Jilid 16
Diiringi jeritan lengking panjang, mendadak nenek itu jatuh tak sadarkan diri.
Ji-sia terkejut, segera teriaknya, “Nenek, sadar-lah, sadarlah!”
Ji-sia ingin menyadarkan dia, tapi baru saja tubuhnya bergerak, lukanya segera terasa sakit, buru-buru ia menarik napas dan menenangkan diri.
Aneh juga, bila Ji-sia menahan perasaannya, rasa sakit itu segera lenyap, sebaliknya begitu ia bergoyang sedikit saja, maka luka kembali terasa sakit
Ia duduk termenung, entah berapa lama sudah lewat, mendadak hatinya tergerak, ia teringat pada isi kitab pusaka Koat-im-siang-gi-cinkeng yang per-nah dipelajarinya, walaupun kitab itu berisikan jurus ilmu silat, tapi semuanya merupakan ilmu sakti yang luar biasa hebatnya, serta kunci pelajaran tenaga dalam, siapa tahu kalau di antaranya dapat digunakan untuk menyembuhkan luka?
Maka dengan saksama Ji-gia mulai berpikir, inilah satu- satunya harapan baginya untuk hidup, maka dengan teliti ia berpikir keras.
Tak lama kemudian, Ji-sia merasa, kecuali em-pat jurus serangan seperti Kiu-thian-hui-coan (sem-bilan naga terbang berputar), Gi-Khi-hui-thian (ganti napas berputar di udara), Seng-yau-hau-gwat (bintang bertaburan sekitar rembulan) dan Ih-lwe-kun-gi (jagat berputar terus pada poros), rasanya tiada jalan lain yang bisa dipakai untuk pengobatan.
Berpikir sampai di sini, Ji-sia lantas mengerahkan tenaga keempat gerakan itu.
Tak lama kemudian, air muka Bok Ji-sia mu-lai pucat, keringat dingin membasahi sekujur badan-nya, kulit muka pun mengejang penuh derita. Keadaan ini serupa waktu ia hendak mem-buyarkan hawa panas yang membeku dalam urat nadinya tempo hari.
Mendadak terdengar seseorang menghela napas sedih dan berkata, “Kau jangan mengerahkan te-naga dalammu lagi, jangan membuat lukamu ber-tambah parah.”
Mendengar ucapan itu, Ji-sia membuka mata-nya, ia lihat nenek berambut putih itu duduk bersila di hadapannya.
“Ai, aku selalu tak mampu menyembuhkan lukaku sendiri,” keluh Ji-sia sambil menghela napas.
“Kau terluka oleh ilmu Thian-kang-ci-sinkang yang lihai, urat nadi anggota tubuhmu sama mampet, sehingga peredaran darah dari atas ke bawah tak dapat beredar dengan lancar, itulah sebabnya setiap kali bergerak, mulut luka terasa sakit sekali, bila kau hendak menyembuhkan luka itu, harus kau- lakukan dengan kaki di atas dan kepala di bawah, dengan pemutaran balik im-yang tersebut, lalu mengerahkan tenaga. Hal mana akan membuat da-rah beredar terbalik, ini akan melancarkan kembali urat nadi yang tersumbat, asal beristirahat bebe-rapa waktu dengan tenang, maka luka itu akan sembuh dengan sendirinya.
“Cuma, satu-satunya cara pengobatan ini hanya berlaku untuk kaum lelaki yang masih perjaka, ka-lau bukan perjaka, maka luka itu takkan sembuh untuk selamanya.”
Mendengar perkataan itu, Ji-sia merasakan ke-palanya menjadi pusing dan matanya berkunang-kunang, sabab dia merasa bukan perjaka lagi.
Iapun tahu bahwa Thian-kang-ci-sinkang adalah kepandaian yang amat ganas, jangankan urat nadi anggota badan terluka, sekalipun luka terletak di tempat lain pun akan menyebabkan korban tak tahan.
Dengan sedih ia menghela napas panjang, ia merasa begitu banyak godaan dan percobaan da-lam hidupnya, setiap saat terancam bahaya, setiap waktu harus berduel melawan maut.
Sesaat kemudian, sambil tertawa getir Ji-sia bertanya, “Nenek, bagi korban Thian-kang-ci sinkang, kecuali memutar balikan Im-yang dan per-edaran darah, apakah tiada cara lain lagi yang bi sa digunakan untuk mengobati lukaku?”
Nenek berambut putih itu tertegun, lalu jawab-nya, “Ada sih ada, cuma…..”
“Cuma apa?” seru Ji-sia dengan bersemangat.
“Cuma mesti ada enam jago silat yang memiliki tenaga dalam lebih lihai dari padamu dan secara be-runtun menepuk ke 72 jalan darah penting dari enam sudut yang berbeda…… “
Mendengar ucapan ini hati Ji-sia seketika men-jadi dingin, jangankan sukar menemukan enam jago lihai pada saat ini, sekalipun ada, berapa banyak orang yang memiliki tenaga dalam lebih sempurna darinya? Atau dengan perkataan lain, cara ini pun tak mungkin terlaksana. Ia tertawa sedih, katanya, “Nenek, kau tak perlu bicara lagi, akupun enggan menyembuhkan lukaku.”
Nenek itu heran, “Kau betul-betul seorang aneh yang jarang ada di dunia ini, tadi kau mendesak-desak, sekarang kau menolak, sungguh bikin orang tak habis mengerti!”
Tampaknya ia dibikin bingung oleh sikap Ji-sia yang aneh itu…..
Dengan cepat Ji-sia membuang jauh-jauh se-mua persoalan yang menyedihkan, pikirnya, “Bila melihat kesedihan si nenek setelah mendengar be-rita kematian guruku, Oh Kay- gak, bisa diduga ia mempunyai hubungan yang erat sekali dengan Suhu, hanya sayang tidak kuketahui hubungan apakah yang sebenarnya terjalin di antara mereka? Kini nyawaku sudah berada dicengkeraman elmaut, se-belum meninggal kenapa tidak kucoba untuk me-mancing sedikit keterangannya hingga bisa kuketa-hui kejadian apa yang pernah menimpa guruku pada masa lalu serta hubungan cinta dan dendamnya yang memilukan hati……?”
Berpikir demikian, dengan tersenyum ia berkata, “Nenek, jika kulihat kesedihanmu tadi, apakah engkau kenalan lama guruku Oh Kay-gak di masa lalu…..?”
Walaupun sudah tahu ia pura-pura bertanya lagi, di sinilah letak kecerdikannya.
Mata nenek itu kembali basah oleh air mata, tubuhnya gemetar keras, kesedihannya membuat orang ikut terharu, setelah menghela napas, ia ter-belalak kesima.
Kenangan lama satu demi satu terlintas dalam benaknya.
Inilah kenangan yang memilukan hati, kenang-an yang sudah delapan belas tahun lamanya terta-nam dalam hatinya! Delapan belas tahun, suatu wak-tu yang tidak terhitung pendek, tapi sedetik demi sedetik dan semenit demi semenit telah dilaluinya. Terkadang ia pikir kematian akan membebas-kannya dari segala-galanya, tapi walaupun jasad bi-sa bebas, sukma yang gentayangan akan lebih ter-jerumus ke dalam jurang kesedihan yang tak ber-akhir, keadaan ini akan jauh lebih tersiksa daripa-da kematian itu sendiri …..
Apalagi dalam hatinya masih menyimpan se-titik harapan, karena harapan inilah ia dapat ber-tahan hidup sampai kini.
Ia melelehkan air mata tanpa mengeluarkan suara tangisan.
Tangisan tanpa suara lebih me-nyiksa daripada tangisan bersuara, sekuatnya ia me-nahan kesedihan dan mengenang kembali kejadian masa silam.
Bok Ji-sia tak mengira ucapannya akan me-mancing rasa sedih yang begini mendalam bagi ne-nek itu, timbul rasa ibanya, entah mengapa dia ikut melelehkan beberapa titik air mata. Tanyanya ke-mudian, “Mungkin kalian adalah sepasang kekasih!”
Nenek berambut putih itu tertawa pedih, “Bu-kan cuma kekasih saja, bahkan suami istri…”
Ji-sia terperanjat, mimpi pun ia tak menyangka nenek ini adalah istri gurunya, ibu guru sendiri.
Jadi hubungan antara Oh Keng-kiau dengan nenek bercadar ini kecuali hubungan guru dan mu-rid, mungkin masih ada pula hubungan lain yang luar biasa, walaupun hubungan itu bisa diduga, na-mun sungguh membuat orang tidak habis mengerti.
“Jadi Oh Keng-kiau adalah putrimu?” tanya Ji-sia dengan gemetar.
Setelah berhenti sejenak, buru-buru ia memberi hormat, katanya, “Dosa Tecu benar-benar tak terampunkan, kekasaran Tecu barusan harap Subo (ibu guru) sudi memaafkan……” “Yang tidak tahu tak bersalah, dalam peristiwa tadi kau tak bisa disalahkan,” kata nenek itu sam-bil menggoyang tangan, “walaupun Keng-kiau ada-la h putri kandungku, namun kami berdua hanya terbatas pada hubungan guru dan murid, selama ini ia tak tahu keadaan yang sesungguhnya.”
Mendengar itu, Ji-sia menghela napas, “Ibu dan anak saling berhadapan ternyata tak mengenal satu sama lain, sungguh suatu peristiwa yang tragis! Aku benar-benar tak tahu bagaimana caranya Subo hi-dup selama delapan belas tahun ini?”
Nenek bercadar itu menghela napas sedih, “Anak Sia, Subo bisa hidup hingga kini, tak lain karena anakku Keng-kiau,” katanya, “setiap kali bertemu dengannya, akupun teringat kepada Kay-gak, rasa hatiku seperti tersayat.”
Panggilan “anak Sia” itu bagaikan panggilan dari seorang ibu terhadap anaknya, Ji-sia merasakan dirinya seakan-akan berada dalam pangkuan ibunda, sa-king terharunya air mata jatuh bercucuran.
“Subo!” serunya sambil menahan rasa iba, “apakah engkau tidak mempunyai rencana untuk menceritakan keadaan yang sebenarnya kepada adik Keng-kiau?”
Nenek bercadar itu menggeleng kepala berulang kali, “Lebih baik persoalan ini jangan diceritakan kepadanya, kini Keng-kiau hidup gembira, jika ia mendapat tahu keadaan yang sebenarnya, dalam hatinya yang suci bersih akan tergores luka yang da-lam sekali. … Ji-sia, kau mengerti bukan maksud perkataanku? Semua ini hanya demi Keng-kiau, kalau tidak… . ai! Masa lalu takkan kembali lagi, yang sudah biarkanlah lalu!”
Suatu pergolakan perasaan yang aneh tiba-tiba menerjang keluar dari hati Ji-sia, ia merasa Thian terlalu tidak adil, kenapa pelbagai siksa derita harus dilimpahkan pada tubuh kaum perempuan yang tak berdaya? Membuat mereka tersiksa siang dan malam tanpa kesal belas kasihan! Akhirnya ia menjerit, “Subo, tegakah engkau membiarkan adik Keng-kiau menganggap musuh sebagai ayahnya? Masa kau biarkan dia tak kenal orang tua sendiri? Meski engkau sayang kepadanya, tapi justeru telah mencelakainya, orang hidup bila tidak kenal kedua orang tua, untuk apa dia mempertahankan hidupnya? Apakah kau suka asal-asul adik Keng-kiau akan menjadi teka-teki seumur hidup? Tindakanmu ini sungguh terlalu! Apalagi orang yang membesarkan dia, justeru adalah pembunuh ayah-nya. Subo, engkau keliru besar……”
“Tutup mulut!” mendadak si nenek membentak.
Karena bentakan itu, Ji-sia tersadar, walaupun uraiannya diberikan dengan tegas dan berani, tapi bagaimanapun nenek itu adalah ibu gurunya, tim-bul rasa menyesalnya, tanpa terasa ia menunduk ke-pala rendah-rendah.
“Subo, akulah yang bersalah!” katanya pedih.
Tiba-tiba nenek itu menghela napas panjang, katanya, “Kau tidak bersalah, yang bersalah ada-lah Subo, belasan tahun aku tak dapat menembus pikiran sesat ini, tapi sekarang aku telah mengerti, aku tahu apa yang harus kulakukan.
“Ai delapan belas tahun sudah lewat, setiap saat batinku selalu bertentangan, tapi kini aku mulai sadar, apa yang kau katakan justeru merupakan sumber utama pertentangan batinku, sekarang aku benar-benar memahami makna kehidupan manusia.”
Bicara sampai di sini, air matanya bercucuran penuh kepedihan….
Mendadak sesosok bayangan berkelebat di de-pan pintu, tahu-tahu seorang telah berdiri tegak di situ.
Hati Ji-sia berdua bergetar, sejak kapan orang datang kemari? Kejadian isi terlampau mendadak, sungguh mereka hampir tak percaya. Oh Keng-kiau berdiri di situ dengan air mata bercucuran, ia memandang ke arah si nenek ber-cadar dengan wajah memelas, bibirnya bergerak se-perti mau bicara, hanya air mata yang meleleh ti-ada hentinya.
“Ibu!” Oh Keng-kiau lari ke depan dan me-nubruk ke dalam pelukan nenek bercadar itu, de-ngan luapan emosi kedua orang itu saling berangkulan dan menangis tersedu.
Semenjak kecil Oh Keng-kiau sudah mendamba-kan seorang ibu, kini setelah berhadapan dengan ibu kandungnya, justeru tak sepatah kata pun sang-gup diucapkan.
Ji-sia menghela napas, pelahan ia memejamkan mata.
Nenek itupun menghela napas, katanya, “Keng-kiau, kau telah mendengar semuanya?”
“Ya, semuanya telah kudengar,” sahut gadis itu sambil menangis, “Oh ibu, betapa sengsaranya anakmu, mengapa engkau mengelabuiku?”
Mendadak terdengar suara langkah orang ber-kumandang dalam ruangan itu, Ji-sia bertiga sama melengak dan mulai menduga-duga, mendadak pe-muda itu melompat bangun.
“Anak Sia, tubuhmu terluka parah, biar aku yang menghadapinya…” cegah si nenek sambil menepuk bahu anak muda itu.
Dengan gerak cepat ia menyelinap keluar ruangan dan sekejap kemudian sudah lenyap dari pandangan.
Seperginya nenek itu, dengan air mata masih ber-linang Oh Keng-kiau berkata, “Tak perlu gugup engkoh Bok, tempat ini adalah tempat pertapaan ibuku, siapapun tak berani kemari… . Eh, kenapa wajahmu tak sedap dipandang?”
Ia terkesiap, lalu berkata lebih lanjut, “O, ru-panya kau terkena pukulan Thian-kang-ci-sinkang guru… . ibuku? Ah, bagaimana baiknya?” Saking cemasnya, kembali air mata Keng-kiau bercucuran. “Aku tidak apa-apa,” ucap Ji-sia dengan penuh rasa terima
kasih, “inilah musibah, ini pula nasib.”
Mendadak satu ingatan terlintas dalam benak-nya, ia pikir, “Pukulan Thian-kang-ci-sinkang ter-masuk pukulan berhawa panas, jika dilawan de-ngan hawa dingin, entah bagaimana reaksinya? Ke-napa tidak kucoba sendiri? Gagal atau berhasil tam-paknya bergantung pada tindakanku ini… …”
Berpikir demikian, buru-buru katanya kepada Keng-kiau, “Sumoay, gunakan hawa dinginmu yang lembut untuk menahan Hian-ki dan Tiong-siu-hiat di tubuhku, cepat!”
“Mampukah cara ini menyembuhkan lukamu?” tanya si nona dengan sangsi.
Sekalipun sangsi tetap Keng-kiau menempelkan juga telapak tangannya pada Hian-ki serta Tiong-siu-hiat di tubuh pemuda itu.
Buru-buru Ji-sia mengerahkan tenaga dalam untuk melakukan perlawanan, tapi lantaran me-ngerahkan tenaga, lukanya lamat-lamat terasa sakit pula.
Butiran keringat sebesar kedelai bercucuran membasahi tubuhnya, ia ingin batalkan niatnya me-ngobati lukanya, tapi tenaga dalam Oh Keng-kiau telah menerjang tiba dengan dahsyatnya, hal ini membuatnya tak sanggup berhenti.
Entah sudah berapa lama, ketika ia sadar kem-bali, semua rasa sakit telah hilang.
Pada saat itulah terdengar dengus orang ber-kumandang ke dalam ruangan, menyusul sesosok bayangan hitam berkelebat tiba.
Dengan rasa gemas nenek bercadar itu muncul kembali di situ, belum lagi ia berdiri tegak lantas membentak dengan nyaring, “Siapa?” “Hahaha…. .” mengikuti suara bentakan itu, dalam ruangan telah bertambah satu orang.
Begitu mengetahui orang itu adalah Oh Kay- thian, hati Bok Ji-sia bergetar, dengan cepat ia me-lompat bangun, tapi si nenek bercadar segera menghalanginya.
“Oh Kay-thian!” serunya sambil tertawa dingin, “jika kau berani mengganggu seujung rambut-nya, segera kukuliti tubuhmu!”
Seng-gwat-kiam Oh Kay-thian terbahak-bahak, “Bok- siauhiap, kembali kita bersua, setelah datang di Thian-seng- po, kenapa tidak mengabarkan ke-datanganmu kepadaku agar aku bisa menjadi tuan rumah yang baik?”
Kata-kata itu diucapkan dengan ramah, sama sekali tidak tampak kebengisan seorang gembong iblis yang berhati busuk dan kejam.
Ji-sia mendengus, “Terima kasih atas kebaik-anmu.” Melihat kedatangan “ayahnya”, sekujur badan Oh Keng-
kiau gemetar dengan keras, sekarang dia baru tahu Seng-
gwat-kiam Oh Kay-thian bukan ayahnya melainkan musuhnya, pembunuh ayahnya, rasa hormatnya seketika tersapu lenyap, dia melotot dengan penuh kebencian.
Menyaksikan sikap gadis itu, Oh Kay-thian malah tertawa, tegurnya, “Keng-kiau, kenapa tidak memanggil ayah?”
Bagaikan ditusuk jarum yang tajam, sekujur badan Oh Keng-kiau serasa mengejang, katanya de-ngan gemetar, “Kau bukan ayahku, aku benci pa-damu!”
Seng-gwat-kiam Oh Kay-thian tertegun, ia me-mandang sekejap, kemudian serunya, “Keng-kiau, kenapa kau? Apakah kau mendapat penghinaan? Atau mendapat hasutan orang yang hendak me-misahkan cinta kasih kita sebagai ayah dan anak? Ai, Keng-kiau, ibumu sudah lama meninggal, ayah-lah yang memeliharamu hingga dewasa, apakah kau tak akui ayahmu lagi?”
Keng-kiau tertawa pedih, sambil mendekap kepala sendiri serunya, “O, Thian, kenapa aku tidak mengetahui persoalan ini, kenapa… .?”
Dalam waktu singkat awan mendung serasa menyelimuti suasana ruangan itu, dengan penuh derita Keng-kiau memegang kepala sendiri dan lari ke luar.
Pukulan batin ini terlampau berat, hati suci gadis itu kini diliputi selapis bayangan gelap.
Ji-sia segera membentak, “Su-moay, kau hendak ke mana?”
Cepat ia memburu maju, tangannya direntang-kan dan mencengkeram lengan si nona.
“Jangan sentuh dia….” suatu bentakan nya-ring menggelegar.
Seng-gwat-kiam Oh Kay-thian telah angkat telapak tangannya yang besar dan menghantam Ji-sia dengan jurus Ngo-teng-kay-san (lima raksasa menggali gunung).
Ketika menyaksikan Keng-kiau pergi mening-galkan tempat itu, rasa gusar dan kesal si nenek lantas dilampiaskan kepada Seng-gwat-kiam Oh Kay-thian, sambil tertawa seram ia menerjang maju.
“Oh Kay-thian!” bentaknya, “hari ini boleh kau rasakan kelihaian ilmu jari Thian-kang-ci ini!”
Kelima jari tangannya menjentik ke udara, dua gulung tenaga serangan yang dahsyat diiringi de-sing angin tajam langsung menyambar ke bagian mematikan di tubuh Oh Kay- thian.
Jurus Thian-be-heng-gong (kuda langit berjalan di angkasa) yang digunakan Oh Kay-thian belum sepenuhnya dan lantas disergap, dalam kagetnya buru-buru ia berputar dan melayang sejauh bebe-rapa depa, terpaksa ia harus meninggalkan Bok Ji-sia yang diserangnya itu.
Ji-sia membentak dan menyusul dari belakang, mendadak Ok Kay-thian berteriak, “Tunggu seben-tar!”
“Apalagi yang hendak kau katakan?” seru Ji-sia.
Oh Kay-thian memandangnya sekejap, lalu ter-tawa dingin, kemudian ia berpaling ke arah si nenek, katanya, “Enso, kenapa tidak kau lepaskan saja ka-in cadarmu itu agar Samtemu dapat menyaksikan lagi kecantikan paras Enso masa lampau? Apakah engkau hendak merahasiakan terus dirimu?”
Setelah berhenti sejenak, ia lalu melanjutkan, “Padahal sejak kau masuk ke dalam Thian-seng-po, aku sudah tahu siapakah dirimu, tapi demi Keng-kiau terpaksa aku pura-pura tidak tahu, agar kalian ibu dan anak bisa berkumpul setiap hari.
“Tempo hari, karena pergolakan emosi, aku telah melakukan perbuatan yang melanggar peri kemanusiaan, tapi penderitaan batinku sungguh tak terlukiskan, senantiasa aku ingin memohon maaf kepada Jiko, tapi aku tak berani berbuat demikian.
“Untuk menyatakan rasa menyesalku kepada Jiko dan Enso, semua pikiran dan perhatianku ham-pir kucurahkan atas diri Keng-kiau, belum pernah kumaki dia, belum pernah kubentak dia, apakah sebabnya semua itu? Tak lain demi Ensoku.”
Dari pembicaraan ini, lamat-lamat Ji-sia da-pat menyelami rasi “benci” gurunya masa lalu, ser-ta perselisihan di antara mereka bersaudara tam-paknya tak lain adalah soal cinta.
Dengan air mata berlinang nenek itu menarik kain yang menutupi mukanya itu. Mata Ji-sia terbeliak, seraut wajah yang cantik segera muncul di depan matanya, meski rambut telah beruban, namun tidak menutupi bekas kecan-tikannya masa lalu.
Raut mukanya persis muka Oh Keng-kiau, seandainya rambutnya tak beruban dia bisa mengira mereka adalah kakak beradik, Ji-sia lebih-lebih tak menyangka bahwa perempuan setengah tua ini tak lain adalah isteri kesayangan gurunya.
Dengan luapan emosi, Seng-gwat-kiam Oh Kay-thian berseru, “Adik Ling, kau masih tetap cantik!”
“Tutup mulut!” bentak perempuan cantik itu dengan mata melotot, bagaimana pun juga aku adalah istri Jikomu, sepantasnya kau memanggil aku Enso, bila berbicara kekejamanmu terhadap kakakmu sendiri, sungguh aku ingin membalaskan den-dam bagi suamiku saat ini, tak dapat kubiarkan kau hidup lebih jauh…..”
“Seandainya bukan gara-garamu, kami suami istri tak akan berpisah selama delapan belas tahun. Oh Kay-thian, hatimu sungguh keji dan beracun, sungguh membuat orang murka dan dendam, tak nyana kau berani melakukan perbuatan terkutuk, membikin sengsara orang seperti apa yang kualami ini….”
Pucat air muka Oh Kay-thian, dengan agak tersipu-sipu katanya, “Adik Ling, aku berbuat se-mua ini tak lain karena aku cinta padamu. ”
“Aku Bwe Siau-ling punya she dan nama!” bentak perempuan cantik itu lagi, “bila kau enggan memanggilku sebagai ensomu, panggil saja dengan sebutan Se-to-sianci (dewi cantik dari pulau barat) jika menyebut adik Ling terus menerus, jangan me-nyesal bila aku tak sungkan-sungkan lagi pa-damu!”
Dengan sedih Oh Kay-thian berkata, “Adik Ling, kau….” “Plak! Plok! Plak! Plok!” seketika itu pipi Oh Kay-thian merah bengkak akibat tamparan keras.
Selesai menampar Oh Kay-thian, tampaknya kemarahan Se-to-sianci Bwe Siau-ling belum reda, dengan gemas ia mendelik.
Bok Ji-sia mengikuti adegan tersebut, ia geleng kepala dan menghela napas, ia tak menyangka se-orang gembong iblis lihai dapat berubah menjadi begitu lemah dan tak berguna akibat belenggu cinta. Sampai di sini, sambil tertawa hina ia berjalan keluar ruangan.
“Berhenti!” Seng-gwat-kiam Oh Kay-thian mem-bentak, ia menerjang ke depan pintu, kedua tangan direntangkan mengalangi anak muda itu, de-ngan wajah hijau membesi dan penuh rasa dendam dia awasi pemuda itu tanpa berkedip.
Bok Ji-sia yang angkuh dan keras kepala tentu saja enggan berhenti di situ, sambil mendengus ia langsung menerjang ke depan.
“Kau cari mampus!” bentak Oh Kay-thian de-ngan gusar.
Di tengah bentakan segera ia menerjang maju dengan cepat. Melihat orang menerjang tiba, semangat Ji-sia terbangkit, sambil tertawa kaki kirinya maju se-langkah, lalu berputar dan kedua telapak tangan direntangkan, lalu berputar membalik dan menghantam tubuh Oh Kay-thian.
Seng-gwat-kiam Oh Kay-thian adalah jago li-hai golongan hitam dan termasuk salah satu di an-tara Bu-lim-jit-coat, tenaga dalamnya sempurna, sambil tertawa dingin ia sambut serangan itu.
Ketika dua gulung angin pukulan yang sama dahsyatnya itu saling bentur, timbul suara keras dengan pusaran angin, debu pasir beterbangan.
Tubuh Oh Kay-thian berguncang, sebaliknya Bok Ji-sia tergetar mundur dua langkah. Se-to-sianci menyaksikan pertarungan itu dan terkesiap, segera melompat maju dan berdiri di an-tara kedua orang itu, sambil tertawa dingin katanya, “Oh Kay-thian, kau hendak mengapakan dia?”
Oh Kay-thian menghela napas, “Ai, baiklah! Untuk kali ini kuampuni jiwamu!”
Ji-sia mendengus, lalu tertawa terbahak-bahak, “Oh Kay- thian, suatu ketika kau pasti akan mati di tanganku!”
Memandangi bayangan Ji-sia yang menjauh, tersembul senyuman misterius pada wajah Oh Kay-thian, setelah memberi hormat kepada Se-to-sianci, iapun mengundurkan diri.
Ji-sia baru saja keluar, angin tajam mendadak menerjang dari depan, dia menarik napas dan ber-siul panjang, cahaya emas memancar, ruyung Jian-kim-si-hun-pian menyapu ke depan.
Jeritan ngeri berkumandang, sesosok tubuh ting-gi besar terbanting ke tanah dengan batok kepala hancur dan tewas seketika.
Tanpa memeriksa keadaan musuh pemuda itu melompat ke atas atap rumah. Suasana di sekeliling tempat itu hening. Tiba-tiba sesosok bayangan berkelebat tiba, entah gerak-an apa yang digunakan, tahu-tahu sudah berdiri di depan anak muda itu.
Setelah berhenti, orang itu bergelak tertawa, serunya, “Bok-lote, tak kusangka kita akan bersua kembali di sini!”
Ji-sia merasa muak melihat tampang Thian-kang-kiam Oh Ku-gwat yang penuh kelicikan itu, katanya dengan dingin, “Ada urusan apa…… “
Thian-kang-kiam Oh Ku-gwat melirik sekejap ruyung mestika Jian-kim-si-hun-pian, sahutuya, “Ai, aku cukup jelas akan watak manusia, seperti Bok-lote yang membawa benda mestika, pertikaian jelas tak bisa dihindari, badai berdarah sekarang juga akan berlangsung, semua ini boleh dibilang akibat Bok-lote seorang……”
Ji-sia tidak paham maksud perkataannya, ma-ka ia tak menggubrisnya, sambil tertawa dingin kembali ia meneruskan perjalanan ke depan.
“Apakah kau tidak menginginkan lagi sarung Jian-kim-si- hun-pian itu?” teriak Oh Ku-gwat tiba-tiba.
Cepat Ji-sia berhenti dan bertanya, “Di mana?”
Thian-kang kiam Oh Ku-gwat tertawa terkekeh. “Dengan mempertaruhkan perselisihanku dengan saudara sendiri, aku bersedia memberitahukan hal ini kepada Bok-lote, biar kau tahu betapa maksud baikku ini…..”
“Hm, sekalipun kau mengibul setinggi langit, aku selalu waspada terhadapmu……” demikian Ji-sia berpikir.
Belum habis ingatan tersebut terlintas, terdengar Thian- kang-kiam Oh Ku-gwat berkata pula, “Dewasa ini para jago dari pelbagai perguruan dan aliran telah berdatangan di sudut utara Thian-seng-po, kemungkinan besar Samteku pun segera akan tiba di sana!”
Baru selesai berkata, tampak empat sosok bayang-an berkelebat lewat dan semuanya menuju ke arah utara Thian- seng-po, melihat itu Ji-sia segera tahu apa yang diucapkan Oh Ku-gwat tidak bohong, ce-pat ia menyusul ke sana.
Wajah Thian-kang-kiam Oh Ku-gwat yang ter-lihat licik dan keji memandang bayangan punggung anak muda itu sambil tertawa dingin.
“Orang she Bok,” demikian gumamnya, “bila tidak mengingat dirimu masih ada harganya untuk dipergunakan, tak nanti kubiarkan kau tinggalkan benteng ini dengan selamat. Hah, hanya kau yang merupakan bahaya bagi Samteku… . Hahaha… . asal kau Bok Ji-sia berseteru dengan Samteku, cepat atau lambat ruyung mestika itu pasti akan jatuh ke tanganku… . Hehe… . boleh bertarung kalian sam-pai mampus semua!”
Dengan senyuman yang licik, dia juga berlalu dari situ.
Waktu itu, di sudut utara Thian-seng-po sedang berlangsung suatu pertemuan besar. Ketika Ji-sia tiba di situ, tampak bayangan orang berjubal, wajah mereka sama menampilkan sikap yang aneh, seakan-akan sedang menantikan sesuatu! Seperti juga sedang mengawasi sesuatu?
Entah sedari kapan di tanah lapang itu telah berdiri sebuah panggung yang amat tinggi, lebarnya dan tinggi satu tombak lebih, warna panggung itu kuning emas, di atasnya terpancang sebuah papan nama berhuruf besar dan berbunyi “Kim-leng-tay” (panggung komando).
Di sekitar sana didirikan pula empat buah barak, setiap barak terpancang sebuah papan nama yang secara berurutan tertulis nama-nama seperti Thian-seng-po, Kiam-hong-ceng, Su-toa-to dan Hek-liong-kang.
Di antara barak dengan panggung Kim-leng-tay di tengah lapangan berjajar berpuluh buah kursi batu, jelas tempat itu disediakau untuk para jago lihai yang tidak bergabung dalam suatu kelompok tertentu.
Waktu itu, tak sedikit jago persilatan yang telah berdatangan, kebanyakan mereka duduk di sana dengan sikap yang dingin dan hambar, mere-ka tidak saling bercakap- cakap, pun tidak saling menyapa.
Suasana hening dan terasa khidmat sekali.
Kawanan jago dari pihak Thian-seng-po belum datang, baraknya masih kosong melompong, barak Hek-liong-kang pun kosong, belum ada penghuninya.
Sedangkan dari pihak Su-toa-to (empat pulau besar), kecuali dua puluhan laki-laki berbaju hitam yang berdiri di seputar barak, ruang barak yang berisi empat tempat duduk itu juga masih kosong, sudah barang tentu tempat itu disediakan untuk keempat Toatocu atau kepala pulau.
Dari pihak Kiam-hong-ceng sudah tak sedikit jago yang datang, Huan-in-kiam Lamkiong Giok dengan senyum dikulum duduk dalam barak, di sampingnya masih tersedia sebuah tempat kosong, sedang di sekelilingnya penuh berdiri jago- jago lihai dari pihak Kiam-hong-ceng.
Dengan sikap yang jumawa dan gagah, Huan-in-kiam Lamkiong Giok duduk di situ, sorot matanya berulang kali menyapu pandang sekeliling tempat itu, seakan-akan tidak memandang sebelah mata
terhadap orang lain.
Kawanan jago yang berada di luar barak sa-ma-sama menunjukkan sikap tak puas, namun me-reka tak berani melakukan sesuatu tindakan atau bersuara yang menunjukkan ketidakpuasannya.
Mendadak terdengar seorang mendengus, per-hatian semua orang segera tertuju ke arah orang itu.
Beratus pasang mata bersama-sama tertuju ke arah orang itu dengan pandangan keheranan, se-dang orang itu dengan sinis melotot sekejap ke arah Lamkiong Giok, kemudian tertawa terbahak-bahak, sikapnya yang sinis dan menghina itu mem-buat orang tak tahan.
Setelah mengamati sekejap keadaan orang itu, Huan-in- kiam Lamkiong Giok diam-diam merasa terperanjat, ia lihat orang itu berwajah tampan, kulit tubuh putih bersemu merah, sekalipun sudah lama berkelana dalam dunia persilatan, ternyata tak dikenalnya siapa gerangan orang ini.
Lamkiong Giok mengerling, lalu tertawa ter-bahak-bahak, sapanya, “Saudara, siapa namamu yang terhormat? Bersediakah datang kemari dan duduk bersamaku?” “Terima kasih,” jawab sastrawan tampan itu sambil tertawa dingin, “aku tak berani menerima kebaikanmu itu!”
Habis berkata ia lantas melengos ke arah lain, ia tidak menggubris Lamkiong Giok lagi. Melihat tingkah laku sastrawan yang aneh itu, kembali para jago terperanjat, diam- diam mereka meraba-raba asal-usulnya.
Lamkiong Giok merasa mendongkol sekali, na-mun rasa mendongkolnya sukar terlampias keluar, ia hanya tertawa, suaranya dingin menyeramkan, membuat para jago yang mendengar suara tertawanya itu sama terperanjat.
Belum habis ia tertawa, sekilas dilihatnya ke-hadiran Bok Ji- sia, tergerak hatinya, sambil tertawa ia berkata, “Aha, saudara Bok, sudah lama Siaute menantikan kedatanganmu, silakan lekas……”
Sembari berkata, ia meninggalkan tempat du-duknya untuk menyambut anak muda itu. Sinar mata para jago beralih ke arah Bok Ji-sia, melihat sikap Lamkiong Giok dapat diketahui bahwa orang yang disambutnya sendiri itu pasti mempunyai asal usul yaug besar, tapi ketika me-lihat Bok Ji-sia, tanpa terasa semua orang sama memperdengarkan suara kecewa.
Melihat sikap hormat Lamkiong Giok terhadap dirinya, Ji-sia merasa terharu, serunya dengan penuh rasa terima kasih, “Saudara Lamkiong, selamat ber-temu kembali!”
Kemudian sambil bergandengan tangan mereka berjalan bersama, sikap mesra seperti ini segera membuat para jago terkesiap. Ketika sastrawan tampan itu melihat kedatang-an Bok Ji-sia, air mukanya segera berubah, tapi lantas tenang kembali, dia terus memandang awan di angkasa dengan termangu-mangu.
Ji-sia memandang sekejap sekeliling tempat itu, lalu katanya, “Saudara Lamkiong, tidak sedikit yang datang hari ini?” “Ah, semua manusia yang tak ada artinya, yang menonjol paling-paling cuma satu-dua orang saja!” dengus Lamkiong Giok.
Ucapan itu diutarakan dengan suara lirih, tapi sastrawan itu dengan sikap seperti tak sengaja justeru melotot sekejap ke arahnya dengan gusar.
Lamkiong Giok menjadi terkejut, pikirnya, “Entah siapakah orang ini? Kenapa begitu tajam sorot matanya? Aku mesti hati-hati menghadapinya.”
Kebetulan Bok Ji-sia juga sedang memandang ke arah yang gama, betapa terkesiapnya setelah melihat sastrawan tersebut, ia merasa wajah sastra-wan itu sudah dikenalnya, hanya seketika dia tak ingat di manakah mereka pernah berjumpa.
Tiba-tiba sastrawan itu tersenyum ke arahnya, lalu cepat berpaling lagi memandang ke arah tulisan “Kim-leng-tay” yang berwarna merah itu.
Mendadak berkumandang suara tambur dan gembreng yang amat nyaring bagaikan irama dewa yang menimbulkan perasaan aneh bagi siapa pun yang mendengarnya, ketika para jago berusaha men-cari sumber irama tersebut, ternyata tak seorang pun yang mengetahui darimana suara tersebut ber-asal.
“Empat Tocu dari empat pulau besar tiba!” suara teriakan nyaring berkumandang.
Beratus pasang mata serentak tertuju ke depan di mana beberapa puluh sosok bayangan orang se-dang bergerak mendekat.
Cian-ciau-tocu, Ciu-siu-thi-say (singa baja bercambang) In Ceng-bu berjalan paling depan menyusul Tun-bu-tocu…. Ai-te- liong (si naga ce-bol) Yau Tong-seng dan Tiang-mo-tocu Siu- tiok-hong (angin bambu kurus) Ki Kiu-jin berjalan di tengah, sedang Hi-kan tocu Lok-to-sianseng (tuan unta) Ciang Lip-tek berjalan paling belakang.
Dengan lagak yang angkuh, keempat orang Tocu itu masuk ke dalam barak yang telah disedia-kan, sementara anak buahnya segera menyebarkan diri ke kiri dan kanan sambil melolos senjata ma-sing-masing.
Ciu-siu-thi-say In Ceng-bu memandang sekejap ke arah Lamkiong Giok, kemudian sambil tertawa seram katanya, “Sungguh tak tersangka kedua bocah keparat itu datang lebih duluan!”
Ji-sia menjadi gusar, bentaknya, “Kau boleh datang, memangnya orang lain tak boleh?”
Se-rentak ia lantas berbangkit.
“Jangan marah saudara Bok,” Lamkiong Giok segera menariknya, “asal ayahku datang, keempat Tocu ini pasti akan lari terbirit-birit.”
Lok-to-sianseng Ciang Lip-tek terbahak-bahak, “Orang bilang Lamkiong-loji punya anak seperti naga, rupanya berita ini memang betul, baru ber-temu sudah besar ngibulnya.”
Dengan gusar Lamkiong Giok melotot sekejap ke arahnya, pikirnya, “Meski tenaga dalamku melebihi keempat Tocu tersebut, tapi masih ada dua musuh tangguh yang belum datang, aku tak boleh turun tangan secara gegabah hingga merugikan kekuatan sendiri, lebih baik bersabar dulu untuk se-mentara waktu,”
Dia memang cerdik dan pandai membedakan mana yang penting dan tidak, maka sedapatnya dia tahan rasa gusarnya dan cuma tertawa dingin be-laka.
“Thian-seng-po tiba!”
Tertampak Seng-gwat-kiam Oh Kay-thian me-mimpin sejumlah jagonya muncul di sana. Baru saja duduk, para jago Hek-liong-kang ju-ga menyusul tiba, dengan Pek Sat dan Pek Bi di kedua sisinya, si nona berbaju biru berada di te-ngah, mereka melangkah tiba dengan gemulai.
“Tok-tok-tok”, ketukan tongkat si kakek yang berjalan di depan menimbulkan bunyi nyaring, se-mentara Hoa Hong-hui dengan sikap yang santai menyusul di belakangnya, ia berjalan seenaknya sambil menggoyangkan kipas, sama sekali tidak menghiraukan orang lain.
Sambil terbahak-bahak Oh Kay-thian lantas berkata, “Tak kusangka semua enghiong dunia per-silatan telah datang semua, aku yang tinggal di se-kitar sini merasa bangga atas kehadiran kalian ini.”
“Hmm, tak usah menempel emas di muka sen-diri, kau kira aku tak tahu maksud tujuanmu?” ejek si nona baju biru.
“Nona memang cerdik, aku sangat kagum. Ten-tunya nona tahu maksud pertemuan ini? Bila ber-sedia untuk bekerja sama, cara yang kukatakan malam itu masih tetap berlaku!”
“Biar kupikirkan sejenak!” sahut si nona sambil termenung, sejenak kemudian ia berkata, “ehm, me-mang lebih baik kita bekerja gama!”
Ternyata Thian-seng-po dan Hek-liong-kang dapat bekerja sama, hal ini sungguh di luar dugaan, serentak semua jago memandang ke arah mereka dengan tercengang.
Lamkiong Giok juga kaget, bila Thian-seng-po sampai bekerja sama dengan pihak Hek-liong-kang, itu berarti pihak Kiam-hong-ceng dan empat pulau besar akan tersisihkan, betapapun ia harus berusaha menolong keadaan tersebut. Biji matanya lantas berputar, tapi untuk se-saat ia tak berhasil menemukan suatu akal yang baik.
Tiang-mo-tocu Ki Kiu-jin tertawa seram, ujar-nya, “Thian- seng-po menguasai suatu daerah, ter-hitung juga suatu kekuatan dalam Bu-lim, tak ter-sangka begitu rendah martabatnya sampai harus bersekongkol dengan orang luar daerah. Hahaha, mau-tak-mau harus kukemukakan kecurigaanku terhadap mereka!”
“Hm, sungguh pendapat orang rendah, bagai-kan katak dalam sumur, sampai di mana pengeta-huanmu?” ejek si nona baju biru.
Mendengar perkataan kasar itu, Tiang-mo-tocu Ki Kiu-jin mendengus marah. “Budak setan, kau bilang siapa yang rendah?” teriaknya.
Lamkiong Giok tidak sia-siakan kesempatan tersebut, sambil tertawa dingin sambungnya, “Tentu saja kau yang dimaksudkan!”
“Lamkiong Giok,” jengek si nona baju biru, “selalu kau ingin dunia jadi kacau dan mengadu domba. Sayang ayahmu tidak hadir, kalau hadir tentu ia dapat melihat kehebatanmu ini!”
Lamkiong Giok mendengus, “Hm, sekalipun Locengcu tak hadir, aku bertanggung jawab atas semua persoalan.”
“Huh, tak usah mengibul,” ejek Seng-gwat-kiam Oh Kay- thian, “hari ini, golonganmu masih belum masuk hitungan.”
“Oh Kay-thian, kalau bicara tahulah aturan!” bentak Ji-sia dengan gusar.
Mendengar itu, Oh Kay-thian tersenyum, “O, tak kusangka Bok-siauhiap juga berada di sini, maaf, maaf!”
Lamkiong Giok kuatir Ji-sia terbujuk musuh, buru-buru ia berkata, “Jangan menjilat pantat orang, Bok-heng tak sudi menggubrismu!”
Air muka Seng-gwat-kiam Oh Kay-thian ber-ubah hebat, katanya dengan mendongkol, “Rupanya Kim-hong-ceng benar- benar ingin memusuhi Thian-seng-po kami?” “Hahaha, mana, mana, antara Kiam-hong-ceng dengan Thian-seng po ibaratnya api dan air, soal bertarung, haha ,… sekalipun tidak jadi hari ini mungkin juga besok, maka bersiap-siap saja me-nerima serangan kami setiap waktu!”
Percekcokan berlangsung makin sengit, kedua pihak sama sama tidak mengalah, pihak Empat Pu-lau dan Hek-liong-kang hanya berpeluk tangan sambil menonton, cuci tangan dan tidak mencam-puri percekcokan tersebut.
Mendadak terdengar bentakan nyaring, menyu-sul berkelebat sesosok bayangan, tahu-tahu seseorang telah berdiri di tengah arena.
Dia adalah sastrawan misterius tadi, ditatap-nya sekejap wajah para jago dengan senyuman sinis, kemudian dengan angkuh ia menegur, “Siapa tuan rumah pertemuan ini?”
Semua orang melenggong, pemimpin dari ma-sing-masing barak saling pandang dengan bingung, tidak ada yang tahu siapa penyelenggara pertemuan ini!
Suasana menjadi gempar, semua orang saling berbisik membicarakan persoalan ini, mereka mene-bak siapa tuan rumah pertemuan ini dan apa tuju-annya…..
Kejadian ini sungguh suatu lelucon besar, su-atu pertemuan besar yang dihadiri para jago dari pelbagai penjuru dunia, ternyata tidak diketahui si-apa penyelenggaranya, kalau dibicarakan sungguh membuat orang tidak percaya.
Sastrawan itu segera menuding Seng-gwat-kiam Oh Kay- thian, namun ia tidak berkata apa-apa.
Dituding seperti itu, Oh Kay-thian merasa tak enak hati, dengan marah ia lantas menegur, “He, mau apa kau tuding aku?”
“Kaukah tuan rumahnya?” tegur sastrawan itu sambil tertawa dingin. “Omong kosong!” seru Seng-gwat-kiam Oh Kay thian, “bila aku yang mengundang kehadiran para kesatria, tak nanti berada di tempat ini.”
Sastrawan tersebut kembali tertawa dingin, “Hm, omonganmu cukup menarik, sayang tehniknya kasar dan dungu. Coba jawab, berapa jauh jarak tempat ini dengan Thian-seng-po?”
Untuk sesaat Seng-gwat-kiam Oh Kay-thian tak tahu apa yang dimaksudkan sastrawan tersebut, sahutnya tanpa pikir, “Paling cuma setegah li.”
Setelah diucapkan ia baru merasa keadaan tak beres, ia merasa tidak sepantasnya dia mendapat pertanyaan dari orang dengan cara begitu, dengan tertawa seram katanya, “Atas dasar apa kau tanya aku?”
“Hm, Thian-seng-po letaknya berdekatan de-ngan panggung Kim-leng-tay ini, masa kalian tak tahu atas munculnya panggung ini? Bila ini tanpa persetujuanmu Oh Kay-thian, mana mungkin ada orang berani mendirikan sebuah panggung di sini?”
Hawa amarah mulai menyelimuti wajah Seng-gwat-kiam Oh Kay-thian, katanya kemudian, “Atas dasar apa kau menanyai diriku? Jika ada urusan, cari saja langsung padaku, meski aku bukan tuan rumah tempat ini, tapi akan kupinjam nama tuan rumah untuk melayani seorang teman seperti kau!”
“Bila mengaku sejak tadi, urusan kan sudah beres!” sindir Lamkiong Giok sambil tertawa dingin.
Suara ejekan dan tertawa dingin segera ber-kumandang ke empat penjuru, seorang tokoh termashur dalam dunia persilatan ternyata tak berani mengakui perbuatan sendiri, hal ini merupakan ke-jadian yang sangat memalukan. Disindir semacam ini oleh Lamkiong Giok, kontan Seng- gwat-kiam Oh Kay-thian merasa kulit mukanya seakan-akan dikoyak orang, dengan mur-ka dia keluar dari baraknya.
“Lamkiong Giok!” bentaknya gusar, “tampak-nya kau sudah bosan hidup!”
Saat itulah tiba-tiba si nona baju biru menye-la, “Janganlah karena urusan kecil membuat masa-lah besar terbengkalai…..”
Hati Oh Kay-thian bergetar, kaki yang telah melangkah keluar segera ditarik kembali, hawa amarahnya segera hilang, malah senyum bangga menghiasi bibirnya, ini membuat semua orang sama heran.
Pada saat itulah tubuh Lamkiong Giok telah bergerak, mendadak air mukanya berubah hebat, agaknya seperti lagi menahan suatu penderitaan yang luar biasa, butiran keringat menetes tiada hen-tinya.
Betapa terkejutnya Bok Ji-sia menyaksikan kejadian itu, buru-buru dia menegur, “Saudara Lam-kiong. kenapa kau?”
“Tidak apa-apa,” jawab Lamkiong Giok ge-metar, “secara tiba-tiba saja badanku menjadi tak enak!”
Mendadak Ji-sia teringat pada ucapan sebelum ajal paman Ciong-liong, “Jika Oh Kay-thian menginginkan kematian seseorang, maka orang itu tak akan lolos dari ceng-keraman mautnya!”
“Jangan-jangan Lamkiong Giok terkena tangan beracun si rase tua in?” demikian ia berpikir.
Teringat akan hal itu, dengan terkesiap ia ber-seru, “Oh Kay-thian, kenapa dia?”
“Tanyakan saja kepadanya langsung!” jawab Oh Kay-thian sambil tertawa. Si sastrawan misterius itu mendengus, ejek-nya, “Meski caranya turun tangan cukup lihai, sa-yang takkan lolos dari pengamatan mataku!”
“Biarpun rapi samarannya, juga jangan harap bisa lolos dari ketajaman mata nonamu,” sambung si nona baju biru sambil tertawa cekikikan, tujuanmu telah kuketahui!”
Perkataan yang mengandung arti ganda ini membuat sastrawan misterius itu terkesiap, kini ia baru sadar bahwa si nona baju biru yang dikabarkan lihai itu betul-betul manusia aneh yang jarang ada di dunia ini.
Maka sambil berpaling dan tertawa ia berkata, “Apa salahnya kalau nona bicara terus terang?”
“Kukira terlepas dari soal ‘cinta’ bukan?” ujar si nona baju biru.
Bergetar badan sastrawan itu, sambil menunduk kepala jawabnya, “Nona betul-betul bermata tajam, aku….”
“Lantaran cinta timbul dendam, inilah keja-dian yang umum, bukan cuma kau saja yang tak bisa lolos dari godaan tersebut, demikian pula de-ngan diriku!”
Setelah berhenti sejenak, ia melanjutkan, “Baik-lah, pertemuan kita boleh dibilang ada jodoh, se-pantasnya kau katakan siapa namamu!”
“Po Sim-jin!”
“Bagus! Po Sim-jin dan Hu-sim-jin (orang yang lupa budi), hampir sama nadanya meski ber-beda tulisannya, sungguh nama yang bagus!”
Tanpa mempedulikan adat istiadat sastrawan itu lantas berdiri bersanding dengan si nona baju biru, hal ini tentu saja membuat Pek Sat dan Pek Bi berkerut dahi, Hoa Hong-hui juga merasa cem-buru, dengan gemas dia melotot sekejap pada sas-trawan tersebut. Tampak si nona baju biru sengaja meletakkan pula sebelah tangannya yang halus itu di atas paha si sastrawan, tindakan ini membuat semua orang semakin tidak habis mengerti….. mereka tak men-duga si sastrawan bisa ketiban rejeki sebesar ini.
Tiba-tiba Bok Ji-sia melompat ke depan seraya membentak, “Oh Kay-thian, jika kau tidak mem-beri pertangungjawaban, Tuan muda segera mem-binasakan dirimu terlebih dulu!”
Sambil berkata ia lantas menghantam, meski ringan tampaknya, ternyata lihai serangannya. Serentak kawanan jago dari Kiam-hong-ceng mengekor di belakang Bok Ji-sia dan menerjang maju semua.
Seng-gwat-kiam Oh Kay-thian adalah seorang licik, ia tak ingin membuang tenaga yang cuma melemahkan kekuatan sendiri, seraya berkelit ke sam-ping, serunya, “Nona kita setuju bekerja sama, kenapa tidak kau bantu aku?”
Hoa Hong-hui yang cemburunya tak tersalur-kan, ia merasa inilah kesempatan baik untuk me-lampiaskan rasa gusarnya kepada Bok Ji-sia, tanpa bicara ia melangkah masuk ke tengah arena…..
“Kembali kau!” bentak nona si baju biru tiba-tiba.
Hoa Hong-hui tertegun, buru-buru dia melom-pat mundur kembali dengan wajah tak puas.
Sambil tertawa, nona berbaju biru itu berkata kepada Oh Kay-thian, “Soal ini tidak tercantum dalam syarat kerja sama kita, lebih baik selesaikan saja sendiri!”
Ketika menyaksikan Hoa Hong-hui muncul tadi, keempat Tocu dari empat pulau besar segera mengunjuk wajah tak senang, bukan lantaran me-reka ingin mengikat hubungan dengan pihak Kiam-hong-ceng, tapi karena Thian-seng-po dengan Hek-liong-kang merupakan ancaman serius bagi mereka, keempat orang itu sadar, bila pihak Kiam-hong-ceng rontok, itu berarti merekapun tak bisa berta-han lama.
Yu-kan-tocu, Lok-to-sianseng Ciang-Lip-tek tertawa terbahak-bahak, katanya, “Jika pihak Hek-liong-kang ingin campur urusan ini, Su-toa-to (em-pat pulau besar) juga takkan berpeluk tangan!”
“Huh, kau anggap kekuatanmu itu cukup?” ejek Hoa Hong- hui.
“Mampu atau tidak sebentar akan tahu sendiri, buat apa banyak bacot?” jawab si tuan unta Ciang Lip-tek.
“Plak!” sementara itu Bok Ji-sia dan Seng-gwat-kiam Oh Kay-thian yang beradu di tengah arena telah saling beradu kekuatan satu kali.
Akibat bentrokan tersebut, Ji-sia tetap berdiri tegak di tempat semula, tanpa bergeser, cuma ujung bajunya saja berkibar terembus angin, sebaliknya Oh Kay-thian tergetar mundur dua tindak.
Dalam pada itu, Leng-hong-siu (kakek angin dingin) Kui Kong-hek yang gagal menyergap dan tergetar jatuh ke tanah, dengan gusar membentak dan untuk kedua kalinya ia menerjang Bok Ji-sia.
Melihat Leng-hong-siu Kui Kong-hek telah turun tangan, cepat Seng-gwat-kiam Oh Kay-thian kembali ke baraknya, betapapun ia kuatir dikalah-kan oleh Bok Ji-sia.
Pada saat itulah tiba-tiba dari kejauhan ber-kumandang suara suitan panjang nyaring, sejenak kemudian suara tersebut sudah berada tak jauh da-ri arena.
Begitu mendengar suitan nyaring tersebut, se-mangat Lamkiong Giok segera berkobar kembali, semua jago Kiam- hong-ceng bersorak-sorai kegi-rangan, Lamkiong Giok pun tak sakit lagi, ia lan-tas berdiri. “Saudara Bok, hentikan pertarunganmu, ayah-ku telah tiba!” serunya sambil tertawa pedih.
Sebetulnya Ji-sia sudah siap melancarkan se-rangan mematikan, ketika mendengar ucapan ter-sebut, tanpa terasa gerak serangannya terhenti, agak-nya Leng-hong-siu Kui Kong-hek juga tahu siapa yang datang, cepat dia kembali ke dalam barak.
Bayangan manusia berkelebat, tahu-tahu di te-ngah arena telah bertambah seorang kakek? ber-tubuh ceking, meski rambutnya telah beruban, ma-tanya bersinar tajam, orang ini tak lain adalah Kiam-hong-cengcu Lamkiong Hian yang tersohor itu.
“Tak kusangka saudara sekalian telah datang lebih dulu!” katanya sambil tertawa dingin.
Bertemu dengan Lamkiong Hian, air muka Seng-gwat-kiam Oh Kay-thian agak berubah, dia hanya tertawa tawar ke arahnya.
Lamkiong Giok lantas berkata dengan suara gemetar, “Ayah, ananda… . ananda……”
Melihat keadaan putra kesayangan itu, Kiam-hong-cengcu Lamkiong Hian segera berpaling seraya membentak, “Siapa yang menyerangnya sekeji ini?”
Kebetulan Bok Ji-sia baru memutar kembali ke barak Kiam- hong-ceng, belum sampai setengah jalan, ia merasa segulung angin tajam menyergap tiba, menyusul bahu kirinya tercengkeram.
“Apa kau?” bentakan nyaring menggelegar.
Ji-sia terkesiap, cepat mendak ke bawah, lalu melompat ke depan.
“Locianpwe, kau salah paham!” serunya. Lamkiong Hian tertegun, ia tak mengira Bok Ji-sia dapat meloloskan diri dari cengkeramannya, dalam terkesiapnya suatu pukulan segera diayunkan lagi.
“Blang!” tubuh Ji-sia mencelat sejauh setom-bak lebih.
Pukulan ini cukup keras, membuat telinga Bok Ji-sia mendengung dan jantung berdebar keras, rasa hormatnya yang semula muncul dalam hati seketika lenyap.
Sambil melejit ke atas, ia menerkam ke muka, dengan tertawa seram ia berseru, “Hmm, kau yang mulai dulu tanpa pandang bulu, maka jangan me-nyalahkan diriku bila kaupun harus merasakan pukulanku ini!”
Telapak tangannya berputar, terciptalah ber-puluh puluh bayangan yang serentak mengancam tujuh jalan darah kematian di tubuh Lamkiong Hian, saking gusarnya ia lupa akan kelihaian lawan.
Lamkiong Hian tertawa dingin, dengan jari tangan setajam pedang ia balas menutuk jalan da-rah Beng-bun, Khi-hay dan Ci-ti-hiat, tiga jalan da-rah penting.
“Ayah, jangan kau lukai dia!” Lamkiong Giok yang berada di sisi arena berteriak dengan cemas.
“Bret!” di antara desing angin tajam, tubuh Ji-sia tersambar oleh serangan hingga muncul dua garis luka panjang, untung Lamkiong Giok berteriak tepat pada saatnya, kalau tidak, tentu bukan luka sekecil itu yang akan dialaminya.
Sambil tertawa getir Ji-sia berkata, “Tak ku-sangka Lamkiong Hian yang tersohor itu tak lebih hanya seorang yang tak tahu adat!”
Lamkiong Hian mendengus, sambil putar ba-dan ia berjalan ke barak Kiam-hong-ceng. “Suheng!” tiba-tiba si nona baju biru berseru, “hajarlah telur busuk tua itu dengan tiga kali pen-tungan, ingat, mesti ganas, tepat dan tidak perlu kenal kasihan!”
Tindakan ini di luar dugaan orang hingga mereka tertegun.
Mendengar perkataan tersebut, Lamkiong Hian segera berhenti, serunya sambil tertawa dingin, “Si-apa yang berbicara seenaknya?”
Kakek berambut putih menutulkan ujung tong-kat ke tanah hingga batu berantakan, ini menunjukkan betapa dahsyat tenaga dalamnya.
Setelah tampil, dia mengangkat tongkat tinggi-tinggi lalu katanya, “Lamkiong Hian, kau adalah jago nomor satu di wilayah Tionggoan, sekarang ingin kucoba tenaga dalammu!”
“Hm, akan kuberi tiga kali serangan, coba apa yang bisa kau lakukan!” jengek Lamkiong Hian.
Ucapan yang takabur ini membuat para jago tercengang pula. Banyak di antara mereka pernah menyaksikan kelihaian tenaga dalam kakek berambut putih itu, mereka tahu meski Lamkiong Hian, Cengcu per-kampungan Kiam-hong-ceng terhitung tokoh sakti dunia persilatan, namun tindakannya ingin melawan tongkat baja dengan bertangan kosong jelas bukan tindakan yang cerdik.
Seng-gwat-kiam Oh Kay-thian menjadi terkesiap, sambil tertawa seram katanya, “Takabur amat perkataanmu, Lamkiong Hian! Kehebatan kungfu Hek-liong-kang jauh di luar dugaanmu, tahu?”
Sementara itu Lamkiong Giok dengan sempo-yongan telah keluar barak, dengan cemas ia ber-bisik, “Ayah, sanggupkah engkau?”
Nada ucapannya jelas menunjukkan kurang yakin akan kemampuan Lamkiong Hian. Cepat Bok Ji-sia menghampirinya dan mema-yang tubuh anak muda tersebut, Lamkiong Giok berpaling dan tertawa pedih, sinar matanya meman-carkan rasa terima kasih.
Kiam-hong-cengcu Lamkiong Hian memandang sekejap ke arah putra kesayangannya, lalu menja-wab, “Anak Giok, cepat kembali ke tempat semu-la, tak perlu menguatirkan diriku.”
Agaknya kakek berambut putih itu tak sabar menanti lebih lama, tiba-tiba ia menimbrung, “Su-dah, jangan omong terus, serangan segera kulepas-kan.”
Lamkiong Hian tertawa dingin, “Tolong ta-nya, apa kedudukanmu di dalam Hek-liong-kang?”
Tertegun juga kakek berambut putih itu, ia ber-paling ke arah si nona baju biru dan minta pertimbangannya. Tapi ketika itu si nona berbaju biru sedang memandang awan seperti lagi memikirkan sesuatu, alisnya bekernyit, perasaan tak tenang tampak me-nyelimuti wajahnya,
Kakek berambut putih itu berpaling kembali, lalu menjawab, “Jago yang tak bernama lebih baik tak usah kukatakan.”
Lamkiong Hian terbahak-bahak, setelah mendengus, ucapnya, “Silahkan turun tangan, selewatnya tiga ka-li serangan, kau bakal menyesal!”
“Ai!” tiba-tiba terdengar helaan napas ber-kumandang dan mulut si nona baju biru.
Mendengar helaan napas itu, entah mengapa semua jago juga ikut menghela napas, seolah-olah terpengaruh oleh helaan napas si nona.
Dengan suara lirih nona itu berkata, “Di dae-rah Tionggoan lwekang Lamkiong Hian terhitung paling tinggi!”
Tidak puas Ji-sia atas perkataan tersebut, se-runya lantang, “Apa nona tidak merasa ucapanmu agak berlebihan? Memangnya orang Tionggoan tak ada yang kau pandang lagi kecuali dia seorang?”
Si nona baju biru tertawa, “Tenaga dalammu memang hebat, sayang kecerdasanmu masih ketinggal-an jauh, antara yang busuk dan yang baik saja belum becus membedakannya!”
“Bagaimana dengan diriku?” tiba-tiba Seng-gwat-kiam Oh Kay-thian menyela, tampaknya dia tidak puas dengan pujian terhadap Lamkiong Hian tadi.
Nona berbaju biru itu mendengus, “Kecerdas-an cukup, cuma sayang kurang mantap!”
Oh Kay-thian menghela napas, “Ai, nona sungguh membuatku kagum, setiap patah katamu me-ngandung arti yang dalam…… “
Sementara itu Su-toa-tocu telah bangkit ber-diri, tentu saja mereka pun ingin mengetahui ba-gaimana penilaian si nona baju biru terhadap me-reka, cuma malu untuk mengutarakannya.
Nona berbaju biru itu bukan orang bodoh, tentu saja ia dapat menduga isi hati keempat Tocu ini, maka jawabnya, “Keberanian ada, cuma tidak pakai otak, hakikatnya cuma empat jagal belaka!”
“Siapa jagal?” bentak Tiang-mo-tocu Siu-tok-hong (angin bambu kurus) Ki Kiu-jin, berbareng ia menubruk ke arah si nona baju biru.
“Kembali kau!” mendadak Lamkiong Hian membentak, sekali tangannya dikebaskan, segulung tenaga pukulan maha dahsyat memaksanya men-celat balik ke tempat semula.
Terkejut Siu-tok-hong Ki Kiu-jin, seketika ia tak dapat bicara apa-apa. Sementara itu, air muka si kakek berambut putih tampak prihatin, tongkat seberat ribuan kati itu pelahan diangkat, bisa dibayangkan kekuatan yang terkandung di balik serangan tersebut tentu luar biasa sekali.
Mendadak Lamkiong Hian memejamkan mat-anya, ia tersenyum dan berdiri tak bergerak.
“Ayah, hati-hati!” teriak Lamkiong Giok.
“Jangan kuatir,” kata Ji-sia cepat, “bilamana perlu aku akan menolongnya!”
“Tuk”, pada waktu itulah tongkat baja si ke-kek berambut putih itu menyapu ke bawah, debu pasir beterbangan, bayangan tongkat menghantam tubuh Lamkiong Hian.
Suasana menjadi gempar, semuanya mengucurkan keringat dingin lantaran menguatirkan keselamat-an Kiam-hong- cengcu.
“Blang!” dengan suara benturan keras tongkat maut beribu kati itu bersarang telak di atas bahu kiri Lamkiong Hian.
Dengan cepat si kakek melompat mundur, se-dang air muka Lamkiong Hian berubah pucat dan muntah darah, tubuhnya meski bergontai, tapi kaki-nya masih terpantek di tempat tanpa bergeser.
Betapa cemas Lamkiong Giok menyaksikan adegan tersebut, suasana tegang membuat dia lupa akan rasa sakit tubuh sendiri, dengan agak gemetar dia berseru pula, “Ayah, kenapa engkau tidak me-lancarkan serangan balasan?”
Sambil tertawa dingin Oh Kay-thian menyela, “Siapa suruh dia mencari penyakit sendiri? Kalau sudah begini, jangan salahkan orang lain lagi.”
Lamkiong Giok naik pitam, sambil tertawa seram tantangnya, “Oh Kay-thian, berani tidak ber-duel denganku?”
“O, tidak berani, tidak berani,” jawab Oh Kay-thian sambil tersenyum, “lebih baik simpan tenaga-mu antuk membereskan jenazah bapakmu!” Ji-sia yang menyaksikan semua itu, ia merasa tak enak, tiba-tiba ia membentak marah, “Oh Kay-thian, manusia licik berhati busuk macam kau pan-tas dicincang.”
Baru saja ia bicara, di tengah arena kembali terjadi perubahan. Dengan menggunakan jurus Kian-kun-to-coan (memutar balik jagat), tongkat si kakek kembali mengemplang ke bawah.
Serangan sekali ini disertai tenaga lunak, tam-paknya lamban, padahal sangat kuat.
Tiba-tiba si nona berbaju biru menghela napas, ucapnya, “Suheng, kekerasan tanpa perhitungan, lagi-lagi jurus serangan yang tak berguna!”
“Aku tidak paham maksud Siocia!” tanya Pek Sat dengan wajah dingin.
“Sebentar akan tahu dengan sendirinya!”
Singkat perkataannya, tapi sudah melukiskan intisari apa yang terjadi itu.
Sementara itu embusan angin puyuh telah me-landa sekeliling panggung Kim-leng-tay, pasir dan batu kerikil beterbangan membuat suasana di seki-tar situ mengerikan sekali.
Darah kental kembali bercucuran membasahi ujung bibir Lamkiong Hian, sekujur tubuhnya mu-lai gemetar keras, tampaknya ia sangat kepayahan, tapi sambil menggigit bibir dia bertahan sekuat te-naga.
Sebaliknya keadaan kakek itupun mengalami perubahan, rambutnya yang beruban sama berdiri bagaikan kawat, peluh bercucuran membasahi ji-datnya, gerak tongkat tidak seenteng tadi lagi.
Seperti orang kalap Lamkiong Giok hendak menerjang ke sana, tapi Bok Ji-sia segera menahan bahunya, mereka memandang ke arah si kakek be-rambut uban itu dengan terbelalak.
“Serangan ketiga sudah akan dilancarkan, ke-napa kalian berdua tidak segera mundur?” bentak kakek itu.
Orang-orang yang di sekeliling tempat itu sama tergetar keras oleh tenaga serangan yang dahsyat tadi, hingga mereka menyingkir jauh.
Dengan lantang jawab Ji-sia, “Serangan yang terakhir ini biar aku saja yang menerimanya!”
Ucapan ini segera disambut helaana napas dan geleng kepala para jago di sekeliling sana, keberani-an pemuda ini telah merebut simpati orang, tapi mereka pun menyayangkan kesembronoan anak muda itu.
Tiba-tiba Lamkiong Hian tertawa, lalu berseru, “Hei, siapa yang suruh kau gantikan diriku?”
Ji-sia tertegun, dengan mendongkol ia putar ba-dan dan berlalu dari situ.
“Saudara Bok, jangan marah dulu, buru-buru Lamkiong Giok menghiburnya, “watak ayah sela-manya memang begitu.”
Dalam pada itu, si kakek berambut putih itu sudah mengangkat tongkatnya, agaknya serangan ke-tiga segera akan dilancarkan.
Rasa gembira yang berkobar dalam hati Seng-gwat-kiam Oh Kay-thian waktu itu sukar di-lukiskan, ia pikir bila Lamkiong Hian disingkirkan maka seorang musuh bebuyutan juga ikut terbasmi.
Maka ia lantas tertawa terbahak-bahak, “Ha…ha….ha, masih ada sekali pukulan lagi, wahai Lam-kiong loji, sanggup tidak kau tahan serangan ketiga?” “Ai!” tiba-tiba si nona baju biru menghela napas, “Suheng, berhenti saja! Sekalipun kau serang dia seratus kali lagi juga jangan harap bisa meng-ganggu seujung rambutnya!”
Ucapan tersebut disambut kawanan jago de-ngan gempar, serentak mereka mengalihkan sorot matanya ke wajah nona baju biru itu dengan ke-heranan.
Mendadak Hoa Hong-hui melompat maju, sambil mendorong sastrawan yang berada di sam-ping sadis berbaju biru itu, dia berseru, “Siocia, apakah kau lihat sesuatu yang tak beres?”
Nona berbaju biru itu tak menggubrisnya, malah sambil menarik lengan kiri si sastrawan, pelahan mereka masuk ke arena.
Pek Bi dan Pek Sat serentak mengikut di be-lakang nonanya.
Tinggal Hoa Hong-hui berdiri seorang diri sambil memandang bayangan punggung si nona de-ngan termangu.
Dalam pada itu, keempat Tocu dari empat pulau besar telah bangkit berdiri, sorot mata me-reka sama-sama tertuju kepada si nona baju biru yang sedang berjalan ke tengah arena.
Seng-gwat-kiam Oh Kay-thian kuatir kesem-patan baik itu tersia-siakan, buru-buru sarunya, “Ti-ga pukulan belum lewat, menang kalah belum di-ketahui, harap nona kembali ke tempat semula!”
“Kau lagi memberi petunjuk padaku atau memerintah?” tanya si nona dengan ketus.
Seng-gwat-kiam Oh Kay-thian terkesiap, buru-buru serunya, “O, tidak berani, lantaran sudah ada persetujuan antara kita, aku tak ingin terjadi se-suatu bentrokan!” “Kalau ada kepentingan bersama kita bergabung, bila berbeda pendapat lebih baik berpisah. Oh Kay-thian! Kerja sama kita putus sampai di sini!”
“Nona, kau….” Oh Kay-thian jadi tertegun dan gelagapan, “Baiklah, kalau kau ingin membatal-kan kerja sama, aku juga tak bisa berbuat apa-apa….”
Sementara itu si kakek telah menurunkan kem-bali senjatanya ketika melihat kedatangan Sumoay-nya, dengan sikap hormat dia menyingkir ke sam-ping untuk menunggu perintah.
Walau begitu, ia tetap curiga, ujarnya kemu-dian, “Siocia, aku tak percaya tongkatku tak mam-pu membinasakan dia!”
“Bila Suheng tak percaya, lanjutkan saja se-ranganmu!”
Lamkiong Hian sendiri tidak bicara apa-apa, ia berdiri membungkam di situ seolah-olah sudah siap menerima pukulan yang terakhir.
Lamkiong Giok dan Bok Ji-sia masih berdiri di tengah arena, saking tegangnya Lamkiong Giok menggenggam lengan rekannya kencang-kencang, peluh di-ngin membasahi sekujur tubuhnya.
“Oh Kay-thian,” tiba-tiba si baju biru itu ber-kata, “menurut pendapatmu, sanggupkah serangan tongkat yang terakhir ini membinasakan Lamkiong Hian?”
“Seratus persen pasti mampus!” jawab Oh Kay-thian tanpa pikir.
Dengan ucapan itu dia seakan-akan telah menvonis nasib Lamkiong Hian.
Sementara itu para jago dapat melihat rasa sedih yang menghiasi wajah Lamkiong Hian yang berdiri tegak di kejauhan. Dengan nada dingin, si nona baju biru men-jawab, “Tapi kubilang dia tetap sehat tanpa cedera apapun, bahkan segar. Nah, Oh Kay-thian, berani bertaruh dengan nonamu?”
“Hahaha, kenapa tidak berani? Katakan dulu apa taruhannya!”
“Asal Lamkiong Hian tidak mampus, nona minta ruyung emas Jian-kim-si-hun-pian itu… . sebaliknya jika kau menang, nona akan menyerahkan hak atas kitab pusaka Hek-liong- kang, dengan be-gitu kita sama-sama tak rugi.”
“Baik, kita tetapkan dengan sepatah kata ini!”
Keempat Tocu dari empat pulau besar bergelak tertawa, kata Cian-ciau-tocu, si Singa baja bercam-bang In Ceng-bu dengan lantang, “Su-toa-tocu ber-sedia menjadi saksi!”
Noba berbaju biru itu tertawa terkekeh-kekeh, katanya, “Suheng, silakan turun tangan!”
Kakek itu segera menekuk lutut sedikit untuk merendahkan badan, kemudian tongkat diayunkan, segulung angin tajam segera menyambar. Sedemikian dahsyatnya serangan tongkat itu sehingga semua jago terkesiap, mereka sama berdiri termangu dengan mata terbelalak dan mulut me-longo.
Tubuh Lamkiong Hian yang tinggi besar itu pelahan roboh terkulai, sebuah lubang besar mun-cul di atas tanah.
“Ayah, ayah……” teriak Lamkiong Giok.
Sambil mendekap tubuh Lamkiong Hian, pe-muda itu menangis terisak, membuat orang ikut terharu.
Rupanya kakek berambut putih itupun kehabis-an tenaga, selesai melancarkan serangan, ia ikut roboh, tongkat sepanjang lima kaki itu menancap di atas tanah dan bergoyang tiada hentinya sambil mengeluarkan suara mendengung. Beberapa orang yang tak tahan segera melari-kan diri terbirit-birit.
“Nona, kau kalah!” ucap Seng-gwat kiam Oh Kay-thian sambil tertawa bangga.
Nona baju biru itu tidak bicara, dia meman-dang awan di angkasa.
Keempat Tocu serentak melompat maju dan melirik sekejap ke arah Lamkiong Hian, serunya, “Thian-seng-po yang menang!
Sorak-sorai menggema di udara, terutama pa-ra jago Thian-seng-po, mereka bertepuk tangan dengan riang gembira.
“Oh Kay-thian!” tiba-tiba Lamkiong Giok mendongakkan kepalanya sambil membentak, “jika ayahku sampai tewas, maka kaulah si pembuat ben-cana……”
Oh Kay-thian menyeringai, “Mana, mana, ter-serah pikirmu sendiri!”
Tiba-tiba berkumandang lagi gelak tertawa merdu yang segera melenyapkan kabut kesedihan di situ, para jago sama tertegun waktu melihat no-na berbaju biru itu tertawa cekikikan dengan ke-rasnya seperti kegelian.
“Oh Kay-thian, kau yang kalah!” katanya ke-mudian setelah berhenti tertawa.
Sekali lagi para jago dibikin tercengang, sudah terang dia yang kalah, tapi gadis itu malah me-mutar balikkan kenyataan dengan mengatakan pi-hak lawan yang kalah, tertawa ejek segera ber-kumandang dari berbagai penjuru.
Seng-gwat-kiam Oh Kay-thian tertawa dingin, katanya, “Dengan saksi para jago yang hadir di sini, sekalipun kau punya kepandaian juga jangan harap bisa mengelabui penglihatan semua orang!” Mendadak dari tengah arena bergema gelak tertawa panjang nyaring, “Haha tajam amat peng-lihatan nona ini, ternyata melebihi siapapun!”
Tertampaklah Lamkiong Hian, Cengcu dari Kiam-hong-ceng telah berdiri segar di tengah arena dengan tenang, sama sekali tidak menunjukkan tan-da-tanda terluka.
Kejadian aneh ini mencengangkan semua orang, beratus pasang mata sama tertuju ke arah jago tua itu dengan curiga dan tidak percaya…..
Lamkiang Giok juga sangat terkejut hingga matanya terbelalak dan mulut melongo, lama sekali ia berdiri tertegun sebelum air mata meleleh mem-basahi pipinya karena terharu.
“Ayah, aku tidak sedang mimpi bukan?” se-runya kegirangan.
“Jangan kuatir anak Giok,” jawab Lamkiong Hian sambil tertawa, ditepuknya bahu anak muda itu, kemudian melanjutkan, “bila ayah tidak berilmu tinggi, tak nanti kutantang adu pukulan seorang ja-go lihai!”
Suasana menjadi hening, terutama sekali di ba-rak Thian- seng-po, rasa gembira yang semula meng-hiasi wajah mereka kini lenyap tak berbekas.
Keempat Tocu dari empat pulau besar juga membungkam, mereka hanya menatap ke arena de-ngan pandangan kosong.
“Betul-betul ketemu setan,” gumam Seng-gwat-kiam Oh Kay-thian kemudian dengan wajah pucat kelabu.
Sambil geleng kepala ia menghela napas, seakan-akan menghadapi banyak teka-teki yang tak terpecahkan.
“Tak kusangka di Tionggoan sini ternyata ada juga yang bisa menggunakan ilmu Un-sin-huan-ing (menyembunyikan badan menciptakan bayangan pal-su)….” kata si nona baju biru sambil menuding Lamkiong Hian, “cuma jangan keburu bangga, meski nona tak bisa, ayahku dapat memperguna-kan ilmu tersebut jauh melebihi dirimu, kau masih belum berhak menggunakan gelar jago nomor satu di dunia!”
“Apakah ayahmu adalah Hek-liong Lo-jin?” tanya Lamkiong Hian dengan melengak.
“Betul,” nona baju biru itu tertawa, “lumayan juga pengetahuanmu!”
Lamkiong Hian angkat bahu dan tertawa, “Kepintaran nona memang pantas dikagumi, cuma tahukah kau akan kegunaan Kim-leng-tay ini?”
“Hmm, jadi kau yang mengundang kehadiran para jago ini…” dengus si nona.
Suasana dalam arena kembali gempar, tak se-orang pun yang mengira Kiam-hong-eeng yang me-nyebar undangan kehadiran para jago, lalu apa tu-juannya?
Seng-gwat-kiam Oh Kay-thian yang sejak semu-la menjadi sasaran kemarahan orang menjadi den-dam kepada pendiri Kim-leng-tay tersebut, maka tak terlukiskan gusarnya setelah mengetahui Lamkiong Hian adalah biang keladinya.
Dengan wajah kelam bentaknya, “Bagus sekali, rupanya Lamkiong-loji yang menggunakan siasat ini untuk menfitnah orang.”
Sambil berkata ia pimpin kawanan jagonya maju ke depan dan siap-siap melancarkan serangan. Para jago Kiam-hong- ceng serentak tampil pu-la ke depan, jelas antara kedua golongan ini telah ada benih kebencian yang merasuk tulang.
Lamkiong Hian tertawa hambar, lalu berkata, “Keliru besar, masa aku berbuat serendah ini? Ke-napa kalian tidak mengutus orang naik ke panggung dan memeriksa sendiri? Tentu akan tahu jelas persoalannya.” Pada mulanya para jago tak percaya, tapi ucap-an tegas itu membuat mereka mau-tak-mau harus percaya juga, beberapa orang di antara kawanan jago itu segera naik ke panggung misterius itu.
Seng-gwat-kiam Oh Kay-thian segera memberi tanda, Mo- in-jiu Kok Siau-thian mengiakan dan melompat maju, kemudian seperti seekor burung melayang naik ke atas panggung.
Menyusul pihak Su-toa-to juga mengutus orang, hanya orang Hek-liong-kang tetap berdiri di tempat-nya.
Melihat itu, Lamkiong Hian segera menegur sambil tertawa, “Nona, kenapa tidak mengutus orang untuk memeriksa keadaan panggung?”
“Tak perlu, aku sudah tahu,” sahut si nona.
Orang-orang yang turun kembali dari panggung rata-rata mengunjuk rasa kaget bercampur curiga, mereka kembali ke tempat semula dengan menunduk murung.
Mo-in-jiu Kok Siau-thian juga membisikkan se-suatu ke telinga Seng-gwat-kiam Oh Kay-thian, mendengar itu air mukanya tampak berubah.