Kemelut Di Ujung Ruyung Emas Jilid 25

 
Jilid 25

"Ha, enak saja kau bicara, anak itu anakku, kenapa aku tak boleh membicarakannya?" dengus Bok Jin-kiat.

Lamkiong Hian menjadi beringas, "Haha, bagus, asal kau berani menyingkap rahasia ini pada anak Giok, segera kubunuh dirimu, umpama betul anak itu bukan darah dagingku, tapi selama ini sudah tertanam hubungan batin yang erat antara kami sebagai ayah dan anak, di dalam kehidupanku sudah tak mungkin tanpa dia, hanya dia yang bila memberikan bayangan wajah Yau Ciu-li kepadaku " "Kau tahu, mengapa aku mau hidup tersiksa selama 21 tahun ini?" seru Bok Jin kiat lagi dengan emosi, "tak lain karena kedua orang anakku, kini kau bikin anak Sia malu hidup, maka akupun takkan membiarkan kau menjadi ayah gadungan dengan tenang?"

Perasaan Lemkiong Hian menjadi dingin, ia tahu manusia yang hendak merusak kebahagiaan hidupnya ini tak boleh dibiarkan hidup terus, hanya dengan melenyapkan dia barulah bisa mencegah terjadinya bencana di kemudian hari.

Sambil menggigit bibir, dia lantas mengambil keputusan, katanya kemudian, "Tampaknya kau sengaja memaksa aku turun tangan!"

"Aku lebih suka mati di tanganmu daripada mengemis hidup dalam penderitaan,"

Gemetar badan Lemkiong Hian, diam-diam ia menghela napas, katanya, "Ai, Saudara Bok, buat apa kau bersikap demikian? Aku memang salah dulu, tapi sekarang aku tak tahu cara bagaimana menunjukkan rasa sesalku padamu, penderitaan yang tertanam dalam hatiku tak kalah hebatnya daripada-mu..... Ai, cara bagaimana aku dapat membicarakannya?"

"Tak perlu berpura pura lagi, jangan munafik," ejek Bok Jin-kiat, "aku cukup kenal watakmu, dulu seandainya kau tidak berpura-pura alim, akupun takkan terjerumus seperti sekarang ini! Lamkiong Hian, jangan ragu lagi, bila kau yakin bisa membunuhku, lekaslah turun tangan, tapi-sebelum turun tangan, aku hendak memperingatkan dirimu lebih dahulu, selamanya kau takkan berhasil membunuhku!"

Terkejut sekali Lamkiong Hian. dia mengira Bok Jin-kiat telah pulih kembali tenaga dalamnya dan melatih ilmu sakti, dulu saja dia cuma bisa bertarung seimbang, bila kini Bok Jin- kiat berhasil melatih ilmu baru, tentu kepandaiannya  jauh lebih unggul lagi. Perasaan sangsi segera menyelimuti wajahnya dia menjadi ragu untuk turun tangan, ia kuatir serangannya tidak membawa hasil yang diharapkan.

Setelah mengamatinya sejenak, dia menegur, "Kau telah memperoleh kembali kekuatanmu?"

Menyinggung soal ilmu silat, air muka Bok Jin-kiat berubah menjadi sedih.

"Tenaga ... hahaha .... selama hidup tak perlu kupikirkan lagi!"

Hati Lamkiong Hian merasa lega, senyuman tersungging diujung bibirnya, senyuman tipis sehingga cuma dia saja yang tahu.

Namun hai ini tidak dapat mengelabui Bok Jin-kiat, dengan gusar bentaknya, "Tertawalah, berbanggaiah hatimu, memang inilah hasilmu, kemenanganmu, hahahaha ... Lamkiong Hian, kau sombong. "

Ucapan yang mirip orang kalap ini membuat orang merasa bergidik dan berdiri bulu romanya. dalam hati kecil Lamkiong Hian timbul sebatas perasaan murni yang mencela dirinya sendiri.

Persoalan yang sudah lama disesalinya akhirnya meledak, dia mengira tiada orang di dunia ini yang mengetahui akan perbuatannya, siapa tahu....

Inilah rahasia kehidupannya, seringkah ia menegur dan memaki diri sendiri, dia merasa bersalah kepada Bok Jin-kiat, lebih-lebih lagi terhadap isterinya tercinta, Yau Ciu-li.

Kalau dibilang istrinya, maka lebih tepat dikatakan sebagai isteri yang diperolehnya secara keji dan licik, juga merupakan perbuatan yang rendah terhadap teman sendiri, suatu tindakan yang curang, Diam-diam ia menghela napas, kemudian berkata dengan sedih, "Jin-kiat, kejadian ini sudah lama lalu, anak pun sudah dewasa, budi dan dendam di antara kita sudah buyar, buat apa kita menyinggungnya lagi.. Sobat baik, mari kita berjabatan tangan saja."

Mata Bok Jin-kiat berubah menjadi merah membara, sambil tertawa seram katanya, "Enak saja kau bicara, urusan sudah lalu ... ya peristiwa itu memang sudah lalu, buat kau mungkin begitu, tapi tidak bagiku, siang dan malam aku tak pernah melupakannya,"

Setelah berheti sejenak, dia melanjutkan, "Lam-kiong Hian, apakah hasil karyamu itu harus diakhir, begini saja?  Pernahkah kau bayangkan, apa sebabnya seorang kakek hidup kesepian sebatang kara karena keluarganya berantakan, anak pergi isteri lenyap bekerja sebagai kuli di dalam perkampungan musuh besarnya? Apalagi kalau bukan berharap menunggu saat seperti hari ini untuk membersihkan noda dan aib yang menimpa dirinya. Pernahkah kau bayangkan seorang isteri yang tertimpa aib, tak punya muka untuk bertemu lagi dengan orang, hidup sengsara sekian tahun dalam kuburan ... pernahkah kau bayangkan seorang bocah yang patut dikasihani tertekan jiwanya akibat perbuatanmu yang memaksanya melakukan senggama dengan ibu sendiri "

Makin berbicara kakek itu semakin emosi, sehingga akhirnya dia menangis tersedu-sedu ...

Diberondong oleh serentetan pertanyaan "pernahkah kau bayangkan" itu, untuk sesaat Lamkiong Hian tak mampu berbicara, semua peristiwa itu memang hasil perbuatannya, apa yang diucapkan Bok Jin-kiat secara telak telah menyinggung boroknya.

Air mukanya berubah, matanya menjadi merah, hampir saja ia melelehkan air mata, dia teringat pada Yau Ciu-li. Memang, semua itu merupakan perbuatan tercela. Setelah berpikir dia menghela napas, katanya kemudian. "Bok-heng, jangan disinggung lagi, membicarakan urusan lama hanya akan menambah penderitaan saja!"

Tapi Bok Jin-kiat tak dapat memaafkannya, dengan gusar kembali dia berkata, "Lamkiong Hian, masih ingat pada kejadian perkosaan terhadap Ciu-li, kemudian kau minta dia kawin denganmu? Matipun Ciu-li tak mau menuruti kehendakmu. Hanya karena malu padaku, dan lagi untuk melindungi darah dagingku, maka diam-diam dia pergi mengikuti dirimu."

"Kau kira dia mencintaimu? Tahukah dia berbuat demikian karena memikirkan anakku? Setahun kemudian, dia melahirkan anak Giok, lalu bunuh diri. Bukankah hal ini semakin membuktikan dia tidak mencintaimu?"

"Sesudah memperoleh pelajaran itu, seharusnya kau sadar dan bertobat, siapa tahu kau limpahkan semua tanggung jawab itu ke atas pundakku, merusak wajahku masih mendingan, tidak seharusnya kau gunakan obat perangsang untuk mencelakai anakku sehingga Soh-hun mengadakan hubungan badan dengan anak kandungnya "

"Tutut mulut!" tiba-tiba Lamkiong Hian membentak.

Rupanya dia tak tahan mendengarkan perbuatan biadabnya diungkap kembali, rahasia tersebut sudah lama terpendam dalam hatinya, ia takut bila orang lain menyinggung kembali peristiwa itu.

"Kau melarangku bicara, aku justeru ingin membicarakannya" teriak Bok Jin-kiat lebih lanjut, "Haha, kau takut mendengarkan semua itu bukan? "

Sesungguhnya lantaran hati nuraninya tersentuh malam ini, maka Lamkiong Hian tidak melakukan tindakan keji, kini liangsimnya diselimuti lagi oleh bawa amarah, napsu membunuhnya segera berkobar kembali. Sembil tertawa seram katanya, "Mengingat kita pernah bersahabat, kuberi kesempatan kepadamu untuk hidup sampai kini, tak nyana kau sendiri bosan hidup dan ingin mencari kematian sendiri, terpaksa kupenuhi keinginanmu itu!"

Tiba-tiba telapak tangan kanannya terangkat dengan wajah menyeringai.

"Seharusnya sejak dulu kau lakukan hal ini!" kata Bok Jin- kiat sambil tetawa getir.

Habis berkata dia lantas memejamkan mata dan siap menunggu ajal.

Kakek yang hidup sengsara ini telah pasrah nasib di tangan lawan, dengan tenang dia menantikan serangan yang akan mematikannya itu.

Pada saat itulah mendadak berkelebat sesosok bayangan hitam, lalu terdengar suara pekikan sedih. Belum tiba orangnya sudah berteriak lebih dulu, "Ayah, Jangan!"

Tampak Lamkiong Giok melayang tiba dengan cepat luar biasa, dia mencengkeram tangan Lamkiong Hian sambil menunjukkan sorot mata yang aneh, seperti mohon belas kasihan, seperti juga sedih ....

Air muka Lamkiong Hian berubah hebat, bentaknya, "Anak Giok, kau ... kau "

"Ayah, aku tak tahu engkau betul atau salah," kata Lamkiong Giok dengan sedih, "tapi tidak seharusnya kau bunuh dia, sebab hal ini bukan saja membuat engkau menderita, ananda juga merasa sedih. "

"Jangan kau percaya pada obrolan tua bangka ini, ayah bukan manusia semacam itu " seru Lam-kiong Hian kemudian.

Dengan mata melotot Bok Jin-kiat berkata pula, "Benar, aku cuma mengaco-belo saja, Siauseng-cu, silakan pergi, mungkin lantaran aku terlalu merindukan anakku, maka aku salah menganggap dirimu sebagai anakku "

Hati Lamkiong Hian agak lega setelah nada bicara Bok Jin- kiat berubah, dia tahu Bok Jin-kiat berbuat demikian karena memikirkan masa depan Lamkiong Giok, kalau tidak ....

Ia tertawa terima kasih, katanya, "Bok-heng, syukurlah engkau dapat mengerti."

Mendadak Lamkiong Giok maju ke depan dan menjura dalam-daiam, katanya. "Untuk sementara ini, apakah engkau ayahku atau bukan, sebagai seorang angkatan tua dunia persilatan, sudah sepantasnya engkau menerima penghormatanku!"

Mendadak berkumandang suara mendengus, "Hm, sejak kapan kau belajar sopan santun?!"

Seorang perempuan berbaju hijau muncul dengan wajah masih basah air mata.

Lamkiong Hian maupun Lamkiong Giok sama tertegun, dandanan itu persis dandanan Lik-ih-hiat-li, logat bicaranya juga sama, tapi mukanya terasa asing ....

Lamkiong Hian terkesiap, pikirnya, "Jangan-jangan dia?

Tapi, masa dia masih hidup ".

Ia coba melirik wajah perempuan berbaju hijau itu, kecuali kelihatan tua, kecantikan dulu masih jelas tersisa, perasaan Lamkiong Hian berguncang.

"Ah, kau Soh-hun?" serunya gemetar, "kenapa "

Perempuan berbaju hijau itu tertawa sinis, tukasnya, "Soh- hun sudah mati, di dunia ini cuma ada Lik-ih-hiat-li".

Sembari berkata dia mengusap wajahnya, muka itu segera berubah, dia memang bukan lain daripada Lik-ih-hiat-li yang belakangan ini menggemparkan dunia persilatan itu. Lamkiong Hian tak pernah menyangka Tang Soh-hun adalah Lik-ih-hiat-li, lebih-lebih tak menyangka pada malam ini bukan cuma bertemu dengan Bok Jin-kiat saja, bahkan berjumpa pula dengan Tang Soh-hun, hal ini membuat hatinya terasa pedih dan hampa.

Ketika melihat kemunculan istrinya, dengan pedih Bok Jin- kiat berkata, "Untuk apa kau kembali lagi? Bukankah kusuruh kau pergi?"

Perempuan berbaju hijau itu tertawa pedih, katanya, "Jin- kiat, apakah kau tak mau berkumpul lagi dengan kami? Di sana ...dia ... anak Sia aku tak dapat kehilangan seorangpun, Jin-kiat, mari kita pergi!"

Bok Jin-kiat menghela napas, "Al, aku tak punya muka untuk berjumpa lagi dengan anakku, apalagi jika dia tahu aku masih hidup, mungkin dia sendiri akan bunuh diri, daripada begitu, kan lebih baik jangan berjumpa lagi?"

"Baik, kululuskan permintaanmu," kata perempuan baju hijau itu dengan sedih, "Jin-kiat, baik-baik menjaga diri, suatu hari kita pasti akan berkumpul kembali."

"Tak pernah lagi, Soh-hun!" ucap Bok Jin-kiat dengan pedih, "ingat, jangan kau katakan kejadian ini kepada anak Sia, bila dia tahu, akibatnya ... Ai, aku tak ingin membiarkan anak-anakku terjerumus ke dalam pertikaian ini"

Lik-ih-hiat-lt menggeleng kepala berulang kali. "Percuma, usahamu cuma sia-sia belaka, aku cukup mengetahui perasaan anak Sia, dia pasti tahu orang yang mencelakai orang tuanya adalah dia!"

Sambil berkata ia menuding Lamkiong Hian, kemudian melanjutkan, "Tak nanti dia akan menurut pada perkataannya!" Kena ditunjuk perempuan itu, Lamkiong Hian bergidik seakan-akan hari kiamatnya sudah tiba dan saat kematiannya sudah tak jauh lagi.

Dengan suara keras ia berkata, "Asal anak Sia mencariku, takkan kusangkal semua perbuatanku itu!"

"Huh, sekalipun kau ingin menyangkal juga percuma," jengek Lik-ih-hiat-li.

Mendadak dari luar sana berkumandang suara Bwe-hoa- sian-kiam Tong Yong-ling, "Cianpwe, mari kita pergi, barang sudah kudapatkan!"

Air muka Lamkiong Giok berubah, sambil melompat keluar bentaknya, "Apa nona Tong di situ? Barang apa yang kau dapatkan."

Lik-ih-hiat-li mendengus, dia kuatir Tong Yong-ling menghadapi bahaya, buru-buru ia mendahului bergerak ke sana.

ooo)0d0w0(ooo

Udara bersih tak berawan, rembulan bersinar dengan terangnya di tengah cakrawala, malam sunyi, hanya bunyi serangga membawakan paduan suara merdu.

Menghadapi gundukan tanah pekuburan di depan sana, hati Bok Ji-sia merasa sedih, setelah mengundurkan delapan jago pengikutnya, bergejolaklah pikirannya.

Si nona baju merah. Oh Keng-kiau, masih terisak sambil bergumam lirih, seakan-akan segenap isi hatinya hendak ditumpahkan keluar lewat tangisnya.

Pelampiasan perasaan seperti ini tak mungkin terbendung dengan segera, tapi karena takut suara tangisnya mengejutkan Bok Ji-sia, maka sedapatnya Oh Keng-kiau merendahkan suara tangisnya. Keng-kiau masih muda belia tentunya dia sedih karena teringat akan kehidupan selanjutnya yang sebatang kara  tanpa sanak saudara, bagaimanakah kehidupannya di kemudian hari?

Kembali ke Thian-seng-po? Jelas tak mungkin, tempat itu hanya ada kesengsaraan dan penderitaan.

Menggantungkan diri pada Bok Ji-sia? Ia belum sempat membicarakan hal ini, hal tersebut tampaknya tak mungkin, dalam hati pemuda itu seakan-akan tak pernah tertarik pada persoalan semacam itu.

Karena tak tahu apa yang mesti dilakukan, isak tangisnya makin lama semakin keras, dari tanpa suara menjadi bersuara, sebentar keras, sebentar pelahan, membuat Bok Ji-sia turut kalut pikirannya, untuk sesaat dia tak tahu bagaimana harus menghibur gadis itu.

Apa yang dapat dia katakan? Ia tahu bila seorang sedang sedih, perasaannya pasti lemah, sepatah kata salah bicara, ucapan yang bermaksud menghibur bisa memancing kesedihan yang makin besar.

Bok Ji-sia menimbang berulang kali, akhirnya dia memberanikan diri dan berkata, "Sumoay, jangan terlalu sedih, ingat akan kesehatanmu!"

Kehidupan manusia bagaikan awan dan asap yang cepat berubah dan buyar, siapapun tak akan terhindar dari kelahiran, tua, sakit dan mati, kehidupan akan berakhir di tanah, sampai saatnya dia akan beristirahat untuk selamanya.

Tapi peristiwa sekarang bukan kematian lantaran sakit melainkan suatu pembunuhan yang disertai persoalan rumit dan membingungkan, Se-to-gin-ki Bwe Siau-leng telah mati dengan penasaran.

Setelah mendengar ucapan Ji-sia, Keng-kiau mendongakkan kepalanya dan menjawab, "Suheng, ibu telah meninggalkan diriku, membiarkan aku hidup sebatangkara di dunia ini, apa yang harus kulakukan? ... Suheng, pikirkanlah diriku, selain membalas dendam, apa pula yang bisa kulakukan?"

"Sumoay jangan bersedih hati, bila perahu sampai di ujung jembatan, dia akan lurus dengan sendirinya!" hibur Ji-sia seraya menepuk pelahan bahu si nona.

Ken-kiau mendelik. "Ah, itu cuma omong kosong, aku tak percaya!"

Ji-sia tertawa getir, lalu menggeleng kepala dengan sedih, dia tak tahu kata kata apa yang pantas untuk menghiburnya.

Setelah memandang ke langit, dia berkata, "Ada kalanya omong kosong justeru mendatangkan tenaga bagi hidup kita!"

"Kau percaya dengan kata-kata kosong yang tak sesuai dengan kebenaran itu?"

"Aku percaya pada kebenaran."

Oh Keng-kiau menggeleng kepala, katanya "Adakah kebenaran dalam dunia persiiatan dewasa ini? Yang kuat menindas yang lemah, yang kaya memeras yang miskin, pejahat merajalela, memperkosa, membunuh, merampok, apakah semua ini kebenaran?"

"Begitukah pengertianmu tentang kebenaran?" tanya Ji-sia.

"Dalam kehidupan dunia persilatan yang serba kacau dan tak tenang ini, segala sesuatunya harus dibentuk dan dibangun dengan kekuatan sendiri, hanya kekuatan ilmu silat yang merupakan kebenaran, kita harus menggunakan kekuatan tangan sendiri untuk membunuh kawanan manusia laknat itu. Bunuh! Ya, bunuh! Aku ingin membunuh setiap orang jahat di dunia ini."

Walaupun Ji-sia merasa perkataannya itu cukup beralasan, namun dalam hati ia tidak setuju dengan jalan pikiran yang sempit dan ekstrim itu, namun dia cuma tertawa saja taapa menjawab.

Mendadak di tengah kegelapan malam muncul beberapa sosok bayangan meluncur ke arah barat-laut sama secepat burung terbang.

"Sumoay, lihat!" Ji-sia berseru dengan kaget.

Oh Keng-kiau segera mendongakkan kepalanya, air mukanya berubah hebat, nyaris dia menjerit kaget, tanpa terasa tangannya menggenggam lengan pemuda itu kencang- kencang. Setan!!!

Dia tak percaya di dunia ini ada setan, tapi beberapa sosok bayangan itu tak berbeda dengan setan dalam dongeng, bermata hijau, bersuara mengikik mengerikan.

Dengan tubuh gemetar, dia berbisik, "Suheng, ini. "

Mungkin kata "setan" terlalu mengerikan, maka ia tak berani menyebutnya, sebab pada masa kecilnya sudah terlalu banyak cerita setan yang di dengarnya.

Begitu melihat bayangan putih itu, Ji-sia merasa hatinya bergetar keras, dia merasa orang orang berbaju putih itu seperti pernah dilihatnya disuatu tempat ....

Buru-buru dia menarik tangan Keng kiau sambil berbisik. "Cepat kejar!"

"Aku takut!" Keng-kiau bergidik.

"Ah, jangan takut, segala apa serahkan kepadaku!"

Cepat dia memburu ke depan sambil menarik tangen Oh Keng-kiau.

Yang di muka berlari secepat terbang, yang mengejar tak kalah pula cepatnya, kedua pihak seolah-olah sedang berlomba lari saja. Jarak kian mendekat, timpaknya orang-orang berbaju putih di depan itu tidak merasa di belakangnya mengikut dua orang muda-mudi, sedang Bok Ji-sia dan Oh Keng-kiau mengikut terus secara ketat, jaraknya tidak terlalu jauh juga tidak teramat dekat.

Tiba-tiba kawanan manusia berbaju putih itu berpekik seram. Begitu berhenti berpekik, orang-orang itu memencarkan diri ke empat penjuru dan berdiri dengan membalik.

Ji-sia terkejut, buru-buru ia tarik Oh Keng-kiau sambil berbisik, "Cepat bersembunyi!"

Keduanya sama-sama jago kelas satu, serentak mereka menerobos ke balik semak rumput.

Baru saja mereka bersembunyi kawanan manusia berbaju putih itu lantas menjerit seperti teriakan setan.

Mendadak bergema suara tertawa latah di kejauhan sana, hanya sejenak saja lantas mendekat. Bayangan putih berkelebat, tahu-tahu muncul lagi seorang berbaju putih, akan tetapi kain kerudung kepalanya berwarna hitam.

Dengan suara keras, orang berkerudung hitam itu membentak, "Keng-hun, coba katakan, mengapa kurang dua orang?"

Orang berbaju putih yang bernama Keng-hun segera menjura, sahutnya, "Kedua setan itu sudah mendaftarkan diri dalam kitab mati hidup!"

Yang dimaksudkan sebagai mendaftarkan diri pada kitab mati hidup adalah kata sandi mereka yang ditanya telah tewas.

Orang berkerudung hitam itu mendengus, "Hmm, apa tugas kalian?" Semua orang berbaju putih itu gemetar, salah seorang di antaranya menyahut, "Merampas kitab pusaka Hek-liong- kang!"

"Mana kitabnya?"

Orang-orang berbaju putih itu tak berani menjawab, mendadak mereka menjerit-jerit aneh, kemudian berlompatan menandakan mereka tak dapat menyelesaikan tugas dan bersedia menerima hukuman.

Peraturan dalam perguruan Kui-ing-bun memang sangat ketat, barang siapa berani melanggar peraturan bisa dijatuhi hukuman mati.

Orang berkerudung hitam itu tertawa aneh, serunya kemudian, "Cepat pergi ke Giam-lo-tian untuk menantikan pemeriksaan Buncu!"

Semua orang berbaju putih itu mengiakan, dengan cepat mereka berlalu dengan tertawa seram, tak lama kemudian bayangan, mereka lenyap tak berbekas.

Orang berkerudung hitam itu mendengus, mendadak ia membalik tubuh.

Sinar matanya yang tajam memandang sekejap sekeliling tempat itu, lalu bentaknya, "Sudah waktunya kalian keluar dari situ!"

Ji-sia terperanjat, dia mengira jejaknya ketahuan orang, baru saja hendak keluar, tiba-tiba Oh Keng-kiau menarik tangannya sambil mendesis, "Nanti dulu!"

Buru-buru Ji-sia sembunyi lagi, dia tahu kawanan manusia berbaju putih itu ada hubungannya dsngan kitab yang hilang, cuma dia tak tahu mereka berasal dari golongan mana.

Melihat suasana tetap tenang, orang berkerudung hitam itu mendengus, ia maju beberapa langkah. Sorot matanya yang tajam memandang sekeliling tempat itu, akhirnya pandangannya berhenti pada tempat sembunyi Bok Ji-sia dan Oh Keng-kiau.

Serunya kemudian sambil tertawa dingin, "Setelah datang kemari, sepantasnya kalian berdua unjukkan diri, bersembunyi terus bukan tindakan seorang lelaki sejati!"

Mendadak terdengar bentakan menggeleger, dua sosok bayangan menerjang ke depan orang berbaju putih itu dengan cepat.

Ji-sia tertawa dan menegur, "Kau ini setan atau manusia?

Kenapa berdandan "

Orang berkerudung hitam itu menyurut mundur, lalu menyapa sambil tertawa, "Kedatangan kalian karena tanpa sengaja atau memang disengaja!. "

"Hm, apa yang dimaksud sengaja? Apa pula yang kau maksudkan tanpa sengaja?" dengus Keng-kiau.

"Hebehe..." orang itu tertawa terkekeh, "Jika kalian bermaksud menyadap rahasia Kui-ing-bun, terpaksa kutahan kalian, sebaliknya kalau tidak sengaja, lekas kalian pergi dari sini!"

"Kalau kedua-duanya benar, bagaimana pula sikapmu?" tanya Ji-sia dengan tersenyum.

"Hahaha, bisa saja Bok-siauhiap bergurau "

Tiba-tiba berkumandang suara pekik setan dari kejauhan sana.

Orang berkerudung hitam itu buru-buru berseru, "Bok- siauhiap, cepat bersembunyi di tempatmu semula, biar kuhadapi dia!"

Ji-sia dan Keng-kiau melengak, bukan saja orang kenal mereka, logat bicaranya juga sudah dikenal, belum lagi mereka sempat tanya, orang itu berseru lagi, "Cepat! Petugas peronda datang!" Keadaan tidak mengizinkan berpikir panjang lagi, buru-buru Ji-sia menarik Keng-kiau dan sembunyi lagi di tempat tadi.

Baru saja kedua orang itu bersembunyi, sesosok bayangan hitam melayang tiba, orang ini berbaju hitam, berkerudung hitam sehingga mukanya tidak terlibat.

Orang berbaju putih tadi segera menegur, "Malam-malam begini Sun-ca-su (pengawas) datang kemari, entah terjadi peristiwa apa?"

"Kim-hong-cang melawan, kitab tidak diperoleh, Kui-ing- bun sungguh mendapat malu!" kata orang berbaju hitam itu dengan dingin.

Orang berbaju putih itu tertawa hambar, "Po-cu pasti mempunyai rencana yang matang, tidak perlu kita risaukan!"

Tiba-tiba si baju hitam membentak, "He, mungkin kau orang baru, di sini tak ada sebutan Pocu, hanya menyebut Buncu. Eh logatmu tidak benar, rasanya belum pernah bertemu denganmu!"

"Hahaha, jangan banyak curiga!" seraya berkata dia lantas berputar tiga lingkaran sambil bergerak tujuh langkah, tangan sebelah menyunggih langit, tangan lain menekan bumi, itulah kode tangan sebagai tanda anggota Kui-ing-bun.

Rupanya anggota Kui-ing-bun tidak saling kenal dengan wajah asli masing-masing, untuk menunjukkan kedudukan sendiri, mereka tak perlu berbicara, cukup menggunakan kode tangan dan segera akan terlhat apakah orang sendiri atau bukan.

Orang berbaju hitam itu mengiakan, "O, rupanya memang anggota baru, pantas ..."

Mendadak si baju putih menuding ke depan sambil berseru, "He, lihat!"

Si baju hitam mengira ada bahaya, buru-buru ia berpaling. "Saudara, boleh kau jadi setan sungguhan saja!"

Bentakan keras menggelegar, baju hitam segera merasakan badannya kaku, sambil membalik badan ia menuding, "Kau ..."

"Aku si setan gantung perenggut nyawa yang khusus menghajar setan... !" kata si baju putih sambil tertawa.

Dengan terluka parah si baju hitam roboh terkapar, orang berbaju putih segera, melepaskan pukulan lagi, tak sempat merintih tewaslah orang itu.

Ji-sia dan Keng-kiau merasa heran bercampur curiga seteluh menyaksikan adegan tersebut, padahal si baju putih segolongan dengan si baju hitam, tidak sepantasnya mereka saling membunuh, tapi apa sebabnya orang berbaju putih itu tiba-tiba turun tangan keji? 

Siapakah dia? Jangan-jangan dia bukan anggota Kut-ing- bun?

Sementara itu si baju putih tadi telah berpaling ke tempat sembunyi Bok Ji-sia, sambil tertawa katanya, "Bok-siauhiap, cepat kemari!"

Dengan cepat dia melepaskan pakaian hitam orang tadi, baru saja Ji-sia merasa tercengang, orang itu telah mengangsurkan baju hitam padanya.

"Cepat dipakai!" seru orang itu.

Dengan cepat, kembali dia mengorek-orek tanah di sebelah sana, tak lama kemudian dia mengeluarkan lagi satu stel baju hitam yang segera diserahkan kepada Oh Keng-kiau dan menyuruhnya berganti pakaian.

Selesai mengenakan pakaian hitam, Ji-sia baru bertanya, "Siapa kau?"

Orang berbaju putih itu tertawa terbahak-bahak, "Hahaha, masa kau tidak tahu siapa diriku, Bok-siauhiap?" Sambil berkata dia lantas melepaskan kerudung hitamnya.

Hah, dia ternyata Siau-yau-sian-hong-kek Ku Thian-gak adanya!

"Kiranya Ku-locianpwe!" seru Ji-sia tercengang. "Jangan kaget, di sini bukan tempat yang aman..."

Belum habis dia berkata, dari kejauhan berkumandang pula tiga kali siulan panjang dan sekali pendek.

Menyusul sesosok bayangan berkelebat datang dengan cepat.

Siau-yau-sian-hong-kek Ku Thian-gak mengenakan kembali kain kerudung hitamnya, mereka bertiga dengan tenang berdiri di situ sambil memandang kejauhan.

Begitu dekat orang itu berkata dengan dingin, "Cepat kembali ke Giam-lo-tian, Buncu segera akan tiba!"

Habis kerkata dia melanjutkan perjalanan ke depan sana, Memandangi bayangan punggung orang yang menjauh,

Siau-yau-sian-hong-kek berbisik, "Ingat, Bok-siauhiap nomor tiga. nona Oh nomor tujuh, setiba di sana jangan menyebut nama, cukup melaporkan nomor masing-masing."

Giam-lo-tian atau istana raja akhirat.

Setelah tiga kali suara genta dibunyikan, seluruh ruangan telah penuh dengan anggota Kui-ing-bun atau perguruan bayangan setan, baik berbaju putih maupun berbaju hitam.

Semuanya berbaris di kedua sisi ruangan dengan tenang dan khidmat, sementara sebelas orang berbaju putih berlutut di bawah dengan kepala tertunduk, mereka sedang menunggu keputusan sang Buccu. pimpinan perguruan.

Tiba-tiba berjenis tiga kali suara tambur, enam puluhan orang berbaju putih dan hitam itu serentak berlutut, tangan mereka menempel tanah, kepala tertunduk rendah. Bok Ji-sia dan Oh Keng-kiau mencampurkan diri di tengah orang-orang itu, meski enggan berbuat demikian, tapi demi merahasiakan jejaknya, terpaksa mereka ikut mendekam juga di tanah.

"Buncu tiba! " teriakan nyaring bergema di ruangan.

Diam-diam Ji-sia mengintip ke sana, tampak empat orang berkerudung dan berbaju merah mengiringi seorang berbaju ungu muncul dari pintu samping, meskipun mukanya berkerudung, namun sinar matanya sungguh menggidikkan.

Ji-sia berpikir, "Dilihat dari sorot matanya itu, jelas dia seorang bengis dan berhati busuk, sinar mata semacam itu seperti pernah kukenal "

Baru saja ingatan tersebut terlintas, tiba-tiba terdengar suara keras menggema pula, "Tarian indah menyambut Buncu!"

Buncu, orang berbaju ungu itu mengulapksn tangannya sambil berseru, "Tak usah, cepat bunyikan tambur dan membuka sidang!"

"Bunyikan tambur dan membuka sidang!" bentakan keras menggelegar meneruskan perintah itu.

Bunyi tambur segera menggema di dalam ruangan menggetar sukma, terutama kesebelas orang berbaju putih yang berlutut itu.

Kemudian sang Buncu lantas membentak, "Tiga belas setan bengis, kalian tahu salah tidak!?"

Ketiga belas setan bengis semula berjumlah tiga belas, oleh karena dua di antaranya tewas dalam Kiam-hong-ceng, maka kini tinggal sebelas orang.

"Tecu tahu salah!" kawanan manusia berbaju putih itu menjawab.

"Baik! Kalau begitu terimalah kematian!" Setelah berhenti sejenak, Buncu berseru pula, "Nomor tiga dan nomor tujuh, bunuh setan ini!"

Wah, celaka! Ji-sia dan Keng-kiau jadi serba susah, nomor tiga dan nomor tujuh tak lain adalah-nomor mereka berdua.

Sementara mereka merasa regu, Siau-yau-sian-hong-kek Ku Thian-gak lantas mengedipi mereka, maksudnya supaya mereka berbuat menurut perintah.

Terpaksa Ji-sia berdua maju ke muka, sahutnya dengan tenang, "Tecu terima perintah!"

Orang berbaju ungu itu meraba ke balik baju, tahu-tahu dua bilah pedang tajam dilolosnya, dengan lantang dia  berseru lagi, "Pedang mestika tiada taranya, gunakan darah menghormati leluhur!"

Ji-sia dan Keng-kiau menyambut pedang itu dan menghampiri kesebelas orang berbaju putih itu, pedang diangkat ka atas dan siap diayunkan ...

Tiba-tiba seseorang membentak, "Siapakah kalian berdua?" Ji-sia terkesiap, keluhnya dalam hati, "Wah, bisa runyam!"

Seketika suasana berubah, sementara Ku Thian-gak juga mengeluh. Begitu mendengar ketua Kui-ing-bun itu menegur Ji-sia berdua, sadarlah dia keadaan bakal runyam, jejak mereka sukar dirahasiakan lagi.

Setajam sembilu orang berbaju ungu itu menatap Ji-sia dan Keng-kiau seakan-akan berusaha menembus hati mereka.

Kemudian sambil tertawa seram tegurnya lagi, "Siapakah kalian berdua?"

Baik Ji-sia maupun Keng-kiau, kedua-keduanya merasa sulit lagi mengelabui ketua Kui-ing-bun ini.

Sementara itu segenap anggota Kui-ing-bun juga dibikin tercengang, dengan mata terbelalak mereka awasi kedua orang itu, mimpipun tak mereka sangka ada orang luar menyelundup ke dalam tubuh perkumpulan mereka.

Mendadak seorang maju ke depan dan berkata, "Buncu, kedua orang ini mungkin murid yang baru menggabungkan diri dan kurang paham peraturan."

"Omong kosong!!" bentak orang berbaju ungu, "nomor tiga dan nomor tujuh telah berbakti kepadaku jauh sebelum kau nomor tiga belas masuk kemari, mana mungkin mereka tidak mengerti peraturan perguruan, cepat mundur "

Ji-sia coba melirik orang itu, ternyata dia adalah Siau-yau- sian-hong-kek Ku Thian-gak, sadarlah pamuda ini bahwa rahasianya tak dapat dipertahankan lagi, dengan cepat dia kedipi rekannnya itu agar tidak banyak bicara

Diam-diam Ku Thian-gak mengeluh.

Orang berbaju ungu itu lantas mendengus, "Hm, setelah bertemu dengan Buncu, kenapa tidak berlutut untuk menerima kematian!"

"Kau bukan manusia berkepala tiga dan berlengan enam, kenapa aku harus berlutut padamu?" jengek Ji-sia.

Saking gusar orang berbaju ungu itu tergelak, "Hahaha,  bila Buncu tidak mencincang tubuhmu, percuma aku menjadi ketua perguruan!"

Setelah berhenti sejenak, segera bentaknja, "Tangkap mereka!"

Segenap anggota Kui-ing-bun yang berada di-sekeliling tempat serentak menubruk maju, semua jalan keluar tertutup, menyusul sesosok bayangan merah melayang tiba.

Selagi terapung di udara, dia membentak, "Dengarkan kedua anak jadah, kalian berani memasuki Giam-lo-tian, berani lagi menghina Buncu, biarlah aku Kui-ing-cuncia membereskan kalian!" Dengan jurus Ok-eng-pok-keh (elang buas menyambar ayam) dia menerkam ke arah Oh Keng-kiau.

Selama ini Keng-kiau tak bersuara, ketika dilihatnya Kui- ing-cuncia berbaju merah itu menerkam ke arahnya, sambil mendengus katanya, "Kalau kau bosan hidup, akan kukirim kau berangkat lebih dulu!"

Secepat kilat jari tangannya menutuk Kui-ing-cun-cia.

Bok Ji-sia kuatir Sumoaynya terlampau gegabah, cepat ia melompat maju, katanya, "Serahkan dia kepadaku!"

Pada saat Ji-sia menerjang maju inilah, tiba-tiba orang berbaju ungu tertawa, bayangan merah berkelebat, mendadak Kui-ing-cun-cia ditariknya dan dilempar ke luar.

Pada detik itu pula, telapak tangan kirinya menghajar ke dada Bok Ji-sia, sekaligus kakinya menendang jalan darah Ci- ji-hiat di tubuh Oh Keng kiau.

Dengan terkejut buru buru Keng-kiau merendahkan tubuhnya dan bergeser mundur.

Ji-sia mendengus, tangan menolak ke arah orang berbaju merah itu.

"Blang", benturan keras terjadi.

Tubuh orang berbaju ungu itu berguncang keras, sinar matanya yang tajam menjadi buram, dengan kaget ditatapnya Bok Ji-sia tanpa berkedip, katanya kemudian, "Lepaskan kain kerudung mukamu!"

Sssudah beradu pukulan, meski Ji-sia tidak sampai terluka, namun darah dalam dadanya bergolak keras, telinga mendenging, diam diam ia terkejut juga oleh kesempurnaan tenaga dalam musuh.

Dia mendengus, "Tidak perlu!" "Hm, belum pernah ada orang berani membantah perintahku!"

"Tapi tuan muda tidak terima caramu ini."

Orang itu sangat marah, kembali ia mendongak dan tertawa seram.

Tiba-tiba berkumandang bentakan nyaring, "Siapa kau?"

Tahu-tahu Oh Keng-kiau sudah berdiri dihadapan orang berbaju ungu itu sambil menudingnya.

Orang berbaju ungu itu tertegun, belum lagi pertanyaannya dijawab, tak tersangka orang lain malah bertanya kepadanya, dia tidak tahu bahwa gelak tertawanya telah memancing kecurigaan Keng-kiau ..

"Aku Kui-ing-buncu!" sahut orang itu dengan mata melotot. "Hm, kurasa bukan!"

Orang itu tambah murka, bentaknya, "Memangnya kau kira aku siapa?"

"Haha ... kau Oh ... "

"Tutup mulut!" sambil membentak orang berbaju ungu itu menyerang, telapak tangan kanannya terpentang mencengkeram dada si nona.

"Tak tahu malu!" maki Keng-kiau di dalam hati.

Padahal orang itu tidak tahu dia adalah seorang gadis, kalau tidak, betapa pun rendah orang itu juga tak nanti mencengkeram dada seorang nona.

Merah wajah Keng-kiau karena malu, meski wajahnya berkerudung, jantungnya toh berdebar, sambil membentak secara beruntun dia lancarkan dua belas kali pukulan berantai.

Tiba-tiba seorang membentak, "Kui-ing-cap-sah-sik!" Mendadak muncul tiga belas orang berbaju hitam, merah dan putih ke tengah arena, masieg-masing mengambil posisi yang berbeda dan mengurung Ji sia, Keng-kiau dan orang berbaju ungu itu,

Suatu ketika, orang berbaju ungu itu mendesak mundur Keng-kiau sejauh beberapa langkah, kemudian melompat keluar dari arena.

Sambil tertawa serunya. "Asal kalian mampus melawan Kui- ing-cap-sah-sik ini, segera Buncu akan memberi jalan hidup untuk kalian."

"Huh, jangankan baru tiga belas gerakan, sekalipun seratus tiga puluh geraksn juga boleh," jengek Ji-sia.

"Hehe, apa andalanmu sehingga berani bicara besar." "Hahaha, benda inilah yang kuandalkan!" Ji-sia, tertawa

terbahak-bahak.

Menyusul suara bergemerincing, tahu-tahu tangannya sudah bertambah sebuah ruyung panjang yang memancarkan sinar keemasan, itulah Jian-kim-si hun-pian yang menggetarkan dunia persilatan,

"Ah, kau Bok Ji sia!!" seru orang itu kaget.

Sambil melepaskan kain kerudungnya, Ji-sia bergelak tertawa, "Hahaha, sekarang baru kau tahu!"

"Kali ini jiwamu takkan kuampuni lagi!" seru orang berbaju ungu itu dengan sorot mata liar. Lalu bentaknya, "Lancarkan serangan!"

Diam-diam Siau-yau-sian-hong-kek Ku Thian-gak merasa gelisah, dia tak bisa mencegah pertarungan itu, iapun tak bisa membantu kedua orang, saking tegangnya tanpa sadar dia maju dua langkah-

Ia telah mengambil keputusan, jika keadaan terpaksa, maka ia akan tampil untuk memberi bantuan. Sementara itu ketiga belas orang telah menghimpun tenaga dan mengawasi kedua orang muda di tengah arena.

Sudah lama Ji-sia mendengar kelihaian Kui-ing-cap-sah-sik, tiba-tiba ia berpaling dan memandang Oh Keng-kiau, tanyanya, "Kau sudah siap?"

Keng-kiau tersenyum, "Jangan kuatir, aku yakin dapat mengatasi lawan!"

Tiba-tiba bergema bentakan, "Kui-ing-liu-iang (bayangan setan meninggalkan bekas)!"

Itulah jurus permulaan dari Kui-ing-cap-sah-sik, begitu jurus serangan ini dilancarkan, menyusul lantas Kui-ing-soh- hun (bayangan setan membelenggu sukma), Kui-jiau-cun- bong (cakar setan menghilangkan impian indah), Ngo-kui peng-yu (ilmu setan bersedih hati) dan seterusnya. Yang hebat adalah serangan itu mengindung racun, bila tersentuh akan tewas, karena pada kuku ketiga belas orang itu mengandung racun jahat.

Menurut perkiraan Ji-sia, ketiga belas orang itu pasti akan segera melancarkan serangan, siapa tahu mereka hanya mengangkat telapak tangan di depan dada dengan jari terpentang,

Pikir Ji-sia, "Jurus serangan begini mana bisa melukai orang

.... "

Belum lenyap pikiran tersebut, tiba-tiba terasa seluruh badan kedinginan, darah dalam tubuh terasa beku.

Terdengar Keng-kiau berseru, "Cepat tutup Hiat-to dan tahan napas!"

Buru-buru dia mengikuti petunjuk itu, namun dia masih sempat merasakan hawa dingin yang menusuk tulang.

Keng-kiau mendesis pula, "Sebelum jurus ketiga mereka lancarkan, kita harus menggunakan waktu paling singkat untuk menghantam sebelah kiri, terjang titik terlemah mereka, jangan sampai jurus serangan lain sempat dilancarkan, kalau tidak, meski tidak terluka juga akan mati keracunan "

Dengan tenang Ji-sia mendengarkan penjelasan itu, diam- diam ia heran dari mana Oh Keng-kiau menguasai pengetahuan itu. bahkan tidak mengunjuk rasa gentar sedikitpun.

Ia tidak tahu Go Keng-kisu telah mempelajari kitab pusaka Kim-teng Cinjin, meski tensga dalamnya tidak sekuat Ji-sia, tapi soal pengetahuan ilmu silat sudah jauh melebihi jago lihai mana pun.

Perlu diketahui isi kitab pusaka Kim-teng Cinjin mencakup intisari ilmu silat dari berbagai aliran di dunia ini, di antaraaya termasuk pula cara mematahkan Kui-ing-cap-sah-sik tersebut.

Sekalipun ketiga belas orang itu hanya angkat tangannya di depan dada dengan jari terpentang, tapi dari ujung jari mereka justeru terpancar desing angin tajam.

Terkejut orang berbaju ungu itu melihat jurus pertama Kui- ing-cap-sah-sik tak berhasil merobohkan kedua lawan, malahan seakan-akan tidak terjadi sesuatu apa pun. Mau-tak- mau pandangannya terhadap kesempurnaan tenaga dalam Bok Ji-sia timbul penilaian baru.

"Kui-ing-soh-hun!" segera bentaknya lagi.

Mengikuti bentakan itu, ketiga belas orang Kui-ing-bun lantas menarik kembali telapak tangan kanannya,  lalu berputar mengitari Bok Ji-sia dan Oh Keng-kiau, seakan-akan hendak menyesatkan pandangan musuh.

Ji-sia segera memandang ke arah Oh Keng-kiau, bisiknya, "Boleh terjang sekarang?"

"Tunggu sampai gerakan mereka berhenti!" desis si nona. Betul juga, dari gerak putar yang cepat, ko-tiga belas orang Kui-ing-bun itu melambatkan gerakannya, kemudian seperti akan berhenti.

Menyusul telapak tangan mereka pelahan diangkat lagi ke atas ....

Pada detik itulah, Ji-sia membentak, "Terjang!"

Dia menubruk ke depan, sekaligus ia menyerang dua orang Kui-ing-bun di sisi kiri.

Keng-kiau juga membentak, telapak tangannya menghantam ke depan.

Padahal waktu itu gerakan kawanan jago Kui-ing-bun baru saja berhenti, serangan lain belum sempat dilancarkan, melihat kedua orang itu menerjang tiba, serentak mereka membentak dan menubruk pula ke depan.

Seketika barisan Kui-ing-cap-sah-sik tersebut tidak semantap tadi lagi, kekuatannya jauh berkurang, apalagi di bawah tekanan Bok Ji-sia yang hebat.

Sekali Ji-sia membentak, seorang berbaju putih di sebelah kiri terkena pukulan dan mencelat.

Keng-kiau tak mau kalah, iapun membentak dan menghantam, dalam waktu singkat barisan Ku-ing-cap-sah-sik terpatahkan, kawanan jago Kui-ing-bun jadi ketakutan.

Orang berbaju ungu itu terkejut sekali, bentaknya marah, "Manusia tak berguna! Maju semuanya!"

Seketika bayangan berkelebat, angin pukulan menderu, segenap jago Kui-ing-bun yang hadir sama menerjang maju dan mengepung Ji-sia berdua.

"Tahan!!" mendadak seorang membentak. Sesosok bayangan hitam melayang masuk ruang Giam-lo- tian, dari atas meja ia menodongkan sebuah tabung hitam ke bawah.

Ji-sia berpaling, ternyata orang berbaju hitam yang berada di atas meja itu adalah Siau-yau-sian-hong-kek Ku Thian-gak, ia sedang mengawasi arena dengan kereng.

"Nomor tiga belas, kau hendak memberontak!" bentak orang berbaju ungu.

Ku Thian-gak mendengus, "Diam, goblok, kau-kira aku anak buahmu?"

Tertegun orang berbaju ungu itu, pikirnya, "Aneh, dari logat bicaranya dia bukan nomor tiga balas. Lantas siapakah dia? Apakah di antara yang hadir ini terdapat orang luar?"

Berpikir demikian, dia lantas membentak pula, "Kalau bukan anak buahku, lantas siapa kau?"

"Hahaha, kau ingin tahu?" habis berkata, segera ia melepaskan kain kerudung mukanya.

Orang berbaju ungu itu bsrseru kaget, mimpi pun dia tak menyangka nomor tiga belas yang sangat setia kepadanya itu sudah menemui ajalnya dan sekarang telah berganti orang lain.

"Ku Thian-gak, kiranya kau!" teriaknya. Sementara itu Keng-kiau sedang menarik tangan Ji-sia sambil berbisik, "Suheng. kutahu siapa Buncu Kui-ing-bun ini"

"Siapa?" tenya Ji-sia.

"Sebentar kau akan tahu sendiri!" desis si nona sambil mengedipkan matanya.

Waktu itu, berhubung kemunculan Ku Thian-gak, maka pengawasan kawanan jago Kui-ing-bun terhadap Bok Ji-sia berdua menjadi berkurang, itulah sebabnya meski mereka berbisik-bisik, tak seorangpun yang menaruh perhatian. Dalam pada itu Ku Thian-gak sedang tertawa terbahak- bahak. "Hahaha, kalau sudah tahu aku Ku Thian-gak, beranikah kau bertarung melawanku?" tantangnya.

Sambil berkata, tabung hitam itu sengaja diayunkan ke udara dengan sikap menggertak.

"Benda apakah itu?" tanpa terasa orang berbaju ungu itu menegur.

"Obat peledak!" jawab Ku Thian-gak.

Kaget orang itu, dia sadar keadaan tidak menguntungkan, apalagi melihat anak buahnya juga sama panik.

Dia memandang sekejap anak buahnya, kemudian katanya, "Perguruan kami yakin tak pernah mengikat permusuhan dengan kalian, kenapa kalian. "

"Utang darah sedalam lautan, kenapa kau bilang kita tak ada permusuhan?" dengus Ku Thian-gak dengan wajah dingin.

"Hei, apa maksudmu?" orang berbaju ungu itu melengak.

"Haha, masa bsgitu cepat kau lupakan perbuatanmu?" "Kuharap kau bicara lebih jelas!" seru orang itu dengan

ragu.

"Baik," seru Ku Thian-gak dengan gusar, "Akan kuberitahukan kepadamu sejelasnya, kau tahu aku berasal dari aliran mana?"

Dengan bingung orang itu menyahut, "Semua orang tahu kau berasal dan Siau-lim "

Ji-sia terkesiap, pikirnya, "Kalau Ku-cianpwe berasal dari Siau-lim-pai, kenapa dia menjadi anggota perguruan lencana tembaga? Tak heran di antara jurus serangannya banyak terdapat gerakan aneh."

Dengan gemas Ku Thian-gak menjawab, "Walaupun aku berasal dari Siau-lim, namun kepandaianku meliputi delapan aliran, aku ingin tanya padamu, apa sebab kematian kedelapan Ciangbunjin angkatan yang lalu?"

"Apa sangkut pautnya denganku?"

"Hehe, masa tak ada sangkut-pautnya denganmu? Mereka berdelapan lenyap bersama, kemudian oleh Bok-siauhiap ditemukan kedelapan Ciangbunjin itu ternyata disekap sampai mati dalam Thian-seng-po. "

Orang berbaju ungu terkesiap, tiba-tiba sekujur badannya bergemetar, pikirnya, "Ternyata Ku Thian-gak telah mengetahui semua ini, siapakah diriku mungkin diketahui pula olehnya, meski aku tidak takut kepadanya, tapi bukan pekerjaan mudah untuk melenyapkan orang ini."

Dengan gusar dia lantas mendengus, "Antara Thian-seng- po dengan Kui-ing-bun tak ada sangkut pautnya, kau tidak pergi ke Thian-seng-po, mau apa kau bikin onar di sini? Jangan kau kira Kui-ing-bun boleh dipermainkan!!"

Menyinggung peristiwa tragis di Thian-seng-po tempo hari, amarsh Ji-sia berkorbar, dengan mata kepala sendiri ia menyaksikan keadaan kedelapan Ciangbunjin yang mengenaskan itu menjelang ajalnya.

Dia tak mengira Ku Thian-gak tak pernah melupakan kejadian itu, siang malam melakukan penyelidikan, pantas dia menyusup ke sini.

Jadi orang berbaju ungu ini pasti biang keladinya, umpama bukan biang keladinya, paling tidak pasti terlibat langsung dalam peristiwa tersebut, kalau tidak, Ku Thian-gak takkan berkata demikian.

Dengan perasaan sedih bercampur merah Ku Thian-gak berteriak, "Tampaknya antara Thian-seng-po dan Kui-ing-bun tiada sangkut-pautnya, tapi kenyataan justeru merupakan satu wadah yang sama, kalian dua bersaudara bersekongkol secara diam-diam, di luar berlagak tidak akur, agar orang mengira kalian berdua memang menempuh jalan yang berbeda ... Hmm, kau kira aku tak tahu?"

Orang berbaju ungu itu terkesiap, tiba-tiba bentaknya, "Tangkap bangsat itu!"

Serentak kawanan jago Kui-ing-bun menerjang maju dan menyerang Ku Thian-gak.

Cepat Ji-sia putar ruyung emasnya, bentaknya, "Barang siapa berani maju, akan kusuruh dia terkapar bermandikan darah!"

"Hahaha, jangan kuatir Bok lote," seru Ku Thian-gak sambil tergelak, "Biarkan mereka maju!"

Segera bahan peledak berwarna hitam diayun-ayunkan hingga membentuk bayangan hitam di angkasa.

Dengan perasaan ngeri serentak kawanan jago Kui-ing-bun melompat mundur;

Tiba-tiba sesosok bayangan hitam meluncur ke depan, secepat kilat menerjang ke arah orang berbaju ungu, sekali tangannya meraih, orang berbaju ungu itu berteriak kaget, "Keparat, kau berani?"

Wajahnya terasa dingin, tahu-tahu kain kerudung mukanya sudah terlepas,

Sementara itu Keng-kiau telah memegang kain kerudung rampasannya dan berseru, "Kau, paman!?"

Peristiwa ini benar-benar di luar dugaan siapa-pun, semua orang tidak menyangka Kui-ing-buncu sesungguhnya adalah Thian-kang-kiam Oh Ku-gwat, sudah barang tentu hanya Ku Thian gak saja yang telah menduganya.

Sementara itu suasana dalam ruangan menjadi gempar, para jago Kui-ing-bun sempat melihat wajah asli Buncunya, serentak mereka berlutut sambil berseru, "Buncu, ampuni dosa kami!" Perlu diketahui, sejak didirikannya Kui-ing-bun sudah berlaku peraturan yang tidak tertulis, yakni barang siapa melihat wajah sang Buncu, maka dia harus bunuh diri sebagai penghormatan terhadap kesucian seng Buncu.

Dalam waktu singkat, suara raungan berkumandang di

«ana-sini, para jago Kui-ing-bun sama roboh terkapar dan tak berkutik lagi, kiranya mereka selah memutuskan urat nadi sendiri.

Padahal saat ini Oh Ku-gwat sangat membutuhkan orang, menyaksikan hal itu ia terkesiap.

"Kalian tidak berdosa!" cepat teriaknya.

Sayang terlambat, ada sepertiga jago Kui-ing bun yang telah bunuh diri, dengan sedih dan sakit hati Oh Ku-gwat melototi Oh Keng-kiau.

Sementara itu, setelah Ji-sia tahu orang itu adalah Thian- kang-kiam Oh Ku-gwat, tiba-tiba adegan kematian ibu gurunya yang tragis terbayang dalam benaknya, seolah-olah menyaksikan Se-to-sian-ki sedang mengerang menentang maut sambil meneriakkan nama iblis pembunuh itu dan menitahkan kepadanya untuk membalaskan dendamnya ....

Makin dibayangkan semakin gusar, akhirnya bentaknya, "Oh-lotoa, hari ini jiwamu tak bisa diampuni lagi!"

Thian-kang-kiam Oh Ku-gwat tertawa dingin, "Hehe, kau pun berlagak'.*"

Tiba-tiba Ku Thian-gak melompat ke depan dan berseru, "Bok-siauhiap, harap mundur, aku mempunyai dendam kesumat yang tiada taranya dengan manusia laknat ini, dia penyebab kematian kedelapan ketua perguruan besar, hendak kubalaskan sakit hati mereka."

"Tidak bisa," seru Keng-kiau sambil maju ke depan, "dendam kesumat ibuku harus kutuntut dulu." Diam-diam Thian-kang-kiam Oh Ku-gwat mengeluh menyaksikan ketiga lawan tangguh datang bersama menuntut balas pedanya, biji matanya berputar dan iapun mendapat akal, ia pikir ketiga orang ini sama membenciku sampai merasuk tulang, betapapun sulit kulayani mereka sekaligus? Jalan terbaik sekarang adalah cepat meloloskan diri, paling baik lagi kalau bisa membujuk anak Kiau.

Maka dengan tersenyum ia lantas barkata, "Keng-kiau, mana boleh kau bicara demikian kepada paman?"

Keng-kiau segera melepaskan kerudung wajahnya, dengan air mata bercucuran katanya, "Hubungan kita telah putus, aku tidak mengakui kau sebagai paman lagi, dan kaupun tak perlu mengakui aku sebagai keponakan perempuanmu, sakit hati ayahku lebih dalam daripada lautan, aib ibuku juga tak bisa dibiarkan, setelah kutahu siapa orang tuaku, berarti dendam mereka berada di atas bahuku. Bda kau ingat hubungan aatara paman dan keponakan, tentu takkan kau bikin  sengsara ayahku, lebih tak mungkin kau permainkan ibuku

...."

Makin bicara hatinya makin panas, akhirnya air mata bercucuran pula dengan derasnya.

Ji-sia coba menghiburnya, "Sumoay, jangan sedih, akan kubalaskan dendam kematian Suhu!"

Selesai berkata, ia terus melambung ke udara, ruyung emas berputar, selapis cahaya emas diikuti desing tajam menyambar musuh.

Terkesiap Oh Ku-gwat, cepat dia merendahkan badan sambil bergeser ke samping.

Tapi begitu bergerak tiba-tiba ia merasakan gelagat tidak beres, terasa angin tajam menyambar dari belakang kepalanya, nyata menyayat kulit kepalanya. Dengan air muka berubah hardiknya, "Orang she Bok, apa kau cari mampus!?"

"Hehehe, Oh Ku-gwat jangan harap bisa lolos malam ini!"

Pada saat itulah mendadak bergema suara tertawa nyaring dari kejauhan, tapi sebentar kemudian sudah mendekat.

Bersama dengan menggemanya suara tertawa itu, suasana dalam ruang Giam-lo-tian menjadi tegang, Ji-sia terkejut.

Tak lama kemudian, dari balik kegelapan tana muncul tiga orang gadis, tertampak si nona berbaju biru yang berkerudung itu dengan membawa kedua Pek bersaudara muncul di situ, lalu mengangguk kepada Bok Ji-sia.

"Nona, kenapa kaupun sampai di sini?" sapa Oh Ku gwat dengan perasaan agak tenang.

"Memangnya aku tak boleh kemari?" sahut nona itu ketus.

Oh Ku-gwat tertawa, "Ah, mana, ingin menyambut saja tak sempat."

Mendadak si nona berbaju biru membentak "Ku Thian-gak, nyalimu kian lama kian bertambah besar!"

Siau-yau-sian-hong-kek Ku Thian-gak adalah seorang lelaki sejati dan berjiwa sekeras baja, selama hidup belum pernah takut kepada siapa pun, namun terhadap nona berbaju biru berkerudung ini ia mengunjuk rasa jeri.

"Nona, apa maksudmu?" sahutnya dengan tertawa getir. "Salahkah    ucapanku?    Hm,    bukan    saja    kau berani

menentang   aku,   juga   berani   merebut   kembali   lencana

tembaga itu, kau anggap tanpa lencana tembaga itu aku tak mampu menaklukkan dirimu?"

Air muka Ku Thian-gak berubah, segera kepalanya tertunduk dan tak bicara lagi. Tak tega Ji-sia menyaksikan kejadian ini, ia maju ke depan, bentaknya, "Berdasar apa kau berani bersikap begitu garang terhadap orang lain "

"Kau ingin mampus?" dengus si nona.

Keng-kiau juga merasa tak senang menyaksikan gadis berkerudung itu bersikap kasar kepada Suhengnya, ia maju ke depan dan menuding gadis berbaju biru itu, teriaknya, "Besar amat nyalimu, berani bersikap kasar kepada Suhengku."

Nona berbaju biru itu menjengek, "Dalam hal apa perlu kuhormati dia?"

Saking gemasnya Ji-sia tertawa seram, telapak tangan kanannya segera menampar si nona berbaju biru itu dengan garang.

"Kau berani!" bentak, kedua Pek bersaudara sambil maju mengadang.

Nona baju biru itu mendengus; "Tak apa, masa dia berani menyentuhku!"

Betul juga, mendadak Ji-sia berubah pikiran dan menarik kembali tangannya, katanya, "Aku tak mau berurusan denganmu!"

"Hm, siapa pula yang sudi menggubris dirimu!"  jengek nona baju biru itu.

Mendadak terdengar bentakan keras, "Bangsat tua, hendak kabur ke mana!"

Tampak Ku Thian-gak menubruk ke sana dan melepaskan pukulan ke arah Thian-seng-kiam Oh Ku-gwat.

Baju saja Oh Ku-gwat ingin kabur, tapi segera diketahui oleh Ku Thian-gak, sadarlah dia bahwa sulit buginya untuk meloloskan diri. Maka ketika angin pukulan Ku Thian-gak yang dahsyat menyambar tiba, terpaksa ia sambut dengan pukulan dahsyat.

"Blang", benturan terjadi dan bumi serasa berguncang.

Sambil bergerak ke depan, kembali Ku Thian-gak membentak, "Sambut lagi pukulanku!"

"Biar kuadu jiwa denganmu!" teriak Oh Ku-gwat dengan kalap,

"Blang", terjadi adu pukulan terlebih keras hingga ruang Giam-lo-tian bergoncang keras.

"Uak!" Oh Ku-gwat tumpah darah, badan sempoyongan, sebaliknya Ku Thian gak sendiri pun tidak lebih baik keadaannya, pucat wajahnya.

Pada suat itulah Bok Ji-sia mendongak kepala dan tertawa keras, serunya, "Oh-lotoa, hari ini tentunya kau tak bisa berkata apa apa lagi bukan!"

"Jangan sentuh dia!" mendadak bergema bentakan nyaring Ji-sia melirik si nona berbaju biru sekejap, lalu mendengus, "Hm, lebih baik jangan kau campur urusanku."

"Kubilang jangan sentuh dia," ujar si nona berbaju biru dengan tenang.

Ucapan kereng dan berwibawa, membuat orang merasa tak berani menentangnya, tapi Ji-sia adalah pemuda angkuh, mana ia tak mau menurut.

"Benarkah kau begitu lihai?" dia mengejek.

Nona berbaju biru itu tertawa, "Kalau tidak percaya, silakan coba sendiri!"

Ji-sia tak menggubrisnya, dengan langkah lebar dia mendekati Oh Ku gwat. Rasa takut timbul pada wajah Oh Ku gwat, sinar mata minta belas kasihan tiada hentinya dikirim ke arah si nona berbaju biru.

"Bunuh dia, bunuh dia!" teriak Ku Thian-gak.

Oh Ku-gwat berpaling dan berkata dengan napas tersengal, "Orang she Ku, utang piutang kita berdua takkan beres selamanya!".

Rasa benci terpancar dari matanya, namun juga menampilkan rasa kecewa, karena nona berbaju biru sama sekali tak ada tanda akan mengalangi tindakan Bok Ji-sia.

Selama hidup baru kali ini dia merasakan siksa dari batin, diam-diam ia menghela napas, pikirnya, "Asal aku diberi waktu sedikit saja pasti aku dapat meloloskan diri dari musibah ini!"

Pada saat itulah, tiba2 terdengar nona berbaju biru tertawa terkekeh-kekeh dan menegur, "Bok Ji-sia, mana kitab pusaka kami?"

Ji-sia tertegun, ia tidak menyangka sekarang si nona bisa mengajukan persoalan itu. "Hilang!!" sahutnya.

"Hm, masa hilang? Mungkin kau gelapkan sendiri!"

Ji-sia menjadi gusar, ia membentak, "Jangan memfitnah orang semau sendiri!"

Nona berbaju biru itu memang banyak tipu akalnya, ia tahu Ji-sia adalah seorang yang suka lunak dan tidak doyan kekerasan, maka ia bergirang orang sudah terjebak.

"Kalau begitu, serahkan kepadaku!" serunya dingin.

Ji-sia tak mengira kitab itu akan dituntut kembali sekarang, ia menjadi bingung dan tak tahu bagaimana mesti menjawab.

Tapi segera ia berkata, "Kuyakin sanggup mencari kembali kitab yang hilang itu!" "Kau bilang apa? Benar hilang?" nona itu pura-pura terperanjat.

Padahal ia tahu jelas duduknya persoalan, cuma dia sengaja hendak mempermainkan Bok Ji-sia.

Sedih Bok Ji-sia, katanya kemudian, "Kubilang buku itu sudah hilang!"

"Lantas cara bagaimana pertanggungan jawabmu?"

Ji-sia tak bisa bicara, setelah berpikir sekian lama baru menjawab, "Akan kuganti dengan nyawaku!"

"Baik, kalau begitu serahkan nyawamu!" tukas nona itu cepat.

Ji-sia merasakan gelagat tidak baik, diam-diam ia mengakui kelihaian gadis itu, pantas tadi ia bilang bisa membuatnya mati.

"Tak bisa kuserahkan sekarang," sahutnya kemudian.

"Hei, kenapa kau tak tahu aturan? Masa nyawa orang kau jadikan permainan?" Keng-kiau membentak dengan gusar.

Nona berbaju biru itu tidak menggubrisnya, malah katanya kepada Oh Ku-gwat, "Cepat pergi, tak ada orang berani mengalangi dirimu!"

Oh Ku-gwat tertawa terima kasih, bisiknya, "Akan kuingat budi kebaikan ini."

Sekarang ia tak perlu kuatir lagi, dia tahu Bok Ji-sia sudah jatuh dalam jebakan nona berbaju biru itu, dengan hati lega dia berlalu dari situ.

"Nona Oh, tak boleh kau lepaskan dia!" tiba-tiba Ku Thian- gak membentak.

Keng-kiau segera melepaskan dua kali pukulan memaksa Oh Ku-gwat mundur kembali ke tempat semula. Waktu itu Oh Ku-gwat sudah terluka parah, ia tak berani menyambut serangan itu dengan kekerasan, terpaksa ia menyurut mundur.

"Keponakanku, masa kau jadi durhaka kepada orang tua?" tanya Oh Ku-gwat.

"Aku berbakti atau tidak, hanya Thian yang tahu" jawab Keng-kiau tegas.

Perlu diketahui, meskipun Oh Keng-kiau dibesarkan dalam Thian seng-po, namun segala sesuatu tiada berperasaan apa- apa terhadap Oh Ku-gwat, dahulu ia tidak tahu asal-usulnya, maka terhadap Oh Ku-gwat, ia menghormatinya sebagai paman, tapi setelah tahu ayah ibunya tewas di tangan Thian- seng-kiam Oh Ku-gwat dan Seng-gwat kiam Oh Kay-thian. semua budi yang pernah diterimanya seketika lenyap, dia hanya ingat pada dendam kesumat dan lupa akan hubungan antara paman dan keponakan.

Sementara itu, si nona berbaju biru itu sedang melotot gusar pada Ku Thian gak, katanya, "Ku Thian-gak, bila ingin turun tangan, lebih baik maju sendiri, kenapa menyuruh seorang anak perempuan untuk mengantar kematian!"

Meski dicaci maki, Ku Thian-gak sama sekali tidak memberi reaksi apa-apa.

Rupanya dalam bentrokan melawan Oh Ku-gwat tadi, tiba- tiba tenaga sukar dihimpun, jangankan bertarung lagi, untuk mengangkat tangan saja tak kuat, rupanya secara diam-diam ia terkena serangan maut Kui-ing-cap-sah-sik.

Si nona berbaju biru lantas berkata lagi kepada Bok Ji-sia, "Bila kau berat hati untuk mati, ayo panggil kembali Sumoaymu!"

Ji-sia jadi serba susah, ia pernah berjanji kepada gadis itu bila gagal mengantar Hek liong kang-ki-su kepada Hek-liong Lojin, maka dia bersedia mati sebagai ganti kitab itu. Sekarang orang menagih janjinya, ia sendiri tak sanggup menyerahkan kitab tersebut, karena itu dia berkeputusan lebih baik mati saja daripada dicap sebagai manusia yang ingkar janji.

Setelah menghela napas, desisnya, "Aku lebih suka mati saja di hadapanmu!"

Ia tersenyum pedih dan memandang sekejap ruyung emas Jian kim-si hun-pian di tangannya, ia mendongak dan menghela napas panjang, ia memutuskan akan membunuh diri. Baginya kematian memang tidak menjadi soal.

Tiba-tiba Oh Keng-kiau memburu ke sisi Ji-sia, serunya, "Suheng, apakah kau tunduk padanya?"

"Tidak, aku hanya meluluskan permintaannya untuk mati!" jawab Ji-sia sambil tersenyum getir.

"Suheng, kau tak boleh mati," bisik Keng kiau dengan air mata bercucuran, "Jika kau berbuat demikian, Subo pasti tak tenteram di alam baka"

"Kalau aku tidak mati, apakah dia harus bebas?" kata Ji-sia sambil menuding Oh Ku-gwat.

"Untuk sementara kita ampuni jiwanya, anggap saja sebagai balas budiku kepadanya"

"Tidak, jika setiap kali perempuan itu selalu mengacau, maka selama hidup kita tak dapat membalas dendam. Ai, sungguh kubenci diriku sendiri."

"Bencimu padaku tentu sungguhan bukan?" nona berkerudung biru itu menambahkan sambi berkedip.

Sementara itu Oh Ku-gwat tahu dirinya nyaris mampus, maka diam-diam ia hendak ngeluyur pergi.. "Oh-lotoa. berhenti!" tiba-tiba Ji-sia membentak.

"Kau benar-benar tidak sayang jiwamu lagi?" si nona berbaju biru segera mengadang ke depan Dengan benci Ji-sia menjawab, "Sekalipun aku sanggup mati, nsmun tidak pernah menyanggupi agar tidak membunuhnya."

Dari ucapannya Keng-kiau tahu Ji-sia bertekad untuk mati, dia terperanjat, buru-buru ditariknya lengan Ji-sia sembari berseru, "Suheng, jangan..."

Nona berbaju biru tertawa dingin, ia memberi tanda agar Oh Ku-gwat pergi dari situ.

Tentu saja Ji-sia tidak tahu si nona berbaju biru itu ada maksud menarik Thian-seng-po ke pihaknya untuk memusuhinya.

Mendadak dari luar Giam-in-thian bergema suara bentakan gusar, "Penipu, penipu, kembalikan muridku!"

Lenyap suara itu, mendadak berkelebat masuk sesosok bayangan hitam, sambil menuding Bok Ji-sia lantas mencaci maki, "Kau .... kau penipu, penipu orang perempuan, penggaet anak gadis orang ..."

Mula-mula Ji-sia bingung, dia tak tahu dari mana  datangnya bencana tersebut, karena malam gelap hingga sukar melihat jelas raut wajah orang.

Tapi setelah dekat, dia berseru tertahan, "O, kiranya Bwe- locianpwe!"

Ternyata orang ini ialah Han-bwe-koksu, Bwe-hiang-sian-ki, yakni guru Tong Yong-ling.

Sejak Tong Yong-ling meninggalkannya, ia merasakan hal itu sebagai suatu pukulan batin, tidur tak tenang, makan tak enak, hampir setiap saat memikirkan Bwe-hoa-sian-kiam Tong Yong-ling, oleh karena pengkhianatan Tong Yong-ling disebabkan oleh Oh Keng-kiau, maka tanpa terasa iapun membenci Bok Ji-sia. Sekarang demi menemukan Bok Ji-sia di sini, giginya gemertuk saking geramnya. Dengan mata merah dan kepalan tergenggam kencang ia menghampiri Ji-sia.

Ji-sia terkesiap, serunya, "Locianpwe, dinginkan dulu pikiranmu!"

"Hehe, kau penipu orang perempuan bukan?" teriak Bwe- hian-sian-ki pula.

Ji-sia menggeleng, "Belum pernah kulakukan perbuatan seperti itu, mana mungkin "

"Jika kau bukan penipu, mengapa muridku minggat dari sisiku ...?" teriak Bwe-hiang-sian-ki, "mengapa pula dia lari ke sana kemari bersamamu daripada menemani aku? Kalau kau tidak menipunya, mana bisa dia berbuat begini?"

Ji-sia tak dapat membantah, mukanya merah dan matanya memancarkan sinar kegusaran, serunya dengan tergagap, "Kau ... kau ngaco belo!" Melihat pemuda itu malu, si nona berbaju biru tertawa cekikikan, ejeknya, "Dia bukan saja penipu, malahan seorang ahli perayu perempuan, hanya suka pada yang baru dan jemu pada yang lama!"

Dengan gusar Keng-kiau maju ke depan, bentaknya, "Mengapa usil mulut?"

Segera Pek Sat mengadang di depannya, katanya, "Kau budak liar ini jangan ikut urusan."

"Kau sendiri budak liar!" hardik Keng-kiau gusar.

Mendadak ia melancarkan serangan aneh, tampaknya mencengkeram dari depan, tahu-tahu tangan membalik dan menyambar dari samping.

Meski Pek Sat adalah dayang didikan Hek-liong Lojin, namun ia tak kenal kedahsyatan jurus serangan itu. Dia malah mengejek, "Huh, tak lebih cuma begini saja " Siapa tahu, belum selesai ia berkata, mendadak ia menjerit kaget, punggungnya tahu-tahu sudah dicengkeram orang dan diangkat ke atas, seketika itu juga keseimbangan badannya hilang.

"Lepaskan aku!!" bentaknya dengan muka merah.

Ia berusaha meronta dengan sepenuh tenaga namun gagal untuk melepaskan diri dari cengkeraman Oh Keng-kiau.

Sambil tertawa dingin Keng-kiau mengancam, "Apakah kau minta kubanting mampus dirimu!"

Mendadak Pek Bi melompat maju, bentaknya-"Lepaskan dia!"

"Kau-pun ingin coba?" ejek Keng-kiau sambil  membawa Pek Sat mengelilingi arena satu kali.

Dalam keadaan begini, Pek Bi tak berani turun tangan dengan gegabah.

Melihat semua itu, diam-diam dia gelisah sekali. Ia menengok ke sana dengan harapan si nona berbaju biru itu akan memberi kisikan kepadanya cara menolong, siapa tahu nona berbaju biru itu tetap tunduk kepala dan asyik berpikir seperti seorang pendeta yang sedang bersemadi, seakan-akan kejadian itu sama sekali tak diketahuinya.

Akhirnya Pek Bi tak tahan, teriaknya, "Biar nonamu menghadapimu!"

Dia menerjang ke arah Oh Keng-kiau, telapak tangan kanan memukul sementara tangan kiri mencengkeram dada lawan.

Keng-kiau tertawa dingin, mendadak ia mengegos dengan enteng, dengan begitu Pek Bi menubruk tempat kosong.

Mendadak nona berbaju biru itu berseru, "Pukul Ki-ciap, sodok Siau-im!" Waktu itu Pek Moay sedang kesulitan, mendengar seruan tersebut, semangatnya segera berkobar, segera ia lakukan petunjuk itu.

Keng-kiau terkesiap, ia tak berani meremehkan lawan lagi, tangan segera diangkat ke atas sambil membentak, "Pergi!"

Jeritan kaget bergema, tubuh Pek Sat melayang ke udara, meluncur ke atas Giam-in-thian.

Untung saja tenaga dalam Pek Sat lumayan, begitu terlepas dari tangan Oh Keng-kiau, buru-buru dia menekuk pinggang, ketika badannya hampir menyentuh atap rumah, tangannya segera menggaet emper rumah. Coba meleset sedikit saja niscaya batok kepalanya terbentur hancur.

Melihat Keng-kiau melemparkan tubuh cicinya ke udara, tanpa terasa Pek Bi menjerit kaget, tanpa menggubris kelihaian orang, ia menerjang maju

"Kaupun pergi saja!" bentak Keng-kiau.

Dengan jurus yang sama dia melemparkan tubuh Pek Bi ke udara.

Dengan perasaan dingin Pek Bi memejamkan, mata dau menanti kematian, untung deri atas rumah menyambar tiba sebuah tangan yang mencengkeram tubuhnya,

Terdengar Pek Sat mendesis, "Adikku, jangan takut!"

Mencorong sinar mata nona berbaju biru itu, terdengar ia berseru lantang, "Hebat sekali kepandaian nona, kau telah memberi pelajaran kepada kedua orang dayangku!"

"Ah, cuma hadiah kecil, tidak seberapa!" jawab Keng kiau.

Dia lantas bergeser mendekati Bok Ji-sia dan tidak memperdulikan legi si nona berbaju biru. Sementara itu Bwe-hiang-tian-ki gusar sekali karena Bok Ji- sia bersikap kasar padanya, bentaknya penuh benci, "Anak keparat, kau terlalu!!"

Setelah beradu kekerasan dengan Thian-kang-kiam Oh Ku- gwat tadi sehingga menyebabkan darah di dadanya bergolak, Ku Thian-gak tak berbicara lagi, waktu itu dia sudah selesai bersemadi, maka ia maju dan berkata "Nenek tua, kalau muridmu hilang, tak bisa kau salahkan Bok-siauhiap!"

Bwe-hiang-sian-ki tertawa getir, katanya, "Ku Thian-gak, lebih baik kau berdiri saja di situ, jangan kau anggap sedikit kepandaiaumu itu bisa menakuti orang."

"Haha, bagus! Kalau begitu akan kuminta pelajaran Bwe- sat-ciang yang tersohor itu!"

Telapak tangannya disilangkan di depan dada dan siap menunggu serangan Bwe-hiang-sian-ki, gaya semacam itu adalah gerak pembukaan Lo-han-kun aliran Siau-lim.

Ji-sia menjura kepada Ku Thian-gak, katanya "Cianpwe harap mundur, urusanku biar kuselesaikan sendiri, apalagi ia sudah datang mencariku, aku tak ingin merepotkan kalan."

"Tunggu dulu," tiba-tica Bwe-hiang-sian-ki berubah sikap, "aku harus memberi hajaran dulu kepada tua bangka ini, kemudian membuat perhitungan denganmu."

-dw-

Dapatkah Bok Ji-sia dan Oh Keng-kiau menuntut balas secara tuntas?

Bagaimana akhiran daripada cinta segi banyak antara si nona berbaju biru, Tong Yong-ling dan lain2 terhadap Bok Ji sia?

-ooo0dw0ooo- 
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar