Postingan

Jilid 01

BERGUMPAL-GUMPAL mega putih berarak diangkasa, Angin menghembus sepoi, cuaca cerah hawa sejuk, menjelang bulan enam, tapi masih terasa nyaman dan tentram.

Lembah gunung nan besar dan luas serasa kosong melompong, tiada terdengar suara apapun, entah itu kicau burung atau suara binatang, mungkin alam semesta dengan sekejap penghuninya tengah terbuai lelap di siang hari nan sejuk semilir ini. Sepucuk pohon waru besar bertengger di atas bukit tandus, tak jauh dari bukit rendah ini terdapat sebuah bangunan gedung yang dipagari bambu dengan halaman yang luas, di depan gedung berdiri dua batu raksasa di kiri kanan, tak jauh di belakang batu kiri terdapat sebuah empang. Airnya yang jernih, tampak ikan-ikan emas tengah berenang santai, hidup aman dan tentram. Daun-daun kuning  melayang mengambang di permukaan air, menimbulkan riak lembut.

“Duk, duk, duk,” langkah yang berat berkumandang datang dari belakang sebuah pohon, muncul satu orang dengan langkah sempoyongan, jelas bahwa orang ini teriuka parah. Badannya berlepotan darah, darah masih meleleh di ujung mulut, kaki tangan, kepala dan pundak, darah masih merembes. Kedua tangan yang sudah berlepotan darah mendekap dada, darah masih terus mengucur keluar, raut mukanya berkerut- kerut menahan sakit, bibirnya gemetar, setiba di bawah pohon, agaknya sudah kehabisan mengerahkan tenaga, dengan napas ngos-ngosan dia tak tahan lagi berdiri, beberapa langkah sempoyongan lagi dia menggelendot di dahan pohon, sesaat dia berusaha menenteramkan hati, mengatur napas.

Langkah cepat dan ringan kembali mendatangi. Laki-laki yang terluka menggelendot pohon tersirap kaget, alis yang bertaut menahan sakit bertaut lebih kencang pula, mendadak dia membuka mata, sorot mata yang sudah loyo mendadak memancarkan bara penuh dendam dan penasaran-

"Bangsat, lari kemana kau." Ditengah hardikan bengis, seorang pemuda tampak memburu tiba, seperti juga orang pertama badannyapun penuh luka - luka, darah berlepotan di sekujur badan, tapi gerak gerik nya lebih cekatan, jelas luka lukanya jauh lebih ringan-

Tampak pemuda ini menegakkan alis, mata mendelik bundar, mukanya diliputi amarah memburu kemuka pohon, bentaknya sambil menunding, "Suma Liang. Kalau  kau seorang laki-laki, jangan lari, rasakan pukulanku lagi."

Suma liang yang mengelendot di pohon tampak berkeriut kulit daging mukanya, sekali tampak menggigil, tapi segera dia angkat alisnya serta berseru dengan suara serak: "Liok Hoat- Liong Kau...jangan kau terlalu menghina."

Jelas mereka sudah bertarung lama dan sengit sampai terluka dan kehabisan tenaga tapi Suma Liang jauh lebih payah dari lawannya.

Liok Hoat-liong pemuda yang memburu datang segera mengayun tangan, ditengah hardikannya, segulung angin kencang menerjang dari telapak tangannya.

Bergetar sekujur badan Suma Liang, sambil pejam mata, kertak gigi, mulut menggeram diapun angkat kedua tangan sekuatnya menyongsong terjangan angin pukulan-

"Pyar." Begitu pukulan beradu Liok Hoat-liong tertolak mundur tiga langkah, rona mukanya berobah hebat. Pohon besar itu pun bergetar menimbulkan rontokan daun-daun kuning dan hijau, suma Liang yang menggelendot pohon nampak menggigil, mulutnya gemetar, suaranya tersendat: "Liok... kau... "

Mendadak mulutnya ter buka, darah segar tumpah sebanyak banyak nya.

"Liong-ko, jangan kau..."

Kali ini langkah lembut enteng tapi gugup berlari mendatangi, lekas sekali muncul seorang nyonya muda dengan langkah ringan mendatangi. Wajahnya mandi  keringat, kuatir dan cemas, dengan langkah memburu dia berlari datang, sekilas dia melirik ke arah suma Liang yang memejam mata, lalu berteriak gugup dan kuatir: "Hong- liong kau... tak boleh kau demikian..." Liok Hoat-liong berpaling dengan muka berobah, desisnya menggertak gigi: "Perempuan jalang, enyah." Mendadak telapak tangannya terayun, muka perempuan ini digamparnya.

"Wow, Hoat-liong... "Pekik perempuan itu tergentak dua langkah lalu jatuh duduk di tanah, setelah memekik sekali dia mendekam di tanah serta menangis gerung-gerung.

Wajah Liok Hoat- Liong berkerut, gelap mengejang, alisnya makin tegak, pelan-pelan dia menarik napas panjang sambil memejam mata, tapi mendadak dia angkat kepala serta membentak: "suma Liang, lari ke mana kau ?" Ditengah bentakannya dia melompat seraya mengerahkan kedua tangan.

Suma Liang baru membalik badan, segera dia berpaling membentak dengan marah, "Orang she Liok... jangan menghina..." Padahal angin kencang sudah menerpa mata, lekas dia angkat sebelah tangannya menangkis dengan sekuat tenaga "Blang.." kembali terjadi ledakan dahsyat suma Liang tersungkur jauh beberapa langkah, kembali darah menyembur dari mulutnya.

Wajah Liok Hoat-liong juga teramat buruk, "Huaaaah." Diapun tumpah darah.

"Hoat-liong... kau. salah paham."

Teriakan yang menyayat hati berkumandang pula, ini malah menambah amarahnya berkobar. Dengan sengit dia menggertak gigi memuntahkan darah pula lalu mendesis benci: "Perempuan jalang."

Tiba-tiba dia membentak pula: "suma Liang. Jangan lari, biar aku adu jiwa dengan kau"

Mata suma Liang terpejam, kedua tangan mendekap dada, langkahnya sempoyongan, seperti tidak mendengar suara orang. Kembali Liok Hoat-liong membentak: "suma Liang, sambut pukulanku" setiap kali dia menggerakkan tangan pasti menimbulkan deru angin  kencang, demikian pula kali ini, suma Liang digempur dengan pukulan jarak jauh.

Sekuatnya suma Liang kendalikan tubuh sendiri supaya tidak roboh, sorot matanya berapi-api, entah marah penasaran juga terbayang rasa ngeri. sambil menggeram dia menunduk kepala, agaknya menahan sakit, tapi cepat sekali dia sudah angkat kepala pula, darah meleleh pula diujung mulutnya wajahnya menampilkan kekecewaan, rasa ngeri disorot matanya juga makin tebal.

"Hahhhh..." suara rintihan keluar dari mulutnya, matanya yang redup terbeliak mengawasi Liok Hoat-bong, tubuhnya terus menyurut mundur, darah meleleh makin banyak menetes kedadanya membasahi pakaiannya.

"Wow..." Pekik nyaring seorang perempuan terbaur dengan deheman rendah.

Mata suma Liang membelalak makin besar, tapi hanya sekejap saja. karena dibelakangnya adalah jurang yang tak terlihat dasarnya, sementara tubuhnya melayang jungkir balik seperti layang-layang putus benangnya...

Memandang kebawah. jurang yang tak kelihatan dasarnya, Liok Hoat Liong berdiri kaku, pandangannya kabur, pelan- pelan baru dia angkat kepalanya, pandangannya nanar mengawasi mega diangkasa, sikapnya kelihatan sedih dan pilu, heran dan kaget, tapi juga seperti menyesal.

"Hoat-liong... kau salah..." Isak tangis terdengar dibelakangnya.

Pelan-pelan Liok Hoat liong membalik tubuh, lama dia menatap isterinya yang masih sesenggukkan. "Aku... betulkah aku salah... Hwi-lan..." Kulit mukanya mengejang, mulut menggumam, matanya lengang, dari balik mega dia seperti ingin memperoleh suatu bayangan, bahwa kejadian ini memang suata kesalah pahaman belaka, tapi...

"Hahahaha... hahaha..." Mendadak syarafnya seperti tidak waras lagi dengan beringas dia tertawa gelak-gelak. suaranya bergema dialas pegunungan, melayang jauh kedasar lembah, menembus mega

"Hahahaha hahahahuha, "air mata tak terasa meleleh juga dari pelupuk matanya, kulit mukanya masih terus berkerut mengejang.

"Liong- ko ....kau..." perempuan cantik itu berteriak kaget dan melongo, sesaat bibirnya bergetar lalu berkata pula dengan suara gemetar: "Hoat-liong, kau... anak kita..." dengan gugup dia berteriak. karena ditengah gelak tawa suaminya bergerak hendak tinggal pergi.

"Huuuuuuuaaaaaaaah haahahaha... hihihihihihihi..." sebuah loroh tawa lain yang bernada tinggi tiba-tiba berkumandang dibalik pohon sana, daun pohon sama rontok oleh getaran gelak tawa yang keras.

Berubah air muka Liok Hoat-liong, matanya terbeliak bundar, bola matanya yang masih berlinang air mata tampak ngeri ketakutan, mulutnya mengernyit, bibirnya gemetar.

Ditengah kumandang loroh tawa itu segumpal mega merah melayang turun dari angkasa, "siuuuut..." menimbulkan pusaran angin lesus.

"Ha..." jerit panjang yang mengerikan berpadu dengan loroh tawa itu. tampak tubuh Liok Hoat - liong terpental terbang seperti bola tertendang melayang keatas dan "Duk." Menumbuk pohon waru. Batok kepalanya pecah berhamburan, kaki tanganpun protol dan tercecer, darah meleleh dari atas dahan pohon membasahi tanah di sekitarnya. "Aduh, Liong - ko.." perempuan itu memekik ngeri seraya berlari menubruk. Mega merah berkelebat pula, disusul jeritan melengking menggetar bumi. Perempuan cantik itu menjerit sambil sempoyongan jatuh beberapa kali, sekujur badan berlepotan darah, ternyata lengan kirinya sudah protol entah kemana.

"Hahaha..." mega merah berkelebat pula, tahu tahu muncullah seorang tua berjubah merah rambutnya diikat lalu dijepit oleh gulungan emas yang melingkar diatas kepalanya, sisa rambutnya yang panjang terurai di belakang kepalanya. Tampak tangannya memegang sebuah tangan yang berlepotan darah, menyeringai memperlihatkan taring giginya, ditengah loroh tawanya, tampak darah menetes dari kutungan lengan yang dipegangnya...

"Hm," orang tua jubah merah menggeram, "Siapa berani mencari permusuhan dengan Hwe hun- bun, mana boleh diberi ampun. Hahahaha..." mega merah berkelebat pula, melayang jauh, loroh tawa itupun makinjauh dan akhirnya tak terdengar lagi.

-00000d0w00000-

Musim dingin berlalu- musim semipun menjelang. Rumput kering mulai berseri, dahan -dahan pohon yang gundul mulai tumbuh daun- daun hijau. salju sudah mencair, burung - burung mulai berkicau riang menyambut datangnya musim semi.

Air sungai itu mengalir kearah timur, diatas batu hijau yang terletak dipinggir sungai duduk seorang pemuda, kepalanya tertunduk. sedang asyik membaca buku filsafat. Begitu asyik dia membaca hingga tidak terasa mega putih yang semula diatas kepalanya sudah melayang jauh diufuk timur, baru pelan- pelan dia berhenti membaca dan menutup bukunya. Pelan -pelan dia angkat kepalanya, mengawasi langit yang membiru nan tak berujung pangkal. Wajahnya persegi, bermata jeli, hidung mancung, alisnya tegak bibirnya sedikit tebal, wajah nan gagah dan cakap. tapi kenapa sorot matanya begitu lesu seperti dirundung rawan dan kesengsaraan. Pelan-pelan pandangannya menurun memandang rombongan kambing yang sedang makan rumput sana, sorot matanya yang lesu tampak lebih pilu.

"Clup...." seekor ikan mencelat ke permukaan air, mengejutkan lamunannya, dipandangnya air jernih yang mengalir ketimur ini, tekanan batinnya seperti terasa agak ringan.

Sesaat lagi dia ulur tangannya keleher, mengeluarkan sebentuk mainan kalung dari dalam bajunya, itulah mainan batu jade yang berbentuk hati, Batu jade ini berwarna putih mulus bersemu kehijauan, bila diperhatikan, didalam batu jade itu seperti terdapat garis -garis merah yang meliuk liuk bentuknya mirip seekor naga yang mengembangkan cakar.

Pemuda itu menghirup napas, lalu menggumam seorang diri: "Anak kambing juga punya orang tua, kenapa aku tidak? Kemanakah ayah bundaku? Apakah mereka membuang diriku? oh Ayah ibu, dimana kalian..." tanpa terasa air mata berkaca- kaca, tapi dia tahan - tahan supaya tidak meleleh, "Ji-cengcu bilang, dengan mainan kalung ini aku bisa mencari ayah bundaku, tapi kenapa sejak dia pergi sampai sekarang belum juga kunjung pulang... "

Dia menunduk mengawasi batu putih di tangannya, dibolak balik namun dia tidak habis mengerti apa arti dari gambar yang tertera dibalik batu putih ini, itulah sebuah lukisan sederhana, seperti sebuah gambar lukisan pemandangan, ada gunung dan sungai, dua puncak menjulang jajar yang mengapit sebuah air terjun, didepan air terjun terdapat tiga gubuk jerami... akhirnya dia menghela napas, serta angkat kepala.

Pemuda ini tidak tahu siapa she dan namanya, tapi kebiasaan dia dipanggil Ping-ji, entah sejak kapan seorang cengcu yang baik hati menerima dan mengasuhnya di Kui-hun ceng. Belum pernah dia melihat Toa- cengcu, tapi dari mulut orang lain dia tahu bahwa Toa cengcu meninggal dunia dalam suatu pertempuran ji- cengcu adalan laki - laki yang berhati baik, welas asih dan kasih sayang kepadanya, dirinya yang sebatangkara ini dipandangnya seperti anak kandung sendiri, tapi Ji- cengcu tidak pernah menikah.

Masih segar dalam ingatannya pada suatu malam dimusim dingin, dia bersama Ji-cengcu, bersama keponakan Ji- cengcu, siau-hong sedang duduk mengerumuni api unggun dalam rumah, dikala mereka berkelakar dan ber-bincang bincang riang gembira, mendadak datang seorang pemuda..

Didalam kamar buku pemuda ini bicara panjang lebar dan lama, malam itu juga kelihatan perobahan sikap dan mimik muka Ji- cengcu, seperti dirundung malang atau menguatirkan sesuatu, selama dia bisa berpikir, seingatnya belum pernah Ji- cengcu bersikap demikian.

Menjelang tengah malam Ji-cengcu memanggilnya, secara tergesa-gesa dia memberi pesan beberapa patah kata, di saat hujan salju lebat dia terus pergi entah kemana .

Tiga tahun telah berlalu, selama iniJi cengcu tidak pernah pulang, juga tidak pernah mendapat kabar beritanya, bukan sekali dia tanya kepada pemuda itu, tapi selalu dirinya dicaci maki.

"Kenapa sikapnya begitu kasar? Bukankah sebelum pergi Ji- cengcu berpesan kepadanya supaya bersikap baik terhadapku?" demikian pikir si pemuda.

sejak Ji-cengcu pergi, maka pemuda itupun menetap di Kui- hun-ceng, karena Ji-cengcu juga berpesan, supaya dia mengurus dan mengepalai perkampungan ini, maka sejak itu dialah yang berkuasa dan menjadi siau-cengcu. Dia mengaku sebagai murid Ji-cengcu, Ti Thian-bin yang terkenal dikalangan kangow dengan julukan Hun-bin, kiam-khek. “Selama ini dia terlalu meremehkan menghina dan menyakiti aku, kenapa dia memecat guru sekolah, melarang aku belajar nulis dan membaca, melarang siau-hong bermain dengan aku kenapa?"

Teringat siau-hong seketika wajahnya cerah, tahu - tahu dia tertawa riang, seolah-olah air mengalir jernih didepannya berobah menjadi sepasang bola mata Siau-hong, bola mata besar dan bundar tengah berkedip mengawasi dirinya.

Dia memang harus dikasihani, sejak kecil dia sudah ditinggal mati Toa- cengcu, Ji-cengcu juga terlalu memanjakan dia seperti seorang ratu layaknya. Meski nakal tapi dia amat penurut..." entah mengapa dia cekikikan geli sendiri, mendadak sepasang benda lunak dan halus menutup sepasang matanya, semula dia berjingkat kaget tapi begitu dia pegang segera dia tertawa lebar katanya: "He dari mana datangnya kera liar senakal ini, awas ya, nanti kubekuk dan kuhajar pantatnya."

Sengaja dia menggoda, maka terdengar lah cekikikan tawa bingar, maka benda yang menutupi matanyapun terlepas. "Ping-koko, kau jahat aku emoh dolan dengan kau"

Lekas Ping-ji berpaling, dibelakangnya berdiri seorang gadis berusia empat belasan, berpakaian gaun panjang warna kuning angsa, wajahnya nan jelita bersemu merah, sungguh semekar kembang anggrek. Bola matanya yang jeli berkedip. wajahnya berseri tawa, sambil menunduk malu dia main - main dengan sepasang kuncir rambutnya yang menjuntai didepan dadanya.

"Ow, Siau-hong, sungguh mampus. Aku tidak tahu kalau kau. Maaf ya, biarlah aku minta maaf kepadamu," Sembari bicara dia merangkap tangan serta membungkuk tubuh. "He, indah benar kembang - kembang ini, wangi semerbak, apa boleh berikan kepada aku." Ternyata gadis jelita ini membawa keranjang kembang yang berisi berbagai jenis bunga mekar. "Lha, kau menggoda lagi, biarlah aku tidak mau bermain dengan kau." Demikian omel gadis cilik sambil membanting kaki, keranjang diangkat putar tubuh terus lari.

Karuan Ping-ji gugup, lekas dia mengudak seraya berkaok- kaok: "Siau-hong, Siauhong, jangan lari, aku hanya berkelakar saja."

cemberut mulut Siau-hong, sambil menunduk dia meluruskan kepala tanpa bersuara. Akhirnya dia menggerutu: "Kau memang jahat, biar nanti kulaporkan kepada Bwe-nio."

"Alah Siau-hong, sudah jangan marah, mari kuceritakan suatu lelucon. Sudahlah jangan marah lagi."

Walau masih geleng kepala, tapi wajahnya masih kelihatan bahwa dia hanya pura-pura marah saja. Maka Ping-ji tertawa senang, Siau-hong digandengnya kepinggir kali lalu duduk berendeng.

"Siapa bilang mau mendengar Ceritamu." Kata Siau-hong setelah duduk, lekas dia menutup kuping serta memejam mata.

"Dahulu..." dengan tersenyum Ping-ji mulai Ceritanya, batuk-batuk dua kali lalu melanjutkan, "ada seorang kakek. bernama Lo-lay-cu, usianya sudah lanjut, tapi ia amat berbakti terhadap orang tua, waktu itu sepasang orang tuanya yang masih hidup sehat... pada suatu hari, entah mengapa mendadak kedua orang tuanya tidak gembira, sudah tentu Lo- lay-cu amat gugup... maka dia mencari akal, dicarinya sepasang perangkat pakaian anak-anak, jenggot-nya terima dicukur kelimis, sambil memikul dua gantang air hendak membuat lelucon dihadapan orang tuanya..."

"Eeh, kenapa tidak kau lanjutkan cerita mu?" Entah sejak kapan siau-hong sudah menurunkan kedua tangannya, asyik mendengarkan ceritanya, tiba-tiba dilihatnya dia berhenti bercerita, maka dia menoleh dengan pandangan heran. Dilihatnya Ping-ji menengadah, menatap mega yang mengambang di angkasa, air mata berkaca- kaca dipelupuk matanya. Dengan mendelong siau-hong ikut memandang keatas, tiba-tiba dia menjerit kaget: "Ping koko lekas pulang. Jelas mau hujan."

Dengan kaget Ping-ji berjingkrak seraya menenangkan hati, waktu dia mendongak, di lihatnya mega semakin mendung, cuaca makin gelap. sebentar lagi akan jatuh hujan. Lekas dia melompat berdiri serta menarik siau-hong diajak lari kencang.

Belum jauh mereka lari halilintar dan geluduk menggelegar hanya sekejap hujanpun seperti ditumpah dari atas langit, membasahi bumi, merekapun menjadi kuyup, namun mereka terus lari kencang, akhirnya berhenti di bawah sebuah pohon besar..

Ping-ji mengawasi siau-hong, dilihatnya orang sedang keluarkan sapu tangan membersihkan air hujan dikepala dan dimukanya, napasnya masih sengal-sengal, pakaiannya sudah basah kuyup, Lalu diapun memeriksa diri sendiri, akhirnya dia tertawa menyengir sendiri, karena diapun sudah basah kuyup,

Hujan datangnya cepat, perginya juga cepat, hujan lebat sudah reda menjadi hujan gerimis. Lekas Ping-ji tarik siau- hong dan berlari-lari pula menuju kegundukan tanah tinggi, tampak tak jauh didepan terdapat sebuah perkampungan. Dikeremangan hujan gerimis, pagar tembok yang tinggi berwarna putih tampak menyolok. lekas sekali mereka sudah tiba didepan perkampungan.

Diatas jembatan gantung berdiri banyak orang, diantara para Centing yang mengiringi, tampak seorang pemuda berwajah agak kurus berdiri paling depan, wajahnya halus dagunya lancip. tampangnya boleh dikata amat ganteng, tapi sepasang bola matanya jelalatan, sehingga orang akan mengambil kesan bahwa pemuda ini bersifat bajul dan licin, dia bukan lain adalah Ti Thian-bin.

Melihat siau-hong, Ti Thian-bin segera menyongsong maju dengan tawa lebar, munduk-munduk dia berkata: "Haya Hong moay, Kemana sih kau, kenapa tidak bilang kepadaku- Rumah sedemikian besar kau justru suka dolan diluar. Coba pakaianmu basah bagaimana kalau demam ?" lalu dia berpaling dan membentak: "Hayo tugas siapa, lekas bantu siocia kebelakang," Lalu berkata pula dengan siau-hong sambil menyengir tawa munafik, "Hong- moay, lekas masuk tukar pakaian."

Seorang nenek berdandan bu inang bergegas lari keluar membawa handuk mengeringkan rambut siau-hong yang basah, dengan prihatin dia mengomel, "Kau memang nakal nak, tidak mau dengar nasehat ku. Kemana sih kau, sampai basah kuyup begini, jikalau demam, bagaimana aku harus bertanggung jawab kepada pamanmu. Hayo-lah lekas masuk."

"Bwe-nio, aku hanya dolan dipinggir sungai bersama Ping- koko kok." Dengan lincah siau-hong melepas kuncirnya lalu berkata riang dan aleman: "Ping-koko, selamat bertemu." Diiringi orang banyak segera dia lari mendahuli lari kedalam.

Sejenak Ti Thian-bin mengantar bayangan mereka pergi, wajahnya yang semula berseri tiba-tiba berobah menyeringai, begitu dia membalik badan "plak" kontan dia memberi persen kemuka Ping-ji dengan gamparan keras. Lima jari merah

seketika membekas dipipi Ping-ji. "Hm, setan cilik yang ingin mampus. Berapakali kuperingatkan kepadamu, tidak boleh bermain dengan siau-hong, kau tetap bandel. Baiklah, aku ingin membuktikan apakah kau punya tiga kepala enam lengan, atau makan empedu harimau, berani menentang perintahku." sekali renggut dia jambak rambut Ping-ji serta ayun sebelah tangannya menampar pergi datang, hingga pipi Ping-ji membengkak merah biru. "Katakan, katakan. setan keparat, berdasar apa kau berani menentang perintahku, katakan." sebelum mengakhiri kata- katanya kembali dia menampar dua kali dimuka Ping-ji, karena rambutnya dijambak kencang Ping-ji tidak mampu bergerak. darah bercampur liur meleleh membasahi dadanya.

Dengan gusar dia menatap Ti Thian-bin, dilihatnya Ti Thian-bin seperti dirasuk setan, matanya melotot gusar, kelihatan betapa kejam, jahat dan buas hatinya.

"Cuh" riak kental disemburkan kemuka Ti Thian-bin. "Bocah sundel, kau cari mampus. Aku Hun-bin-kiam-khek Ti Thian-bin kalau tidak mampu merobohkan kau, sia-sia aku hidup  sebesar ini, maknya sundel. Hiiya..." karena ludah kental itu membasahi muka, Ti Thian-bin makin mencak-mencak gusar, jarinya segera menyodok kebawah ketiak Ping-ji.

Kontan tubuh Ping-ji bergetar seperti kena stroom, kaki tangannya seketika meringkel seperti trenggiling.

Saking gusar dan malu tidak segan-segan Ti Thian-bin turun tangan kejam menutuk dengan Jong-jiu-hoat kepada bocah lemah yang masih hijau ini, padahal Ping-ji tidak pandai main silat dan tidak pernah berlatih Iwekang.

Melihat betapa Ping-ji menderita, Ti Thian-bin tertawa puas. "Keparat, nikmat tidak. Hahaha, mana kegaranganmu tadi, Ha"

Daging dimuka Ping-ji kelihatan mengejang, bibirnya tergigit kencang. Darah terus merembes dari mulutnya yang terkancing, agaknya dia mengalami siksa derita yang tidak terhingga, tapi dia tetap tabah dan sekuatnya menahannya, tidak mengeluh atau merintih, hanya menggertak gigi erat- erat. biarlah darah yang bercucuran mewakili rasa gusar dan penasaran.

"Hahaha, setan cilik, Hari ini sampai di sini, kuberi ampun kepadamu, lain kali kepergok lagi kau bermain dengan siau- hong, akan kuhajar dan kusiksa kau lebih payah lagi. Bocah haram yang tidak punya bapak ibu, berani kau bergaul dengan nona cantik anak orang gedean. cuh." Melihat bola mata Ping- ji terbeliak. napasnya juga tinggal empas empis, kembali Ti Thian-bin tertawa puas, dengan gemas dia membanting keatas tanah serta menendangnya sekali lalu mengebas lengan baju tinggal pergi.

Entah kapan hujanpun telah reda. Tanah becek dijembatan gantung bercampur dengan darah Ping ji, Ping-ji masih rebah disana menggelinjeng kesakitan, saking menderita tak tertahan dia merintih- rintih. Apakah dia merintih karena siksa derita atas tubuhnya, bukan, jelas bukan. Walaupun kondisi badannya yang lemah sudah tidak kuat menahan derita ini, tapi penghinaan yang memukul lahir batinnya,jauh lebih menyiksa sanubarinya. Maka dia merintih, merintih penuh siksa derita.

Darah, air mata, air keringat dan air hujan mengotori muka dan badannya, dia tidak membersihkan, dia hanya meluruskan pandangan, mengawasi langit yang sering berobah dan  mudah berobah.

Dilihatnya seekor elang terbang melayang berputar lalu menuju keselatan. Terbang, setelah melihat burung elang itu, suatu ilham merasuk sanubarinya, maka bergemalah suatu semboyan didalam relung hatinya, terbang, ya terbang, terbang ketempat nan jauh, mencari jalan hidupku sendiri Aku harus terbang, terbang meninggalkan tempat nan penuh derita ini, terbang jauh meninggalkan kawanan orang-orang jahat itu." Demikian sambil kertak gigi Ping-ji bertekad bulat.

"Tapi, bagaimana dengan siau-hong. Dia begitu arif bijaksana, begitu lincah, jenaka dan nakal lagi. Ah, orang- orang di sini sebetulnya juga baik-baik, hanya keparat Ti Thian-bin saja yang jahat, tanah perdikan di sini seharusnya subur semerbak, di sini pernah memendam kenangan indah masakanak-kanaknya dulu. Aku benci orang jahat, manusia rendah dan munafik, perbuatan kotor dan martabatnya yang rendah sungguh telah mengotori tanah perdikan yang bersih ini."

"Pergi, aku harus pergi, entah mencapai ujung langit, aku harus menemukan Ji-cengcu, akan kulaporkan kepadanya tentang keadaan di sini, aku akan mencari ayah bundaku, meski harapannya terlalu kecil...

"Aku akan kembali, pasti pulang kemari aku akan pulang dengan gagah dan berani, kala itu orang jahat akan kuberantas, supaya tanah perdikan ini memancar kembali lebih subur dan wangi... "

Berbagai angan-angan, keputusan dan ketekadan bulat yang tak terhitung banyaknya emayam dalam relung hatinya, dia mengayun tinju, merangkak berdiri, tapi gelombang akit yang luar biasa menjadikan kaki tangannya seperti protol dan tak bertenaga, rasa sakit itu merayap keseluruh tubuh, bau anyir darah kembali memenuhi tenggorokan. Namur-dia kertak gigi, bertahan sekuat tenaga supaya tidak tumpah dan menegakkan tubuh, dengan langkah sempoyongan dia meninggalkan tempat itu, dengan langkah lebar...

Sehabis hujan bumi ini menjadi becek. bagian yang lebih rendah malah tergenang air hujan bercampur lumpur. Lumpur menciprat tubuhnya, tidak dihiraukan, namun dengan langkah tertatih-tatih dia terus maju kedepan, tidak menoleh juga tidak berhenti.

Habis hujan terbitlah terang, sejauh mata memandang udara nan biru cerah cemerlang, mega putih laksana kapas, melayang diufUk langit. Akhirnya Ping-ji berhenti diatas sebUah lereng. Dibawah sana rumput tumbuh subur menghijau, air sungai mengalir lembut kearah timur, dia menghirup napas segar, semangatnya menyala, entah dari mana datangnya tenaga segera dia menerjang kebawah. Diatas batu hijau dipinggir sungai, menggeletak sejilid buku. Buku yang basah setelah mandi air hujan, tulisannya menjadi banyak luntur. ujung atasnya juga kotor, dengan rasa sayang Ping-ji memungut bukunya serta membersihkan kotoran terus disimpan kedalam sakunya.

Air sungai nan jernih, mengalir gemericik, pelan-pelan dia membungkuk tubuh, dengan kedua tangan dia membersihkan rambut dan kepalanya didalam air, cuci muka dan membersihkan noda-noda darah diatas tubuhnya...

Surya sudah doyong kebarat, menjelang magrib, sebelum masuk peraduan, sang surya masih memancarkan cahayanya nan kuning emas. Dijalan raya menuju ketimur, bayangan seorang kurus tengah berjalan tertatih-tatih. Kepalanya kotor oleh pasir, wajahnya juga menampilkan rasa capai, tapi bibirnya terkancing rapat, menandakan tekadnya nan besar menunjang keinginannya untuk menceapai sesuatu.

Dari jauh dia sudah mendengar tapal kuda yang berdentam dijalan raya, seekor kuda tampak dicongklang mendatangi, begitu dia berpaling segera berdiri menyingkir kepinggir jalan. sebuah kereta ditarik dua ekor kuda cepat sekali lewat didepannya, kusir kereta mengayun cemeti "Tar." Kuda berlari lebih kencang meninggalkan gumpalan debu kuning. sekuning sinar surya terakhir yang menerangi bumi. Hidup diutara jauh berbeda dengan di Kanglam.

Sebuah kota kecil didaerah Kanglam, karena letaknya kebetulan dipusat persimpangan, arus lalu lintas simpang siur keluar masuk kota, entah pedagang, pihak yang berenang, pelancongan, anggota perkumpulan, tamu-tamu gelap dan rombongan orang-orang Kangouw sering berkumpul di kota kecil ini. Kotanya kecil tapi kebersihan terjamin, jalan raya yang berlandas balok-balok batu tampak lebar dan rata, deretan rumah-rumah penduduk nan megah dan rapi menandakan kehidupan penduduk kota ini cukup makmur.

Rumah-rumah makan, hotel dan toko-toko berderet sepanjang jalan raya ini, merek toko dan iklan dagangan nama berkibar ditiup angin diatas galah yang tegak didepan rumah, sehingga pemandangan sepanjang jalan raya ini berbeda pula dengan kota-kota lain, lebih menyemarakkan suasana pasaran didaerah Kanglam.

Terutama menjelang magrib begini, paling ramai adalah hotel atau penginapan yang menerima tamu. serombongan kereta dari suatu perusahaan ekspedisi atau piaukiok tiba di kota kecil itu dan memasuki sebuah hotel langganan, maka suasana menjadi riuh rendah, tata usaha, para pelayan, demikian pula pihak kasir menjadi repot oleh tugas masing- masing .

Beberapa ekor kuda besar gagah akhirnya berhenti didepan sebuah hotel, beberapa lelaki berdandan piausu berlompatan turun dengan gerakan enteng lincah.

"Ha, Liu-toa-piautau, banyak capai sepanjang jalan, lekas silakan masuk. silakan masuk." sang Ciangkui, pemilik atau direktur hotel keluar menyambut sambil menjura dan berseri tawa.

"He, Li-toa-piauthau, kaupun datang, tentu capai ditengah jalan, silakan." para pelayan beramai maju menerima kuda tunggangan para piausu. "Ha, Ci-piausu sudah lama tak ketemu."

"Hei, siau-mo. siau-gi. Lekas tuntun kuda kami kedalam, jaga dan rawat hati-hati beri rumput segar, sikat yang bersih."

Diiringi sang ciangkui, rombongan piausu itu berbondong masuk kedalam hotel, sementara diluar orang-orang masih sibuk menyeret kereta barang masuk kehalaman serta membongkar muatannya.

Kalau para pelayan dan kuli-kuli bongkar sedang sibuk bekerja, dibelakang dibagian istal petugas juga tidak kerja ringan, maklum kuda-kuda itu baru saja menempuh perjalanan jauh badannya berkeringat dan kotor, hingga mereka yang membersihkan cukup payah juga, kuda sebanyak itu tapi hanya Thio Toako dan siau-gi saja yang memandikan menyikat dan membersihkan kuda-kuda itu, hingga hari hampir petang baru tugas mereka berakhir, tapi masih harus memberi makan rumput-rumput segar lagi. suasana ramai lambat laun mulai sirap setelah pekerjaan usai. siau-gi masih sibuk menimba air mengisi bak, setelah air penuh dia berdiri meliuk pinggang menggerakkan kaki tangan melepas lelah, siau-gi adalah pemuda tanggung, berwajah cakap dengan hidung tegak, alis berdiri, sorot matanya jernih hanya bibirnya sedikit tebal. Pemuda ini bukan lain adalah Ping-ji yang nekat minggat dari Kui-hun-ceng dan berkelana di Kangouw.

Dengan lengan baju dia membersihkan air dan keringat diatas jidatnya, lalu menarik napas panjang, lama dia melamun mengawasi permukaan air. Masih segar dalam kenangannya, disuatu tempat lain dan dimasa yang lalu, diapun pernah duduk termenung mengawasi air, dia tengah membersihkan rambut kepala dan mukanya. sekujur badan yang berlepotan darah. Rasa perih yang menyengat kulit badannya karena siksa derita yang keluar batas, tapi dia kuat bertahan, karena tekad telah bersemayam dalam benak nya, maka dengan langkah sempoyongan dia mulai menempuh perjalanan, membuka lembaran baru...

Dia tidak tahu kemana dia harus pergi, tapi dia pernah bersumpah meski harus menjelajah dunia, diapun rela menderita hid up dirantau, maka dia menyusuri jalan raya menuju kehari esok dan penuh harapan. Walau sepanjang perjalanan tidak sedikit aral rintang dan kesukaran yang pernah dia hadapi tapi dengan segala ketekadan bulat dia terima semua ujian hidup ini dengan dada lapang dan penuh pengertian. Ada kalanya bila bertemu rombongan kereta dia mohon menumpang, pernah ditolak. tapi tidak sedikit pula orang-orang baik hati yang mau mengantarnya ketempat tujuan.

Kantongnya tidak pernah terisi uang sepeserpun, tapi dia tidak sudi minta sedekah maka sepanjang jalan dia suka bekerja menjual tenaga untuk memperoleh sesuap nasi, setelah memperoleh upah dan dikumpul cukup banyak, dia melanjutkan perjalanan, tak jarang dia dihina, dihajar dan dicaci maki oleh kawanan bajingan atau para majikan yang kikir dan galak, tapi tanpa komentar dia terima semua itu dengan hati damai dan tentram.

Dia digebuk, dihajar bukan karena dia malas, selama hidup dia tidak pernah kenal apa itu malas, tapi entah kenapa setiap dia melakukan kerja yang cukup berat, sekujur tubuh lantas kesemutan, sakitnya seperti di gigiti ribuan semut, lalu kepala pusing tujuh keliling dan jatuh pingsan, karena itu tidak sedikit pecah belah umpamanya yang jatuh berantakan, atau masih banyak pula sebabnya...

Dia masih ingat, di waktu dia masih jadi gelandangan, karena hari sudah petang dia tidak mendapatkan tempat untuk istirahat. Terpaksa dia bermalam didalam hutan yang belukar. Malam itu hawa dingin, angin menghembus kencang, hingga dia menggigil tak bisa tidur hampir tubuhnya beku, syukur sang fajar telah menyingsing, dia melanjutkan perjalanan pula, tapi setelah siang tiba, dia merasa dirinya seperti ditindih benda ribuan kati, kerongkongan kering, tubuh panas seperti dibakar. Akhirnya dia roboh terkulai tak ingat diri.

Bila dia siuman, didapatinya dirinya rebah dirumah seorang petani, seorang nyonya setengah baya memberitahu kepadanya, bahwa dia pingsan dipinggir jalan, nyonya itulah yang menolongnya. Tapipenyakitnya cukup berat, maka nyonya setengah baya istri petani mengundang tabib untuk memeriksa dan memberi obat.

setengah bulan kemudian, penyakitnya baru mulai sembuh, tabib bilang dia pernah terluka dalam karena tidak diobati hingga luka-luka itu makin parah, apalagi setelah terserang demam, hingga dia jatuh sakit cukup parah. Untung tabib itu lihay dan menemukan sumber penyakitnya, kalau terlambat dia juga tidak mampu menolongnya lagi, oleh karena itu terpaksa dia menetap dirumah petani itu untuk beberapa lamanya.

Dari percakapannya dengan nyonya petani diketahui bahwa suami nyonya petani dulu adalah seorang tokoh Kangouw yang kenamaan, suatu ketika karena memenuhi undangan seorang musuh, sejak itu dia tidak pernah kembali, membawa putranya yang masil kecil kemana-mana dia mencari sang suami, tapi tak lama kemudian, putranya yang masih kecil itupun ikut hilang karena sedihnya hampir saja dia menjadi gila...

Untung seorang tuan tanah yang baik hati mau menerima dirinya, maka dirumah tuan tanah itu dia diangkat menjadi pengurus rumah tangga, tapi tidak lama dia minta berhenti, dengan jerih payahnya sendiri dia bercocok tanam.

Entah berapa banyak hari telah berselang, dengan penuh harap dia berdoa suatu ketika supaya bisa bertemu dengan putranya pula, tapi sampai sekarang dia tetap kecewa, waktu dia menemukan Ping-ji, dia kira putranya itu telah kembali, karena wajah Ping-ji adalah begitu mirip dengan putranya itu, tapi usia putranya lebih tua...

Penuh perhatian Ping-ji mendengarkan cerita nyonya itu, diapun ikut mencucurkan air mata, karena barujuga karena sedih, sikap dan tutur kata si nyonya betul-betul melambangkan betapa kasih sayang seorang ibu terhadap putranya, pada hal sejak kecil dirinya justru tak pernah mengecap cinta ibunda.

Akhirnya giliran. Ping-ji menceritakan riwayat hidupnya, nyonya itupun bercucuran air mata serta memeluknya dengan penuh kasih sayang. diwaktu dia memberitahu cita-citanya, nyonya itu tertawa riang, karena sejak itu nyonya petani itu menjadi ibu angkatnya.

Dua bulan kemudian baru dia sembuh betul-betul. dia berkukuh dengan cita-citanya semula, tetap akan melanjutkan perjalanannya. ibu angkatnya menahannya dengan berbagai alasan dan cara, tapi dia kukuh pendapat, tekadnya tidak tergoyahkan, akhirnya dia berjanji, setelah dia menemukan ayah bundanya, pasti akan datang menjemputnya. Apa boleh buat terpaksa nyonya petani itu mengantarnya keluar pintu.

Dia catat didalam hati bahwa suami nyonya petani itu bergelar Tiong-siau-kiam-khek Suma Liang, putra mereka bernama suma Ling-khong. Dia bersumpah datang suatu ketika, pasti dapat menemukan mereka dan membawanya kehadapannya.

Didalam kehidupannya selanjutnya, boleh dikata kerja apapun pernah dilakukan, walau pada pihak tertentu suatu kerja itu sering dipandang rendah dan menjijikan, tapi dia berpendapat asal aku bekerja dan memperoleh imbalan secara halal, hasil dengan jerih payah dan cucuran keringatku sendiri, itulah tujuan hidup nan suci dan agung...

Pernah dia bekerja di piaukiok sebagai tukang sapu dan kerja serabutan apa saja, dari mulut para piausu yang kerjanya mengukur jalan ke utara dan selatan, dia berusaha mencari tahu nama dan berita Ji-cengcu, tapi dia selalu kecewa, tapi suatu ketika dikala dia menjadi pelayan disebuah hotel, dari percakapan beberapa tamu, dia memperoleh beberapa bahan, diantaranya menyangkut tentang nama Lo Bing-wan, nama Ji cengcu yang sedang dia cari jejaknya.

Pembicaraan itu menyangkut terjadinya suatu berita bahwa Wi-liong-pit-sin mendadak muncul di Kanglam, hingga menggemparkan Kangouw, hingga orang-orang gagah dari berbagai cabang aliran dan perguruan atau golongan berlomba datang ke Kanglam, mereka siap menyelidiki jejak Wi-liong-pit-sin, karena Wi-liong-pit-sin memuat berbagai ilmu sakti yang jarang ada didunia persilatan, ilmu yang selalu dimimpikan oleh seluruh kaum persilatan, siapa berhasil mempelajari ilmu di dalam buku catatan itu, maka dia akan terkenal dan tiada tandingan di kolong langit. Ping-ji berpikir, tak heran Ji-cengcu tergesa-gesa meninggalkan Kui-hun-ceng, mungkin karena diapun mendengar berita munculnya Wi-liong-pit-sin itu, maka dengan buru-buru dia mempersiapkan diri lalu memburu ke Kanglam.

Di kala Ping-ji tiba di Kanglam, tentang Wi-liong-pit-sin tidak pernah dibicarakan orang pula, sudah tentu Ji-cengcu juga belum pernah ditemukan, terpaksa dia terima menjadi tukang cuci kuda di hotel ini, dia yakin suatu ketika dia pasti bisa bertemu dengan Ji-cengcu, entah kapan, itu hanya soal waktu belaka.

Tak lama kemudian, diperoleh pula kabar yang simpang siur, tapi sudah tersiar luas di Kangouw bahwa Wi-liong-pit-sin itu telah direbut seorang aneh dari luar perbatasan. Ada pula yang mengatakan dikala orang banyak sedang memperebutkan Wi-liong-pit-sin tiba-tiba muncul seorang suseng muda, dengan ilmunya yang serba mujijat dia berhasil menundukkan seluruh hadirin serta merebut Wi-liong-pit-sin- Tapi ada pula berita yang mengatakan Wi-liong-pit-sin telah lenyap tak berbekas sejak munculnya seorang perempuan jelita bak bidadari, karena perempuan cantik itu berhasil membantai seluruh lawan-lawannya.

Malah ada pula yang bilang. Bahwasanya didunia ini tidak pernah ada Wi-liong-pit-sin itu, berita yang tersiar luas itu hanya kabar bohong... pendek kata berita simpang siur itu makin meluas dan dipercaya sehingga dunia persilatan makin kacau dan geger.

Tidak jarang pada setiap kesempatan Ping-ji bertanya kepada orang-orang Kangouw yang kebetulan lewat atau ditemuinya, dari berbagai pihak sering dia diberitahu, tapi...

Ping-ji menarik napas panjang lalu menghembuskannya pelan-pelan dengan menengadah, masih tenggelam dalam lamunannya, tangannya meraba-raba mainan kalung dilehernya, dibuat main-main serta dibolak balik. Bulan sabit entah sejak kapan sudah bertengger diangkasa, sinar bulan nan redup terasa lembut, batu putih ditangannya itu tampak bercahaya bening ditimpa sinar bulan, garis lika  liku merah didalam batu seperti bergerak mirip naga, seperti mau menari keluar saja.

Ji-cengcu bilang, ”dari batu jade ini aku dapat menemukan ayah bundaku, tapi kemana aku harus mencari mereka... ”

”Hei, siau-gi. Apa yang sedang kau pikiri, Hari kan sudah gelap.”

Ping-ji tersentak sadar, tampak Thio Toako sedang mendatangi sambil menenteng lampion, mulutnya masih mengoceh: “Dengarkan siau-gi. sejak tadi Ciangkui mencarimu ubek-ubekan, kau disuruh membeli barang. Nah ini, sudah terdaftar di sini, masuklah ambil uang pada kasir, lekas berangkat.” sembari bicara Thio Toako ulurkan secarik kertas. Tanpa bersuara Ping-ji terima lempitan surat itu, setelah membetulkan pakaiannya, dia berkata: ”Thio Toako, sikat sapu dan ember masih ada di sini, belum sempat kubawa masuk, tolong kau bantu aku.”

“Lekaslah pergi, biar nanti aku yang membereskan.”Ujar Thio Toako.

Ping-ji menurunkan lengan bajunya sambil pa mitan, terus beranjak keluar.

Malam telah tiba. manusia sudah pada tidur, jalan raya nan sepi serba gelap lagi , tiada orang berlalu lalang, hanya Ping-ji seorang yang masih bekerja menyusuri jalan. Angin malam nan dingin menyampuk mukanya, pakaiannya melambai, perlahan dia mengh embus napas, lalu mengencangkan pakaian.

Seolah-olah banyak persoalan yang membuat pikirannya ruwet, tapi seperti hampa pula, dia jadi heran entah apa yang sedang dia pikirkan sekarang. Akhirnya dia hanya berjalan menyusuri jalan raya tanpa tujuan, Rembulan masih bertengger diufuk barat, entah sudah berapa banyak malam, seperti sekarang ini dia mendar mandir...

Ditengah keremangan malam, dalam jarak tertentu dia masih bisa melihat keadaan didepannya, tiba-tiba dia berjingkat dikala melihat bayangan hitam yang bergerak tak jauh didepannya, bayangan itu tampak terseyot-seyot, setelah tenangkan diri lekas Ping-ji memburu maju.

“Bluk” bayangan didepan itu tiba-tiba tersungkur jatuh. saking kejut lekas Ping-ji menubruknya serta memapahnya. Begitu memeluk tubuh dan melihat tegas wajah orang, seketika dia tertegun, orang ini mandi darah, wajahnya bulat panjang. alis tebal, mengenakan jubah hitam, sekujur badan berlepotan darah. Aneh adalah batok kepalanya ternyata besar, lebih besar dari manusia biasa, lalu pula sepasang matanya ternyata sipit seperti mata tikus,juling, sekitar bibir, sepanjang dagunya tumbuh jenggot pendek kasar, bibirnya boleh dikata tidak kelihatan, tapi giginya yang besar-besar tampak warna kuning, darah juga tampak meleleh dari mulutnya, sekujur tubuh gemetar seperti menahan sakit.

Belum pernah Ping-ji melihat keadaan orang seperti ini, dia gugup dan bingung, sambil menunduk dia bertanya: “Lo-tiang, lotiang, kenapa kau ?”

Sesaat kemudian orang aneh itu mulai menggerakkan tangan, suaranya lemah dan lirih: ”Air, . berikan air... aku .. air dahaga... ”

Sudah tentu Ping-ji makin gelisah, saking bingung dia hanya menggosok-gosok tangan. Malam sudah larut, gelap lagi, berada diluar kota pula, kemana dia harus mencari air.

Orang aneh itu bergerak lagi, tubuhnya gemetar dan mengejang, tangannya seperti mencakar-cakar, lekas Ping-ji menunduk dan bertanya pula: “Lotiang, apa yang kau  inginkan ?" Keadaan orang aneh agaknya lebih sadar, pikiran agak jernih, maka dia ulur jarinya menuding kedalam bajunya. Ping- ji pikir orang minta dia mengambilkan sesuatu didalam bajunya, maka dia ulur tangan merogo kekantong baju si orang aneh, terasa dia meraba tempat basah dan lengket, ternyata orang aneh ini tidak mengenakan pakaian dalam, akhirnya tangannya menyentuh suatu benda bulat, setelah dirogoh keluar, ternyata sebuah botol porselin putih mungil.

Ping-ji tidak tahu benda apa itu, waktu dia menoleh, dilihatnya sorot mata orang aneh tampak riang dan menyala, dia manggut- manggut maka Ping-ji ulur tangannya menyerahkan botol itu

Bergidik sekali orang aneh menggerakkan tangannya yang gemetar menerima botol itu, pelan-pelan dengan kedua tangannya yang gemetar dia membuka tutup botol mengeluarkan dua pil warna hitam terus ditelannya, sejenak kemudian dia meronta berduduk serta memejamkan matanya beristirahat.

Sepanjang perantauannya tidak sedikit pengalaman yang diperoleh Ping-ji dia tahu orang aneh yang berdandan aneh ini sedang samadi mengerahkan Lwekang, maka setelah menghela napes dia berdiri.

Angin dingin ditegalan terasa dingin menyampuk mukanya. Ping-ji sedikit menggigil, mau pulang dla kuatir akan orang aneh yang terluka parah ini, maka diwaktu dia menoleh pula dilihatnya orang aneh itu sudah membuka mata sedang memandangnya lengang. Ping-ji melongo, sesaat dia ragu- ragu lalu menggeleng kepala.

Agaknya orang itu juga melengak. maka tatapannya lebih aneh dan tajam, melihat tatapan orang mengandung tanda tanya, lekas Ping-ji menjelaskan: “Terus terang Lotiang, Wanpwe punya kesukaran yang tak boleh kubicarakan, karena... ” Maka dia menceritakan sebab musababnya menjadi gelandangan serta riwayat hidupnya secara singkat. Dikala dia membica rakan tujuannya mencari Ji-cengcu serta mendengar berita tentang munculnya Wi-liong-pit-sin, dilihatnya rona muka orang itu berobah, kulit mukanya berkerut-kerut serta bergidik sekali.

Lekas Ping-ji ulur tangannya terasa tangan dan tubuh orang dingin, karuan dia kaget serunya: “Lotiang, apa kau kedinginan ? Istirahat sebentar, biar aku masuk kota mencari kereta, bagaimana ?”

Orang itu geleng-geleng, katanya setelah menghela napas:“Takdir, sudah takdir..”

Ia merandek sejenak lalu berkata kepada Ping-ji: “Nak, kau tahu siapa aku ?” Tiba-tiba dia mengejang pula, meski sudah kertak gigi tapi giginya masih berkerutukan, sesaat dia memejam mata, baru mulutnya menggumam pula: “Ai, sungguh tak nyana pukulannya itu ternyata begini lihay.”

Ping-ji diam saja sambil mengawasi penuh kuatir, setelah menghela napas lega baru dia berkata pula: “Lohu takkan lama lagi hidup didunia ini, ada sesuatu pesan akan kuberikan kepadamu, kuminta kau dapat melaksanakan.” suaranya cemas tapi penuh harap.

Bercekat hati Ping-ji, katanya: “cianpwe, jangan kau bilang demikian. Marilah kupanggul kau kekota. Dikota ada tabib yang dapat mengobati penyakitmu, dulu banyak piauthau yang terluka minta pertolongannya... “

Orang itu ulur tangannya mencegah, katanya menggeleng: “Tidak berguna, jangan kau bicara lagi. Lekas, jawab pertanyaanku, apakah kau berani berjanji akan melaksanakan pesananku ?"

Mendengar nada orang tegas, wajahnyapun menahan derita, tak tega hati Ping-ji, setelah ragu sejenak akhirnya dia manggut dengan tekat membulat, katanya: “Asal Wanpwe bisa melakukan, kegunung golok atau lautan apijuga pasti kulakukan.”

Orang itu sudah hampir tak sadar, mendengar jawabannya, manggut- manggut, setelah menghela napas mengulur tangan merogoh kantong seperti menggagap apa-apa, sesaat lamanya baru dia mengeluarkan selembar sapu tangan, warna sapu tangan itu sudah luntur, agaknya sudah lama sekali dipakai atau disimpan, namun masih ada bekas-bekas coraknya, sapu tangan inipun berlepotan darah, cuma sudah kering dan berobah hitam.

Dengan heran Ping-ji mengawasi saja, tampak siorang  aneh mendekatkan sapu tangan kemulutnya, lalu  menggumam pula: “swat-bwe, Kau sudah datang. Aku... aku tak pernah melupakan kau...” mendadak cahaya berkelebat dimatanya, suaranya berobah panik setengah berteriak: “Hah, kau... kaupergi... swat-bwe, kau... “ lama kelamaan sorot matanya membulat, lengang dan kaku mengawasi Ping-ji, mulutnya menggumampula “swat-bwe, dia.. swat-bwe sudah mati...”

Tampang orang ini memang aneh dan ganjil, tapi ternyata mencintai seorang perempuan sepenuh hati, timbul rasa simpati Ping-ji dan kasihan, jelas sapu tangan ini pemberian seorang perempuan bernama Swat-bwe, namun dia sudah meninggal. maka melihat barang-barang kenangan si orang aneh jadi terbayang pada pemberian. Tapi dia tidak tahu pesan apa yang akan diberikan orang aneh ini kepadanya, maka dia menggoncang badannya serta memanggil perlahan: " cianpwe, cianpwe."

Air mata berlinang, mulut menggumam, badanpun gemetar pula, lekas Ping-ji memeluk orang aneh ini. katanya perlahan: " cianpwe. Sadarlah, kau... "

Tiba-tiba orang itu membelalakan mata, badannya yang gemetarjuga sudah terhenti, lama dia mengawasi Ping-ji dengan heran, tanyanya kemudian: Kau... kau bisa main silat

?"

Ping-ji melenggong lalu geleng-geleng, melihat sorot mata dan sikapnya jujur, orang itu merasa aneh lalu mengamati lebih seksama, tapi mendadak dia mengejang pula terus rebah dalam pelukan Ping-ji.

Begitu tubuhnya menempel tubuh Ping-ji terasa adanya suatu arus hangat merembes kedalam badannya, hawa dingin yang menyiksa dirinya itu seperti tertahan dan tidak mengganas lagi, maka dia tidak berani banyak bergerak. menggelendot ditubuh Ping-ji dia bertanya: ,Kau membawa barang mestika apa, kenapa timbul hawa hangat ditubuh mu

?"

Semula Ping-ji mau menggeleng, tapi dilihatnya si orang aneh tidak lagi menggigil setelah rebah dalam pelukannya, diapun menjadi heran, sesaat dia berpikir lalu mengeluarkan mainan kalung didadanya diangsurkan kedepan orang aneh, katanya: "Aku hanya punya batu putih ini, setiap Wanpwe main-main sering terasa hangat, apa kasiatnya Wanpwe tidak tahu."

Orang itu ulur tangannya, begitu tersentuh tangan memang terasa hangat. hawa dingin yang bersarang ditubuhnya lekas sekali telah tersapu bersih, karuan girang bukan main, serunya: "oh,jadi batu jade putih inilah, dari mana kau peroleh ini?"

Ping-ji geleng-geleng, katanya: "Sejak kecil sudah tergantung dileherku, mungkin batu mulia untuk mengusir setan-"

Orang itu sedang membalik batu itu serta memperhatikan, mendadak dia terbeliak serta berteriak: "Hah, Hiat-liong-ling, kau... " sembari berkata bergegas dia angkat batu itu tinggi diatas kepala terus menyembah beberapa kali mulutnya seperti berdoa: "Cosuya yang terhormat, berkat junjungan Thian yang mulia, Hiat- liong muncul kembail, bangkitnya perguruan kita sudah diambang pintu, walau Tecu sudah tua dan tak berguna, sebelum ajal mendatang, pasti akan bekerja sekuat tenaga demi lahirnya seorang ciangbunjin, membangun kembali usaha besar nan jaya sepanjang masa... " lalu diapun berlutut dan menyembah beberapa kali kepada Ping-ji, serunya: " ciangbunjin yang mulia, Lu Gi-ok murid angkatan generasi kedelapan menyampaikan sembah hormat."

Sudah tentu Ping-ji rikuh dan gugup, serunya kaget: " cianpwe, jangan begitu, ini..."

Habis menjalankan sembah hormat orang itu berduduk serta menghela napas lega, katanya: "ciangbun, ada yang tidak kau ketahui, lencana ini adalah perintah kebesaran dari ciangbunjin Hong-lui-bun turun temurun. Dahulu waktu Kiam- pay-cousu memberi wejangan sudah ditentukan, siapa pegang Hiat-liong-ling dialah ciangbunjin perguruan kita, tak nyana... " setelah menghela napas dia menambahkan, "ciangbun, Tolong papah aku ke sana, ditempat yang tersembunyi, ada urusan besar yang perlu lohu laporkan-"

Melihat sikapnya serius, lekas Ping-ji memapahnya, dipinggirjalan sebelah kiri sana memang terdapat batu-batu yang tersebar luas, maka pelan-pelan dia memapahnya ke sana dan duduk dibelakang sebuah batu besar.

Agaknya orang aneh ini mengalami banyak luka-luka, meski rasa dingin sudah lenyap. tapi sedikit bergerak, luka-luka tambah sakit, darahpun meleleh keluar pula dari mulutnya. setelah minum beberapa pil obat pula dia mulai semadi.

Sesaat kemudian agaknya semangatnya telah agak pulih, setelah batuk-batuk mengeluarkan riak darah baru perlahan dia bersuara: "Beberapa tahun yang lalu... " sikapnya tampak hikmad dan khusuk. maka Ping-ji lekas membetulkan pakaiannya, mendengar sepenuh perhatian, " cikal bakal perguruan kita Thay-hi Siangjin seorang diri mendirikan Hong- lui-bun di Thianlam, waktu itu karena azas tujuan dari perguruan kita mendapat dukungan hingga lekas berkembang d aniaya, dalam masa beberapa ratus tahun merupakan perkumpulan paling besar dan disegani di daerah Thian-lam, murid-muridnya tersebar luas di mana-mana...

Dalam anggaran dasar perguruan ada dicantumkan bahwa cousu sudah menentukan, pemilihan setiap ciangbunjin pada setiap generasi harus dipilih oleh pejabat ciangbunjin itu di antara para murid yang menonjol dan berbakat kepadanya akan diajarkan ilmu sakti perguruan, ketentuan ini harus dilaksanakan dalam jangka tiga tahun sekali, tiba saatnya harus diadakan rapat anggota, menyembah cikal bakal dan seleksi pun diadakan, siapa unggul dialah calon ahli waris ciangbunjin, berkat perlindungan Thian Yang Maha Kuasa, ciangbunjin Hong-lui-bun dari generasi kegenerasi selalu tampil jago-jago kosen sehingga perguruan kita makin berkembang besar. Di mana Hiat- liong- ling yang dipegang ciangbunjin berada, sambutan gegap gempita, masa bersorak menari dan menyanyi...

"Tapi, sayang sekali, di waktu pergantian ciangbujin generasi ketujuh terjadilah suatu peristiwa yang kurang menyenangkan, sejak peristiwa yang tidak menyenangkan itu, Hong-lui-bun makin runtuh dan tak mampu bangkit kembali... "

Orang aneh menghela napas gegetun, lalu meneruskan ceritanya:

"Pergantian ciangbunjin generasi ketujuh juga dilaksanakan sesuai peraturan, murid-murid yang unggul bertanding secara terbuka dihadapan umum, waktu itu ada dua dua murid yang berhasil menjagoi gelanggang maju ke final menentukan siapa lebih unggul, didala m anggaran dasar perguruan sebetulnya ada ketentuan, bagi yang menang tidak boleh congkak, yang kalah tidak boleh patah semangat, dianjurkan untuk berjuang bahu membahu sama-sama bekerja demi kejayaan perguruan. Namun kedua murid itu memang setingkat dan setanding, masing-masing memperoleh kemenangan dalam keahlian sendiri-sendiri, tapi dalam babak terakhir pada dua ratus delapan puluh jurus kemudian, keduanya sama-sama berhenti bertempur, karena keduanya sama-sama terluka... Waktu itu ciangbunjin berdiri serta memberi putusan bahwa murid yang bergelar ciang-kiam-kim-ling sebagai calon ciangbunjin generasi ketujuh dan akan berkuasa dalam perguruan, dia dipilih sebagai pemenang karena luka-lukanya paling ringan. Maka hadirin bersorak sorai, pesta besar di adakan...”

Sampai di sini cerita orang aneh, alisnya bertaut makin dalam, lalu melanjutkan: "Diluar dugaan, malam itu, murid yang kalah itu ternyata minggat membawa lari Wi-liong-pit-sin dan lencana kebesaran ciangbunjin, yaitu Hiat- liong- ling. sudah tentu ciangbun amat murka, seluruh murid segera diperintahkan, diumumkan pula kepada dunia persilatan, apapun Wi-liong-pit sin dan lencana kebesaran ciangbunjin harus direbut kembali... "

Ping-ji melongo, pikirnya: "Ternyata Wi-liong pit-sin adalah pusaka turun temurun dari ciangbunjin Hong-lui-bun- Tak nyana batu putih itupun adalah Hiat- liong ling dari perintah kebesaran mereka. Tapi bagaimana bisa berada padaku ?"

Tengah berpikir orang aneh itu sudah menghela napas, tuturnya lebih lanjut: "Tapi setahun dua tahun telah berselang, sang waktu terus berlalu, Wi-liong-pit-sin dan lencana itu tak pernah muncul dan lenyap tak karuan-

Hong-lui-bun semakin lemah, takpernah bangkit kembali. ciangbunjin generasi ketujuh akhirnya jatuh sakit parah dan meninggal dunia tidak lama kemudian-

Sebelum ajal ciangbun ada pesan "Bila siapa dapat memperoleh Wi-liong-pit-sin dan Hiat- liong- ling maka dia akan diangkat sebagai ciangbunjin diapun mengharapkan sutenya yang minggat mencuri Pit-sin dan Hiat- liong- ling bisa insyaf dan bertobat, kembali ke Thian-lam, dia rela menyerahkan jabatan ciangbunjin ini kepadanya, asal dia mau giat membangun kembali kejayaan perguruan masa lalu.

"Tapi meski berita ini sudah disiar-luaskan, tapi yang diharapkan itu tak pernah muncul. suatu ketika, belum lama setelah ciangbunjin meninggal, seorang murid pernah melihat seorang tua berwajah lesu dan lemah mondar mandir didepan kuburannya, berkeluh kesah dan geleng-geleng, perawakan tubuhnya tampak mirip dengan murid perguruan  yang mencuri Pit-sin dan Hiat-liong-ling itu, waktu itu ada belasan murid yang merubung maju mengoroyoknya, tapi dalam sekejap bayangan orang itu berkelebat beberapa kali, belasan murid itu sudah bergelimpangan roboh, sebelum pergi orang itu menunjukkan sebuah batu putih, itulah Hiat liong-ling, setelah memberi pesan beberapa patah kata terus tinggal pergi...

Setelah orang-orang itu tertolong, mereka lantas terjun kearena Kangouw, tetap mencari jejak orang itu, untuk menemukan Wi-liong-pit-sin dan Hiat- long- ling, tapi orang itu ibarat batu yang tenggelam dilautan, jejaknya tidak pernah muncul lagi .. ,

"Suatu tahun, di kalangan Kangouw pernah  muncul seorang aneh, kejadian kira-kira tiga tahun setelah ciangbun ketujuh meninggal, dengan bekal kungfunya yang tinggi dan aneh, orang aneh itu malang melintang di Kangouw, tiada musuh yang mampu menandinginya, agaknya jiwa orang itu agak nyentrik, setiap turun tangan, lawan-lawannya tidak ada yang ditinggalkan masih hidup, tapi dia bukan suka main bunuh secara sembrono...

Walau demikian golongan hitam dan aliran putih dibuat marah, para pimpinan persilatan amat membenci perbuatannya, karena tidak sedikit murid-murid perguruan besar yang ajal ditangannya, tapi mereka tidak bisa berbuat apa-apa karena orang aneh itu memang memiliki kepandaian luar biasa .. Suatu hari kaum persilatan diutara dan selatan memperoleh kata sepakat untuk menyebar Lick-lim-tiap (undangan kaum persilatan), demikian pula delapan besar aliran persilatan dipimpin pihakSiau-lim mengeluarkan pengumuman, serempak akan mengejar jejak orang itu, tapi jejak orang itu tiba-tiba lenyap tak berbekas. Tapi suatu kali orang aneh itu sedang bertamu dirumah jago catur di San-say, entah bagaimana jejaknya diketahui orang, maka orang banyak meluruk datang mengeroyoknya, setelah bertempur tiga hari tiga malam, gembong-gembong penjahat berguguran- Dibawah keroyokan gabungan delapan besar perguruan silat orang aneh itu berhasil dilukai, tapi lima dari delapan ciangbunjin delapan besar perguruan itu gugur, dua lagi terluka, hanya ciangbunjin Bu-tong-pay saja yang segar bugar, tapi diapun melarikan diri. Di saat-saat terakhir itulah murid-murid Hong-lui-bun juga telah memburu tiba, karena kabarnya orang aneh itu menggunakan Kungfu yang termuat di dalam Wi-liong-pit-sin-

.. tapi bila mereka tiba ditempat kejadian, orang aneh itu sudah lenyap entah kemana... "

Sepanjang ini orang aneh itu bercerita, maka napasnya sengal-sengal, sikapnyapun kelihatan haru dan sedih, setelah istirahat seperlunya dia melanjutkan:

"Karena melihat orang-orang Hong-lui-bun datang, apalagi diapun terluka, maka diapun melarikan diri, tak lama kemudian karena luka-lukanya yang terlampau parah diapun ambruk.

Kebetulan ada seorang gembala, karena diwaktu kecil kekasihnya direbut oleh putra tuan tanah, karena sedih tak mampu menolong kekasihnya dia berniat bunuh diri, dan kebetulan bersua dengan orang aneh itu, terpaksa dia merobah niatnya, menolong orang aneh serta membawanya pulang, sejak itu gembala itu diambil sebagai murid angkat oleh orang aneh itu serta mengajarkan Kungfu kepadanya malah diapun memberi sejilid buku tipis, lalu tinggal pergi... Setelah belajar Kungfu, gembala itu meluruk kerumah tuan tanah serta membunuh putranya, tapi kekasihnya itu sudah keburu bunuh diri karena putus asa dan malu setelah ternoda, saking sedih dia berkelana sambil mencari jejak gurunya untuk ikut mengasingkan diri, tapi setalah dia melanglang buana di kangoaw, orang aneh itu tidak pernah ditemukan lagi."

Sampai disini orang itu mengerut alis serta menggumam pula:" bangsat kejam, mereka turun tangan keji, pakai racun lagi... "

Ping-ji kaget, tanyanya gugup: "ciahpwe apa kau juga keracunan?" orang itu manggut-manggut setelah merintih, menjawab:

"Untuk mencari suhu maka aku mengembara di kangouw..." dari ceritanya tadi Ping-ji lantas tahu bahwa orang aneh ini adalah si gembala itu, maka cerita dia mendengarkan penuh perhatian, "tak pernah aku menemukan beliau, entah bagaimana berita bahwa aku membawa wi-liong- pit-sing telah bocor dan tersiar luas di Kangouw, banyak orang mencari aku, tapi berhasil kugebah pergi...ai, memang salahku sendiri aku terlalu jujur... bicara tanpa tedeng aling aling.

"Suatu hari disebuah rumah penginapan aku bertemu dengan pedagang kulit. Setelah bercakap-cakap kita amat cocok. maka dia mengundangku minum arak.ai, ternyata aku kena tipu... bila aku sadar, setengah guci arak sudah masuk keperut, kontan aku pukul mampus orang itu, tapi dari luar pintu menerjang masuk banyak orang... aku... sambil  melawan melarikan diri... ah... mukanya mengejang dan gemetar. suaranya serak. " Karena racun kumat didalam badan, akhirnya aku roboh dan terkejar seorang mengenakan kedok berhasil memukulku sekali. Kalau... tidak salah itulah pukulan Hian-ping-ciang dari aliran Pak-hay aku tak tahan lagi, karena pukulan itu aku terjungkal roboh, wi-liong-pit-sin pun terebut olehnya. Tapi layap-layap masih kurasakan banyak orang meluruk dan mengerubut dia, bagaimana selanjutnya aku tidak tahu.

"Setelah aku siuman, ditanah rebah banyak mayat tapi Wi- liong-pit-sin sudah lenyap. orang berkedok itupun sudah pergi, maka aku bertahan dan meninggalkan tempat itu sampai disini menggigil.

Siapa nyana Hiat- liong- ling yang sudah lenyap puluhan tahun mendadak muncul kembali Suhu pernah bilang, sejak dia minggat dari perguruan, hatinya amat menyesal dan bertobat, waktu dia mengajarkan Wi- liong ciang kepadaku pernah berpesan wanti-wanti dan menceritrakan kejadian masa lalu, beliaupun menugaskan aku untuk mencari Hiat- liong- ling serta dikembalikan ke Hong-lui-bun diThian-lam. Karena Hiat- liong- ling telah hilang tanpa diketahui waktu dia menempur para ciangbunjin dari delapan besar perguruan silat..."

Kembali dia meneruskan.

"Takdir, ini memang takdir.." orang aneh menggumam pula, "Walau guruku pernah menghianati Hong-lui-bun, bahwa dia mengajarkan Wi- liong- ciang kepadaku supaya aku bantu mengangkat nama besar Hong-lui-bun...ai, siapa nyana Losiu sendiri sekarang... “

Tiba-tiba dia menegakkan badan dan bersikap serius, katanya: ”cosu ada pesan, siapa pegang Hiat- liong- ling dialah ciangbunjin, meski Losiu sudah payah begini, tapi sekuat tenaga akan kubantu ciangbunjin untuk mengangkat kembali kebesaran Hong-lui-bun kita.. ciangbun nah perhatikan, jurus ini dinamakan Llong-kiap sin- gan, jurus ini...” beruntun dia menurunkan tiga jurus.

Jauh diarah kota terdengar ayam jantan berkeluruk. maka kokok ayam pun bersahut-sahutan- Akhirnya fajar menyingsing, bumi mulai benderang, dibela kang batu, dua orang yang duduk berhadapanpun sudah terlihat jelas... mulut orang aneh itu komat-kamit seperti membaca mantra, entah memberi petunjuk kepada si pemuda. tiba-tiba dia angkat sebelah tanganaya menepuk batok kepala si pemuda, mulutnya komat-kamit pula.

Mata Ping-ji terpejam, rona mukanyapun ganti berganti, tiba-tiba seperti mendadak dia mengalami siksa derita yang luar biasa, daging mukanya mengejang dan melonjak-lonjak. Pelan pelan rona mukanya yang semula merah menjadi pucat, dari pucat menghijau lalu bersemu merah pula. Sebaliknya kulit muka orang aneh yang hitam berobah pucat pasi, kulit dagingnya makin kuyu dan kering. Mendadak "Bluk" tubuh orang aneh terkulaijatuh terjengkang. Ping-ji sendiri juga molonjak mumbul...

Mentari mulai memancarkan cahayanya yang terang benderang, hari ini mulai hidup baru...

---ooo0dw0ooo---

Sang surya terus merambat ketengah angkasa, tanpa terasa lohor telah tiba. Di jalan raya, bayangan seorang yang tinggi lencir tengah jalan pelan2. Mentari begitu terik, orang segan keluar rumah, burung2pun tidak kelihatan terbang, dunia serba tenang dan tentram hanya bayangan orang bertopi rumput itu saja yang berjalan menyeret bayangannya.

Didepan sebuah batu pilar dia berhenti, setelah menarik napas panjang, pelan-pelan dia menurunkan topi rumputnya. Kini kita bisa melihat jelas wabahnya, dia bukan lain adalah Ping-ji. Sesaat dia membaca huruf-huruf yang terukir diatas batu, lalu menyeka keringat dengan lengan bajunya, pelan- pelan dia duduk mendeprok ditanah, akhirnya dia menghela napas lega: "Ah cepat sekali, tak terasa musim panas telah tiba."

Duduk melamun Ping-ji terbayang pengalaman malam itu, dikala dia menolong orang aneh itu, dari mulutnya dia mendapat banyak berita, diketahui bahwa Ji-cengcu sudah meninggal, saat itu dia menangis gerung-gerung, menurut cerita orang aneh, dia menyaksikan orang banyak mengeroyok orang berkedok yang merebut Wi-liong-pit-kip dari badannya, diantara pengeroyok itu ada Lo Bing-wan, setelah dia siuman dari pingsannya, diantara mayat-mayat yang bergelimpangan disekitarnya terdapat Lo Bing-wan, sementara orang berkedok itu tidak kelihatan mungkin setelah membantai lawan- lawannya orang berkedok itu lari membawa pit-kip itu. Karena Ping-ji memiliki Hiat-liong-ling dari Hong-lui-bun, maka orang aneh yang menginsyafi-jiwanya takkan lama lagi, segera dia turunkan ilmunya kepada Ping-ji, diajarkan pula cara bersamadi meyakinkan Lwekang, terakhir dia kerahkan seluruh tenaga yang dilatihnya puluhan tahun disalurkan ketubuh Ping-ji hingga dia sendiri mati dengan tubuh kuyu kering.

Dengan menahan sedih Ping-ji mengubur orang itu, lalu dengan tekad bulat dia menempuh perjalanan- Dia berpendapat seorang laki-laki harus punya pambek dan pambek itu berada di empat penjuru, maka itu dia sadar tak boleh dirinya terima menjadi kacung dihotel melulu, Ji-cengcu yang hendak dicarinya sudah ajal, sementara batu putih sebagai tanda pengenal untuk menemukan ayah bundanya ternyata juga adalah, medali kekuasaan tertinggi Hong-lui- bun, ini menambah rasa bimbang hatinya, tak tahu bagaimana dia harus menyesuaikan diri. Apalagi sebelum ajal orang aneh juga berpesan supaya dirinya giat berusaha membangkitkan pula kebesaran perguruan Honglui-bun, menuntut balas sakit hatinya, merebut balik Wi-liong-pit-sin. Maka dia bersumpah, dia akan menemukan orang berkedok itu, menurut keterangan orang aneh, orang itu menggunakan Hiat-ping-ciang dari aliran Pak-hay. Dia tidak tahu perguruan apa dan di mana Hian-ping-ciang itu, tapi dia yakin suatu ketika dirinya pasti dapat menemukan jejak musuh. Banyak persoalan bergelut dalam benaknya, tapi satu persoalan utama sudah tetap dalam benaknya, dia pikir dia harus pulang dulu ke Kui-hun-ceng, dulu dia pernah berjanji akan menemukan Ji-cengcu serta membawa pulang, tapi Ji- cengcu sudah meninggal maka dia berangkat menuju ke Kui- hunceng. Sepanjang jalan dia giat berlatih tiga jurus yang pernah dia pelajari dari orang aneh serta cara samadi meyakinkan Lwekang. Setiap kali dia usai latihan, terasa semangatnya makin bertambah, maka dia makin meresapi betapa besar dan berat tugas yang dipikulnya...

Seolah-olah bayangan orang aneh nan arif itu muncul didepannya, dengan tekad bulat dia angkat sebelah tangannya serta berkata: "cianpwe, legakan hatimu. Aku pasti berbuat menurut pesanmu."

Sambil membanting kaki bergegas dia melompat berdiri. Dari tulisan diatas batu ini dia tahu tak jauh kedepan lagi adalah Bu-tong-san yang tersohor dikolong langit. Puncak tinggi yang menjulang menembus mega terpampang didepan mata, maka terbayang olehnya di waktu orang aneh itu seorang diri melabrak delapan Ciangbunjin dari perguruan besar itu, tanpa terasa jiwa ksatrianya membara, maka sambil melangkah maju matanya menjelajah sekelilingnya, sepanjang jalan ini adalah deretan pohon-pohon entah apa namanya, tiba-tiba tergerak hatinya, segera dia melangkah kearah hutan- Dibalik hutan adalah sebidang tanah lapang nan luas. sejenak dia bimbang, akhirnya dia duduk bersimpuh lalu mulai bersamadi.

Sekonyong-konyong Ping-ji mencelat mumbul seraya bersuit panjang, ditengah udara dia menggerakkan sepasang tangannya maka bayangan telapak tangan bertaburan sehingga udara seperti dirapati oleh tabir telapak tangan, orang akan silau dan kabur pandangannya, Mendadak sebelum tubuhnya anjlok dia menekuk pinggang dengan kepala dibawah kaki diatas dia menukik turun, bila tubuh hampir menyentuh bumi mendadak sepasang tangan mengipat dan menepuk serabutan- Beberapa kali dia lakukan gerakan yang sama, akhirnya baru dia menarik gerakan melayang turun, setelah berdiri, tegak dia menghela napas, gumamnya: "orang aneh itu bilang Liong-jiau-king-thian  (cakar naga menyanggah langit) dan Liong-hwi-kiu-thian (naga terbang kelangit sembilan), harus sekaligus melancarkan tiga puluh enam jurus pukulan baru terhitung pukulan ini sempurna tapi pada pukulan kedua puluh tujuh, selalu aku merasa saluran tenaga selanjutnya menjadi buntu dan tak tersambung, apa sebabnya dan kenapa demikian-.. kembali Ping-ji tenggelam dalam renungan-

"Bluk." tiba-tiba dia terperanjat oleh suara gedebukan, waktu dia menoleh dilihatnya sesuatu jatuh dipinggir pohon sana, kelihatan masih bergerak-gerak. Itulah manusia demikian pekik hatinya. Lekas dia melompat kesana memapah orang itu, waktu ditegasi seketika dia kaget. "Karena orang yang rebah dalam pelukannya adalah seorang perempuan, seorang perempuan berpakaian hitam berlepotan darah.

Kecuali luka-luka disekujur tubuhnya, lengan kiri perempuan ini telah buntung hingga lengan bajunya menjuntai.

"Cianpwe, Cianpwe. Sadarlah." demikian teriak Ping-ji, dari dandanan orang Ping-ji yakin bahwa perempuan inipun pandai main silat, maka dia menggoncang badannya.

Pelan-pelan perempuan itu membuka mata, mulutnya bergerak. lekas Ping-ji mendekatkan tubuhnya, "Cianpwe, kau terluka separah ini?"

Mendadak perempuan itu meronta, mulutnya menggumam: "Hoat-liong, Liong-ko,jangan tinggalkan aku, aku... aku takut... api itu... oh, Liong-ko, aku... aku berbuat salah... salah terhadapmu, tapi... itu.. . bukan... He, kau... kau bukan Liong- ko... kau bukan... ohh... ' Mendadak perempuan itu membuka lebar matanya, sesaat dia menatap Ping-ji, kini pikirannya mulai jernih, dengan suara lemah dia berkata: 'Anak muda, sudikah kau membantu aku. Dalam kantongku... ada sebutir... obat, kuberikan... kepadamu... tolong kau temukan putra ku... beritahu kepadanya... ayahnya dibunuh... orang... aku... aku temukan musuh itu... huk. huk... " beruntun dia batuk-batuk keras, darah menyembur dari mulutnya tapi dia angkat kepalanya, sekuat tenaga dia melanjutkan, ”aku kena dilukai... maka aku lari... lari ke Bu-tong... san- mereka tidak... mau memberi obat... terpaksa... aku mencurinya... tapi, aku terkejar... dan dihajar... , hingga... luka parah... begini... " keadaannya memang teramat payah, syarafnya sudah kabur setelah menarik napas beberapa kali, lekas dia meneruskan, ”beritahu kepada anakku... suruh... dia... menuntut... balas sakit... hatiku... diatas badannya membawa . , , sebuah batu putih .. , itulah batu jade... yang hangat ..

Terasa darah dalam tubuh seperti mendidih, napas juga menderu berat tiba-tiba menyala semangatnya, lekas dia merogoh batu putih yang tergantung didadanya serta diberikan kepada perempuan buntung lengannya perempuan itu sudah memejam mata, pelan-pelan setelah merasa tangannya memegang benda hangat dia membuka mata, ujung mulut mengulum senyum, tapi hanya itu saja .

Karuan kepala Ping-ji seperti mau pecah, bumi berputar, pandangan menjadi gelap. dunia seperti sudah kiamat, dia ikut runtuh, hancur lebur.

Dia ingin meratap. sesambatan, menangis gerung-gerung, tapi air mata tak bisa meleleh, diatas tanah didepannya rebah perempuan baju hitam, lengannya buntung, wajahnya yang kasar ditelan kesengsaraan hidup, kini kelihatan tenang dan tersenyum lega, mulutnya yang masih melelehkan darah juga mengulum senyum manis, seolah-olah apa yang dia inginkan sudah tercapai, hatinya puas, maka dia pergi tanpa meninggalkan beban, tanpa kuatir, tenanglah dialam baka damailah.

Ping-ji mendekam diatas jenazah ibunya, menangis sedih sesambatan meratapi nasibnya: "oh Thian, kenapa kau sekejam ini.."

"... oh ibu. Tahukah kau? putramu, bukan sehari merindukan dikau. ibu tahukah kau, aku kenyang meresapi penderitaan hidup ini, tersiksa dan terlunta-lunta, kepada siapa aku harus meratapi hidup ini... ibu... tahukah kau... ibu... oh Thian-.. "udara menjadi terasa pengap. isak tangis yang memilukan bergema di dalam hutan, alam menjadi hening seperti ikut berduka cita.

Dari dalam hutan meranjak tiga orang Tojin yang memanggul pedang dipunggung, agaknya mereka melongo melihat pemandangan yang mengharukan ini, orang disebelah kanan ulur tangan mau bicara.

Tiba tiba pemuda yang mendekam di tanah mencelat berdiri, begitu kakinya menjejak kedua kaki merapat lalu melayang ke arah sebuah pohon besar didepannya. Suara gemuruh robohnya pohon itu menimbulkan tebaran debu. Ditengah gemuruh robohnya pohon itu si pemuda angkat tangannya sambil berseru: "Awas kalian hidung hidung kerbau. Aku akan menagih darah kalian satu persatu, biar darah mengalir dari puncak kekaki bukit, mayat kalian akan kutumpuk menjadi bukit. Hm, nantikanlah.."

Habis bicara mendadak dia putar tubuh. Seketika dia berdiri kaku melotot, mukanya meringis dan berobah, sesaat lamanya bibirnya megap megap tapi tidak mampu bicara.

Ternyata dua tombak jauhnya, berdiri tiga Tojin dalam formasi, ketiga Tojin memanggul pedang, wajah mereka menampilkan rasa kaget, heran dan melongo.

Tiba tiba Ping-ji bersiul panjang serta melompat kedepan ke tiga Tojin itu, gerak g eriknya enteng cekatan- Ketiga Tojin tidak menduga, serempak mereka menyurut mundur, berbareng kedua tangan menepuk menutup diri dari serangan.

Ping-ji menyeringai dingin, sesaat dia memicing mata menatap mereka satu persatu tanpa bersuara, lekas sekali ketiga Tojin itu menyadari sikapnya yang kurang jantan, tanpa berjanji mereka menunduk kepala. "Apakah kalian hidung hidung kerbau dari Bu-tong?" 

Serempak ketiga Tojin angkat kepala, sorot matanya tajam gusar tengah menatap mereka, diam - diam mencelos hati mereka. Yang berdiri ditengah adalah Tojin berpakaian jubah kuning, jenggotnya menjuntai menyentuh dada, agaknya dia pemimpin dari dua temannya, setelah batuk-batuk serta membetulkan jubahnya, dia menggoyang kebut ditangannya lalu maju memberi hormat, sapanya: Pinto Lan-ciok dari Siang-jing-koan di Bu-tong, atas perintah ciang bun mengejar orang yang mencuri obat, entah saudara siapa, apa hubungannya dengan perempuan itu?" Sikapnya ramah suaranya lembut, sopan, santun agaknya sebelum dia tahu asal usul orang dia tidak berani sembrono, karena pengalaman memberitahu, bahwa pemuda didepan mata agaknya tidak boleh dianggap sembarangan, kalau tidak. betapa tinggi dan kesohor nama Bu-tong-pay, mana mau dia bersikap seramah itu.

"Susiok," kata Tojin disebelah kanan bermuka panjang, agaknya dia sebal melihat pemuda garang yang kurang ajar ini, "buat apa banyak ngomong, mari hita gusur perempuan maling itu supaya ciangbunjin menjatuhkan hukumannya."

"Plak" tiba - tiba mukanya kena gampar, matanya kunang - kunang, belum sempat dia berteriak tahu-tahu urat nadinya telah tercengkram, seperti dijepit tang gem tangannya, sakit luar biasa. begitu dia membuka mulut berteriak. urat nadinya digencet lebih sakit lagi.

"Apa katamu?" suara tak kenal kasihan itu seperti halilintar dipinggir telinganya, terbayang olehnya betapa hebat gerakan sipemuda waktu menggempur pohon tadi, rasa dingin tiba - tiba muncul dari ujung kakinya, keringat dingin bercucuran, mukanya pucat pias."

"Anak busuk. kau apakan Suhengku."

”Jing-bong.Jangan sembrono. Sicu, kasihanilah.”

Ditengah teriakan, tampak bayangan seorang menerjang disertai kilat pedang, bayangan seorang lagi segera melayang masuk ke tengah, "Blang" ditengah ledakan keras, bayangan orang terpencar, selarik sinar putih menarik panjang cahaya kemilau melesat keluar dan "Blus" melesak amblas kebatang pohon tinggal gagangnya saja yang masih bergetar.

Menyusul sebuah bayangan lagi seperti pelor yang dtembakan, dengan luncuran lembayung terbang kebelakang dan "Bluk..." jatuh terbanting keras ditanah, lekas sekali darah segar bercucuran dari tubuhnya menyirami tanah sekitarnya.

Ditengah arena Lan ciok Tojin kelihatan berdiri melongo, kebut ditangannya ternyata sudah gundul tinggal gagangnya saja, topi cilik yang menggelung rambutnya diatas kepala juga miring kesebelah, keadaan nya amat runyam.

"Hm, beginilah sepak terjang perguruan tarnama aliran lurus, terang terangan dan jujur.” Demikian sinar mata Ping-ji dengan kedua kaki masih pasang kuda-kuda, disamping nya rebah Tojin muka panjang tadi, kedua biji matanya terbalik, darah meleleh diujung mulutnya, jiwanya sudah melayang.

Ternyata Tojin muda bernama Jing-hong karena melihat Suhengnya ditawan, maka tanpa menyadari kelihaian lawan, segera mengayun pedang menyergap dengan jurus Hwi-ing- poh-tho (elang terbang menerkam kelinci), pedangnya menabas pundak kiri Ping-ji. Lan-ciok Tojin lebih berpengalaman, dia tahu pemuda ini tidak boleh di buat sembarangan, semula dia hendak mengorek asal usul orang lebih dulu baru akan turun tangan, diluar perhitungan Tojin muka panjang sudah terbekuk lawan,jing-hong gegabah pula turun tangan, dicegah sudah tidak keburu, tepaksa dia ikut menyergap. Dengan jurus cui-kim-toan-giok (meremuk emas memutus jade) dari ilmu pukulan Boh-giok-ciang dia menggenjot dada Ping-ji, dia sangka dengan bekal Lwekangnya selama puluhan tahun, ditambah perbawa Boh- giok ciang yang tiada bandingan apalagi, membarengi dengan serangan pedang Jing-hong Tojin, umpama lawan muda ini memiliki ilmu sakti juga akan diserangnya kerepotan.

Tak nyana begitu jotosannya dilontarkan, terasa dari samping sipemuda memberondong keluar segulung hawa pusar menerjang dirinya hingga mata berkunang-kunang kuping mendengung, darah didadanya mendidih, jurus cui- kim-toan-giok ternyata punah tak karuan paran, sementara sutit (murid keponakannya) itu mencelat terbang seperti layangan, tak urung saking kaget dia menjerit panik. Apalagi setelah mendengar sindiran Ping-ji, mukanya pucat berobah merah, sesaat dia berdiri melongo.

Ping-ji belum pernah berkelahi apa lagi membunuh orang, maka hampir saja dia menderita. Diwaktu dia mencengkram Tojin muka panjang, terasa sejalur angin pedang menabas datang berbareng segumpal tenaga angin melandai dada, secara reflek timbul perlawanannya, lekas dia tarik Tojin tawanannya menangkis berbareng merangkap kelima jarinya, melancarkan jurus pertama dari Wi-liong- ciang, yaitu Liong- kiap-sin-gan (naga mengeram dilembah dalam), berbareng melepas Tojin tawanannya yang terpukul luka parah oleh jotosan keras, kini kedua tangan bersilang terus melancarkan jurus kedua Liong-jiau-king-thian, meski gerakannya terburu buru, juga hanya menggunakan setengah tenaga, tapi cukup memukul terbang Jing-hong Tojin dan menggetar nyali Lan- ciok Tojin-Mulutnya saja Lan-ciok Tojin mohon belas kasihan, padahal dia sendiri menyergap dengan serangan keji, maka Ping-ji menyindirnya. Setelah menjublek sekian lamanya, dengan muka merah Lan-ciok membetulkan letak rambutnya, katanya: ”Sicu jangan sembarang omong, biarlah pinto mohon pelajaran beberapa jurus ilmu pukulan kepada Sicu.”

Setelah kecundang disindir lagi, rasa keki telah menjalari emosinya, meski tahu lawan muda ini lihay, tapi dia yakin dengan Hu-mo-ciang yang dilatih sejak puluhan tahun, pasti mampu menandingi lawan yang masih cetek pengalaman dan kurang matang latihannya, apa lagi mengingat dirinya menjalankan tugas, maling yang dikejar tidak ketangkap. kedua sutitnya malah mati, kalau dia pulang dengan tangan kosong, bagaimana dia harus bertanggung jawab kepada Ciangbunjin, maka dia mengeraskan kepala menantang lawan-

Ping-ji menjengek, katanya: "Kebetulan kau menantang, aku memang akan mengganyang kalian hidung kerbau busuk ini." Lalu dengan mata mendelik dia membentak bengis, ”Jawab pertanyaanku, siapa yang melukai perempuan ini, katakan"

Sudah tentu Lan-ciok Tojin berkobar amarahnya, sejak dia belajar silat di Bu-tong-san berkecimpung puluhan tahun di kalangan Kangouw, kapan dia pernah dibentak seperti ini, karena belum pernah kalah, maka watak nya angkuh, apalagi sebagai sute ciangbunjin Bu-tong-pay, biasanya hanya dihormati dan disembah, kapan ada orang berani memerintah dirinya. Tak nyana pemuda ini bukan saja sombong amat garang lagi, hakikatnya tidak pandang dirinya sebelah mata, karuan gusarnya bukan kepalang, sembari memekik kedua tangannya terayun, tangan kanan menutup dada, telapak kiri tegak kedepan sejauh satu kaki dari dada, gayanya aneh, mulutnya mendesis:

"Bocah tidak tahu aturan, berani kurang ajar terhadap orang tua. Hm, rasakan dulu pukulanku. Lihat serangan. Mendadak kedua tangannya terbang, dengan jurus To-tiang- mo siau (agama unggul iblis sirap), membawa damparan dahsyat menindih kepala Ping-ji, dinilai gaya dan perbawa serangannya, lagaknya dia ingin sekali pukul membelah hancur tubuh Ping-ji.

Walau kaget melihat perbawa serangan lawan, tapi pengalaman barusan menambah tebal keyakinan pada diri sendiri, maka tanpa ayal dia mundur setengah tapak. setelah pasang kuda-kuda menyedot napas mengerahkan tenaga. Serempak dia dorong kedua tangan, beberapa bayangan  tapak tangan berkelebat menjadikan tabirjalan disertai sambaran angin mendesis menyongsong damparan angin lawan, itulah Liong jiau-king-thian jurus kedua dari Wi-liong- ciang.

Jurus To-tiang-mo-siau yang dilancarkan Lan-ciok-Tojin sebetulnya amat dahsyat dan tak terpatahkan, siapapun lawannya serangan ini pasti mambawa hasil, tak tahunya begitu pemuda lawannya itu meng gerakan kedua tangan membalik keatas, taburan telapak tangan lawan membendung serangan nya, bukan saja To-tiang-mo-siau tidak berhasil memukul lawan, malah beberapa jalur angin kencang membal balik menerjang dirinya sehingga kulit dagingnya terasa sakit.

Saking kejut lekas dia memutar tubuh sekaligus berkisar dua lingkar sambil menarik serangan, begitu dua telapak tangan terangkap dan terangkat, dari kiri kanan sekaligus menempeleng, masing-masing menyerang Tay-yang dan Tay- im dua Hiat-to, itulah jurus Mo-yan-kiam-sing (bentuk pedang membakar iblis) dari hu-mo-ciang yang lihay.

Tampak Ping-ji mendadak menjengkang kebelakang, tubuhnya melejit datar meluputkan diri dari serangan ganda ini, ditengah udara dia menggeliat pinggang sepasang lengan bajunya mengipat kebelakang, maka tubuhnya melejit tinggi keudara, mendadak merandek, dengan kepala d iba wah kaki diatas menukik, "Plak.., plak..." dimana telapak tangannya menari menindih kepala lawan, Lan-ciok Tojin seketika seperti dibelenggu oleh bayangan pukulan lawan, dalam gugup nya dia bersuit keras, melancarkan Hu-mo-ciang dan Boh-giok-kun yang amat dibanggakan selama jayanya, telapak tangan di kombinasikan jotosan untuk membendung serangan lawan dari atas.

Ditengah gelanggang tampak seorang selulup timbul diudara bak naga menari-nari ditengah angkasa, seorang lagi tampak menjadi bayangan kelabu mengiringi selulup timbul bayangan diatasnya, bolak balik, pergi datang, seperti harimau menerkam mangsa. Ditengah pusaran angin kencang dari adu kekuatan tenaga dalam itu, terdengar suara serak tua menghardik: "Robohlah..."

Tapi sebuah lengking suitan seperti naga memekik di angkasa, begitu keras berisi membawa getaran keras hingga daon-daon pohon rontok, sebelum lenyap suara suitan itu, disusuljeritan tertahan- Maka bayangan orangpun berpencar, ”Pletak..." cukup keras suara ini, tampak Lan-ciok Tojin terpental jatuh terguling-guling menahan sakit karena kedua tangannya putus, jeritannya seperti lolong serigala yang ketaton.

Melihat keadaan orang sejenak muka Ping-ji tampak kedutan, belas kasihan timbul dalam benaknya yang welas asih. Maklum manusia terdiri dari darah daging, siapa tidak merasa sakit bila badannya cedera. Tapi dia terbayang keadaan ibunya, perempuan lengan buntung yang sekarat tadi, bukankah diapun terluka parah, untuk mempertahankan jiwa, jauh-jauh dia kemari minta obat, sebutir pil saja, tapi orang-orang yang tidak punya hati ini, bukan saja memberi malah menganiaya dan menambah deritanya, kalau tidak mana secepat ini jiwanya ajal, tidak setitik harapan yang masih diembannya bagaimana, bisa gagal total. Kejadian mengerikan adalah gara-gara perbuatan laknat hidung- hidung kerbau yang tidakpunya belas kasihan, mereka  pantas dikutuk. Darah tiba-tiba mendidih, semakin besar tekadnya, dia harus menuntut balas, ya menuntut balas kematian ibunya.

Dengan kertak gigi dia mendelik kearah Lan-ciok Tojin yang masih terguling-guling ditanah, bentaknya: " Itulah imbalan yang harus kalian terima." sorot matanya memancar bara yang menyala, suaranya mengandung kegusaran dan kepedihan, karena kenyataan pukulan lahir batin yang menimpa dirinya memang teramat besar dan berat.

Traktiran: (7891767327 | BCA A.n Nur Ichsan) / (1740006632558 | Mandiri A.n Nur Ichsan) / (489801022888538 | BRI A.n Nur Ichsan) ataupun bisa melalui via Trakteer yang ada dibawah

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar