Jilid 27 (Tamat)
Serangan dari belakang ini memang mengejutkan, akan tetapi di sinilah kelihatan kelihayan Tian Pek, sedikit berkisar, dengan miring iapun menabas ke arah Hud-in Hoat-su.
"Blang!" paderi yang berbadan pendek gemuk itu terhajar mencelat cukup jauh.
Tian Pek sendiri tergetar oleh tenaga pukulan itu, ia sempoyongan mundur tiga langkah, pandangannya gelap dan sekali lagi muntah darah.
"Saudara cilik! Sambutlah sekali lsgi!" mendadak si kakek berjenggot panjang itu membentak.
Dengan kekuatan penuh, kakek itu memutar telapak tangasnya dari menghantam batok kepala anak muda itu dengan Tay-jiu-in. Sungguh hebat tenaga pukulannya, ibaratnya gugur gunung dahsyatnya.
Karena dari kiri kanan dan belakang dihadang pukulan maut musuh2nya, Tian Pek mengertak gigi, dengan jurus Hud-keng-bu-ciau ia sambut serangan itu dengan sepenuh tenaga.
"Blang!" benturan keras terjadi, Ciu-kongkong yang tinggi besar itu tergetar mundur lima langkah, rambutnya yang beruban berdiri kaku bagaikan kawat, isi perutnya teeguncang dan tumpah darah.
Rupanya dalam serangan barusan si kakek berjenggot panjang itu menggunakan tenaga terlampau besar, maka hawa murni Sian-thian-khi-kangnya tergetar balik oleh tenaga pukulan lawan.
Tian Pek sendiri pun terguncang keras oleh adu pukulan itu, tapi ia masih mampu menahan pergolakan darahnya sehingga tak sampai tumpah darah pula.
Tapi ia lupa akan luka pada telapak tangan kanannya, karena gugup serangan tersebut disambut sekenanya, tak heran luka yang sudah membengkak besar tambah sakit, pukulan si kakek berjenggot panjang membuat lukanya semakin parah, keringat dingin pun membasahi tubuhnya.
Ciong nia ci eng dan Im-san-ci-long dapat melihat kesempatan yang sangat menguntungkan mereka, serentak kedua gembong iblis itu mengerahkan ilmu sakti masing2, satu dari kiri dan yang lain dan kanan, serentak menerjang ke depan.
Tian Pek merasakan pandangannya menjadi gelap, sekalipun darah tak sampai tumpah keluar, tapi guncangan isi perutnya membuatnya ber-kunang2.
Dalam keadaan kepepet, tanpa berpikir lagi ia membentak dan menyambut serangan lawan dengan jurus Sau-cing-yau-hun (menyapu bersih hawa siluman).
Ciong-nia-ci-eng kena dihantam sampai mencelat mundur sejauh sepuluh langkah, tapi Im-san-ci-long yang menyerang dengan tabasan Ciang-jin-
jiat-bok barhasil menghajar lengan kiri pemuda itu. "Kraak!" Tian Pek terhajar telak dan mundur dengan sempoyongan, sekali lagi ia muntah darah.
Kedua lengan tak mampu menandingi empat tangan, laki2 mana pun tak tahan dikerubut, tapi Tian Pek tidak roboh, anak muda itu masih tetap berdiri tegap dengan angkernya.
Im-san-ci-long tertawa bangga, kembali ia membentak: "Roboh!"
Ciang-jin-jiat-bok untuk kedua kalinya menabas tubuh Tian Pek, banyak orang menjerit kuatir menyaksikan adegan yang mengerikan itu.
Sekujur tubuh Tian Pek sudah be-lepotan darah, beberapa bagian anggota tubuhnya sudah terluka, kesadaran pun berangsur menurun, agaknya ia sudah tak mampu lagi untuk menangkis serangan Im-san-ci-long yang luar biasa itu.
Pada saat yang berbahaya itulah, mendadak Tian Pek mendelik, ia tidak menghindari serangan lawan sebaliknya ia gunakan sikutnya untuk menyodok ulu hati Im-san-ci- long.
Serangan itu tak diduga oleh Im-san-ci-long, padahal Tian Pek sudah terluka parah dan masih mampu melancarkan sodokan maut.
Dalam keadaan begitu, Im-san-ci-long tak dapat menghindar lagi, "duuk!” dengan telak sodokan itu mengenai ulu hatinya.
Serigala dari Im-san itu menjerit, darah muncrat keluar dari mulutnya, tubuhnya roboh terkapar dan tak mampu bangkit kembali. Sin-liong-taycu terkesiap, cepat ia memburu maju dan menjejalkan beberapa biji obat mujarab ke mulut jagonya, akan tetapi Im-san-ci-long sudah tak mampu membuka mulutnya.
Sin-liong taycu coba memeriksa nadi gembong iblis itu, setelah diperiksa dengan seksama barulah diketahui bahwa urat nadinya telah putus dan jiwanya telah melayang.
Kejadian ini sangat menggusarkan Sin-liong taycu. ia bersenandung pula dengan suara keras "Remang2 pohon Liu terangnya bunga, sebuah dusun muncul di depan!"
Sementara itu Tian Pek juga merasakan lengan kirinya sakit sekali, ia coba memeriksanya, baru di ketahui bahwa tulang lengannya telah patah oleb serangan Im-san-ci long yang hebat tadi, padahal tangan kanannya sudah terluka, dengan patah tulang tangan kirinya berarti habislah modalnya, diam2 ia mengeluh: "Habislah riwayatku kali ini.”
Baru saja ingatan itu timbul, Sin liong-taycu telah menurunkan perintah penyerangan lebih gencar. Hud-in- hoat-su ber-kaok2 nyaring terus menerjang maju dengan pukulan Ha-mo-kang yang lihay.
Tian Pek menjadi nekat, ia tahu lawan teramat lihay dan terpaksa harus bertindak keji, ibarat harimau, manusia tidak berniat membunuh harimau, harimau pasti akan makan manusia.
Maka Tian Pek tidak kenal ampun lagi, begitu terhindar dari sergapan maut Hud-in Hoat-su ia melompat ke udara, kaki terus mendepak dan tepat mengenai batok kepala lawan yang gundul itu.
"Prak!" kontan kepala Hoat-in pecah berantakan, otak bercampur darah berhamburan ke-mana2, tak sempat menjerit lagi Hud-in Hoat-su roboh ke tanah dan tewas seketika itu juga.
Sudah terlalu banyak kekejaman yang dilakukaa Hud-in Hoat-su, iapun tak terhindar dari hukum karma, ia sering membunuh orang, maka sekarang ia harus menemui kematian dan menebus dosanya.
Dengan demikian maka dari tujuh jago tangguh yang mengerubut Tian Pek, seorang dari Hay-gwa-sam-sat dan seorang dari Hek-to-su-hiong telah menemui ajalnya, sementara salah seorang Su-hiong yang lain terluka parah dan tak sanggup berdiri lagi.
Dari tujuh orang kini tinggal dua dari Hay-gwa-sam-sat dan dua lagi dari Hek-to-su-hiong. Ke-empat orang menjadi murka dan menyerang terlebih nekat.
Tian Pek sendiri terluka parah, telapak tangan kanannya membengkak, sakitnya sampai merasuk tulang dan hampir tak dapat digunakan untuk menyerang lagi. sedangkan tulang lengan kirinya patah. praktis sudah lumpuh total, ditambah pula darah dalam rongga dadanya bergolak dan ingin tumpah, matanya jadi berkunang, keadaan pemuda itu bertambah lemah. Namun sekuat tenaga ia masih bertahan dan tidak membiarkan tubuhnya roboh.
Dalam keadaan payah, anak muda itu tetsp melayani keempat musuh dengan ilmu langkah serta gerakan tubuhnya yang gesit, selain itu sikut dan kakinya juga dipakai untuk bertahan dan menyerang.
Kawanan jago yang menyaksikan pertarungan ini makin terpesona, meski rata2 mereka sudah berpengalaman, namun pertarungan sengit seperti ini belum pernah dijumpainya. Selama pertarungan itu berlangsung, hanya Buyung Hong, Tay-pek-siang-gi serta Ji-lopiautau yang beberapa kali bermaksud maju untuk menolong Tian Pek, tapi setiap kali mereka selalu di-gagalkan oleh pengadangan Lam-hay- liong-li.
Wan-ji sudah sembuh kembali setelah diurut jalan darahnya oleh paman Liu, ketika dilihatnya Tian Pek masih bertarung dengan sengit, ia ikut gelisah, tiba2 ia membentak terus menerjang ke dalam arena pertarungan.
Tapi sebelum mendekat Lam hay-liong-li telah menbentak dari samping: "Budak ingusan, berdiri saja di samping " berbareng ia menghantam dari jauh.
Wan-ji lagi gelisah, tanpa pikir ia sambut pukulan lawan dengan kekerasan.
"Blang!" Wan ji tergetar mundur.
Pengadangan ber-ulang2 oleh musuh yang sama ini membuat kemarahan Wan-ji memuncak, ia menyerang pula dengan ilmu jari Soh-hun-ci dan mengincar Sim-gi-hiat di tubuh Lam-hay-liong li.
Tapi Lam hay liong li juga bukan lawan empuk, sebagai ahli waris Kui-bin-kiau wa, kungfu-nya berada satu tingkat dengan Liu Cui-cui, bila dibandingkan Wan-ji jelas tingkatannya lebih tinggi.
Maka meski serangan Wan-ji sangat lihay, ia sama sekali tak gentar, ia malah membentak: "Budak cilik, tampaknya kau bosan hidup!'
Ia mengegos ke samping, kemudian lengan bajunya dikebutkan ke muka uutuk mengancam bahu kanan Wan-ji. Menghindar sambil menyerang, suatu gerakan yang cepat dan lihay. Kebasan lengan baju Lam-hay-liong-li ini menggunakan ilmu Liu-im-tiat-siu (lengan baju baja awan melayang) yang hebat, kebutan itu lebih berat dari pukulan tongkat baja. Jangankan terhajar telak, ke-serenipet saja mungkin bahu Wan-ji bisa hancur.
Wan-ji tak berani menyambut dengan kekerasan, ia mengegos dengan gerakan Ni-gong-hoan-im, dengan gaya manis ia meloloskan diri dari serangan tersebut.
Di luar dugaan, kebasan lengan baju Lam-hay-liong-li itu hanya tipuan belaka, baru saja Wan-ji menghindarkan diri, ia lantas membentak keras : "Lihat serangan!" — Secepat kilat telapak tangan kanannya menghantam dada Wan-ji.
Wan-ji terkejut, untungnya belakangan ini dia sering mendapat petunjuk dari Tian Pek sehingga kungfunys memperoleh kemajuan pesat.
Menghadapi serangan yang sama sekali di luar dugaan dan tak mungkin terhindar ini, cepat Wan-ji merangkap kedua telapak tangannya di depan dada, dengan jurus Pi- bun cia-kek (Tutup pintu menampik tamu), terpaksa ia sambut serangan Lam-hay-liong-li itu dengan keras lawan keras.
"Blang" Wan-ji terdorong mundur, mukanya pucat dan air matanya berlinang, ia sadar tipis harapannya untuk membantu Tian Pek.
Pertarungan antara Tian Pek melawan keempat jago sudah mencapai puncak ketegangan, sudah belasan kali pemuda itu muntah darah, keadaannya payah sekali, meski ia masih mampu mendesak mundur setiap serangan lawan.
Si nenek berambut putih memainkan ilmu jari Soh-hun- ci, masih terus mengincar bagian mematikan di tubuh Tian Pek. Ciong-nia-ci-eng mengembangkan Yu-kut-ciang, setiap pukulannya membawa gelombang hawa panas yang menyengat badan, lihaynya bukan kepalang.
Tay-cong-ci-ju dengan Sut-cing kangnya, kedua lengannya terjulur panjang sekali, bagakan sepasang jepitan besi ia pun selalu mengancam tempat2 mematikan musuh.
Dan diantara keempat jago itu si kakek berjenggot dengan ilmu pukulan Tay jiu-in terhitung paling lihay, telapak tangannya yang besar seperti roda kereta berputar dan me-nari2 menerbitkan deru angin yang kencang, setiap saat pukulannya itu mampu membelah tubuh sesorang menjadi dua bagian.
Tian Psk sendiri sudah kepayahan, kesadarannya mulai berkurang, darah menghiasi bibir dan dadanya, mukanya pucat. Meski begitu, ia masih bertarung terus dengan gigihnya.
Beru saja pemuda itu menghindari tutukan Soh-hun-ci si nenek, mendesak mundur Ciong-nia-ci-eng serta Tay-cong- ci-ju, "blang", ia adu pukulan pula dengan si kakek.
Kakek berjenggot panjang itu tergetar mundur dan hampir saja jatuh terjengkang. sebaliknya Tian Pek sempoyongan dan muntah darah pula.
Pusaran angin menyebar keempat penjuru, dengan mata melotot si kakek menatap musuh tsnpa berkedip, agaknya ia sedang menanti robohnya anak muda itu.
Tapi Tian Pek tetap berdiri tegap, tidak roboh dan tidak terkulai seperti apa yang diharapkannya.
Kagum sekali si kakek berjenggot panjang, ia memuji: "Saudara cilik, engkau adalah jago nomor satu di kolong langit ini!" "Terima kasih," sahut Tian Pek seraya menyeka darah di bibirnya.
Kakek berjenggot itu juga mengusap darah yang mengotori jenggotnya, lalu berkata lagi: "Saudara cilik. ketahuilah sepanjang hidupku tak pernah bersikap lunak dan tak pernah memuji musuh, tapi hari ini harus kukatakan dengan jujur, usiamu masih begini muda, ternyata memiliki kungfu setinggi ini, bukan saja kau merupakan jago paling tangguh di kolong langit ini, kau pantas disebut pula sebagai Malaikat ilmu silat!"
"Tak berani kuterima pujian ini!" kata Tian Pek tambil tertawa getir.
Ucapan si kakek berjenggot yang ramah ini banyak pula mengurangi rasa permusuhannya. Bahkan si nenek berambut putih yang angkuh serta Tay-cong-ci-ju dan Ciong-nia-ci-eng yang ganaspun sama mengunjuk perasaan kagum.
Lam-hay-liong-li juga memandaug anak muda itu, mukanya kelihatan berseri.
Semua ini tak lepas dari pengawasan Sin-liong taycu, ia jadi panik, ia tahu keadaan sangat tidak menguntungkan, maka cepat ia keluarkan sebuah lencana "naga emas", sambil diangkat tinggi2 katanya dengan lantang: "Perintah naga emas! Kepada Hay-gwa-sam-sat dan Hek-to-su-hiong agar segera menbinasakan pemuda she Tian itu, barang siapa berani melanggar perintah ini akan dijatuhi hukuman berat!"
Air muka si kakek berubah, ia memandang sekejap lencana "naga emas' yang diangkat tinggi2 oleh Sin-liong- taycu itu, kemudian menghela napas. ia berpaling dan berkata kepada Tian Pek: "Anak muda, ber-siap2lah menyambut seranganku. Sebelum salah seorang di antara kita tewas, pertarungan ini tak bisa diakhiri!"
Hawa murninya dihimpun pada telapak tangannya, pelahan telapak tangannya membesar, lalu diangkat ke atas.
Telapak tangannya membesar seperti roda, otot2 hijau yang besar menonjol seperti berpuluh ekor ular kecil berwarna hijau, seram sekali tampaknya.
"Tunggu sebentar . . . .! "tiba2 Wan-ji berteriak. Kakek itu menghentikan serangannya, lalu menatap Wan-ji sekejap tanpa mengucapkan sepatah katapun.
Melihat kakek itu membatalkan serangannya. Wan-ji berpaling dan memandang kawanan jago yang berkumpul di sekitar arena, lalu teriaknya dengan lantang: "Kalian manusia2 yang menyebut dirinva sebagai Bu-lim-su-kongcu! Ketua serabilan besar! Pcrkumpulan pengemis yang tersohor! Apakah kalian hanya berdiri belaka menyaksikan Tian-siauhiap berjuang sendirian dan menjual nyawa demi kepentingan kalian semua?"
Seruan Wan-ji menyentak perasaan orang2 itu, banyak yang merasa malu, ada pula yang ber-siap2 terjun ke arena pertempuran, tapi kelihatan ragu, akhirnya tak seorangpun yang berani ikut terjun ke tengah gelanggang.
Wan ji melirik sekejap ke arah Tian Pek yang pucat dan berdarah serta berdiri sempoyongan itu, sedangkan si kakek jenggot panjang masih juga angkat telapak tangannya dan siap melancarkan serangan, Tay cong-ci ju, Ciong-nia-ci eng dan si nenek berambut putih juga masih berada di sekitarnya dan siap menyergap pemuda itu, ini mencemaskan perasaannya.
Maka kembali ia berseru dengan setengah memaki: "Huh, kalian tak lebih hanya kaum pengecut yang takut mati! Bila Tian-siauhiap gugur dalam pertempuran, kalianpun jangan harap akan lolos dari sini dengan hidup"
Ancaman biasanya memang lebih manjur daripada memohon. Baru saja Wan-ji selesai berkata, kawanan jago itupun menyadari keadaan mereka yang berbahaya. Mereka mengerti pertarungan Tian Pek itu tak lain adalah bertujuan menentang kekuasaan Lam hay-bun dan mempertahankan keadilan serta kebenaran di dunia persilatan.
Maka serentak kawanan jago itupun menyerbu maju ke tengah gelanggang pertempuran ....
Sin-liong-taycu tak menyangka beberapa patah kata Wan-ji itu akan berhasil mengobarkan semangat juang kawanan jago, ia menjadi panik, dengan wibawanya ia berusaha mempengaruhi situasi yang semakm gawat itu.
"Berhenti!" hardiknya lantang. "Barang siapa berani maju selangkah lagi akan dibunuh tanpa ampun!"
Bentakan itu keras sekali ibaratnya guntur membelah bumi, seketika itu juga kawanan jago yang sedang bergerak maju menghentikan langkahnya.
"Huuh, pengecut . . . lebih baik cepat kabur saja menyelamatkan diri," ejek Wan ji dengan gusar. "Biarlah nonamu beradu jiwa sendiri dengan mereka "
Sambil membentak ia menerjang maju, telapak tangan kirinya menabas muka Lam-hay-liong li sedangkan tangan kanan dengan ilmu jari Soh-hun-ci menutuk Sin-liong taycu.
Wan-ji adalah nona yang cerdik, dari lencana "naga emas" yang dipegang Sin-liong taycu, ia tahu pemuda inilah merupakan pimpinan musuh, maka ketika menerjang ke depan, ia pura2 menyerang Lam hay-liong-li, padahal kekuatan yang sesungguhnya tertuju ke arah Sin-liong- taycu.
Maksud nona itu, kalau bisa musuh ini akan dibinasakan dalam satu kali serangan, asal orang sudah mampus maka ular takkan bisa berjalan tanpa kepala, dalam suasana kalut nyawa engkoh Tian akan dapat diselamatkan.
Rencana ini memang bagus. cuma sayang nona itu melupakan sesuatu hal, ia terlampau rendah msnaksir kekuatan Sin-liong taycu berdua, sebagai komandan yang memimpin penyerbuan ke daeatan Tionggoan, mana mungkin kungfu mereka hanya sedang2 saja? Jika mereka dapat dibunuh dalam satu kali serang, tidaklah mungkin kedua orang ini akan dipilih sebagai pimpinan.
Baru saja Wan-ji melompat maju, Lsm-hay-liong-li telah membentak keras: "Budak ingusan! Kau benar2 sudah bosan hidup rupanya . . ."
Seceoat kilat ia mengebaskan lengan bajunya ke muka "Sreet!" kebasan yang keras itu tepat menghantam pinggang Wan-ji.
Nona itu menjerit tertahan, tubuhnya mencelat jauh dan jatuh tak sadarkan diri.
Tapi karena kejadian inilah, kawanan jago jadi marah, sambil meraung, serentak mereka menyerbu ke depan.
Sin-liong-taycu semakin panik menyaksikan gelagat yang tidak menguntungkan, cepat ia angkat tinggi2 lencana "naga emas" dan berseru: "Ciu-kongkong! Dengarkan perintah, bocah keparat she Tian itu kuserahkan kepadamu, ketahuilah perintah Kim-liong-leng tak ada yang ditarik kembali, jika bocah she Tian itu masih hidup sampai malam ini, engkaulah yang bertanggung jawab!" Selesai memberi perintah, ia simpan kembali lencananya, lalu bersama Lam-hay-liong-li melakukan perlawanan terhadap serbuan kawanan jago persilatan itu.
Dengan ilmu siiat mereka yang tinggi serta hati mereka yang keji, mana kawanan jago itu dapat menandingi mereka? Jerit ngeri berkumandang susul menyusul, baru tiga gebrakan sudah beberapa orang menemui ajalnya.
Di tengah pertarungan yang serba kalut inilah, tiba2 terdengar tiga kali benturan keras menggelegar.
Di tengah benturan itu, deru angin pukulan menyambar ke empat penjuru, debu pasir beterbangan, banyak orang yang tergetar mundur!' mereka yang agak lemah bahkan sampai terpental dan jatuh terguling.
Semua orang kaget mereka saling pandang dan mencari sumber benturan keras itu. Kiranya si kakek berjenggot panjang di bawah tekanan perintah Kim-liong-leng telah menghimpun segenap kekuatannya dan melancarkan tiga kali serangan.
Tian Pek sendiri sama sekali tidak menghindar, ia menyambut ketiga serangan tersebut dengan keras.
Setelah tiga kali benturan. kedua pihak berdiri berhadapan dengan air muka serius dan mata saling melotot tanpa berkedip, agaknya mereka sedang menunggu pihak manakah yang akan roboh terlebih dahulu.
Setelah bertempur semalam suntuk, apalagi terluka parah dan muntah darah, semua jago yang ada disitu dapat menerka bahwa tiga kali pukulan yang dilancarkan Tian Pek maupun si kakek berjenggot panjang itu pasti telah menggunakan segenap sisa tenaga dalam mereka yang masih ada. Namun kedua pihak masih tetap berdiri berhadapan dengan mata melotot, tiada seorangpun diantara mereka yang roboh, dengan sendirinya tiada yang tahu siapa gerangan di antara mereka yang lebih unggul.
Seketika suasana di seputar arena jadi sunyi, tak terdengar suara apapun, kawanan jago yang sedang bertempur segera berhenti bertempur, dengan mata terbelalak dan rasa ingin tahu semua orang alihkan perhatiannya ke sana serta menunggu hasil terakhir pertarungen itu.
Suasana amat sepi, begitu sepinya mungkin jarum jatuh saja akan terdengar jelas.
Siapa yang menang dan siapa yang kalah? Siapa yang hidup dan siapa yang mati? Sebelum salah satu orang itu roboh, siapapun tak tabu jawabannya.
Semua orang menantikan salah seorang itu roboh ke tanah.
Akhirnya Tian Pek mulai ter-huyung2 dan si kakek juga sempoyongan.
"Blang!" bagaikan ambruknya sebuah bukit, akhirnya seorang di antaranya roboh juga.
Suasana jadi gempar, kawanan jago sama menjerit, ada yang menjerit kaget, tapi sebagian menjerit karena kegirangan.
Siapa yang akhirnya roboh? Kiranya dia adalaah Ciu Ji- hay, si kakek berjenggot panjang.
Tian Pek sendiripun sampoyongan, kemudian tumpah darah. Pemuda itu sempat melirik sekejap ke arah kakek berjenggot panjang yang terkapar di bawah kakinya, iapun sempat berguman lirih "Aih, orang tua, semoga kau tidak mati "
Butiran air mata meleleh keluar, dengan membawa badan yang luka serta hati yang pedih ia berlalu dari situ dengan langkah sempoyongan.
Kekasihnya, calon isterinya, sahabat karibnya, musuh dan kawanan jago lainnya, bahkan terhadap paman Lui pun ia tak memandang, sorot matanya yang kaku hanya memandang ke tempat kejauhan dan melangkah terus ke depan.
Pemuda itu tundukkan kepala, ketika lewat di samping orang2 itu, ia mengusap pelahan pundak tiap2 orang itu.
Meski pemuda itu tak ber-kata2, tapi siapa-pun tahu bahwa pertumpahan darah yang sama sekali tak ada manfaatnya itu sangat menyedihkan pemuda yang jujur ini.
Maka tak ada orang yang mencegah, semua orang memandang kepergiannya dengan termenung.
Tiba2 pekik tangis yang memilukan hati berkumandang, memecah kegelapan yang mencekam itu, isak tangis itu amat memilukan hari, membuat orang ikut bersedih dan meneteskan air mata.
Semua orang tertegun, mereka berpaling.
Ternyata dia adalah Leng Yan-hong, si nenek berambut putih dari Hay-gwa-sam-sat. Dengan kalap nenek itu menubruk ke atas badan si kakek ber-jenggot panjarg tadi, dengan tangannya yang gemetar ia meraba detak jantung kakek tersebut.
Tapi apa yang ditemui? Tubuh kakek itu sudah dingin dan kaku detak jantungnys telah berhenti, rupanya Ciu Ji- hay atau si kakek berjenggot panjang yang berilmu silat sangat tinggi itu telah tewas.
Pedih hati si nenek berambut putih, hatinya bagaikan di- sayat2 Sesaat itu, baginya dunia se-olah2 berhenti berputar.
Terkenang kembali semasa mudanya, dikala ia masib remaja, dengan ilmu silatnya yang tinggi ia malang melintang di dunia persilatan tanpa tandingan, kemudian berjumpa dengan pemuda tampan yang berilmu silat lebih tinggi yaitu Ciu Ji-hay, s1 kakek berjenggot panjang yang kini terkapar di atas tanah sebagai mayat itu.
Ia jatuh cinta pada pandangan pertama, mereka saling mencintai dan akhirnya menikah sebagai suami istri, namun ia, pemuda tampan itu mempunyai dendam sakit hati sedalam lautan, maka ia memakai nama yang aneh, Ciu Ji-hay (dendam sedalam lautan) Ia membantu pemuda itu membalas dendam, kemudian ber-sama2 berkelana, menjelajahi tempat2 yang indah di dunia ini, dengan wajah mereka yang menarik serta ilmu silat mereka yang lihay, mereka menjadi pusat perhattan dan rasa kagum muda- mudi lainnya.
Hidup mereka bagaikan dewa-dewi di kayangan, satu dan tak lain pernah berpisah, puluban tahun bagaikan sehari.
Sebagai muda-mudi yang berilmu tinggi mereka pun mempunyai pandangan yang angkuh. tak memandang sebelah mata terhadap orang lain, sifat2 ini akhirnya mendatangkrn akibat yang tak menguntungkan.
Musuh mereka kian lama kian bertambah banyak, sedangkan kawan kian lama kian sedikit. akhirnya musuh2 mereka mulai melancarkan serangan. bersama puluhan jago lihay lainnya mereka di kerubuti. Karena tak dapat menancapkan kakinya lagi di daratan Tionggoan, mereka melarikan diri ke luar lautan, perjalanan itu di iringi pula oleh seorang sahabat baiknya, yakni Hud- in Hoat-su.
Kehidupan di rantau yang semula dibayangkan sengsara justeru terjadi kebalikannya, mereka sempat mencicipi kehidupan yang aman tenteram dan tidak terganggu oleh persoalan apapun. Tiap hari kerja mereka hanya berdayung sampan, mendaki bukit, duduk di bawah pepohonan, bermain di bawah air terjun. ..semua kebahagiaan hidup mereka cicipi.
Tspi kemudian, ketika usia mereka mulai melanjut, tiba2 Lam-hay-it-kun yang memberikan semua keperluan mereka itu mempunyai ambisi untuk menguasai daratan Tionggoan.
Sebagai tamu yang menumpang di rumah orang dan makan nasi orang, sewajarnya kalau mereka menyumbang tenaga baginya, sudah tentu kedua suami isteri ini tak dapat menampik pemohonannya agar ikut serta dalam gerakannya, lagipuia timbul juga niat mereka untuk pamer kelihayan mereka di daratan Tionggoan. Mereka mengira setelah berlatih tekun selama puluhan tahun di pulau terpencil, kungfu mereka yang pada dasarnya sudah hebat pasti tambah lihay hingga tiada tandingannya di dunia ini.
Tapi akhirnya, apa yang mereka dapatkan? Nenek berambut putih itu harus melihat si kakek berjenggot panjang yang dicintanya terkapar tak bernyawa, bisa dibayangkan betapa pedih dan hancur perasaan si nenek.
"Bocah keparat she Tian, berhenti kau!" mendadak ia membentak keras. Tian Pek tidak menggubris bentakan itu, se-olah2 tidak mendengar ia melanjutkan langkahnya dengan sempoyongan.
Malam telah berakhir, fajar telah menyingsing. Di ufuk timur mulai remang2 putih, sinar matahari yang lembut mulai memancarkan cahayanya, menyoroti mayat2 yang bergelimpangan, mendatangkan pemandangan yang seram.
Si nenek atau Leng Yan hon menjadi murka melihat Tian Pek tidak menggubris bentakannya, ia berpekik nyaring, tiba2 ia menerjang pemuda itu dengan kalap. Soh hun-ci menutuk dengan sekuat tenaga.
Berbicara sebenarnya, keadaan Tian Pek sudah sangat payah, setelah beradu tenaga tiga kali dengan kakek berjenggot panjang, ia sendiripun tak percaya akhirnya yang roboh binasa adalah kakek itu.
Rupanya pantulan hawa sakti Sin-thian-khi-kang dalam tubuhnya itulah yang merenggut nyawa Cu Ji hay, cuma Tian Pek sendiri tidak mengetahui rahasia tersebut.
Setelah minum Ci-tham-hoa berusia ribuan tahun, kemudian oleh Liu Cui-cui selama enam puluh hari ia dikeram bagaikan ayam yang mengerami telurnya, tubuh anak muda itu se-olah2 sudah dicuci sedemikian rupa hingga hampir terwujud apa yang dinamakan tubuh yang tak terusakkan, timbul tenaga Sian-thian khi-kang yang maha dahsyat di dalam perutnya.
Yang lebih hebat lagi, Sian-tbian-khi-kang yang tersimpan di dalam perut itu tak akan terpancar keluar bila tubuhnya tidak terkena hantaman keras dari luar, bahkan semakin besar daya serangan dari luar, semakin kuat pula daya pantulan yang dihasilkan, kelebihannya ini tak diketahui olehnya, tentu saja tak diketahui pula oleh orang lain. Dan sebab itulah meski dalam keadaan terluka parah, Tian Pek masih mampu menyambut ketiga kali pukulan si kakek berjenggot panjang yang maha hebat itu.
Jadi sesungguhnya kakek berjenggot panjang itu binasa oleh daya pantulan yang dihasilkin dari tenaga serangan mautnya sendiri.
Sekalipun demikian, Tian Pek sendiripun harus membayar mahal kejadian itu, kedua lengannya harus menjadi korban, apakah dikemudian hari kungfunya bisa pulih kembali sulit untuk diramal.
Saat itu, bukan saja lukanya amat parah, perasaannya, hatinya juga terluka. luka yang tidak ringan.
Pertempuran sengit tadi se-akan2 masih terbayang ia merasa pembunuhaa seoara besar2an yang mengerikan itu sebenarnya tiada artinya.
Ia mulai bertanya kepada diri sendiri: “Kenapa harus terjadi pertumpahan darah sekeji ini? Mengapa sampai terjadi dan apa tujuannya? Demi nama? Karena kedudukan? Atau lantaran kitab pusska Soh-kut-siau-hun- thian-hud-pit-kip yang dikatakan sebagai kitab paling aneh d dunia ini?’
"Padahal kitab pusaka Soh-kut-siau-hun-thian-hud-pi-kip sudah di musnahkannya di depan umum, tapi mereka yang rakus tetap tidak mau mempercayai ucapanku, mereka rela korbankau nyawa hanya untuk memperebutkan suatu benda yang sebetulnya sudah tak ada "
"Semuanya kosong , . hampa . tiada ada apa2nya, nama dan kedudukan kan juga hal yang kosong? Bersusah payah mencari nama, akhirnya tetap juga tak berbekas"
"Sekalipun punya harta setinggi bukit, punya kedudukan mulia, semua itu apa gunanya? Bila usia manusia telah berakhir, bukankah semuanya hanya kosong belaka? Apa yang dapat dibawa serta ke alam baka.."
Dia terluka lahir batin, maka ia tak menghiraukan siapapun, ingin cepat tinggalkan tempat itu, meninggalkan kelompok manusia dungu ini, meninggalkan arena pertempuran yang berbau darah.
Mendadak angin tajam menyambar dari belakang, secara naluri ia mengegos ke samping. tapi sayang, dalam keadaan terluka parah ia kehilangan kelincahannya, meski berkelit, ia tak dapat menghindarkan diri dari serangan itu.
"Bluk!" walaupun tidak mengenai tempat mematikan di punggungnya, tapi bahu kanannya terasa sakit bagaikan dihantam martil.
Tian Pek tak tahan lagi, pandangannya jadi gelap. ia roboh terkulai. Sekali ini Tian Pek benar2 roboh.
Akhirnya pemuda yang gagah perkasa ini roboh juga, pelbagai luka yang parah, aneka ragam pukulan batin yang berat membuat pikirannya berhenti, membuat jantungnya berhenti berdenyut, membuat sukmanya terjerumus ke dalam kegelapan.. . .
Penyerang yang membinasakan Tian Pek ialsh Leng Yan-hong, si nenek berambut putih.
Nenek itu termangu memandang tubuh Tian Pek yang membujur tak bergerak, tiada rasa kebanggaan karena unggul, tiada kegembiraan karena menang, ia malah menubruk ke sisi jenasah suaminya, lalu mengakhiri hidupnya di sana ....
Nenek berambut putih, Leng Yan-hong, telah menghembuskan pula napasnya yang penghabisan. ia sedih karena kematian suami, ia mati karena sedih. Tubuhnya berbaring di samping jenasah suaminya, malahan kedua tangannya memeluk leher si kakek berjenggot panjang itu erat2.
Cinta memang agung, siapa yang bilang nenek itu tak tahu apa artinya cinta?
Perubahan mendadak ini membuat semua orang tertegun, membuat semua orang termangu.
Manusia yang benar2 baik, orang yang suka berkorban demi membantu kepentingan orang lain, ia tak akan kesepian meski telah mati, karena banyak orang akan tetap mengenangnya, mengenang kebaikan dan jasa2nya.
Per-tama2 Buyung Hong yang tak tahan, ia menangis dan menubruk ke atas tubuh Tian Pek. Menyusul Kim Cay hong yang terkena1 sebagai Kang lam te-it-bi jin, nona yang agung dan cantik ini biasanya suka mengekang perasaannya, tapi kini setelah orang yang dicintainya tewas, ia tak dapat mengendalikan perasaannya lagi, sambil mendekap tubuh Tian Pek nona itupun menangis sedih.
Untuk pertama kalinya ia memperlihatkan rasa cintanya di depan umum, tapi sayang orang yang dicintainya telah mati, telah meninggalkan dunia yang fana ini untuk selamanya.
Buyung Hong menengadah memandang nona yang cantik bak bidadari ini, namun aorot matanva halus dan ramah, sedikitpun tidak membawa rasa cemburu atau perasaan lain.
Ia malah merasa nona itu senasib dan sependeritaan dengannya dan patut dikasihani.
Hoan Soh-ing, nona yang berjiwa laki2 itupun tak dapat menahan rasa sedihnya, ia menghampiri jenasah Tian Pek dan menyeka darah yang membasahi wajah pemuda itu dengan saputangannya.
Ia tidak menangis terisak, hanya air mata berlinang di kelopak matanya, ia berduka karena kematian Tian Pek, berduka seperti kehilangan seorang sahabat yang paling karib.
Untung Wan-ji sudah pingsan lebih dulu, kalau tidak entah bagaimana pedih perasaan gadis itu?
Tay-pek-siang-gi juga ikut menangis ter-gerung2, sebab pemuda itu adalah "Siau-in-kong" (penolong cilik) mereka.
Dahulu kedua orang ini mendapat pertolongan Pek-lek kiam Tian In-tbian, setelah pendekar besar itu mati penasaran dan kedua bersaudara ini merasa tak mampu membalaskan dendam baginya, mereka lantas menyebut dirinya sebagai "Orang mati hidup" dan 'Orang bidup mati"
Kemudian setelah bertcmu dengan Tian Pek dan mengetahui anak muda ini adalah keturunan tuan penolongnya, maka mereka pun berusaha membalas budi kebaikan yang pernah diterimanya dari Tian In-thian kepada pemuda ini. Siapa tahu Siau-in-kong mereka akhirnya tewas juga dalam pertempuran, tentu saja kedua bersaudara ini amat sedih dan menangis keras.
Ji-lopiautau juga berduka, air matanya bercucuran membasahi wajahnya yang berkeriput, tapi ia masih dapat mengendalikan rasa sedihnya, berulang kali ia berseru. "Jangan menangis dulu! Mari kita periksa keadaan Tian- siauhiap, siapa tahu kalau jiwanya masih bisa ditolong?"
Tapi setelah ia periksa keadaan anak muda itu, ia jadi putus asa, ternyata Tian Pek memang sudah mati.
Hanya paman Lui saja tidak mengalirkan air mata, dia berdiri kaku sambil komat-kamit bergumam sendiri: "Hiantit, kau mati dengan gagah, kematianmu sangat berharga, tak malu sebagai keturunan Tian In-thian "
Pengorbanan yaag gagah perkasa dari Tian Pek menggetarkan pula perasaan kawanan jago yang hadir di situ, tanpa sadar mereka ikut maju ke muka dan berdiri di sekeliling jenasah Tian Pek untuk menyatakan perasaan duka cita mereka yang dalam.
"Mingir!" tiba2 terdengar bentakan nyaring dari belakang, bentakan itu keras dan semua orang sereniak berpaling.
Sin-liong-taycu dengan angkuh sudah berdiri di belakang mereka, wajahnya bengis diliputi hawa napsu membunuh.
Di belakang pemuda itu berdiri pula Tay-cong-ci-ju dan Ciong-nia-ci-eng. wajah mereka tampak garang dan menyeramkan seperti setan.
Lam hay-liong li berdiri di samping dengan wajah melengos ke arah lain, bahunya nampak bergerak naik turun, agaknya ia pun sedang menangis tapi entah siapa yang ditangisi?
Pertanyaan ini hanya dia yang dapat menjawab, rupanya diam2 ia pun mencintai Tian Pek, sudah tentu tak dapat ia menangis secara terang2an bagi kematian musuh.
Semua orang cukup mengetahui sampai dimanakah kelihayan kungfu Sin-liong-taycu maupun kedua orang pembantunya, kematian Tian Pek berarti pula tiada orang yang sanggup menandingi kelihayan mereka lagi.
Kebanyakan orang jadi ketakutan, tanpa terasa mereka menyurut mundur ketika Sin-liong taycu beserta pengiringnya maju mendekat. Hanya ketiga nona cantik itu yaag masih menangis, tak seorang pun di antara mereka yang menggubris bentakan Sin-liong-taycu.
Hal ini sangat menggusarkan "Pangeran naga sakti" dari Lam-hay-bun ini, alisnya bekernyit, mendadak ia menghantam.
Angin pukulan dahsyat menyapu ke depan, ketiga nona itu berseru kaget dan cepat melomput mundur.
Paman Lui menjadi gusar melihat kekasaran orang, bentaknya: "Keparat, jangsn temberang akan kusambut pukulanmu!'
Kedua telapak tangannya terus menangkis serangan tersebut.
"Blang!" di tengah benturan keras, paman Lui terdesak mundur tiga langkah dengan sempoyongan.
Sin-liong-taycu tidak ayal lagi, beruntun ia melancarkan lagi tiga kali pukulan berantai.
Paman Lui memang bukan tandingan "pangeran naga sakti" setelah serangan berantai itu lalu, tahu2 ia sudah berada tiga-empat tombak jauhnya dari tempat semula.
Sin-liong-taycu menghentikan serangannya, lalu ia berpaling kepada kedua begundalnya, serunya: "Geledah tubuh bocah she Tian itu! Periksa apakah kitab pusaka itu masih berada dalam sakunya?"
Tay-cong-ci-ju dan Ciong-nia-ci-eng segera menghampiri jenasah Tian Pek dan akan merogoh sakunya.
"Jangan sentuh dia!" tiba2 seorang membentak, menyusul sesosok bayangan tubuh kecil ramping mengadang di depan Tian Pek, dia tak lain adalah Buyung Hong yang mukanya basah oleh air mata, Dengan gusar ia berteriak lagi kepada kedua orang manusia jahat itu: "Bila kalian berani menyentuh tubuhnya, segera nona beradu jiwa dengan kalian!"
Meski nona itu lemah lerrtbut, tapi demi melindungi jenasah suaminya ia rela mempertaruhkan jiwanya, wibawa yarg terpancar dari wajahnya membuat orang tak berani sembarangan bergerak.
Si Tikus gudang dan Elang dari Ciong-nia adalab gembong iblis yang angkuh dan berilmu tinggi, tak urung mereka tertegun juga dan tidak berani berbuat apa2 . . .
Tiba2 terdengar dengusan orang. dengan wajah dingin Lam-hay-liong-li menerjang maju ke muka, bentaknya: "Apa hubunganmu dengan dia? Mengapa kau beradu jiwa baginya?"
Air mata Buyung Hpng ber-linang2, menekan perasaannya, didepan musuh ia tak ingin mengucurkan air mata, sambil membusungkan dada ia menyahut: "Dia adalah suamiku…."
"Mampus kamu!" bentak Lam-hay-liong-li sebelum habis Buyung Hong menjawab, dengan berbareng ia melancarkan sesuatu pukulan dahsyat ke dada nona itu.
Buyung Hong sambut serangan itu dengan kedua tangannya, "Blang! "Blang!" ia terdesak mundur belasan langkah jauhnya.
Begitu Buyung Hong terdesak mundur, Lam-hay-liong-li tidak mengejar lebih jauh, setelah membetulkan rambutnya yarg kusut, it meraba dsda Tian Pek tangan gemetar.
Dada yang bidang, betapa kekarnya tubuh anak muda itu, meski hanya sesosok jenasah yang dingin dan kaku, namun bagi Lam-hay-liong-li yang tak pandang sebelah mata terhadap laki2 lain di dunia ini, seketika hatinya tergetar, ia merasa bagaikan kena aliran listrik, sekujur tubuh bergemetar.
Selama bidupnya baru kali ini dia menyentuh tubuh lawan jenisnya, dan orang itu adalah laki2 yang pertama kali menarik perhatiannya, kepada nya ia jatuh cinta dan sekarang sudah berwujud menjadi mayat.
Tanpa terasa merahlah pipinya, belum pernah timbul perasaan seaneh ini, dengan tangan gemetar ia meraba sekeliling tubuh anak muda itu. .. .
"Moaymoay, apakah kitab itu ada padanya?" tiba2 Sin- liong-taycu menegur.
Lam-hay-liong-li terkejut dan menengadah, ketika dilihatnya "pangeran naga sakti" sedang menatapnya, merahlah pipinya, ia tenggelam dalam lamunannya hingga lupa memeriksa apakah kitab pusaka itu berada pada Tian Pek atau tidak.
Ia tidak menjawab ia berbangkit terus melangkah pergi, ia malu bila ingat akan kedudukannya, ia tak tahu apa yang harus dikatakan, maka diambilnya keputusan untuk pergi saja dari situ.
"Adakah dalam sakunya?" kembali Sin-liong-taycu bertanya.
"Tidak!" sahut Lam hay-liong~li tanpa berpaling.
"Ah, masa tak ada? Aku tak percaya!" seru Sin-liong taycu sambil mendekati jenasah Tian Pek.
Kim Cay-hong cepat mengadangnya, dengan suara yang rawan dan setengah memohon ia berkata: "Ia sudah tewas, janganlah engkau menyentuhnya lagi sehingga ia mati tak tenang!" Dengan wajahnya yang cantik jelita, beberapa patah kata itu jadi lebih menarik dan menggetarkan kalbu orang. Kontan Sin liong-taycu terbeliak, kecantikan Kim Cay-hong membuatnya terpesona.
Dasar Sin liong-taycu memang pemuda yang suka bermain perempuan, ketika untuk pertama kali menduduki rumah keluarga Kim, ia telah membius Kim Cay-hong sehingga nona itu bertelanjang bulat di hadapannya dan hampir saja kehormatan nona itu ternoda.
Tapi daya tarik Soh-kut-siau-hun-thian-hud-pit-kip jauh lebih besar daripada perempuan. Sin-liong-taycu memang tak malu disebut seorang pemimpin yang hebat, kendati suka main perempuan, namun pikirannya tak sampai terpengaruh oleh perempuan cantik, ia lebih memberatkan kitab pusaka yang maha hebat itu dan kalau bisa mendapatkan pula si cantik.
Maka tatkala Kim Cay-hong selesai berkata, ia tertawa dan menjawab: "Nona, sayang sekali tempo hari aku telah melewatkan suatu kesempatan yang sangat baik, bila ingat kembali sungguh aku sangat menyesal, ingin kubicara terus terang, kecantikan nona memang tiada keduanya di dunia ini!"
Hati Kim-cay-hong berdebar keras, siapa yang tak suka dipuji cantik, apalagi anak perempuan.
Sin-liong-taycu memang tampan dan menawan hati terutama senyumnya yang mendebarkan boleh dibilang melebihi ketampanan Tian Pek, cuma sayang senyum dan sorot matanya membawa sifat jahat inilah yang berbeda dengan kejujuran serta kepolossn Tian Pek.
Merah wajah Kim Cay-hong, apalagi bila terbayang kembali bagaimana ia nyaris dilalap oleh pemuda itu, jantungnya berdetak, untuk sesaat ia tak tahu apa yang harus dilakuksn.
Tiba2 Sin liong taycu mendekatinya, ia colek pipi Kim Cay-hong yang halus seraya berkata: "Sekarang Taycu tak bergairah untuk bermain cinta, haahaha, bila urusan di sini sudah selesai, nanti akan kucari lagi dirimu ... "
Malu dan gusar hati Kim Cay hong, tak disangkanya Sin-liong-taycu yang terhormat itu ternyata berani melakukan tindakan rendah di hadapan orang banyak, sebagai nona yang tinggi hati sudah tentu ia merasa tindakan orang itu merupakan suatu penghinaan besar.
Tanpa bicara, telapak tangannya balas menggampar pipi "pangeran naga sakti",
"plok!" tempelengan itu bersarang telak, pipi Sin-liong- taycu yang tampan tertera bekas jari tangan yang merah.
Bila kejadian itu berlangsung dalam keadaan biasa, tak mungkin tempelengan Kim Cay-hong akan mengenai sasarannya, tapi waktu itu Sin-liong-taycu tak menduga, kedua ia asik terkesima oleh kecantikan si nona sehingga hatinya tak tenang, maka dengan gampang tamparan itu mengenai mukanya.
Air muka Sin liong taycu berubah merah padam, ia marah sekali karena ditampar orang di hadapan umum. "Budak-ingusan, kau cari mampus!" ia membentak.
Dengan jari tangan yang direntangkan lebar2, ia ccngkeram batok kepala nona itu, sementara telapak tangan kanan meraba ke dada,
Satu jurus dua serangan, semuanya dilancarkan dengan cepat luar biasa, tampaknya kemarahan pemuda itu sudah mencapai puncaknya sehingga ia tak segan2 mencabut nyawa nona itu. Ilmu silat Kim Cay hong adalah ajaran langsung dari ayahnya, tapi dibandingkan dengan Sin-liong-taycu jelas bukan tandingannya.
Tatkala desing angin tajam menolak tiba dan bayangsn telapak tangan 1awan sudah berada di depan mata, gadis itu merasa tak mampu beekelit lagi, ia pasrah nasib dan berdiri tak bergerak, mata dipejamkan sementara dalam hati ia berdoa: "Engkoh Tian, tunggulah sebentar, adik segera akan menyusul engkau! Meski kita tak dapat hidup bersama di dunia ini, biarlah kita berdampingan di a1am baka.."
Sekarang ia tidak jeri lagi menghadapi kematian, dia malah berharap pukulan Sin-liong-taycu itu dapat mencabut nyawanya sehingga ia dapat menyusul Tian Pek ke alam baka. Walaupun hidup tak bisa berdampingan dengan kekasihnya, tapi mereka akan bertemu di alam baka, kejadian ini cukup menghibur hatinya.
Siapa tahu kematian tak kunjung datang, sekalipun ia sudah pejamkan mata dan menunggu pukulan itu, namun pukulan yang dahsyat itu tak pernah menimpa badannya, nona itu jadi heran dan membuka matanya, apa yang tertampak olehnya membuat nona itu jadi tercengang.
Ternyata Sin-liong-taycu telah menyurut mundur sejauh beberapa tombak dari tempat semula dengan wajah kaget bercampur kuatir.
Sedang di depannya entah sejak kapan telah bertambah seorang kakek berbaju pertapa serta seorang nona yang cantik.
Kakek berbaju pertapa itu berusia lima puluhan, mukanya bulat dengan jenggot cabang lima, sikapnya agung berwibawa, jubahnya berwarna abu2, sepatu dengan kaos putih, dandanannya persis seperti dewa, siapapun akan tahu orang ini pasti seorang tokoh sakti yang berilmu tinggi. Nona yang cantik itu memakai baju yang sederhana, perutnya kelihatan besar, agaknya sedang mengandung.
Air mukanya tenang, tidak bergincu, rambut-pun tidak dikepang tapi dibiarkan terurai di belakang. Kecantikannya adalab kecantikan alam, semakin tidak berdandan, kelihatan semakin menawan hati.
Saat itu wajahnya diliputi kemurungan, terutama matanya yang jeli, berulang kali melirik Tian Pek yang terkapar di tanah.
Sekilas pandang Kim Cay-hong segera mengenal siapa nona cantik ini sebab dia tak lain adalah Liu Cui-cui yang pernah menolong jiwanya.
"Masakah ia sedang mengandung . . .?" nona Kim ini berpikir.
Sementara itu, kakek berdandan pertapa itu sedang berkata dengan nyaring: "Taycu, lebih baik cepatlah pulang, banyak urusan sedang menantikan kedatanganmu untuk diselesaikan!"
Sin-liong-taycu berusaha menenangkan diri, dengan gusar ia menegur: "Paman Liu, kau suruh aku pulang? Memangnya ada apa? Apa maksudmu menangkis seranganku barusan?"
Dari tanya jawab itu Kim Cay hong baru tahu bahwa jiwanya telah diselamatkan oleh kakek berdandan pertapa ini.
"Banyak persoalan tak dapat kujelaskan satu demi satu," sahut kakek itu dengan alis berkerut.
"Tapi ada satu hal dapat kuberitahukan kepada Taycu, waktu Kaucu menyeberangi samudera, kapal mereka telah tertimpa angin topan dan tenggelam, Kiucu beserta dua ratus orang lebih yang berada di dalam kapal telah tewas semua "
"Benarkah uoapanmu ini?" sebelum kakek itu menyelesaikan kata2nya, Sin-liong-taycu telah berseru kaget.
“Masa aku bohong?" jawab si kakek.
Sin-liong taycu dan Lam-hay liong-li saling pandang sekejap, rupanya mereka tahu si kakek tidak berbohong, dengan cemas bercampur kuatir kedua orang itu segera berlalu dengan cepat tanpa bicara.
Tay cong-ci-ju dan Ciong-nia ci-eng melirik sekejap mayat Hay-gwa-sam-sat serta kedua rekannya yang terkapar di tanah, tapi mereka tak berani mengurusnya, sebab mereka tahu dengan berlalunya Sin-liong taycu berdua, tak nanti mereka mampu menandingi kerubutan orang banyak. Maka kedua gembong iblis inipun buru2 kabur.
"Selain itu, harap Taycu waspada dan cepat membuat persiapan. Mo-kui-to sudah diserbu musuh dan sekarang telah diduduki mereka!" demikian si kakek berseru pula.
Ketika ucapan tersebut diutarakan, baik Sin-liong-taycu dan Lam-hay-liong-li maupun Tay-cong ci-ju dan Ciong nia-ci-eng keempat orang itu sudah berada puluhan tombak jauhnya, tapi ucapan tadi disampaikan dengan ilmu Cian-li- coan-im (ilmu menyampaikan suara dari jauh), maka pasti keempat orang itu dapat mendengar dengan jelas.
Sesudab bayangan keempat orang itu lenyap dari pandangan, paman Lui baru maju ke depan dan memberi hormat kepada kakek pertapa itu sembari menyapa: "Jika mataku belum lamur, bukankah Totiang ini Gin-san-cu (si kipas perak) Liu Tiong-ho, Liu-hiante?" Dengan wajah berseri kakek pertapa itu menggenggam tangan paman Lui, kemudian terbahak-bahak: "Haha, hebat amat ketajaman matamu saudara Lui! Hanya sekilas pandang saja lantas mengenali kembali diriku, padahal sudah puluhan tshun aku tak pernah menongol di daratan. Baik2kah semua sobat kita?"
Paman Lui menghela napas panjang, ia menuding mayat yang bergelimpangan di tanah dan menjawab: "Ai, susah untuk melukiskan keadaan
kami dengan sepatah dua patah kata. Coba iihatlah mayat yang begitu banyak! Di antara Kanglam-jit-hiap mungkin tinggal Hiante seorang yang masih hidup "
Sementara paman Lui berbicara, pelahan Liu Cui-cui msnghampiri Tian Pek, ketika melihat jenasab anak muda itu penuh luka, ia tampak tertegun, tak sepatah katapun diucapkan, tak setitik air matapun menetes, dia berdiri kaku seperti patung ....
Tapi siapapun dapat merasakan kepedihan hatinya, duka yang tak bersuara, kepedihan yang tak kentara, menangis tanpa air mata.
Dalam pada itu kawanan jago yang hadir telah mengetahui bahwa orang tua yang baru datang ini adalah Gin-san-cu Liu Tiong-ho, orang keenam dari Kangiam-jit- hiap, semua orang sama memberi hormat dan kagum.
Gin-san-cu Liu Tiong-ho sendiri sedang ber-cakap2 dengan paman Lui, namun perhatiannya tak pernah lepas dari tubuh puterinya, tentu saja ia pun dapat merasakan pula kesedihan puterinya itu.
Ia memang sudah menjadi pertapa dan menjauhkan diri dari keramaian dunia, tapi manusia tetap manusia, dapatkah ia melupakan se-gala2nya? Apalagi nona itu adalah puteri kesayangannya.
Ia maju ke sana, setelah memandang sekejap Tian Pek ya«g terkapar tak bergerak, lalu berkata:
"Anak Cui, pemuda inikah yang menjadi tumpuan hidupmu?"
Cui-cui mengangguk, butiran air mata maleleh dan membasahi pipinya yang halus.
Paman Lui ikut maju, katanya dengan sedih:
"Liu-hiante, bocah ini tiada lain adalah satu2nya keturunan kakak angkatmu Pek-lek-kiam Tian In-tian!"
Di luar dugaan, Gin-san-cu Liu Tiong-ho tidak menunjukkan rasa berduka, dengan tatapan tajam ia perhatikan sekejap jenasah Tian Pek, lalu serunya dengan dingin: "Ehm, bocah ini memang berbakat luar biasa!"
Lalu kepada putrinya ia bertanya: "Ia sudah mati, apakah kau masih berkeras ingin kawin dengan dia?"
Dengan pasti Cui-cui mengangguk, meski tidak menjawab, tapi dari sikapnya yang serius, siapapun tahu tekadnya yang bulat dan tak muugkin berubah lagi.
"Nak, kau masih muda!" kembaii Liu Tiong ho berkata, "Untuk bidup menjanda se-lama2nya bukanlah suatu pekerjaan yang gampang, menurut pendapat ayah lebih baik. . . "
"Ayah, apa maksudmu mengucapkan kata2 semacam itu
. . .?" sela Cui-cui dengan kurang senang. "Sekali anak sudah kawin dengan dia, selama hidup pikiranku tak akan berubah, apalagi dalam perutku sudah ada janin yang merupakan darah daging keturunannya!" Keterangan ini cukup menggemparkan, terutama Buyung Hong, Kim Cay-hong dan Hoan Soh-ing, mereka sama melenggong.
Beberapa orang nona itu tidak tahu bahwa antara Tian Pek dan Cui-cui telah melakukan hubungan badan ketika berada di dalam sampan di sungai Hway, mereka hanya heran darimana munculnya jabang bayi Tian Pek di dalam perut Cui-cui?
"Ai, anak bodoh ..." bisik Liu Tiong-ho kemudian sambil berdehem. Ia tak tega menegur puterinya meski sebelum menikah resmi dengan Tian Pek telah mengandung lebih dahulu.
Maklumlah, Cui-cui dibesarkan di suatu pulau yang terpencil, Liu Tiong-ho sendiri sangat sayang pada puteri tunggalnya ini, ia sibuk urusan bertapa, hidup Cui-cui terlampau bebas, tak pernah ia didik puterinya sesuai dengan adat istiadat Tsonggoan, gadis ini semenjak kecil sudah terbiasa hidup bebas tanpa ikalan, maka setelah dewasa Cui-cui pun tetap polos, lincah dan tidak terikat oleh segala macam adat.
Kendatipun demikian, peristiwa ini memhuat Liu Tiong- ho jadi malu, ia lantas berusaha mengalihkan pembicaraan ke soal lain, tiba2 tanyanya: "Aku dengar masih ada beberapa orang nona yang mencintai pemuda she Tian ini, entah nona2 yang kau maksudksn hadir di sini atau tidak?”
Serta merta Buyung Hong tampil ke depan, ia memberi hormat kepada orang tua itu, katanya; 'Keponakan adalah janda Tian-siauhiap yang ditinggalkan!"
Selagi Liu Tiong-ho tertegun, paman Lui cepat menambahkan: "Dia bernama Buyung Hong puteri sulung Losam (saudara ketiga) Ti-seng-jiu Buyung Hong' "O, Hiant-titli jangan banyak adat!" kata Liu Tiong-ho cepat, kemudian kepada paman Lui dia bertanya: "Apakah ia sudah menikah dengan putera saudara Tian ini?"
"Menikah memang belum, tapi mereka sudah dijodohkan dengan resmi, akulah yang menjadi combang bagi mereka berdua!" sahut paman Lui sedih.
"Selain itu, aku telah menjodohksn pula adik-ku kepada Tian-siauhiap!' tiba2 Buyung Hong menambahkan.
Liu Tiong-ho semakin bingung: "Ah. jadi kau menjodohkan pula adikmu dengan suamimu? Di mana adikmu sekarang?"
Pertanyaan ini membuat Buyung Hong jadi sedih, air matapun bercucuran, jawabnya: "Ia telah gugur dalam pertempuran, sekarang berbaring disana" ia menuding ke arah Wan-ji yang masih menggeletak itu,
Liu Tiong-ho segera menghampjri Wan-ji, membuka kelopak mata gadis itu dan memeriksanya sebentar, kemudian memeriksa pula denyut nadi pada pergelangan tangannya, setelah itu baru menjawab: "O, dia belum mati, hanya hawa amarah menyerang jantung dan membuat isi perutnya terluka parah, napas yang tersumbat membuat ia tak sadarkan diri!"
Jadi ia masih bisa tertolong?" hampir serentak Buyung Hong dan paman Lui berseru.
Liu Tiong-ho tidak menjawab, dia menepuk batok kepala Wan-ji.
Karena tepukan yang cukup keras itu, sekujur badan Wan ji bergetar, mulutnya terpentang lebar, cepat Liu Tiong-ho keluarkan sebuah botol kecil dari sakunya dan kemudian meneteskan tiga tetes cairan putih ke mulut nona itu. Selang beberapa saat kemudian Wan-ji berseru tertahan dan membuka matanya kembali.
Dengan sebuah tepukan dan tiga tetes cairan ternyata Wan-ji dapat ditolong jiwanya, peristiwa semacam ini cukup menggemparkan, paman Lui dan Buyung Hong segera memburu maju dan memayang nona itu untuk bangun.
Tapi Liu Tiong-ho segera mencegah perbuatan mereka, serunya: "Jangan bangunkan dia, biarlah ia duduk tenang dan mengatur pernapasannya. "
Buyung Hong membantu adiknya mengatur pernapasan, sedang paman Lui lantas memuji: "Liu hiante, tampaknya ilmu pertabibanmu makin lama makin ssmpurna. Obat mujarab apa yang kau simpan dalam botol itu? agaknya manjur sekali."
"O. cairan ini adalah Leng-ci-sian-ek berusia ribuan tahun, dapat menumbuhkan kembali daging dan bisa menghidupkan orang yang telah mati!"
"Kalau begitu, bukankah Tian-hiantit bisa pula kita selamatkan jiwanya?" sambung paman Lui cepat.
Liu Tiong-ho tidak menjawab, ia menghampiri Tian Pek dan memeriksa kelopak mata serta denyut jautungnya, setelah itu baru menyahut sambil menggeleng “Lukanya terlalu parah, nadinya sudah putus, tak mungkin jiwanya diselamatkan lagi!"
Ucapan tersebut segera disambut dengan isak tangis yang memilukan hati, hampir bersamaan waktunya keempat nona yang berkumpul di situ menangis ter-sedu2.
Liu Cui-cui, Buyung Hong, Kim Cay-hong dan Hoan Soh-ing mendekap muka masing2 dan menangis dengan sedihnya, sedang Wan-ji yang sadar hanya membelalakkan matanya memandang dengan heran keempat nona yarg sedang menangis itu, rupanya ia tak mengerti apa sebabnya keempat orang itu menangis.
Kejadian ini makin mencengangkan Liu Tiong-ho, ditatapnya sekejap wajah Kim-Cay-hong dan Hoan Soh-ing, kemudian bertanya: “Puteri siapakah kedua nona ini? Apakah keduanya juga jatuh cinta kepada Tian-hiantit?"
Dengan air mata bercucuran paman Lui mengangguk: "Kedua nona ini juga bukan orang luar!"
Ia menunjuk Kim Cay-hong dan berkata: "Dia bernama Kim Cay-hong, puteri Loji Cing-hu-sin Kim Kiu,” Kemudian sambil menuding Hoan Soh-ing katanya pula: "Dia ini Hoan Soh-ing, puteri Pah-ong-pian Hoan Hui!"
Baik Kim Cay-hong maupun Hoan Soh-ing tahu bahwa Liu Tiong-ho adalah saudara angkat ayah mereka, maka sambil menahan isak tangis kedua nona itu lantas menberi hormat.
Gin San-cu Liu Tiong-ho mengawasi kedua nona itu dengan seksama, ia lihat baik Kim Cay-hong maupun Hoan Soh-ing sama2 berparas cantik, sedikitpun tak berada di bawah kecantikan puterinya, maka serunya sambil mengangguk: "Hian-tit-li berdua jangan banyak adat!"
Kemudian ia berpaling kepada paman Lui dan berkata lagi: "Sungguh tak nyana beberapa orang saudaraku itu mempunyai puteri yang cantik jelita. Oya. kudengar mereka juga punya anak laki2 yang semuanya punya nama besar di dunia persilatan, apakah mereka juga hadir di sini?"
Belum habis ucapannya, Bu-lim su-kongcu lantas tampil ke depan seraya memberi hormat.
Paman Lui lantas memperkenalkan mereka satu persatu. Melihat kegagahan dan ketampanan Bu~lim-su-kongcu, tiada hentinya Liu Tiong-ho mengangguk dan memuji: "Hebat! Hebat! Sulit benar menemukan jago2 muda yang begini hebat dan begini gagah, Hian tit sekalian tak usah banyak adat!"
Kemudian kepada paman Lui ia berkata lagi. "Ehm, keponakan2 semua adalah tunas muda harapan bangsa, yang laki2 hebat dan yang perempuan cantik. Mengapa di antara mereka tidak dijodohkan satu dengan yang lain? Kenapa begitu banyak anak gadis hanya tertuju pada putera saudara Tian seorang? Masa dia mempunyai sesuatu keistimewaan yang luar biasa?"
Sambil tertawa getir paman Lui menggrleng kepala, katanya: "Darimana aku tahu? Selamanya aku tidak paham cinta muda-mudi? Kalau mau tahu jelas boleh kau tanyakan sendiri kepada mereka itu?"
Bu-lim-su-kongcu menundukkan kepala dengan wajah malu dan menyesal. mereka tak berani mangucapkan sepatah kata pun.
Senentara itu Wan-ji telah paham duduknya persoalan serta apa yang telah terjadi. Di antara sekian gadis, cintanya yang paling besar dan mendalam itulah sebabnya ia tak sudi menerima lamaran Toan-hong Kong-cu sebaliknya rela mempunyai suami yang sama dengan Tacinya.
Selain itu ia paling muda, cara bicaranya tidak pakai tedeng aling2, ketika mendengar pertanyaan itu dia lantas maju dan menyahut: “Paman, dalam hal mana kau tidak paham, memangnya siapakah yang dapat memaksa cinta yang tumbuh dari lubuk hati seseorang? Siapa yang bisa memaksa orang lain untuk mencinatai seseorang? Kalau seorang sudah mencintai seorang tertentu mungkinkah cinta itu dialihkan kepada orang lain?" Sebagaimana diketahui, paman Lui paling sayang pada Wan-ji, mendengar jawaban tersebut bukannya menentang, dia malah berkata kepada Liu Tiong-ho sambil tertawa: "Aku pikir, mungkin itulah jawaban yang paling tepat!"
Kembsli Liu Tiong-ho menggeleng, selang sesaat barulah menuding kelima nona itu secara bergilir dan berkata: "Kau, kau, kau, kau dan kau! Apakah kalian semua ingin kawin dengan Tian-hiantit?"
Wan-ji, Buyung Hong, Cui-cui dan Kim cay-hong sama mengangguk, hanya Hoan Soh-ing seorang yang membungkam dan tidak mengangguk.
Mengangguk artinya mengaku, maka ketika melihat ada yang tak mengangguk, Liu Tiong-ho berkata: "Ai. hanya nona Hoan seorang yang pikirannya masih tenang, hanya dia saja yang tidak setuju pada cara demikian. Masa sekian banyak anak gadis menikah dengan seorang suami yang sama?"
Tak terduga, mendadak Hoan Soh-ing menengadah dan berkata: "Paman, kau salah mengartikan maksud keponakan. Kendati Titli tidak harus kewin dengan Tian- siaubiap, tapi aku pasti akan menjadi seorang sahabat Tian- siauhiap!"
Lui Tiong-ho tertawa mendengar perkataan ini, serunya cepat: "Andaikata tiada peristiwa tragis di Tong-Ting-oh, tentu kalian masih berhubungan erat sekali antara keluarga yang satu dengan yang lain, tapi hubungan sebagai sahabat ataukah sebagai famili !"
"Bukan begitu maksudku," tukas Hoan Soh-ing cepat "Maksudku ingin menjadi sahabat paling karib Tian- siauhiap, tiap hari berkumpul dan selamanya takkan berpisah lagi " Ketika mengucapkan kata2 terakhir, suaranya berubah lirih, merah pipipun semakin tebal.
Melengak Liu Tiong-ho mcndengar jawaban itu. "Ah, belum pernah kudengar ada persahabatan yang akrab begitu!" serunya, "kecuali menjadi suami-isteri, masa ada teman yaag berkumpul pagi sampai malam dan tak berpisah untuk selamanya?"
"Persahabatan macam begitulah yang Titli inginkan dengan Tian-siauhiap!" sambung Hoan Soh-ing.
Liu Tiong-ho mengamati tubuh si nona yang tinggi semampai. wajahnya yang cantik dan gerak-geriknya yang bersifat ke-laki2an, mendadak ia seperti memahami sesuatu.
Hubungan antara laki dan perempuan, di atas cinta sebagai kekasih, cinta persahabatan adalah cinta yang paling luhur dan paling suci! Sebelum bertapa, Liu Tiong- ho sendiripun seorang laki2 yang mudah jatuh cinta, ia dapat merasakan betapa suci bersihnya cinta persahabatan seperti yang dimaksudkan. Maka tiba2 ia jadi memahami apa yang dimaksudkan "sahabat" oleh Hoan Soh-ing.
Cinta nona ini jauh di atas napsu berahi dan sifat mementingkan diri sendiri, ia rela mengorbankan dirinya bagi sahabat, tiada maksud memilikinya sendiri, tiada cemburu.
Kejadian ini memang langka sekali di dunia ini, adat umumnya juga tidak memungkinkan adanya cinta semacam ini. Karenanya orang tua itu hanya tertawa getir sambil menggeleng kepala.
"Hian-tit-li!" katanya kemudian, "mungkin kau telah melupakan sesuatu, sekarang Tian-hiantit telah meninggal dunia, apa yang kau harapkan mungkin tak bisa terwujud untuk selamanya!" "Tak apalah!" jawab nona itu tanpa berpikir, "aku akan mengubur jenasahnya, kemudian membuat rumah gubuk di depan kuburannya dan menemani dia selama hidupku."
Sekali lagi Liu Tiong-ho melengak Inilah pernyataan cinta yang tulus dan ikhlas, penyataan suci tentang cinta dari mulut seorang dara cantik, pernyataan ini membuat hatinya terharu, ia mulai berpikir tentang Tian Pek, dengan apakah ia berhasil merebut hati gadis yang cantik dan perkasa ini?
Akhirnya dia menghela napas, sambil berpaling ke arah keempat nona lainnya ia berkata: "Baiklah, urusan Tian- hiantit sudah ada yang akan menyelesaikannya, nona Hoan telah menyanggupi untuk merawat kuburannya, aku rasa kalian pun boleh tinggalkan tempat ini dan pulang ke rumah
masing2."
"Ayah, apa maksud ucapanmu itu?" tiba2 Cui-cui berseru menentang. "urusan penguburan engkoh Tian sudah menjadi kewajiban bagiku untuk mengurusnya”
Buyung Hong dan Wan-ji maju pula ke depan seraya berseru 'Kami berdua dijodohkan secara resmi kepada Tian- siauhiap, soal penguburan jenasahnya adalah tugas kami berdua."
Liu Tiong-ho betul2 heran, seorarg laki2 yang telah meninggal masih dicintai oleh sekian banyak anak dara, daya tarik apakah yang dimiliki anak muda itu sehingga begitu banyak gadis yang ter-gila2 kepadanya?
Tapi ia sudah mempunyai perhitungan sendiri, segera ia bertanya pula: "Apa yang akan kalian kerjakan setelah mengubur jenasah Tian-hiantit?" "Kami akan mengikuti jejak enci Hoan, mendirikan gubuk di depan kuburannya dan menemaninya selama hidup!" jawab Cui-cui, Buyung Hong dan Wan-ji hampir berbareng.
"Empat gadis menemani sebuah kuburan?" Liu Tiong-ho tertawa getir, "dunia seluas ini mungkin tidak banyak terjadi hal menarik seperti ini!"
Belum selesai ucapannya, Kim Cay-hong telah maju dan menanggapi: "Keponakanmu yang bodoh juga ingin mengikuti jejak keempat saudara yang lain!"
Kali ini bukan Liu Tiong-ho saja yang melenggong, bahkan semua orang, setiap jago yang hadir di situ terrcengang.
"Benar2 kejadian yang aneh!' demikian mereka berpikir, "lima orang gadis cantik rela hidup menjanda karena kematian seorang laki2 . . betul2 peristiwa yang belum pernah terjadi sebelumnya . . "
Mencorong sinar mata Liu Tiong-ho, ia memandang sekejap wajah Kim Cay-hong, Wan-ji, Buyung Hong, Hoan Soh-ing serta puterinya, kemudian bergumam: "Memang sulit untuk menyelesaikan persoalan semacam ini Ai, agaknya terpaksa harus suruh Tian-hiantit menyelesaikan sendiri urusan ini!"
Sungguh aneh! Orang mati mana bisa mengurusi persoalannya lagi?
Selagi semua orang tertegun heran Liu Tiong-ho telah menghampiri tubuh Tian Pek, beruntun ia menepuk tiga kali di-umbun2 kepala anak muda itu.
Liu Tiong-ho tersohor karena iimu pertabibannya yang sakti, sebelum menjadi pertapa, ketika masih tergabung dalam Kanglam-jit-hiap, ia tersohor dalam dunia persilatan karena ilmu pertabibannya dan ilmu berenangnya yang tinggi. Setelah menjadi pertapa, ia semakin memperdalam kepandaian pertabibannya itu dengan harapan bisa banyak menolong jiwa manusia. Dengan sendirinya ilmu pengobatannya sekarang sudah mencapai kemajuan yang pesat, iapun memiliki cara pengobataan yang berbeda dengan ilmu pengobatan biasa.
Kebanyakan orang persilatan mengobati orang dengan ilmu Tui-kiong-Khi-hiat (menguruti nadi menghidupkan jalan darah atau Lwe-kong-liau-siang (menyalurkan tenaga dalam untuk menyembuhkan luka). Caranya menekan batok kepala si penderita yang dilakukennya itu jarang ditemui di dunia.
Hakikatnya tepukan tersebut mengandung hawa sakti Bu-siang-hian-kang-ceng-khi, hawa sakti itu disalurkan masuk melewati Hoa-kay-hiat di ubun2, dengan menembus jalan darah Thian-leng dan Ci-hu-hiat akhirnya mencapai Ni wan-hiat serta Hoan-bun-hiat sehingga semua nadi penting si penderita menjadi lancar dan darahpun mengalir lagi.
Dalam keadaan begitu, betapa parahnya luka seseorarag segera akan sadar kembali, kemudian bila diberi tetesan Leng ci yang berusia ribuan tahun, luka si penderita seketika akan sembuh dengan cepat.
Semua orang sudah menyaksikan kehebatannya waktu menolong Wan-ji, maka ketika melihat dia akan menyembuhkan Tian Pek yang jelas2 telah disiarkan sudah mati, serta merta semua orang maju dan mengerumuninya.
Ketika itu Liu Tiong-ho sudah menepuk tiga kali, hawa sakti Hian-kang ceng-khi tingkat tinggi telah disalurkan menembusi jalan darah di ubun2 terus menembus semua jalan darah. Sekujur tubuh Tian Pek segera bsrgetar keras, giginya yang terkatup tiba2 membuka dengan sendirinya.
Dengan cepat Liu Tiong-ho membuka tutup botolnya dan meneteskan cairan Leng-ci ke dalam mulutnya, setetes.
... dua tetes , . tiga tetes sampai sembilan tetes kemudian, Tian Pek baru merintih dan pelahan membuka matanya.
Semua orang berseru kaget, paman Lui acungkan jempolnya sambil bersorak kegirangan: "Liu-hiante, kau memang hebat sekali!"
"Hahaha, saudara Lui terlalu memuji! Andaikata beberapa hari yang lelu aku tidak menemukan Lengci berusia ribuan tahun di suatu gua rahasia dan membuat satu botol cairan Lengci yang hebat, sekalipun ada malaikat yang turun dari kayangan pun belum tentu dapat menyelamatkan jiwa Tian-hiantit!"
Tiba2 paman Lui seperti teringat sesuatu, ia berseru: "Berbicara pulang pergi, tampaknya sejak tadi Liu hiante sudah menemukan cara untuk menyembubkan Tian hiantit kita ini. Tapi sengaja tidak kau katakan karena kau mempunyai tujuan tertentu?"
Kali ini Liu Tiong-ho tidak tertawa, ia memandang sekejap ke arah Tian Pek, lalu mengangguk: "Tebakan Lui heng memang betul! Aku memang sengaja menyiarkan bahwa Tian hiantit tak tertolong lagi dengan tujuan agar ia bisa terlepas dari belenggu cinta, tapi bukti telah berbicara lain,
sekalipun keponakan Tian benar2 sudah meninggal, benang cinta yang membelenggunya tetap tak bisa dilepaskan."
Dalam pada itu kelima gadis cantik tadi sedang mengerumuni Tian Pek, ada yang membersihkan noda darah di tubuhnya, ada yang membalutkan lukanya, ada pula yang menguruti jalan darahnya. . , . .
Keadaan Tian Pek waktu itu seperti seorang pangeran yang baru mendusin dari tidur yang nyenyak, di bawah pelayanan lima orang nona cantik jelita, ia duduk bersila di tanah, ia kelihatan melongo bingung,
Jangankau Tian Pek, sekalipun orang lain juga akan terbelalak dan tak habis mengerti bila menghadapi kejadian seperti ini, mereka pasti akan mengira dirinya sedang bermimpi.
Akhirnya kesadaran Tian Pek pulih kembali seperti sedia kala, ia memandang wajah kelima nona itu secara bergantian, kemudian air mukanya berubah merah, ia merasa bahagia karena mendapat pelayanan kelima orang gadis cantik, tapi ia pun merasa malu karena semua itu dialaminya di badapan orang banyak.
Ia bergerak dengan alis bekernyit.
"Engkoh Tian, badanmu masih sakit?" segera Wan-ji menegur.
"Engkoh Pek! Bagaimana rasa isi perutmu sekarang?" tanya Buyung Hong.
"Engkoh. . . .Tian-siauhiap, lukamu sudah sembuh?" sambung Kim Cay-hong.
Hanya Hoan Soh-ing yang tidak bersuara, matanya yang jeli memandang pemuda itu dengan mesra, mukanya berseri, tapi air matanya mengembeng di kelopak matanya.
Cui-cui memayang anak muda itu dan berbisik lembut: "Beristirahatlah sejenak lagi! Lukamu tidak ringan. "
Lima orang nona cantik dengan perhatian yang sama, pelayanan yang sama, serta kemesraan yang sama pula. "Aku sudah sehat!" ujar Tian Pek seraya menggeleng kepala, di bawah bimbingan kelima nona, pelahan ia bangkit berdiri.
Ketika ia memandang ke depan. ia lihat seorang pertapa tua sedang berdiri di samping paman Lui, mereka sedang memandangnya sambil tersenyum.
Tian Pek jadi malu, di samping itu iapun lantas mengerti bahwa jiwanya pasti telah ditolong oleh orang tua itu.
Sebelum ia maju untuk memberi hormat, paman Lui telah berkata lebih dahulu: "Keponakan Tian, hayo kemari dan mamberi hormat kepada pamanmu yang keenam! Beliau ini tak lain adalah saudara angkat ayahmu di masa lalu, Gin-san-cu Liu Tiong-ho!"
"Lukanya belum sembuh tuntas, biarkan dia duduk bersila lebih dulu, tak perlu banyak adat. . . " cepat Liu Tiong-ho mencegah.
Tapi Tian Pek sudah keburu melangkah maju dan berlutut seraya bekata: "Paman, terimalah penghormatan keponakan, Tian Pek!"
"Keponakanku, tak perlu banyak adat!" Meski di mulut orang tua itu berkata demikian, tapi diam2 ia menaruh simpatik kepada anak muda itu.
Sama2 putera saudara angkatnya, sama2 memberi hormat kepada Cianpwe yang baru ditemui untuk pertama kalinya, tapi Bu-lim-su-kongcu hanya menjura sekadarnya, sebaliknya Tian Pek melakukan penghormatan besar dengan menyembah. Meski hanya soal tata adat, namun dari sini dapat diketahui bahwa Bu-lim-su-kongcu angkuh dan tak tahu adat, bcrsikap tak hormat terhadap Cianpwe. Sebaliknya Tian Pek jujur dan polos, dia menghormati kaum tua, dan dari sini pula Liu Tiong-ho lantas memahami sebab apa kelima nona cantik itu hanya mencintai Tian Pek seorang dan tidak mencintai pemuda lainnya.
Semcntara itu Tian Pek telah berkata. "Tatkala mendiang ayahku mendapat celaka, Lak-siok (Paman keenam) adalah satu2nya orang yang membantu mendiang ayahku, terimalah hormat dan terima kasihku, paman!” Kembali ia berlutut dan menyembah tiga kali.
Bu-lim-su-koogeu sudah mengetahui pula cerita tentang Kanglam-jit-hiap, mereka pun memahami perbuatan tidak pantas mendiang ayah2 mereka.
Ketika mendengar ucapan Tian Pek mereka jadi malu dan menyesal.
Di pihak lain, ketika sembilan orang ketua sembilan besar melihat Gin-san-cu Liu Tiong-ho mempunyai kemampuan menghidupkan kembali orang yang telah mati, mereka juga lantas maju ke muka dan mohon penyembuhan bagi anak buahnya. Tentu saja Liu Tioug-ho tak dapat menolak-nya, maka ia pun menolong mereka yang terluka.
Sementara ia menyembuhkan luka jago2 silat itu, paman Lui menggunakan kesempatan itu untuk mengecek kebenaran berita tenggelamnya Kaucu Lam-hay-bun yang teetimpa angin topan.
"Aku tidak bohong!" demikian Liu Tiong-ho menjawab. "Hal itu memang benar2 terjadi. Ai, untung aku tidak ikut rombongan mereka, kalau tidak aku pasti akan ikut terkubur di dasar lautan!"
Ia lantas menceritakan pula apa yang sudah terjadi di pulau Mo-kui-to. Kiranya setelah Hay-liong-sin Liong Siau-thian mengutus putera puterinya menyerbu ke daratan Tionggoan dalam dua gelombang, kemudian ia mendapat laporan dari Sin-liong-taycu bahwa sebagian besar dunia persilatan Tionggoan telah jatuh ke dalam cengkereman mereka, dalam pertemuan Enghiong-tay-hwe yang akan diselenggarakan di Siau-lim-si pada bulan sebilan tanggal sembilan nanti, semua jago persilatan yang menentang mereka akan dapat ditumpas dan dunia persilatan akan terjatuh ke tangan mereka.
Girang sekali Hay-liong-sin mendapat kabar itu, serentak ia kumpulkan dua ratus anak buah, dengan menumpang tiga buah kapal berangkatlah ke daratan Tionggoan.
Liu Tiong-ho sendiri karena sudah ada persetujuan dengan Hay-liong-sin, ia tetap tinggal di pulau itu untuk meneruskan pertapaannya dan tidak mcncampuri urusan dunia persilatan lagi.
Tapi tak lama setelah Hay-liong-sin dan rombongan berangkat, tiba2 Liu Tiong-ho mendapat firasat tidak enak, merasa rindu pada puteruinya si Cui-cui yang merantau di daratan, suatu hari dia menumpang perahu dan tinggalkan pulau tersebut.
Di tengah laut ia bertemu dengan beberapa perahu besar yang mendekati Mo-kui to, perahu kaum bajak laut, sudah lama mereka mengincar Mo-kui-to dan ingin dijadikan markas mereka, sudah beberapa kali menyerbu ke pulau tersebut, tapi setiap kali mereka dipukul mundur oleh Hay- liong-sin dan begundalnya.
Liu Tiong-ho tak nau cari gara2, pertama karena jumlah lawan sangat banyak. kedua ia pun tak ingin melakukan pembunuhan, maka ia hanya memperingatkan perampok laut itu agar hati2 terhadap pembalasan dendam dari Hay- liong-sin.
Mendengar nasihat itu, kawanan perompak itu mentertawakannya dan berkata: "Hay-liong sin sudah tercebur ke dalam laut, ia tak akan kembali lagi untuk selamanya. Hahaha, jangan mimpi lagi akan munculnya dalam keadaan hidup!"
Liu Tiong-ho belum mau pcreaya, tapi sepanjang perjalanan betul ditemuinya banyak mayat yang mengapung di lautan, di antaraya tampak pula pecahan kayu perahu, sampai di daratan ia mendengar cerita orang tentang banyaknya perahu yang tenggeiam tertimpa angin topan, barulah ia psrcaya apa yang didengarnya itu memang betul.
Mendengar centa ini semua orang merasa senang dan lega, kata mereka dengan wajah berseri "Kalau begitu, daratan Tionggoan masih ada harapan untuk diselamatkan dari badai pembunuhan asal Sin-liong-taycu diusir pergi, dunia tentu akan aman!"
"Tak perlu diusir lagi," kata Liu Tiong-ho, "sekarang Sin- liong-taycu tentu lebih menguatirkan keselamatan sarangnya, saat ini dia pasti sudah berangkat menyeberangi lautan dan kembali ke pulaunya!"
Semua orang jadi gembira dan merasa lega karena badai pembunuhan yang mengerikan bisa terhindar tanpa diduga.
Liu Tiong-ho lantas berkata kepada Tian Pek: "Mungkin dunia persilatan akan mengalami masa damai untuk sekian waktu. Hian-tit, apa rencanamu selanjutnya"
Tian Pek tidak lantas menjawab, ia pikir sakit hati ayahnya sudah terbalas, hidupnya sebatang-kara, pertempuran yang baru dialaminya telah mengubah cara berpikir pemuda ini, melihat keagungan Liu Tiong-ho, tiba2 timbul ingatannya untuk bertapa.
Maka ia menjawab: "Siau-tit merasa tak ada gunanya mencampuri urusan dunia ramai lagi, maka ingin meniru Lak-siok dan hidup bertapa di tempat pengasingan!"
Ter-bahak2 Liu Tiong-ho, ia menuding kelima nona yang berkerumun di sana, katanya: "Siapapun boleh menjadi pertapa, hanya kau seorang yang tak mungkin bisa melaksanakan niatmu. Coba lihatlah, bibit cinta yang kau tanam kini telah mulai bersemi dan berbuah.'
Mula2 kelima nona itu tertegun mendengar jawaban Tian Pek, tapi wajah mereka jadi merah sesudah mendengar ucapan Liu Tiong-ho.
Tian Pek berpaling dan memandang sekejap kelima nona itu, ia mengerti apa yanp telah terradi, alisnya langsung bekernyit.
Lima pasang mata sedang memandangnya dengan pandangan mesra, pikirannya jadi kalut ia merasa bingung dan tak tahu bagaimana mengatasi
masalah tersebut.
Liu Cui-cui telah mengandung, nona ini tidak berdandan, rambutnya tidak disisir, tampangnya kelihatan kuyuh. Buyung Hong yang semampai, kelihatan lemah tak bertenaga, Wan-ji yang polos, Kim Cay-hong yang lembut, Hoan Soh-ing yang mengulum senyum.
Lima nona dengan kemesraan yang sama hangatnya, dengan cinta yang sama dalamnya telah membelenggu dirinya, ini membuat anak muda itu tak bisa berbuat apa2..
.. Setelah putar otak dan mencari akal, akhirnya dia keraskan hati, mendadak ia lolos Pedang Hijau dari sarungnya.
Kilatan cahaya hijau berkilau membuat semua orang tertegun, tak seorangpun mengerti apa sebabnya Tian Pek melolos Pedang Hijau yang tak pernah digunakan meski waktu bertempur melawan ketujuh jago Lam-hay-bun.
"Hian-tit, apa yang akan kaulakukan?"* Liu Tiong-ho segera menegur.
“Orang kuno pernah memutus benang cinta dengan Hui-kiam (pedang bijaksana), maka sekarang aku juga ingin meniru cara orang kuno memutuskan benang cinta dengan Pedang Hijau ini!"
Seraya berkata ia lantas angkat Pedang Hijau keatas. "Cinta kasih para nona biarlah Tian Pek terima di dalam
hati!' demikian ia berkata. “Mulai detk ini hubungan kita
putus sampai di sini, kita akan hidup dengan menempuh caranya masing2, siapapun tidak ada hubungan lagi satu dengan yang lain"
Begitu habis berkata ia lantas berlalu.
Liu Cui-sui menjerit tertahan, cepat ia memburu ke sana dan mengadang jalan pergi anak muda itu sambil berseru: "Orang lain boleh tak dihiraukan olehmu, tapi aku tak dapat kau tinggalkan! Sebab dalam perutku telah ada anakmu! Anak yang kukandung ini adalah darah dagingmu!"
"Anakku? Darah dagingku…?” gumam Tian Pek dengan bingung. Buyung Hong dan Wan-ji juga melompat ke depan, seru mereka: 'Kami berdua telah kau nikahi secara resmi, kami berdua tak dapat kau tinggalkan dengan begini saja!”
Hoan Soh-ing tidak tinggal diam, iapun melompat ke depan seraya berseru: "Kau boleh menjadi pendeta, boleh tak beristeri tapi aku kan sahabat karibmu, kalau aku ikut pergi bersamamu tentunya tak beralangan bukan?"
Pelahan Kim Cay-hong juga maju ke depan, bisiknya dengan kepala tertunduk: "Ke ujung langit atau ke dasar lautan kau akan pergi, selamanya akan kudampingimu!"
Tian Pek benar2 bingung oleh kenyataan itu!
Liu Tiong-ho tak dapat menahan rasa gelinya lagi, ia tertawa ter-bahak2: “Hahaha, meski pedangmu tak berperasaan, tapi sayang tak dapat memutuskan tali cinta yang halus dan ulet!"
Tian Pek mendepakkan kakinya ke tanah, serunya: "Ah, terserah kemauan kalian!”
Dengan menahan rasa sakit di badan, selangkah demi selangkah ia pergi dari situ, sementara lima orang nona cantik mengikut di belakangnya.
"Siau-in-kong..!" tiba2 Tay-pek-siang-gi berteriak sambil mengejar, tapi Liu Tiong-ho segera menarik tangan kedua orang itu sambil menggoda: "Hei, mau ke mana kalian? Masa kalian orang laki2 juga mau minta bagian. .?"
Gelak tertawa lah orang banyak bergemuruh.
Setelah urusan terselesaikaa seluruhnya, kawanan jago pun mulai berpamitan dan berlalu.
Akhirnya paman Lui menarik Liu Tiong-ho dan mengajaknya: "Sudah belasan tahun kita tak berkumpul, marilah kita minum sepuasnys!" "Sayang, kini aku pantang makan dan pantang minum," kata Liu Tiong-ho dengan tertawa.
"Tidak minum arak, minum air juga boleh, hayo kita minum tiga gentong besar!" paksa paman Lui.
—oOo— —oOo—
Sang surya telah berada di tengah angkasa, suasana di tempat itu sunyi kembali, tak seorang-pun yang tinggal di situ.
Beberapa tahun kemudian suasana di dunia persilatan benar2 aman tenteram dan sejahtera tak pernah terjadi peristiwa apapun.
Rakyat di sekitar danau Tong-ting-oh seringkali menjumpai seorang pemuda tampan sedang menemani lima nyonya cantik bermain sampan di tengah telaga.
Yang aneh adalah ternyata kelima nyonya cantik itu masing2 menimang seorang bayi yang montok dan mungil, mereka saling bercanda dengan gembiranya.
Siapakah mereka? Tentu pembaca dapat menebak bukan? Mereka tak lain adalah Tian Pek beserta kelima isterinya yang cantik, Liu Cui-cui, Buyung Hong Tian Wan- ji, Kim Cay-hong serta Hoan Soh-ing.
Seorang laki2 dengan lima orang isteri cantik plus lima anak “Hopo tumon”?
Agar sementara pembaca tidak merasa penasaran, perlu dimaklumi bahwa pada jaman feodal dahulu soal poligami memang tak terbatas. satu dan lain bergantung pada "sikon", situasi dan kondisi.
Situasi sudah jelas diterangkan di atas, kondisi, barangkali Tian Pek memang "superman", seorang pencinta yang adil dan bijakssna. Sampai di sinilah kisah Hikmah Pedang Hijau pun berakhir, moga2 Anda puas dan sampai berjumpa pada lain kesempatan.
T A M A T