Kemelut Di Ujung Ruyung Emas Jilid 17

Jilid 17

“Sungguhkah itu?” seru Oh Kay-thian kaget.

“Hahaha, persoalan dewasa ini bukan cuma menyangkut kita berdua saja melainkan menyangkut semua jago dunia persilatan,” ujar Lamkiong Hian sambil terbahak-bahak.

Semua jago kembali mengunjuk rasa gugup dan tak tenang, suara bisikan terdengar di sana-sini.

Matahari sudah tinggi di atas kepala, sudah lohor.

Tiba tiba muncul sesosok bayangan dari balik benteng Thian-seng-po dan meluncur datang dengan cepat luar biasa. Melihat orang itu, suasana kembali menjadi gempar, kiranya pihak Thian-seng-po telah mengerahkan segenap jago-jagonya, kecuali Oh Kay-thian yang tiba duluan, sekarang Thian-kang-kiam Oh Gu-gwat pun muncul.

Dengan langkah yang gagah ia masuk ke tengah arena dengan tersenyum.

Kedatangannya yang tiba-tiba ini bukan saja membuat para jago tak tahu maksud kedatangannya, bahkan Seng-gwat- kiam Oh Kay-thian sendiri juga tak tahu rencana busuk apa yang sedang disusun oleh kakaknya itu.

Lamkiong Hian bergelak tertawa, katanya, “Dari tiga bersaudara, dua diantaranya telah tiba, entah kapan Oh Kay- gak baru akan muncul?”

Thian-kang-kiam Oh Ku-gwat mendengus, “Hm, Lamkiong Hian, tempat ini adalah Thian-seng-po, bukan Kiam hong- ceng, kalau ingin mengacau, tempat ini bukan  tempatnya yang tepat!”

“Huh, rupanya lantaran ada tiang penyangga di belakang punggung, kau berani berlagak?” jengek Lamkiong Hian.

Thian-kang-kiam Oh Ku-gwat mendengus, pelahan ia berjalan menuju ke depan Bok Ji-sia dan Lamkiong Giok.

Melihat kedatangannya, dengan terkesiap Ji-sia berpikir, “Tampaknya dia hendak menantang aku lebih dahulu.”

Ternyata Thian-kang-kiam Oh Ku-gwat tidak menggubrisnya, sesudah tak jauh di epannya, mendadak ia mencengkeram sebuah bangku batu yang berada di situ.

“Hait,” sekali bersuara, bangku batu itu lantas terangkat ke atas, demikian ia berbuat empat kali, lalu sambil membawa keempat bangku batu itu, ia tertawa dingin terus melayang ke atas panggung Kim-leng-tay. Baru selesai bangku-bangku batu itu diatur, dari udara sana muncul empat gumpal awan putih yang bergerak mendekat.

Tindakan aneh ini membuat melenggong para jago.

Nona berbaju biru itu tertawa dingin, sindirnya, “Oh-lotoa yang ternama ternyata sudi menjadi pelayan orang ….”

“Budak hina,” bentak Thian-kang-kiam Oh Ku-gwat dengan gusar, “tunggu nanti … hehehe …”

Habis berkata dia lantas menjura ke langit dengan sikap yang sangat menghormat ….

Sungguh cepat kedatangan gumpalan awan putih tadi, dalam waktu singkat sudah berada di atas Kim-leng-tay.

Pekikan panjang menggema angkasa, pelahan awan putih itu melayang turun ke bawah.

“Hong-lay-ho (bangau pulau dewa)!” tiba-tiba ada orang berteriak kaget.

Dengan sikap hormat sekali Oh Ku-gwat menjura, lalu menyapa, “Su-lo baru tiba, sudah lama cayhe tunggu di sini!”

Menyusul tertampaklah empat sosok bayangan manusia melayang turun dari atas bangau raksasa, empat orang kakek berbaju putih melayang turun tepat di atas panggung Kim- leng-tay dengan enteng.

Keempat orang kakek itu mempunyai ciri-ciri khas, mereka sama bermata buta sebelah dan berkaki pincang, cuma wajah kelihatan segar dan bercahaya. Terdengar gelak tertawa yang dingin menusuk pendengaran berkumandang.

Lamkiong Hian, si jago berpengetahuan luas ini terkesiap melihat kehadiran keempat kakek aneh tersebut, serunya tertahan, “Hong-lay-su-koay (empat manusia aneh dari pulau Hong-lay)!” “Pandanganmu cukup tajam! Betul, mereka adalah Hong- lay-su-koay!” sahut Thian kang-kiam Oh Ku-gwat dengan tertawa.

Hong-lay-su-koay adalah murid Hong-lay-it-sian (dewa sakti dari Hong-lay). Makhluk aneh pertama ini bernama Liok Cun, kedua bernama Liok He, ketiga bernama Liok Ciu dan terakhir bernama Tong.

Mereka berempat tinggal di Hong-lay-to, jarang ada yang mengetahui asal-usul mereka, konon lweekang mereka sudah mencapai tingkat yang tiada tandingan, aneh dan kejam tanpa kenal ampun.

Begitu turun ke atas mimbar, Toa-koay atau makhluk aneh pertama Liok Cun segera menegur, “Oh-lotoa, mereka inikah yang disebut jago-jago sakti daerah Tionggoan?”

Thian-kang-kiam Oh Ku-gwat segera memberi hormat, sahutnya, “Tugas yang Cianpwe serahkan telah kulaksanakan semua, setiap jago yang punya nama di Tionggoan telah kuundang hadir semua.”

Liok Cun mendengus, tiba-tiba ia membentak, “Ayo keluar!”

Ketika jari tangannya menyentil ke depan, sebatang pohon siong di samping Kim-leng-tay segera patah menjadi dua bagian, sesosok bayangan segera melayang turun.

Lamkiong Hian tertawa terbahak-bahak, katanya, “Kun-tun si hidung kerbau, rupanya kau juga datang!”

Hian-thian-koancu Kun-tun Cinjin berdiri termangu dengan rasa sangsi tanpa menggubris ucapan Lamkiong Hian, ia hanya memperhatikan Su-koay tanpa berkedip.

Sentilan jari Toa-koay tadi betul-betul tiada tara hebatnya, hanya sekali jentikan jari, semua jago serentak dibuat ketakutan. Thian-kang-kiam Oh Ku-gwat tertawa, pujinya, “Ilmu jari Thian-liong-ci Liok-cianpwe betul-betul tiada taranya di dunia, demontrasi itu sudah cukup menggetarkan dunia persilatan

….”

“Huh, penjilat pantat, tak tahu malu,” damprat si nona baju biru, “wajah  semua  jago  dari Tionggoan telah runtuh  di tanganmu seorang!”

“Siapa dia?” dengus Liok Tong.

“Putri Hek-liong Lojin dari Hek-liong-kang,” jawab Oh Ku- gwat dengan muka merah.

Pelahan Liok Tong mengeluarkan sebuah seruling kemala putih, lalu sambil tertawa katanya, “Konon dalam dunia persilatan hanya ada seorang yang berhak disebut jago nomor satu, yaitu adikmu Oh Kay-gak, apakah adikmu telah datang pula? Kenapa tidak tampil ke depan?”

Thian-kang-kiam Oh Ku-gwat melengak, untuk sesaat dia tak tahu bagaimana meski menjawab. Tiba-tiba dari bawah panggung terdengar seseorang mendengus tak puas, tentu saja dia adalah Lamkiong Hian.

Di tengah keheningan itulah seseorang membentak secara mendadak, “Oh Kay-gak adalah Ban-kiam-sin-kun yang diagungkan di dunia ini, mana ia sudi menjumpai manusia takabur seperti kau?”

Menyusul bentakan itu, Bok Ji-sia telah berada di depan Kim-leng-tay dan memelototi Hong-lay-su-koay.

“Siapa dia? Hebat juga lagaknya,” jengek Liok Ciu. “Dia bernama Bak Ji-sia, dia adalah …..”

“Siapa suruh kau banyak mulut!” bentak Ji-sia.

Sebenarnya Hong-lay-su-koay tidak memperhatikan Bok Ji- sia, tapi setelah pemuda itu berdiri perkasa di sana, dengan mata yang buta sebelah keempat manusia aneh itu bersama- sama memperhatikan dia sekejap.

Selang sejenak Liok Ciu baru tertawa terkekeh-kekeh sambil menegur, “Berapa besar kehebatanmu? Berani betul mencari gara-gara padaku!?”

“Tidak terlalu hebat, tapi cukup untuk hajar adat padamu!” jawab Ji-sia.

Tepuk tangan riuh rendah menyambut ucapan tersebut, jelas perkataan Ji-sia itu telah melampiaskan rasa mendongkol para kesatria Tionggoan.

Diam-diam Lamkiong Hian juga manggut-manggut, katanya kemudian sambil tertawa, “Bok-lote, kau memang hebat! Aku siap di belakangmu!”

“Su-toa-tocu siap pula ambil bagian!” serentak keempat Tocu keempat pulau besar berseru.

Melihat semua jago mendukungnya untuk menentang musuh bersama, Bok Ji-sia berpaling dan tertawa. Tertawanya membuat Hu Sim-jin, si sastrawan misterius itu, menunduk dengan jantung berdebar.

Nona berbaju biru menepuk bahu Hu Sim-jin, katanya kemudian, “Pihak Hek-liong-kang juga bersedia membantu saudara Bok!”

Situasi dalam arena segera mengalami perubahan, para jago dari berbagai perguruan sama tampil ke depan, mereka melupakan dendam pribadi untuk sementara waktu dan bersama-sama menghadapi musuh dari luar.

Hanya pihak Thian-seng-po tidak memberi komentar apa- apa, mereka memandang ke arena dengan sikap tak acuh.

Ji-sia berpekik nyaring, mendadak ia melambung ke udara dan menubruk ke depan. Tapi baru saja melambung ke atas, Ji-sia lantas terkesiap, karena saat itulah tenaga pukulan yang sangat kuat telah menekan tubuhnya, tenaga pukulan itu datang tanpa menimbulkan suara, ia terkejut bercampur gusar.

Terdengar Liok Tong tertawa terkekeh-kekeh, lalu berseru, “Bocah cilik, kalau tak takut mampus ayo maju kemari!”

“Kau kira aku tak berani?” jawab Ji-sia sambil menyeringai.

Sinar bengis terpancar dari mata Thian-kang-kiam Oh Ku- gwat, dia sengaja mengadu domba, “Benar, masa Bok-tayhiap takut menghadapi pertarungan semacam ini? Hahahaha …. “

Ji-sia sangat mendongkol, dengan gemas ia mendamprat, “Keparat yang tak tahu malu, kubinasakan kau lebih dahulu!”

Sekali lagi ia melambung ke udara dan hendak menubruk ke depan. Tapi baru saja tubuhnya bergerak, mendadak ia merasakan sebuah telapak tangan raksasa menekan bahunya

….

Dengan terkejut buru-buru ia merendahkan tubuh dan berganti gerakan, telapak tangan kirinya menangkis ke atas dan balas mencengkeram telapak tangan raksasa yang sedang menekan bahunya itu.

“Saudara Bok, dia ayahku!” mendadak Lamkiong Giok berteriak.

Ji-sia tertegun, cepat ia menarik kembali serangannya dan melompat mundur, tampak Kiam-hong-cengcu Lamkiong Hian sedang memandang ke arahnya sambil tersenyum.

Dengan perasaan tak senang Ji-sia segera menegur, “Cianpwe, sebenarnya apa maksudmu menghalangi diriku?”

Coba kalau ia tidak bersahabat dengan Lamkiong Giok, tak nanti Ji-sia akan bersikap begitu menghormat kepadanya.

Kiam-hong-cengcu Lamkiong Hian tertawa terbahak-bahak, “Hahaha, Bok-lote, sukar menyerang ke atas, kenapa tidak gempur yang di bawah?” Ji-sia merasa benar juga perkataan ini, kalau Hong-lay-su- koay yang berada di atas susah diterjang, kenapa panggung Kim-leng-tay itu tidak dirobohkan lebih dulu? Berpikir demikian, ia siap untuk turun tangan.

Tiba-tiba si nona baju biru mendengus, “Lamkiong Hian, meskipun bagus jalan pikiranmu, sayang susah untuk diwujudkan.”

“Anak perempuan, memangnya berapa luas pengetahuanmu? Berani mengkritikku?”

Hi-kan -tocu, Lok-to-sianseng Ciang Lip-tek segera tertawa dingin, katanya, “Aku tidak percaya panggung sekecil Kim- leng-tay bisa menyusahkan diriku ….”

Sambil berkata telapak tangannya segera menghantam. Tapi dengan cepat ia menjerit tertahan, lalu menyurut mundur dengan terperanjat, telapak tangan kanannya tiba-tiba membengkak, peluh dingin bercucuran.

Peristiwa ini membuat para jago terkesiap, sebab Su-toa- tocu sudah lama termashur di dunia persilatan, Lok-to- sianseng Ciang Lip-tek juga terhitung pentolannya Su-toa- tocu, tapi kenyataannya sekarang tanpa menimbulkan suara ia sudah dilukai begitu rupa, dari sini semua orang mulai sadar tenaga dalam mereka masih jauh ketinggalan, rasa kuatir dan cemas mulai menghiasi wajah mereka.

Bayangan manusia berkelebat, Su-toa-tocu serentak berdiri berjajar di depan panggung Kim-leng-tay dan melotot pada keempat manusia aneh dengan penuh kegusaran.

“Bagaimana Lamkiong Hian? Betul tidak ucapan nonamu?” seru si nona berbaju biru sambil tertawa.

Sekarang Kiam-hong cengcu Lamkiong Hian baru sadar bahwa gadis baju biru dari Hek-liong-kang ini betul-betul memiliki kecerdasan yang melebihi orang lain. Setelah tersenyum, iapun bertanya, “Lantas bagaimana menurut pendapat nona?”

“Pertempuran yang bakal terjadi ini adalah pertarungan untuk menentukan mati hidupnya dunia persilatan, sekali pun nona berdiam di Hek-liong-kang, tapi sekarang kami beradanya di Tionggoan, berarti aku terhitung pula jago Tionggoan, bila kalian percaya padaku.….. bagaimana kalau turut cara kerjaku? Entah bagaimana pendapat Toa-cengcu?”

Kini semua jago sama bungkam, mereka ingin tahu apa jawaban Lamkiong Hian.

Hong-lay-su~koay yang berada di atas Kim-leng-tay hanya tertawa dingin sambil mengawasi jago-jago di bawah, sedangkan Thian-kang-kiam Oh Ku-gwat yang mendampingi keempat manusia aneh itu beberapa kali membisikkan sesuatu, lagaknya seperti seorang penasehat.

Meski Lamkiong Hian merasa terkejut, namun ia tidak menunjukkan perubahan apa-apa, ia tertawa dan berkata, “Aku sangat kagum pada nona dan bersedia mendengarkan petunjukmu!”

Nona baju biru itu tertawa dingin, lalu putar badan dan melangkah pergi.

Sampai di hadapan Bok Ji-sia, tiba-tiba ia bertanya, “Bagaimana pendapatmu?”

Ji-sia tertawa dingin lalu putar badannya dan berdiri. Tapi baru saja tubuhnya berputar, ia bentrok pandang dengan Hu Sim-jin yang berada di belakang si nona baju biru itu.

Hati bergetar, buru-buru ia mengalihkan sorot matanya ke arah lain, namun tetap termenung karena adu pandang yang baru terjadi ini, siapakah dia? Kenapa mukanya seperti sudah dikenalnya? Hu Sim-jin sendiripun tertegun, tapi dengan cepat sikapnya pulih kembali seperti biasa, ia ikut di belakang nona baju biru itu dan berlalu.

Setibanya kurang lebih dua tombak di depan panggung Kim-leng-tay baru nona itu berhenti sebelum membenahi rambutnya yang kusut, nona baju biru itu menoleh dan memandang sekejap H u Sim-jin, Pek Bi dan Pak Sat yang berada di belakangnya, kemudian memutar tubuh kembali.

Hong-lay-su-koay yang berada di atas panggung berdiri dengan wajah dingin dan hambar, dengan sorot mata tajam mereka awasi si nona baju biru yang tersohor karena kecerdasan otaknya itu.

Nona baju biru itu tersenyum ke atas panggung, kemudian maju dua langkah lagi ke depan.

“Nona tampil ke muka, memangnya ingin mencari nama?” ejek Thian-kang-kiam Oh Ku-gwat.

Nona berbaju biru itu tertawa, “Rase tua, dengan mengundang Hong-lay- su-koay ke sini, apa rencana busukmu?”

“Rencana memang ada, sayang bukan atas keinginanku sendiri!” jawab Oh Ku-gwat sambil tertawa terkekeh.

Lotoa dari Hong-pay-su-koay Liok Cun, segera berseru, “Oh-lotoa, katakan saja terus terang kepada mereka!”

“Huh, sekalipun ia tidak mengatakannya, nonamu juga bisa menebak!” seru si nona baju biru.

Agak terkejut juga Hong-lay-su-koay mendengar gadis itu bicara dengari mantap, Thian-kang-kiam Oh Ku-gwat juga menunjuk wajah tak percaya, ia tak percaya nona berbaju biru itu bisa menerka hal-hal yang belum terjadi.

Dengan suara dingin Thian-kang-kiam Oh Ku-gwat segera berkata, “Meskipun kau seorang perempuan jenius yang jarang dijumpai, tapi … hahaha, kalau tidak kukatakan sendiri, masa kau bisa menebaknya!”

Mendadak terdengar seseorang mendengus, “Hai, belum tentu.”

Sesosok bayangan berkelebat, tahu-tahu di tengah arena telah bertambah satu orang.

Melihat orang itu, hati Ji-sia bergetar, ia memburu maju dan berseru, “Ku-cianpwe, kaupun datang!”

Siau-yau-sian-hong-khek Ku Thian-gak memandang  sekejap pemuda itu, lalu bisiknya, “Bok-lote, kau kira kita tak dapat berjumpa lagi?”

Gusar Hoa Hong-hui menyaksikan kemunculan Siau-yau- sian-hong-khek Ku Thian-gak, sekali lompat ia berdiri di hadapannya.

Ji-sia segera ayun telapak tangan kirinya menghantam Hoa Hong-hui,

Sambil menahan tubuhnya, Hoa Hong-hui menegur marah, “Bok Ji-sia, apa maksudmu?”

“Jangan bertindak kurangajar terhadap Ku-lo-cianpwe!” “Tak perlu kau campur urusan kami …!” teriak Hoa Hong-

hui semakin gusar.

Ji-sia naik pitam, sambil tertawa dingin kembali ia melancarkan serangan, tapi tangannya segera dicengkeram orang.

“Bok-tayhiap!” terdengar Ku Thian-gak berbisik dengan pedih, “aku betul-betul mempunyai kesulitan yang tak bisa diterangkan, harap engkau jangan mencampuri urusan kami.”

Ji-sia tertegun, dengan bimbang dan tak habis mengerti terpaksa ia mengundurkan diri. Terhadap sikap Siau-yau-sian- hong-khek Ku Thian-gak yang rela menerima hinaan tersebut, ia betul-betul heran.

Bukan hanya dia, kawanan Jago yang hadir juga cuma beberapa orang saja yang mengetahui hubungan Hoa Hong- hui dengan Ku Thian-gak.

Dengan perasaan bangga Hoa Hong-hui segera menegur, “Ku Thian-gak, siapa yang suruh kau datang kemari?”

Sikapnya yang sombong menimbulkan perasaan tak senang dalam hati para jago, siapapun tak tahan menghadapi sikap semacam itu, tapi Siau-yau-sian-hong-khek masih tetap tenang.

Sambil tertawa sedih jawab Ku Thian-gak, “Peristiwa yang terjadi hari ini menyangkut keselamatan seluruh umat persilatan, demi keamanan dunia persilatan, terpaksa aku harus melanggar larangan dan menyumbangkan tenagaku yang terakhir demi kesejahteraan umat persilatan.”

Kata-kata yang gagah perkasa ini memancing sorak gemuruh dari para hadirin. Air muka Hoa Hong-hui berubah menjadi pucat, baru saja ia akan mengumbar amarahnya, tiba-tiba ia lihat nona berbaju biru itu sedang melotot gusar ke arahnya, dengan ketakutan cepat ia mundur ke belakang.

Ia tahu kemarahan orang banyak tak bisa ditahan, maka sambil menyeringai ujarnya, “Mengingat kesetiaanmu, untuk sementara tuan muda tak akan mencampuri urusanmu.”

Tampaknya Hong-lay-su-koay tak sabar menyaksikan percekcokan itu, segera Liok Tong berseru, “Oh-lotoa, apa yang telah kukatakan padamu?”

“Harap Cianpwe jangan gusar, segera akan kuumumkan kepada mereka,” cepat Thian-kang-kiam Oh Ku-gwat menjawab.

Setelah putar badan, dengan suara lantang dia berseru ke bawah panggung, “Selama ini dunia persilatan hanya terdiri dari kelompok-kelompok kecil dan jarang diadakan pertemuan besar, oleh sebab itu Hong-lay-su-lo beranggapan bahwa dunia persilatan harus mempunyai seorang pemimpin yang diagungkan umat persilatan …. maka dalam pertemuan ini bukan saja kita akan saling mengukur kepandaian masing- masing, kita pun akan mencari seorang yang luar biasa untuk dijadikan Bengcu …..”

Setelah tertawa, ia melanjutkan, “Jumlah orang yang boleh mengikuti pertarungan ini tidak terbatas, tapi setiap perguruan hanya boleh mengikut satu orang, sebelum naik panggung Kim-leng-tay ini, mereka akan diperiksa dulu kepandaiannya oleh Su~lo, dan setelah naik ke Kim-leng-tay, maka dia harus bertanding!”

Siau-yau-sian-hong-khek Ku Thian-gak mendengus, “Hm, Oh Ku-gwat, kukira tujuanmu bukan cuma ini saja bukan?”

“Tak perlu banyak omong, kalau merasa punya kepandaian silakan naik ke atas panggung!” ejek Thian-kang-kiam Oh Ku- gwat.

Siau-yau-sian-hong-khek Ku Thian-gak tertawa nyaring, ujung baju mengebas hingga menimbulkan angin keras, segera ia melompat ke atas panggung Kim-leng-tay.

Kiam-hong-cengcu Lamkiong Hian berpaling dan memandang sekejap kepada putra kesayangannya, lalu berbisik, “Anak Giok, kau duduk di sini, aku akan naik ke atas untuk menjumpai jago-jago lihai tersebut!”

Habis berkata, sekali berkelebat tahu-tahu ia sudah berdiri di atas panggung. Waktu itu Lamkiong Giok sudah merasa sehat, meski iapun ingin menjajal kepandaian Hong-lay-su- koay, akan tetapi berhubung ayahnya telah memberi pesan, terpaksa dengan perasaan kesal ia duduk menunggu di dalam barak Kiam-hong ceng.

Bayangan manusia berkelebat, Su-toa-tocu telah naik pula ke atas panggung disusul oleh Kun-tun Cinjin dan Si-hun- koay-sat-jin sekalian yang masing-masing menempati satu sudut panggung.

Seng-gwat-kiam Oh Kay-thian yang sejak tadi hanya diam tampaknya tergerak juga hatinya, ia memandang sekejap kawanan jago di belakangnya, lalu dengan enteng melompat ke atas panggung Kim-leng-tay.

Tiba-tiba terdengar Thian-kang-kiam Oh Ku gwat berseru sambil menuding Su-toa-tocu, “Dari pihak Su-toa-to hanya boleh di wakili seorang, kenapa kalian berempat naik bersama?”

Tun-bu-tocu Ay-te-liong (si naga cebol) Yau Tong-seng menjawab dengan tertawa, “Meski empat pulau merupakan satu keluarga, tapi kami masing-masing menempati sebuah pulau tersendiri, sepantasnya keempat pulau berhak turut dalam pertemuan ini!”

“Banyak atau sedikit juga sama saja, biarkan saja mereka berada di sini,” kata Liok Ciu dari Hong-lay-su-koay.

Ketika Ji-sia melihat semua jago kenamaan dunia persilatan hampir hadir seluruhnya, berkobar semangat ksatrianya, sambil berpekik nyaring ia terus melompat ke atas panggung.

“Kenapa dari pihak Hek-liong-kang tak ada yang turut seria?” Thian-kang-kiam Oh Ku-gwat segera menegur.

Tiba-tiba dari setelah belakang terdengar suara tertawa sinis, dengan kaget Oh Ku-gwat berpaling, entah sejak kapan ternyata si nona berbaju biru sudah berada di belakangnya.

Sambil tertawa nona baju biru itu berkata, “Pertemuan besar yang sukar dijumpai dalam seratus tahun ini masa tidak diikuti oleh Hek-liong-kang?”

“Asal nona ikut turun tangan, kemenangan pasti berada di pihak kita!” ucap Lamkiong Hian sambil mengelus jenggot. Nona berbaju biru itu menggeleng kepala, “Kesempatan untuk menang hanya setengah-setengah, kita jangan bergembira dulu.”

Air muka setiap orang yang berada di panggung sama berubah demi mendengar perkataan nona berbaju biru ini, dengan sorot mata gusar mereka menatap wajah Hong-lay-su- koay.

Hong-lay-su-koay yang semuanya bermata satu melirik sinis dengan sikap jumawa.

“Hai, lihat!” tiba-tiba seseorang berteriak.

Kawanan jago serentak memandang ke bawah kaki masing-masing dengan perasaaa terkesiap, ternyata di situ terdapat beberapa baris tulisan.

Wajah Bok Ji-sia berubah kelam setelah memandang ke bawah, diam-diam tenaga dalamnya dihimpun dan siap melancarkan serangan.

Alis si nona berbaju biru pun bekernyit, sekujur tubuh gemetar.

Jelas tulisan yang tertera di lantai itu menyangkut hubungan yang amat besar dengan kedua orang ini, kalau tidak, tak nanti mereka bersikap demikian.

Seng-gwat-kiam Oh Kay-thian yang sejak tadi bersikap tenang pun kini ikut terkejut, tapi segera iapun tahu kenapa hari ini Toakonya mengundang kehadiran Hong-lay-su-koay untuk memusuhi dirinya.

Para jago lain meski juga diliputi rasa tercengang, tapi mereka sama bersikap seolah-olah memang melihat orang lain ketimpa bencana, malah dari balik mata mereka terpancar sinar kerakusan.

Nona baju biru itu menghela napas lalu berkata, “Tak kusangka hanya dikarenakan dua macam benda ini kalian berempat kakek yang hampir mampus juga kemaruk akan memilikinya.”

Liok Cun, Toakoay dari Hong-lay-su-koay terkekeh-kekeh. “Ruyung dan kitab merupakan benda mestika dunia

persilatan, sekalipun kami empat bersaudara tinggal jauh di Hong-lay, kabar ini juga sudah lama kudengar, setelah datang sekarang, tentu saja kami takkan kembali dengan bertangan kosong!”

Sambil menepuk ruyung Jian~kim-si-hun-pian yang berada di pinggangnya, Bok ji-sia tertawa panjang, katanya, “Ruyung mestika berada di pinggangku, kalau kalian berempat kakek tua bangka punya kemampuan, ayo coba rampas sendiri!”

Seraya berkata ia melangkah maju, tangan direntangkan dan siap melangsungkan pertarungan melawan Hong-lay-su- koay.

Nona berbaju biru mendengus, “Meski kitab pusaka Hek- liong-kang tidak berada padaku, tapi asal kalian berempat siluman sanggup mengalahkan kami, tempat penyimpanan kitab akan nona beritahukan.”

Pada saat itulah secara diam-diam Thian-kang-kiam Oh Ku- gwat mengeluyur pergi meninggalkan panggung Kim-leng-tay, tak seorang pun yang mengetahui kepergiannya itu, sebab para jago hanya tahu Hong-lay-su-koay adalah musuh yang tangguh, maka segenap perhatian mereka dicurahkan kepada keempat siluman tua itu.

Berputar biji mata Liok He yang tinggal satu itu, kemudian terbahak-bahak, “Hahaha, bagus, bagus! Soal ruyung dan kitab sudah ada pertanggungan jawab, sekarang tinggal pemegang sarung ruyung Jian-kim-si-hun-pian yang belum mengemukakan pendapatnya!”

Entah ucapan ini langsung ditujukan kepada Seng-gwat- kiam Oh Kay-thian, sorot mata semua orang pun tanpa terasa sama dialihkan ke wajah Oh Kay-thian, siapa pun tak menyangka sarung ruyung Jian-kim-si-hun-pian telah jatuh ke tangannya.

Sejak sarung ruyungnya lenyap, Bok Ji-sia berulang kali melakukan penyelidikan tanpa hasil, ia tak menyangka akhirnya berhasil menemukannya dengan cara semudah ini.

Dengan melotot ia membentak marah, “Ok Kay-thian, bangsat kau! Ayo serahkan kembali padaku!”

Seng-gwat-kiam Oh Kay-thian tahu Toakonya yaitu Thian- kang-kiam Oh Ku-gwat telah mengkhianatinya demi mendapatkan sarung ruyung mestika tersebut, dasar keji dan culas, ia tidak memperlihatkan perasaannya.

Dengan hambar ia berkata, “Siapa yang memegang  mestika itu, dialah pemiliknya, begitu bukan Bok-lote? Betul sarung ruyung tersebut berada padaku, tapi aku tidak berniat mengangkanginya sendiri, setelah Su-koay berniat merampasnya sekarang, biarlah kumanfaatkan kesempatan ini untuk memberikannya.”

Cahaya emas terpancar dari tubuh Seng-gwat-kiam Oh Kay-thian, seakan-akan seekor naga emas meluncur ke arah Hong-lay-su-koay.

Begitu cahaya emas muncul, kawanan jago di sekitar arena serentak bergerak maju, Su-toa-tocu, Kun-tun Cinjin serta Si- hun-koay-sat berenam hampir pada saat yang sama juga turun tangan untuk menyambar sarung ruyung itu.

Hati Ji-sia bergolak melihat sarung ruyung miliknya berada di depan mata, tapi baru saja dia akan maju, seorang berbisik padanya, “Jangan sembarangan bergerak Bok siauhiap, inilah siasat licik Seng gwat-kiam Oh Kay-thian!”

Setelah melemparkan sarung ruyung Jiam-kim-si-hun-pian ke udara, Oh Kay-thian tersenyum licik, lalu membentak, mendadak telapak tangannya menghantam ke depan, menghajar kawanan jago yang sedang berebut sarung ruyung itu.

Melihat kekejaman dan kelicikan orang, sungguh gusar sekali Bak Ji-sia, diam-diam ia menghela napas dan berpikir, “Dunia persilatan betul-betul penuh kelicikan dan intrik, tak nyana Oh Kay-thian bisa bertindak selicik ini.”

Berpikir demikian tanpa terasa ia melirik sekejap ke arah Siau-yau-sian-hong-kek Ku Thian-gak dengan rasa terima kasih, andaikata tiada peringatannya tadi yang disampaikan dengan ilmu gelombang suara, niscaya ia sudah berada dalam kesulitan.

Benturan dahsyat segera bergema, panggung Kim-leng-tay berguncang keras, tapi segera tenang kembali.

Darah kental meleleh keluar dari ujung bibir Su-toa-tocu, jelas mereka telah menderita gempuran yang keras, sedangkan Kun-tun Cinjin dan Si-hun-koay-sat-jiu juga terengah dengan darah bergolak, hampir saja mereka tak tahan.

Sarung ruyung Jiam-kim-si-hun-pian yang sudah lama menjadi incaran orang persilatan itu tahu-tahu sudah terjatuh ke tangan Hong-lay-su-koay, hal ini membuat para jago semakin terkesiap.

Waktu itulah Si-hun-koay-sat-jiu baru mendongakkan kepalanya sambil berkata dengan gusar, “Oh-losam, kami tak rela mestika itu jatuh ke tangan orang lain, maka dengan mempertaruhkan jiwa aku hendak melindunginya, bila serangan tersebut dilancarkan orang lain masih bisa kuterima, tak tersangka kau … “

Seng-gwat-kiam Oh Kay-thian tertawa dingin, katanya, “Seranganku sebenarnya cuma peringatan bagi Su-koay, siapa tahu kalian menjadi kemaruk ketika melihat mestika dan bermaksud merampasnya, terpaksa seranganku tertuju kepada kalian, lalu siapa yang hendak kau salahkan?” “Huh, manis betul caramu bicara, jelas seranganmu bermaksud membasmi lawan, tapi bicaramu seperti orang paling gagah?” ejek si nona baju biru.

Lamkiong Hian lebih cerdas dan banyak tipu akalnya, dia tahu orang pintar daerah Tionggoan sangat terbatas, hanya terdiri dari beberapa orang di atas panggung sekarang, seandainya orang-orang itu sampai bentrok sendiri, bukankah hal ini justru akan memenuhi harapan musuh dan Hong-lay- su-koay yang akan menarik keuntungan?

Kerena itu, sewaktu dilihatnya keadaan tidak beres, buru- buru dia berkata, “Musuh tangguh masih berada di depan mata, kenapa kalian tidak bekerja sama untuk mengusir lawan? Sebaliknya malah ribut dan saling gontok-gontokan sendiri! Apakah tidak malu dan ditertawakan orang?”

Hong-lay-su-koay memandang sekejap ke arahnya, jelas ucapan itu diperhatikan dengan serius oleh mereka.

Tiba-tiba Liok Tong berseru, “Toako, kita harus turun tangan!”

Liok Cun memandang cuaca sekejap, lalu mengiakan, “Ya, waktunya memang sudah tiba!”

Matahari tepat di tengah cakrawala, cahaya terang memenuhi jagat raya.

Habis berkata, Liok Cun segera mengeluarkan sebuah tambur tembaga berwarna ungu, para jago tak habis mengerti apa kegunaan tambur tembaga tersebut.

Liok He mengeluarkan pula sebuah kipas tanpa jeriji dan menggoyangkannya dengan santai seakan-akan seorang sastrawan saja lagaknya.

Liok Ciu mengeluarkan sebuah cermin, ketika tertimpa cahaya sang surya, segera terpantul sinar yang menyilaukan mata. Sementara Liok Tong mengeluarkan sebuah seruling tanpa lubang. Setelah keempat macam senjata yang langka itu diperlihatkan, serentak para jago di atas panggung merasa terkejut, hati menjadi dingin.

Suasana dalam arena mulai terasa tegang, biarpun kawanan jago tersebut rata-rata berpengalaman dan berpengetahuan luas, tak seorang pun yang kenal, asal-usul beberapa macam senjata itu.

Tiba-tiba nona berbaju biru itu menghela napas dan mengeluh, “Ai, rupanya aku terlalu menilai rendah mereka!”

Liok Ciu tertegun, tegurnya sambil tertawa, “Nona, apakah kaukenal asal-usul benda-benda ini?”

“Tak perlu banyak bicara lagi,” tukas si nona baju biru dingin, “lebih baik cepat turun tangan, irama sakti Liat-yang sin-kik tak akas menunjukkan kehebataanya bila, lewat tengah hari!”

Kejut bercampur heran Hong-lay-su-koay, rupanya mereka pun kagum akan pengetahuan nona baju biru yang luas itu.

Perlahan gadis itu berpaling kepada para hadiran, katanya, “Bila tiada bantuan malaikat, hari ini jangan harap kita bisa lolos dari bencana, bersiaplah kalian semua!”

Ucapan yang mengandung maksud mendalam itu mengetuk hati para jago. Suatu malapetaka segera akan berlangsung di depan mata, hati para jago mulai dilapisi oleh bayangan kelabu, sementara para jago di bawah panggung sama-sama menahan napas beribu pasang mata tertuju ke atas panggung dan menunggu perkembangan selanjutnya.

Hawa pembunuhan menyelimuti angkasa, suasana menjadi sangat tegang.

Liok Cun, kepala Hong-lay-su-koay mendongakkan kepalanya dan bersiul nyaring, kemudian serunya, “Silakan saudara sekalian nikmati dulu Siu-hun-sam-koh (tiga pukulan tambur perenggut nyawa) ini!”

Habis berkata, dengan khidmat ia menyentil pelahan tamburnya sebanyak tiga kali.

“Tung! Tung!Tung!

Tiga kali suara tambur itu berbunyi, para jago di atas panggung merasakan hati tergetar seakan-akan kehilangan sukma, ada semacam tenaga yang amat berat dan tak kelihatan menekan tubuh mereka.

Meski para jago sudah melawan dengan sekuat tenaga, akan tetapi irama tambur yang mendengung tiada hentinya seakan-akan berbentuk beribu-ribu pisau yang menusuk ulu hati mereka.

Keadaan kawanan jago yang lain agak mendingan, berbeda dengan Su-toa-tocu yang sudah terluka lebih dulu, mereka tak tahan, dengan wajah pucat seperti mayat, darah kembali bercucuran dari mulutnya.

Tiang mo-tocu, Siu-tiok-hong Ki Kiu-jin tertawa pedih, katanya, “Irama Siu-hun-sam-koh bukan santapan enak buat kami, saudara-saudaraku kita jangan bikin malu lagi di sini.”

Tapi belum lagi dia sempat angkat kaki, tiba-tiba darah segar menyembur keluar dari mulutnya, ia sempoyongan dan akhirnya roboh terjungkal ke bawah panggung. Cian-ciau- tocu, Ciu-siu-thi-say In Ceng-bu merasa tak puas, segenap tenaga dalamnya dihimpun pada telapak tangannya, lalu menghantam Liok Cun.

Liok Cun menjengek, matanya yang tinggal satu itu berkedip, “tung!” bunyi tambur menggema.

“Wah!” Ciu-siu-thi-say In Ceng-bu menjerit dan terjungkal ke bawah panggung, menyusul kedua Tocu yang lain juga mendengus tertahan, dengan wajah pucat mereka terlempar dari panggung. Rupanya irama tambur itu dipancarkan khusus terhadap orang tertentu, buktinya orang lain sama sekali tidak mengalami luka apapun, namun mereka tak berani sembrono, masing-masing menghimpun segenap tenaga dalam untuk menghadapi segala kemungkinan.

Tak seorang pun mengangkat kelopak matanya, semuanya menunduk kepala, seakan-akan Su-toa-tocu tersebut tiada hubungannya dengan mereka. Tapi jerit kaget segera berkumandang dari bawah panggung.

Baru saja Su-toa-tocu roboh ke bawah panggung, anak muridnya segera maju menggotong mereka pergi, dengan membawa pengalaman pahit berlalulah Su-toa-tocu tersebut.

Tiba-tiba Liok Tong tertawa seram, katanya, “Rupanya kalian boleh juga Karena sanggup bertahan, tampaknya di daerah Tionggoan masih terdapat juga beberapa jago tangguh, tidak seperti apa yang dilukiskan Oh-lotoa!”

Nona baju biru itu membuka matanya, katanya sambil tertawa dingin, “Kehebatan Siau-hun-sam-koh jauh dari apa yang kubayangkan semula. Ayo, permainan apa lagi yang masih kalian miliki? Kenapa tidak sekalian  dikeluarkan semua?”

Hong-lay-su-koay menjadi terkejut bercampur heran, mereka tak percaya masih ada orang sanggup berbicara setelah Siau-hun-sam-koh dipancarkan kecuali orang itu sudah melatih semacam ilmu sakti yang kebal terhadap pengaruh tambur.

Jika dilihat dari usia si nona yang masih muda belia tak mungkin ia pernah melatih ilmu sehebat itu, jangan-jangan lwekangnya sudah berhasil mencapai tingkatan tertinggi sehingga tidak gentar terhadap pengaruh apa pun dari luar.

“Perkataan nona memang benar, aku setuju sekali!” terdengar Lamkiong Hian mendukung ucapan si nona baju biru. Walaupun kata-katanya diucapkan dengan lancar, namun peluh membasahi jidatnya, cuma tenaga dalamnya juga cukup sempurna dan sanggup menguasai diri sehingga tubuh tidak terluka. Waktu itu Ji-sia juga membuka matanya, air muka anak muda ini tampak hambar seakan-akan sama sekali tidak terjadi apa-apa.

Dia telah menerima warisan tenaga murni dari Thian-kang- te-sat-seng-gwat-kiam Oh Kay-gak, sebab itulah meski Siu- hun-koh lihay sekali, juga tidak dapat mempengaruhi dia.

Liok He memutar biji mata tunggalnya, kemudian mengejek, “Kalau begitu, kalian tunggu saja akan kelihaian irama Liat-yang-sin-kik kami, coba rasakan kehebatannya!”

Sambil berkata, kipas tanpa jeriji segera diangkat ke atas dan digerakkan kian kemari, embusan angin dengan cepat melanda angkasa, debu pasir beterbangan. Itulah gerak pembukaan dari irama sakti Liat-yang-sin- kik atau Lagu sakti terik matahari.

Ketika Liok He menarik kembali kipasnya, kabut dan pasir seketika lenyap, matahari yang terang muncul kembali di langit.

Sambil terbahak-bahak ia berkata, “Nah, siapakah yang merasa sanggup menerima serangan kipasku?”

Ancaman itu memang cukup mengejutkan, meski di atas panggung penuh dengan jago lihai, namun tak seorang pun yang merasa yakin mampu menyambut serangan maut tersebut.

Tiba-tiba Bok Ji-sia maju ke muka seraya membentak, “Bagaimana kalau aku yang melayanimu?”

“Hehehe, kalau begitu, sambutlah seranganku ini!” jawab Liok He sambil tersenyum.

Di tengah kebasan kipas Bu-kut-san, hembusan angin yang amat dahsyat segera menyambar ke depan. “Wees! Wees!” tenaga serangan yang tiada taranya bagaikan beribu-ribu lapis gelombang yang dahsyat menghantam tubuh Bok Ji-sia, jangankan tubuh manusia, batu pun akan hancur oleh angin dahsyat ini.

Awan gelap seketika menyelimuti udara di sekeliling tempat itu, debu pasir kembali beterbangan, semua orang hampir tak mampu membuka mata. Sesudah angin puyuh itu sirap, para jago menjerit tertahan, ternyata Bok Ji-sia sudah tersapu oleh angin puyuh tadi sehingga lenyap tak berbekas. Angin kipas itu betul-betul merupakan embusan maut yang mengerikan.

Liok He tertawa terbahak-bahak, katanya, “Kipas saja tak tahan, masih berani omong besar?”

Mendadak Bok Ji-sia melompat ke atas panggung, dia tetap segar bugar tanpa kekurangan sesuatu apa pun, membuat Hong-lay-su-koay terkejut, mereka tak menyangka Bu-kut-san tidak berhasil melukai anak muda tersebut.

“Huh, Bu-kut-san paling-paling cuma begitu saja,” kedengaran Ji-sia mengejek, “lebih baik mainkan saja Liat- hyang-sin-kik yang kalian katakan hebat itu!”

Air muka Liok He berubah hebat, seketika ia bungkam dan cuma melotot gusar ke arah pemuda itu.

Liok Tong menyeringai serunya, “Bagus, kalian pasti akan mampus semua!”

“Kalau kami mati, kalian pun jangan harap bisa hidup!” sambung si nona baju biru sambil tertawa dingin.

Hati Hong-lay-su-koay tergerak, jelas ucapan si nona tepat mengenai isi hatinya.

Ditatapnya keempat siluman tua itu lekat-lekat, lalu nona baju biru itu berkata pula, “Permainan irama sakti Liat-yang- sin-kik merupakan ilmu yang banyak makan tenaga dalam, sedangkan kami sebagian besar memiliki tenaga dalam hasil latihan puluhan tahun, bila ingin menguras tenaga kami, kalian pun harus mainkan irama tersebut sampai tuntas, baru menang atau kalah bisa ditentukan!”

Perkataan ini justru membongkar titik kelemahan irama Liat-yang-sin-kik, maka Hong-lay- su-koay menjadi terkesiap, selain itu, mereka pun merasa ngeri terhadap luasnya pengetahuan si nona berbaju biru, terpaksa kekuatan lawan perlu dipertimbangkan kembali oleh mereka.

Selang sesaat kemudian, Liok Cun berseru pula sambil menyeringai, “Toako, jangan sangsi lagi, urusan telah berkembang menjadi begini, kita tak mungkin lagi mundur!”

“Kalau bisa mengundurkan diri secara teratur, hal ini kan tidak terhitung tindakan yang salah!” jengek Ji-sia.

Liok Cun melototkan mata yang sebelah itu, tiba-tiba ia berseru, “Betul, kita tak bisa memikirkan terlalu banyak, Liat- yang-sin-kik segera dipancarkan!”

Kaki yang pincang menjejak permukaan lantai, secepat terbang ia berputar satu lingkaran di udara, bentaknya, “Su- siu-kui-goan!”

Empat kakek siluman itu segera memisahkan diri dan masing-masing mengambil satu sudut di atas panggung. Para jago segera terkurung di tengah. Lamkiong Hian segera melolos sebilah pedang berbentuk aneh, cahaya tajam terpancar, sekilas pandang senjata itu mirip seekor ular emas.

Pada tubuh pedang aneh itu terdapat lima lubang kecil, sewaktu dimainkan berbunyilah suara mendengung yang menggetar perasaan orang.

Pelahan si nona baju biru berkata, “Begitu Liat- yang-sin-kik dimainkan, langit dan bumi akan menjadi rawan, rumput dan pohon sepuluh li di sekitar sini akan layu dan musnah, menghadapi pertarungan antara mati dan hidup ini kita tak boleh berbelas kasihan, lebih baik kita mempertahankan posisi masing-masing!” “Ehm, tampaknya nona cukup memahami irama Liat-yang- sin-kik?” ujar Lamkiong Hian, “siasat menghadapi lawan boleh kau saja yang mengatur.”

Kawanan jago yang berada di bawah panggung bisa mengikuti pembicaraan tersebut dengan jelas, suasana menjadi gaduh, dalam waktu singkat sebagian besar kawanan jago sudah kabur meninggalkan tempat itu, kuatir tertimpa bencana.

Lamkiong Hian memandang sekejap ke bawah panggung, serunya, “Anak Giok, harap kaupun mundur sejauh sepuluh li dari sini, tiga jam kemudian datanglah kembali untuk mengurus jenasah ayahmu!”

Jelas ia tidak mempunyai keyakinan terhadap pertarungan antara mati dan hidup ini, mau-tak-mau ia mesti mengatur langkah berikutnya.

Jangan sangka wajahnya tetap enteng dan santai, sesungguhnya iapun merasa cemas dan berat.

Dengan tubuh agak gemetar Lamkiong Giok segera merengek, “Oh ayah, ananda bersedia mati bersama engkau!”

“Ngaco-belo!” hardik Lamkiong Hian, “selama Kiam-hong- ceng menjagoi dunia persilatan, mana boleh ada sehari tanpa pimpinan? Kalau kau tidak segera mundur dari sini, kubunuh dirimu lebih dulu!”

Belum pernah Lamkiong Giok menyaksikan ayahnya semarah ini, ia menggigil takut, setelah melelehkan air mata, dengan perasaan apa boleh buat ia memberi tanda kepada para jagonya untuk meninggalkan tempat itu.

Sebelum pergi, ia. sempat berpaling sambil berbisik sedih, “Ayah, baik-baiklah menjaga dirimu, tiga jam kemudian ananda pasti akan datang kembali untuk menjemputmu!”

Sementara itu jago-jago Thian-seng-po juga telah mendapat perintah untuk meninggalkan tempat itu, lapangan yang luas kini sudah kosong, tinggal Hu Sim-jin, Pek Bi, Pek Sat, si kakek berambut putih serta Hoa Hong-hui yang tetap tinggal di situ.

Nona berbaju biru menghela napas, katanya “Lebih baik kalian juga pergi dari sini, seandainya aku mati, laporkan peristiwa ini kepada ayahku!”

“Kami takkan pergi!” seru si kakek sambil mengentakkan tongkat ke tanah, “jika kau mati, kamipun tak punya muka untuk hidup lagi.”

Agaknya Liok He sudah habis sabarnya, tiba-tiba ia berseru, “Sudah selesaikah pesan kalian? Kalau belum, katakan saja dengan cepat, sesaat lagi kalian tak akan mampu berbicara lagi!”

Dengan gusar nona berbaju biru itu melotot sekejap ke arahnya, kemudian ia berpaling kepada Lamkiong Hian, katanya, “Pedang lima lubang Toa-ceng-cu bisa digunakan untuk menandingi tambur Siu-hun-koh tersebut, ruyung mestika Jian-kim-si-hun-pian milik Bok Ji-sia sekadarnya juga bisa menandingi Bu-kut-san!”

Ucapannya mantap, pembagian kerja yang tegas menunjukkan sikap seorang pemimpin yang berwibawa, diam- diam semua jago kagum juga kepadanya,

Ia melirik sekejap ke arah Seng-gwat-kiam Oh Kay-thian, dia melanjutkan, “Sedang kau dan Ku Thian-gak boleh menghadapi seruling tanpa lubang, sebaiknya gunakan pedang untuk, penyerang disertai suitan nyaring, irama seruling lawan harus kalian atasi, ingat tugas ini sangat penting, harap kalian jangan bertindak gegabah!”

Ketika Kun-tun Cinjin dan Si-hun-koay-sat-jiu melihat nona baju biru itu hanya menugaskan orang lain tanpa membagi pekerjaan kepada mereka berdua, dengan gusar dan tak puas mereka berseru, “Nona, kenapa kaulupakan kamit” Nona berbaju biru itu tertawa, jawabnya, “Kalian berdua sudah terluka, lebih baik jangan banyak gunakan tenaga lagi, duduk saja di situ sambil mengatur pernapasan, kalau tidak, maka kalian tak tahan lagi terlalu lama.”

Keadaan sekarang berbeda dengan keadaan biasa, masing- masing telah melupakan kedudukan sendiri, masa lalu, semuanya rela dan tunduk untuk menerima perintah seorang gadis jelita.

Walaupun dalam hati Kun-tun Cinjin dan Si-hun-koay-sat- jiu merasa tak puas, namun mereka juga tahu sewaktu mereka berusaha merampas sarung Jian-kim-si-hun-pian tadi, keduanya memang kena dipecundangi orang.

Begitulah, bicara sampai di sini, si nona baju biru segera menggulung jubahnya hingga kelihatan cincin biru yang dikenakannya, di antara pancaran sinar biru tertampak seakan-akan bersemu ungu.

Liok Cun, pemimpin Hong-lay-su-koay menghela napas, katanya, “Tak nyana nona pandai betul mengatur siasat, sejak meninggalkan Hong-lay, baru sekali ini kami turun tangan, kesempatan ini akan kami coba sampai di manakah kehebatan irama Liat-yang-sin-kik. Nah, saudara-saudaraku, ayo kita mulai turun tangan!”

Tiga siluman tua lainnya segera mengiakan, serentak mereka maju bersama. Mendadak sinar emas berkelebat di udara menyongsong cahaya matahari, semua orang merasa silau oleh sinar yang tajam itu, sehingga untuk sekian lama  tak sanggup membuka mata.

Nona berbaju biru itu menghela napas panjang, tiba-tiba dari cincin birunya terpancar keluar serentetan sinar lembayung yang segera bertumbukan dengan cahaya emas yang terpancar dari cermin

Liok Ciu tersebut, kontan sinar emas itu menjadi guram. “Tung!” bunyi tambur perenggut nyawa bergema di udara, semua orang merasa berdebar dan nyaris tak tahan.

Kiam-hong-cengcu Lamkiong Hian tak berani gegabah, tenaga dalamnya segera disalurkan sehingga pedang lima lubang mengeluarkan suara mendengung yang memekak telinga, suara ini segera membendung irama tambur yang menggetar sukma.

Kipas Bu-kut-san Liok He dikebaskan pelahan, angin puyuh segera berembus mengiringi suara guntur yang keras, sedemikian dahsyatnya embusan angin itu membuat tubuh para jago sama bergoyang.

Sesungguhnya ruyung Jian-kim-si-hun-pian Bok Ji-sia terhitung benda mestika dunia persilatan, suara aneh yang terpancar juga amat tajam namun suara itu sukar membendung kehebatan Bu-kut-san, malahan terkadang terdesak.

Tapi pemuda itu bertahan sekuatnya, sambil mengertak  gigi dia himpun segenap tenaga dalam untuk melawan Liok He, dia tahu lebih baik memberi perlawanan sekuatnya daripada menyerah kalah dan mandah dijagal orang.

Yang paling menakutkan adalah seruling tanpa lubang milik Liok Tong, di bawah tiupannya segera berkumandang semacam suara aneh yang melengking tajam, membuat orang mengkirik, lalu mandi keringat dingin.

Seng-gwat-kiam Oh Kay-thian adalah jago pedang kenamaan, tapi dalam keadaan begini ia gagal menggunakan jurus mautnya untuk mendesak musuh, tiap kali serangannya baru mencapai setengah jalan lantas kebentur selapis tenaga penghadang yang membendung serangannya itu, terpaksa ia ganti serangan dengan jurus baru.

Siau-yau-sian-hong-kek Ku Thian-gak dengan tangan mengepal memperdengarkan suitan panjang melengking, suaranya keras dan berhasil menekan sebagian irama seruling tanpa lubang yang menggema di udara. Betul situasi dapat teratasi untuk sementara waktu, tapi keadaan semacam ini jelas tak bisa bertahan lama.

Percuma Kun-tun Cinjin dan Si-hun-koay-sat-jiu memiliki ilmu silat tinggi, waktu itu mereka hanya merasa telinga seperti tergetar suara guntur, kepala pusing dan mata berkunang-kunang, sekalipun sudah duduk bersila, namun mereka masih terpengaruh oleh irama Liat-yang-sin-kik.

Dalam waktu singkat, debu pasir beterbangan, suara aneh berkumandang, suara tambur dan irama seruling memekak telinga, ditambah lagi desing pedang dan deru angin hingga serupa orkes simfoni yang jarang terlihat.

Sekalipun kedua pihak masih tetap saling bertahan, tapi keadaan para jago semakin payah dan terancam bahaya.

Mendadak bayangan manusia berkelebat, rupanya Kun-tun Cinjin dan Si-hun-koay-sat-jiu tak tahan menghadapi pengaruh irama sakti tersebut, be -runtun mereka terlempar jatuh dan panggung dan tak sadarkan diri.

“Saudara-saudara, ayo tambah tenaga, mereka sudah hampir habis!” seru Liok He setelah menyaksikan kejadian itu.

Tenaga serangan diperhebat, hampir saja beberapa orang itu tak sanggup bertahan lagi, tetapi pertarungan ini menyangkut mati-hidup mereka, terpaksa mereka melawan mati-matian.

Hong-lay-su-koay semula berdiri tegak di empat sudut, kini berada dalam posisi setengah berjongkok, rambut pada berdiri dan mata melotot, otot hijau sama menonjol keluar, tampaknya merekapun kepayahan.

Napas sama terengah-engah seperti dengus kerbau, peluh mengucur keluar membasahi sekujur badan. “Blang!” terpengaruh oleh irama Liat-yang-sin-kik yang maha dahsyat itu, sebatang pohon raksasa berusia ratusan tahun mendadak patah dan tumbang.

Bukan cuma begitu, rumput dan daun sekitar tempat itu pun kuning layu, suasana kelabu suram meliputi sekitar tempat ini.

Bok Ji-sia dengan Jian-kim-si-hun-pian telah bertahan hampir seratus jurus lebih, namun ia selalu gagal mengatasi serangan kipas Bukut-san, sebaliknya ia mulai merasa tak tenang, kuda-kuda mulai goyah dan darah bergolak keras.

Kini tangan mulai gemetar, tubuh makin lama juga makin lemah, napasnya tambah berat, rasanya hampir tak tahan.

Cahaya lembayung terpancar dari cincin biru di tangan si nona baju biru, agaknya cahaya tersebut berhasil mengatasi sinar keemasan lawan, tapi gadis itu tetap berdiri tak bergerak sementara matanya berputar ke sana ke mari memperhatikan situasi gelanggang.

Nona itu sadar kekalahan bagi pihaknya tinggal soal waktu saja, irama Liat-yang-sin-kik secara

langsung telah mengguncangkan pikiran mereka, sekalipun di luar mereka tidak ada gejala apa-apa, padahal diam-diam mereka sudah terluka parah.

Dengan suara lemah ia lantas berseru, “Bila bertahan satu setengah jam lagi, keempat tua bangka inipun tak akan jauh berbeda daripada kita.”

Meskipun hanya sepatah kata yang diucapkan dengan suara lemah, tapi pengaruh kewajibannya justru sangat besar, kontan semua orang merasakan semangatnya bangkit kembali, getaran suara pedang lima lubang milik Lamkiong Hian telah pulih kembali kehebatannya seperti semula, Seng- gwat-kiam Oh Kay-thian dengan ilmu Seng-gwat-kiam-hoat juga melancarkan kembali jurus serangan yang mematikan. Sebetulnya suara suitan Siau-yau-sian-hong-kek Ku Thian- gak waktu itu sudah kehabisan tenaga, nampaknya suaranya akan segera tertelan oleh irama seruling tanpa lubang, mendadak suitan melengking kembali dengan nyaringnya hingga berimbang dengan irama seruling.

Mendadak awan hitam berkumpul di angkasa dan menutupi sinar matahari, udara menjadi suram. Tiba-tiba saja irama aneh Liat-yang-sin-kik terhenti di tengah jalan, suasana berubah menjadi hening.

Sekalipun kipas Bu-kut-san masih bergoyang tapi tidak bertenaga lagi, irama seruling segera terhenti, tubuh Liok Tong menggigil, suara tambur sirap dan cahaya emas dari cermin pun lenyap semuanya menjadi sepi, hening ….

Para jago di atas panggung masih berdiri tegak di tempat semula, terdengar dengus napas mereka yang memburu ….

Wajah Liok Ciu yang pucat kekuning-kuningan menjadi beringas, dengan suara gemetar ia berkata, “Thian tidak membantu diriku, apa daya? Apa daya? Ai, rupanya memang takdir…..”

Agaknya Liok Tong merasa tidak puas, serunya tiba-tiba. “Toako, keadaan kita ibaratnya sudah berada di atas punggung harimau, biar kita mainkan saja empat bait terakhir irama maut!”

Liok Cun menghela napas, “Ai, betapa senangnya hidup kita di Hong-lay-to selama ini, siapa suruh kita percaya pada obrolan Oh Ku-gwat tanpa menyelediki lebih dulu duduknya perkara, inilah yang dinamakan mencari penyakit sendiri……”

“Kayu sudah menjadi perahu, menyesal juga tak ada gunanya, Lotoa tak perlu banyak bicara lagi,” kata Liok He dengan angkuh.

Kipas Bu-kut-san segera direntangkan lebar-lebar, ia siap untuk pertaruhan terakhir. Nona berbaju biru sejak tadi membungkam, tiba-tiba berkata, “Aku sudah mengusai ilmu Cing-peng-kang-khi, sekalipun irama Coat-mia-kik sangat lihai, juga tak bisa berbuat apa-apa terhadap nona!”

Mendengar perkataan itu, Hong-Iay-su-koay terkesiap,  rasa ngeri dan kaget terpancar di wajah mereka, jelas mereka merasa jeri oleh perkataan ‘Cing-peng-kang-khi’ atau ilmu ketenangan jiwa.

“Sungguhkah perkataanmu, nona?” tanya Liok Cun terperanjat.

Nona berbaju biru itu mendengus, “Kalau tidak benar, kenapa aku tidak terpengaruh oleh irama Liat-yang-sin-kik kailan? Kenapa pula aku tidak terluka? Masa kalian tak dapat melihatnya sendiri?”

Karena ucapan itu diutarakan dengan nada sungguh- sungguh. Hong-lay-su-koay tahu gadis itu tidak main gertak, mau-tak-mau mereka harus pertimbangkan kembali untung ruginya pertarungan selanjutnya.

Tiba-tiba Liok Tong tertawa, katanya “Bila naga dan harimau bertarung, salah satu akhirnya pasti mati, maka dalam pertarungan hari ini, jika bukan kalian yang mampus biarlah kami yang mati. Budak perempuan, nantikan saja kematianmu …!”

Seruling tanpa lubang itu segera ditempelkan lagi pada bibirnya, Liok Ciu juga mulai mengangkat cermin anehnya, Liok Cun melirik sekejap ketiga rekannya, ia menghela napas, terpaksa iapun menabuh tambur pembetot sukmanya.

Dengan kening berkerut nona berbaju biru berkata, “Sekarang teriknya matahari sudah pudar, kalian yakin berapa bagian kelihaian Coat-mia-kik kalian itu bisa dipancarkan?”

“Tenaga murni kami sudah hilang separuh, sekarang pun tiada bantuan teriknya matahari, kupikir irama Coat-mia-kik paling banter hanya bisa di pancarkan lima bagian saja, tapi kami percaya tiga bagian teaaga sakti Coat-mia-kik pun takkan mampu kalian lawan.”

“Baiklah, kala u begitu kalian boleh segera mulai menyerang,” ujar si nona berbaju biru sambil tertawa, “cuma irama Coat-mia-kik dirangkai dengan empat bait syair, bila kalian tak sanggup memancarkan kekuatannya hingga sejauh sepuluh li, kukira kami masih dapat mempertahankan diri ….”

Hong-lay-su-koay tidak bicara lagi, diam-diam timbul juga semacam perasaan menghormat dalam hati mereka terhadap jago-jago tangguh yang berada di atas panggung ini.

Deru angin kencang, embusan angin puyuh kembali berjangkit pula dari empat penjuru, irama Coat-mia-kik mulai berkumandang lagi.

Ditinjau dari istilah Coat-mia-kik berarti sebelum orangnya mampus irama takkan berhenti, jadi semacam ilmu untuk beradu jiwa. Ketika irama maut mulai menggema di udara, suasana menjadi tegang lagi. Sedemikian dahsyatnya  sehingga jagat seakan-akan berubah menjadi gelap.

Sejenak lewat sejenak, sejam lewat sejam, sudah sekian lama sang waktu berlalu.

Huan-in-kiam Lamkiong Giok dengan jago yang sudah mundur sejauh sepuluh li hanya bisa memandang ke arah panggung Kim-leng-tay dengan termangu, dia menyaksikan selapis kabut menyelimuti sekeliling tempat itu.

Irama aneh yang bercampur aduk kedengaran tiada hentinya, waktu itu ia melupakan segalanya yang diharap adalah semoga ayahnya bisa kembali dalam keadaan selamat.

Dengan kesempurnaan tenaga dalamnya, ia masih mampu mempertahankan diri terhadap pengaruh irama aneh yang lamat-lamat terdengar, berbeda dengan para jago lainnya yang sementara itu sudah mundur lagi lima li ke sana, dengan demikian tinggal dia sendiri di situ.

Ia tidak menyadari telah dicelakai Seng-gwat-kiam Oh Kay- thian secara diam-diam, tapi irama Liat-yang-sin-kik yang dahsyat dan bisa memusnahkan orang itu juga merupakan pula irama penyembuh yang paling mujarab, tanpa disadarinya racun yang mengeram dalam tubuhnya ketika itu telah tersapu lenyap seluruhnya.

Mendadak pandangannya terbeliak, sesosok bayangan dengan membawa empat macam benda berat sedang bergerak mendekat ke sini. Seketika hati terasa dingin.

Tertampak olehnya, Hu Sim-jin, si sastrawan misterius itu ctelah melemparkan tubuh Pek Bi dan Pek Sat ke tanah, menyusul dilemparkan pula tubuh Hoa Hong-hui serta si kakek berambut putih yang dikempitnya.

Dari pihak Hek-liong-kang, kecuali si nona berbaju biru yang masih mampu melawan pengaruh irama Liat-yang-sin- kik, Pek Bi, Pek Sat dan Hoa Hong-hui sudah tidak tahan lagi.

Sedang si kakek berambut putih itu meski masih bisa melawan, sayang tenaga murninya sudah banyak berkurang, mereka berempat sudah tak sadarkan diri.

Lantas siapakah sastrawan yang mengaku bernama Hu Sim-jin ini? Kenapa begitu sempurna tenaga dalamnya sehingga tidak takut pengaruh irama Liat-yang-sin-kik yang hebat? Belum pernah terdengar seorang tokoh selihai ini dalam dunia persilatan.

Lamkiong Giok sangat menguatirkan keselamatan ayahnya, meski dia angkuh dan tak sudi tunduk di bawah perintah orang, tapi keadaan mendesak, terpaksa ia maju ke depan.

“Saudara, bagaimana keadaan di sana?” tanyanya dengan gelisah. Hu Sim-jin mendengus, tanpa mengucapkan sepatah kata pun ia berjalan balik ke Kim-leng-tay.

Melihat sikap angkuh orang, Lamkiong Giok naik pitam, timbul niat jahatnya, timbul nafsu membunuhnya, sambil tertawa latah teriaknya, “Saudara, apakah kau tak sudi bicara denganku?”

“Memangnya kau tak bisa melihat sendiri?” jengek Hu Sim- jin, “Agaknya kaupun seorang tak berguna, kukira Lamkiong Hian benar-benar mempunyai anak bagaikan naga, rupanya apa yang dikabarkan dalam dunia persilatan jauh berbeda dari kenyataan!”

Habis berkata ia tak menggubris Lamkiong Giok lagi, ia putar badan dan berlalu dari situ, sikapnya angkuh sekali!

Lamkiong Giok tertawa, “Bagus! Kesombonganmu cukup menarik dan juga menggemaskan, berdasarkan apa kau berani takabur di hadapanku?”

Tiba-tiba berkelebat cahaya perak seperti naga perkasa langsung mengurung batok kepala Hu Sim-jin.

Hu Sim-jin tertawa nyaring, gerak tubuhnya mendadak dipercepat dan meluncur ke depan, secara manis dan cekatan ia meloloskan diri dari ancaman tersebut.

“Hm, Aku tak ada waktu berurusan denganmu, lain kali pasti akan kucoba kelihaian ilmu pedang Huan-in-kiam- hoatmu,” dengus Hu Sim-jin, “apalagi sekarang masih banyak orang yang perlu ditolong, ayahmu juga harus ditolong secepatnya!”

Habis berkata, secepat terbang dia meluncur lagi ke depan.

Lamkiong Giok melengak, sambil mengejar dari belakang, serunya, “Sampai di mana kehebatanmu, berani meremehkan orang lain?” Sambil mengerahkan ilmu langkah Thian-ti-liu-in (tangga langit awan mengapung) ia mengejar terus dengan ketatnya, dia sangat gemas sampai giginya gemeretuk.

Tiba-tiba berkumandang suara keras yang membawakan empat bait syair.

Badai salju menyelimuti bumi,

Hari ini berkelana sebagai pendekar. Untuk menikmati kebahagiaan manusia. Marilah ikut ke Hong-lay nirwana!

Itulah keempat bait syair irama Coat-mia-kik, agaknya Hong-lay-su-koay telah mengerahkan segenap kekuatan irama Coat-mia-kik untuk merobohkan lawan-lawannya.

Ketika bait terakhir itu berkumandang, Lamkiong Giok merasakan tenggorokannya anyir, darah bergolak dalam dadanya, tanpa ampun ia tumpah darah segar, tubuhnya bergoyang terasa berat untuk melangkah lebih jauh.

Kekuatan yang terpancar dari sepuluh li jauhnya masih sedahsyat ini, bisa dibayangkan bagaimana jadinya keadaan di atas panggung Kim-leng-tay.

Langkah Hu Sim-jin juga sempoyongan, gerak tubuhnya tidak secepat semula lagi, ini menunjukkan dia juga sedang mengendalikan diri terhadap gempuran irama Coat-mia-kik yang maha dahsyat itu.

Segala sesuatunya terasa berlangsung dengan tiba-tiba, tapi berakhir pula dengan cepat, suasana menjadi hening dan tenang kembali, seakan-akan tak pernah terjadi apapun. Untung tenaga dalam para jago di atas panggung Kim-leng- tay rata-rata kelas tinggi hingga cuma darah yang meleleh pada ujung bibirnya.

Sementara itu Liok Tong dengan mata melotot dan wajah menyeringai telak tewas secara mengerikan di sana. Liok He dan Liok Ciu juga mati dengan isi perut hancur dan pecah pembuluh darahnya. Hanya Liok Cun yang bertenaga dalam paling tinggi berhasil lolos dari musibah tersebut, meski tenaga dalamnya terkuras habis, namun jiwanya masih bisa diselamatkan.

Ia mamandang sekejap kawanan jago yang tergeletak di atas pangung, dengan wajah sedih gumamnya, “Bila tidak terlintas setitik sinar kasihan dalam benakku, saat ini kalian tentu tak bernyawa lagi!”

Dengan lemah tangannya menggapai, empat ekor bangau raksasa putih segera melayang turun di sisinya, setelah naik ke punggung bangau dengan susah payah, ia memberi tanda lagi dan pelahan terbanglah burung-burung itu atas.

Dari kejauhan terdengar suara senandungnya yang penuh kepedihan bergema di angkasa. Suara nyanyian kian lama kian jauh, bangau putih itu akhirnya lenyap di balik awan jauh di ujung langit sana.

Tiba-tiba muncul sesosok bayangan dari bawah panggung Kim-leng-tay, ia memandang sekejap sekeliling tempat itu, lalu sambil tertawa keras katanya, “Hahaha, usaha penumpasan ini betul-betul berhasil. Hahaha…….! Puas! Sungguh puas!”

Sambil tertawa tiada hentinya, dia berjongkok, untuk memungut Jian-kim-si hun-pian serta sarung ruyung yang tak sempat dibawa oleh Liok Cun.

“Oh Ku-gwat!” mendadak seorang menegur dengan nyaring, “usahamu dan siasat busukmu telah berhasil!”

Dengan terperanjat jago Thian-seng-po ini berpaling. Dilihatnya si nona baju biru telah sadar kembali dari pingsannya, dengan tubuh yang lemah gadis itu sedang merangkak bangun dan menatap ke arahnya penuh  kebencian. Thian-kang-kiam Oh Ku-gwat terkejut, niat jahatnya segera timbul, sambil tertawa dia menjawab, “Ah. mana! Masih ada seorang bibit penyakit yang belum sempat kubasmi!”

Selangkah demi selangkah ia maju ke sana, jelas ia bermaksud membinasakan nona berbaju biru itu agar satu- satunya bibit penyakit inipun bisa disingkirkan dari muka bumi.

Melihat air mukanya yang menyeringai itu, menggigil juga nona berbaju biru itu, otaknya segera berputar untuk mencari akal.

Akhirnya sambil menghela napas sedih ia berkata, “Jika aku mati, kaupun jangan harap bisa hidup!”

Oh Ku-gwat tertegun, tanpa terasa ia menghentikan langkahnya.

“Ah, masa begitu gawat?” dengusnya.

Waktu itu segenap tenaga dalam nona berbaju biru itu telah punah, sekujur tubuh terasa lemas tak bertenaga, dengan wajah murung, ia tertawa sedih, kemudian katanya, “Kedua dayangku dan Suhengku masih berada di sekitar sini, mungkin sebentar lagi mereka akan tiba kembali!”

“Ngaco-belo!” seru Thian-kang-kiam Oh Ku-gwat sambil bertepuk tangan dan bergelak tertawa

“para pelindungmu sudah musnah terhajar oleh irama Liat- yang-sin-kik, selamanya mereka takkan datang lagi!”

“Ai,” nona berbaju biru itu menghela napas sedih, agaknya ia sedang menahan siksaan yang mematikan.

“Kaupun takut mampus?” ejek Oh Ku gwat.

“Semut saja ingin hidup, apalagi manusia ….” jawab si nona berlagak tidak mengerti.

“Hahaha, kalau mengingat wajahmu yang cantik dan kecerdasan otakmu, aku benar-benar tak tega turun tangan, tapi persoalan ini  menyangkut  kepentinganku,  sebab  itulah… ”

“Kau ingin membunuhku untuk melenyapkan saksi bukan?” jengek si nona sambil tertawa dingia

“Hahaha, benar aku memang bermaksud demikian! Aku handak menciptakan suatu teka-teki berdarah di atas panggung Kim-leng-tay ini, agar orang tak berhasil menebak untuk selamanya!”

“Kalau begitu, ayolah cepat turun tangan!” seru si nona dengan gusar, “jangan kau kira aku takut!”

“Bagus! Bagus! Ingin kulihat bagaimana mimik wajahmu menjelang kcmatianmu nanti!” seru Oh Ku-gwat, lalu ia tertawa lagi dengan senang.

“Jangan berpikir seenak perutmu, kau pasti akan kecewa!” sahut si nona.

Nafsu membunuh muncul lagi di wajah Thian-kang-kiam Oh Ku-gwat, pelahan telapak tangan kanannya terangkat. Dengan tenang si nona baju biru itu memejamkan mata dan menunggu datangnya pukulan maut itu.

Mendadak seorang tertawa dingin. “Meskipun niatmu keji, tapi teka-teki ini diketahui juga olehku!”

Dengan terkejut Oh Kay-gwat berpaling, entah sedari kapan seorang sastrawan muda sedang memandang sinis padanya di belakang.

“Hehehe, bagus sekali kedatanganmu ini!” seru Oh Kay- gwat sambil tertawa seram, “akan kubereskan sekalian nyawamu!”

Dengan cepat segera dia cengkeram dada Hu Sim-jin.

Merah wajah Hu Sim-jin, ia mengira musuh sengaja bertindak kurangajar kepadanya, dengan marah dia membentak, “Manusia laknat yang tak tahu malu, kau ingin mampus?”

Ia melangkah maju, telapak tangannya direntangkan dengan jurus Leng-liong-liau-ka (naga sakit membuka sisik) cepat ia sambut ancaman lawan, bukan gerak tubuhnya saja yang aneh, jurus serangan yang dipergunakan juga luar biasa.

Oh Ku-gwat terkesiap, begitu melihat jurus serangan itu, segera ia menyurut mundur, ruyung emas Jian-kim-si-hun- pian segera bergerak dan secara beruntun melancarkan tiga kali serangan.

Hu Sim-jin tahu kelihaian ruyung emas itu, cepat ia menggeser kesamping, ia tak berani menyambut ancaman tersebut dengan keras lawan keras.

Tak terduga, tahu-tahu lengannya sudah dipegang orang, dengan terkejut ia putar badan sambil melepaskan pukulan keras ke dada orang,

Tertampak Huan-in-kiam Lamkiong Giok tersenyum sambil berkelit mundur, hati Hu Sim-jin bergetar, dengan jantung berdebar ia menundukkan kepalanya.

“Harap saudara mundur,” ujar Lamkiong Giok sambil tertawa, “biar aku menjajal kehebatan ilmu pedang Thian- kang-kiam-hoatnya!”

Kemudian kepada Oh Ku-gwat dia berkata, “Oh-lotoa, ayahku terluka paruh, hal ini boleh dibilang berkat perbuatanmu, sungguh rendah perbuatanmu itu, mulai hari ini umat persilatan Tionggoan bersama-sama akan memusuhi dirimu …..!”

Bicara sampai di sini, dengan jurus serangan Huan-in-kiam yang hebat dia menusuk, cahaya putih berkilauan, dengan membawa desing angin tajam ia kurung jalan darah kematian sekujur badan lawan. Thian-kang-kiam Oh Ku-gwat terkesiap, apalagi dilihatnya makin lama makin banyak orang yang tiba di situ, ia sadar usahanya mengelabui umat persilatan telah gagal total, segera ia bermaksud mengundurkan diri, sebab walaupun usahanya tidak berhasil, barang yang diincar dapat dirampasnya, itu berarti sebagian besar dari tujuannya telah tercapai, bila rahasia ruyung itu bisa dibongkar dan harta karun berhasil didapat…….

Sementara itu beberapa titik cahaya putih sudah menyambar tiba, mendadak ia berkelit, lalu dengan jurus Sin liong-jut-in (naga sakti keluar dari mega) dia melepaskan serangan balasan dengan tangan kanan.

Deru angin pukulan yang dahsyat segera mendampar ke depan dengan hebatnya.

Tenaga dalam Lamkiong Giok sesungguhnya termasuk hebat, iapun terhitung salah seorang jago tangguh dewasa ini, tapi Thian-kang-kiam Oh Ku-gwat adalah seorang gembong iblis, sudah barang tentu tenaga dalamnya jauh lebih hebat, sebab itulah Lamkiong Giok tak berani menyambut dengan kekerasan.

Cepat dia menarik kembali pedangnya dan melompat mundur.

Tujuan Oh Ku-gwat memang hendak memaksa dia berbuat demikian, sambil tertawa serunya, “Ha-haha, aku berangkat duluan!”

“Bangsat tua, jangan kabur, tinggalkan dulu Jian-kim-si- hun-pian itu!” bentak Lamkioug Giok.

Cahaya putih meluncur ke sana dengan gerakan Liu-in-hui- kiam (pedang terbang bagaikan awan melayang) dia mengejar Oh Ku-gwat.

“Dalam pada itu Hu Sim-jin telah mendekati si nona baju biru sambil bertanya, “Bagaimana keadaan lukamu?” “Agak baikan,” jawab si nona sambil tertawa, “coba kalau kau tidak muncul tepat pada waktunya mungkin aku sudah mati tadi.”

Tiba-tiba Hu Sim-jin tertawa pedih, keluhnya, “Andaikan hari ini tidak terjadi kebetulan, darimana aku mempunyai kepandaian sehebat ini?”

Sambil berkata, sinar matanya beralih ke tubuh Bok Ji-sia, dilihatnya pemuda itu tenang saja, kecuali napasnya yang berat hampir tiada tanda menderita luka.

Nona berbaju biru itu menghela napas, katanya, “Kesempurnaan tanaga dalamnya jauh di luar dugaanku, seandainya Liok Cun tidak sengaja lepas tangan, akibatnya juga sukar dibayangkan!”

Tiba-tiba Kiam-hong-cengcu bergerak pelahan dan membuka matanya, menyusul Bok Ji-sia juga sadar dari pingsannya, kemudian Seng gwat-kiam Oh Kay-thian dan terakhir Siau-yau-sian-kong-kek Ku Thian-gak.

Sementara semua jago masih termangu, dari bawah panggung mendadak berkumandang jeritan ngeri, begitu keras suara itu membuat hati semua orang bergetar.

Tertampaklah Kun-tun Cinjin dan Si-hun-koay-sat-jiu dengan rambut terurai tak karuan, mata melotot dan darah kental membasahi bibirnya menubruk ke atas panggung seperti orang gila.

Hu Sim-jin terkesiap, tanpa terasa dia menghimpun tenaga dalam dan bersiap-siap menghadapi segala kemungkinan.

Air muka kedua orang itu menyeringai seram, seolah-olah iblis yang siap menerkam mangsanya.

Siapakah sesungguhnya Hu Sim-jin dan apa hubungannya dengan orang Hek-liong-kang? Dapatkah Bok Ji-sia merebut kembali sarung ruyung yang menyimpan sesuatu rahasia harta karun itu?

-oo0dw0oo-
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar