuma tertawa tawar dan berpikir kini mereka semua sudah berada di tempat yang berbahaya, buat apa dikarenakan sedikit urusan kecil harus ribut?
Sewaktu Sang Siauw-tan menolong dirinya dulu dia merasa karena usianya tidak lama di dunia ini maka dia tidak ingin mendekati diri Sang Siauw-tan, tetapi kini.... mereka berdua sama-sama memperoleh nasib yang sama, di dalam waktu yang amat singkat ini dia harus bersikap sangat baik terhadap dirinya Sang Siauw-tan yang berhasil melepaskan diri dari tangan Koan Ing dengan cepat putar badan dan lari masuk ke dalam selat itu, dia sendiripun tidak tahu kenapa dia bisa begitu marah terhadap dirinya.
Koan Ing yang melihat Sang Siauw-tan lari menuju ke dalam lembah dalam hati merasa amat terkejut sekali, selat ini sudah ditutup oleh Suto Tiang-sian sudah tentu disetiap sudut dari selat ini sudah dipasangi alat rahasia yang dahsyat, jikalau Sang Siauw-tan menerjang seenaknya bukankah keadaannya akan sangat berbahaya sekali?
“Siauw-tan Jangan sembarangan lari!” teriaknya dengan cemas.
Tetapi Sang Siauw-tan mana mau mendengar omongannya? Tanpa mengucapkan sepatah katapun dia lari terus masuk ke dalam selat tersebut, sedang dalam hatinya diam-diam berpikir.
“Aku sudah ada di dalam selat pencabut nyawa ini, cepat atau lambat tetap saja akan mati kenapa aku harus takut memasuki tempat ini?”
Siapa tahu baru saja berjalan beberapa puluh langkah ke depan mendadak pan dengannya
menjadi kabur, dia menjadi terkejut dengan sendirinya tubuhnyapun miring ke samping satu langkah.
Tetapi baru saja tubuhnya mundur ke belakang mendadak kakinya terasa menginjak di tempat kosong, dia merasa semakin terperanjat lagi tanpa terasa tangan kanannya dengan cepat mencengkeram dinding gunung erat-erat.
Di dalam sekejap mata dari atas puncak tebing terdengarlah suara yang amat gemuruh, beribu-ribu batu cadas yang amat besar dengan gencarnya berguling turun ke bawah. Melihat hal itu Sang Siauw-tan jadi ketakutan sehingga tangan dengan kakinya amat lemas, untuk beberapa saat lamanya dia merasa kebingungan entah bagaimana baiknya Koan Ing sama sekali tidak melihat adanya sinar yang menyilaukan mata itu.
Dia cuma melihat Sang Siauw-tan mengundurkan diri ke belakang beberapa langkah dan terjerumus ke dalam keadaan yang sangat berbahaya sekali, dia segera membentak, tubuhnya melayang ke depan menyambar tubuh Sang Siauw- tan lalu meluncur ke tempat kejauhan.
Sang Siauw-tan benar-benar amat terkejut sekali, dengan sekuat tenaga tangan kanannya mencengkeram, sedikit berayal itulah tampak batu-batu besar sudah semakin mendekati tubuhnya,
Dengan gusar Koan Ing mendengus, pundak kanannya diterjangkan ke depan memukul sebuah batu cadas ke samping sedangkan tubuhnya tetap melanjutkan gerakannya berkelebat diantara batu-batu besar yang melayang memenuhi angkasa.
Ketika tubuhnya berhasil melayang turun ke bawah tanah dalam keadaan selamat tak bertahan lagi dia muntahkan darah segar.
Sang Siauw-tan jadi sangat terkejut, “Ing-ko. kau
kenapa?” teriaknya cemas.
“Tidak mengapa,” sahut Koan Ing sambil tertawa dan mencekal sepasang tangannya erat-erat. “Asalkan kau tidak cedera, apa pun yang akan terjadi terhadap diriku, aku tidak akan menggubris”
Untuk sesaat lamanya dalam hati Sang Siauw-tan benar- benar merasa amat malu sekali, dia menjatuhkan diri ke dalam rangkulan Koan Ing dan menangis tersedu-sedu. Dengan perlahan Koan Ing mengelus pundaknya, dia tertawa. “Siauw-tan,” ujarnya halus. “Kau jangan menangis, seharusnya mulai sekarang kita harus gembira, sejak aku bertemu dengan dirimu untuk pertama kalinya aku sudah merasakan kegagahan dan kecantikan wajahmu, kau jadi orang sangat menarik sekali bagiku.... Tetapi dendam sakit hati ayahku masih belum terbalas sedang kaupun Siauw pangcu dari perkumpulan Tiang-gong-pang. kecongkakan
hatimu membuat aku merasa rendah diri, kepandaian silatku tidak bisa memadahi kepandaian silat keluargamu Tetapi sekarang aku merasa amat girang karena aku bisa memberitahukan padamu kalau aku benar-benar cinta padamu.”
Sang Siauw-tan dengan perlahan angkat kepalanya dan menghapus keringat dari mukanya.
“Bagaimana kau bisa memikirkan urusan Yang demikian banyaknya?” ujarnya sambil tertawa. “Asalkan kau bisa bersikap baik terhadapku itu sudah terlalu cukup, aku tidak bisa memikirkan yang lainnya.”
“Sungguh?” seru Koan Ing sambil membantu dia menghapus air mata yang membasahi wajahnya itu.
“Asalkan orang lain bersikap baik terhadapmu kaupun bisa bersikap baik terhadapnya?”
“Kau sedang membicarakan siapa?” tanya Sang Siauw-tan tertawa, matanya dipentangkan
lebar-lebar.
Koan Ing agak melengak, dia sama sekali tidak menyangka Sang Siauw-tan bisa memberikan sahutan yang begitu cepat, dia cuma tertawa senang saja tanpa mengucapkan sepatah katapun.
Sang Siauw-tan pun ikut tertawa.
“Kini kita berdua sudah ada disini Ciu Pak?” ujarnya perlahan. Dengan pandangan terpesona Koan Ing memperhatikan wajah dari Sang Siauw. Tan, lama sekali dia baru tertawa, dia sendiripun tidak tahu kenapa secara tiba-tiba dia bisa teringat kembali terhadap Ciu Pak.
“Siauw-tan,” ujarnya sambil tertawa. “Aku bisa bersikap baik terhadapmu untuk selamanya.”
Dengan perlahan Sang Siauw-tan dongakkan kepalanya, sewaktu melihat Koan Ing sedang memandang ke arahnya dengan penuh mesra diapun tertawa.
“Aku juga akan bersikap baik kepadamu untuk selama- lamanya,” sahutnya sambil menudingkan kepalanya.
Lama sekali mereka saling berpegangan tangan, siapapun tak ada yang berbicara, hati masing-masingpun bertemu menjadi satu....
Lama sekali Sang Siauw-tan baru angkat kepalanya, dia tertawa dan sedikit mendorong tubuh Koan Ing ke belakang.
Koan Ing menjadi sadar kembali dari lamunannya, dengan perlahan dia bangkit berdiri dan berjalan menuju dimana tadi Sang Siauw-tan melihat adanya sinar terang yang menyilaukan mata itu.
Terlihatlah dari tempat kejauhan di samping dimana dia berdiri memang sedikitpun tidak salah, serentetan sinar yang amat menyilaukan mata memancar dengan tajamnya menusuk matanya.
Diam-diam dalam hati dia merasa sangat terkejut, jikalau seorang jagoan Bu-lim melihat adanya sinar tajam yang berkelebat secara tiba-tiba maka dia pastilah akan mundur ke belakang untuk siap-siap menghadapi lawan, saat itulah mereka akan segera terjerumus ke dalam siasat dan jebakan yang diatur oleh Su-to Tiang Sian. Sang Siauw-tan yang melihat Koan Ing terjerumus ke dalam lamunan dia segera tertawa. “Urusan yang telah lewat kenapa dipikirkan kembali?” ujarnya perlahan.
Koan Ing segera menggenggam tangan Sang Siauw-tan, di dalam hatinya mendadak berkelebat satu ingatan, pikirnya, “Kalau memangnya Sang Siauw-tan bersikap baik terhadapnya, dia tentu tidak akan membiarkan Sang Siauw- tan mati di tempat ini, ayahnya begitu sayang kepadanya sedang aku sendiripun bukan saja menderita luka dalam yang amat parah, bahkan terkena racun juga, selat dari Suto Tiang- sian ini tidak perduli bagaimana kuatnyapun harus diterjang dan harus di carikan akal agar bisa lolos dari sini. Atau sedikit- dikitnya agar Sang Siauw-tan bisa keluar dari tempat ini dalam keadaan selamat. “
Sang Siauw-tan yang melihat Koan Ing terjerumus ke dalam lamunan yang mendalam dengan termangu-mangu dia memandang ke arahnya, dia tahu tentu Koan Ing sedang memikirkan bagaimana caranya untuk meloloskan diri dari kurungan ini.
Lama sekali Koan Ing termenung memikirkan urusan ini, akhirnya kepada Sang Siauw-tan ujarnya, “Siauw-tan, ayoh kita pergi dari sini!”
Sang Siauw-tan tertawa dengan mengikuti diri Koan Ing dia berjalan maju ke depan. “Lukamu tidak mengapa bukan?” tanyanya halus.
Koan Ing cuma tersenyum saja tidak berbicara. Pukulan dari Hud Ing Thaysu tadi memang sangat dahsyat sekali, jikalau berada di dalam keadaan biasa dia tentu sejak tadi sudah jatuh tidak sadarkan diri, tetapi semangatnya ini hari masih segar sekali, terhadap keadaan lukanya pun dia tidak terlalu memikirkan di dalam hati.
Dengan memimpin diri Sang Siauw-tan, Koan Ing berjalan menuju ke arah dimana berkelebatnya sinar terang tadi. Baru saja mereka berdua berjalan sejauh puluhan kaki mendadak Koan Ing dapat melihat sesosok bayangan manusia berkelebat keluar.
Kurang lebih satu kaki dari tempat di mana dia berada terlihatlah sebuah kerangka manusia yang sedang duduk bersila di atas tanah, sebilah pedang panjang menggeletak disampingnya sedangkan sarung pedangnya sudah hancur berantakan.
Dia jadi termangu-mangu, kenapa dari tadi dia tidak melihat adanya sebuah kerangka manusia disana?
Dengan kekuatan tenaga dalam yang dimilikinya saat ini sekalipun di tempat kegelapan diapun bisa melihat seluruh benda dengan amat jelasnya, tetapi kenapa baru sekarang dia baru menemukannya? Dengan cepat dia angkat kepalanya dan siap-siap maju ke depan. Jangan maju ke depan!” mendadak terdengar Sang Siauw-tan berteriak keras.
Dengan cepat Koan Ing menghentikan langkah kakinya, lalu menoleh memandang ke arah Sang Siauw-tan dengan pandangan melongo.
Lama sekali Sang Siauw-tan memandangi kerangka manusia itu lalu ujarnya dengan perlahan, “Itulah yang dinamakan Huan Ow Ih Heng atau menipu mata memindah benda yang amat lihay.”
Koan Ing menjadi melengak, Menipu Mata memindah benda? Nama ini selamanya belum pernah didengarnya dari siapapun
Sejak kecil Sang Siauw-tan sudah memperoleh didikan langsung dari ayahnya apa lagi ayahnyapun merupakan seorang pangcu dari sebuah perkumpulan besar yang namanya amat terkenal di dalam Bu-lim. sebagai si jari sakti, sudah tentu pengetahuan maupun pengalamannya amat luas sekali jika dibandingkan dengan diri Koan Ing. “Aku duga bayangan tadi tentunya bayangan dari Suto Tiang-sian itu,” ujar Sang Siauw-tan kepadanya. “Aku pernah mendengar ayahku berkata, katanya ilmu yang paling lihay dari Suto Tiang-sian adalah Sin Koang Ci Sia atau ilmu sinar dan suara, sudah tentu dia sudah menggunakan pantulan sinar untuk memancing musuhnya mendekat”
Mendengar perkataan itu Koan Ing segera memungut sebuah batu dan disambitkan ke arah bayangan tersebut, ternyata sedikitpun tidak salah tempat itu memang kosong melompong tidak tampak sebuah bendapun,
“Di dalam gurun pasirpun ada pula kejadian seperti ini,” ujar Sang Siauw-tan lebih lanjut, “aku kira di tempat inipun sudah dipasangi alat rahasia.”
Sinar mata Koan Ing berkelebat tak henti-hentinya, di dalam hati dia merasa sangat terkejut sekali terhadap seluruh kejadian yang selamanya belum pernah dengar maupun diketahuinya ini, tetapi dengan kejadian ini pengetahuan maupun pengalamannyapun jadi bertambah,
Jika seorang yang sama sekali tidak berpengalaman harus melalui tempat ini, sudah tentu dia segera akan terkena jebak.”
Sang Siauw-tan tertawa.
“Kita sekarang sudah ada disini, bagai mana kalau pergi menemui juga jenazah dari Suto Tiang-sian?” tanyanya.
Dengan perlahan Koan Ing mengangguk lalu melanjutkan perjalanannya melalui samping
dari sinar terang tersebut.
Kurang lebih berjalan beberapa saat lamanya, akhirnya sampailah mereka di sebuah batu cadas yang amat mengkilap sekali, di bawah batu itu berdirilah sebuah batu nisan. Koan Ing segera maju ke depan mendekati batu nisan itu, terbaca olehnya beberapa tulisan yang terukir di batu nisan itu.
“Ciangbunjin dari Bu-tong-pay, Si Hay Neh Sin Kiam Tan Ciu Cu terkubur di tempat ini!”
Hatinya terasa sedikit berdesir, sudah ada satu orang ciangbunjin dari tujuh partai Besar yang mati di tempat ini....
Entah dahulu Suto Tiang-sian sudah menggunakan cara apa hingga berhasil membinasakan Tan Ciu Cu di tempat ini?
Sang Siauw-tan segera tertawa.
“Kalau di tempat ini ada orang yang mati sudah tentu sekitar tempat ini aman,” ujarnya perlahan.
Koan Ing pun tertawa, di dalam hati diam-diam merasa murung, jika ditinjau dari situasi macam ini kemungkinan sekali di setiap tempat di dalam ‘Selat Hwee Im Shia’ ini sudah dipasangi alat-alat jebakan yang amat lihay, sedikit tidak berhati-hati saja seketika itu juga akan menerima bencana yang mengerikan untuk meloloskan diri dari sini sudah tentu bukanlah merupakan suatu pekerjaan yang amat mudah
“Eeei, buat apa kau memikirkan cara-cara untuk meloloskan diri dari sini saja?” seru Sang Siauw-tan sambil tertawa.
“Bukankah lebih baik kita hidup berduaan di tempat ini?”
Koan Ing tertawa paksa, ujarnya, “Batu yang amat mengkilap dan amat bening ini tentunya merupakan benda yang memantulkan sinar tadi, ayoh kita pergi lihat Suto Tian Sian ini sebetulnya manusia macam apa, tidak kusangka dia orang begitu ganas dan sombongnya.”
Sambil berkata dia menarik tangan Sang Siauw-tan untuk melanjutkan perjalanannya kembali menuju ke depan. Kurang lebih baru berjalan beberapa saat lamanya mendadak di depan mata mereka muncul kembali sebuah kuburan tanah yang amat besar.
Koan Ing menjadi tertegun, dia segera menduga benda tersebut tentunya ‘Menipu mata memindah benda’ lagi, cepat- cepat dia menghentikan langkahnya.
Di samping kiri di tempat dia berdiri terlihatlah sebuah batu nisan yang berdiri dengan angkernya, dalam hati Koan Ing benar-benar merasa amat murung sekali, terlihatlah pada batu nisan itu terukir beberapa kata, ‘Ciangbunjin dari Kun-lun-pay, si telapak membeku’ Oei It Cun melanggar obat peledak dan terkubur di tempat ini”
Diam-diam Koan Ing merasa hatinya amat terperanjat sekali pikirnya, “Heei.... tak disangka ilmu menipu mata memindah barang tersebut bisa begitu lihaynya, sudah ada dua orang yang mati tertipu oleh ilmu tersebut “
Sang Siauw-tan yang dilihat Koan Ing bersikap demikian seriusnya dia segera tertawa geli.
“Sekalipun sudah bertemu dengan benda-benda yang berusia ratusan tahun lamanya mengapa kau harus keheran- heranan?” ujarnya sambil berkata mereka melanjutkan kembali perjalanan ke depan, kurang lebih baru sampai beberapa puluh kaki jauhnya mendadak dari empat penjuru berkelebat keluar berpuluh-puluh bayangan yang mirip dirinya serta Sang Siauw-tan, dia jadi benar-benar terperanjat sekali,
Sang Siauw-tan sendiripun merasa terkejut, dengan cepat dia meloncat ke samping badan Koan Ing,
Dari empat penjuru segera terlihatlah banyak sekali Sang Siauw-tan yang mendekati badan Koan Ing membuat hatinya semakin terkejut,
Tetapi sebentar kemudian wajahnya sudah berubah memerah, walaupun di sekeliling tempat itu dipenuhi dengan bayangan dirinya maupun diri Koan Ing tetapi tidak lebih cuma bayangan belaka.
Koan Ing segera memegang kencang tangan Sang Siauw- tan, ujarnya sambil tertawa, “Tidak kusangka Suto Tiang-sian mempunyai kepandaian yang demikian lihaynya.”
Baru saja dia selesai berkata mendadak kembali dia menemukan sesosok kerangka manusia yang menggeletak di atas tanah, tak terasa lagi dia menjerit tertahan dan maju mendekati.
Tetapi bayangan itupun cuma sebuah tipuan belaka”, hatinya semakin berdesir lagi, dia tidak menyangka kalau bayangan tipuan itu ternyata terlihat begitu banyak yang tertampak di tempat itu.
“Aaaa.... disini!” mendadak teriak Sang Siauw-tan sambil menoleh ke samping kanan.
Dengan cepat Koan Ing berjalan mendekat, tampaklah di samping kerangka manusia itu menggeletaklah sebuah pedang yang berkait melengkung, dalam hati dia segera paham kalau orang itu bukan lain adalah Ciangbunjin dari Cin Jan Pay Si “Sah Toojien” atau toosu goblok. Giok Han. adanya.
Pada masa yang silam Giok Han dengan mengandalkan pedang berkait melengkung itu pernah menggetarkan dunia kang-ouw. tidak disangka dia sudah menemui ajalnya tanpa tempat kubur “
Sudah tentu keadaan pada masa itu amat dahsyat sekali, lima orang bersama-sama menemui beratus-ratus bahkan beribu-ribu bayangannya sendiri memenuhi seluruh ruangan, bersamaan waktunya pula Suto Tiang-sian muncul di tempat itu di tengah berpuluh-puluh bayangan yang bercampur aduk siapa yang asli siapa yang palsu tidak diketahuijelas membuat dia orang segera terluka ditangan Suto Tiang-sian dan menemui ajalnya di situ. Sebaliknya keempat orang lainnya segera mengejar ke dalam selat membuat kesempatan untuk mengubur jenazah dan Giok Han pun tidak sempat lagi,
Dua orang bersama-sama termenung berpikir keras, sebentar kemudian mereka segera bersama-sama mengubur jenazah dari Giok Han ini Mereka sungguh-sungguh merasa kagum atas
kehebatan dan ketelitian cara berpikir dari Suto Tiang-sian. Jikalau Suto Tiang-sian masih hidup di dalam dunia ini,
mereka berdua tidak lebih baru melewati dua rintangan saja
Saat ini Koan Ing benar-benar merasa murung untuk mencari jalan keluar dari tempat kurungan ini sebaliknya Sang Siauw-tan sama sekali tidak mau memikirkan urusan ini, agaknya dia tidak terlalu kuatir kalau sampai terkurung di tempat ini.
Sang Siauw-tan tertawa, kepada Koan Ing ujarnya, “Mari kita maju lagi!”
Koan Ing mengangguk dengan perlahan mereka berdua segera melanjutkan kembali perjalanannya ke depan.
Mendadak jenazah dari Suto Tiang-sian muncul kembali di depan mata, dia duduk kurang lebih sepuluh kaki dari tempat itu.
Mereka berdua bersama-sama menghentikan langkahnya, jenazah tersebut entah sungguh-sungguh atau cuma palsu untuk menipu mata saja? Mereka tidak ada yang tahu
Di sekeliling tempat itu tidak tampak batu ataupun batu nisan yang berserakan, jelas sekali, tempat ini paling gampang untuk dipasangi jebakan yang mematikan, jikalau mereka berdua maju lagi ke depan rejeki atau bencana masih susah untuk diduga Koan Ing termenung berpikir sebentar akhirnya dia memungut sebuah batu dan disentilkan ke depan.
Ooo)*(ooO
Bab 14
“SREEET....!” dengan amat tepatnya batu itu menghajar kerangka manusia itu sehingga hancur berantakan dan tersebar di empat penjuru.
Dua orang itu menjadi melengak, kiranya kerangka manusia kali ini adalah sungguh-sungguh tetapi apa betul itu adalah kerangka manusia diantara sisa empat orang lainnya atau mungkin Suto Tiang-sian sendiri? Mereka tidak tahu siapakah sebetulnya orang ini, ada kemungkinan juga kerangka itu adalah kerangka dari Suto Tiang-sian sendiri.
Lama sekali baru terdengar Sang Siauw-tan sambil tertawa berseru, “Mari kita pergi lihat-lihat kesana lagi!”
Sehabis berkata sambil menarik tangan Koan Ing dia melanjutkan perjalanannya lagi menuju ke depan.
Baru saja berjalan kurang lebih tiga kaki dari depan kerangka Suto Tiang-sian itulah mendadak terdengar suara ledakan yang amat keras sekali, mendadak permukaan tanah dimuka mereka berada terangkat lalu terlempar ke atas dengan kerasnya.
Mereka berdua menjadi sangat terperanjat, tetapi kecepatan daya lempar permukaan tanah itu amat cepat sekali, belum sempat mereka berdua berpikir lebih panjang lagi tubuhnya sudah terlempar ketengah udara.
“Kraaak.... ” Dinding gunung yang ada di samping mereka berdua mendadak membuka sendiri kesamping, setelah tubuh mereka berdua terlempar masuk ke dalam dinding tersebut menutup kembali seperti sedia kala. Koan Ing segera memeluk tubuh Sang Siauw-tan erat-erat, tetapi punggungnya tidak urung menghantam dinding gua juga sehingga mengeluarkan suara yang amat keras sekali.
Luka dalam yang diderita olehnya sebetulnya sudah amat berat sekali kini terluka pula terjangan yang amat keras, seketika itu juga Koan Ing merasakan kepalanya pening dadanya mual, hampir-hampir dia jatuh tidak sadarkan diri.
Mendadak di dalam ingatannya berkelebat satu bayangan pikirnya, “Tidak.... aku tidak boleh pingsan.... di tempat dan saat apakah ini? Bagaimana aku boleh jatuh tidak sadarkan diri?”
Koan Ing segera menarik napas panjang-panjang, darah segar yang bergolak di dalam dadanya terasa menerjang naik ke atas dengan kerasnya sehingga tidak kuasa lagi dia muntahkan darah segar dengan derasnya, kesadarannyapun mulai sedikit demi sedikit menghilang, tetapi dia berusaha untuk mempertahankan diri terus, dia menenangkan pikirannya dan mulai mengatur pernapasannya....
Lama sekali dia baru mendengar suara tangisan dari Sang Siauw-tan yang amat sedih berkumandang masuk ke dalam samping telinganya.
“Ing Koko kau kenapa?” serunya keras.
Koan Ing gelengkan kepalanya.
“Tidak mengapa,” sahutnya sambil tertawa paksa.
Tiba-tiba dia mendengar suara tangisan dari Sang Siauw- tan semakin menjadi, saat ini kesadarannya belum pulih seluruhnya sehingga tidak dapat melihat perubahan wajah pada diri Sang Siauw-tan.
Mendengar suara tangisan ini dia menjadi keheranan. “Eeeei, Siauw-tan kau kenapa?” tanyanya. “Kau.... kau bersikap sangat baik.... sangat baik terhadapku, aku.... aku.... ” serunya sambil menghapus air mata yang menetes keluar membasahi wajahnya itu,
“Aku dahulu bersikap tidak baik terhadapmu tetapi di kemudian hari aku tentu akan bersikap jauh lebih baik terhadap kau”
Dengan halusnya Koan Ing mengelus punggung Sang Siauw-tan, dia menarik napas panjang-panjang lalu memandang sekejap ke sekeliling tempat itu,
Terlihatlah di bawah sebuah perut gunung ternyata sudah muncul sebuah gua rahasia
yang agaknya buntu,
Setelah itu sekali lagi dia menangis tersedu-sedu dengan amat sedihnya.
Dalam hati Koan Ing benar-benar merasa terharu, dia tidak menyangka sama sekali kalau Sang Siauw-tan bisa bersikap demikian baik terhadapnya dan demikian memperhatikan diri, dengan pandangan terpesona dia memperhatikan diri Sang Siauw-tan. “Siauw-tan sisa hidupku semuanya adalah milikmu,” ujar perlahan.
“Ooooh Ing koko!” seru Sang Siauw-tan menangis sambil
menubruk kedalam rangkulan Koan Ing. “Aku tahu kau sungguh-sungguh bersikap baik terhadap diriku.
Suto Tiang-sian jadi orang ternyata amat cermat sekali, dia tahu sisanya empat orang tentu akan marah-marah dan gusar sekali pada waktu itu. bilamana bertemu dengan dirinya mereka pasti akan mengejar terus ke depan, karena itulah dia sudah menggunakan alat rahasia yang ada di dalam perut gunung ini untuk menjebak mereka.”
Dengan cepat tangannya meraba batu-batu cadas yang ada di belakang badannya, terasa batu itu ada selaksa kati beratnya, membuat dirinya di dalam hati diam-diam merasa geli sendiri. Suto Tiang-sian yang hendak mengurung empat orang ciangbunjin dari empat partai besar di tempat ini sudah tentu tidak akan membiarkan mereka meninggalkan tempat tersebut dengan begitu mudah.
Bahkan di dalam gua rahasia ini pasti tidak mempunyai jalan keluar.
“Tetapi di manakah empat orang itu?”
Pikiran ini dengan cepatnya berkelebat di dalam benaknya, dengan cepat kepalanya menoleh menyapu sekejap ke sekeliling tempat itu,
Walaupun keadaan di dalam perut gunung, itu amat gelap sekali tetapi dengan ketajaman matanya pada saat ini dia dapat melihat seluruh benda yang ada di dalam gua tersebut, apakah dia menemukan sesuatu? Tidak Sedikit jejakpun tidak tampak ada disana.”
Apakah mungkin ketiga orang ciangbunjin itu sama sekali tidak menggerakkan alat rahasia yang telah dipasang? Atau mungkin cuma dirinya berdua saja yang telah menggerakkan alat rahasia ini? Dia pikir terus dengan kerasnya, sedang di dalam hati diam-diam merasa bergidik.
Ketika menundukkan kepalanya memandang wajah Sang Siauw-tan, dia melihat ia sama sekali tidak berpikir tentang urusan ini, bahkan dengan seenaknya bersandar di dalam pelukannya.
Melihat hal itu Koan Ing. segera tertawa pahit, pikirnya, “Sungguh mirip seperti seorang bocah cilik saja, kini keadaannya sudah amat berbahaya sekali tetapi dia sama sekali tidak mengambil gubris”
Tak tertahan lagi tangannya dengan perlahan mulai membelai rambut Sang Siauw-tan yang terurai dan awut2an itu. Agaknya Sang Siauw-tan merasa sedikit gatal, dia menoleh dan kirim satu senyuman manis kepadanya sedangkan kepalanya digesek-gesekkan ke atas tubuhnya.
Dengan tersenyum Koan Ing memperhatikan wajah dari Sang Siauw-tan lama sekali lalu kirim satu ciuman mesra ke atas bibirnya yang kecil, lama sekali dia memandang terpesona ke atas wajah Sang Siauw-tan. Mendadak pikirannya berkelebat, “Apa Mungkin mereka sudah menemukan jalan keluar dari gua ini? Kalau tidak dimanakah keempat orang ciangbunjin itu?”
Dia berpikir.... berpikir terus.... akhirnya tidak tertahan lagi sudah tertawa sendiri, bukankah buktinya sampai sekarang mereka belum pada keluar dari selat itu.
“Ing koko,” tiba-tiba terdengar suara dari Sang Siauw-tan memecahkan kesunyian. “Kau sedang memikirkan apa?”
“Aku sedang berpikir, Suto Tiang-sian yang mengurung kita disini, entah ada jalan keluarnya tidak di sekeliling sini?” sahut Koan Ing sambil tertawa.
Biji mata dari Sang Siauw-tan yang amat jeli berputar sebentar lalu tertawa manis,
“Tapi yang aku ingin ketahui apakah dia orang meninggalkan barang makanan buat kita atau tidak,” ujarnya tersenyum.
“Mari kita pergi mencari,” sahut Koan Ing tertawa sambil mendorong tubuh Sang Siauw-tan bangun.
“Ing koko, apakah kau menganggap sesudah berhasil mencari jalan keluar, jauh lebih baik daripada sekarang kita cuma berduaan saja?”
Koan Ing menjadi melengak, dia termenung dan berpikir keras, “Heeei.... Sang Siauw-tan adalah seorang gadis yang begitu bagusnya, begitu cantik Tetapi usianya paling banyak cuma beberapa hari saja.... sungguh sayang sungguh
sayang ”
“Siauw-tan,” ujarnya kemudian sambil tertawa pahit. “Aku takut ayahmu merindukan dirimu.”
Sang Siauw-tan jadi melengak, tadi hampir-hampir dia lupa kalau dia masih ada seorang ayah bahkan dia sudah berjanji dengan ayahnya untuk bertemu lagi di kuil Han-poh-si.
Kini kuil Han-poh-si sudah dia bakar sewaktu dalam keadaan gusar, ayahnya akan pergi kemana mencari dirinya?
Koan Ing yang melihat wajah Sang Siauw-tan menunjukkan kesedihan hatinya, dia jadi menyesal, seharusnya dia tidak boleh mengungkit kembali kata-kata yang menyedihkan hatinya sehingga suasana jadi tidak enak, suasana jadi amat murung dan diliputi oleh tekanan yang amat berat,
“Siauw-tan,” akhirnya dia berkata sambil tertawa. “Kau jangan kuatir, coba kau bayangkan bagaimana terkejutnya dia orang tua jikalau ayahmu lahu kita berhasil meloloskan diri dari selat yang amat ditakuti ini”
Sang Siauw-tan yang melihat Koan Ing berusaha menghibur dirinya, dia sendiripun tidak mau membiarkan Koan Ing merasa murung buat dirinya lagi, dia tertawa.
“Tetapi ayahku pasti tidak tahu kalau kuil Han-poh-si itu aku yang bakar” ujarnya perlahan.
Selesai berkata dia segera bangkit berdiri....
Koan Ingpun dengan perlahan bangkit berdiri, tetapi baru saja berdiri sampat separuh jalan, seluruh tubuhnya terasa sangat sakit sekali sehingga tidak terasa lagi dia sudah mengerutkan alisnya rapat-rapat.
Melihat hal itu Sang Siauw-tan menjadi kuatir. “Eeeh.... kau kenapa sudah tidak bisa jalan?” tanyanya. Koan Ing segera mencekal kencang-kencang tangan Sang Siauw-tan.
“Tidak mengapa, kau berlegalah hati,” ujarnya sambil tertawa.
Walaupun di dalam hati Sang Siauw-tan merasa amat kuatir tetapi dia tidak ingin Koan
Ing merasa bersedih hati, terpaksa diapun tersenyum pahit dan mencekal tangan Koan Ing erat-erat.
Dengan bersusah payah akhirnya mereka berdua berjalan menuju ke perut gunung itu.
“Iiih.... Coba kau lihat begitu banyak jalan yang ada disini, entah kita harus
berjalan ke arah mana?” ujar Koan Ing kemudian sambil menyapu sekejap ke sekeliling tempat itu.
Sedang dia berkata mendadak Sang Siauw-tan sudah berteriak keras, “Aaah.... disana ada sinar terang, kita kesana lihat-lihat.“
Koan Ing segera menoleh ke arah sebelah kiri, ternyata sedikitpun tidak salah dari tempat mana terlihatlah adanya sinar yang memancar keluar dengan amat tajamnya membuat dalam hati dia merasa keheranan.
Dengan cepat dia membawa Sang Siauw-tan meauju ke arah mana, dia ingin mengetahui apa yang telah terjadi di tempat itu,
Beberapa saat kemudian tibalah mereka di tempat dimana berasalnya sinar terang itu, terlihat sebuah batu bening yang memancarkan sinar terang berdiri tegak di atas tanah, di atas batu itu duduklah tiga sosok kerangka manusia, Sinar terang itu memancar keluar dari antara kerangka2 manusia itulah Koan Ing menjadi tertegun, pikirnya, “Aaaah....
telah terjadi urusan apa?”
Cepat-cepat dia berjalan mendekat, terlihatlah diantara ketiga sosok kerangka manusia itu ada seorang yang berada di dalam keadaan bersila dan merangkap tangannya di depan dada.
Jika dilihat dari keadaan jelas dia adalah Sang Hong Thaysu itu Ciangbunjin dari Siauw-lim-pay tempo hari.
Disebelah kirinya menggeletaklah sebilah golok tunggal yang amat berat, sudah tentu kerangka itu adalah kerangka dari ‘Noe Hu Kioe Liong’ atau si penunduk naga Uh Sauw Hoa itu ciangbunjin dari Siong Yang Pay.
Sedang kerangka yang ada disebelah kanan meluruskan tangan kanannya sejajar dengan dada dengan telapak tangan menghadap ke bawah, inilah tanda dari Thay Khek Bun tempo hari, sudah tentu kerangka ini adalah kerangka dari Ciangbunjin Thay Khek Pay, Thian Yang Hwee Sian atau si pendendam seujung langit Tan Pek Cau adanya.
Diantara tujuh orang ciangbunjin dari tujuh partai besar sudah ada enam orang yang menampakkan dirinya, kini cuma tinggal dia seorang saja yang entah pergi kemana.
“Urusan sungguh rada aneh” ujar Koan Ing kemudian sambil mendongakkan kepalanya dan tersenyum kepada diri Sang Siauw-tan. “Kenapa mereka tidak mencari jalan keluar dengan jalan bersama-sama? Ketiga orang ini kepada ada di tempat ini sedangkan itu Tan Tiauw Suseng telah pergi kemana?”
Sang Siauw-tan pun termenung berpikir sebentar lalu katanya, Mereka berdua saling bertukar pandang sekejap, urusan ini ada sedikit membuat orang merasa keheranan, mengapa mereka bertiga duduk bersila di atas batu yang memancarkan sinar terang ini? Agaknya mereka mempunyai maksud untuk menahan datangnya serangan sinar yang amat terang itu
Masih ada lagi itu ciangbunjin dan Hoa-san Pay, Sisiucay suka guyon, Pek Si Thian pergi kemana?”
“Urusan ini harus ditanyakan sendiri kepada Si Tan Siauw Suseng baru bisa dibikin jelas. ”
Koan Ing segera mengangguk, pikirnya, “Entah dimanakah itu Tan Siauw Suseng berada? Ketiga orang inipun aku baru menemukan dengan petunjuk dari sinar. ”
Berpikir sampai disini mendadak di dalam hatinya berkelebat satu ingatan, ketiga orang duduk ini agaknya sedang menahan serangan dari sinar tajam itu. Apa mungkin Pek Si Thian mengundurkan diri dengan memungkuri sinar?
Di tempat inipun ada sebuah batu bening yang dapat memancarkan sinar tajam, tentunya tempo hari Suto Tiang- sian meminjam batu-batu bening ini, untuk mengawasi seluruh gerak-gerik dari empat orang ini, makanya mereka mau tidak mau terpaksa harus menggunakan cara ini untuk menghadapi musuhnya.
Berpikir sampai disini kepada Sang Siauw-tan lantas ujarnya, “Mari kira pergi mencari jejak dari Pek Si Thian”
Sambil tersenyum Sang Siauw-tan mengangguk, mereka berdua dengan perlahan melanjutkan perjalanan kembali ke depan.
Kurang lebih setelah berjalan beberapa saat lamanya mendadak di depan batu cadas yang bening itu muncul kembali sebuah batu cadas yang bening pula, hati Koan Ing semakin mantap lagi dia tahu apa yang diduganya semula tentu tidak akan salah lagi.
Dia memandang sejenak ke arah sudut sinar lalu dengan mengikuti arah dari sinar tersebut dia melanjutkan perjalanannya ke depan. Jalan yang ditempuh semakin lama semakin meninggi dm semakin lama semakin lembab, agaknya perjalanan tersebut tidak ada ujung pangkalnya.
Pada saat ini Koan Ing sedang menderita luka dalam yang amat parah, diapun merasa haus dan lapar, jikalau bukannya ada Sang Siauw-tan disampingnya, mungkin sejak tadi dia sudah tidak kuat mempertahankan dirinya lagi.
Sang Siauw-tan sendiri walaupun merasa amat lelah dan lapar tetapi sama sekali tidak menderita luka dalam, melihat keadaan dari Koan Ing yang sudah amat payah, tidak kuasa lagi tanyanya, “Ing Koko.... kau sudah terlalu lelah kita harus beristirahat sebentar”
“Mungkin sebentar lagi akan sampai,” ujar Koan Ing sambil menarik napas panjang-panjang.
Jikalau kita sekarang berhenti, nanti kalau melanjutkan kembali perjalanan tentu akan terasa amat payah dan tidak kuat”
Sang Siauw-tan yang mendengar perkataan ini cuma tertawa saja tanpa mengucapkan sepatah katapun.
Mereka berdua kembali melanjutkan perjalanannya ke depan, kurang lebih setengah jam kemudian Koan Ing sudah mulai merasakan hawa murninya makin berkurang, keringat dingin mulai mengucur keluar membasahi seluruh tubuhnya sedang dalam hati diapun mulai merasa tenang, jika di lihat dari keadaan ini agaknya dia sudah tidak dapat bertahan lebih lama....
Mendadak Sang Siauw-tan menghentikan langkahnya, Koan Ing jadi melengak cepat-cepat dia angkat kepalanya memandang ke depan terlihatlah jalan di hadapannya adalah sebuah jalan buntu.
Dalam hati dia merasa hatinya tergetar amat keras, tenaganya yang dikerahkan sepenuhnya tidak disangka sudah memperoleh hasil yang nihil, saat ini harapannya musnah sudah bahkan dia merasa tenaga untuk berjalan balik sudah tidak ada lagi.
Koan Ing berkedip-kedip sebentar, tiba-tiba.... kembali dia melihat adanya sesosok kerangka manusia yang menggeletak pada ujung jalan buntu tersebut.
Dia menarik napas panjang-panjang, ketika melihat air muka Sang Siauw-tan kelihatan sedikit sedih dia segera tertawa paksa. “Mari kita lihat kesana,” ujarnya kemudian.
Sang Siauw Tai tertawa tawar dan mengangguk.
Mereka berdua kembali berjalan ke depan, terlihatlah di samping kerangka manusia itu menggeletak sebuah kipas yang terbuat dari emas murni, dan kerangka itu bukan lain adalah kerangka dari Ciangbunjin Hoa-san Pay Pek Si Thian adanya Sang Siauw-tan segera tertawa pahit.
“Tidak perduli bagaimanapun juga akhirnya kita menemukan juga Pek Si Thian dia orang, dengan kecerdasan serta akalnya yang melebihi orangpun akhirnya menggeletak mati disini apa lagi kita, kelihatannya kitapun tidak punya harapan lagi,” ujarnya sedih. Koan Ing pun terpaksa tertawa pahit, Saat ini dia tidak bisa berbuat apa-apa lagi.
Perlahan-lahan dia duduk kembali ke atas tanah siap memejamkan mata untuk mengatur pernapasan, mendadak matanya dapat melihat adanya sesuatu di samping kerangka manusia tersebut “
Dia orang yang pernah ikut Kong Bun-yu berlatih giat selama tiga bulan lamanya di dalam gua, ketajaman matanya saat ini boleh dikata jauh berada di atas tiga manusia genap empat manusia aneh yang ada di daerah Tionggoan.
Hanya di dalam sekali pandang saja dia bisa melihai di atas tanah itu terukirlah beberapa kalimat tulisan. Dengan perlahan dia menyingkirkan kerangka manusia itu ke samping lalu membaca isi tulisan tersebut, “Ciangbunjin angkatan kedelapan belas dari Hoa-san Pay, Pek Si Thian bersama-sama dengan Siauw lim, Thay khek serta Siong Yang, tiga orang Ciangbunjin terkurung di tempat ini.
Kecerdikan dari Suto Tiang-sian memang amat lihay sekali, dia menggunakan batu-batu bening yang memantulkan sinar untuk menjebak kami semua di tempat ini,
Untuk menghadapi batu-batu beningnya itu cuma ada satu jalan untuk menghindarkan yaitu jangan melihat dengan pandangan mata sendiri, karena sinar tersebut amat mempengaruhi mata kita.
Dengan bantuan dari Siauw lim, Thay-khek serta Siong Yang tiga orang ciangbunjin akhirnya kami berhasil menggerakkan alat rahasia dan membuka jalan keluar ini
Melihat adanya jalan keluar ini dalam hatiku merasa amat senang sekali, sebelum aku keluar dari kurungan ini mendadak di dalam ingatanku teringat kembali dengan tiga orang ciangbunjin bertiga, jika aku meninggalkan mereka bertiga bukankah aku orang akan malu dengan kawa^kawan Bu-lim yang lainnya?
Sewaktu aku mau balik tiba-tiba di atas dinding ini aku menemukan sebuah batu bening lagi, aku duga Suto Tiang- sian tentu menggunakan barang tersebut sebagai penggerak alat rahasianya atau kalau tidak tentulah suatu jalan keluar.
Heee.... siapa sangka waktu itulah sifat licik dari Suto Tiang-sian muncul kembali, aku kena bokong dan tidak dapat bangun lagi !
Mereka berdua yang membaca sampai di sini dalam hati diam-diam merasa tertegun kemudian bersama-sama angkat kepalanya ke atas. Ternyata sedikitpun tidak salah di atas dinding tersebut memang tampak adanya sebuah batu bening kembali diam- diam dalam hati mereka berdua merasa amat terperanjat atas ketelitian dari Suto Tiang-sian ini, tetapi merekapun merasa kagum atas kelihayan dari
Pek Si Thian.
Tetapi yang dimaksud sebagai Pek Si Thian dengan pintu keluar itu berada di mana? Apa mereka benar sudah ada di- pintu keluar?
Sang Siauw-tan segera menggerakkan tangannya mendorong dinding disampingnya tetapi di tempat mana sama sekali tidak terjadi gerakan apapun juga.
Lama sekali Koan Ing pun memperhatikan keadaan di sekeliling tempat ini, dia merasa heran dengan ketajaman pandangan matanya mengapa dia tidak menemukan juga sesuatu yang mencurigakan hatinya?
Sekali lagi dia menyapu sekejap ke arah sekeliling tempat itu tetap biasa saja sedikitpun tidak tampak adanya hal-hal yang mencurigakan, diam-diam hatinya merasa semakin heran lagi.
Apa mungkin perkataan dari Siauw Ta Suseng, Pek Si Thien ini salah”
Tetapi Pek Si Thian adalah seorang ciangbunjin dari Hoa- san Pay apa lagi pandai sekali di dalam ilmu bangunan, dia tidak mungkin bisa salah berkata,
Berpikir akan hal ini sekali lagi Koan Ing menyapu sekejap ke arah sekeliling tempat itu Tetapi tetap tidak menemukan sesuatu apapun
Sekeliling dinding itu tidak ada, di bawah tanah tidak mungkin, apa mungkin di atas atap? Berpikir sampai disitu dia segera mendongak ke atas atap dinding. “Siauw-tan!” teriaknya kemudian dengan keras, “Coba kau mendorong atap dinding itu”
Sang Siauw-tan segera bangkit dan dengan sepenuh tenaga mendorong atap dinding itu ke atas.... mendadak....
dinding tersebut membuka sebuah celah membuat hatinya merasa amat terperanjat bercampur girang.
“Aaaah benar. Kita bisa keluar.”
Saking girangnya hampir-hampir air matanya mengucur keluar membasahi pipi Sang Siauw-tan, melihat hal itu Koan Ing tertawa tawar, berbagai pikiran kembali berkelebat di dalam benaknya.
“Siauw-tan Kau doronglah lagi, aku bantu kau membuka celah dinding tersebut” ujarnya sambil tertawa.
Sambil tersenyum Sang Siauw-tan mengangguk, mereka berdua dengan sepenuh tenaga segera mendorong dinding itu ke atas.
“Braaak....!” dengan disertai suara yang amat keras dinding batu itu membuka kesamping, serentetan sinar surya yang menyilaukan mata segera memancar dengan amat tajamnya.
Koan Ing sebetulnya sudah kehabisan te naga, kini harus mendorong batu dinding itu pula dengan sekuat tenaga, begitu sinar surya menyorot masuk ke dalam ruangan dia segera merasakan pandangannya menjadi gelap, dadanya terasa amat sakit seperti diiris2 tidak kuasa lagi dia jatuh tak sadarkan diri di atas tanah
Entah lewat beberapa saat lamanya dia sendiripun tidak tahu, dia cuma merasa Sang Siauw-tan sedang menangis dan memanggil-manggil namanya dia sadar kembali.
Terlihatlah saat itu dirinya berada di dalam rangkulan Sang Siauw-tan, dia segera menarik napas panjang lalu ujarnya sambil tertawa, “Siauw-tan, aku tidak mengapa.” Luka dalamnya yang amat parah kambuh kembali rasa sakit yang amat sangat menyerang punggung serta dadanya, hampir-hampir tidak tahan seluruh tubuhnya gemetar.
Sang Siauw-tan yang melihat Koan Ing sadar kembali dari pingsannya tetapi melihat air mukanya pucat pasi bagaikan mayat dia malah menangis semakin menjadi2, “Ing koko....
Oooh Ing koko.... aku membuat kau menjadi begini!” teriaknya berulangkali.
Koan Ing tertawa, dia angkat kepalanya melihat sinar sang surya yang memancar masuk ke dalam gua itu. sinar sang surya nan terang dengan lembutnya menyoroti rambut serta butiran2 air mata yang membasahi wajah Sang Siauw-tan, dia melihat keadaannya mirip sekali dengan Bidadari yang turun dari kahyangan dimana banyak terlihat di dalam lukisan. Lama sekali dia berdiri tertegun, mendadak teriaknya keras.
“Haaa.... kita sudah lolos dari kurungan Siauw-tan. Kita sudah lolos dari kurungan. ”
“Benar kita sudah lolos dari kurungan,” sahut Sang Siauw- tan dengan tertawa malu-malu. “Untuk selanjutnya kita bisa hidup bersama-sama untuk selamanya.”
Mendengar perkataan itu Koan Ing hanya merasakan hatinya tergetar dengan amat keras, gumamnya seorang diri, “Kita sudah lolos dari kurungan....? Kita sudah lolos dari kurungan. ?”
Dengan perlahan dia bangun dan duduk di atas tanah, berbagai pikiran bercampur aduk di dalam benaknya, untuk selanjutnya dia harus berbuat bagaimana?....