Postingan

Jilid 13 (Tamat)

Begitu orang itu terluka dan mundur, segera orang lain menutupi kekosongan tersebut, sedikitpun tidak memberi peluang bagi nenek Tong untuk melarikan diri. Keadaan tersebut amat tidak menguntungkan nenek Tong, karena kawanan jago benang biru berjumlah dua belas orang, sedang ia cuma seorang diri, apalagi di luar lingkaran kepungan masih ada empat puluh orang lebih pasukan Bok-lan-tui. Pertarungan ini betul-betul pertarungan kalap seperti seekor binatang yang terjebak, sengit dan tegang, seperti demonstrasi kelihayan ilmu golok aliran Mi-kok, semua ini membuat para perempuan Ainu yang berada di sekitar situ menjadi tertegun.

Baju merah saling berkelebat, cahaya golok menyilaukan mata. Bagaimanapun Tong- popo hanya seorang diri, dalam suatu kesempatan akhirnya suatu bacokan sempat mampir juga pada pahanya.

Darah segera berhamburan membasahi pakaiannya yang berbenang perak itu, begitu kehilangan banyak darah, tenaga makin lemah, gerakannya jadi lamban, akhirnya lengan kiri dan pinggang juga kena bacokan.

Tong-popo tidak tahan lagi, sambil melepaskan serangan, buru-buru ia mundur dengan sempoyongan.

Tiba-tiba satu tangan memayang tubuhnya, menyusul terdengar Ho Leng-hong menghela napas panjang, “Ai, apa gunanya saling membunuh dengan sesama saudara perguruan, lepaskan golokmu Popo!”

Sekuat tenaga Tong-popo bermaksud menyerang pula, tapi pergelangan tangan segera kesemutan dan golok lengkung sudah dirampas oleh Ho Leng-hong.

Segenap anggota Mi-kok menyambut kejadian itu dengan sorak kegirangan, serentak mereka menerobos kepungan perempuan-perempuan Ainu dan berkerumun ke depan .

. . .

“Jangan buru-buru turun tangan,” seru Ho Leng-hong, “ada yang hendak kukatakan lebih dulu.”

Dengan sebelah tangan memegang golok dan tangan lain memayang Tong-popo, pemuda itu berkata lebih jauh, “Nona Tong, bersediakah kau mengabulkan permintaanku?”

“Kenapa? Kau ingin mintakan ampun baginya?”

“Sebenarnya aku tidak berhak mintakan ampun bagi Tong-popo yang telah melanggar peraturan Mi-kok, tapi bagaimanapun dia adalah ahli waris Ang-ih Hui- nio, ia keblingar dan melakukan kesalahan besar lantaran kemaruk kekuasaan, apakah nona bersedia memandang hubungan persaudaraan dan mengampuni jiwanya?

Biarkan dia hidup sampai akhir hayatnya alam lembah dengan status sebagai orang hukuman!”

Tong Siau-sian mengernyitkan alis, lalu berkata, “Ia telah menipumu masuk ke istana es, berulang kali ingin mencelakai jiwamu, apakah kau telah melupakan semua itu?”

Ho Leng-hong tertawa getir, “Bila mana bisa mengampuni orang, ampunilah dia! Ia sudah tua dan paling banter hidup beberapa tahun lagi, apa salahnya kalau kita ampuni jiwanya dan memberi kesempatan kepadanya untuk melewatkan sisa-sisa kehidupannya saat ini?” Tong Siau-sian termenung sejenak akhirnya ia mengangguk, “Baiklah, kukabulkan permintaanmu, tapi ilmu silatnya harus dipunahkan dan sepanjang hidupnya ditahan dalam penjara!”

“Terima kasih, nona!” Leng-hong segera memberi hormat.

Ia lantas melepaskan golok mestika Yan-ci-po-to dari punggung Tong-popo, menutuk jalan darahnya dan menyerahkan nenek itu kepada dua orang petugas benang biru untuk menggusurnya pergi.

Semua perempuan Ainu yang berada di sekitar situ dapat mengikuti adegan tersebut, mereka sama terharu sehingga banyak di antaranya tanpa sadar menurunkan samurainya masing-masing.

Ho Leng-hong menyapu pandang sekejap wajah orang-orang di sekelilingnya, lalu dengan suara lantang berkata, “Kalian semua adalah perempuan baik-baik bangsa Ainu, kenapa kalian mau diperalat orang dan jauh-jauh menyeberangi lautan datang ke Tionggoan untuk mengantar kematian? Ketahuilah, laki-laki dan perempuan secara kodrat mempunyai kewajiban yang berbeda, perempuan Ainu terkenal bijak dan alim, apa gunanya kalian datang ke wilayah Tionggoan sini? Apakah kalian tidak rindu pada orang tua yang berada di negerimu sendiri?”

Perempuan Ainu itu saling pandang tak seorang pun bersuara atau memberi komentar.

“Ho Leng-hong, jangan kau memecah belah kekuatan Ci-moay-hwe!” teriak Kim Lam-giok, “kami perempuan bangsa Ainu sudah muak dan tak tahan diperbudak oleh kaum pria macam kau, sebab itu kami mengambil keputusan untuk mendirikan Ci- moay-hwe, kamipun ingin membuat kaum lelaki merasakan bagaimana rasanya kalau ditindas dan diperbudak orang.”

“Sekalipun demikian, sepantasnya kaudirikan Ci-moay-hwe di negerimu sendiri yang menindas dan memperbudak kalian dan bukan laki-laki bangsa Tionggoan, apa gunanya kalian bikin kacau di wilayah Tionggoan kami?”

“Ini ” seketika Kim Lam-giok terbungkam, tapi setelah berpikir sebentar,

katanya lagi, “hal ini disebabkan daratan Tionggoan sangat luas dan rakyatnya banyak, kami akan mendirikan Ci-moay-hwe di sini lebih dulu, setelah daratan Tionggoan kami kuasai, tidaklah sulit bagi kami untuk menguasai bangsa Ainu.”

Ho Leng-hong tersenyum, katanya, “Sayang perempuan Tionggoan kebanyakan berwatak bajik, tak mudah mereka terpengaruh, kalau tidak percaya tanyalah kepada puluhan orang perempuan Tionggoan yang hadir di sini, siapa di antara mereka yang mau menggabungkan diri dengan Ci-moay-hwe?”

Puluhan anggota Mi-kok sama tergelak, mereka merasa persoalan Ci-moay-hwe ini sangat lucu dan tak seorang pun tertarik untuk menjadi anggota.

Tiba-tiba Leng-hong berkata dengan kereng, “Masalah Tong-popo telah berakhir, seperti apa yang dijanjikan oleh Mi-kok Kokcu, barang siapa ingin pulang ke negeri asalnya dalam keadaan hidup boleh segera membuang senjatanya ke tanah, masing- masing akan diberi pesangon seratus tahil perak untuk ongkos pulang, kalau tidak, maka Tay-pa-san akan menjadi kuburan kalian untuk selamanya.”

Baru selesai ia berseru, belasan orang di antara dua puluhan perempuan Ainu itu membuang senjata mereka dan mengundurkan diri ke samping.

Buru-buru Kim Lam-giok membentak dengan bahasa Ainu, ternyata bentakan itu tak ada gunanya, kembali ada beberapa orang membuang senjata mereka.

Kim Lik-giok menjadi gugup, katanya dengan agak gemetar, “Ho-tayhiap, kami tidak ingin memusuhi dirimu, asalkan Sammoay Hong-giok dilepaskan, kami segera akan angkat kaki dari sini.”

“Ya, kalau tidak terpaksa kami akan bunuh Hui Pek-ling dan putrinya lebih dulu, kemudian baru bertarung mati-mati melawanmu,” sambung Kim Lam-giok.

Ho Leng-hong menggeleng kepala, “Kim Hong-giok telah mencuri belajar ilmu aliran Mi-kok, perbuatannya itu melanggar peraturan Mi-kok, aku tidak berhak melepaskannya, kalau kalian berani melukai ayah dan anak keluarga Hui itu, jangan harap kalian bisa lolos dengan selamat.”

“Barusan kau telah mintakan ampun bagi Tong-popo, sekarang apa salahnya kamipun mintakan ampun buat saudaraku?” pinta Kim Lik-giok.

“Tong-popo adalah anggota lembah, sebaliknya Kim Hong-giok hendak meninggalkan lembah ini, jadi aku tak bisa memintakan ampun baginya.”

Kim Peng yang sejak tadi membungkam mendadak membentak, “Ho Leng-hong, jangan latah, kalau punya kepandaian, beranikah bertaruh denganku?”

“Bertaruh bagaimana?” tanya Leng-hong.

“Beranikah kau berduel denganku tanpa menggunakan ilmu golok aliran Mi-kok, jika kau menang, kami bersedia membubarkan Ci-moay-hwe, semuanya bergabung dengan Mi-kok dan selamanya tidak pulang ke negeri asal.”

“Seandainya aku kalah?” tanya Ho Leng-hong sambil tertawa.

“Kalau kaukalah, maka harus kausuruh Tong Siau-sian membubarkan Mi-kok dan bergabung dengan Ci-moay-hwe, Mi-kok akan menjadi pusat markas besar perkumpulan Ci-moay-hwe kami.”

“Maaf, aku tak dapat menerima taruhan seperti itu, karena Mi-kok bukan milikku,” kata Leng-hong sambil menggeleng kepala.

“Kau tidak berani menerima tantanganku?” ejek Kim Peng sambil tertawa dingin. “Bukannya tidak berani, aku tak bisa menyanggupi ” “Aku setuju!” mendadak seorang menyambung. Orang itu ternyata adalah Tong Siau-sian.

Leng-hong melenggong, katanya cepat, “Nona, persoalan ini bukan masalah kecil, Mi-kok mempunyai aturan leluhur yang ketat, andaikata ”

“Tak ada andaikata, aku percaya kau pasti akan merebut kemenangan.”

“Sudah lama Kim Peng berdiam di wilayah Leng-lam,” kata Leng-hong dengan kening berkerut, “ia sudah apal sekali Tay-yang-sin-to (tiga belas bacokan panas matahari) dari Hiang-in-hu, aku tidak mempunyai keyakinan akan menangkan perarungan ini.”

Tong Siau-sian tertawa, “Dia Cuma berlatih ilmu golok dan tak pernah berlatih ilmu pedang, lagipula kecuali Ang-siu-to-hoat, di dunia dewasa ini ada ilmu golok macam apakah yang sanggup menandingi Poh-in-pat-tay-sik (delapan jurus sakti pembuyar mega) kemahiranmu itu?”

“Kokcu sendiri tidak kuatir, apalagi yang kaukuatirkan?” bisik Pang Wan-kun, “turun tanganlah, beri ajaran setimpal pada si kate itu!”

Kenyataannya tidak mengizinkan Ho Leng-hong untuk bersangsi lebih lama, karena waktu itu Kim Peng dengan langkah lebar telah menuju ke tengah arena, semenara perempuan-perempuan Ainu serta anggota Mi-kok yang berada di tanah lapang telah mengundurkan diri dari situ.

Terpaksa Ho Leng-hong mengangkat bahu, setelah menyelipkan Yan-ci-po-to ke ikat pinggang, sambil menenteng golok lengkung ia menyongsong ke depan.

Setelah kedua orang itu berdiri berhadapan, ternyata Ho Leng-hong lebih tinggi satu kepala daripada Kim Peng, sebaliknya pinggang Kim Peng satu kali lebih besar dibandingkan pinggang Ho Leng-hong.

Yang satu langsing dan jangkung, yang lain kekar dan pendek, masing-masing telah mengambil posisi siap tempur.

Ho Leng-hong membawa dua bilah golok, Kim Peng juga memegang samurai panjang dan sebilah pedang pendek.

“Ingat!” kata Kim Peng kemudian sambil menengadah, “kau tak boleh menggunakan Ang-siu-to-hoat dari Mi-kok!”

“Jangan kuatir!” sahut Leng-hong sambil mengangguk.

“Kita tidak membatasi jumlah jurus, pokoknya menang-kalah ditentukan bila salah seorang terkena, barang siapa berhenti di tengah jalan, dia dianggap kalah.”

“Boleh!” “Untuk memperoleh kemenangan, semua pihak diperkenankan mempergunakan cara apapun, tapi hanya terbatas saling menutul saja.”

“Baik!”

Tiba-tiba Kim Peng berseru ke arah belakang Ho Leng-hong, “Hei, nona, harap mundur sedikit, tidak boleh membantu secara diam-diam!”

Ho Leng-hong mengira ada orang hendak membantunya secara diam-diam, cepat ia berpaling . . . . .

Pada saat ia berpaling itulah cahaya golok secepat kilat menggulung pinggangnya. Ternyata Kim Peng hanya pura-pura membentak untuk mengalihkan perhatian pemuda itu, lalu ia menyergap secepat kilat.

Karena tidak menyangka, hampir saja Ho Leng-hong termakan serangan itu, buru- buru ia bergeser ke samping dan putar badan . . . . .

Kendatipun tebasan itu berhasil dihindari, tapi Kim Peng telah berhasil merebut posisi di atas angin, samurainya berputar sedemikian rupa sehingga berwujud satu lingkaran sinar, dalam sekejap ia telah melancarkan tujuh-delapan kali tebasan maut.

Di bawah tekanan musuh yang bertubi-tubi, Ho Leng-hong tak sempat menghentikan gerak tubuhnya, dia terdesak mundur sejauh satu tombak lebih, ia membentak dan segera ayun goloknya untuk menangkis dengan keras lawan keras.

“Trang!” mendadak Ho Leng-hong merasa tangannya menjadi ringan, ternyata golok lengkung itu patah menjadi dua.

Ho Leng-hong jadi teringat pada cerita Hui Beng-cu, dikatakan bahwa ayahnya, Hui Pek-ling, terpikat oleh Kim Lam-giok lantaran ingin mencari sebilah golok mestika, rupanya golok mestika yang berada di tangan Kim Peng inilah yang dimaksudkan.

Padahal golok lengkung juga golok pilihan, siapa sangka sekali bentrok lantas kutung menjadi dua, pantas Kim Peng seperti begitu yakin pada pertarungan ini, rupanya ia mengandalkan golok mestika tersebut.

Tanpa senjata di tangan, posisi Ho Leng-hong menjadi berbahaya, terpaksa ia buang gagang golok itu, ia berjumpalitan di udara dan melayang lewat di atas kepala Kim Peng, kesempatan itu dipergunakan melolos golok mestika Yan-ci-po-to yang terselip di pinggang itu.

Kendatipun Yan-ci-po-to telah dipoles dengan cairan air raksa sehingga menutupi ketajamannya, paling sedikit ia tak kuatir goloknya akan terpapas kutung lagi.

Oleh sebab itu, begitu melayang turun ia lantas mengembangkan goloknya dan melancarkan serangan balasan.

Kim Peng masih juga berusaha untuk mengutungi Yan-ci-po-to, tapi setelah beberapa kali bentrokan tidak berhasil, ia mulai kuatir dan ketakutan. Dengan demikian, Ho Leng-hong dapat merebut kembali posisinya, ia mendesak maju terus.

Dalam paniknya Kim Peng ganti serangan, kali ini dia khusus menyerang tiga arah bagian bawah lawan, dengan potongan badan yang pendek, ia mengelilingi kaki Ho Leng-hong dengan gerakan cepat dan mengembangkan ilmu golok Tay-yang-sin-to dari Hiang-in-hu.

Tay-yang-sin-to ini bukan cuma bergerak cepat, sewaktu dikembangkan golok itu memancarkan hawa berwarna merah darah bagaikan kobaran api.

Tentu saja untuk memainkan ilmu golok Tay-yang-sin-to ini banyak tenaga dalam yang harus digunakan.

Tapi Kim Peng seperti memiliki tenaga yang tiada habisnya, permainan goloknya kian lama kian cepat, di antara putaran goloknya, kabur merah menyelimuti angkasa dan seakan-akan mengurung Ho Leng-hong dalam sebuah tungku api yang membara.

Hawa udara yang panas tentu saja tidak enak, ditambah lagi Ho Leng-hong yang jangkung harus menghadapi lawan yang cebol, keadaan ini sangat tidak menguntungkan dia, tak lama kemudian sekujur badannya sudah basah kuyup oleh keringat.

Tapi iapun berhasil menemukan sesuatu yang aneh . . . golok mestika Yan-ci-po-to seakan-akan kian lama kian bertambah tajam.

Ia jadi teringat pada pesan Pang Goan, bahwa mata golok Yan-ci-po-to telah dipoles dengan air raksa sehingga kelihatannya tumpul, tapi kalau digarang api sehingga air raksa meleleh, maka ketajamannya akan pulih kembali, jangan-jangan lantaran Kim Peng menggunakan ilmu golok Tay-yang-sin-to, maka air raksa pada mata golok menjadi meleleh?

Ho Leng-hong masih juga tidak percaya, pada suatu kesempatan, tiba-tiba ia membacok tubuh lawan dengan sepenuh tenaga.

Sesungguhnya Kim Peng mempunyai peluang untuk berkelit, tapi diam-diam timbul hawa napsu membunuhnya. Mendadak golok di pindah ke tangan kanan, kaki setengah berlutut, dengan jurus Heng-ka-kim-ko (menangkis melintang batang emas) ia sambut bacokan lawan dengan keras lawan keras, sementara tangan kiri secepat kilat melolos pisau pendek dari pinggang dan menikam lambung anak muda itu.

Jurus serangan ini benar-benar ganas dan keji Tong Siau-sian menjerit saking terkejutnya.

Keadaan waktu itu memang gawat, tangkisan samurai Kim Peng telah mengunci mati golok Ho Leng-hong, sementara tikaman tangan kiri berlangsung dalam jarak yang amat dekat, serangan yang tidak terduga . . . .

Serentak jeritan ngeri berkumandang menggetar perasaan setiap orang. Hampir setiap orang yang berada di situ menganggap Ho Leng-hong pasti terluka, tapi kenyataannya ternyata tidak.

Yang terluka sebaliknya adalah Kim Peng, golok panjangnya kutung, bahkan seluruh lengan kirinya ikut terpapas kutung juga, darah membasahi sebagian besar tubuhnya dan ia sendiri roboh tak sadarkan diri.

Tangan kirinya yang menggenggam golok pendek itu tergeletak di samping kaki Ho Leng-hong, ujung jolok itu sempat melubangi jubah luar yang dikenakan anak muda itu.

Ho Leng-hong berdiri termangu di situ sambil mengawasi golok mestika Yan-ci-po- to itu dengan terkesima, tampak bingung dan tak habis mengerti.

Tiba-tiba Kim Lam-giok menjerit, “Orang she Ho, kau benar-benar rendah dan tak tahu malu, tadi telah janji hanya terbatas saling menutul saja kenapa sekarang kau gunakan serangan sekeji ini?”

Sepatah katapun Ho Leng-hong tidak bersuara, ia hanya menutuk jalan darah sekitar luka Kim Peng, lalu mengangkatnya bangun.

“Lepaskan dia! Lepaskan dia. ” bentak Kim Lam-giok dengan gusar.

Leng-hong tetap membungkam, ia menerobos kepungan orang Mi-kok dan berhenti di hadapan Tong Siau-sian, tanyanya lirih, “Apakah nona membawa obat penghenti darah?”

Tong Siau-sian mengangguk, Pang Wan-kun segera mengeluarkan sebutir pil dan diangsurkan.

Ho Leng-hong mencekokkan obat itu ke mulut Kim Peng, kemudian katanya, “Aku telah salah melukainya, untuk membayar kesalahan ini, bersediakah nona memenuhi suatu permintaanku?”

“Katakanlah, asal aku sanggup pasti kukabulkan.”

“Harap nona membebaskan Kim Hong-giok, biar mereka membawa Kim Peng pergi, segala akibatnya akan kutanggung sendiri.”

Tong Siau-sian ragu-ragu sejenak, katanya, “Apakah kaulupa bahwa Kim Hong-giok telah mencuri belajar Ang-siu-to-hoat kita? Melepaskan harimau kembali ke gunung hanya akan mendatangkan bencana bagi kita di kemudian hari.”

Leng-hong mengangguk, “Aku akan menunggu sampai mereka berhasil meyakini Ang-siu-to-hoat, lalu menentukan suatu tempat untuk berduel lagi, bagaimanapun aku tak ingin orang asing menertawakan bangsa kita yang cuma sanggup menyerang orang yang sedang susah!”

Mencorong tajam sinar mata Tong Siau-sian, katanya sambil tertawa, “Baik, sebagai bangsa yang besar harus memiliki jiwa ksatria seperti itu.”

Ia lantas memberi tanda, dua orang pengawal lantas membebaskan Kim Hong-giok dari pengaruh tutukan.

“Padahal kaupun tak perlu menyalahkan diri sendiri,” bisik Pang Wan-kun kemudian, “apa yang terjadi dapat kita saksikan dengan jelas, caramu melukainya dengan tidak sengaja, sebaliknya dia yang berhati keji dan bermaksud merenggut nyawamu. ”

Ho Leng-hong tertawa hambar, “Bangsa Ainu tersohor berpandangan picik dan berjiwa sempit, bagaimanapun yang terluka kan dia.”

Bicara sampai di sini, ia lantas serahkan Kim Peng kepada Kim Hong-giok, katanya, “Kutahu nona telah mengikuti kejadian tadi dengan mata kepala sendiri, semua budi dan dendam hanya menyangkut aku orang she Ho seorang dan sama sekali tak ada hubungannya dengan ayah dan anak keluarga Hui, kuharap nona segera mengambil keputusan.”

Kim Hong-giok manggut-manggut, sambil mengangkat tubuh Kim Peng ia berjalan ke rumah gubuk.

Tapi baru beberapa langkah, mendadak ia berpaling dan berkata, “Apakah semua keputusanku akan kauterima?”

“Tentu saja!”

“Kau tidak menyesal?” “Pasti tidak!”

Kim Hong-giok tertawa, ia percepat langkahnya dan kembali ke rumah gubuk itu.

“Apakah perlu kita kepung rumah gubuk itu untuk mencegah niat jahat mereka melukai ayah dan anak keluarga Hui?” tanya Wan-kun kemudian.

“Aku rasa tidak perlu,” jawab Leng-hong sambil menggeleng, “aku percaya Kim Hong-giok bukan manusia semacam itu.”

Akan tetapi kejadian selanjutnya ternyata di luar dugaan mereka semua.

Sekembalinya ke rumah gubuk, Kim Hong-giok sama sekali tidak membebaskan Hui Pek-ling dan Hui Beng-cu, setelah tiga bersaudara seperguruan itu berunding sejenak mereka mengantar Kim Peng masuk ke dalam rumah, kemudian Kim Lam-giok tampil ke depan dan berkata, “Harap Nyo-hujin dari Thian-po-hu datang kemari sebentar untuk merundingkan sesuatu.”

“Permainan apalagi yang hendak dilakukan perempuan asing ini?” bisik Wan-kun agak bingung.

“Penuhi saja permintaan mereka, jangan kuatir,” ujar Leng-hong, “tampaknya mereka tidak bermaksud jahat, kalau tidak, tak mungkin dia memanggilmu dengan sebutan demikian.”

Tong Siau-sian ikut berkata, “Ya, sebelum meninggalkan Tay-pa-san, tak nanti mereka berani melukaimu, mungkin saja mereka hendak merundingkan syarat meloloskan diri dari sini.”

Terpaksa Wan-kun memberanikan diri menuju ke rumah gubuk itu, kedatangannya segera disambut oleh Kim Lam-giok dan diajak masuk ke dalam rumah, selang sejenak Wan-kun muncul kembali seorang diri.

Sekembalinya dari rumah gubuk itu, ternyata ia menghindari Ho Leng-hong dan langsung mengajak Tong Siau-sian ke samping serta berbisik-bisik dengan suara lirih.

“Hei, apa yang kalian rundingkan?” tak tahan Ho Leng-hong lantas menegur.

Tong Siau-sian tidak menjawab, tapi ia segera menitahkan pasukannya kembali ke Mi-kok.

Leng-hong bingung sekali, ia berdiri termangu dan tak tahu apa gerangan yang terjadi.

“Sudahlah, jangan melongo saja,” tegur Wan-kun sambil tertawa misterius, “mari kita pulang dulu ke Mi-kok, persoalan ini sebentar pasti akan kuberitahukan padamu.”

“Secara teratur pasukan Bok-lan-tui membubarkan kepungan dan kembali ke lembah, ternyata para perempuan Ainu bekas anggota Ci-moay-hwe lantas membuntuti pula di belakang mereka, kemudian empat bersaudara Kim, Hui Pek-ling dan Hui Beng-cu sekalian juga meninggalkan rumah gubuk, ikut kembali ke Mi-kok.

Ho Leng-hong yang selama ini terkenal cerdik, kali ini benar-benar dibuat bingung dan tidak habis mengerti oleh kejadian ini.

Upacara perkawinan diselenggarakan dalam Mi-kok bukan cuma meriah saja, bahkan amat megah dan mewah, aneka warna lampion bergelantungan di sana sini, suasana gembira ria meliputi seluruh pelosok lembah.

Semenjak dulu Mi-kok selalu mengadakan pesta perkawinan bagi Kokcunya, tapi tak satu kalipun sedemikian megah dan meriah seperti upacara perkawinan sekali ini.

Karena menurut pengumuman resmi pihak Tiang-lo-wan, bahwa sejak hari perkawinan itu, Kokcu lembah Mi-kok tidak harus lagi dijabat oleh seorang perempuan, kedudukan itupun tidak bersifat turun-temurun lagi, setiap lelaki maupun perempuan yang berbakat cerdik dan berhati mulia mempunyai hak yang sama untuk menduduki jabatan Kokcu berikutnya.

Tentu saja, menyusul perubahan tata cara jabatan seorang Kokcu, banyak peraturan lain yang kurang sesuai mengalami pula perubahan dan penambahan, semenjak itu lembah Mi-kok tidak putus hubungan dengan dunia luar lagi, asal mereka tidak berniat jahat, setiap saat boleh masuk ke lembah untuk berdagang ataupun menetap di situ . . . .

Akan tetapi semua perubahan ini tidak berhasil juga membuat Ho Leng-hong paham terhadap persoalan yang selama ini mengganjal hatinya, persoalan tersebut akhirnya dipahami juga setelah upacara perkawinan dilangsungkan.

Ternyata pengantin perempuan yang berdiri di sisi permadani merah ada dua orang. Yang satu adalah Tong Siau-sian sedang yang lain ialah Kim Hong-giok.

Hui Pek-ling dan Hui Beng-cu telah menjadi comblangnya, pihak Tiang-lo-wan menjadi wali untuk Tong Siau-sian, Pang Wan-kun dengan kedudukan sebagai enso bertindak selaku wali Ho Leng-hong, sedangkan wali untuk Kim Hong-giok ternyata adalah Kim Peng yang kini berlengan buntung.

Kim Lam-giok dan Kim Lik-giok menjadi pendamping pengantin, bukan pengantin perempuan yang didampingi, dengan satu di kiri dan yang lain di kanan mereka justru mengapit Ho Leng-hong.

Ho Leng-hong sendiri tidak menyangka akan digiring begitu saja, sedikit sangsi segera ia dijepit oleh kedua orang iparnya hingga tak mampu berkutik lagi.

Dengan nada menggertak Kim Lam-giok berkata, “Tahu diri sedikit, jangan coba kabur dari sini. Ketahuilah, untuk menjamin agar ilmu golok Ang-siu-to-hoat tak sampai tersiar ke luar, terpaksa Sammoay menerima bujukan kami dan mau dimadu, kalau kau berani menelantarkannya, hati-hati kalau kamipun akan menuntut dendam terpapasnya lengan Suheng kami.”

Ho Leng-hong tertawa getir, “Tapi perkawinan adalah masalah besar yang menyangkut kehidupan seseorang, seharusnya kalian memberitahukan kepadaku lebih dahulu.”

“Ah, kenapa memberitahukan padamu?” tukas Kim Lam-giok, “enso bagaikan ibu, asal Nyo-hujin sudah setuju, apalagi yang bisa kaukatakan?”

Ya apalagi yang bisa dikatakan Ho Leng-hong?

Bagaimanapun juga mereka sudah berada di ruang upacara, tentu saja ia tak bisa berteriak, juga tak dapat kabur, terpaksa ia “pasrah nasib” terhadap apapun yang akan menimpa dirinya.

Padahal di dunia ini pasti sangat banyak lelaki yang ingin “pasrah nasib” semacam itu, sayang mereka tidak mujur seperti apa yang dialami Ho Leng-hong . . . . 

Tamat

Traktiran: (7891767327 | BCA A.n Nur Ichsan) / (1740006632558 | Mandiri A.n Nur Ichsan) / (489801022888538 | BRI A.n Nur Ichsan) ataupun bisa melalui via Trakteer yang ada dibawah

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar