Postingan

Jilid 12

Ji-sia melirik sekejap ke arah Cu Giok-ceng yang berdiri termangu, cakar setan salah satu ma-yat hidup itu secepat kilat sedang menyambar ke arah dadanya.

Kaget sekali Ji-sia, sambil membentak cepat ia menerjang maju, langsung ia mencengkeram pergelangan tangan mayat hidup itu.

“Jangan sentuh tangannya!” seru Mo-li-ceng-li Cu Giok- ceng dengan terkejut.

Mendengar peringatan tersebut, tangan Ji-sia yang sedang mencengkeram itu segera bergeser ke samping dan ganti menyambar lengannya, tapi ke-tika jari tangannya menyentuh lengan musuh, ia terkesiap, lengan itu ternyata kaku dan keras, sama sekali tak ada otot dagingnya.

Ketika tangan mayat hidup itu kena diceng-keram, tiba-tiba mukhluk tersebut berteriak aneh, kukunya yang tiga inci panjangnya itu tiba-tiba menggulung balik…..dan menusuk telapak tangan Ji-sia. Karena sudah mendapat peringatan dari Cu Giok-ceng, buru-buru Ji-sia lepas tangan dan mun-dur tiga langkah….

Tapi saat itulah, tiba-tiba segulung angin pu-kulan berhembus datang dari belakang, tak sempat berpikir lagi buru-buru ia melompat ke samping.

Di sebelah sana Kwanliong Ciong-leng juga mengalami serangan maut mayat hidup itu, jago kawakan seperti dia juga terdesak.

Keruan ia kaget, pikirnya, “Seorang mayat hi-dup saja sudah cukup membuatku kewalahan, apa-lagi di sana masih ada belasan orang lagi, apa jadi-nya kalau mereka menyerang bersama….?”

Berpikir, demikian ia tambah kuatir, ia merasa makhluk- makhluk itu bukan manusia, mungkinkah mereka adalah mayat hidup sungguh-sungguh atau sebangsa hantu?

Tiba-tiba berkumandang lagi suara teriakan aneh yang melengking menusuk pendengaran. Kawanan mayat hidup yang semula berdiri di atas pekuburan dan menonton jalannya pertarung-an itu, mendadak bergerak maju bersama dengan cepat luar biasa.

Tindakan mereka ini mengejutkan Bok Ji-sia, Cu Giok-ceng dan Kwanliong Ciong-leng ber-tiga, pikir mereka, “Habislah riwayatku, kali ini aku pasti mampus di ujung cakar aneh setan iblis ini…”

Cepat Kwanliong Ciong-leng melayang ke sam-ping Bok Ji- sia dan Cu Giok-ceng, serunya dengan cemas, “Bok-lote, nona Cu, makhluk aneh itu ba-nyak sekali jumlahnya, mari kita melakukan per-tahanan bersama!”

Ji-sia tahu bila mereka tidak bekerja sama un-tuk melawan makhluk aneh itu niscaya merekalah yang akan tewas di ujung cakar setan lawan, men-dadak ia membentak keras, kedua telapak tangan-nya menghantam dengan angin pukulan yang dah-syat.

“Ayolah kita melawan mereka!” teriaknya, “urusan kita boleh diperhitungkan nanti.”

Cu Giok-ceng pun berpendapat sama, maka mereka bertiga segera berdiri dalam posisi segi tiga, sedangkan ketiga belas sosok mayat hidup itu se-gera membentuk lingkaran pengepungan, dengan sinar mata berwarna hijau yang memancarkan api setan dan bersuara mendesis aneh ke-26 cakar se-tan mereka bergerak ke sana kemari….

Keadaan itu cukup mengejutkan, untung me-reka bertiga, coba kalau sendirian, melihat tampang dan bentuk lawan saja mungkin mereka akan jatuh lemas.

Tampaknya ketiga belas sosok mayat hidup itu telah memperoleh pendidikan yang lama, tiba-tiba saja mereka memisahkan diri menjadi tiga ke-lompok, lima orang di antaranya menyerang Bok Ji-sia, sedangkan delapan sisanya memecahkan diri menjadi dua kelompok dan menyerang Kwanliong Ciong-leng serta Cu Giok-ceng.

Jeritan tajam bagaikan tangisan setan atau lo-long serigala berkumandang memecah keheningan. Tiga belas sosok mayat hidup itu serentak melancar-kan serangan dahsyat.

Ji-sia bertiga tahu cakar makhluk aneh itu beracun jahat, maka mereka tak berani melakukan pertarungan dari jarak dekat, masing-masing segera melepaskan pukulan jarak jauh untuk memaksa mundur lawannya.

Cu Giok-ceng dengan pukulan tangan kiri, pe-dang terpegang di tangan kanan, beruntun ia me-lancarkan serangan gencar. Beberapa kali serangannya mengenai tubuh mayat-mayat hidup itu atau pedangnya membacok telak di tubuh mereka, namun makhluk-makhluk aneh itu sama sekali tidak terluka, paling banter hanya tergetar dan sempoyongan untuk kemudian menerjang maju lagi. Kenyataan ini membuat mereka bertiga berkerut dahi, peristiwa ini sungguh mengerikan, belum per-nah kawanan jago dunia persilatan pernah meng-alami kejadian aneh ini.

Sistem penyerangan ketiga belas sosok mayat hidup itu ternyata adalah dua orang menyerang ber-sama secara bergilir, dengan demikian setiap kali Ji-sia bertiga harus melawan empat atau lima orang mayat hidup sekaligus, hal ini membuat mereka rada kewalahan.

Makin bertarung Kwanliong Ciong-leng semakin gelisah, pikirnya kemudian, “Jika pertarungan harus dilangsungkan dengan cara ini terus menerus, akhir-nya aku pasti akan kehabisan tenaga dan tewas di ujung cakar perenggut nyawa lawan….”

Cu Giok-ceng pun terperanjat, katanya, “Bok….kita harus mencari akal untuk mem-bunuh satu-dua orang di antara mereka, kalau ti-dak, mungkin kita yang bakal mati di sini….”

“Nona Cu, kau takut mati?” jengek Ji-sia. “Hmm, memangnya kau tak takut mampus?”

Setelah melancarkan tiga kali serangan beran-tai, Kwanliong Ciong-leng tertawa, katanya, “Ka-lau kita harus mati di ujung cakar mereka tanpa mengetahui duduknya perkara, hal ini benar-benar tidak berharga!”

Tiba-tiba Ji-sia berteriak keras, “Makhluk-makhluk aneh ini tidak mirip manusia, tapi pasti juga bukan setan iblis….”

Belum habis perkataannya, dua sosok mayat hidup itu menerjang tiba dari kiri dan kanan, Ji-sia segera membentak, kedua telapak tangan cepat menghantam. Tapi begitu serangannya dilancarkan, tiba-tiba kedua sosok mayat hidup itu melompat ke sam-ping, sementara tiga mayat hidup lainnya menero-bos lewat celah-celah serangan itu dan melepaskan cengkeraman maut. Ji-sia terkejut, sambil membentak cepat ia mi-ring ke samping, telapak tangannya mendorong ke depan dan kaki kanan menendang. Agaknya ketiga sosok mayat hidup itu tak menyangka kaki kanan Bok Ji-sia bakal melancar-kan tendangan, lutut ketiga mayat hidup itu ter-hajar telak, sambil berkaok-kaok aneh mereka ter-guling jatuh, tapi dengan cepat mereka melompat bangun kembali.

“Hei, orang she Bok,” terdengar Cu Giok-ceng bertanya, “mengapa kau anggap mereka bukan setan iblis atau mayat hidup?”

Ji-sia tertawa dingin, “Mana ada setan atau mayat hidup di dunia ini? Sebelum kejadian ini su-dah pernah kulihat sekali makhluk-makhluk aneh ini.”

“Bok-lote, kau lihat makhluk-makhluk aneh ini di mana?” tanya Kwanliong Ciong-leng nyaring.

Bok Ji-sia mendengus, diam-diam ia memaki, “Tua bangka tak tahu malu, siapa yang sudi men-jadi Lotemu?”

Meski di dalam hati ia menyumpah, jawabnya juga, “Di Thian-seng-po!”

“Apa? Di benteng Thian-seng-po?”

Mendadak Mo-li-ceng-li Cu Giok-ceng berte-riak, “Hei orang she Bok, konon kau bawa ruyung emas Jian-kim-si-hun-pian yang sanggup memotong emas dan memapas pualam, tajamnya tak kalah daripada pedang mestika atau senjata kelas satu la-innya, kenapa tidak kau gunakanaya untuk membu-nuh makhluk aneh ini sekalian membuktikan apakah tubuh mereka yang keras itu mampu menahan ru-yung mestimu atau tidak?”

Ji-sia tertawa dingin, “Hmm, sebelum aku mampus, tak nanti kugunakan ruyung mestika itu, nanti setelah kalian dibunuh mereka baru akan ku-gunakan senjata itu untuk membalaskan dendam bagi kalian!” Sementara pembicaraan berlangsung, tiba-tiba ketiga belas mayat hidup itu mengembangkan se-rangan dahsyat dan gencar, sedemikian hebat serangan itu hingga hampir saja Bok Ji-sia bertiga tak sanggup menahannya.

“Orang she Bok!” Mo-li-ceng mengeluh lagi sambil menghela napas sedih, “apakah kau tega menyaksikan kami tewas di ujung cakar maut makhluk-makhluk aneh itu?”

Ji-sia tertawa dingin, “Belum pernah kusaksi-kan pertarungan yang lain daripada yang lain ini.”

“Ai, baiklah! Jika kau tega menyaksikan adegan keji ini, segera akan kuperlihatkan kepadamu,” ka-ta Cu Giok-ceng sambil menghela napas sedih.

Selesai berkata, mendadak Cu Giok-ceng meng-hentikan bacokannya, dua orang mayat hidup itu segera berteriak, cakar setan mereka yang panjang menyeramkan segera menyambar gadis itu….

Kaget Ji-sia, cepat teriaknya, “Nona Cu, le-kas….”

Tapi Gu Giok-ceng tidak bergerak maupun berkelit, ini menyebabkan Ji-sia amat gelisah, sam-bil membentak, kedua telapak tangannya menghan-tam ke depan….

Tapi ke lima mayat hidup yang berada didekataya serentak berpekik aneh, secepat kilat me-nerjang pemuda itu.

Ji-sia bersiul nyaring, cepat tangan kanan me-raba Jian- kim-si-hun-pian…..cahaya emas segera terpancar keempat penjuru.

Menyusul terdengarlah serentetan jeritan ngeri yang membetot sukma, ruyung emas Jian-kim-si-hun-pian di tangan Bok Ji-sia telah menyambar ke-lima mayat hidup itu dengan kecepatan luar biasa.

Pada saat itulah, tiba-tiba terdengar pekikan aneh seperti tangisan setan, seperti pula lolong se-rigala berkumandang menggema angkasa. Bagaikan kuda yang lepas tali kendali, ketiga belas mayat hidup itu serentak melompat ke bela-kang, termasuk kelima mayat hidup yang menyerang Bok Ji-sia.

Setelah itu, ketiga belas sosok mayat hidup itu berdiri berjajar di hadapan Bok Ji-sia, mata me-reka yang hijau dan memancarkan api setan itu melototi senjata Jian-him-si-hun- pian di tangan Bok Ji-sia.

Pelahan Cu Giok-ceng dan Kwanliong Ciong-leng menarik napas panjang, merekapun mengawasi ruyung Jian-kim-si- hun-pian yang digilai setiap umat persilatan itu tanpa berkedip.

Ji-sia tertawa dingin, dengan nada menghina katanya, “Jika kalian berdua berniat merampas ru-yung ini, maka akan kubunuh dulu kalian berdua.”

Bu-sian-gi-su Kwanliong Ciong-leng berkata dengan menyesal, “Ai, senjata itu memang senjata mestika yang luar biasa, sampai mayat hidup pun ketakutan menghadapi senjata itu….”

Dengan memegang ruyung emas Jian-kim-si-hun-pian, Ji- sia menghampiri ketiga sosok mayat hi-dup tadi, ternyata mayat hidup itu seakan-akan me-ngetahui kelihaian senjata tersebut, merekapun selangkah demi selangkah mundur ke belakang.

Cu Giok-ceng dan Kwanliong Ciong-leng tetap berdiri tegak di tempat semula, mereka ingin me-nyaksikan adegan pembataian terhadap mayat hi-dup yang hebat ini.

Pada waktu itulah, tiba-tiba dari balik tanah pekuburan pelahan muncul seorang aneh yang ting-gi besar dengan wajah yang jelek menyeramkan berjubah putih yang terbuat dari kain belacu. Manusia aneh yang tinggi besar ini menyan-dang sebilah pedang di punggungnya, selangkah demi selangkah ia menghampiri Bok Ji-sia.

Ketika ketiga belas mayat hidup itu melihat manusia aneh tinggi besar ini, seperti setan kecil bertemu dengan setan besar, serentak mereka mem-bungkuk badan memberi hormat.

Sedangkan manusia aneh yang tinggi besar itu dengan sikap angkuh hanya rnengulapkan tangannya, serentak ketiga belas mayat hidup itu berlompatan ke depan dan mengepung kembali Bok Ji-sia se-kalian.

Ji-sia tertegun menyaksikan kejadian itu, pikir-nya, “Aneh. siapa gerangan orang ini….?”

Dia lantas menegur dengan ketus, “Saudara, apa gunanya kau main sembunyi macam setan be-gitu…….?”

Belum habis berkata, orang itu berpekik aneh, tiba-tiba suatu pukulan dahsyat dilancarkan ke arah Ji-sia.

Si anak muda itu mendengus, cepat ia miringkan badan menghindarkan serangan tersebut. Kiranya dirasakannya tenaga pukulan orang itu sedikitpun tak bertenaga, itu berarti serangan yang dilepaskan adalah suatu serangan bertenaga dalam tingkat tinggi.

Begitu berkelit ke samping, dengan cepat anak muda itu menerjang ke depan, telapak tangannya segera balas menghantam manusia aneh tinggi be-sar ini.

Manusia aneh tinggi besar itu berpekik sekali, telapak tangan kiri mengebas pelahan, ia sambut pukulan Ji-sia dengan keras lawan keras.

Merasakan segulung angin pukulan yang sangat kuat sehingga tenaga pukulannya tertolak kembali, Ji-sia terperanjat, pikirnya, “Tak tersangka orang ini memiliki tenaga dalam yang begini sempurna. Aneh, sejak kapan di Thian- seng-po terdapat seorang jago sedemikian lihainya?

Setelah menahan serangan Ji-sia tadi, orang itu merentangkan kelima jari tangan kanannya, ba-gaikan kaitan tajam, cakar itu menyambar batok kepala anak muda itu. Ji- sia membentak, ruyung emas Jian-kim-si-hun-pian di tangan kanannya dengan membawa de-sing tajam segera  menyambar pergelangan tangan manusia aneh itu.

Cepat orang itu menarik kembali tangan ka-nannya yang sedang mencengkeram itu, lalu ba-gaikan hantu ia menyelinap ke samping kiri anak muda itu. Ji-sia merasakan pandangannya menjadi kabur, tahu-tahu urat nadi pada pergelangan tangannya menjadi kaku, kena dicengkeram lawan.

Tak terkirakan rasa kagetnya, sungguh tak di-sangkanya di dalam dunia persilatan terdapat jago tangguh ini, buru-buru ia menghimpun tenaga ke tangan kanan hingga lengan menjadi sekeras baja.

Agaknya manusia aneh tinggi besar itupun ter-peranjat, tiba-tiba saja ia merasakan munculnya te-naga yang menerjang keluar dari pergelangan ta-ngan lawan, hampir saja cengkeramannya terlepas. Ia tak mengira Bok Ji-sia memiliki tenaga da-lam sedemikian sempurna.

Mo-li-ceng-li Cu Giok-ceng kuatir ruyung emas Jian-kim-si- hun-pian di tangan Bok Ji-sia akan di-rampas orang, ia pun membentak, pedangnya mem-bawa beribu titik bintang langsung menabas dari samping.

Manusia tinggi besar itu mengayun tangan ka-nannya ke depan, dengan angin pukulan yang dah-syat ia menyongsong serangan si nona. Segera Cu Giok-ceng merasakan tenaga pukulan lawan sungguh maha dahsyat dan belum pernah di-jumpainya, hampir saja pedangnya terlepas dari ce-kalan, buru-buru ia urungkan serangan dan melom-pat mundur. Setelah memukul mundur lawan, manusia aneh tinggi besar itu memutar telapak tangan kanannya satu lingkaran, kemudian menyodok ke dada Ji-sia itu.

Dengan cekatan Ji-sia menangkis pukulan itu, lalu dengan jurus Khi-soh-po-liong (tali aneh mem-belenggu naga), dia berbalik meraih pergelangan ta-ngan lawan.

“Lepas tangan!” tiba-tiba manusia aneh itu membentak. Dengusan tertahan berkumandang, dengan sem-poyongan

Bok Ji-sia mundur dua-tiga langkah ke belakang, tapi ruyung emas Jian-kim-si-hun-pian-nya masih bisa di pertahankan.

Agaknya pihak lawan juga terperanjat oleh te-naga getaran yang dipancarkan oleh Ji-sia, ia me-rasa ilmu silat pemuda itu sungguh luar biasa.

Dalam pada itu, Cu Giok-ceng merasa pena-saran karena dipaksa mundur oleh musuh, dengan menciptakan cahaya bunga sekali lagi pedangnya menusuk manusia aneh itu.

Rupanya manusia aneh itu cukup tahu akan kelihaian ilmu pedang si nona, cepat-cepat ia me-lompat mundur.

“Hai, ingin kabur?” dengus Cu Giok-ceng.

Pedang yang semula menusuk mendadak me-mancarkan cahaya hijau yang menyilaukan, lalu secepat kilat menyambar ke depan….

Tapi manusia aneh itu dapat menghindar lagi ke samping. Cu Giok-ceng naik darah, pedang berubah menjadi selarik bianglala berwarna putih, secepat kilat menyambar lagi ke sana.

Tiga kali serangan berantai ini dilancarkan de-ngan kecepatan tinggi, baru saja manusia aneh itu berdiri tegak, tahu-tahu serangan ketiga sudah me-nyambar tiba, dengan terkejut buru-buru ia ber-kelit lagi ke samping. “Bret!” tahu-tahu lengan baju kanan manusia aneh itu terpapas robek, dengan begitu maka ter-lihatlah lengannya yang putih bersih, sebuah lengan yang tidak sesuai dengan wajahnya.

Gagal dengan ketiga serangan kilatnya, tiba-tiba Cu Giok- ceng berhenti menyerang, sambil ter-tawa dingin ia berkata, “Dalam dunia persilatan dewasa ini, hanya beberapa orang saja yang sang-gup menghindari ketiga kali serangan berantai Hui~hun-cian-hiat (sukma melayang darah berceceran) ini, mungkin kaupun salah satu di antara Bu-lim-jit-coat atau jago Thian-seng-po…..

Belum selesai ucapannya manusia aneh tinggi besar itu telah mengebaskan lengan baju kirinya ke wajah Cu Giok- ceng.

Gadis itu merasakan lunak tak bertenaga sam-baran tersebut, ia tertawa dingin, pedang diangkat siap membacok lengan orang, siapa tahu pada saat itulah tiba-tiba ia mengendus bau harum yang amat tipis dan aneh sekali.

Seketika itu juga kepalanya terasa pusing, “Trang!” pedang jatuh ke tanah, menyusul tubuhnya ikut terkulai.

“Kau…..kau…. Oh…. belum habis jeritan ka-get Bu-sian- gisu Kwanliong Ciong-leng itu, dua so-sok mayat hidup telah menerjang tiba secepat kilat, empat cakar setan sekaligus menikam tubuh-nya.

Buru-buru Bu-sian-gi-su Kwanliong Ciong-leng menjatuhkan diri dan menggelinding ke sana un-tuk menghindari serangan itu. Tapi, sesosok mayat hidup lainnya telah me-nyusul tiba, cakar setannya menyambar ke bawah.

Tak terlukiskan rasa kaget Kwanliong Ciong-leng, dia lupa jari tangan lawan beracun keji, ia menangkisnya dengan tangan. Demi melihat kukunya yang. melengkung dan berwarna hijau itu dia baru kaget, buru-buru ta-ngannya ditarik kembali, sayang sudah terlambat…..

“Sret!” lengan baju kanan Kwanliong Ciong-leng tersambar kuku mayat hidup itu sehingga ro-bek, ia segera merasakan lengannya amat sakit.

Mayat hidup itu berpekik aneh, kedua cakar-nya kembali menyambar tiba dengan cepat luar biasa. Kwanliong Ciong- leng menghimpun hawa mur-ni dan melancarkan serangan dengan kedua tangan sembari melompat bangun.

Mayat hidup itu melejit, ia menghindar ke samping. Mendadak manusia aneh tinggi besar tadi ber-pekik lengking seperti jeritan setan, tiba-tiba ke-dua mayat hidup itu menghentikan gerak menu-bruknya.

Bu-sian-gi-su Kwanliong Ciong-leng merasakan lengan kanannya sakit dan panas, cepat ia meme-riksa luka itu. Tapi seketika ia terperanjat, kiranya lengan yang disambar kuku setan lawan terobek luka pan-jang, di sekitar kulit yang putih itu timbul selapis warna merah dan membengkak.

Kwanliong Ciong-leng tahu racun itu amat ganas, cepat- cepat ia menghimpun tenaga untuk menahan menjalarnya racun.

Setelah termakan oleh pukulan manusia aneh tadi, Bok Ji- sia merasakan darah dalam tubuh ber-golak keras, setelah mengatur pernapasan, ia mem-buka matanya, betapa kagetnya pemuda itu ketika dilihatnya Cu Giok-ceng telah tergeletak di tanah, ia lantas membentak, tangan dengan sejajar dada segera dilontarkan ke depan.

Serangan ini tampaknya sederhana tanpa sesuatu yang aneh, tapi setiba di tengah jalan mendadak berbalik ke sebelah kiri, kemudian di antara getar-an lengannya serangan berputar pula ke kanan….. Menyaksikan gerak serangan tersebut, sinar aneh terpancar dari mata manusia aneh tinggi besar itu. Kemudian sinar mata aneh itu berubah menjadi hawa napsu membunuh yang mengerikan, berbareng telapak tangan kanannya diayun ke depan dengan angin pukulan dahsyat.

“Blang!” ketika kedua tangan saling beradu, angin mendampar kencang.

Ji-sia mendengus tertahan, ia tetap berdiri te-gak di tempat semula. Sebaliknya bahu manusia aneh itu tergetar keras dan beruntun mundur tiga-empat langkah. Tak terlukiskan rasa terkejut manusia aneh itu, mimpipun ia tak mengira ilmu pukulan yang baru saja berhasil diyakinkan dan dianggapnya maha sakti itu sama sekali tidak menghasilkan apa-apa.

Sementara ia termenung, Bok Ji-sia telah mun-tahkan segumpal darah kental, tiba-tiba saja ia ro-boh ke tanah.

Ruyung emas Jian-kim-si-hun-pian yang ber-ada di tangan kanannya masih tergenggam erat.

Perlu diterangkan bahwa ilmu pukulan yang dilancarkan manusia aneh itu adalah ilmu silat pa-ling jahat dalam dunia persilatan yang disebut Bu-siang-te-im-hu-kut (pukulan dingin pembusuk tulang), ketika dilancarkan sama sekali tidak mem-bawa kekuatan yang mengerikan.

Akan tetapi hawa murni yang jahat itu akan berubah menjadi hawa dingin yang menyusup masuk kulit badan, lalu berubah menjadi suatu kekuatan yang maha dahsyat dan merusak isi perut orang.

Sekalipun pihak lawan memiliki tenaga dalam yang sempurna dan isi perutnya tak sampai tergetar hancur, paling tidak racun jahat akan menyusup ke tubuhnya, maka ilmu ini benar-benar sejenis ilmu yasg jahat dan lihai. Baik Bu-siang-te-im-hu-kut-kang maupun Peng-sian-jit- gwat-ciang, keduanya merupakan ilmu sakti yang lihai dari aliran sesat.

Manusia aneh itu merasa sangat girang melihat Bok Ji-sia roboh, pelahan ia maju menghampirinya, ia membungkukkan badan, meraba saku pemuda itu dan mengambil sarung ruyung emas.

Begitu berhasil dengan usahanya ia lantas men-dongakkan kepala dan berpekik nyaring…..secepat kilat ia kabur ke tanah pekuburan. Tanpa menimbulkan suara ketiga belas sosok mayat hidup itupun ikut kabur ke tengah tanah pekuburan sana.

Bintang-bintang bertaburan di langit, malam semakin hening dan kelam. Angin dingin berhembus membawa semacam perasaan tegang yang aneh.

Tiba-tiba Bu-sian-gi-su Kwanliong Ciong-leng merasakan separoh badan sebelah kanan mulai ka-ku, peredaran darah dalam tubuh seakan-akan ter-sumbat, dengan mata yang tajam diawasinya ruyung emas Jian-kim-si-hun-pian di tangan Bok Ji-sia tanpa berkedip.

Suatu daya pikat yang amat kuat membuatnya berjalan pelahan menghampiri anak muda itu.

Ia berjongkok, dicengkeramnya Jian-kim-si-hun-pian di tangan Bok Ji-sia itu dengan tangan kirinya, lalu senjata itu digetarkan hingga menim-bulkan suara mendengung yang membetot sukma, beribu ekor ular emas serasa bergerak- gerak di ang-kasa…..

Mendadak dari balik matanya terpancar keluar sinar yang kejam, ruyung mestika diangkatnya ting-gi-tinggi dan dihantamkan ke atas kepala Ji-sia….

Untunglah sebelum tindakan tersebut terlak-sana suatu perasaan malu dan berdosa muncul da-lam hatinya, ia menghela napas panjang, kemudian katanya, “Dia benar- benar kejam dan culas, dia sengaja tidak ambil ruyung ini, tujuannya supaya membunuh Bok Ji-sia dan Cu Giok-ceng, lalu me-mancing Lik-ih-hiat-li dan Kiu-thian-mo-li untuk membuat perhitungan denganku. Ai, apalagi jika aku mampus keracunan, maka dia yang bakal beruntung atas kejadian ini….”

Untuk sesaat lamanya ia berdiri melamun. Selang sejenak kemudian, Kwanliong Ciong-leng meletakkan kembali ruyung Jian-kim-si-hun-pian di sisi Ji-sia. Baru saja senjata tersebut diletakkan, tiba-tiba terdengar suara tertawa dingin orang, meski suara-nya tidak terlampau keras, namun ibarat Guntur membelah bumi di siang bolong bagi pendengaran Kwanliong Ciong-leng, buru-buru ia sambar lagi ruyung Jian-kim-si-hun- pian.

Ketika berpaling, tertampaklah dari balik pe-pohonan tak jauh sana berjalan keluar seorang sastrawan setengah umur yang berdandan rapi dan mengulum senyum.

Terbelalak Kwanliong Ciong-leng, seketika ia menjadi bingung sendiri.

Terdengar sastrawan setengah umur itu tertawa terbahak- bahak, lalu menyapa, “Saudara Kwan-liong, senjata apakah yang kau pegang itu?”

Bagaikan baru mendusin dari mimpi Bu-sian-gi-su tersentak kaget, ia tanya dengan ragu, “Sau-dara Oh, jadi tadi bukan kau?”

Ternyata sastrawan setengah umur ini adalah saudara kandung Thian-kang-te-sat-seng-gwat-kiam Oh Kay-gak, yakni Seng-gwat-kiam (pedang bintang rembulan) Oh Kay-thian.

“Saudara Kwanliong, apa katamu?” sahutnya dengan tersenyum. Bu-sian-gi-su melengak, pikirnya, “Seharusnya manusia aneh tadi adalah Seng-gwat-kiam Oh Kay-thian, sebab dalam dunia persilatan dewasa ini ha-nya dia seorang yang lihai dalam ilmu racun, tapi kalau betul dia, kenapa bisa secepat ini muncul la-gi dari arah lain? Masakah ilmu meringankan tu-buhnya telah mencapai tingkatan yang luar biasa….?”

Berpikir demikian, Kwanliong Ciong-leng lan-tas menghela napas panjang, katanya, “Saudara Oh, selamanya kita tak pernah berselisih paham, kenapa kau sergap diriku?”

Oh Kay-thian tertawa dingin, “Saudara Kwan-liong, aku benar-benar tidak mengerti dengan per-kataanmu. Tolong tanya apakah benda yang ber-ada di tanganmu itu adalah Jian-kim-si-hun-pian?”

“Saudara Oh, buat apa kau berlagak pilon? Se-karang aku sudah keracunan, paling banter aku ha-nya akan hidup beberapa jam saja di dunia ini.”

Dari ucapan ini samar-samar terungkap rasa sedihnya menghadapi kematian.

Sementara itu, Seng-gwat-kiam Oh Kay-thian sudah tiba di hadapan Kwanliong Ciong-leng, sam-bil menjulurkan tangan kanan dan tertawa ia ber-kata, “Saudara Kwanliong, bolehkah kupinjam ruyungmu itu?”

“Saudara Oh, ruyung ini sudah menjadi milik-mu, kalau mau, ambil saja!”

Tiba-tiba Seng-gwat-kiam Oh Kay-thian me-narik kembali tangan kanannya, lalu berkata, “Jika saudara Kwanliong berkata demikian, aku tak jadi melihat ruyung itu!”

“Saudara Oh,” kata Kwanliong Ciong-leng de-ngan sedih, “tindak tandukmu sungguh membuat orang marah.”

“Saudara Kwanliong, teguranmu boleh dibilang teguran pertama yang dilontarkan orang persilatan kepadaku!” seru  Oh Kay-thian sambil tertawa dingin. Bu-sian-gi-su menghela napas, “Sejak dulu sam-pai sekarang, orang yang licik dan berakal busuk selalu tak mendapatkan akhir yang baik, begitu pula dengan diriku, hanya akhir yang mengenaskan yang akan kuperoleh. Kini nyawaku sudah berada di ta-nganmu, terserah hukuman apa yang hendak kau jatuhkan kepadaku!”

Oh Kay thian tersenyum, “Ucapan saudara Kwanliong terlalu serius, apabila kau mau, aku ber-sedia menyembuhkan racunmu.”

Mendengar itu, semangat Bu-sian-gi-su Kwan-liong Ciong- leng terbangkit, bagaimanapun manusia memang ingin hidup daripada mati, meskipun akhir-nya manusia itu harus mati, tapi siapakah orang di dunia ini yang tak suka hidup kecuali sudah putus asa dan tiada harapan lagi?

Sekarang, Kwanliong Ciong-leng menemukan setitik sinar harapan untuk hidup, sudah barang tentu, ia tak mau melepaskannya, walaupun dengan jelas, ia tahu musuh tak akan menyembuhkan luka-nya secara gratis, bahkan mungkin tindakannya diser-tai suatu rencana atau intrik jahat, akan tetapi setitik harapan untuk hidup itu tak pernah ia lepaskan.

Maka Bu-sian-gi-su menghela, napas sedih, “Asal saudara Oh sanggup menyembuhkan racunku ini, apa pun yang kau minta silakan bicara saja.”

Seng-gwat-kiam Oh Kay-thian tertawa terba-hak-bahak, “Ha..ha..ha…saudara Kwanliong memang orang pintar, aku memang ada satu permintaan, cuma boleh dibicarakan setelah kusembuhkan ra-cunmu nanti. Nah, sekarang perlihatkan dulu luka-mu itu.”

Terpaksa Kwanliong Ciong-leng menggulung lengan baju sebelah kanan yang robek, ketika lengan itu diperiksa ternyata warna merah bengkak di sekitar luka telah lenyap, namun sekarang mun-cul bintik-bintik merah yang banyak. Hal ini amat mencengangkan hatinya, pikirnya, “Ketika keracunan tadi, tampaknya racun itu sangat lihay, kenapa sebelum diberi obat warna merahnya yang membengkak sudah lenyap dengan sendirinya? Lagipula separoh badanku tadi terasa kaku, kenapa sekarang sudah menjadi normal kembali……?”

Sementara ia melamun, Oh Kay-thian telah berkata dengan tersenyum, “Saudara Kwanliong, kau anggap lenyapnya bengkak merah di lenganmu pertanda luka itu telah sembuh?”

Mendengar pertanyaan itu, Bu-sian-gi-su Kwan-liong Ciong- leng membungkam tanpa menjawab.

“Padahal inilah pertanda racun jahat itu sudah merasuk ke dalam darah di tubuhmu, tujuh hari ke-mudian racun itu akan bekerja, sekujur tubuhmu akan membusuk dan mati. Untung masih sempat diobati. Nah, urusan jangan tertunda lagi, aku se-gera turun tangan mengobati lukamu ini.”

Dipegangnya persendian tulang sikut kanannya, kemudian ia keluarkan sebatang jarum perak dan menusuknya beberapa kali pada jalan darah lengan kanan Kwanliong Ciong-leng.

Setelah itu, ia perlihatkan jarum perak itu kepada Kwanliong Ciong-leng dan berkata, “Coba lihat, bukankah jarum perak ini telah berubah menjadi hitam?”

Melihat jarum itu berubah menjadi hitam, diam-diam Kwanliong Ciong-leng menghela napas, pikirnya, “Sungguh lihai sekali racunnya. Ai, orang ini jauh lebih keji daripadaku, entah intrik busuk apa yang hendak ia lakukan kepadaku…?”

Waktu itu Seng-gwat-kiam Oh Kay-thian telah mengeluarkan lagi sebatang jarum perak lain yang putih bersih, lalu dengan ujung jarum itu dia me-robek bintik-bintik merah, setetes darah kental yang berwarna merah hitam meleleh keluar dan menetes ke tanah. Dalam waktu singkat, seluruh lengan Kwan-liong Ciong- leng berlepotan darah berwarna me-rah hitam itu.

Lamat-lamat iapun mengendus bau amis bu-suk dari darah hitam itu, diam-diam ia terkejut sekali oleh kehebatan racun itu.

“Nasib saudara Kwanliong sungguh mujur,” kata Oh Kay- thian sambil tertawa, “coba lewat satu jam lagi, racun itu pasti sudah mengikuti ali-ran darah dan menyerang isi perut, kalau demikian, maka kau tak tertolong lagi.”

Mendengar itu, Kwanliong Ciong-leng mema-ki di dalam hati, “Huh, kucing menangisi tikus, ingin mencuci tangan sebersih-bersihnya, siapa lagi manusia di dunia ini yang sanggup melatih mayat hidup serta menggunakan racun untuk merobohkan Cu Giok-ceng kecuali kau Seng-gwat-kiam Oh Kay-thian? Wahai Oh Kay-thian suatu hari akupun akan membuat kau masuk perangkapku!”

Dalam hati ia menyumpah, di mulut katanya, “Terima kasih saudara Oh atas bantuanmu, entah apa permintaanmu, katakanlah!”

Oh Kay-thian menyimpan jarum peraknya la-lu tangan kanan mengeluarkan sebuah botol kecil berwarna putih dan mengambil dua biji pil ber-warna merah.

“Kedua pil ini merupakan obat mestika yang kubawa untuk memunahkan racun,” katanya sam-bil tersenyum, “sekarang kuhadiahkan kepadamu dan minumlah sebutir lebih dulu, lewat tiga hari kemudian minum lagi yang lain, maka sisa racun yang masih mengeram dalam tubuhmu akan lenyap tak berbekas.”

Dalam keadaan demikian, Bu-sian-gi-su tak bisa mencurigainya lagi, pil itu segera dimakannya sebutir, dengan cepat ia merasakan hawa segar da-ri mulut masuk ke pusar sehingga semangatnya menjadi segar bugar. Setelah Bu-sian-gi-su menelan pil itu, Oh Kay-thian tersenyum dan berkata, “Selamanya aku me-mang senang bekerja sama dengan saudara Kwan-liong, adapun usahaku menyembuhkan lukamu hari ini bukan masalah besar, biarpun keinginanku tidak kau laksanakan juga tak menjadi soal, maka biar-lah tidak jadi kukatakan saja.”

Mendengar perkataan itu, Kwanliong Ciong-leng tertegun, dia tidak mengerti permainan apa lagi yang dilakukan Oh Kay- thian yang licik itu.

“Saudara Oh,” Bu-sian gi-su berkata lantang, “tahukah kau bahwa selamanya aku enggan me-nerima budi kebaikan orang dengan percuma?”

“Kalau demikian, baik begini saja. Kedua muda-mudi yang menggeletak di tanah ini mempunyai den-dam denganku, tolong cincang tubuh mereka, lebih baik lagi kalau wajah dan bentuk tubuh mereka hancur sama sekali hingga tak berwujud.”

Permintaan ini ternyata diutarakan dengan enak saja, Kwanliong Ciong-leng menjadi tertegun, ia merasa kekejaman orang benar-benar mengerikan.

Melihat Bu-sian-gi-su membungkam sampai la-ma sekali, sambil tetap tersenyum Oh Kay-thian berkata pula, “Selamanya aku tidak suka memaksa orang, harus kuperingatkan dirimu lebih dulu, le-bih baik kau pertimbangkan pula segala akibatnya. Nah, kata-kataku hanya sampai di sini, aku akan berangkat lebih dulu.”

Ucapan Oh Kay-thian yang sukar dimengerti ini membuat Bu-sian-gi-su Kwanliong Ciong-leng menjadi bingung dan tak tahu bagaimana baiknya.

Waktu ia mendongak Oh Kay-thian sudah barada beberapa tombak jauhnya, cepat ia berseru, “Saudara Oh, apakah ruyung Jian-kim-si-hun-pian ini tidak kau maui lagi?” “Ruyung itu kan bukan milikku, buat apa ku-ambil benda itu?”seraya berkata ia berjalan terlebih jauh.

Memandangi bayangan pungguung Oh Kay-thian yang lenyap dalam kegelapan, tanpa terasa Kwanliong Ciong-leng menghela napas sedih.

Kenapa Seng-gwat-kiam Oh Kay-thian rela me-lepaskan Jian-kim-si-hun-pian? Tindakannya ini sungguh tidak dimengertinya.

Mendadak satu ingatan terlintas dalam benak-nya, “Jangan- jangan pil yang diberikan kepadaku tadi adalah semacam obat racun!”

Berpikir demikian, ia lantas memutuskan untuk tidak makan pil yang lain daripada keracunan lagi, sudah barang tentu iapun tak berani memastikan bahwa pil yang diberikan kepadanya itu adalah racun.

Mendadak ingatan lain terlintas pula dan se-gera hilang curiganya, “Oh Kay-thian tidak mem-bawa pergi ruyung itu, alasannya sudah tentu ka-rena semua umat persilatan di dunia ini tahu ru-yung itu berada di tangan Oh Kay-gak, bila mereka tahu Oh Kay-gak telah berpulang ke alam baka, otomatis orang yang dicari pertama kali ada-lah Oh Kay-thian dan Oh Ku-gwat dari Thian-seng-po.”

“Sekalipun ilmu silat dan ilmu racun Oh Kay-thian tiada tandingannya di dunia ini, mustahil ia bisa melawan seluruh jago lihai dunia persilatan? Sekarang ia tidak mengambil ruyung itu, jelas di-karenakan masalah tersebut. Dengan diberikannya ruyung ini kepadaku, tujuannya mengalihkan agar sasaran semua jago persilatan atas diriku, sedang-kan kemampuan ilmu silatku sekarang, cukup se-orang Kiu-thian- mo-li saja sudah sanggup untuk membunuhku.”

“Bila aku mati, maka rahasia tentang sarung ruyung Jian- kim-si-hun-pian itu akan menjadi tan-da tanya besar, bahkan sejak kini tak akan dike-tahui orang….Ah, ia betul-betul kejam, siapa tahu kalau di samping ini ia masih mempunyai ren-cana keji yang lebih hebat?”

Tapi sesaat kemudian, teka-teki lain kembali terlintas dalam benaknya. Mengapa Seng-gwat kiam Oh Kay-thian tidak turun tangan sendiri untuk membunuh Cu Giok-ceng, Bok  Ji-sia serta dirinya? Apakah ia takut Kiu-thian-moli dan Lik-ih-hiat-li akan mencarinya untuk membalas dendam? Tentu saja hal inipun mungkin, tapi jelas bu-kan sebab yang utama, lantas karena apa?

Semua persoalan itu membuat Bu-sian-gi-su Kwanliong Ciong-leng yang cerdas serta licik men-jadi kebingungan. Bila ingin memecahkan teka-teka ini, maka manusia aneh tinggi besar tadi berarti bukan Seng-gwat-kiam Oh Kay-thian, padahal tak mungkin, sebab orang itu jelas adalah dia, umpama bukan dia pasti juga orang suruhannya.

Andaikata benar begini, berarti kelihaian kung-fu Oh Kay- thian betul-betul mengerikan sekali, se-bab kesempurnaan ilmu silat manusia aneh tadi je-las tidak berada di bawah Oh Kay-gak, Lamkiong Hian, Kiu-thian-mo-li maupun Lik-ih hiat-li.

Bagaikan ombak pikirannya bergolak hebat, ke-tika ia menunduk dan memandang sekejap tubuh Bok Ji-sia, bagaikan mengigau ia bergumam seorang diri.

“Dapatkah kutentang hati nurani sendiri dan melaksanakan perintah Oh Kay-thian….? Harus-kah kubunuh mereka? Bila kubunuh mereka apa pula akibatnya terhadapku? Kalau tidak kubunuh apa pula yang terjadi?”

Bu-sian-gi~su Kwanliong Ciong-leng menggeng-gam ruyung Jian-kim-si-hun-pian itu kencang-ken-cang sambil menatap tubuh Bok Ji-sia dan merenungkan pelbagai persoalan itu.

Tiba-tiba ia berpendapat tidak sepantasnya me-reka dibunuh, sebab bagaimanapun juga dulunya dia bukanlah seorang licik dan keji. Mengapa selama tiga-empat tahun belakangan ini watak sendiri bisa berubah menjadi begini “licik dan jahat?”

Semua ini tak lain karena musibah yang telah menimpa adik angkatnya, kematian yang me-ngenaskan segenap anggota keluarganya. Ia hendak membalas dendam bagi kematian adik angkatnya, ia pikir dendam tersebut hanya bi-sa dibalas dengan cara yang keji, tentu saja iapun sadar kepandaian sendiri masih belum cukup untuk membalas dendam bagi adik angkatnya, maka dia  harus mempergunakan akal, bilamana perlu meng-gunakan siasat keji untuk mewujudkan cita-citanya.

Sekali lagi Kwanliong Ciong-leng menghela na-pas, pelahan ia taruh kembali ruyung emas Jian-kim-si-hun-pian di sisi tubuh Bok Ji-sia.

Pada saat itulah tiba-tiba sebuah telapak ta-ngan putih halus menyambar ruyung emas Jian-kim-si-hun-pian dengan cepat biar biasa.

Untunglah Bu-sian-gi-su Kwanliong Ciong-leng bertindak cekatan, kaki kirinya sempat men-depak ruyung itu sehingga mencelat dan menancap tanah. Berbareng itu secepat kilat Kwanliong Ciong-leng meluncur ke sana dan menyambar ruyung itu. Akan tetapi baru saja jari tangannya me-nyentuh tangkai ruyung, segulung angin pukulan dingin yang lunak menerjang tiba.

Kwanliong Ciong-leng sudah berpengalaman luas, dengan cepat ia menyadari akan kehebatan angin dingin itu, segera ia melayang mundur dan terlolos dari ancaman itu. Bayangan putih berkelebat, seorang gadis ber-tubuh ramping telah melompat ke arah ruyung mestika itu secepat kilat.

“Mundur!’“ bentak Kwanliong Ciong-leng, te-lapak tangannya segera didorong ke depan.

Berbareng dengan serangan itu, tangan yang lain sudah menyambar gagang ruyung dan menca-butnya. Oleh karena tertumbuk oleh tenaga pukulan tadi, gerakan si nona baju putih menjadi tertahan, ia tak rela melihat ruyung itu jatuh ke ta-ngan Kwanliong Ciong-leng,  sambil membentak ia menerjang maju lagi, kedua telapak tangannya me-lepaskan pukulan dahsyat.

Oleh karena gerak tubuh musuh terlampau ce-pat, Kwanliong Ciong-leng tak sempat melihat je-las raut wajah penyerangnya. Tapi ia dapat merasakan kelihaian serangan lawan, sambil membentak marah ruyung diputar kencang, cahaya emas segera terpancar keempat penjuru dengan deru angin tajam.

Tiba-tiba terdengar seorang berseru dengan su-ara merdu, “Enci Pek Sat, ruyung itu sangat tajam, jangan disambut dengan kekerasan!”

Nona berbaju putih itu mendengus, terpaksa ia menahan gerak majunya.

Setelah berhasil memaksa mundur musuh, Kwanliong Ciong-leng menyapu pandang sekejap sekeliling tempat itu. Dilihatnya tidak jauh di samping kiri berdiri dua orang gadis, mereka adalah nona berbaju biru berkerudung dan Pek Bi, si genit dari Hek-liong-kang. 

Sedangkan gadis yang tepat berdiri di hadapan-nya tak lain adalah Pek Sat yang dingin dan ang-kuh itu. Terkesiap hatinya, ia pikir, “Wah, bisa re-pot. Bila bertemu dengan tiga gadis aneh dari Hek-liong-kang ini, mungkin ruyung ini tak bisa kupertahankan lagi.”

Dengan sinar mata yang tajam dan menggidik-kan hati, Pek Sat menatap wajah Kwanliong Ciong-leng lekat-lekat, kemudian dengan nada dingin ka-tanya, “Ruyung emas Jian- kim-si-hun-pian adalah benda milik Hek-liong-kang kami, ayo cepat serah-kan kepada kami, kalau tidak akan kubikin kau mampus tanpa terkubur.” Bu-sian-gi-su Kwanliong Ciong-leng tak berani beradu pandang dengan nona itu, ia tertawa ter-bahak-bahak, “Nona jangan terlalu memaksakan kehendakmu, ketahuilah ruyung ini adalah milik Bok Ji-sia, siapa bilang barang milik Hek-liong- kang kalian?”

Pek Sat mendengus, “Hmm, tahukah kau siapa yang membuat Jian-kim-si-hun-pian ini?”

Kwanliong Ciong-leng tertawa dingin, “Betul ruyung ini dibuat oleh seorang tokoh sakti aliran Hek-liong-kang, yakni Hin-si-su Siang Heng-tang, akan tetapi Siang-locianpwe sendiri adalah orang persilatan daerah Tionggoan, beliau pula yang mem-bawa ruyung ini ke Tionggoan serta meninggalkan-nya di sini…..”

“Ia sama sekali tak punya murid, itu berarti ruyung hilang di daerah Tionggoan,” tukas Pek Sat ketus.

Kembali Kwanliong Ciong-leng tersenyum, “Ruyung ini sudah bersejarah tiga ratus tahun, ba-gaimana jalannya peristiwa ini kita sebagai orang angkatan muda tak akan mengetahuinya, maka barang siapa mendapatkan ruyung ini, dialah pemilik-nya.”

Nona baju biru bercadar itu melirik sekejap Bok Ji-sia yang manggeletak di tanah itu dengan sorot mata lembut, kemudian ia tanya, “Apakah kau yaog mencelakai dia?”

“Nona,” seru Kwanliong Ciong-leng dengan perasaan bergetar, “kalau tidak menyaksikan dengan mata kepala sendiri, janganlah sembarangaa bicara.”

Nona bercadar itu tertawa cekikik dengan su-ara yang merdu bagaikan kicau burung.

“Aku kan cuma bertanya saja, padahal bicara tentang kepandaian, dengan kungfumu mungkin belum cukup untuk melukainya.” Air muka Kwanliong Ciong-leng berubah he-bat mendengar perkataan itu, dengan dingin ia lan-tas bertanya, “Apakah nona telah mengetahui duduk-nya perkara?”

Tiba-tiba Pek Bi tersenyum kepada Kwanliong Ciong leog, katanya, “Maksudmu tahu soal apa?”

Melihat senyuman manis yang menghiasi bibir-nya, Kwanliong Ciong-leng seakan-akan terpikat, ia pandang gadis itu dengan termangu.

Pek Sat segera menggerakkan tubuhnya dan menerjang maju secepat kilat, tangan kirinya dikebaskan sementara kelima jari tangan kanan ter-pentang lebar dan mencengkeram pergelangan ta-ngan kanan Kwanliong Ciong- leng.

Terembus oleh angin serangan yang amat di-ngin, Kwanliong Ciong-leng tersadar kembali dari lamunannya, tapi pergelangan tangan kanannya ke-buru kena dipegang oleh jari tangan yang putih halus itu, tangannya bergetar keras dan ruyung mestika itupun terlepas dari cekalan.

“Brak!” nyaris ruyung itu menimpa wajah Mo-li-ceng-li Cu Giok-ceng yang menggeletak di ta-nah, selisih dengan wajah gadis itu cuma tiga inci.

Bersamaan waktunya Kwanliong Ciong-leng mem-buang ruyung tersebut, tenaga murninya segera di-himpun ke telapak tangan kirinya dan menerima kebasan dengan keras lawan keras.

Dengusan tertahan berkumandang, dengan air muka pucat seperti mayat, beruntun Kwanliong Ciong-leng mundur tiga- empat langkah. Air muka Pek Sat ikut berubah pula, bahunya tergetar dan tubuhpun tergeliat.

Pek Bi tertawa cekikikan dengan suara yang merdu, katanya tiba-tiba, “Bukankah kau bilang ba-rang siapa pegang ruyung ini, dialah pemilik ruyung ini? Nah, mulai sekarang ruyung ini menjadi milik kami!”

Habis berkata, senyuman bangga memikat hati kembali menghiasi wajahnya, lalu sambil bergoyang pinggul pelahan ia berjalan mendekati sisi tubuh Cu Giok-ceng.

“Tunggu sebentar!” tiba-tiba bentakan nyaring menggelegar, “ruyung itu milikku!”

Mo-li-ceng-li Cu Giok-ceng yang semula ter-geletak tak berkutik di tanah itu tahu-tahu sudah menggerakkan jari tangannya dan menyambar ruyung emas Jian-kim-si-hun-pian tersebut.

Mimpipun Pek Bi tidak menyangka ruyung mestika yang sudah berada di depan mata tahu-tahu berpindah ke tangan orang lain. Dengan suatu gerakan cepat ia menerjang ke samping Cu Giok-ceng, lalu meletik ke depan, de-ngan suatu gerakan yang manis telapak tangan ka-nan menutuk pergelangan tangan kanan Cu Giok-ceng.

Akan tetapi Cu Giok-seng pun bukan kaum lemah, cepat ia mengegos ke samping sambil me-mutar tangan, ia balas mencengkeram urat nadi pergelangan tangan kiri Pek Bi.

Tiba-tiba Pek Bi angkat kakinya menendang perut lawan. Cu Giok-ceng berkerut kening, cepat kaki kiri juga diangkat menyongsong ancaman tersebut. Terjadi benturan keras, kedua pihak sama-sama menjerit kaget, lalu dengan gerakan yang sama ce-patnya mereka melompat mundur. Namun begitu, ruyung emas Jian-kim-si-hun-pian masih berada dalam cengkeraman Cu Giok-ceng.

Setalah berlangsungnya pertarungan jarak de-kat dengan jurus-jurus serangan kilat, dapatlah di-ketahui bahwa kelihaian kungfu kedua gadis itu, ba-ik kecepatan maupun keganasan serangan boleh dibilang seimbang. Untuk sesaat kedua pihak tak berani melancarkan serangan secara gegabah lagi, sudah barang tentu Pek Bi tambah ngeri terhadap Jian-kim-si-hun- pian.

Dengan ujung kaki kiri Cu Giok-ceng segera mencungkil pedangnya yang tergeletak di tanah, lalu ditangkap kembali dengan tangan kiri, ruyung dan pedang segera diangkat bersama.

“Nama besar tiga gadis dari Hek-liong-kang memang tidak bernama kosong belaka,” demikian ia berkata sambil tertawa dingin, “tapi kalian mesti tahu, di antara yang tangguh masih ada yang lebih tangguh lagi.”

Dengan langkah lemah gemulai si nona baju biru bercadar itu pelahan maju ke depan, serunya dengan merdu, “Hei, siapa kau ini? Kok galak amat?”

Cu Giok-ceng mendengus penuh menghina, katanya, “Nonamu adalah Mo-li-ceng-li yang termashur di dunia persilatan. Hmm, mau apa kau?”

“Oh, maaf! Rupanya engkau Nio-cu-kun (ten-tara perempuan atau Srikandi) dari Tionggoan.”

“Nio-cu-kun atau bukan, mau apa kau?” ben-tak Cu Giok- ceng lagi, “bila kau berani sembarangan omong, daerah Tionggoan akan menjadi tempat mengubur kalian.”

“Wah, gadis Tionggoan tampaknya sangat ga-lak,” kembali nona baju biru itu menyindir, “tapi juga cakap-cakap!”

“Hmm, kau cari mampus!” bentak Cu Giok-ceng dengan gusar.

Ia menerjang maju, pedang di tangan kiri be-runtun menusuk dan menabas dengan gencar. Serangan ini dilancarkan dengan gerak cepat dan jurus yang aneh, tampaknya segera dada si no-na baju biru bercadar itu akan tertusuk. “Tahan!” Pek Sat membentak, “jangan kau lukai nona kami!”

Menghadapi ancaman pedang itu, ternyata si nona baju biru tidak memperlihatkan rasa takut, ia berdiri tenang di tempatnya, melihat itu, Cu Giok-ceng terperanjat.

“Jangan-jangan dia memiliki sesuatu ilmu ke-ji….” demikian ia berpikir.

Tiba-tiba ia menarik kembali serangannya, se-mentara itu Pek Sat telah menerjang maju dan me-lepaskan pukulan dahsyat. Merasakan dahsyatnya angin pukulan itu, ce-pat Cu Giok-ceng melompat mundur.

“Enci Pek Sat,” terdengar nona baju biru itu berseru, “ia tak akan berani melukaiku, apa yang kau kuatirkan?”

Sementara itu, setelah mengatur napas dan mengendalikan pergolakan darah dalam tubuhnya, mendadak Kwanliong Ciong-leng menghampiri Bok Ji-sia, ia membalik tubuh pemuda itu dan memeriksa keadaannya.

Ternyata Ji-sia berbaring dengan kaku, noda darah masih mengotori ujung bibirnya, gigi terkatup kencang, wajahnya pucat seperti mayat.

Melihat keadaan tersebut, tanpa terasa ia meng-hela napas panjang, gumamnya, “Sungguh tak ku-sangka pemuda keras kepala ini ternyata berusia pendek.”

Terkejut Cu Giok-ceng, ia menerjang maju dan bertanya dengan kuatir, “Dia …..dia.… telah mati….?”

Kwanliong Ciong-leng melirik sekejap wajah Cu Giok-ceng yang cemas itu, lalu menghela napas, “Ya, dia telah mati!”

Padahal antara Cu Giok-ceng dan Bok Ji-sia tidak memiliki hubungan apapun, tapi entah me-ngapa, ketika mendengar kabar tersebut, ibarat gun-tur menggelagar pada siang bolong, ia terperanjat sehingga sekujur badan gemetar. Jelas kematian Bok Ji-sia mempunyai sangkut-paut yang amat besar dengan dia. Dalam pada itu, si nona baju biru dan Pek Sat serta Pek Bi telah maju pula, tiba-tiba ia ber-kata sambil tertawa. “Kedua Cici, entah ada hu-bungan apa Bok Ji- sia dengan dia, kenapa ia be-gitu sedih?”

Gusar sekali Cu Giok-ceng mendengar ucapan itu, bentaknya, “Dia sahabatku, apa urusannya denganmu?”

Nona berbaju biru itu tertawa merdu, “Cici, dia bilang orang she Bok itu sahabatnya, tapi ma-na mungkin ada sahabat yang merampas ruyung mestikanya? Kan lucu sekali, Aii, orang bilang cinta hanya mendatangkan penyesalan, kata-kata ini me-mang cocok untuk diterapkan pada perempuan yang bodoh.”

Ucapan ini betul-betul melukai hati Cu Giok-ceng, saking marahnya sampai pucat air mukanya, hawa napsu membunuh pun terpancar dari sorot matanya yang beringas.

Sembari berkata nona berbaju biru itu meme-riksa air muka Bok Ji-sia, tiba-tiba ia menghela napas dan berkata lagi, “Tak kusangka dalam du-nia persilatan Tionggoan ada orang yang berhasil meyakinkan ilmu Bu-siang-te-im-hu-kut-kang!”

Mendengar perkataan tersebut, telapak tangan Cu Giok- ceng yang sudah terangkat dan siap me-nyerang lagi segera terhenti di tengah jalan, seru-nya kaget, “Apa kau bilang? Ia terkena pukulan Bu-siang-te-im hu-kut-kang?”

“Benar,” nona baju biru itu menjawab, “sang-gupkah kau menyembuhkan dia?”

Cu Giok-ceng tertegun, walaupun ia tak me-ngerti tentang ilmu pukulan tersebut, tapi ia pernah mendengar kekejian serta kelihaian ilmu pukulan Bu-siang-te-im-hu-kut-kang ini, konon barang siapa terkena pukulan tersebut tak bisa tertolong lagi, de-ngan ilmu pukulan Peng-sian-jit-gwat-ciang, kedua-nya disebut dua macam ilma sakti dunia persilatan. Nona baju biru itu bergumam pula, “Racun jahat telah menyerang isi perutnya, lewat satu jam lagi, bila hawa racun muncul di antara alis mata-nya berarti ia tak bakal tertolong lagi. Aiii, sayang! Seorang pemuda berbakat ternyata harus lenyap de-ngan begitu saja.”

“Jadi kau dapat menyembuhkan lukanya ini?” tiba-tiba Mo- li-ceng-li Cu Giok-ceng-bertanya.

“Kau bertanya kepada siapa?” tegur si nona baju biru tambil mendongakkan kepalanya.

Cu Giok-ceng mendengus, “Tentu saja tanya kepadamu!” Nona baju biru itu tertawa dingin, “Di dunia dewasa ini,

kecuali aku seorang mungkin tidak ada orang kedua yang mampu menyembuhkan luka be-racun akibat pukulan-pukulan Bu-siang-te-im-hu-kut-kang maupun Peng-sian-jit-gwat-ciang. Tapi aku dan dia ada dendam, sudah barang tentu aku tak akan menyembuhkan lukanya, tampaknya hanya jalan kematian saja yang tersedia baginya.”

Mo-li-ceng-li Cu Giok-ceng amat gelisah se-telah mendengar perkataan itu, dengan wataknya yang keras kepala, tentu saja dia enggan memohon kepada orang selain memendam rasa gelisahnya da-lam hati.

Sementara itu sudah menjelang kentongan ke-lima, sudah dekat fajar. Angin terasa berhembus kencang, suasana di se-kitar tanah kuburan itu terasa hening, perasaan setiap orang serasa tertekan.

Mendadak Cu Giok-ceng membentak meme-cahkan keheningan suasana, “Siapa di situ? Main sembunyi-sembunyi, ayo keluar!”

Dari balik remang cuaca menjelang fajar, dari tanah pekuburan itu bergema suara dampratan yang dingin menyeramkan, “Budak setan, jangankan kau sembunyi di tempat orang mati ini, sekalipun bersembunyi di ujung langit pun nyonya besar da-pat menyusul dirimu.”

Suaranya keras dan melengking, jelas suara se-orang perempuan. Mendengar seruan itu, air muka Cu Giok-ceng segara berubah menjadi berseri-seri. cepat-cepat teriaknya, “Jik-locianpwe, cepat kemari? Aku hendak dicincang orang!”

“Budak setan, akan kulihat sekali ini hendak kau kabur ke mana lagi?” perempuan itu mendam-prat pula dengan suaranya yang serak tua.

“Jik-locianpwe, kali ini aku tak akan kabur la-gi, Cuma..…”

Belum lagi ucapan tersebut selesai, mendadak segelung angin lembut berhembus lewat mengiringi datangnya sesosok bayangan manusia, ilmu me-ringankan tubuhnya sungguh lihai sekali, begitu ce-pat, begitu enteng, membuat orang sukar mengetahui berasal dari mana datangnya.

Ternyata orang ini adalah seorang nenek ber-wajah jelek, berambut putih, main bawa tongkat berkepala satan yang berat. Ketika muncul, tong-kat itu diketukkan ke tanah sehingga berbunyi “Trang!”

“Budak setan, cuma apa? Ayo cepat teruskan!” teriak nenek itu.

Sementara itu Bu-sian-gi-su Kwanliong Ciong-leng juga terperanjat karena munculnya nenek jelek ini, pikirnya, “Kenapa makhluk tua inipun muncul pula dalam dunia persilatan? Agaknya Bu-lim-jit-coat benar-benar hendak melaksanakan janji mereka pada delapan belas tahun yang lalu.”

Tiba-tiba terdengar si nona baju biru tadi ter-tawa cekikikan, kemudian berkata, “Kedua Cici, coba kalian tebak siapakah orang ini? Kenapa tam-pangnya sama dengan dia?” Gemetar badan Cu Giok-ceng mendengar kata-kata itu, bentaknya gusar, “Perempuan siluman, me-mangnya kau cantik…..?”

Kiranya wajah Mo-li-ceng-li Cu Giok-ceng ti-dak terhitung cantik, sekalipun kulit badannya ter-hitung menarik, sayang sekali wajahnya yang putih itu banyak bintik-bintik hitam. Sebagai seorang gadis, soal cantik atau jelek tentu saja merupakan masalah yang penting.

Betul selama ini Cu Giok-ceng tidak terlalu memperhatikan soal air muka, tapi sindiran nona berbaju biru itu sungguh amat menusuk perasaannya. Apalagi sejak ia berjumpa dengan Bok Ji-sia, tanpa disadari telah timbul rasa rendah diri karena wajahnya yang cacat itu. Maka setelah dihina oleh nona baju biru itu, pucatlah wajahnya karena marah, di tengah ben-takan keras, ruyung emas Jian-kim-si-hun-pian se-gera diputar menjadi selapis cahaya emas, langsung menyambar muka si nona baju biru.

Pek Sat yang berada di samping dapat me-nyaksikan serangan itu dengan jelas, tangan kanan-nya cepat mengebas. Cu Giok-ceng segera merasakan tibanya angin pukulan yang lembut tapi hebat menembus lingkar-an cahaya emas Jian- kim-si-hun-pian dan mengan-cam tempat berbahaya di tubuhnya, ia terperanjat, sambil berkelit ke samping serangan ruyungnya te-tap dilanjutkan.

Cahaya emas yang terpancar dari Jian-kim-si-hun-pian dengan tajamnya menerobos ke depan. Pek Sat tahu betapa lihainya ruyung mestika itu, sementara serangannya dilancarkan tadi, tangan yang lain telah menyambar tubuh nona berbaju bi-ru itu dan memaksanya mundur dua langkah.

Dalam keadaan gusar, Cu Giok-ceng enggan memperhatikan keadaan sekitarnya lagi, ketika di-lihatnya Pek Sat menyurut mundur, pedang di ta-ngan kirinya secepat kilat menusuk ke depan. Kombinasi serangannya antara pedang dan ru-yung ini dilakukan dengan manis, baru saja Pek Sat dan nona baju biru itu berdiri tegak, cahaya pedang tahu-tahu sudah menyambar tiba. Sudah barang tentu Pek Bi tidak diam saja, pada saat Cu Giok-ceng melancarkan serangan dengan ruyung tadi, ia bergeser ke tempat yang tepat, seakan-akan ia sudah menduga ke mana Cu Giok-ceng akan menyerang.

Maka waktu tusukan pedang gadis itu me-nyambar tiba, dengan cepat tangan kirinya berge-rak, dengan tiga jari tangan ia mengancam tiga ja-lan darah penting di tubuh Cu Giok-ceng.

Cu Giok-ceng amat terperanjat, pikirnya. “Sung-guh angin serangan yang tajam….!”

Dengan cepat dia mengegos, kemudian pedang di tangan kiri berputar di tengah jalan dan berbalik menabas lengan kiri Pek Bi.

Pek Bi tertawa cekikikan dengan genit, ketiga tutukan tadi mendadak berubah menjadi jurus se-rangan yang aneh, kali ini ia menyambar pergelangan tangan lawan.

Menang kalah dalam pertarungan antar sesama jago lihai, biasanya hanya ditentukan dalam se-kejap mata.

Ketika Cu Giok-ceng mendengar suara tertawa genit, tanpa terasa ia memandang wajah orang, tiba-tiba saja hatinya bergetar, serangannya menjadi lamban, dan sedikit meleng saja mengakibatkan kerugian yang amat besar.

Tiba-tiba urat nadi pergelangau tangannya terasa kaku, tahu-tahu sudah dicengkeram oleh ta-ngan kiri Pek Bi, pedangnya yang menabas otomatis juga jatuh ke tanah. Dengan pelahan tangan kanan Pek Bi menyam-bar pedang yang terjatuh itu, kemudian dengan senyuman yang memikat ia menggerakkan pedang rampasan dan menusuk ulu hati Cu Giok-ceng. Kemampuannya membunuh orang dengan se-nyuman memikat ini betul-betul suatu perbuatan yang keji, membuat siapapun yang menyaksikan ja-di merinding. Oleh karena urat nadi tangan kiri tercengke-ram, segenap kekuatan Cu Giok- ceng menjadi hi-lang, ia tak mampu lagi untuk berkelit dalam ke-adaan begini, terpaksa dia cuma bisa mengawasi pedang lawan menusuk ke arahnya dengan sinar mata penuh benci.

“Perempuan siluman, tahan!” mendadak si ne-nek jelek membentak, sambil mengayun tongkat se-tannya ia melompat maju.

Agaknya Pek Bi mengetahui kehebatan tubruk-an tersebut, sambil mengerahkan tenaga ia lempar tubuh Cu Giok-ceng ke samping, lalu pedangnya berputar menciptakan selapis cahaya perak untuk membendung datangnya ancaman.

“Trang!” diiringi bentrokan nyaring, si nenek bermuka jelek yang menerjang datang itu tergetar jatuh ke bawah.

Sebaliknya Pek Bi sendiripun tergetar oleh tongkat baja sehingga tubuhnya terlempar dua lang-kah ke belakang, meski begitu, tetap dengan senyum-an genit ia mengawasi nenek itu.

Nenek bermuka jelek itu tidak mengira nona secantik ini ternyata memiliki tenaga pukulan be-gitu hebat dan jurus pedang begitu sakti.

Rupanya Mo-li-ceng-li Cu Giok-ceng juga tidak menyangka Pek Bi sanggup menahan serangan jago kelima dalam Bu-lim- jit-coat yang tersohor dalam dunia persilatan ini, Pek-pin-kui- po (Nenek setan berambut putih) Jik Say-kiau.

Kemunculan Pek-pin-kui-po Jik Say-kiau ini adalah untuk memenuhi janji sesama Bu-lirn-jit~coat pada delapan belas tahun yang lalu, ia tak menyangka dalam pertarungan pertama ini lantas berjumpa dengan musuh tangguh yang masih mu-da belia. Hai ini segera menimbulkan rasa ingin menang-nya, ia membentak, “Siluman cilik, hebat juga te-naga dalammu, pantas kau berani berbuat keonar-an di Tionggoan, kalau berani sambut lagi beberapa jurus serangan nyonya.”

“Enci Pek Bi,” nona baju biru berseru, “sam-butlah beberapa jurus serangannya, coba kita lihat Pek-pin-kui-po dari Bu-lim-jit-coat yang jauh lebih tua ini apakah masih bisa menakuti orang?”

Perlu diketahui, walaupun Jik Say-kiau ber-tampang jelek, akan tetapi ia paling benci bila ada orang memanggilnya sebagai Pek-pin-kui-po atau nenek setan berambut putih.

Maka dengan gusar ia membentak, “Anak da-ra, besar amat nyalimu! Lihat saja nyonya akan hancur lumatkan tubuh kalian!”

Tongkat berkepala setan segera mengetuk ta-nah terus menerjang maju. Pedang di tangan kanan Pek Bi menuding ke depan, beruntun beberapa kali gerakan menciptakan selapis cahaya tajam yang menyilaukan mata.

Tatkala pedang dan tongkat hampir saling ben-tur, titik-titik bunga pedang yang diciptakan Pek Bi mendadak berkumpul menjadi satu dan tanpa terasa menumbuk tongkat baja itu, seakan-akan da-ri tongkat Pek-pin-kui-po timbul semacam daya isap yang kuat, tentu saja ia terkejut.

Sementara pedang Pek Bi terisap oleh tongkat lawan, tiba- tiba terdengar si nona baju biru berkata dengan merdu, “Enci Pek Bi, gunakan gaya lamban untuk menghadapi kecepatan.”

Dua patah kata yang merupakan kunci ilmu silat itu mengingatkan Pek Bi untuk menggerakkan pedangnya dan menciptakan serentetan cahaya ta-jam.

“Cring!” terdengar bunyi gemerincing, tahu-tahu pedang sudah terlepas dari isapan tongkat, kemu-dian cahaya pedang yang berkilauan tahu-tahu membabat pergelangan tangan kanan Jik Say kiau.

Menyaksikan jurus pedang yang aneh itu, di-am-diam Bu- sian-gi-su Kwanliong Ciong-leng meng-hela napas, ia merasa jago lihai dalam dunia persilatan memang amat banyak, bahkan beberapa orang di hadapannya sekarang terbukti memiliki ilmu silat yang lebih hebat daripadanya.

Terbayang kembali peristiwa tragis yang me-nimpa keluarga adik angkatnya, butiran air mata segera bercucuran membasahi muka Bu-sian-gi-su yang masih berbaring di tanah, kesedihan itu melambang-kan kehidupannya yang hampir berakhir, itu ber-arti dendam berdarah adik angkat dan keluarganya tak bisa dibalas lagi.

Kiranya beberapa saat berselang ia terbayang kembali akan semua peristiwa yang dialaminya ma-lam ini, ia sadar telah terjebak oleh akal licik Seng-gwat-kiam Oh Kay-thian, iapun tahu dirinya sudah makan obat racun yang bekerja lambat dari Oh Kay-thian, sebab saat ini pada suatu urat nadi penting di tubuhnya lamat-lamat terasa sakit, itu-lah gejala menghimpunnya racun di sana, asal waktu yang ditentukan telah tiba dan racun mulai bekerja, niscaya dia akan mati secara mengenaskan….

Dalam pada itu, Pek-pin-kui-po Jik Say-kiau pun terkejut, sambil membentak tongkat diputar untuk menggetar pergi pedang Pek Bi, setelah itu tongkat disodokkan ke jalan darah Hian-ki-hiat di tubuh nona itu.

Buru-buru Pek Bi melompat mundur untuk menghindarkan diri, kemudian pedangnya rnenciptakan cahaya kuntum bunga dan balas menyerang pula.

Jurus pedangnya cepat dan ganas, perubahannya banyak, setelah menyerang beberapa kali, Pek-pin-kui-po terdesak sehingga hilang kemampuanya melancarkaa serangan balasan. Sesudah bertempur beberapa gebrakan, tiba-tiba Pek Bi merasakan munculnya arus tenaga kuat dan tongkat Pek-pin- kui-po yang lamat-lamat mengandung te-naga isapan, akibatnya gerak pedang sendiri terpe-ngaruh besar, jurus- jurus tangguhnya tak lancar dikembangkan, malahan terus terdesak di bawah angin.

Mo-li-ceng-li Cu Giok-ceng yang menonton ja-lannya pertarungan dari tepi kalangan juga merasa-kan Jik Say-kiau sedang mempergunakan semacam ilmu permainan tongkat yang lihai, akibatnya ilmu pedang aliran Hek-liong-kang yang dimainkan gadis Pek Bi menjadi mati kutu.

Seperi yang diketahui, Bu-lim-jit-coat adalah manusia berilmu tinggi luar biasa, akan tetapi ke-pandaian mereka kebanyakan beraliran sesat, memang betul dalam pertarungan antar tujuh jagoan terse-but terbukti ilmu silat Oh Kay-gak melebihi enam orang yang lain, tapi yang lain pun memiliki tingkat-an yang berbeda, selisih ilmu silat mereka pun cu-kup besar.

Pek-pin-kui-po Jik Say-kiu adalah jago nomor lima dalam Bu-lim-jit-coat, sudah barang tentu ilmu silatnya lebih tangguh setingkat daripada Si-hun-koay-sat-jiu maupun Hian-thian- koancu Kun-tun Cinjin.

Cuma sekarang, setelah lewat delapan belas ta-hun, ilmu silat Bu-lim-jit-coat tidak diketahui orang, siapa lebih tangguh dan siapa lebih lemah hanya bisa dibuktikan dalam suatu pertempuran, sebab ada sementara jago silat yang lebih suka menyembunyi-kan ilmu silat yang sesungguhnya.

Balasan gebrakan kemudian, gadis Pek Bi telah dipaksa kehilangan posisinya yang kuat, tiba-tiba nona baju biru itu berseru, “Thian-hui-ji-si, Huan-ki-ngo-si!”

Rupanya ia memberi petunjuk cara bagaimana mengatasi musuh. Di tengah seruan itu, pedang gadis Pek Bi me-lancarkan dua jurus aneh dan memaksa Jik Say-kiau terdesak mundur selangkah.

Terdengar Pek Bi tertawa merdu, padangnya berputar lebih kencang, ya menabas, ya menusuk, dengan cepat ia mengurung musuh di bawah serang-annya. Jurus  serangannya ganas dan mematikan, Pek-pin-kui-po Jik Say kiau yang terhitung jago kenama-an sampai terdesak hingga kalang kabut dan tak mampu balas menyerang lagi.

Kejadian ini kontan menimbulkan rasa terke-jut Cu Giok- ceng serta Kwanliong Ciong-leng, menurut perkiraan mereka semula, apalagi waktu Cu Giok-ceng menusuk nona berbaju biru itu, ke-pandaian nona baju biru itu kelihatannya lebih rendah daripada Pek Sat maupun Pek Bi.

Tapi kenyataannya sekarang, hanya dengan menyebut kunci ilmu silat ia telah membawa Pek Bi dari kalah menjadi menang, malahan berhasil mendesak Jik Say kiau menjadi kalang kabut, kenya-taan ini membuat mereka harus memberi penilaian yang baru atas kemampuan gadis baju biru itu.

Terutama Bu-sian-gi-su Kwanliong Ciong-leng diam-diam ia menghela napas, pikirnya, “Sudah je-las nona baju biru ini memiliki ilmu silat yang sa-ngat tinggi, bahkan setiap gerakannya sanggup men-cabut nyawa orang, kenapa ia tidak bertarung sen-diri dengan orang lain? Entah apa sebabnya?”

Sementara ia termenung, tiba-tiba dari arah belakang berhembus lewat angin yang berbau harum. Dengan penuh kewaspadaan Kwanliong Ciong-leng berpaling, sinar mata yang tajam meng-gidikkan sedang mengawasinya, keruan ia terpe-ranjat dan menyurut mundur dua langkah.

Ternyata lebih-kurang tiga kaki di sisinya ber-diri seorang perempuan berbaju hijau dan bercadar, dia bukan lain adalah Lik-ih-hiat-li yang mulai termashur namanya baru-baru ini.

Ditatap dengan sorot mata yang bengis dan tajam itu, Kwanliong Ciong-leng terkesiap dan ngeri. “Ia terluka oleh siapa?” tegur Lik-ih-hiat li de-ngan dingin.

Kwanliong Ciong-leng berpikir, “Apakah aku harus mengatakan bahwa ia dicelakai oleh Seng-gwat-kiam Oh Kay- thian dari Thian-seng-po?”

Belum lagi ia mengambil kuputuaan, tiba-tiba terdengar si nona baju biru berseru merdu, “Enci Pek Bi, jangan bertarung lagi, aku sudah dapat menilai tingkat ilmu silatnya.”

Tapi ketika itu pertarungan sedang berlangsung sengit, terutama Pek-pin-kui-po Jik Say-kiau yang jadi murka, tongkatnya dimainkan sedemikian rupa hingga menimbulkan deru angin keras, beberapa jurus serangan keji membuat Pek Bi sukar mengun-durkan diri.

Melihat Kwanliong Ciong-leng sampai lama se-kali belum juga menjawab pertanyaannya, Lik-ih-hiat-li mengalihkan sorot matanya yang tajam me-ngawasi sekeliling arena, pikirannya, “Orang yang bisa melukai Ji-sia rasanya hanya Pek-pin-kui-po dan ketiga gadis Hek-liong-kang itu….”

Berpikir demikian, ia lantas membentak, “Ka-lian semua hentikan pertarungan!”

Kebetulan waktu itu tongkat Pek-pin-kui-po Jik Say-kiau sedang menyampuk pedang Pek Bi, ber-bareng itu terus menghantam pergelangan tangannya.

Pek Bi terkejut, cepat ia buang pedang, dan menarik tangannya untuk menghindari tongkat lawan. Pek-pin-kui-po Jik Say-kiau mendesak maju selangkah, tangan kiri menyodok ke depan, me-nutuk jalan darah Hian-ki-hiat Pek Bi.

Lik-ih-hiat-li marah sekali karena Pak-pin-kui-po tak menuruti perkataannya, menurut per-kiraannya nenek aneh ini lebih besar kemungkin-annya pembunuh Bok Ji-sia, maka ia lantas mem-bentak.

“Nenek aneh, kusuruh kalian berhenti semua! Dengar tidak?” sambil berteriak, ia lepaskan pu-kulan dahsyat. Angin pukulan dahsyat dengan membawa suara menderu langsung menerjang Pek-pin-kui-po.

Dengan gaya yang tak berubah Pek-pin-kui-po putar tongkatnya ke arah Pek Bi, jari tangan yang lain terus menutuk Hian-ki-hiat tangan kirinya, ke-mudian secara tiba- tiba ia ubah gerak tangannya mendorong ke samping, menyambut pukulan Lik-ih-hiat-li itu dengan keras lawan keras.

Perlu diketahui, semenjak Lik-ih-hiat-li makan pil Ji-khi-kun- goan-wan peninggalan Hian-ki-hian-cing, apabila ia menyerap seluruh khasiat pil mu-jarab itu, maka tenaganya akan bertambah dengan dua kali enam puluh tahun hasil latihan, sekalipun saat ini belum semua kekuatan obat berhasil diman-faatkan, tapi paling tidak ia dapat mengisap lima sampai enam puluh bagian di antaranya, karena itu tenaga dalamnya sekarang sudah mencapai enam-tujuh puluh tahun hasil latihan.

Sungguh amat dahsyat serangannya, sekalipun Pek-pin-kui- po memiliki tenaga dalam yang sem-purna, bagaimanapun juga ia harus memecahkau tenaganya untuk menghadapi dua musuh, begitu dua tangan bertemu, angin keras segera mendampar.

Akibat dari bentrokan itu, Lik-ih-hiat-li merasakan bahunya bergetar keras, sebaliknya Pek-pin-kui-po Jik Say-kiau kena didorong oleh pukulan itu sehingga mundur tiga-empat langkah.

Menggunakan kesempatan itu Pek Bi melom-pat ke samping menghindarkan diri dari serangan tongkat, kemudian cepat memungut kembali pe-dangnya yang jatuh.

“Pedang itu milikku!” bentak Mo-li-ceng-li Cu Giok-ceng tiba tiba. Ruyung mestika Jian-kim-si-hun-pian di ta-ngan kanannya dengan membawa desing angin ta-jam yang membetot sukma segera menghantam tu-buh gadis Pek Bi.

Merasakan angin tajam yang menyambar tu-buhnya, dengan cepat Pek Bi berjongkok, lalu de-ngan suatu gerakan aneh ia menyelinap ke sisi ka-nan nona baju biru.

Cu Giok-ceng dengan tangan kiri lantas me-nyambar pedang yang tergeletak di tanah itu, tapi baru saja tangannya akan menyentuh pedang, angin tajam telah menyambar tiba, tahu-tahu Lik-ih-hiat-li menerjang ke arahnya.

Cu Giok-ceng tidak jelas apakah Lik-ih-hiat-li kawan atau lawan, cepat ia berkelit, lalu ruyung emas Jian-kim-si-hun-pian menyapu ke muka de-ngan dahsyat.

Sungguh cepat gerak serangan ini, jurus yang dipakai pun aneh, ditambah lagi daya serang ruyung mestika tersebut, biar Lik-ih-hiat-li berilmu tinggi, tidak urung dia harus mengeser badan ke samping untuk menghindar.

Traktiran: (7891767327 | BCA A.n Nur Ichsan) / (1740006632558 | Mandiri A.n Nur Ichsan) / (489801022888538 | BRI A.n Nur Ichsan) ataupun bisa melalui via Trakteer yang ada dibawah

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar