Postingan

Jilid 02

Ji-sia segera merasakan adanya suatu rahasia besar yang menyelimuti Thi-n-seng-po, dan rahasia itu belum diketahui oleh umat persilatan, iapun merasakan hubungan antara saudara kakek ini tentu sangat ruwet.

Untuk sesaat Ji-sia menjadi lupa bahwa wak-tu sangat berharga bagi keselamatan jiwanya, kem-bali ia bertanya: “Locianpwe, apakah Jitemu Oh Kay-gak hendak dibunuh oleh Samtemu Oh Kay-thian? Masakah ilmu silatnya bukan tandingan Sam-temu?

Oh Ku-gwat menghela napas panjang, katanya, “Sejak kematian ayahku, mungkin tiada seorang pun di dunia ini yang sanggup menandingi kepandaian silatnya, Ai, walaupun perselisihan di antara kami bersaudara hanya masalah pribadi sesungguhnya hal itu menyangkut nasib serta masa depan dunia persilatan pada umumnya, sekarang aku tak akan banyak bicara lagi, akan kuberi petunjuk kepadamu agar bisa menemukan Jiteku Oh Kay-gak, pertama untuk menyelamatkan jiwamu, selanjutnya dapat pu-la memenuhi suatu keinginanku sendiri, mengenai pelbagai rahasia di antara kami bersaudara, bila sedang luang mungkin akan kuceritakan semuanya kepadamu, cuma……”

Terhadap urusan itu, oleh karena menyangkut pula keselamatan jiwa sendiri, maka Ji-sia menaruh perhatian khusus, dengan gelisah cepat ia bertanya, “Locianpwe, cuma apa? Harap jelaskan!”

Kembali Thian-kang-kiam Oh Ku-gwat meng-hela napas panjang, “Ai, semenjak terjadinya peris-tiwa yang mengenaskan itu dan Jite tersekap dalam ruangan tersendiri, wataknya telah banyak berubah ia menjadi gemar sekali membunuh orang, setiap anggota benteng yang mendekati tepi dinding ru-angannya itu segera diisap olehnya dengan tenaga aneh, kemudian menggetarkannya hingga mampus, bila kau ke situ, mungkin akan kau jumpai pula tin-dakannya yang kejam itu, kukuatir jiwamu akan ikut celaka di tangannya.”

Mati- hidup manusia ada di tangan Thian, ba-gaimanapun juga Wanpwe- ingin menemuinya!”

“Ah, aku ada akal,” seru Oh Ku-gwat tiba-tiba sambil tersenyum, “biasanya Jiteku itu paling menghormati Ban-pian- sinkun Auyang Seng, mereka ada-lah sahabat sehidup semati, asal kau tunjukkan ruyung emas Jian-kim-si-hun-pian, mungkin dia tak sampai membunuhmu, tapi bersediakah dia meno-longmu, aku tak berani memastikan.”

“Wanpwe merasa berterima kasih sekali atas kesediaan Cianpwe memberi petunjuk jalan hidup padaku, budi kebaikan ini tak akan kulupakan un-tuk selamanya. Mengenai apakah ia bersedia me-nolongku atau tidak adalah urusan lain, bergantung mujur tidaknya nasib Wanpwe, Nah, urusan tak dapat ditunda lagi, harap Cianpwe segera memberi petunjuk  di mana letak ruangan yang dihuninya!” “Berjalanlah kurang lebih seratus tombak ke arah timur, di sana terdapat sebuah halaman ter-pencil sendiri, cuma untuk mencapai tempat itu kau harus melewati tiga pos penjagaan lagi dari Thian-seng-po, dengan lukamu sekarang dapatkah me-nhembus pos-pos penjagaan itu, terutama pada pos terakhir yang dijaga oleh jagoan berilmu tinggi, aku tak herani menjamin, apalagi tenaga dalammu tak dapat disalurkan ke lengan, kukuatir…..”

“Kini keselamatan jiwa Wanpwe sudah berada di ujung tanduk, kalau terpaksa akan kukerahkan sekali lagi tenaga dalamku untuk mempertahankan diri.” kata Ji-sia dengan tekad yang bulat.

“Berbicara tentang jurus seranganmu yang tangguh, jika diimbangi pula dengan tenaga dalam yang sempurna, sudah barang tentu jarang ada yang mempu menahan seranganmu, cuma andaikata nadi-mu sampai pecah di tengah jalan…”

“Ya, masalahnya sudah berlarut begini, apa boleh buat? Terpaksa kita pasrah kepada takdir.” kata Ji-sia sambil menghela napas.

Thian-kang-kiam Oh Ku-gwat ikut menghela napas pula, katanya, “Baiklah, kau boleh pergi, se-kalipun aku harus mengkhianati Samte, akan kubantu dirimu secara diam-diam.”

Betapa terharunya Ji-sia oleh kebaikan orang, mula-mula dia mengira setiap manusia yang berada dalam Thian-seng-po hanya orang-orag yang ke-maruk nama dan kedudukan, munafik dan berhati kejam, siapa tahu orang baik tetap dijumpainya juga.

Mendadak pemuda itu teringat pada perkataan orang yang memintanya menolong Oh Kay-gak, bu-ru-buru tanyanya, “Locianpwe, tadi kausuruh Wan-pwe menolong Thian-seng- pocu Oh Kay-gak, to-long tanya bagaimana caranya memberi pertolong-an? Harap Locianpwe sudi memberi petunjuk” Thian-kang-kiam Oh Kay-gwat menghela napas sedih, “Sudah delapan belas tahun lamanya Jite di-sekap dalam ruangan itu, ia pernah berkata barang siapa sanggup menerima tiga jurus serangannya, ma-ka ia akan segera membunuh adiknya Oh Kay-thian, ai…..”

“Tapi peristiwa masa lalu mungkin sudah mem-buatnya putus asa, sekalipun kau sanggup menerima tiga jurus serangannya, belum tentu ia mau keluar lagi, sebab batas hidupnya juga tinggal beberapa hari saja. Sekarang pergilah! Dengan demikian sa-ma artinya telah memenuhi harapanku, selain itu bila selanjutnya kau bertemu dengan Samteku Oh Kay-thian, lebih baik berhati-hatilah terhadap se-gala macam siasat busuknya yang licik dan keji!”

Satelah beristirahat sebentar, pergolakan darah dalam dada Bok Ji-sia pun sudah lebih tenang, buru-buru ia memberi hormat sambil berkata, “Te-rima kasih atas petunjuk Locianpwe! Bila di kemu-dian hari Wanpwe masih bisa muncul kembali da-lam keadaan selamat serta berhasil membalas sakit hatiku, tak akan kulupakan budi kebaikan Locian-pwe ini.”

Sehabis berkata, dengan suatu gerakan cepat berangkatlah pemuda itu menuju ke arah timur…..

Tak lama setelah Ji-sia berngkat, sesosok ba-yangan manusia yang kurus dengan kecepatan yang luar biasa menyusulnya ke arah timur.

Dengan kecepatan lari Bok Ji-sia, dalam se-kejap ia sudah menempuh perjalanan sejauh tujuh-delapan puluh tombak, di bawah sinar bulan ter-lihatlah sebuah jalan kecil yang sempit dengan pe-pohonan bambu tumbuh di sekelilingnya memben- tang jauh ke depan, anak muda itu mempercepat langkahnya dan sekejap kemudian telah tiba di ujung jalan.

Diam-diam Ji-sia merasa heran sebab sepanjang jalan tiada penghadangan apapun, ia tidak tahu ke-dua pos penjagaan yang ada di sana sesungguhnya telah dilenyapkan orang lain secara diam-diam. Dengan sinar mata tajam Ji-sia menatap ke depan, ia lihat sebuah bangunan yang berdiri ter-sendiri mentereng di depan sana, di luar bangunan tumbuh beberapa batang pohon Pek-yang dan Siong, sedang halaman dalam kosong melompong, hanya terdapat sebuah ruang besar yang terbuat dari bata.

Melihat itu, Ji-sia gembira sekali, dengan dua kali lompatan ia sudah menyusup tujuh-delapan tombak ke depan.

Tiba-tiba seseorang membentak, “Siapa yang tidak takut mampus berani memasuki daerah ter-larang..?”

Ji-sia berpaling ke arah suara itu, tampaklah sesosok bayangan yang kurus jangkung melayang keluar dari sebelah kiri dan menerjang ke arah bangunan rumah itu….

Bersamaan itu pula dari atas pohon Pek-yang yang tinggi melayang turun sesosok bayangan kecil dan pendek bagaikan burung elang, bayangan ter-sebut langsung menerjang ke arah bayangan kurus itu.

“Heran, rasanya aku kenal benar pada baya-ngan tubuh orang itu…..” pikir Ji-sia dengan pe-rasaan tergetar.

Ia semakin tak berani ayal, dengan suatu ge-rakan cepat pemuda itu menerjang pula ke arah dinding pekarangan…..

“Berhenti!” suatu bentakan nyaring kembali menggelegar. Mula-mula suara itu berasal dari beberapa tombak jauhnya,

tapi  ketika  ucapan  itu  berakhir,  Ji-sia  merasa  orang sudah

berada beberapa kaki di belakang tubuhnya. Cukup ditinjau dari gerak tubuhnya yang lin-cah dan gesit dapat diketahui kungfu orang ini pasti sangat lihai.

Ketika itu Ji-sia masih berada lima kaki jauh-nya dari dinding pekarangan, ia tahu sekalipun ber-usaha untuk malompat ke dalam pekarangan juga tak akan berhasil, malah kemungkinan besar jiwa-nya akan terancam bahaya. Ji-sia lantas mendengus, ruyung emas Jian-kim-si-him-pian bergerak, dengan membawa desing angin tajam, dengan jurus serangan aneh ia sambat batok kepala orang itu, kendatipun dalam serangan ini tidak disertai tenaga dalam, tapi jurus serangannya tangguh dan cepat…..

Tapi kungfu orang itupun cukup lihai, kede-ngaran ia membentak, “Lepas tangan!”

Segulung tenaga pukulan yang sangat kuat se-gera menggulung datang, Ji-sia merasakan perge-langan tangan kanannya yang menggenggam ruyung terasa sakit dan kesemutan, hampir saja ruyung Jian-kiam-si-hun-pian terlepas dari genggaman.

Ternyata pendatang ini adalah seorang kakek yang tinggi besar, dengan kecepatan luar biasa ia menerjang ke samping kiri Ji-sia, lalu menga-yunkan telapak tangan kirinya, segulung angin pu-kulan yang kuat menutup jalan mundurnya, semen-tara kelima jari tangan kanannya mencengkeram iga anak muda itu. Kungfu kakek itu sangat lihai, jurus serangan-nya aneh, keji dan hebat lagi…..

Karena jalan mundurnya terhalangi Ji-sia menger-tak gigi dan memutar ruyung emasnya dengan suatu gerakan aneh, kemudian mengunci pergelangan ta-ngan kanan kakek tersebut. Sekalipun ia tidak dapat menyertakan tenaga dalam pada serangannya itu, tapi senjata itu adalah senjata yang luar biasa, ketajaman kaitannya tidak kalah daripada ketajaman pedang mestika.

Sebagai seorang jago berpengalaman, tentu saja kakek itu cukup tahu akan kelihaian ruyung terse-but, ejeknya, “Hmmm, tampaknya punya kepandaian juga!”

Tiba-tiba serangan tangan kanan ditarik kem-bali, tubuh beputar secepat angin, lalu kedua tela-pak tangannya diayun berbareng ke depan, dua gu-lung angin pukulan yang maha dahsyat segera me-nekan tubuh Bok Ji-sia. Mencorong sinar mata Ji-sia, ia tahu bila ha-wa murninya tidak dikerahkan lagi secara paksa, niscaya dia tak akan mampu menahan serangan ma-ut itu. Untunglah pada saat yang amat kritis itu, kedengaran pekik aneh bergema di udara, sesosok ba-yangan kurus,dengan kecepatan luar biasa menerjang tiba.

“Blang!” benturan keras menggelegar di udara, baik si kakek tinggi besar maupun bayangan yang kurus itu sama- sama mendengus tertahan dan mun-dur dua langkah.

Begitu mengetahui siapa yang datang memban-tunya, Ji-sia berteriak kejut bercampur girang, “Siu-heng, kakak kurus), rupanya kau!”

Orang jangkung itu memang tak lain adalah Siau-yau-sian- hong-khek Ku Thian-gak.

“Cing-hok!” serunya sambil tersenyum, “Ah, sepantasnya kupanggil dirimu sebagai adik Bok, kau harus segera masuk ruangan itu, biar aku yang menahan kakek ini.”

Tampaknya kakek tinggi kekar itu terluka da-lam oleh pukulan Ku Thian-gak tadi, ia sedang mengatur pernapasan untuk menahan pergolakan darahnya.

Ji-sia terharu sekali atas kebaikan orang, de-ngan air mata bercucuran ia berbisik dengan agak gemetar, “Saudara kurus, siapakah namamu? Jika aku mati di dalam…..

“Soal nama kita bicarakan lain kali saja,” kata Ku Thian- gak, “Cepat masuk! Jangan tunda-tunda lagi…..

Ji-sia tak berani berayal, dengan cepat ia pu-tar badan dan siap melompat manik ke dalam ru-mah………..

“Keparat! Jangan maju selangkah lagi!” suara bentakan gusar tiba-tiba menggema dari samping.

Secepat kilat sesosok bayangan orang mener-jang tiba, ia bukan lain adalah si kakek pendek yang berhasil dipancing pergi oleh Ku Thian-gak dengan siasat memancing hari mau turun gunung ta-di. Ji-sia mengernyitkan alis, ia barpekik nyaring, cahaya emas memancar dari Jian-kim-si-hun-pian yang diputarnya, pekikan aneh yang membetot suk-ma kembali berkumandang di udara , , , .

Ruyung tersebut memancarkan beribu jalur si-nar emas menyambar seluruh jalan darah penting di tubuh lawan. Bagaimanapun lihaynya kungfu orang itu, di bawah serangan nekat Bok Ji-sia yang mengguna-kan jurus mematikan, sulit juga baginya untuk me-loloskan diri dan maut.

Jeritan ngeri segera berkumandang..Di tengah jerit melengking inilah jiwa si kakek pendek itu telah melayang, sementara tubuh kasar-nya terbabat kutung menjadi dua bagian oleh ru-yung emas Jian-kin-st-hun-pian, darah segera berhamburan. Sebaliknya Ji-sia sendiri pun mencelat sejauh dua tombak lebih oleh tenaga pukulan si kakek dengan demikian jaraknya d&ri dinding pekarangan tinggal dua tiga tombak saja.

Ji-sia meronta sedikit, lalu mendengus kesakit-an, kemudian tergeletak di tanah. Sekujur badannya terasa mengejang dan sangat menderita, matanya berubah menjadi merah mem-bara mengawasi dinding pekarangan di hadapannya itu tanpa berkedip, darah kental menodai ujung bibirnya, rambut terurai kacau, keadaannya menge-rikan sekali ,….

Dalam pada itu si kakek tinggi besar sudah terlibat dalam pertarungan sengit melawan Siau-yau-sian-hong-khek. Keadaan Ji-sia kian lama kian bertambah pa-yah, kini darah pada setiap bagian tubuhnya ber-golak hebat, tulang belulangnya seperti retak dan lepas, bergerak sedikit saja rasa sakitnya setengah mati.

Pemuda yang keras kepala dan besar tekadnya ini menggigit bibir kencang-kencang, sekuat tenaga ia ia merangkak bangun, kakinya menjejak tanah dan tubuhnya melejit ke depan..,..

Tapi kembali ia menjerit kesakitan dan terka-par di atas tanah. Ruyung emas Jian-kim-si-hun-pian digenggam kencang-kencang, matanya mengawasi dinding pe-karangan di hadapannya, wajahnya mengejang ke-ras menunjukkan rasa sakit hebat, ia bermaksud merangkak ke depan, sayang tenaganya tidak sam-pai lagi.

Ia meraung berulang kali, satu inci demi satu inci tubuhnya merangkak ke depan mendekati din-ding pekarangan…..

Akhirnya ia berhasil juga mencapai kaki din-ding tersebut. Akan tetapi keadaannya semakin payah, mata-nya berkunang- kunang, isi perut bergolak hebat, keempat anggota badannya terasa dingin kaku dan gemetar, sekujur badan lemas tak bertenaga

Sementara itu Siau-yau-sian-hong-khek Ku Thian-gak sedang melancarkan pukulan yang me-maksa kakek tinggi besar itu mundur ke belakang. Begitu berhasil mendesak mundur musuhnya, ia bergerak ke depan dan menyambar tubuh Ji-sia dengan tangan kanannya, lalu melompat ke atas dinding pekarangan.

Kakak tinggi besar itu membentak, dua gulung angin pukulan yang sangat kuat didorong ke depan menggulung tubuh Bok Ji-sia. Ku Thian-gak bertindak cepat, iapun melan-carkan pukulan dahsyat menyongsong datangnya ancaman lawan.

Pada saat itulah dari dalam halaman berku-mandang suara tertawa panjang yang aneh sekali, suara tertawa yang serupa isak tangis seorang jan-da yang ditinggal mati suaminya, seperti juga hembusan angin dingin dari neraka.

Demikian menyeramkannya gelak tertawa itu, membuat siapa pun yang mendengarnya sama ber-diri bulu kuduknya. Dalam keadaan setengah sadar Ji-sia merasa di balik gelak tertawa yang penuh nada sedih itu membuat orang sukar untuk membedakan apakah ia sedang menangis ataukah sedang tertawa…

Di tengah gelak tertawa itu, terdengarlah sese-orang menegur dengan suara yang sama sekali ti-dak ada gairah orang hidup, “Anak muda, rupa nya kau hanya datang untuk mengantar kematianmu!”

Mendadak muncul segulung tenaga isapan yang amat kuat membetot tubuhnya hingga ia melayang ke udara dan meluncur ke dalam bangunan rumah itu.

“Dia adalah murid Ban-pian-sinkun Auyang Seng……” cepat Siau-yau-sian-hong-khek Ku Thian-gak berteriak.

Di tengah teriakannya Ku Thian-gak melolos-kan diri, cepat ia meluncur ke arah bangunan rumah yang berlapis-lapis itu. Pada saat itulah dari dalam ruang terpencil itu kedengaran seorang berteriak kesakitan, lalu tertam-pak tubuh Bok Ji-sia terpental keluar dari ruang-an dan tergeletak di tengah halaman.

Kakek tinggi besar tadi mendongakkan kepala dan berpekik nyaring, tubuhnya yang tinggi besar secepat angin segera menyusul di belakang Ku Thian-gak, dalam waktu singkat bayangan mereka telah lenyap dari pandangan.

Entah berapa lama sudah lewat, tiba-tiba Ji-sia merasa dingin, ketika ia membuka metanya, hari sudah terang tanah, sekujur badannya basah kuyup oleh embun. Ia menghembus napas panjang dan bangun ber-duduk, memandang awan putih di angkasa, pemuda itu termangu-mangu, ia merasa pikirannya kosong seakan-akan baru saja bermimpi.

Hanya saja ada satu perasaan aneh mencekam hatinya, ia merasa sekujur badan tidak terasa ada-nya pergolakan darah lagi, tapi tubuh terasa lemas tak bertenaga, persis seperti seseorang yang sama sekali tak berkepandain silat. Pelahan Ji-sia teringat kembali akan kejadian semalam, bagaimana Thian-kang-kiam Oh Ku-gwat memberi petunjuk padanya, bagaimana ia men-datangi bangunan tersendiri itu untuk mencari Thian-seng-pocu Oh Kay-gak…..

Mendadak sinar matanya menyapu pandang se-keliling tempat itu, hatinya terperanjat, apalagi setelah melihat tempat di mana ia berbaring seka-rang, kontan saja pemuda itu menjerit kaget…..

Cepat ia melompat ke atas, tapi hanya men-capai ketinggian dua kaki, tidak seperti kemarin yang sekali lompat bisa mencapai ketinggian tiga-empat tombak, rupanya ilmu meringankan tubuhnya telah punah sama sekali. Tapi Ji-sia belum merasakan ilmu meringankan tubuhnya telah punah, ia dibikin terkejut oleh teng-korak manusia yang berserakan di sekeliling tempat itu.

Ternyata di tengah halaman yang terpencil itu penuh berserakan tulang tengkorak manusia, jum-lahnya mencapai ratusan sampai tempat di mana Ji-sia berpijak pun banyak kepingan tulang yang hancur. Angin dingin berhembus membawa bau amis tulang manusia, begitu busuk baunya membuat orang mau tumpah rasanya. Tapi justeru pemandangan dan bau semacam itu menambah keseraman dan kemisteriusan tempat itu…..

Ji-sia menghela napas sedih, gumamnya, “Ke-mungkinan besar tulang tengkorak ini adalah orang yang dibunuh oleh Oh Kay-gak selama delapan ta-hun belakangan ini……”

Matahari telah melewati dinding pekarangan, sinarnya yang keemasan memancar di atas noda da-rah yang mengotori baju, dadanya, ketika meraba noda darah di depan dada, ia baru merasa bahwa pergolakan darah dalam dadanya juga sudah tenang.

Tiba-tiba didengarnya suara helaan napas yang berat. Ji- sia, berpaling ke arah suara itu, Dilihatnya dinding ruang besar di hadapannya itu terbuat dari batu hijau, tapi karena bertahun tak pernah dibersihkan, maka tampak kotor dan menge-naskan. Di bagian tengah terdapat sebuah celah tak berpintu yang bisa di pakai untuk melihat keadaan dalam ruangan, sekalipun sinar matahari sedang memancar terang, tapi suasana dalam ruangan itu terasa suram kelabu, sulit untuk melihat keadaan yang sesungguhnya.

Helaan napas berat tadi berkumandang dari dalam ruangan tersebut. Ji-sia tahu penghuni ruangan itu adalah Thian-seng- pocu, si pedang bintang dan rembulan Oh Kay-gak. Meskipun maksud kedatangannya adalah un-tuk mohon pengobatan Oh Kay-gak, akan tetapi setelah menyaksikan tulang tengkorak manusia yang berserakan ini, timbul perasaan ngeri dalam hati-nya, untuk sesaat ia menjadi takut untuk masuk ke dalam sana.

Ia pikir sudah delapan belas tahun Oh Kay-gak disekap di situ, wataknya telah berubah menjadi dingin, aneh dan suka membunuh, kalau ia masuk secara gegabah, bukankah iapun akan mati terbu-nuh olehnya?

Ji-sia berdiri termangu-mangu, dengan bimbang ia berdiri di antara hancuran tulang yang ber-serakan di tanah, ia merasa ragu untuk melangkah masuk ke dalam ruangan itu, ketika angin berhembus lewat, debu bertaburan mengotori sekujur ba-dannya.

Kiranya ia telah mengambil keputusan untuk mempertaruhkan jiwanya dan masuk ke dalam ru-angan, sebab kalau tidak, ia toh akan mati juga. Ji-sia membersihkan wajahnya dari kotoran de-bu, lalu perhatikan sebentar keadaan dalam ruang-an, ia lihat banyak sawang dimana- mana, jelas su-dah lama tak pernah dibersihkan orang hingga suasananya sangat menyeramkan.

Ruangan gelap itu panjangnya mencapai sepu-luh tombak, tapi kosong melompong, tiada suatu benda apa pun. Mendadak mencorong dua larik sinar yang ta-jam, tapi hanya sekejap lantas lenyap…..

Ji-sia berpaling, tahu-tahu di sampingnya tampak seorang kakek aneh berambut panjang duduk ber-sila di lantai, di antara rambutnya yang putih la-mat-lamat kelihatan ujung bajunya yang berwarna kelabu. Orang itu bukan lain adalah Thian-seng-pocu, si pedang bintang dan rembulan Oh Kay-gak yang sudah tersekap selama delapan belas tahun di situ.

“Ai, kasihan betul kakek ini,” pikir Ji-sia da-lam hati, “sudah delapan belas tahun ia disekap di tempat semacam ini, keadaannya sungguh mengenaskan…..

Dengan perasaan terharu ia menghela napas, lalu pelahan berjalan maju ke depan….

Tiba-tiba kakek aneh itu, Oh Kay-gak, mem-buka matanya, dua sinar mata yang tajam meman-car keluar dari balik rambut putihnya yang hampir menutupi seluruh wajahnya, di balik sorot mata itu seakan-akan mengandung suatu pengaruh atau wi-bawa yang besar sekali, membuat siapapun yang melihatnya merasa bergidik.

Sinar mata yang tajam bagaikan sembilu itu menatap  wajah Bok Ji-sia terus menerus, hal ini membuat pemuda itu merasa jantungnya berdetak lebih cepat, tanpa sadar ia mundur lagi ke belakang.

Tapi segera kakek itu memejamkan lagi mata-nya.

“Kau tidak takut mati?” tegurnya kemudian dengan suara yang seram.

Tergerak hati Ji-sia, cepat anak muda itu men-jawab. “Manusia hidup di dunia, sekalipun menca-pai usia seratus toh akhirnya akan mati juga, cepat atau lambat tetap akan mati, apa yang perlu kuta-kuti? “Hmmm, kalau benar tidak takut  mampus, mau apa kau mencariku?” tanya Oh Kay-gak sambil men-dengus, “masih muda sudah suka……”

Diam-diam Li-sia merasa girang, pikirnya: “Ditinjau dari nada perkataannya, bukankah jelas menunjukkan ia sudah mengetahui maksud keda-tanganku? Dari mana ia tahu? Dan lagi rupanya su-dah siap menyanggupi permintaanku…..”

Berpikir demikian, ia lantas menghela napas sedih, sahutnya, “Wanpwe tidak nanti berbohong, sesungguhnya aku tidak takut mati, tapi dengan dendam di atas pundak, mau- tak-mau- aku tak bo-leh mati pada saat ini….; “

“Kau adalah anggota benteng Thian-seng-po?” kembali Oh Kay-gak bertanya sambil memejamkan matanya.

“Bukan!”

“Kalau begitu,, kenapa kau berani memasuki Thian-seng- po? Siapa yaug memberi petunjuk kepa-damu untuk datang kemari?”

Perkataan Oh Kay-gak masih dingin dan kaku, sedikitpun tidak ada keramahan seorang tua. Ji-sia tahu bahwa watak  asli si kakek tak mungkin begitu dingin dan tak kenal perasaan, su-dah pasti disebabkan pukulan batin yang amat ke-ras sehingga mengakibatkan kakek yang gagah per-kasa pada waktu lampau ini berubah menjadi se-orang manusia berwatak aneh.

Si pedang buntung dan rembulan Oh Kay-gak memang mempunyai banyak masalah yang menim-bulkan rasa dendamnya, kalau tidak, dengan kepan-daian silatnya yang hebat dan jarang ada tanding-annya, tak nanti ia rela disekap selama delapan belas tahun dalam ruangan ini.

Delapan belas tahun adalah perjalanan yang cukup panjang dalam kehidupan manusia, yang lebih penting lagi, ia telah melewatkan masa hidup-nya yang panjang dalam suasana kesepian, menyen-diri dan menderita. Luapan rasa haru menimbulkan rasa sedih Ji- sia, bila terbayang pengalamannya sendiri pada ma-sa lampau, titik air mata segera bercucuran mem-basahi pipinya…..

Tak tahan anak muda itu menjatuhkan diri berlutut di depan Oh Kay-gak, pintanya, “Oh-!o-cianpwe, Wanpwe kemari atas petunjuk Oh Ku-gwat Locianpwe, Wanpwe mengidap suatu penya-kit, harap engkau orang tua suka menolongku…..”

Rambut panjang Oh Kay-gak yang putih tam-pak bergetar keras, kemudian gumamnya, “Ku-gwat Toako, O, Ku gwat Toako, masih ingatkah ia pada-ku? Masih ada perasaan persaudaraankah dia de-nganku? Ai..sungguh menggemaskan adik Kay-thian.

Bergetar perasaan Ji-sia mendengar ucapan itu, segera serunya, “Locianpwe, kakakmu Oh Ku-gwat Locianpwe sangat rindu padamu, dia orang tua ma-lah pesan kepadaku agar menolongmu keluar dari sini……………

Tentu saja Ji-sia tidak mengetahui bagaimanakah hubungan budi dan dendam di antara mereka bersaudara, dia hanya merasa kakek itu terlalu me-ngenaskan, menyendiri dan perlu dihibur oleh sanak keluarga.

Mendengar ucapan tersebut, kedua mata Oh Kay-gak di balik rambutnya yang putih memancar-kan sinar tajam yang menggidikkan hati, lamat-lamat membawa hawa membunuh yang mengerikan, di-tatapnya wajah anak muda itu tanpa berkedip.

Terkesiap Ji-sia, pikirnya, “Jangan jangan dia hendak membunuhku”

Sambil menghela napas sedih segera ia berkata “Oh- locianpwe, jika kau hendak membunuhku, Wanpwe tak akan takut atau merengek minta diampuni, aku hanya menyesal karena sakit hatiku tak terlam-piaskan, mati pun aku penasaran.”

Hawa membunuh yang menyelimuti wajah Oh Kay-gak agak luntur sedikit, ucapnya kemudian, “Setiap manusia dunia persilatan itu licik, keji dan penuh dengan akal busuk, “kau……ai ,..”

Kembali ia menghela napas sedih dan tidak melanjutkan kata-katanya.

Terkesiap perasaan Ji-sia, pikirnya, “Kenapa ia bicara hal yang tak ada sangkut pautnya denganku? Ah, benar! Bukankah hawa membunuhnya muncul setelah mendengar kakaknya Oh Ku-gwat rindu ke-padanya? Jangan-jangan kakaknya seorang munafik? Tapi kakek itu jelas lemah lembut dan penuh pera-saan welas asih.., .”

Dengan air mata bercucuran Ji-sia memohon dengan sangat, “Locianpwe, kumohon padamu su-dilah selamatkan jiwaku…..”

Oh Kay-gak tertawa hambar, “Untung tidak kubunuhmu setelah kau mengganggu ketenanganku, sekarang kau malah minta pertolonganku, kau ang-gap di dunia ini ada hal seenak ini?”

“Asal Locianpwe bersedia menolongku agar aku mendapat kesempatan untuk menuntut balas, Wanpwe bersedia menggunakan sisa hidupku uutuk be-kerja bagi Locianpwe sebagai tanda terima kasihku atas budi kebaikanmu!”

Tiba-tiba Oh Kay-gak menghela napas sedih, “Sungguhkah perkataanmu ini?”

“Jika aku bohong, biar Thian mengutuk diriku!”

Tiba tiba Oh Kay-gak mendongakkan kepala-nya dan tertawa seram……entah tertawa girang ataukah sedih….. Di tengah gelak tertawa tersebut tampak titik-titik air mata jatuh bercucuran membasahi pipinya yang berada di balik rambut putih.

Sejenak kemudian ia baru berhenti tertawa, gumamnya dengan suara sedih, “Akhirnya pen-deritaanku selama delapan belas tahun mendatang-kan pula hasil yang berharga…..”

Melihat kelakuan Oh Kay-gak, Ji-sia merasa-kan jago yang berilmu tinggi ini tentu mempunyai banyak kemurungan dan kesedihan.

Tiba-tiba Oh Kay-gak tertawa dingin, katanya “Tahukah kau bahwa penyakit yang kau derita telah kusembuhkan sama sekali?”

“Apa?” dengan terkejut Ji-sia berseru. “Hm, hawa beku dalam urat nadimu telah bu-yar sama sekali, kau tak akan mati karena pecahnya nadi dalam tubuhmu,”’ kata Oh Kay- gak, “tat-kala kau ku isap masuk dengan tenaga dalamku ta-di, darah yang meleleh dari mulutmu menandakan urat nadimu hampir pecah, bila tidak mendapat pengobatan yang cepat, akibatnya kau akan mun-tah darah dan tewas. Maka kugunakan semacam tenaga dalam Sian-thian-kang-khi untuk menggetar urat nadi di tubuhmu serta delapan jalan darah penting lainnya sehingga tenaga dalammu sama se-kali punah..,….”

Kejut dan gembira Ji-sia atas keterangan ini, air mata jatuh bercucuran, dengan suara gemetar ia berbisik. “Terima kasih Locianpwe atas budi pertolonganmu.

“Sekarang tenaga dalammu sudah punah sama sekali, keadaanmu tak jauh berbeda dengan manu-sia biasa, apanya yang kau girangkan?”

“Asal tidak mati, soal tenaga dalam kau bisa Wanpwe latih lagi mulai awal?!” Oh Kay-gak geleng kepala sambil tertawa di-ngin, “Kau telah mempelajari, semua jurus Jiat-im-siang-gi ptt-keng, kecuali tidak kau latih lagi jurus-jurus aneh tersebut, kalau tidak, hawa murnimu masih akan menggumpal dalam urat nadimu dan akan mengakibatkan kematian pula padamu,”

Ji-sia terkesiap, pikirnya, “Sudah bertahun aku berusaha mendapatkan kitab pusaka itu, kukira se-telah berlatih jurus serangan yang ampuh itu, maka cita-citaku akan terpenuhi, tak terduga sampai akhirnya sia-sia belaka, jika aku mesti berlatih ilmu silat lain dan mencari guru baru lagi, sampai kapan kungfuku baru akan mencapai tingkatan yang tinggi? Sampai tapan pula sakit hatiku bisa terbalas….”

Berpikir sampai di sini, rasa kecewa, putus asa, sedih berkecamuk dalam benaknya, pikirnya, “Dia adalah jago kosen nomor satu yang pernah kujum-pai selama ini, kungfunya lihai sekali dan tenaga dalam juga amat sempurna, mungkin jarang ada orang yang bisa mencapai tingkatan seperti dia, ke-napa aku tidak mohon saja kepadanya agar mewa-riskan ilmu silatnya kepadaku

Pandangan Ji-sia memang tajam sekali, keber-hasilan Oh Kay-gak dewasa ini mungkin sukar un-tuk dicarikan bandingannya, asal Bok Ji-sia bisa mendapatkan warisan ilmu silatnya, sekalipun belum dapat merajai dunia, sedikitnya hanya beberapa orang saja yang dapat menandingi kelihaiannya.

Perlu diterangkan di sini sebabnya Oh Kay-gak mendapat julukan Thian-kang-te-sat-seng-gwat-kiam (jago pedang langit, bumi, bintang dan rembulan), sedangkan kakaknya Oh Ku-gwat bergelar Thian-kang-kiam (pedang langit) dan adiknya Oh Kay-thian berjuluk Seng-gwat-kiam (pedang bintang bu-lan), hal ini memang mengandung makna dan alasan yang amat mendalam.

Oh Kay-gak adalah seorang vang berbakat dan memiliki kecerdasan yang luar biasa, ayah mereka memiliki sejilid kitab pusaka Ban-kiam-sin-keng (kitab sakti selaksa pedang), yang isinya mencakup tiga macam ilmu pedang yang luar biasa hebatnya, yakni ilmu pedang Thian-kang kiam, Te-sat-kiam dan Seng-gwat-kiam.

Tiga macam ilmu pedang itu sangat dalam se-kali pelajarannya, andaikata bukan seorang yang berbakat bagus, bagaimanapun jangan harap akan memahami salah satu di antara rangkaian tiga ma-cam ilmu pedang tersebut, malahan sekalipun se-orang yang cerdas, dia perlu waktu selama tiga pu-luh tahun untuk bisa menguasai satu macam saja dari ilmu pedang itu, jadi mustahil satu orang bisa mempelajari tiga macam ilmu pedang sekaligus.

Ketika ayah mereka mewariskan kitab ilmu pedang itu kepada ketiga anaknya, secara terpisah ia membagikan tiga macam kitab yang berbeda ke-pada mereka agar ketiga bersaudara itu mempelajarinya sendiri.

Kakaknya, Oh Ku-gwat dan adiknya, Oh Kay-thian, yang mempelajari ilmu pedang Thian-keng-kiam dan Seng-gwat- kiam belum lagi berhasil me-mahami beberapa jurus ilmu pedang masing-ma-sing, ternyata Oh Kay-gak sudah berhasil menguasai ilmu pedang Te-sat kiam-hoatnya.

Betapa kejut dan heran ayah mereka setelah mengetahui kejadian ini, maka kedua jilid kitab il-mu pedang lainnya segera diberikan pula kepadanya agar dipelajari semua, siapa tahu hanya dalam sa-tu tahun saja ia telah berhasil menguasai semua intisari kepandaian itu, karena ketiga macam ilmu pedang itu telah dipelajarinya, maka iapun men-dapat gelar Thian-kang-te-sat-seng-gwat-kiam.

Tidak berhenti sampai di situ saja, selanjutnya Oh Kay-gak telah mempelajari pula banyak kitab pusaka lain milik ayahnya yang terahasia, dengan demikian, sampai di manakah sesungguhnya taraf kepandaian Oh Kay-gak, sulit untuk diterangkan. Begitulah Ji-sia masih terus berlutut di ha-dapan Oh Kay- gak sambil berkata dengan se-dih, “Locianpwe, kumohon kepadamu agar sudi menerimaku sebagai muridmu, aku ingin belajar ilmu lagi dari taraf permulaan ,….Ai, musuh besar Wanpwe adalah seorang jago tangguh golongan hitam dewasa ini, bukan cuma kungfunya saja yang hebat, hatinya pun amat keji, komplotannya luas sekali dan banyak tipu muslihatnya, bila tiada ilmu silat yang tinggi, jangan harap dendamku ini bisa terbalas…..

Tiba-tiba Oh Kay-gak pejamkan matanya se-perti termenung, haruskah ia menerima permohonan anak muda itu atau tidak?

Dengan perasaan cemas Ji-sia mengawasinya, ia gelisah dan kuatir, ia merasakan detik ini meru-pakan kunci penentuan atas kehidupan selanjutnya, mungkin saja ia akan menerima warisan ilmu silat darinya, mungkin juga akan diusir atau bahkan bi-sa juga dibinasakan olehnya.

Tiba-tiba Oh Kay-gak menghela napas panjang, lalu berkata, “Sebenarnya ingin kutinggalkan dunia yang fana ini, tapi lantaran peristiwa yang meng-gemaskan di masa lalu serta beberapa persoalan yang belum sempat kuselesaikan, batiku selalu me-rasa tak tenang, ai….”

Setelah menghela napas sedih dan termenung se-jenak, ia belai kepala Ji-sia dengan penuh kasih sayang, lalu katanya lagi, “Nak, kutahu kau pasti mempunyai pengalaman yang menyedihkan sekali, sebab itu kau pertaruhkan jiwamu memasuki Thian-seng-po ini dan berusaha mendapatkan kitab pusaka Beng-yu-cin-keng. Padahal kitab itu tidak berada di tangan siapa pun dalam benteng ini, pula bila kau pelajari isi kitab itu, maka kau akan berubah menjadi orang jahat.

“Kau mengatakan hendak belajar lagi mulai dari taraf permulaan, harus kau ketahui bahwa hi- dup manusia ada batasnya setelah seorang mem-buang banyak tenaga dan pikiran untuk mendalami semacam kepandaian, tapi suatu ketika harus memunahkannya, hal ini yang pantas disayangkan.

“Selain itu, ilmu silat yang tercantum da-lam kitab pusaka Jiat-im-siang-gi-pit-keng semua-nya merupakan jurus jurus yang ampuh dengan artj yang mendalam, jika kau harus belajar dari taraf permulaan lagi, bukan saja membutuhkan waktu yang cukup lama, pula dalam beberapa hari lagi aku akan meninggalkan dunia ini, ilmu silatku juga tidak terhitung nomor wahid di dunia ini, sekalipun berhasil kau pelajari beberapa macam kepandaianku juga belum tentu sakit  hatimu bisa terbalas….”.

Mendengar bahwa kakek itu hendak mati be-berapa hari lagi dengan heran Ji-sia bertanya: “ Locianpwe, kenapa engkau harus mati?”

“Sulit untuk membicarakan soal budi dan dendam ini dengan sepatah dua kata saja, untuk sementara waktu lebih baik jangan kau tanyakan soal ini.”

“Dari perkataan Locianpwe tadi seakan-akan suruh kupelajari jurus serangan dalam Jiat-im-siang-gi-pit-keng, akan tetapi……”

Oh Kay-gak menghela napas panjang, katanya, “Memang begitu maksudku, ilmu silat yang lihay tidak mungkin diperoleh secara untung-untungan, sekalipun ada juga kejadian semacam ini, tapi ha-rapan amat tipis sekali untuk terjadi, selain itu ke-banyakan ilmu silat aliran sesat terlalu keras, se-kalipun berhasil mempelajarinya, di kemudian hari mungkin juga akan mendatangkan bahaya, seperti juga kitab Jiat-im- siang-gi-pit-keng yang kau pelajari serta kitab Beng-yu-cin- keng, semuanya me-rupakan ilmu top dari golongan sesat. Sebaliknya jika kau harus mempelajari ilmu silat aliran baik, maka ilmu itu harus dipelajari dan dilatih secara mendalam, terkadang setengah abad berlatih juga belum tentu berhasil menguasainya……” Bicara sampai di sini, ia menghela napas pan-jang. Ji-sia tidak mengerti apa arti uraian orang, dia hanya memandang ke arahnya dengan termangu-mangu.

Tiba-tiba suara Oh Kay-gak berubah menjadi rendah dan berat, rambut putih bergetar dan menggigil, ucapnya, “Menurut apa yang kuketahui, di antara sekian banyak jago persilatan, ada tujuh orang yang berhasil mencapai sukses dari golong-an sesat, di antara ketujuh orang itu, empat orang adalah pria dan tiga orang wanita. Ai, tapi di antara-nya ada tiga orang yang telah tiada….”

“Apa? Begitu banyak jago lihay yang ada da-lam dunia persilatan?” seru Ji-sia terkejut, “Siapa-kah mereka! Ilmu silat siapa yang terhitung paling tinggi?”

“Ilmu silatku yang paling tinggi!” jawab Oh Kay-gak sambil tersenyum.

“Jadi ilmu silat Locianpwe bermula dari go-longan, sesat pula? Tak heran kalau Locianpwe ada-lah jago silat nomor satu di dunia ini?”

Air muka Oh Kay-gak yang tertutup rambut putih tampak merah cerah, katanya lagi dengan nyaring, “Kepandaianku mencakup ilmu dari golongan lurus dan sesat sekaligus, dugaanmu memang benar, di antara tujuh orang itu, ilmu silatku terhitung yang paling tinggi, hal ini adalah bukti nyata….”

Waktu bicara wajahnya yang merah cerah tam-pak semakin cemerlang, sorot matanya memancar-kan sinar berseri yang penuh gairah, jelas ia sedang, membayangkan keberhasilan dan kegagahannya masa lampau.

Tapi kegagahannya itu kian lama kian berlarut kembali mengikuti lewatnya sang waktu, kemudian ia menghela napas panjang, “Ai, sekalipun ilmu silatku terhitung paling tinggi di antara ketujuh tokoh itu, tapi akhirnya kalah juga di tangan dua orang.” “Ah, apa? Masa di dunia ini masih terdapat orang lain yang memiliki ilmu silat lebih hebat da-ri padamu?”

“Ilmu silai yang ada di dunia ini sangat luas bagaikan samudra yang sukar diukur dalamnya, sampai di mana pun kepandaian yang kau pelajari belum bisa dianggap nomor satu, atau dengan per-kataan lain, di antara yang tangguh masih ada yang lebih tangguh lagi.

“Sekalipun aku kalah di tangan dua orang yang kumaksudkan tadi, akan tetapi mereka sendiripun agak jeri padaku…..”

Ji-sia memang ingin mengetahui persoalan mengenai orang-orang dunia persilatan, maka ia tanya pula, “Locianpwe, tujuh orang yang kau maksudkan tadi….empat pria dan tiga wanita itu, sebetulnya siapa? Dan siapa-siapa pula di antaranya yang sudah mati….”

Oh Kay-gak. tidak langsung menjawab perta-nyaan itu, sebaliknya berkata dengan suara lantang, “Sebetulnya kau ini anak murid Ban-pian-sin- kun Auyang Seng bukan? Ataukah secara tidak sengaja kau dapatkan ruyung emas Jian-kim-si- hun-pian serta kitab pusaka Jiat-im-siang-gi-pit-keng?”

Melengak Bok Ji-sia mendengar perkataan itu, pikirnya, “Kenapa ia ajukan pertanyaan ini padaku…..?”

Setelah berpikir sebentar, jawabnya, “Wanpwe mendapatkannya secara tidak sengaja!”

“Siapa yang telah membantumu masuk ke tempat ini?”

Ji-sia geleng kepala, “Wanpwe tidak tahu si-apa nama orang itu, tapi kungfunya lihai sekali.”

Selama tanya jawab berlangsung, mata Oh Kay-gak yang tajam menatap wajah Bok Ji-sta tanpa berkedip, sebab itulah ia tahu pemuda itu tidak berbohong, maka setelah menghela napas panjang, katanya, “Ketujuh orang itu disebut sebagai Bu lim-jit-coat (tujuh tokoh top dunia persilatan)…” “Kalau begitu, Locianpwe adalah Ban-kiam-sinkun….” seru Ji-sia terperanjat.

Oh Kay-gak mengangguk, “Dahulu aku memang barnama Ban-kiam-sinkun, terutama selama berkecimpung dalam dunia persilatan. Tapi kegagahanku tempo dulu bagaikan air yang mengalir dan tak pernah kembali lagi, kini yang tertinggal hanya kenangan belaka….Pemimpin Jit-coat tentu saja diriku, orang kedua adalah Ban-pian-sinkun Auyang Seng, kami berdua adalah sahabat sehidup semati, berikutnya adalah istriku, tapi di antara kami ber-tiga ada dua orang di antaranya telah tiada, sedang beberapa hari lagi aku pun akan menyusul mereka…..”

“Locianpwe, kenapa Hujin (nyonya) juga me-ninggal dunia?” tanya Ji-sia dengan menyesal.

Mendengar pertanyaan itu, timbul rasa sesal dalam hati Oh Kay-gak, rambutnya yang berwarna perak gemetar keras, air mata jatuh bercucuran.

“Ia….ia mati di tanganku, aku menyesal se-kali, aku telah salah membunuhnya….Semua ini adalah gara-gara adikku dan kakakku……Ai, se-tiap kali teringat kembali peristiwa itu, hatiku men-jadi sedih, lebih baik jangan dibicarakan lagi, kelak kau tentu akan tahu sendiri.”

“Kalau begitu, kematiannya tentu disebabkan oleh satu alasan.., .” pikir Ji-sia diam-diam.

Walaupun hanya satu alasannya, mana dia tahu bahwa persoalan budi dan dendam di an-tara ketiga Oh bersaudara itu begitu rumit, berliku-liku dan tidak terlepas juga dari soal “cinta”.

“Locianpwe, lantas siapa pula keempat orang yang lain?” tanya si anak muda lebih lanjut

Oh Kay-gak berusaha mengendalikan pergolak-an emosinya, ia pejamkan mata rapat-rapat, lalu men-jawab, “Selanjutnya adalah Han-bwe-kokcu, Bwe- hiang-sian-ki, lalu Hian-thian-koancu Kun-tun Cin-jin, Pek-si-kui-po (nenek setan berambut putih) Jik Say-kiau, dan akhirnya seorang aneh yang misterius, Si-hun-koay-sat-jiu (tangan aneh pembetot sukma).

“Kungfu beberapa orang gembong iblis itu rata-rata sangat hebat, hati kejam dan membunuh orang tanpa berkedip, mereka berdiri di antara baik dan jahat dengan watak yang aneh, lain waktu bila kau berjumpa dengan mereka, sebaiknya menyingkirlah jauh-jauh,….”

Mendengar itu, Ji-sia jadi teringat pada per-temuannya semalam dengan Bwe-hoa-sian-kiam. Tong Yong-ling, ia  lantas berkata, “Locianpwe, se-malam Wanpwe dengar Bwe- hiang-sian-ki telah mengutus murid perempuannya Bwe-hoa- sian-kiam datang ke Thian-seng-po untuk menyampaikan amanat gurunya, cuma tak tahu pesan itu untuk adikmu Oh Kay-thian ataukah untuk engkau sendiri.”

Air muka Oh Kay-gak seketika berubah hebat, tapi hanya sekejap lantas tenang kembali, ia meng-hela napas panjang, katanya, “Bila kau berjumpa dengan muridnya, lebih baik mengalah saja, kata-kan diriku sudah meninggal dunia, budi dan den-dam di masa silam pun ikut hapus. Aii.., jika ia per-gi mencari Samte, mungkin dia akan terjebak tipu muslihat kejinya.”

Bok Ji-sia merasakan Oh Kay gak mempunyai rahasia yang tidak dipahami orang, tapi lantaran ia tidak mau bicara, maka iapun tidak tahu, terpaksa rahasia itu akan dibongkarkan pelahan.

“Locianpwe,” kembali Ji-sia bertanya, “kau-bilang di dunia dewasa ini ada dua orang yang memiliki ilmu silat setaraf denganmu, siapakah ke-dua orang itu?”

Sekilas senyuman pedih menghias wajah Oh Kay-gak, ia menghela napas dan berkata, “Mereka adalahi seorang laki- laki dan saorang perempuan, yang laki-laki adalah saingan cintaku, tapi juga tuan penolongku, dia berhati busuk, dan kejam, dengan pelbagai akal ia berusaha membunuhku. Sedangkan yang perempuan cantik jelita bak bidadari dari kayangan, tapi orangnya ketus dan angkuh, sekalipun jatuh cinta kepadaku, tapi belum pernah menguta-rakannya perasaanya padaku, akhirnya ia menjadi sangat benci padaku, saking bencinya kalau bisa ingin menghancur lumatkan tubuhku….Di antara kedua orang ini, ilmu silat yang perempuan lebih hebat, tapi jalan pikirannya juga aneh dan ekstrim, kalau dibilang Bu-lim-jit-coat adalah tokoh golongan sesat, maka bila dibandingkan dengan dia ibaratnya anak kecil ketemu raksasa. Ai, sebabnya aku hidup menyendiri selama delapan belas tahun di sini, bo-leh dibilang semua ini adalah hasil karya kedua orang itu…..Tapi, aku hanya membenci pada diri sendiri, kenapa menyesali orang lain………?”

Bicara sampai di sini, tiba-tiba ia berhenti dan memandang atap rumah dengan air muka yang ber-ubah-ubah, agaknya ia rada bimbang, perlukah mengungkapkan rahasia hatinya atau tidak.

Tapi akhirnya ia berhasil mengendalikan per-golakan perasaannya, air muka berubah-ubah pun menjadi tenang kembali, katanya setelah menghela napas panjang, “Tak dapat kuberitahukan nama kedua orang ini kepadamu, harap kau maklum akan kesulitan ini.”

“Ucapan Locianpwe terlalu serius, Wanpwe hanya ingin tahu nama para tokoh angkatan tua saja, padahal bagiku sama sekali tak ada manfaatnya, tidak tahu pun tidak menjadi soal.”

Tiba-tiba Oh Kay-gak tersenyum, katanya “Nak, kau pasti menduga diriku ini penuh dengan teka-teki bukan? Benar, tapi teka-teki ini adalah dosa perbuatanku yang tak dapat kuceritakan. Sekarang hendak kuberi beberapa urusan agar kau lakukan, selain itu akan kulakukan pula Gi-kin-huan-meh (menggeser otot berganti nadi) untukmu agar kau-dapat mempergunakan jurus-jurus silat Jiat-im-siang-gi-pit-keng itu, mungkin di dunia ini hanya aku se-orang yang memiliki kepandaian ini.

Mendengar janji tersebut, Ji-sia merasa ragu dan gembira.

Ia ragu apakah Oh Kay-gak betul-betul me-miliki kemampuan tersebut? Sebab tokoh macam Ban-pian-sin-kun Auyang Seng yang memiliki tenaga dalam serta kecerdasan yang begitu lihay pun tewas akibat urat nadinya pecah karena berlatih ilmu da-lam kitab Ji-im-siang-gi-pit-keng, mungkinkah orang dapat mengubah nasibnya sehingga ilmu silat yang dilatih dengan susah payah itu dapat digunakau se-bagaimana mestinya?

Ia pun girang karena selanjutnya dapat berkelana dalam dunia persilatan dan membalas den-dam.

Tampaknya Oh Kay-gak dapat menebak suara hati Bok Ji- sia, sesudah menghela napas, katanya, “Nak, sebetulnya aku tidak memiliki kemampuan semacam itu, akan tetapi lantaran kepandaian silat yang kulatih setengahnya beraliran jahat dan se-tengahnya lagi baik, maka aku memiliki kemampuan membuat ilmu silat sesat tak sampai mence-lakai badan sendiri, cuma kepandaian semacam ini…”

Sebetulnya ia hendak mengatakan bahwa se-telah menggunakan kepandaian itu jiwanya akan segera melayang, tapi karena kuatir Ji-sia menolak penyembuhannya bila mengetahui hal itu, maka ia urung cerita lebih lanjut.

Memang, kalau Ji-sia tahu akan rahasia itu, dia tak akan mengorbankan jiwa kakek ini untuk di-tukar dengan nyawa sendiri, sekalipun setelah mem-peroleh pengobatan itu kepandaian silatnya akan menjadi lebih tangguh dan hebat.

Saking terharunya, air mata jatuh membasahi pipi Ji-sia, katanya dengan sedih, “Bila Locianpwe bersedia memenuhi harapan Wanpwe untuk menuntut balas, bukan saja sepanjang hidup Wanpwe akan mengingat budi kebaikan ini, sekalipun sakit hati Locianpwe juga akan Wanpwe selidiki hingga jelas dan menuntut balas bagimu…..”

Air muka Oh Kay-gak berubah menjadi serius, katanya dengan sungguh-sungguh, “Nak, selama hidupku enggan menerima budi kebaikan orang, ka-lau tidak kusuruh kau lakukan, jangan kau lakukan apa pun bagiku”

Ji-sia melengak, terpaksa jawabnya, “Wanpwe akan turut semua perintah Cianpwe!”

Sekali lagi Oh Kay-gak menghela napas, air mukanya berubah lembut, dan penuh kasih sayang, katanya, “Nak, bolehkah kutahu nama dan asal usulmu?”

“Locianpwe, aku she Bok bernama Ji-sia, asal usul dan pengalaman Wanpwe diliputi rasa malu yang luar biasa, aku tak berani menceritakannya, harap engkau sudi memaafkan

,….”

Ji-sia melakukan hubungan badan dengan ibu-nya sendiri akibat dicekoki obat perangsang oleh musuh, kejadian ini membuat ia merasa malu dan menyesal, sudah barang tentu ia tak berani mence-ritakan peristiwa yang memalukan ini.

“Ai, kalau orang yang sedih bertemu dengan orang yang berduka tentu saja hati bertambah se-dih,” bisik Oh Kay-gak sambil menghela napas,

“Nak, kau masih muda, hari depanmu masih cerah lebih baik jangan terlalu mengingat kejadian lama, kau harus menggunakan masa hidupmu yang terbatas uutuk menciptakan kesuksesanmu,”

“Terima kasih atas nasihat Cianpwe!”

Ketika mengucapkan kata-kata tersebut, hati Ji-sia timbul perasaan sedih luar biasa. Menciptakan kesuksesan? Baginya adalah hal yang tak berani di-harapkan dalam hidupnya ini, asal ia mampu mem-balas dendam, maka ia bertekad mengakhiri kehi-dupan sendiri untuk menebus dosanya. Dilihatnya Oh Kay-gak memejamkan matanya, wajahnya sebentar marah sebentar girang, berubah tak menentu, agaknya lagi tenggelam mengenang masa silam, seakan-akan sedang menimbang suatu masalah yang maha penting yang sukar diputuskan.

Ji-sia menjadi bingung menghadapi keadaan seperti ini.

Tiba-tiba Oh Kay-gak membuka matanya dan menatap wajah Ji-sia dengan sorot mata tajam, sambil tertawa sedih katanya, “Bocah ini adalah orang yang paling kusukai selama ini, terpaksa aku harus melanggar sumpahku dulu.

Ucapan ini sangat aneh dan membingungkan, Ji-sia melenggong sejenak lalu bertanya, “Ucapan Locianpwe mengandung maksud yang sangat da-lam, entah……”

Oh Kay-gak tersenyum, selanya, “Sebetulnya ingin kubawa sebuah benda mestika ke liang kubur, tapi sekarang kuputuskan untuk menghadiahkannya kepadamu.”

“Benda mestika dunia persilatan hanya barang sampingan, lagipula……”

“Lagipula adalah benda yang membawa alamat jelek,” tukas Oh Kay-gak, “bila dibawa terkadang akan mendatangkan bencana besar, begitu bukan? Tapi bila mestika ini sampai didapatkan Samte atau kakakku, akibatnya pasti akan mendatangkan ben-cana yang lebih besar lagi. Coba kau pikir bagaimana keputusanku? Kalau kau mau, maka akan kuha- diahkan benda ini padamu. Dan lagi, jika kau Ingin menjagoi dunia persilatan tanpa tandingan, mestika ini harus kau terima.”

“Perkataanku tadi tidak bermaksud demikian, tapi maksud Wanpwe telah banyak menerima budi kebaikan engkau orang tua, Wanpwe merasa tak berani menerima pemberian mestika itu lagi.” Oh Kay-gak tertawa, “Hah, sungguh tak ter-sangka akulah yang terlalu banyak curiga.”

Ji-sia merasa setiap perkataan orang selalu mengandung arti yang dalam dan harus dipecahkan dengan berpikir lama, terpaksa katanya dengan su-ara nyaring. “Entah urusan apa yang harus Wan-pwe lakukan untuk Locianpwe? Silakan memberi petunjuk.”

“Ada tiga soal yang kuserahkan padamu, per-tama, selidikilah nasib seorang putri kesayanganku apakah ia masih hidup di dunia ini.

“Apakah benar nama puteri Cianpwe adalah Keng-kiau?” tukas Ji-sia dengan cepat, “soal ini aku tahu jelas, kini ia menetap dalam benteng.”

Semula Ji-sia mengira Oh Keng-kiau adalah putri Seng-gwat kiam Oh Kay-thiaa, Pocu Thian-seng-po sekarang, maka setelah bertemu dengan Oh Kay-gak ia sama sekali tidak membicarakan per-soalan tersebut.

Bergetar keras rambut Oh Kay-gak yang ber-warna perak, seperti lagi mengigau ia bergumam sendirian, “Ya dia, benar dia! Ternyata Samte be-lum lupa dan memberi nama tersebut kepada pu-triku. Aiii, Samte pasti amat menyayangi putriku itu dengan demikian hatiku pun dapat tenang.”

“Locianpwe, apakah kau suruh Wanpwe men-ceritakan asal usulnya yang sebenarnya kepadanya?” tiba-tiba Ji-sia bertanya.

Dua titik air mata membasahi pipi Oh Kay-gak, dengan sedih katanya, “Tidak perlu, sekarang ia hidup dengan tenang dan gembira, buat apa ku singgung kembali kejadian lampau yang penuh ke-sedihan itu sehingga hati kecilnya terpukul? Dia adalah satu-satunya putri kesayanganku, asal dia dapat hidup bahagia, matipun aku tenteram.” “Tapi, Locianpwe, mana boleh dia menganggap musuh sebagai ayahnya?” ujar Ji-sia.

“Bok Ji-sia, jangan sembarangan kau bicara!” bentak Oh Kay-gak, “kalau kusuruh kau jangan ikut campur, maka jangan kau urus, ai……”

Setelah menghela napas sedih, tiba-tiba nada suaranya berubah menjadi lembut kembali, katanya, “Nak, tentu saja kau tidak tahu urusanku, siapa-kah yang tidak ingin putrinya mengetahui sesung-guhnya dia anak siapa? Padahal, sebabnya aku ber-ada dalam keadaan seperti ini adalah dosa yang kulakukan sendlri, sekalipun saudaraku lupa dan amat menyiksaku….Ai, kita jangan membicara-kan persoalan ini lagi, aku hanya minta kepada-mu, jika bertemu dengan putriku, baik-baiklah kau jaga dia.”

Ji-sia merasakan betapa ruwetnya hubungan diantara ketiga bersaudara Oh itu, sesungguhnya ada perselisihan apa di antara mereka? Diam-diam ia berjanji akan menyelidiki kejadian itu, ten-tu saja asal usul Oh Keng-kiau akan disampaikan kepada gadis tersebut, walaupun sekarang Oh Kay-gak melarangnya, padahal siapakah yang tak ingin melihat putrinya sendiri mengetahui asal-usulnya sendiri?

Rupanya Oh Kay-gak dapat menebak suara hatinya, ia menghela napas, air mukanya berubah lebih lembut, rasa sayang terpancar dari wajahnya, tangan kirinya lantas merogoh ke bawah kasur yang didudukinya dan mengeluarkan sebuah bung-kusan kecil.

“Urusan kedua adalah kuminta padamu untuk mengembalikan bungkusan kecil ini kepada para ketua dan kesembilan aliran besar. Ai, peristiwa ini pun termasuk juga salah satu kesalahan yang kulakukan, isi bungkusan ini adalah tanda pengenal kesembilan aliran besar itu, benda ini jangan sekali-kali sampai dirampas orang, sebab benda ini menyangkut nasib beribu-ribu orang persilatan, kalau tidak, setelah mati pun arwahku akan men-derita.” Ji-sia terkesiap, dia tak mengira tanda kebesa-ran kesembilan aliran besar bisa terjatuh di tangannya, ia tahu benda-benda itu merupakan benda yang manguasai beribu- ribu nyawa anggota kesembilan aliran persilatan.

Diterimanya benda itu dengan kedua tangan, lalu dimasukkan ke dalam saku, katanya serius, “Jangan kuatir Cianpwe, sekalipun badan bakal hancur, Wanpwe pasti akan menyerahkan sendiri benda-benda ini kepada para Ciangbunjin kesem-bilan aliran besar itu.”

“Kutahu kau pasti dapat melaksanakannya…..” sambil tertawa Oh Kay-gak manggut-manggut, “per-mintaanku yang ketiga adalah supaya kau melin-dungi sebuah benda mestika yang akan kuhadiah-kan padamu dengan jiwa ragamu.”

Mendengar ucapan tersebut, Ji-sia berpikir, “Agaknya benda itu pasti suatu benda yang penting sekali artinya….”

“Wanpwe pasti akan mempertaruhkan jiwa ra-gaku untuk melindungi benda yang Locianpwe ha-diahkan kepadaku, kalau tidak, bagaimana dapat kubalas budi-kebaikanmu,” demikian katanya.

Setelah berhenti sejenak, tiba-tiba rasa sedih menghiasi Wajah Oh Kay-gak, sambil menghela na-pas katanya, “Setiap orang persilatan menganggap benda ini lebih penting daripada nyawa sendiri, kehidupanku pun sebagian besar dihabiskan karena benda ini, jadi boleh dibilang benda ini terhitung benda yang mendatangkan kemalangan, ai……”

Kembali ia menghela napas, dari punggungnya ia lolos sebuah benda emas yang bentuknya seperti ruyung, mirip ruyung Jian-kim-si-hun-pian yang digunakan Ji-sia, cuma saja ruyung ini bersarung sehingga orang lain tak tahu bagaimanakah bentuk senjata tersebut.

“Nak, dapatkah kau tebak benda apakah ini?” tanya Oh Kay-gak sambil tersenyum. “Wanpwe pikir benda ini tentu semacam senjata, melihat bentuknya, mirip sebuah ruyung panjang.”

Oh Kay-gak manggut-manggut, ia tertawa mis-terius, lalu tanya pula, “Kau tahu apa nama ruyung ini?” “

Ji-sia menggeleng pertanda tidak tahu, semen-tara dalam hati ia pikir, “Aku bukan dewa, dari mana tahu nama ruyung ini?”

“Kau tahu asal usul ruyung Jian-kim-si-hun- pian yang berada padamu itu?” kembali Oh Kay-gak bertanya.

“Pengetahuan Wanpwe cetek sekali, karenanya kurang jelas atas asal-usul ruyung itu, tapi kutahu benda ini milik Ban- pian-sinkun.”

“Benar, kata Oh Kay-gak sambil tertawa, “ru-yung emas Jian-kim-si-hun-pian padamu itu adalah senjata buatan sahabatku Ban-pian-sin-kun dengan meniru Jian-kim-si-hun- pian sebagai contoh”

“Apa? Maksudmu Jian-kim-si-hun-pian ada yang asli dan ada pula yang tiruan?” seru Ji-sia ter-peranjat.

“Andaikata Jian-kim-si-hun-pian yang berada padamu adalah barang asli tentu sejak tadi-tadi sudah dirampas kakakku…..”

Sejak Ji-sia memperoleh ruyung emas Jian-kim-si-hun-pian tersebut, ia selalu menganggap benda mestika yang tajam sekali, karenanya selalu menyimpan dengan hati-hati, tapi ia tidak tahu ben-da itu adalah palsu, sedang Jian-kim-si-hun- pian yang asli justru merupakan ruyung mestika yang diincar setiap orang persilatan.

“Locianpwe!” kata Ji-sia kemudian, “ruyung emas Jian-kim- si-hun-pian yang berada padaku ini tajamnya luar biasa,  malah tak kalah tajamnya dibandingkan pedang mestika mana pun, lantas be-tapa tajamnya ruyung yang asli?” Oh Kay-gak tersenyum, “Ruyung asli ini bu-kan tajam saja, juga mempunyai daya guna yang bisa bikin orang menjulurkan lidah, bila seorang membawa Jian-kim-si-hun-pian, jago persilatan kelas satu manapun akan jeri padanya.”

Ji-sia hanya setengah percaya setengah tidak atas keterangan itu, pikirnya, “Tak mungkin dia mengibul padaku, mungkin ruyung ini terlebih tajam daripada pedang mestika…..”

Oh Kay-gak dapat meraba sikap Ji-sia yang meragukan keterangannya, ia tertawa tak acuh, ka-tanya, “Kalau tidak percaya, segera kubuktikannya di hadapanmu.”

“Cring!” bunyi gemerincing berkumandang, ruangan yang semula redup segera bermandikan cahaya keemasan.

Tahu-tahu Oh Kay-gak telah memegang se-bilah ruyung emas yang bersinar cemerlang dan penuh kaitan kecil, cahaya emas ruyung memancarkan hawa dingin. Sekilas pandang saja Ji-sia segera mengakui Jian-kim-si-hun-pian miliknya masih kalah jauh bila dibandingkan dengan ruyung mestika ini, se-bab ruyungnya tak dapat memancarkan sinar dingin yang tajam itu, sebaliknya ruyung orang dapat me-mancarkan pula sinar keemasan yang luar biasa cemerlangnya.

Kata Oh Kay-gak sambil  tertawa,  “Keistimewaan ruyung ini tidak terletak pada cahayanya, sekarang perhatikan baik- baik, akan kugelarkan senjata ini di hadapanmu.”

Sambil berkata, Oh Kay-gak segera menggetar-kan tangan kanannya….suara gemerincing nya-ring bergema…..

Dalam waktu singkat, sinar kemilau terpancar ke empat penjuru, sinar yang terpancar itu seakan-akan beribu-ribu ekor ular emas kecil yang sedang menjulurkan lidahnya.

Kejut dan girang Ji-sia menyaksikan semua itu, pujinya berulang kali, “Ruyung bagus! Ruyung bagus! Sungguh ruyung nomor wahid di dunia, sungguh tidak bernama kosong…..” “Kau sudah mengetahui kegunaan ruyung ini?” tanya Oh Kay-gak sambil tertawa.

Ji-sia hanya merasa ruyung itu memancarkan sinar yang menyilaukan dan tidak tahu dimana letak keistimewaannya, maka pertanyaan itu membuat-nya menjadi gelagapan.

“Wanpwe hanya tahu ruyung ini sangat bagus,” katanya terbata-bata, “tapi tidak kuketahui di mana letak kehebatannya, harap Locianpws bersedia memberi petunjuk.”

“Tadi kukatakan tajam ruyung ini melebihi  pedang  mestika, tentu bukan cuma mengibul belaka, bukankah sewaktu kugelarkan ruyung tadi kaulihat sendiri beribu-ribu ekor ular emas berhamburan dari senjata ini?”

“Locianpwe, apakah kaitan tajam pada batang ruyung dapat dilontarkan dengan dorongan tenaga dalamnya?”

“Betul!” Oh Kay-gak mengangguk, “kaitan pa-da ruyung ini akan menjulur ke depan pada saat kau kerahkan tenaga dalam, panjang atau pendeknya kaitan tergantung pada kuat atau lemahnya tenaga dalam seorang, cuma paling panjang hanya menca-pai dua kaki, karena itu tatkala ruyung berputar, maka seratus delapan buah kaitan kecil di seluruh batang ruyung akan memancar keluar dan membuat orang sukar menduganya, senjata ini sungguh sen-jata yang amat lihay.

“Malah benang baja dan kaitan pun tajam se-kali, senjata apa pun yang membenturnya bisa ter-puntir patah. Selain itu, waktu ruyung berputar akan menimbulkan suara yang nyaring dan mem-betot sukma, hal ini membuat ruyung mestika ini bertambah hebat.”

Mendengar itu, diam-diam Ji sia menghela na-pas, mimpi pun tak tersangka olehnya bahwa di dunia terdapat seorang yang begitu cerdik sehingga sanggup menciptakan senjata mestika semacam itu. Oh Kay-gak menghela napas, katanya kemu-dian, “Ruyung emas pembetot sukma (Jian-kim-si- hun- pian) ini kuhadiahkan kepadamu, semoga kau menyimpannya dengan baik dan dipergunakan un-tuk perbuatan mulia, ciptakanlah pekerjaan besar yang bermanfaat bagi umat persilatan.”

Terkesiap Ji-sia atas pemberian itu, sahutnya, “Kecerdasan dan kemampuan Wanpwe cetek sekali, tidak pantas bagiku untuk memegang senjata mes-tika semacam ini…..”

Tiba-tiba Oh Kay-gak mendengus, “Hm, apa-kah kau menghendaki ruyung ini jatuh ke tangan orang lain?”

Bicara sampai di sini, ia masukkan ruyung emas Jian-kim-si- hun-pian itu ke dalam sarungnya, lalu berkata pula “Mulai sekarang ruyung ini telah menjadi milikmu!”

Lalu dengan kedua tangannya ia sodorkan ruyung itu ke hadapan Bok Ji-sia. Anak muda itu tak berani menolak, sambil berlutut ia menerima ruyung mestika itu, padahal rasa gembira dalam hati tak terkirakan.

Setelah termenung sebentar, kembali Oh Kay-gak berkata, “Ruyung Jian-kim-si- hun-pian palsumu Itu adalah hasil karya sobatku Ban-pian-sinkun Auyang Seng, oleh karena ia gemar membuat ru-yung dan mengetahui kupunya ruyung aslinya, maka iapun membuat sebuah ruyung tiruan, dia adalah seorang cerdik dan berbakat bagus, barang buatannya memang persis sekali dengan aslinya, cu-ma sayang senjata buatannya tidak dapat meman-carkan sinar mustika serta kegunaan istimewa lain-nya. Ai, tak nyana sobat karibku telah mangkat mendahului diriku….”

Ji-sia ikut menghela napas sedih, teringat akan nasib dan pengalaman sendiri yang tragis, ia menja-di sedih juga.

Tiba-tiba Oh Kay-gak melototi Ji-sia dengan sinar mata yang tajam, kemudian dengan suara be-rat katanya, “Ruyung Jian-kim-si-hun-pian adalah benda yang kubela selama ini dengan mati-matian, sekarang kuhadiahkan padamu, kuharap jagalah benda ini baik-baik. Di samping itu, ruyung ini menyangkut pula beberapa peristiwa pembunuhan berdarah, walaupun sudah delapan belas tahun tak muncul dalam dunia persilatan, tapi menurut apa yang kuketahui, masih terdapat sekian banyak jago persilatan yang ke sana kemari mencari kabar tentang senjata ini.

Terutama beberapa gembong iblis tua yang ter-libat dalam peristiwa berdarah ini, kupikir mereka masih hidup sampai sekarang, maka kuharap kau-simpan senjata yang mendatangkan ketidakberun-tungan ini segara baik-baik, sebab dengan bentuk-nya yang aneh serta sinar mestikanya yang cemer-lang, dengan cepat akan menimbulkan perhatian orang yang mungkin akan mengakibatkan terjadi-nya badai besar dalam dunia persilatan.

“Terhadap kakak dan adikku, kau pun perlu hati-hati, sebab mereka ada maksud hendak me-rampas ruyung itu, kau harus berjaga-jaga terhadap sergapan dan tindakan licik mereka.”

“Locianpwe, dapatkah kau jelaskan sedikit ten-tang peristiwa pembunuhan tersebut? Agar menam-bah pengalaman serta pengetahuan Wanpwe.”

Oh Kay-gak menghela napas sedih, “Waktu yang amat singkat ini tak mungkin bagiku untuk menceritakan semua kejadian tersebut, yang pen-ting ingatlah baik-baik, bila tidak terlalu terdesak, lebih baik jangan kau perlihatkan ruyung mestika ini.”

“Wanpwe akan mengingatnya selalu, harap Cianpwe tidak kuatir.”

Oh Kay-gak mendongakkan kepala dan mena-tap sekejap atap rumah sambil termenung, lalu ka-tanya lagi, “Ruyung ini bukan cuma berharga, ju-ga ada sangkut pautnya dengan peristiwa berdarah, selain itu mengandung pula suatu rahasia besar yang menggetarkan hati setiap orang.”

“Aku sudah bersumpah tak akan membocorkan rahasia ini kepada siapapun, lagipula berlaku suatu ketentuan bahwa hanya yang berjodoh saja yang akan mendapatkan benda mestika ini, maka setelah kuhadiahkan ruyung emas ini padamu, bisa atau tidak kau membongkar rahasia ini bergantung pada soal jodoh atau tidaknya kau dengan benda ini.”

Ji-sia terkejut mendengar keterangan itu, pikir-nya, “Dia bilang ruyung ini mengandung suatu ra-hasia besar, rahasia apakah itu? Sungguh bikin orang tak habis mengerti…..”

Berpikir demikian, tanpa terasa ia pandang tangkai ruyung tersebut, tapi ia tidak menemukan sesuatu yang aneh, ia pikir batang ruyung yang penuh kaitan tajam itu jelas bukan  tempat menyim-pan benda mestika, maka perhatiannya beralih ke tangkai senjata itu.

Dengan sinar mata tajam Oh Kay-gak melirik Bok Ji-sia sekejap, lalu geleng kepala berulang kali, setelah menghela napas sedih, katanya, “Nak, sim-panlah ruyung ini di pinggangmu! Ruyung ini ter-buat dari emas lembek yang  khas, ia bisa ditekuk atau diluruskan sekehendak hatimu. Walaupun jurus-jurus dalam Jiat-im-siang-gi-pit-keng telah kaupelajari, namun masih belum cukup untuk mengembang-kan kehebatan ruyung Jian-kim-si-hun-pian ini, se-karang akan kuajarkan tiga jurus ilmu ruyung yang maha lihay dan beberapa macam kepandaian lain seperti Kim-na-jiu, Hut-hiat-jiu-hoat dan Ceng-meh-sin-hoat, kuharap kau perhatikan baik-baik.”

Air mata jatuh bercucuran saking terharunya, Ji-sia merasa kebaikan Oh Kay-gak kepadanya melebihi apa pun. Sememtara itu Ji-sia telah melilitkan ruyung Jian-kim-si-hun- pian tersebut pada pinggangnya di balik pakaian, yang tampak dari luar hanya seba-gian tangkainya, kemudian ia menjatuhkan diri berlutut di hadapan kakek itu.

“Budi kebaikan Locianpwe yang besar ini, en-tah cara bagaimana Wanpwe dapat membalasnya?” katanya dengan suara gemetar. Mencorong sinar mata Oh Kay-gak, katanya, “Nak, jika kau merasa berhutang budi kepadaku, maka lindungilah selama hidup putriku di kemudian hari dengan sepenuh tenaga, tindakanmu itu sudah cukup memuaskan hatiku, cuma…..sanggup-kah kau melakukannya?”

Ji-sia bukan orang bodoh, tentu saja ia dapat menangkap arti perkataan Oh Kay-gak tersebut, melindungi putri Oh Kay- gak selama hidup dengan sepenuh tenaga bukankah sama artinya su-ruh dia mengawininya menjadi istri?

Perkataan Oh Kay-gak segera menimbulkan rasa sedih anak muda itu, sejak melakukan hubu-ngan badan dengan ibunya sendiri, ia sudah tak punya muka untuk hidup lagi di dunia ini, andai-kata tiada kobaran api dendam yang mendorong-nya untuk hidup, tak nanti dia bertahan hidup sampai sekarang, diam-diam ia memutuskan bahwa tiada kebahagiaan hidup baginya dalam kehidupan ini, bilamana sakit hati telah terbalas, ia bertekad hendak menghabisi nyawa sendiri. Sebab itu, pera-saannya sudah tak tertarik lagi terhadap kaum wanita, kendatipun gadis itu memiliki kecantikan yang luar biasa.

Ketika Oh Kay-gak melihat Ji-sia tidak berkata apa-apa, wajahnya kembali menjadi murung, ia be-tul-betul merasa kecewa sehingga rambutnya yang beruban tampak agak gemetar.

“Ai,” dia menghela napas sedih, “jodoh ma-nusia memang telah ditakdirkan, manusia tak dapat memaksanya….”

“Locianpwe, kuterima maksud baikmu itu!” mendadak Ji-sia berteriak.

Ji-sia adalah pemuda yang perasa, budi ke-baikan Oh Kay- gak kepadanya telah memberi ke-san bahwa kakek tersebut adalah seorang yang pe-nuh welas kasih, ia tahu kakek itu terlalu menyendiri dan kesepian, bagaimanapun ia tak tega membuatnya kecewa dan bersedih. Apalagi setelah mendengar ucapan Oh Kay-gak bahwa “jodoh manusia sudah takdir….” perkataan ini menimbulkan pikirannya untuk menyanggupi permintaanya, sebab belum tentu Oh Keng-kiau su-ka padanya, maka ia menerima permintaan itu agar Oh Kay-gak tidak terlalu bersedih.

Betul juga, Oh Kay-gak menjadi amat senang mendengar perkataan itu, ia lantas mengajarkan ilmu rahasianya kepada pemuda itu, kepandaian itu boleh dibilang jurus-jurus aneh yang jarang ada di dunia. Ji-sia adalah pemuda yang cerdas, lagipula ia menanggung dendam, agar cita-citanya berhasil ma-ka ia pusatkan perhatiannya untuk belajar dengan tekun.

Cahaya senja menghiasi angkasa, sang surya pelahan terbenam di ufuk barat….

Oh Kay-gak memandang sekejap cuaca di luar, kemudian katanya sambil tertawa, “Nak, kau amat cerdas, sekarang semua kepandaianku telah kau pelajari, jika kepandaian ini dapat kau kombinasikan dengan jurus-jurus silat menurut ajaran Jiat— im-siang-gi-pit-keng, maka tak sulit bagimu  untuk merajai dunia persilatan, sekarang yang kurang adalah masih ceteknya tenaga dalammu, tapi bisa kubantumu dengan segala kemampuanku agar te-naga dalammu yang hilang bisa pulih kembali se-perti hasil latihan berpuluh tahun,”

Ji-sia masih juga belum memahami maksudnya, dengan bimbang ia berkata, “Loeianpwe, kau bilang sebentar aku akan memiliki tenaga dalam seperti ha-sil latihan beberapa puluh tahun?”

“Ya, kalau tak salah, satu jam lagi kau akan memiliki tenaga dalam seperti hasil latihan dua pu-luh tahun,” kata Oh Kay-gak dengan suara pedih, “jika dalam satu tahun” mendatang bisa kau latih de-ngan tekun, maka tenaga dalammu akan maju pesat seperti tenaga latihan enam puluh tahun, tentu saja soal cepat atau lambatnya kemajuan yang akan kau capai bergantung pada bakat serta tekadmu sendiri.” Ji-sia masih juga belum paham maksudnya, ia tanya pula “Locianpwe, apakah urat nadiku telah mengalami perubahan?”

“Belum, sekarang juga akan kulakukannya bagimu, untuk sementara waktu duduklah di hadapan ku.”

Ji-sia menurut dan duduk bersila di hadapan orang tua itu. “Nak, ingin kuperingatkan dirimu lagi,” kata Oh Kay-gak

lebih  lanjut,  “yakni  sebelum  tenaga  dalammu  betul-betul

mencapai kemajuan yang pesat, janganlah terlampau menonjolkan kepandaianmu sendiri, sekalipun menurut perkiraanku tenaga dalam-mu sekarang cukup untuk menandingi jago kelas satu dalam dunia persilatan, namun orang persilat-an kebanyakan licik dan banyak akal muslihatnya, ada sementara persoalan yang tak mungkin bisa di-lawan dengan mengandalkan ilmu silat belaka.

“Terutama bila menghadapi kakakku Oh Ku- gwat serta Samteku Oh Kay-thian, dasar tenaga dalammu sekarang mungkin masih kalah jauh dari-pada mereka berdua, pula setelah delapan belai ta-hun entah kepandaian apa lagi yang mereka kuasai, oleh sebab itu sulit buat menandinginya,  cuma dengan jurus ilmu silatmu, untuk melindungi  jiwa sendiri kukira tidak menjadi soal.

“Jurus-jurus yang kuwariskan kepadamu me-rupakan jurus silat yang mengandalkan kelincahan, asal kau apal penggunaannya bisa menutupi keku-rangan tenaga dalammu.

“Samteku Oh Kay-thian adalah seorang yang jahat dan kejam, kecerdasan otaknya luar biasa, lagipula dia telah memperoleh sejilid kitab racun yang hebat, mungkin cara menggunakan racunnya terhitung nomor wahid di dunia, hati- hatilah bila bertemu dengan dia.

“Ai, selama delapan belas tahun Samteku Oh Kay-thian menguasai Thian-seng-po, mungkin ke-banyakan jago-jago tangguh golongan hitam sudah berhasil dijaring untuk berpihak kepadanya, hal ini membuat ambisinya menguasai dunia persilatan makin besar, semua ini boleh dibilang adalah dosa serta kesalahanku.”

“Harap Locianpwe jangan risau,” kata Ji-sia lantang, “Wanpwe dapat menjaga diri baik-baik, bilamana perlu pasti akan kucegah ambisi jahat adik Cianpwe itu.”

Oh Kay-gak manggut-manggut, “Mati hidup dunia persilatan sudah berada di atas pundakmu, apalagi sekarang kau memiliki beberapa macam benda mestika, setelah sadar nanti harap kau berangkat dengan segera ke Siau-lim-si di Siong-san, serahkanlah tanda kepercayaan kesembilan aliran besar ini kepada Ketua Siau-lim-pay, Pek-hui Siansu” Sekarang Ji-sia baru merasakan tanggung ja-wabnya berat sekali, segera sahutnya, “Wanpwe terima perintah!”

Mencorong sinar mata Oh Kay-gak, katanya dengan suara berat, “Cepat pusatkan pikiranmu, bagaimana pun rasa sakit dan penderitaan yang akan kau alami, terimalah dengan hati yang tabah”

Tengah bicara, dengan sepuluh jari tangan yang dipentangkan beruntun Oh Kay-gak melancarkan tutukan pada urat nadi penting di sekujur tubuh anak muda itu.

Menyusul kemudian, kedua telapak tangan Oh Kay-gak ditempelkan pada tubuh Ji-sia dan mulai mengurutnya, hawa panas yang terpancar ke-luar dari telapak tangannya segera mendatangkan perasaan nyaman di tubuh Ji-sia, dirasakannya ada beberapa gulung hawa panas yang mengaliri selu-ruh urat nadinya dengan cepat.

Sekejap kemudian, tiba-tiba Bok Ji-sia merasakan darah dalam sekujur badannya bergolak dengan hebatnya, sungguh rasanya tak tahan.

Tapi dengan tenang ia memejamkan mata dan mengatur pernapasan, ia tahu nasibnya sekarang bergantung pada tindakan tersebut, begaimana pun dia harus menahan penderitaan tersebut. Akan tetapi penderitaan itu kian lama kian tambah hebat.

Kedua telapak tangan Oh Kay-gak bagaikan dua potong baja membara yang menempel tubuhnya, membuat sekujur badan kepanasan dan sukar untuk ditahan, peluh membasahi badan bagaikan air hujan.

Sesungguhnya bukan ini saja yang membuat-nya menderita hebat, malah hawa panas telapak ta-ngan yang mengalir ke urat nadinya, gelombang demi gelombang menggetarkan tubuhnya, rasa sakit sungguh luar biasa, seperti tulang sekujur badan hendak retak, sedemikian hebatnya sakitnya hingga Ji- sia terkencing-kencing. Tapi Ji-sia berhati keras, sambil menggigit bi-bir ia tidak merintih atau mengeluh…..

Penderitaan semakin hebat, sekujur tubuh Ji-sia serasa dipotong menjadi beribu keping kecil, badan seakan digencet kekuatan besar yang membuatnya hancur luluh. Rasa sakit yang amat menyiksa ini membuat-nya tak sanggup bertahan lagi, benaknya mulai bu-tek dan pikiran kabur.

Pada saat itulah sekulum senyum mulai meng-hiasi wajah Oh Kay-gak, mukanya berseri dan me-mancarkan rasa puas. Kesadaran Ji-sia pun mulai lenyap, sekujur badan sudah terlepas dari kontrol otak lagi. Pada saat itulah tiba-tiba Ji-sia mendengar ben-takan keras yang memekak telinga ibarat guntur menggelegar di siang hari bolong…..

Seketika itu juga otak dan tubuhnya seperti kena sambar geledek, seluruh tubuh seperti berte-baran di udara.

“Brak!” tubuh Ji-sia mencelat enam-tujuh tom-bak jauhnya seperti layang-layang yang putus, ia terlempar dan jatuh terkapar di atas tulang teng-korak berserakan di halaman dan tak sanggup ber-kutik lagi

Entah berapa lama sudah lewat tiba-tiba Ji-sia mendengar rintik air di tepi telinganya, terasa se-kujur tubuh basah kuyup seakan-akan terendam di didalam air. Ia membuka matanya dengan cepat, tapi sua-sana remang-remang, tubuhnya tergeletak di atas tulang tengkorak yang berserakan, kiranya waktu itu hujan sedang turun dengan derasnya dan membuat-nya basah kuyup.

Suasana di sekeliling tempat itu terasa sepi dan mengerikan….

Ji-sia segera melompat bangun, ia merasa tu-buhnya enteng dan segar, rasa sakit dalam mimpi sudah lenyap. Dengan sinar mata yang tajam ia mulai me-meriksa suasana dalam ruangan yang seram itu…..

Tapi kecuali hujan yang turun dengan deras-nya, suasana di sekitar tempat itu sunyi senyap tak kedengaran suara apapun.

Mendadak satu ingatan yang menakutkaa terlintas dalam benaknya, ia menggigil dan cepat me-nyusup ke dalam ruangan….

Walaupun suasana dalam ruangan itu gelap gulita, tapi ketajaman mata Ji-sia saat ini jauh ber-beda dengan keadaan tadi, waktu ia memandang ke sana, air mata lantas meleleh membasahi pipinya. Terlihatlah Oh Kay-gak duduk bersila di atas kasurnya, memejamkan mata rapat-rapat dan tubuh sama sekali tak bergerak, jenggotnya yang putih kini berubah menjadi merah, bibirnya tertutup rapat berlepotan darah, jelas ia sudah meninggal dunia sekian lama.

Rasa kaget dan sedih yang kelewat batas mem-buat Bok Ji- sia tak mampu menangis, ia hanya ber-lutut di hadapan jenazah tersebut dengan air mata bercucuran memandangi kakek berilmu tinggi itu dengan termangu. Kesedihan tanpa suara ini jauh lebih mendalam daripada isak tangis yang keras. Walaupun Oh Kay-gak hanya berkumpul se-hari saja dengan dia, tapi Ji-sia telah mendapatkan budi kebaikan yang luar biasa darinya. “Gerrr?” kilat menyambar dan guntur meng-gelegar di angkasa, hujan turun semakin deras.

Air hujan yang menimpa atap rumah menimbul-kan irama kesedihan yang memilukan. Thian seakan-akan ikut melelehkan air matanya atas kematian tokoh aneh yang berilmu tinggi ini. Ji-sia berlutut di situ dan berdoa, lalu dia me-nyembah sembilan kali. Akhirnya dengan membawa kesedihan yang luar biasa pelahan ia berjalan keluar ruangan itu.

Setelah kilat menyambar lagi di udara, hujan mulai mereda, dengan menahan kesedihan Ji-sia berdiri termangu di tengah halaman, ia pandang tengkorak manusia yang berserakan di atas tanah itu. Kemudian menghela napas.

Sedikit ia bergerak tahu-tahu sudah berada di atas tembok pekarangan, sekarang ia baru tahu tenaga dalamnya pulih kembali, bahkan jauh lebih sempurna dari dulu, tapi ia masih tidak menyangka telah memperoleh tenaga dalam sebesar puluhan tahun hasil latihan sekejap dari Oh Kay-gak.

Awan masih menggumpal di angkasa, cuaca masih kelabu. Tapi ketajaman mata Ji-sia sekarang dapat me-lihat keadaan yang berada tujuh tombak di depan sana, dilihatnya bayangan orang sedang bergerak

Kening bekernyit, terkilas hawa nafsu membu-nuh pada wajahnya.

Mendadak, pesan terakhir Oh Kay-gak terlintas dalam benaknya, ia terkesiap dan berpikir, “Te-naga dalamku belum mencapai kesempurnaan, apa-lagi aku membawa beberapa macam benda mestika, lebih baik jangan menonjolkan kepandaian sendiri, orang yang berdiri di situ bukankah jelas sedang menantikan kedatanganku?”

Berpikir demikian ia lantas melompat turun dari dinding pekarangan dan bergerak menuju ke arah kiri…..Mendadak berkumandang suara tertawa dingin yang menyeramkan dari atas pohon Pek-yang, se-sosok bayangan melompat turun dari atas pohon dan menghadang jalan pergi pemuda tersebut.

Siapakah penghadang ini? 

Traktiran: (7891767327 | BCA A.n Nur Ichsan) / (1740006632558 | Mandiri A.n Nur Ichsan) / (489801022888538 | BRI A.n Nur Ichsan) ataupun bisa melalui via Trakteer yang ada dibawah

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar