Postingan

Jilid 03

Ketika sorot mata mereka saling bertemu, nona baju hitam itu tundukkan kepalanya rendah2, lama sekali ia baru menengadah dan berpandangan kembali dengan Tian Pek. Keheningan kembali mencekam seluruh ruangan, dengan pandangan yang penuh kesedihan tiba2 dara itu putar badan dan berjalan ke arah pintu tanpa berpaling lagi.

Tian Pek terkesiap, diam2 ia menyesal dan malu sendiri karena bisa timbul perasaan tergiur serta perasaan aneh yang timbul ketika pandangan mereka bertemu tadi. Ketika tiba di am bang pintu, gadis itu berhenti dan menghela napas panjang. lalu berkata: “Kau sudah tidak sadarkan diri selama beberapa hari, badanmu tentu lemah sekali, sebentar akan kusuruh orang meogantar makanan untukmu ”

Setelah berhenti sebentar, ia berkata lagi: "Kau tak usah berterima kasih kepadaku, kulakukan semua ini karena permintaan seseorang."

Habis berkata tanpa berpaling is terus berlalu dari situ. Beberapa patah perkataan yang pertama diucapkan dengan lembut, tapi ucapan terakhir berubah dingin dan ketus.

se-olah2 dua orang yang mengucapkan kata2 itu.

Memandangi bayangan punggung orang Tian Pek cuma melongo saja, beberapa patah kata orang yang terakhir amat menusuk perasaannya. Pikirannya jadi kalut, ia merasa ada banyak persoalan yang tak dapat di selami' olehnya, di antara sekian banyak masalah. persoalan yang paling membingungkannya adalah siapakah nona baju hitam yang sebentar hangat sebentar dingin itu.

"Kau tak usah berterima kasih kepadaku, kulakukan semua ini karena permintaan seseorang." perkataan itu diulanginya sampai beberapa kali, tiba2ia seperti terjerumus pula ke dalam kesepian dan kepedihan yang sukar dilukiskan.

Dengan perasaan gundah ia bereskan rambutnya yang kusut. Walaupun lengannya masih terasa sakit, tapi hatinya jauh lebih sakit.

“Meski aku berutang kepada gadis itu, tapi dia sama sekali tiada hubungan apa2 denganku, siapa dia dan siapakah aku? sikapnya boleh dibilang sudah cukup baik, buat apa aku mesti murung karena soal ini.?" Demikian walaupun dia ingin melupakannya, tapi entah mengapa, hal ini selalu timbul lagi dalam benaknya.

Ia merasa sedih atas sikap dingin si dara baju hitam itu. diam2 ia berpikir pula: "Dia bilang apa yang dilakukannya ini adalah karena mengingat permintaan seseorang, siapakah orang itu? Kenapa ia terima permintaan orang itu dan apa hubungan di antara mereka”

Suara deheman ringan berkumandang dan luar, seorang pelayan cilik berbaju hijau melangkah masuk dengan membawa sebuah mangkuk bertutup yang terbuat dari kemala hijau, setiba di depan Tian Pek dia memberi hormat, lalu berkata: "Kongcu, sialahkan minum kuah ini”

Tutup mangkuk dibuka dan asap putih mengepul dari mangkuk kecil itu, bau harum sedap memenuhi seluruh ruangan, sebelum ingatan lain berkelebat dalam benaknya, tahu2 dayang baju hijau itu sudah angsurkan mangkuk tersebut ke hadapannya, sementara tangan yang lain mengarnbil send ok dan mulai menyuap kuah jinsom itu ke dalam mulut Tian Pek.

Dengan pikiran hampa Tian Pek menghabiskan kuah jinsom yang disuap ke mulutnya itu, semangat terasa jadi segar kembali, tapi dalam hati tambah sedih, la merasa se akan 2 sedang menerima sedekah dari orang lain, dan sedekah yang diberikan kepadanya itu dilakukan karena atas permitaan seseorang, padahal ia sendiripun tak tahu siapakah orang itu.

Terpikir sampai disini, hampir saja kuah jimson yang telah masuk perutnya tertumpah kembali, tiba2 ia lihat sesosok bayangan muncul kembali di depan pintu diikuti suara tertawa merdu yang memecahkan kesunyian.

Tian Pek mengerutkan dahi, dalam keadaan seperti ini tak enak baginya mendengar suara tertawa bagini. Bayangan orang yang baru muncul itu membawa pula sebuah mangkuk warna hijau, orang itu adalah seorang gadis yang berwajah cantik jelita.

Dara itu tersenyum, tanyanya dengan lembut. '"Kongcu, apakah engkau ingin makan sedikit ? Ai, tahukah kau sudah berapa hari engkau tidak makan apa2 ?"

Suara yang merdu itu terdengar oleh Tian Pek se-akan 2 ejekan yang menusuk hati, ia berkerut dahi. "Hm, sedekah. Kembali sedekah. . . " demikian pikirnya dengan mendongkol, mendadak ia berteriak: "Bawa keluar! Bawa keluar!"

Tertegun juga gadis itu, ia berhenti di depan ranjang dan berkata: "Eh, kenapa sih kau ini?" Tegurnya dengan lembut, suaranya tetap merdu dan halus.

.

Diam2 Tian Pek menghela napas, ia rada menyesal bersikap kasar terhadap gadis itu, bagaimanapun juga orang kan bermaksud baik, sikapnya itu jelas tidak sopan dan tak tahu adat.

"Terima kasih atas kebaikan nona," ujar Tian Pek, "hanya saja lebih baik bawa keluar saja."

Sekalipun kata 2 nya sudah jauh lebih ramah, tapi ia belum berpaling, ia berharap bila ia menoleh nanti, dalam ruangan itu akan tinggal dia sendiri, agar ia bisa merenungkan semuanya itu dengan tenang.

Siapa tahu gadis itu lantas tertawa cekikikan, lalu berkata: "Eh, kalau memang ogah makan ya sudahlah, kenapa bersikap begini segala"-? Tahukah kau, betapa susah dan bingungnya orang membantu kau, tapi kau. kau

malah mengusir aku keluar" Tian Pek terkesiap, cepat ia berpaling , seorang gadis cantik berbaju sutera halus dan bersanggut tinggi berdiri di tepi pembaringan, meski masih muda, namun wajahnya menampilkan sikap yang agung.

Baru Tian Pek menyadari dirinya telah salah menduga, ternyata gadis ini bukanlah dayang baju hijau tadi. "Tapi siapakah dia? Kenapa ia mengucapkan kata 2 seperti itu?" demikian timbul kecurigaaan dalam hati Tian Pek.

Sementara itu dara cantik itu sedang mengamati wajahnya dengan pandangan halus, tiba2 ia tertawa dan berkata pula: "Eh, bicara sesungguhnya, tidak pantas kau bersikap begitu galak terhadapku. Tahukah kau, untuk membantu dirimu, telah banyak mendatangkan kesulitan, bagiku tapi kau kau ternyata tidak tahu diri."

Ia taruh nampan yang dibawanya itu di atas meja kecil, kemudian ia berduduk di tepi pembaringan, katanya lagi: "Hayolah makan dulu, biar kusuapi kau, kalau ingin marah lagi marah saja padaku, tapi jangan kelewat batas, sebab kalau jadi sakit, wah bisa susah."

Tian Pek jadi melongo, ditatapnya gadis itu dengan ter- mangu 2 . Ia merasa tak pernah kenai gadis ini, bertemupun belum pernah, tapi sikap dan cara bicara gadis ini seolah- olah sedang menghadapi sahabat karipnya yang sudah lama ia kenaI.

"Bahkan ia mengaku membantu diriku!" pikirnya, tapi bantuan apa? Tian Pek hanya bisa geleng kepala dengan penuh tanda tanya. Angin sejuk berhembus masuk lewat jendela, terendus bau harum khas perempuan, ia merasa gadis itu duduk semakin dekat dengan dirinya. bahkan raut wajahnya yang cantik hampir saja menempel mukanya, meski dia tiada perasaan buruknya terhadap anak dara itu, namun ia merasa sikapnya yang terIalu berani ini sudah kelewat batas, hal ini menimbulkan rasa jemu baginya.

Dengan serius ia lantas berkata: "Aku tak merasa kenal dengan nona, andaikata aku memang utang budi kepadamu, suatu ketika budi kebaikan ini pasti akan kubalas. Sekarang aku tidak ingin makan apapun, apalagi antara pria dan wanita ada

batas2nya, kalau kita berada sendirian dalam satu kamar tanpa orang ketiga, kemungkinan besar akan dicurigai orang untuk ini kuharap nona suka memperhatikannya."

Dasarnya tidak pandai bicara, beberapa patah kata itu diucapkan dengan kaku dan tak lanncar bahkan setiap kata yang hendak diucapkan harus dipikirkan dulu.

Gadis itu sama sekali tak menjawab, tangannya yang satu menyanggah di sisi poembaringan. sedang tangan yang lain bertopang dagu. sorot matanya bening memandang langit2 ruangan. Se-akan2 tidak mendengar apa yang diucapkan Tian Pek.

Sehabis anak muda itu bicara, baru dia mengerling sekejap padanya, sambil memandang ujung kaki sendiri lalu bergumam: "Andaikata memang utang

budl kepadamu? Andaikata. . . :

Ia tertawa nyekikik dan mengerling pula wajah pemuda itu lalu ia menegas: "Masa kaukira aku ini omong kosong?" Ia tuding anak muda itu dengan jarinya yang lentik,

Kemudian menambahkan: '"Eh, terus terang kuberitahukan padamu, kalau tiada aku. . . . . hihihi.... ..

mungkin kau sudah digotong keluar dan ini."

Tian Pek memandangnya dengan terkesima, seketika ia tak tahu bagaimana perasaannya, pikirnya: "Kalau begitu, dia inilah yang menyuruh nona baju hitam itu datang kemari. " tapi segera terpikir pula: "Lalu siapakah dia ini?

Apakah iapun saudara sakandung Leng hong Kongcu?"

Diamati wajah gadis itu tajam2 ia merasa wajah gadis yang cantik manis ini jauh berbeda dibandingkan dengan sikap ketus dara dengan si nona baju hitam serta kejumawaan Leng-hong Kongcu, tapi ada juga kemiripan diantara wajah mereka.

Ia tak mengerti mengapa kakak-beradik yang berasal dari ayah ibu yang sama bisa mempunyai sifat yang begini berbeda, lalu iapun merasa kasihan atas nasib nyonya  cantik yang malang itu bayangkan saja betapa risau dan beratnya pikiran sang ibu

memikirkan sifat putera puterinya yang berlainan itu.

Sementara ia masih melamun, gadis itu menegurnya lagi sambil tertawa "He, kau dengar tidak perkataanku tadi?" Tian Pek sadar dari lamunannya, dia baru ingat pertanyaan orang tadi belum dijawabnya.

"Tapi, cara bagaimana aku harus menjawabnya?" demikian ia membatin. "Haruskah berterima kasih?" Bagi pemuda yang keras kepala. Ia tak sudi berbuat demikian, sulit baginya untuk mengutarakan perasaan seperti itu.

Otaknya berputar mencari jawaban, sementara ia berpikir pula: "Ibunya telah menyelamatkan jiwaku, tapi kakaknya mengusir aku, encinya membebaskan aku dari kesulitan itu dan ternyata dia ini lah yang suruh, tapi. . . . .

aku tidak kenaI gadis ini.

“Ai sebenarnya apa yang terjadi? Mereka toh sekeluarga, kenapa hubungan mereka satu sama lain begitu ruwet dan kacau balau?" Pikiran yang sudah kalut kini semakin kacau sehingga untuk beberapa saat ia tak mampu mengucapkan sepatah katapun.

"Hei, kaudengar tidak perkataannya?" tiba 2 terdengar pula teguran yang dingin berkumandang dari samping. Tian Pek terkesiap dan berpaling, entah sejak kapan di sisi pembaringannya sudah bertambah lagi seorang, orang ini mengenakan pakaian yang penuh tambalan, rambutnya kusut, jenggotnya lebat tak terawat, terutama sorot matanya yang tajam membuat hatinya tercekat.

Kemunculan manusia aneh yang tak terduga serta teguran yang dingin mencekat hati ini membuat Tian Pek tak manpu berbicara. Gadis ayu tadi tetap duduk di tempat semula dengan tersenyum manis, ia tak pernah berpaling untuk memandang manusia aneh itu, se-akan2 kehadirannya sudah diketahuinya.

"Eh, kaudengar tidak perkataanku” kembali manusia aneh itu menegur. Tian Pek tertegun sambil mengawasinya, ia tak mampu menjawab. Manusia aneh itu mendengus, mendadak ia mencengkeram ke depan, ujung bajunya yang bekibar membawa deru angin serangan yang dahsyat.

Senyum manis yang semula menghiasi bibir gadis itu seketika lenyap, cepat ia putar badan sambil memeluk tangan manusia aneh itu, kemudian ia berbisik apa2 di telinganya.

Sorot mata ganas yang semula terpancar dari mata manusia aneh itu seketika lenyap tak berbekas, ditatapnya gadis itu dengan pandangan lembut, kemudian tanpa berpaling secepat kilat ia melayang keluar kamar.

Jendela itu amat kecil dan tertutup separuh, namun hal itu bukan alangan bagi manusia aneh itu untuk keluar. entah bagaimana caranya, tahu2 ia sudah menerobos keluar. Kedatangannya yang ,tiba2 perginya juga sangat mendadak, Tian Pek hanya memandangi bayangan punggungnya dengan terkesima, ia merasa seperti mimpi saja.

Setelah manusia aneh itu berlalu, pelahan gadis itu berpaling, sambil tertawa cekikik ia menegur: "He, kau takut tidak padanya'?" "Siapa orang itu? Kenapa aku mesti takut padanya?" sahut Tian Pek sambil menggeleng.

"Kau tidak takut? Tahukah kau betapa lihay ilmu silatnya? Jangankan aku, Toako dan ayahpun sangat memuji kelihayan ilmu silatnya, cuma selama ini dia tak pernah berkelahi dengan orang lain, maka tiada seorangpun yang tahu sampai dimanakah kelihayan ilmu silatnya yang sebenarnya. Walau begitu, hehe, kalau ada orang berani recoki diriku, langsung saja dia akan turun tangan dan menghajar orang itu sampai setengah mati."

Ia berhenti sebentar dan duduk kembali di sisi pembaringan, kemudian sambungnya: "Suatu hari dari Lu- pak datang seorang bernama Sam-er-oh tiap (kupu kupu bersayap tiga) menyembangi ayah, ketika bertemu dengan aku di kebun, dia anggap aku bisa dipermainkan dengan begitu saja, bahkan mengucapkan beberapa patah kata yang tdk senonoh, sungguh hatiku malu bercampur gusar, ingin sekali kuhajar mampus bangsat itu, tapi sebelum aku turun tangan, paman Lui telah muncul, orang tua itu se-akan2 selalu berada di sampingku. Huh, melihat kemunculan paman Lui, bukannya bangsat itu minta maaf. dia malah jual tampang dan berlagak sok, tanpa

banyak omong paman Lui segera menghajar keparat itu sehingga mampus dibawah semak2 bunga mawar, rupanya mampuspun ia ingin jadi setan romantis." kata2 itu diakhiri dengan suara tertawa cekikikan. Sambil mendengarkan penuturannya, dalam hati Tian Pek berpikir: "Siapakah manusia aneh itu?

Kenapa ia bisa berdiam di tengah keluarga yang serba misterius ini dengan leluasa?"

Kemudian iapun berpikir lagi: "Siapakah ayahnya? Kenapa sampai seorang Cay-hoa-cat (Penjahat pemetik bunga, perusak perempuan) juga datang menyembangi  dia?"

Diam 2 iapun heran mengapa nona cantik ini tidak pantang omong, segala apapun diucapkan begitu saja tanpa canggung.

Tian Pek tidak tahu bahwa sejak kecil gadis ini sudah terbiasa hidup manja, ia tak kenal apa artinya malu, apalagi takut segala.

"Hihi, andaikata aku tidak berdiri di sampingmu tadi, mungkin sekali dicengkeram paman Lui nyawamu sudah melayang," habis berkata, tiba2 si nona menghela napas, dan memandang jauh keluar jendela.

Tian Pek tertegun, ia tak menduga sikap gadis itu sedemikian gampang berubah, sebentar tertawa riang, sebentar kemudian menghela napas sedih.

Sementara dia masih keheranan, gadis itu berkata pula: “Sungguh aneh sekali, sejak mama membawa pulang kau, pada pandangan pertama aku lantas menyukai kau. "

Walaupun ia masih polos dan manja, namun perkataan selanjutnya tuk sanggup diteruskan, pipinya menjadi merah dan kepalanya tertunduk.

Lama dia membungkam, kemudian sambil membelai rambut sendiri katanya lagi: "Oleh karena itulah. ketika mama tak dapat menjenguk kau setiap hari, akulah yang saban hari mendampingi dirimu”

“Hari ini Toako baru saja pulang dari Tay Ouw, ku tahu urusan bisa runyam, karena dengan watak Toako yang buruk itu dia pasti akan melempar kau

keluar kamar, padahal mama tak di rumah, sedang aku amat jeri pada Toako, setelah kupikir pulang pergi, akhirnya kuminta bantuan Toaci untuk menanggulangi persoalan ini. Tahukah kau tabiat Toaci berbeda jauh daripada watakku, dalam setahun belum tentu dia mengucapkan sepuluh patah kata. Setelah bersusah payah setengah harian kumohon, akhirnya ia menyanggupi juga permintaanku, tapi kau. " . ternyata kau tak tahu budi."

Dalam hati kecilnya Tian Pek merasa kurang senang dengan sikap si nona yang binal, namun setelah mengetahui betapa baiknya gadis itu menaruh perhatian kepadanya, tak urung timbul juga rasa terima kasihnya yang mendalam.

Ia tersenyum dan berkata: "Kebaikan nona sangat mengharukan hatiku, tentu saja akan selalu kuingat kebaikanmu ini."

"Huh, siapa yang suruh kau berterima kasih padaku, siapa yang sudi menerima budi kebaikanmu” tiba2 gadis itu mengomel dengan wajah cemberut.

Sementara Tian Pek tertegun, gadis itu kembali tertawa cekikikan, sambil mempermainkan bajunya ia berkata: "Asal kautahu aku ini baik kepadamu, serta jangan galak2 lagi bersikap kepadaku, itu, sudah cukup menggembirakan aku'"

Walaupun Tian Pek cukup prihatin, tak urung tergetar juga perasaanya, ia merasa perasaan gadis itu begitu murni, begitu sungguh2 tanpa tedeng aling, semua ini membuat hatinya sangat terharu.

Apalagi sejak kecil la sudah hidup sendirian, setelah dewasa belum pernah ia merasakan kehangatan kasih sayang orang. Untuk beberapa waktu pemuda itu hanya ter- mangu2 memandang gadis Itu tanpa mengucapkan sepatah katapun.

"Eh, siapa namamu?" gadis itu bertanya sambil mempermainkan ujung bajunya. '"Aku sudah tanya mama, tapi mama sendiripun tak tahu. Aneh benar! Padahal watak mama tak jauh berbeda dengan watak enciku, di hari biasa wajahnya selalu dingin dan kaku, jarang kulihat beliau tertawa, tapi perhatiannya atas dirimu sangat besar, ia sangat menguatirkan keselamatanmu, pada mulanya aku mengira kalian pasti sudah kenal lama. Eh, tak tahunya beliau sendiripun tak tahu siapa namamu, bukankah kejadian ini sangat mengherankan "

Tian Pek menghela napas. kejadian yang sudah lewat kembali berkelebat dalam benaknya, la berpikir: "Ai, seandainya nyonya cantik itu tidak menolong aku tepat pada waktunya, mungkin aku sudah mampus di tengah hutan yang sunyi Itu. Begitu besar aku berutang budi kepadanya, ternyata aku belum tahu siapa namanya yang mulia itu."

Ia lantas berpaling ke arah gadis itu, dengan suara lembut ia bertanya: "Ibumu agung dan berbudi luhur, budi kebaikan yang telah beliau berikan kepadaku takkan kulupakan untuk selamanya, bila nona tidak keberatan, dapatkah kau beritahukan siapa nama beliau agar akupun. .

. . " Gadis cantik itu tertawa ngikik dan menyela: "Hihihi, tak nyana lagakmu waktu bicara persis seperti seorang pelajar rudin, sungguh lucu, lucu sekali "

Merah jengah selembar muka Tian Pek, untuk sesaat, ia bungkam.

Melihat pemuda itu dibuatnya kikuk, anak dara itu berkata pula: "Ayahku she Buyung, engkoh dan encik u juga she Buyung, coba kauterka, aku she apa ?”

Tian Pek jadi melengak, ia merasa gadis ini terlalu polos dan lucu, masa pertanyaan semacam inipun diajukan kepadanya, memangnya dia dianggap seorang yang tolol?

Kendatipun begitu, ia menjawab juga: "Nona tentu juga she Buyung seperti kakak dan encimu!"

"Keliru, kau keliru besar," dara 1tu menggelengkan kepala dan bertepuk tangan, "Aku tldak she Buyung, sku she Tian seperti juga she ibu."

Mukanya berseri2 , agaknya hal ini sangat menggirangkan hatinya. "Wah, kalau begitu, pantaslah aku tidak bisa menebaknya, siapa yang bakal menduga sampai ke situ?" kata Tian Pek sambil tertawa geli.

Sementara itu di dalam hati la berpikir: "0, tak kusangka Nyonya cantik itu ternyata berasal satu marga dengan aku."

Terdengar anak dara itu tertawa cekiklkan dan berkata pula: "Tampaknya kau bukan orang persilatan ya, masa nama keluarga kamipun belum pernah ka dengar ?"

Tian Pek tertegun dan menatap wajahnya, kebetulan gadis itupun sedang memandang kearahnya. Gadis itu tertawa, ujarnya: "Eh, kau ingin tahu namaku tidak? Aku bernama Tian Wan-ji, dan siapa namamu? Apa aku juga boleh tahu? Apakah orang tuamu masih ada? Di mana? Punya kakak dan adik? Punya. . . . . " tiba2 gadis Itu berhenti dan tundukkan kepala sambil tersenyum kikuk, tambahnya: "Dan punya isteri? "

Pertanyaan yang diajukan secara beruntun itu .semuanya menusuk perasaan Tian Pek, ia tertegun untuk beberapa saat lamanya, kemudian menghela napas dan menggeleng.

“Aku juga she Tian, namaku Tian Pek, ayah jbuku telah.

. . . . telah meninggal semua, aku hidup sebatangkara, tanpa sanak tanpa keluarga dan tidak punya rumah, dendam sakit hati ayahku sampai sekarangpun belum sempat kutuntut balas."

Sudah lama persoalan yang merisaukan ini terpendam di dalam hati, belum pernah ia curahkan isi hatinya kepada orang lain, tapi sekarang setelah berjumpa dengan gadis yang polos dan lincah ini tanpa sadar semua kekesalan dan kemurungannya diutarakan seluruhnya.

Mendengar jawaban tersebut, mata Tian Wan-ji menjadi merah dan akhirnya tak tahan lagi air mata jatuh bercucuran membasahi wajahnya yang cantik jelita itu.

Begitulah perasaan manusia memang aneh. Ada sementara orang yang telah bersahabat banyak tahun, tapi di antara mereka tak pernah saling mengutarakan isi hatinya, sebaliknya ada sebagian orang yang baru saja berkenalan, seluruh isi hatinya lantas di beberkan keluar.

Begitulah keadaan Tian Pek sekarang makin bicara semakin sedih hatinya hingga sukar dikendalikan lagi, dia lupa lawan bicaranya adalah seorang gadis yang belum lama dia kenal, seluruh isi hatinya diutarakan semua.

Sesaat itu kamar yang indah inipun se-akan2 dicekam suasana kemurungan. Baru saja anak muda Itu selesai berkata, mendadak sesosok bayangan berkelebat masuk lewat jendela dan langsung menerjang ke depan Tian Pek dan mencengkeram lengannya.

"Siapa kau" dia menghardik. "Apa hubunganmu dengan Tian In-thian?" Tian Pek amat terkejut dan sebelum ia sempat berbuat sesuatu, tahu2 pergelangan tangannya telah dicengkeram orang, rasa sakit merasuk tulang la terkejut bercampur heran, ia tidak tahu darimana orang ini bisa mengetahui nama ayahnya, lebih2 tak tahu kenapa orang bersikap begitu kasar padanya.

Dengan cepat ia menengadah, ternyata orang yang mencengkeram tangannya itu bukan lain adalah manusia aneh berambut kusut dan berpakaian compang-camping yang dipangil paman Lui tadi.

Tian Pek adalah pemuda yang tinggi hati, semakin diperlakukan kasar, semakin ngotot ia mempertahankan diri, apalagi kalau ada orang hendak memaksa dirinya dengan kekerasan, sekalipun golok ditempelkan di atas kuduknya, tak nanti ia berkerut dahi ataupun mengedipkan matanya.

Demikian sekalipun cengkeraman paman Lui ini sangat keras bagaikan japitan baja sehingga membuat lengannya amat sakit bagaikan patah. namun ia tetap tidak mengeluh atau menggubris. mulutnya tetap terkatup rapat2 .

"Hayo bicara, siapa kau?" hardik paman Lui pula dengan secara lantang, matanya melotot dengan sinar tajam. "Apakah engkau keturunan Tian In- Thian?"

Jelas sekali paman Lui sedang dipengaruhi emosi, tatkala mengucapkan pertanyaan tersebut, sepasang tangannya gemetar keras dan tanpa disadari tenaga cengkeramannya atas tangan Tian Pek pun bertambah berat beberapa bagian. Rasa sakit merasuk ke tulang sumsum, apalagi luka parah yang diderita Tian Pek baru saja sembuh, berada dalam keadaan seperti ini, ia betul2 merasa tersiksa, hampir saja ia jatuh tak sadarkan diri.

Sakalipun badannya kesakitan hebat, namun Tian Pek masih tetap mengertak gigi dan tutup mulut. ia tak peduli apakah manusia aneh itu melotot bengis padanya, dia tetap bungkam dalam seribu bahasa.

Tian Wan-ji yang duduk di sampingnya jadi tak tega, apalagi setelah dilihatnya paras pemuda itu berubah jadi pucat pias bagaikan mayat, keringat sebesar kacang kedelai menghias jidatnya.

Di samping kasihan iapun merasa kagum, ia kagum atas kejantanan pemuda itu, sekalipun badannya tersiksa hebat dan sangat menderita, akan tetapi ia tak sudi mohon ampun, bahkan merintih pun tidak.

Timbul rasa tak senang hati atas sikap kasar paman Lui nya, segera ia berseru: "Paman, hayo cepat lepas tangan! Coba lihat, tangannya yang kau cengkeram hampir patah, mana mungkin dia mau menjawab pertanyaanmu ?"

Biasanya paman Lui amat sayang kepada Wan-ji, segala permintaan gadis itu selalu dipenuhinya tanpa membantah namun sekarang paman Lui sama sekali tidak mengubris perkataannya, bahkan ketenangannya di hari biasapun lenyap.

Wan-ji makin mendongkol karena bukan saja paman Lui-nya tidak mengendorkan cengkeraman, malahan dengan sorot mata yang tajam dan penuh rasa kesedihan ia tatap wajah pemuda itu tanpa berkedip.

"Ooh . . In-thlan . . . . In-thlan . . . . benarkah Thian maha adil dan meninggalkan keturunan bagimu ? Ah, dugaanku pasti tak meleset, memang engkaulah orangnya .

. . . Ya, engkaulah orangnya . . . . aku Lui ”

Dengan gemas paman Lui melototi Tian Pek, kemudian menengadah dan berkomat kamit seperti sedang berdoa dengan wajah serius.

"Aduh, celaka - . . !" tiba 2 Wan ji menjerit. "Hai, paman Lui . . . . paman Lui. . lihatlah, dia telah mati …”

Bagaikan baru sadar dari mimpi, paman Lui berpaling, ia lihat muka Tian Pek pucat pasi seperti kertas. matanya terpejam rapat, napasnya kelihatan sudah berhenti.

Perlu diketahui, paman Lui ini seorang jago silat yang lihay di dunia persilatan, ketika Pek-Iek-kiam Tian In-thian masih hidup, mereka adalah saudara angkat yang erat sekali hubungannya.

seringkali mereka berkelana bersama dan entah berapa banyak perbuatan mulia yang mereka lakukan berdua . Tapi pada suatu perpisahan yang amat singkat, tiba2 tersiar berita buruk yang mengatakan Pek-lek- kiam Tian In thian yang gagah perkasa itu mati dibunuh orang.

.

Betapa sedih dan sakit hatinya paman Lui setelah mendengar berita tersebut, ia segera berangkat ke tempat kejadian untuk melakukan penyelidikan tapi sayang, bukan saja ia gagal menyelidiki siapa pembunuh Tian In-thian, bahkan jenasah saudara angkat dan teman seperjuangan itupun tak berhasil ditemukan.

Walaupun begitu, di tempat kejadian ia lihat keadaan kacau balau. pohon banyak tumbang rumput banyak yang terbabat, kutungan pedang dan senjata rahasia yang tercerai berai berserakan di mana2, terutama sekali gumpalan darah di sana-sini menunjukkan betapa dahsyat dan sengitnya pertarungan yang telah berlangsung.

Setelah menyaksikan keadaan itu, sadarlah paman Lui bahwa apa yang tersiar di dunia persilatan sedikitpun tak salah, sanking sedih dan penasarannya hampir saja dia jadi gila. bahkan pernah terlintas pula pikirannya untuk bunuh diri sebagai rasa setia kawannya.

Akan tetapi suatu keinginan yang jauh lebih besar dari kematian telah menahan dia hidup sampai kini, keinginan tersebut ialah tekad membalas dendam, ia hendak menyelidiki dan menemukan pembunuh Tian In-thian, kemudian balaskan dendam kematian rekannya ini.

Seluruh jagat telah dijelajahi, tapi ia gagal mengetahui siapakah pembunuh Thian In-thian, apalagi membalaskan sakit hatinya.

Dua puluh tahun sudah lewat tanpa terasa, ia mulai kecewa dab putus asa, dalam keadaan begitulah ayah Leng hong Kongcu, yakni Buyung cengcu telah mengundang  jago tua ini untuk membantunya, maka menetaplah paman Lui sebagai tamu undangan dalam perkampungan ini.

Sebenarnya paman Lui tiada bermaksud menjadi anak buah orang. Tapi mengingat dia harus mencari pembunuh saudara angkatnya yang sebegitu jauh belum ditemukan itu tatkala mana Bu-lim-su- toa-kongcu yang terkenal itu sedang berebut pengaruh dan berlumba menarik tokoh2 terkemuka dunia persilatan untuk memperkuat kedudukan masing2.

Buyung-cengcu adalah ayah Leng-hong Kongcu, di perkampungan keluarga Buyung Itupun berkumpul tidak sedikit orang 2 Kangouw, paman Lui pikir mungkin di situ akan dapat ditemui pembunuh yang dicarinya itu. Kekayaan Buyung cengcu sukar dinilai, orangnya suka pada kemegahan, bukan saja anggota keluarganya hidup mewah, bahkan setiap tamunya, setiap anak buahnya juga serba perlente.

Hanya paman Lui saja yang tetap berbaju compang- camping dan tidak suka merawat mukanya, namun Buyung cengcu tahu Kungfu paman Lui sangat tinggi, berjiwa luhur dan sangat setia kawan maka terhadap gerak- gerik paman Lui tidak pernah ada pembatasan. Bahkan diserahi tugas berat untuk menjaga rumah tangganya.

Rumah tangga Buyung-cengcu sendiri tinggal di bagian paling dalam di komplek perkampungan nya, penjagaan sangat keras, biarpun anak kecil kalau tidak dipanggil juga dilarang masuk. Tapi paman Lui yang kelihatan dekil dan kasar itu justeru bebas keluar masuk di situ, dia benar2 mendapatkan penghargaan lain dari Buyung cengcu.

Bahwa paman Lui juga kerasan tinggal di perkampungan keluarga Buyung ini bukan cuma lantaran mendapat penghargaan istimewa dari Buyung cengcu, yang lebih penting adalah karena paman Lui sangat suka kepada Tian Wan-ji, sayangnya kepada anak dara itu boleh dikatakan melebihi ayah bunda kandung si nona.

Sebab itulah paman Lui sudah sekian lama berdiam dI perkampungan Buyung ini, namun selama itu pula dia tidak pernah lupa menyelidiki pembunuh saudara-angkanya itu.

Sesungguhnya, bahwa paman Liu tidak suka berdandan dan merawat mukanya itu, sebabnya tidak lain adalah karena rasa dukanya atas kematian saudara angkatnya. Meski kejadian itu sudah berpuluh tahun, tapi tidak satu saatpun dilupakannya, senantiasa teringat oleh kejadian itu dan dia harus, menuntut balas. Sekarang, secara tidak terduga dia melihat pemuda yang diduganya adalah keturunan Tian ln-thian, tentu saja bergolak perasaannya. Padahal dia tidak pernah mendengar bahwa saudara-angkatnya itu mempunyai isteri dan beranak. Tapi pemuda yang dilihatnya sekarang ini baik gerak-geriknya maupun raut watahnya memang sangat mirip dengan mendiang Tian In-thian. Malahan diluar jendela didengarnya pula pemuda itu berkata kepada Wan ji bahwa dia juga she Tian serta tentang kematian ayahnya yang mengenaskan dan sebegitu jauh musuh yang membunuh ayahnya juga belum diketahui.

Seketika bergolak darah di dada paman Lui, tak tahan lagi ia lantas menerobos ke dalam dan mencengkeram pemuda itu kencang2 untuk ditanyai.

Karena dipengarui emosi, paman Lui. lupa kalau tenaga yang digunakan terlalu besar; apalagi Tian Pek masih sakit, sudah tentu pemuda itu tak tahan hingga akhirnya jatuh pingsan.

Setelah Wan-ji menjerit kaget baru paman Lui sadar dari lamunannya, betapa terperanjatnya ketika diketahui Tian Pek jatuh pingsan karena kesakitan, cepat2 ia lepaskan cengkeramannya dan mengurut jalan darah pemuda itu.

Wan ji menjadi cemas menyaksikan keadaan Tian Pek, tanpa terasa air matanya ber-linang2 Anak dara. yang cantik seperti bidadari ini hidup dimanja, banyak pemuda tampan dari keluarga bangsawan dan hartawan yang mengejarnya, namun anak dara ini tak pernah memandang sebelah mata kepada mereka.

Tapi kini ia malah jatuh cinta terhadap seorang pemuda gelandangan yang sedang menderita sakit.

"Nona!" bisik paman Lui dengan perasaan menyesal. ia tak menduga akan menyedihkan hati nona itu karena kecerobohannya, maka dengan lembut dihiburnya: "Jangan kuatir, dia takkan mati, dia cuma jatuh pingsan."

"Aku. . . . . aku benci kau. " teriak wan-ji sedih air

mata bercucuran dengan derasnya, ia sakit hati karena Tian Pek dicengkeram paman Lui sampai jatuh pingsan, tanpa disadari terluncurlah kata2 kasar itu

.

Setelah ucapan tersebut meluncur keluar, dara itu baru merasa kata2 itu tak pantas diucapkan kepada seorang tua yang begitu menyayangi dirinya, ia menjadi kikuk. Maka setelah berhenti sebentar, katanya lagi: "Kalau. kalau dia

sampai mati. . . . . aku takkan memaafkan engkau. . . ya, . takkan kumaafkan perbuatanmu itu. "

Gadis itu berusaha melunakkan nada suaranya, ia tak ingin mengucapkan kata yang menusuk hati paman Lui, tapi rasa kuatirnya atas diri Tian Pek membuat kata2 nya tetap kedengaran ketus.

Paman Lui tertegun mendengar perkataan itu, sejak ia bermukim di perkampungan keluarga Buyung ini, rasa sayangnya terhadap Wan-ji melebihi kasih sayangnya kcpada puteri kandung sendiri, walaupun selama hidup ia tak pernah kawin dan mempunyai anak. tapi dia percaya sekalipun Ia punya anak sendiri, rasa sayangnya atas did Wan ji takkan berubah.

la sama sekali tak menyangka gadis yang amat disayanginya tega mengucapkan kata2 kasar semacam itu, maka paman Lui jadi tertegun. Cuma saja hal itu hanya berlangsung dalam waktu singkat, segera paman Lui mengurut pula jalan darah Tian Pek sambil melirik sekejap ke arah gadis itu. Dilihatnya Wan ji sedang mengawasi Tian Pek dengan rasa kuatir dan air mata berlinang2 , maka tahulah paman Lui apa artinya itu.

"Ah, rupanya anak perempuan yang nakal ini telah jatuh cinta           ehm, begitu besar rasa cintanya kepada  pemuda

ini sehingga dia bersedia mengorbankan segalanya          Ai,

aku memang tolol, makin tua makin goblok kenapa

pikiranku tidak sampai ke situ? Apalagi yang berharga di perhatikan oleh seorang gadis remaja seperti dia kecuali soal cinta?

Setelah menyadari hal itu, bukan saja ia tak marah atas sikap Wan-ji yang kasar tadi, la malahan ban tersenyum dan berkata: "Wan ji, jangan kuatir Paman bertanggung jawab atas keselamatannya, tanggung akan kuserahkan seorang, seorang kepadamu”

Seorang apa? Seorang kekasih? Seorang calon suami

?Paman Lui tidak menerangkan lebih jauh, ia menjadi kikuk dan garuk2 kepala.

Dasarnya Wan ji memang polos dan binal, tingkah laku paman Lui yang kocak menggelikan hatinya, tertawalah dia, malahan ia lantas tanya "Paman Lui, seorang apa maksudmu? Kenapa tak kau lanjutkan perkataanmu?"

"Se . . . . seorang .. manusia yang hidup," setelah gelagapan akhirnya meluncur juga kata-kata itu, ia kegirangan karena berhasil mencari kata yang tepat untuk jawabannya.

"Hihihi. . . . . "Wan-ji tertawa cekikikan," tentu saja seorang manusia yang hidup, masa kau anggap aku menyukai orang mati. . . . .., Lucu sekali paman ini. . . . . ..

Tiba2 mukanya berubah jadi merah, dengan tersipu ia tunduk kepala dan memainkan ujung baju sendiri.

Ketika ia melirik paman Lui, dilihatnva orang tua itu sedang memandang.nya lekat 2 , cepat anak dara itu tunduk kepala pula lebih rendah, mukanya semakin merah.... . . . .

Nyata paman Lui seudiripun tak tabu kenapa Wan-ji bersikap begitu? Kenapa si nona jadi ter-sipu2?

Siapakah di dunia ini yang bisa menebak perasaan seorang gadis remaja. Kiranya se-hari2 Wan-ji sering mendengar ibunya menyebut ayahnya dengan istilah "orang mati", sebagai gadis yang masih hijau dan polos, dia mengira sebutan "orang mati" adalah kata ganti dari "suami". Sekarang tanpa disadari ia telah mengibaratkan Tian Pek sebagai "orang mati", pantas mukanya lantas merah.

Pada saat itulah T,an Pek telah siuman kembali dari pingsannya setelah jalan darahnya diurut paman LIU, pelahan dia membuka matanya, pertama yang masuk  dalam pandangannya adalah Wan-ji yang cantik jelita bagaikan bidadari.

"Air. . . . . " bisik Tian Pek dengan lirih. Kesadaran pemuda ini belum pulih kembali.

Meskipun ia depat melihat Wan-ji yang cantik ini, tapi ia lupa di manakah ia berada, ia hanya merasa haus sekali maka cuma kata itu saja yang mampu diucapkan.

Wan-ji kegirangan melihat pemuda itu telah ladar kembali, dengan wajab ber seri 2 ia tuang semangkuk air, lalu bangunkan pemuda itu dan menyuapkan air ke mulutnya . .

Paman Lui hanya menggeleng kepala sambil menghela napas ketika menyaksikan perbuatan anak dara itu, tak tersangka puteri jelita kesayangan keluarga Buyung yang selalu di manja dan tinggi hati ternyata bersikap mesra terhadap seorang pemuda gelandangan, sungguh kejadian yang tak pernah di duga siapapun juga.

Cinta memang mempunyai kekuatan yang maha besar dan sukar dibayangkan…… "Te . . . . terima terima

kasih. "bisik Tian Pek lirih.

Selelah minum, kesadaran anak muda itupun berangsur pulih kembali, pertama yang dia rasakan adalah bau barum ciri khas orang perempuan. Menyusul ia lihat ada selembar wajah yang jelita hampir menempel di samping wajah sendiri.

Dan terakhir ia merasa.. badannya berada dalam dekapan seorang gadis yang cantik jelita.Tian Pek menjadi malu sekali wajahnya berubah merah, suatu perasaan yang aneh mengguncang hatiuya. Rasa empuk, halus dan hangat seperti ini baru dirasakan untuk pertama kalinya., ia lihat gadis secantik itu sedang merangkul tubuhnya sementara tangannya yang putih halus sedang menyuapi air ke mulutnya, biji matanya yang bening dan halus sedang memandangnya dengan perasaan kasih sayang yang tak terkatakan.

Pemuda itu merasa apa yang dialaminya sekarang bagaikan dalam mimpi belaka, ia sangat terharu, saking terharunya sampai tak mampu berkata.

Setelah mengucapkan terima kasih ia berpaling dan tiba2 dilihatnya manusia aneh itu berdiri pula di depan pembaringan sambil mengawasinya dengan pandangan tajam, segera ia meronta hendak berduduk.

Kalau tidak meronta mungkin keadaannya masih mendingan, begitu badan bergoyang, luka bekas bacokan pada lengan kirinya seketika terasa sakit sekali, dengan lemas ia terjatuh kembali dalam rangkulan anak dara itu. Sekalipun rasa sakit tak sampai membuat pemuda itu mengeluh, tapi ketika untuk ketiga kalinya ia terjatuh kedalam rangkulan Wan ji, kebetulan tangan gadis itu menyentuh bahunya, melihat darah segar yang mengucur dengan derasnya, tak tahan lagi gadls itu menjerit. "Ada apa?" seru paman Lui dengan terperajat, cepat ia memburu maju.

"Wan ji, kenapa....?" dari luar pintu berkumandang pula seruan kuatir, menyusul Nyonya cantik yang berwajah agung itu lantas lari masuk.

"Kenapa dia ? Apa jang terjadi?" Tapi dengan cepat

semuanya menjadi jelas,

kiranya gerakan Tian Pek tadi mengakibatkan, lukanya merekah kembali, dengan sendirinya darahpun mengucur keluar.

Dengan wajah kaget bereampur kuatir nyonya cantik itu menutuk Pit-ji-hiat serta Sim-hi-hiat di tubuh Tian Pek, kemudian kepada puterinya ia berseru: "Wan-ji, cepat ambilakan satu cawan kuah jinsom yang kental, lekas!"

Wan-ji mengiakan dan buru 2 turun dari pembaringan dan lari keluar. “Wan-ji, tak usah kau pergi!" tiba2 paman Lui berseru. "Aku mempunyai sebutir obat yang jauh lebih manjur, meskipun kuah jinsom dapat menambah darah, tapi obatku ini beberapa kali lipat lebih mujarab daripada jinsom."

Sambil berkata ia mengeluarkan sebuah botol kecil yang dilipat ber-lapis2 , tampaknya sangat berharga.

"Paman, berikanlah obat itu kepadaya," teriak Wan-ji dari luar Pintu, "biar kuambil pula kuah jinsom, agar lebih manjur" “Aii bocah ini biasanya memang gesit dan simpatik," ujar si nyonya cantik tertawa. Karena lukanya pecah kembali, Tian Pek merasa sakitnya tidak kepalang sampai merasuk ke tulang sumsum, tapi kesadarannya tidak punah, ia dapat menyaksikan betapa kasih sayangnya wanita setengah baya itu memperhatikan dirinya dan dapat pula menyaksikan betapa cemasnya Wan ji atas lukanya.

Dalam hati pemuda ini sangat terharu, orang2 ini adalah keluarga kaya, apa yang mereka kehendaki selalu dilayani oleb pelayan, tapi sekarang karena seorang pemuda gelandangan, mereka bersedia menurunkan derajat sendiri dan melayani dia dengan begitu hangat, tak terkira rasa terima kasih yang timbul dalam hati kecilnya

.

Sementara itu paman Lui telah membuka bungkusan dan mengeluarkan satu botol porselin kecil ketika botol itu dlbuka penyumbatnya, maka menggelindinglah sebutir obat warna merah sebesar buah kelengkeng, Bau harum semerbak tersiar ke mana2 , dengan kejut bercampur girang nyonya cantik itu berseru: "Wah, obat apa itu"! Baunya sedap sekali!"

"Pil ini adalah Liong hou-si-mia wan!" kata paman Lui. "Apa? Liong hou-si--mia-wan?" tukas sang nyonya cantik dengan terperanjat. "Kalau tidak keliru, obat itu bukankah berasal dari Siau-lim-si?"

"Betul:, obat ini memang berasal dari Siau-lim-si," "Aku tahu obat ini adalah. obat mestika Siau lim-si yang jarang diberikan kepada orang lain, darimana Hiante (adik) memperolehnya . . . ?"

Perlu diketahui Buyung-cengcu amat menaruh hormat terhadap paman Lui, maka saling menyebut saudara dengan jago ini, lantaran itu nyonya cantik inipun menyebut saudara padanya. Setetah ucapan tadi meluncur keluar; nyonya itu baru merasa telah salah bicara, dengan pertanyaan tersebut bukankah sama artinya ia telah mencurigai asal-usul dan cara mendapatkan obat mestika itu? Dengan perasaan tak enak ia lantas membungkam.

"Lima belas tahun vang lalu aku pernah membantu ketua Siau.lim-si menyelesaikan suatu perkara," paman Lui menerangkan. "karena rasa terima kasihnya, maka ketua tersebut menghadiahkan tebutir pil Liong-hou-si-mia-wan padaku. Tapi aku tak pernah memakainya dan sekarang. . .

. . " - Dia angsurkan obat itu ke hadapan Tian Pek, kemudian melanjutkan: "Boleh juga kuberikan obat mestika ini padamu tapi sebelumnya harus kaujawab dulu pertanyaanku tadi dengan sejujurnya” Tian Pek sendiri sama sekali tidak kenal siapa paman Lui ini, dia hanya merasa betapa bengis dan garangnya orang ini, perbuatannya agak sinting dan sukar dimengerti, sudah dua kali ia mencengkeram tangannya di kala ia sedang sakit parah.

Karena perbuatannya itu, Tian Pek jadi tak senang terhadap orang ini, apalagi sekarang orang itu bendak paksa dia menjawab pertanyaan dengan imbalan obatnya.

Dasar Tian Pek adalah seorang yang angkuh, sudah kenyang menderita, baginya lebih baik mati daripada menerima belas kasihan orang lain. Maka ia lantas mendengus, tanpa bicara ia putar badan menghadap ke dinding, terhadap perkataan paman Lui sama sekali tidak digubrisnya. Paman Lui jadi mencak2 gusar bagaikan kebakaran jenggot.

Nyonya cantik itupun agak tercengang melihat sikap Tian Pek, dengan lembut ia lantas berkata: "Nak, pil Liong- hou-si-mia-wan ini amat berharga dan dapat menyembuhkan penyakit apapun, bagi orang yang belajar silat obat ini bisa memperkuat tenaga dalam, banyak orang persilatan ingin mendapatkan obat ini, tapi mereka tak punya rejeki, sebaliknya kau yang diberi malah menolak, kan lucu? Apa yang telah paman Liu tanyakan kepadamu? Hayo jawablah! Kemudian makanlah obat itu, bukan saja penyakitmu akan sembuh bahkan amat bermanfaat bagimu.

. "

"Aku tak sudi!" jawab Tian Pek ketus, paman Lui tambah gusar, dia mencak2 seperti orang gila. "0, mati aku.

. . mungkin mataku yang sudah buta, aku.. “

Sikap paman Lui makin lama makin diliputi emosi, sampai akhirnya tak ketahuan apa yang sudah ia ucapkan. Sambil memegang obat mestika itu, ia menjadi serba salah, pikirnya: "Banyak orang persilatan yang meng-impi2kan benda mestika ini, untuk mendapatkan benda ini akupun harus pertaruhkan nyawa tnembantu pihak Siau-lim-si, lima belas tahun lamanya kusimpan obat ini, siapa tahu bocah ini kelewat tolol, masa kuberikan kepadanya tak diterima malahan ditolak mentah 2 , sialan!"

Tentu saja obat mestika itu tak dapat disimpan kembali, sebab kalau dia kembalikan ke dalam botol, niscaya orang lain akan menuduh ia kikir.

Akhirnya dengan gemas tercampur dongkol paman Lui membanting obat mestika itu ke lantai. Nyonya cantik itu berdiri melongo dengan pandangan kaget, untuk beberapa saat ia tak mampu mengucapkan sepatah katapun. Dalam pada itu paman Lui tanpa berpaling lantas menorobm keluar.

Suara bantingan tadi mengejutkan Tian Pek, ia berpaling, dilihatnya manusia aneh itu sudah tidak ada, sebaliknya nyonya cantik itu berdiri melenggong.

"Apa yang terjadi?' ia bertanya. "Ai, kau telah menyakiti hati paman Lui” bisik nyonya cantik itu sedih.

"Menyakiti hati siapa?" tanya Wan-ji yang baru muncul dengan membawa sebuah nampan kemala dengan sebuah mangkuk bertutup.

Begitu sampai di sisi pembaringan. ia taruh nampan itu di meja, kemudian membuka tutup mangkuk dan meniup hawa panas dalam mangkuk dengan mututnya yang mungil dengan mesra dia suapin Tian Pek seraya berkata "Hayolah, cepat makan, biar kusuapi kau!"

Tian Pek menggeleng, ia pandang nyonya cantik itu dengan keheranan, lalu bertanya: "Nyonya, aku tak mau makan obatnya, kenapa dia jadi sakit hati?" Nyonya cantik itu tidak menjawab. ia termenung sejenak, kemudian sambil menatap wajah Tian Pek ia balas bertanya: "Apa yang paman Lui tanyakan padamu tadi?"

"Dia tanya siapa .. . siapakah diriku?" sahut Tian Pek tergagap. "Iapun bertanya . “

"Bertanya apalagi?" desak nyonya cantik itu penuh perhatian.

"Ibu!" sela Wan-ji, "jangan bertanya melulu, biarkan dia makan dulu dong! Kalau tidak, dia bisa . . . . " "Jangan mengganggu!" tukas si nyonya cantik dengan wajah prihatin, matanya yaug jeli menetap tajam wajah pemuda itu.

"Dia tanya Tian " Tian Pak tergagap demi harus menyebut nama ayahnya, ". Tian

In-thian itu ada hubungan apa dengan aku'!"

Air muka nyonya cantik itu berubah tegang, tubuhnya bergetar karena menahan emosi, desaknya lebih lanjut: "Kalau begitu, apa hubunganmu dengan Tian Tian In-

thian? Mengapa tidak kau jawab pertanyaan paman Lui?"

Tiau Pek tertunduk sedih, berhadapan dengan nyonya cantik yang berulang kali menolong jiwanya ia tak ingin berdusta, maka jawabnya dengan jujur: “Sebetulnya Tlan . .

. . Tian In- thian adalah mendiang ayahku” Terkenang pada nasib ayahnva yang malang, penderitaannya semenjak kecil serta dendam kesumat yang masih merupakan tanda tanya besar, si anak muda itu tak dapat menahan rasa dukanya lagi, air mata jatuh bercucuran dan hati terasa pedih bagaikan di-sayat2.

Semula nyonya cantik itu mengunjuk rasa kaget dan tercengang, kemudian dengan wajah berseri ia seperti mau bicara, tapi akhirnya maksud itu dibatalkan.

Wan ji tak tahu siapa Tian In-thian yang dimaksudkan, iapun tak menaruh perhatian terhadap perubahan air muka ibunya, ketika hendak menyuapi kuah jiosom ke mulut Tian Pek, tiba2 ia lihat anak muda itu melelehkan air mata. maka mangkuk itu diletakkan kembali ke meja. lalu ia ambil saputangan untuk mengusap air mata anak muda itu.

"Janganlah menangis, ia menghibur dengan lembut. "Mari, kuseka air matamu, makanlah buah jinsom ini agar sakitmu cepat sembuh, kau harus menurut. "

Lagak gadis ini se-akan! sedang menimang seorang anak kecil saja, keruan Tian Pek jadi melongo dan merasakan sesuatu yang sukar dijelaskan.

Tiba2 dari luar lari masuk seorang dayang cilik dengan gugup ia mendekati nyonya cantik itu, setelah memberi hormat ia berkata dengan gelisah: "Nyonya, kiranya engkau berada di sini, hamba telah mencari ke mana2 Loya

lagi marah2 dan suruh mencari nyonya. . . harap nyonya lekas ke sana." Saking gugup dan tegangnya muka dayang baju hijau itu jadi merah padam dan napasnya ter sengal2. Dengan sikap tak senang hati nyonya cantik itu berkerut dahi, ucapnya: "Ada urusan apa Loya mencari aku'!"

"Hamba. hamba tidak tahu," jawab dayang itu, "Loya

sedang marah dan nyonya disuruh lekas ke sana."

Dengan perasaan apa boleb buat nkhirnya si nyonya cantik berdiri, ia melirik sekejap pada Tian Pek. lalu pesannya kepada Wan-ji: "Rawat dia baik2, aku segera akan kembali!"

Wan-ji mengiakan, nyonya cantik itupun berlalu diiringi dayang Cilik itu.

Setelah nyonya itu pergi, ruang tidur yang indah tinggal dua orang saja, dengan manja Wan-ji menyuapi Tian Pek untuk menghabiskan kuah jinsom tadi.

Sejak ibunya meninggal. Tian Pek hidup luntang lantung tanpa kenal arti kehangatan hidup, ia hanya tahu menderita dan tersiksa. Berbaring di pembaringan yang empuk serta ditemani gadis cantik yang simpatik, membuat pemuda itu hampir saja lupa daratan, apalagi kuah jiosom yang disuapkan ke mulutnya mendatangkan rasa hangat dalam perut, membuat anak muda itu terpesona dan terlena.

sambil menelan kuah jmsom yang disuapkan kemulutnya, diam2 Tian Pek mengamati gadis cantik yang duduk di sampingnya itu. potongan tubuhnya yang ramping dan pakaiannya yang indah berwarna biru, dara itu tampak agung dan mempesona.

Berbaring di dalam rangkulan si nona yang hangat dengan bau harum menyusup hidung, Tian Pek merasa bagaikan berada di alam mimpi, ia tak habis mengerti apa sebabnya gadis cantik yang sebelumnya tidak pernah dikenal ini bersikap begini hangat dan baik kepadanya.

.

Seperginya nyonya cantik itu, satu pikiran berkelebat dalam benak Tian Pek, ia teringat kembali akan perasaan murung dan kesa! yang mengbiasi wajah nyonya cantik itu? dia ingin tahu persoalan apakah yang dirisaukan nyonya itu? Ia pun terbayang kembali pada kehangatan dan kebaikan Wan-ji, kalau dibandingkan pemuda yang jumawa tadi serta gadis berbaju hitam yang dingin bagaikan es, perbedaannya boleh dikatakan bagaikan langit dan bumi, padahal mereka bersaudara,

kenapa tabiat mereka berbeda jauh?

Siapa pula yang disebut Loya oleh dayang baju hijau tadi? Diakah pemilik gedung ini? Suami nyonya cantik ItU? Pelbagai kecurigaan berkecamuk dalam benaknya, tanpa terasa ia bertanya: "Aku . . . . aku ingin tanya sesuatu, apakah nona bersedia menjawab sejujurnya?"

Dasar pemuda polos, ia tak biasa menyelidiki rahasia orang, pertanyaanya diajukan dengan ter-bata 2. "Ai, pakai nona'. . . . nona segala, lucu sekali kau ini " goda Wan-

ji sambit tertawa.

Merah muka T!an Pek. "Engkoh Pek, persoalan apakah yang ingin kau tanyakan? Katakan saja terus terang'" seru Wan-ji palos.

Ketika dilibatnya Tian Pek merasa jengah hingga mukanya berubah merah padam, dengan bersungguh- sungguh ia berkata lagi: "Asal adik tahu masalahnya, tentu akan kukatakan padamu! Jangan Nona. . . . nona begitu lagi, lucu dan tak enak didengar, panggil saja aku adik Wan!" "Aku tak berani memanggil begitu. "

"Ah, kita kan sama2 dari marga Tian, kenapa tidak berani? Sungkan? Jangan urusi soa tetek bebgek seperti itu. Eugkoh Pek, apa yang ingin kau tanyakan?”

"Adik Wan " bisik pemuda itu lirih.

Wan-ji kegirangan, mukanya berseri, senyum manis menghiasi bibirnya: "Nah, begitu baru enak didengar," serunya. Tian Pek tunduk ter-sipu2, sesaat kemudian baru ia berkata lagi: "Loya yang dimaksudkan dayang tadi apakah ayahmu? “

Wan-ji mengangguk. "Kulihat Ibumu tak senang hati apakah hubungan ayah-ibumu", Senyum manis yang tersungging di bibir Wan-ji segera lenyap tak berbekas, dengan wajah murung selanya: "Engkoh Pek, janganlah menanyakan persoalan itu padaku, adik tak ingin membicarakan masalah orang tua "

Ucapan itu makin lirih bingga akhirnya hampir tak terdengar, kepalanya tertunduk rendah. Dari sikap Wan-ji yang murung, Tian Pek tahu kalau masalah itu tak ingin dibicarakannya, maka ia alihkan pembicaraan ke soal lain.

"Kalau adik Wan tak ingin menjawab, akupun tak akan bertanya lagi, hanya saja, ada persoalan lagi yang membuat hatiku tak habis mengerti, kenapa Sikap adik Wan begitu baik? Sedang engkohmu begitu jumawa dan eneimu begitu dmgin . . . . . . ..

"Jangan bicara tentang mereka!" seru Wan-ji sambil menengadah, ditatapnya pemuda itu dengan lekat. "Boleh adik bertanya pula padamu'! Engkoh Pek, setelah engkau sembuh dari sakitmu, apa yang hendak kau lakulan?"

Tian Pek tertegun, untuk sesaat ia tak mampu mengucapkan sepatah katapun. Tentu saja la hendak membalaskan dendam bagi kematian ayahnya, tapi ke mana ia harus cari pembunuh itu? Tanpa sesuati bukti dan petunjuk, mana mungkin sakit hati bisa di balas? Apalagi pedang mestika serta barang peninggalan ayahnya telah tercerai- berai, ilmu silat yang dimilikipun amat cetek. Tanpa bekal yang cukup sudah pasti semua harapan akan hampa belaka.

Terbayang kesulitan yang terbentang di depan mata, pemuda Itu merasakan hatinya menjadi kosong dan pedih, tak kuasa titik air mata meleleh membasahi wajahnya.

"Engkoh Pek!" Wan-ji segera berseru sambil memeluk pemuda itu erat2 "kemanapun kau akan pergi, adikmu takkan berpisab denganmu, aku akan selalu menemani kau!"

Tian Pek sangat terharu, dalam kepedihannya timbul perasaan hangat yang membuat pemuda itu tak dapat menguasai diri lagi, ia balas memeluk Wan-ji dan bergumam: "Baik, selamanya kita takkan berpisah . . . . . . .

selamanya. ya selamanya takkan berpidah. "

Tiba2 dari luar jendela berkumandang suara orang mendengus, dengusan itu ibarat hembusan angin dingin yang menggugurkan bunga indah. "Budak tak tahu malu, merusak nama baik keluarga . . . . . sungguh memalukan'" teguran ketus dan dingin menyusul dari luar kamar.

"Toako, kau berani menghina aku!" teriak Wan-ji dengan merah, ia loncat bangun dari rangkulan Tian Pek dan menerobos keluar. Suara ribut dan cekcok mulut itu kian lama kian menjauh, akibatnya tak kedengaran lagi.

Suasana yang semula hangat kini berubah menjadi dingin bagaikan beku, Tian Pek tak mampu berbuat sesuatu menghadapi kejadian itu kecuali membungkam dan berbaring tak berkutik di tempatnya.

Ia menghela napas dan memejamkan mata ingin istirahat dengan tenang. Suasana amat hening, tiba2 sesosok bayangan menerobos masuk ke dalam kamar, gerakannya cepat luar biasa, tahu2 sudah berada di depan pembaringan, kedua telapak tangannya sekaligus menepuk tubuh Tian Pek.

Mata Tian Pek terpejam, ia tidak merasakan ada orang masuk ke kamar, ketika mendengar sesuatu suara baru ia membuka mata dan memandang kejut ke arah orang itu: "Paman Lui, kau. "

Dengan muka bengitu mengerikan paman Lui siap se- akan2 mencekik lehernya, begitu menyeramkan wajahnya membuat anak muda itu terkesiap dan tak mampu melanjutkan kata2nya.

Memang bayangan orang yang menerobos ke dalam kamar ini ialah paman Lui, dia sendiripun tertegun ketika mendengar seruan kaget Tiau Pek, tangannya terjulur terhenti di udara, apalagi ketika sorot mata mereka saling bertemu, muka yang semula bengis mendadak tersapu lenyap, senyum ramah segera tersungging di ujung bibirnya.

Dipandangnya pemuda itu beberapa saat, akhirnya ia memondong Tian Pek dan secepat kilat menerohos keluar dan meninggalkan kamar itu. Tian Pek terkejut, hampir saja ia menjerit. tapi jeritan itu dibatalkan sebab dia tidak ingin menunjukkan kelemahan sendiri.

Setiba di tengah kebun, pemuda itu berusaha untuk meronta, namun sekujur badan lemas tak bertenaga, dia ingin menegur paman Lui, namun tak tahu apa yang mesti diucapkan, akhirnya pemuda ini ambil keputusan untuk tetap membungkam. Paman Lui terus melayang kc arah sebelah kanan taman. Sekilas pandang Tian Pek melihat pepohonan tumbuh dengan rimbunnya di taman ini, aneka bunga menyiarkan bau harum tampak bangunan gedung, tapi sebagian tertutup oleh gunung2an dan pepohonan, maka pemandangan di situ tak begitu jelas, yang pasti taman ini sangat luas, belum pernah ia jumpai taman seluas ini.

Sementara itu paman Lui telah melayang dengan cepat, pandangannya menjadi kabur, dari sini dapat diketahui betapa cepatnya orang aneh itu berlari. Sesaat kemudian ia merasakan tubuhnya se-akan2 dibawa lari melalui suatu serambi panjang, ujung serambi itu ternyata adalah sebuah bukit kecil, bukit itu mirip gunung2an buatan, tapi gunung2an tak mnngkin ..setinggi itu, kalau dibilang bukit sungguhan tak mungkin begitu indah mungil.

Sebuah jalan berliku melintas ke atas bukit, pepohonan tumbuh dengan lebatnya, suasana hening, udara sejuk, suatu tempat yang amat menarik. Tapi paman Lui tidak melalui jalan bukit itu, ia menerobos masuk ke dalam hutan, hal ini mengejutkan pemuda itu.

"Wah, celaka” batinnya. tapi ingin ia pasrah nasib. Tabu2 paman Lui berhenti seraya berkata: "Sudah sampai!" Tian Pek membuka matanya, tempat itu ternyata adalah sebuah gua, cahaya bintang memancar masuk dari luar, meski gua ini gelap lengang,

namun di dalam gua ada meja dan kursi batu, semuanya terawat bersih, hal ini sama sekali berbeda daripada paman Lui yang dekil tak terurus ini.

Diam2 Tian Pek merasa heran, pikirnya: "Tempat apakalh ini? Kenapa dia ajak aku kemari? Mau diapakan aku ini?" Paman Lui sendiri hanya bungkam saja, ia tidak ke memberi keterangan, juga tidak mengatakan apa2, suasana tetap diliputi keheningan.

Paman Lui membaringkan dia di sebuah dipan batu, dengan perasaan apa boleh buat pemuda itu menghela napas panjang, sekali lagi ia pejamkan mata sambil membatin: "Peduli apa yang dia mau lakukan, akhirnya teka-teki ini pasti akau terbongkar. . . “

Paman Lui berdiri di depan pembaringan, dengan sorot mata yang tajam ia mengawasi Tian Pek, tiba2 ia ayun telapak tangannya dan menghantam tubuh pemuda itu.

"Bluk!" Tian Pek merasa hantaman itu tepat mengenai dada, dan pinggangnya, terasa sakit dan ngilu, ia menjerit keras dan membelalakkan matanya. Ia sempat menyaksikan mimic wajah paman Lui yang aneh, apa yang kemudian terjadi, ia tak

tabu lagi karena ia lantas tak sadarkan diri.

Entah berapa lama, pelahan Tian Pek sadar kembali dari pingsannya. Gua itu tetap gelap gulita, bahkan jauh lebih gelap daripada semula.

Perlahan anak muda itu membuka matanya, ternyata tiada sesuatu yang terlihat, buka mata atau terpejam sama sekali tak ada bedanya, karena tiada sesuatu yang dapat terlihat, kenapa begitu? Apakah tengah malam saat ini? Tapi sekalipun di tengah malam tentu juga ada setitik sinar.

Pemuda itu tak mengerti, kenapa bisa begitu? lapun tak tahu, apakah masih berada dalam gua semula atau sudah pindah ke tempat lain. Ia berusaha untuk meronta bangun dan berduduk, tubuhnya terasa enteng dan penuh bertenaga, rasa sakit, penat serta lemas yang pernah dialaminya kini sudah lenyap, Tian Pek sangat heran, hampir saja ia tak percaya pada kenyataan ini, bukan sekali saja ia pernah sakit, tapi belum pernah penyakitnya lenyap dengan begitu saja dalam waktu singkat.

Dengan perasaan heran dan penuh tanda tanya ia melompat. bangun, tiada sesuatu yang terlihat olehnya, suasana tetap gelap gulita dan sepi.

Ia sangsi sejenak, akhirnya ia berseru: "Paman Lui". Tiada jawaban, paman Lui yang aneh itu entah ke mana perginya? Jangankan muncul, menjawabpun tidak. la tak berani sembarangan maju, walaupun saat itu sudah berdiri, tubuhnya terasa segar dan enteng, jauh lebih enteng dari pada sediakala.

Lama sekali ia berdiri ter-mangu2, ia tak tahu apa yang harus dilakukan, segulung angin dingin berembus lewat mengibarkan ujung bajunya.

"Aneh!" pikirnya, "darimana embusan angin di tempat yang begini gelap gullta?" Dengan perasaan heran dan ingin tahu ia maju ke depan, menghampiri arah datangnya embusan aogin tadi ukhirnya ditemukan angin itu berasal dari atas sebuah batu cadas yang arnat besar.

"Aneh benar," pemuda itu makin tercengang "masa angin bisa berembus masuk dari atas batu cadas?"

Dengan hati2 ia meraba sekitar batu cadas itu akhirnya pemuda itu jadi paham, rupanya di sekitar batu itu terdapat belasan buah lubang kecil sebesar kelereng, angin berembus masuk melalui lubang2 kecil itu.

"Kalau ada angin berembus masuk, sewajarnya sinarpun bisa menerobos masuk ke dalam gua ini tapi mengapa suasana tetap gulita?" pemuda itu bergumam. ia berusaha untuk menemukan jawabannya.

Ah, mestiinya lubang2 kecil itu berhubungan dengan gua lain yang gelap juga, maka tiada sinar yang masuk kemari melainkan hanya embusan angin. Apa yang ingin diketahuinya terjawab juga, namun keadaan gua itu tetap gelap lima jari sendiripun sukar terlihat apalagi benda lain.

Pemuda itu merasa masgul, terpaksa ia duduk kembali sambil bertopang dagu, apa yang dapat dilakukan dalam keadaan demikian? Ketika ia berbangkit kembali, diam2 ia renungkan arah pembaringan, lalu membayangkan pula letak mulut gua waktu dia datang, kemudian ia meraba2 ke sana.

Tapi, ah, tempat yang semula adalah mulut gua kini telah berubah menjadi dinding, pemuda itu semakin panik, ia berusaha meraba dinding di sekelilingnya, namun apa yang teraba hanya dinding batu yang halus, sama sekali tiada lubang apapun.

Ke mana larinya mulut gua itu? Tak mungkin gua itu sebuah gua yang buntu, darimana dia dapat masuk kesitu kalau tidak lewat pintu gua? Tian Pek benar2 kebingungan, sambil menempel dinding ia bergerak ke kanan, dari situ berbelok lari ke kanan, mendadak tangannya menyentuh sesuatu.

Ketika ia meraba lebih seksama. ternyata benda itu adalah sebuah karung kecil, isi karung itu adalah sebangsa biji2an bahan makanan, di samping karung tersedia pula sekentong air bersih, ia coba mencium bau air itu, ternyata berbau harum, mirip harum arak atau barum sayuran.

Tak tahan lagi, ia menghirup air itu seteguk, rasanya manis dan segar, walaupun terasa agak sepat, namun semangat tubuhnya segera berkobar, hatipun terasa jauh lebih tenang.

Pemuda itu lanjutkan kembali rabaannya, kecuali sebuah meja batu terdapat pula dua buah kursi batu, meja itu kosong kecuali ada sejilid kitab yang .amat tipis, ia mengambilnya untuk dilihat.

Tapi ketika teringat keadaan gelap gulita, ia letakkan kembali kitab itu ke atas meja. Apa gunanya membawa buku di gua yang gelap?

Pemuda itu lanjutkan lagi rabaannya ke arah depan, kembali dia membelok di sudut sana dan akhirnya kembali lagi ke dinding gua di mana angin berembus masuk tadi.

Dengan kecewa dan putus asa pemuda itu kembali ke pembaringan batu, ia makin kebingungan. masa gua itu benar buntu dan sama sekali tak ada pintu masuknya.

Entah sudah berapa lama ia berduduk dan berbaring di pembaringan tersebut, kembali pemuda itu bangkit dan mendekati gentong air, setelah minum dua tegukan, ia comot segenggam biji2an dalam karung dan dimasukkan ke dalam mulut, ternyata rasanya aneh sekali dan belum pernah dirasakan sebelumnya, sambil menggeleng pemuda itu menghela napas panjang, ia tak habis mengerti mengapa pengalamannya selama ini selalu aneh.

Karena pikiran kalut ia merasa iseng pula, ia ambil lagi kitab tadi dan kembali ke pembaringan, ia sangat berharap dapat melewatkan waktu yang senggang itu dengan membaca buku, tapi tiada sinar yang masuk, mana mungkin kitab itu dapat dibaca?

Dengan perasaan apa boleh buat buku itu dibaliknya halaman demi halaman, tiba2 ia temukan sesuatu yang aneh ternyata tulisan yang tercantum dalam kitab itu menonjol keluar, mungkin tintanya terlalu tebal, maka menonjol dari permukaan kertas.

Tian Pek sangat girang, sebab waktu senggangnya kini dapat terisi dengan menikmati isi kitab tersebut. walaupun harus diraba satu persatu. Ia mulai meraba huruf yang pertama, mula2 terasa amat sukar karena harus mengikuti garis tulisan itu, baru sekarang ia merasakan betapa menderitanya orang buta untuk mengenal tulisan.

Namun jerih payahnya tidak percuma, akhimya ia dapat kenali huruf yang pertama sebagai huruf "khi" atau hawa.Semangatnya semakin berkobar, pemuda itu meraba lagi huruf yang kedua dan dikenalinya huruf tersebut adalah huruf "kun" atau membaur.

Setelah dua huruf itu dikenali pemuda itu makin percava pada kemampuan sendiri, dengan seksama dan sabar ia meraba huruf berikutnya. Ternyata huruf selanjutnya adalah "tun" atau murni, lalu "cing" atau bersih serta "tong" atau mendidih.

Huruf keenam dapat dikenali jauh lebih cepat lagi karena huruf itu adalah huruf "cing" lagi, huruf ketujuh adalah "seng" atau menguap huruf kedelapan kembali kata "kun", huruf kesembilan "ciang" atau mengendap, huruf kesepuluh adalah "to" atau ajaran.

Huruf kesebelas dapat dikenali dengan cepat sebab tulisan itu cuma satu garis, yaitu Huruf "It" atau satu, huruf kedua belas adalah "hoat" atau cara, untuk mengenal huruf ketiga belas pemuda ini harus membuang waktu agak lama, sebab garis tulisannya rada rumit. Tapi akhirnya bisa dikenali pula sebagai tulisan “ciong" atau umum.

Untuk membaca ulang ketlga beJas burut itu Tian Pek hanya membutuhkan waktu yang singkat, tapi untuk mengenali huruf2 tadi ia membutuhkan waktu yang cukup lama serta banyak kesulitan.

Ia mengembus napas lega, merenggangkan jari tangannya yang kaku dan menyelami kembali arti dan ketigabelas huruf tersebut. Tapi apa artinya? Pemuda itu tak habis mengerti dan tak mampu memecahkan, lama sekali ia termenung dan memeras otak,

Entah berapa lama sudah lewat, akhirnya dia berpikir lagi: "Yang dimaksudkan hawa di sini mungkin adalah sebangsa hawa murni, hawa murni memang tiada berwujud, untuk menguapkan hawa bersih dan mengendapkan hawa mendidih, teorinya hanya satu tapi caranya sangat banyak... ,"

"Aah, jangan2 beginilah arti ke 13 huruf ini...." tapi dia hanya dapat men-duga2 saja dan tidak tahu apakah dugaannya tepat atau tidak. Ia minum pula dua tegukan air dan mencopot pula segenggam biji2an itu, kemudian melanjutkan rabaannya, ia merasa kalimat berikutnya mempunyai arti yang kian lama kian mendalam, setiap kali berhasil mengenal sebuah huruf dia harus berhenti beberapa lama untuk direnungkan, kemudian sambil meraba huruf berikutnya ia masih memikirkan makna dari huruf sebelumnya. karena itu semakin banyak waktu yang dibutuhkan pemuda Itu untuk memahami maksud dari isi kitab tersebut.

Waktupun berlalu, entah berapa lama sudah, air gentong yang semula hampir penuh kini sudah sisa sedikit, isi biji2an dalam karungpun sudah tinggal tak seberapa lagi.

Tapi pemuda itu tidak risau lagi memikirkan kebutuhan pokok se-hari2nya, semua pikiran dan tenaga dipusatkan pada isi kitab tcrsebut, karena apa yang dapat diperoleh dari kitab tersebut telah menghabiskan semua perhatiannya.

Mimpipun ia tak menyangka isi kitab yang amat tipis itu ternyata begitu dalam, melebihi dalamnya lautan, setiap huruf yang tercantum dalam kitab itu se-olah2 mengandung suatu maksud yang istimewa, dan setiap maksud dari huruf itu merupakan intisari pelajaran ilmu silat. Pada dasarnya Tian Pek gemar berlatih silat hanya sayang selama ini tdk pernah mendapat bimbingan guru pandai, bisa dibayangkan betapa gembiranya pemuda itu setelah mengetahui bahwa isi kitab itu ternyata adalah pelajaran kungfu yang maha sakti, persoalan lain segera tersingkir dari benaknya kecuali mempelajari isi kitab itu.

Setelah menjadi biasa, pemuda itu tidak mengalaml banyak kesulitan lagi dalam mengenali huruf2 berikutnya, tapi arti dan makna dari sctiap huruf itu makin sukar dipahami, kadangkala untuk memecahkan arti dari sebuah huruf dia harus peras otak beberapa waktu lamanya. bukan saja harus mengulang kembali arti kalimat sebelumnya, diapun harus mengcnali dahulu huruf berikutnya, kemudian baru mencari arti yang sebenarnya dari rangkaian kalimat tadi, oleh sebab itulah kemajuan vang dicapai kian lama kian lambat.

Anak muda itu tidak putus asa, makin menjumpai kesulitan semakin bersemangat, ia bertekad untuk menyelami isi kitab itu hingga huruf yang terakhir.

Entah berapa lama pula, suatu hari akhirnya dia dapat mengenali huruf yang terakhir dalam kitab tersebut, betapa gembiranya pemuda itu, dia berjingkrak seperti orang gila, dia ulangi kembali pembacaan kitab itu dari permulaan hingga akhir, setiap kalimat dia renungkan dan pikirkan lagi dengan lebih seksama, bahkan tanpa mengalami kesukaran ia bisa mengapalkan isi kitab itu diluar kepala.

Makin mendalam ia selami arti dari makna tulisan itu, semakin girang hatinya, jantungnya pun berdebar keras, ia temukan kalimat itu mengandung keajaiban serta kesaktian ilmu silat, mimpipun ia tak pernah menyangka akan menemui keajaiban ini. Dengan tekun dan rajin Tian Pek mulai mempelajari isi kitab pusaka itu dan kemudiae melatihnya dengan scksama.

Selama mempelajari isi kitab itu banyak kesulitan yang telah dia alami, tapi sekarang penderitaan itu menghasilkan buah yang manis, dan dia pula yang merasai kemanisan buah tersebut.

Dalam waktu singkat tenaga dalamnya mengalami kemajuan yang amat pesat, berbeda dengan dahulu, Tian Pek yang sekarang adalah Tian Pek yang kosen.

Dengan hasil yang luar biasa itu, waktu istirahat bagi pemuda itupun makin sedikit, ia merasa semangat dan kekuatannya makin berlipat ganda la takmau memlkirkan persoalan lain, sebab kesaktian ilmu silat yang pelajarinya telah merampas semua pikiran dan tenaganya.

Beberapa hari telah dilewatkan lagi dalam kegelapan, ia mulai bersila diatas pembaringan dan meneruskan pelajaran Lwekangnya.

Suatu ketika, tiba2 ia merasakan pembaringan batu yang diduduk itu mulai bergetar keras, kemudian pelahan2 bergeser ke samping. Tian Pek amat terperanjat, ia tarik napas dalam2 dan meloncat turun,tenaga saktinya dihimpun dan siap menghadapi segala kemungkinan, ia tak tahy kejadian aneh apalagi yang bakal ditemuinya.

Pembaringan batu itu masih bergeser terus ke samping, dari luar dinding batu berkumandang gelak tertawa yang nyaring keras memekik telinga.

Tian Pek amat tegang, ia pusatkan seluruh perhatiannya ke arah datangnya suara gelak tertawa itu.

"Blang!" terdengar suara gemuruh disertai cahaya terang memancar masuk ke dalam ruangan di belakang pembaringan batu itu muncul sebuah mulut gua. 

Traktiran: (7891767327 | BCA A.n Nur Ichsan) / (1740006632558 | Mandiri A.n Nur Ichsan) / (489801022888538 | BRI A.n Nur Ichsan) ataupun bisa melalui via Trakteer yang ada dibawah

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar