Golok Yanci Pedang Pelangi Jilid 05

Jilid 05

“Hati-hati, Lotoako!” Leng-hong memperingatkan dengan memondongkan mulut keluar pintu.

Peng-ji, si dayang berdiri di luar dan sedang celingukan ke dalam ruangan.

Mencorong sinar mata Pang Goan, katanya dengan suara tertahan, “Apakah kau berada di bawah ancamannya?”

Leng-hong menggoyangkan tangan berulang kali, “Persoalan ini sukar untuk dibicarakan dengan sepatah dua kata, kalau Lotoako sudah mulai waspada, lebih baik jangan tunjukkan dulu sesuat gerakan yang mencurigakan daripada memukul rumput mengejutkan ular. Tengah malam nanti, harap kautunggu di kamar tamu, kita bicarakan persoalan ini dengan lebih terperinci lagi ”

Tiba-tiba Peng-ji mendorong pintu dan masuk ke dalam, menyusul kemudian Pang Wan-kun diikuti dua orang pelayan masuk juga ke situ.

Kedua orang pelayan itu, yang satu membawa kotak bersisi makanan sedang yang lain membawa guci arak dan cawan.

“Toako, maaf,” kata Wan-kun sambil tertawa, “kebetulan hari ini tak ada lobak di dapur, terpaksa kusuruh mereka menghidangkan dulu daging dan kacang goreng sebagai teman minum arak, tidak keberatan bukan?”

Pang Goan manggut-manggut, “Anggap saja aku memang tidak beruntung, kalau ada arak dan makanan sekedarnya,mari sembari makan kita bercakap-cakap lagi.”

Ia berusaha bersikap sewajarnya, padahal dia memang merasa lapar sekali, harum arak juga memancing nafsu makannya.

Pang Wan-kun turun tangan sendiri mengatur peralatan makan, bahkan menemani pula di samping meja, sepanjang perjamuan berlangsung dia juga menuangkan arak, mengambilkan sayur buat Pang Goan. Sikapnya bagaikan seorang adik yang sedang melayani kakaknya.

Semua arak dan sayur diberikan kepada Pang Goan dicicipi dulu olehnya sebelum diberikan. Pang Goan menenggak dua cawan arak, kemudian katanya sambil tertawa, “Siaumoay, mengapa kau tidak minum secawan?”

“Aku tidak biasa minum arak sepagi ini, lebih baik Toako minum sendiri.”

“Minum arak sendirian rasanya kurang berarti, Jit-long, bagaimana kalau temani Lotoako minum dua guci arak?”

“Siaute menerima perintah!” sahut Leng-hong sambil bangun berduduk di pembaringan.

Pang Wan-kun tidak mengalanginya, cuma pesannya dengan hambar, “Jangan minum terlalu banyak, hati-hati lukamu belum sembuh!”

Kemudian ia turun tangan sendiri dan penuhi cawan Leng-hong dengan arak.

“Lotoako, kuhormati secawan arak kepadamu, mari minum!” kata Leng-hong sambil mengangkat cawan.

“Jangan terburu nafsu,” cegah Pang Goan sambil menggoyang tangan, “lukamu belum sembuh, jangan minum secara terburu nafsu, cicipi dulu.”

Ho Leng-hong menurut, sambil tertawa ia cicipi arak itu satu cegukan. “Bagaimana rasanya arak ini?” tiba-tiba Pang Goan bertanya. “Sedaap!”

“Bukankah sedikit kecut?”

“Arak ini adalah arak Li-ji-ang, biasanya memang terasa rada asam!”

“Kau keliru,” kata Pang Goan sambil menggeleng kepala, “arak ini rasanya tidak kecut, tapi ada orang telah mencampuri arak ini dengan sesuatu, maka rasanya menjadi begini.”

“Sungguh?” teriak Leng-hong dengan kaget.

“Kalau tidak percaya, kenapa tidak kautanyakan kepada Siaumoay?”

Sebelum Leng-hong mengajukan pertanyaannya dengan ketus Pang Wan-kun telah berkata, “Benar, akulah yang mencampurkan San-kang-sah (pasir pembuyar tenaga ke dalam arak ini).”

Suaranya dingin, kaku dan tenang, mukanya tidak merah, sikapnya tidak gugup, seakan-akan mengakui bahwa dalam kuah telah ditambah beberapa minyak dan kejadian itu bukan sesuatu yang diherankan.

Hampir saja Leng-hong melompat bangun dari tempat duduknya, dengan suara keras ia berteriak, “Hei, apa maksudmu?” “Tidak ada maksud apa-apa,” jawab Wan-kun dengan suara berat, “berhubung tenaga dalam Toako sangat lihay, dan aku kuatir bukan tandingannya terpaksa aku mesti mengadakan persiapan lebih dulu.”

“O, kau masih memanggil Toako padaku?” ejek Pang Goan sambil tertawa.

“Mengapa tidak? Aku adalah bininya Jit-long, sedang kau adalah kakak iparnya, kalau kau tidak kupanggil sebagai Toako lantas mesti memanggil apa?”

Pang Goan sedikitpun tidak marah, dia mengangguk berulang kali, “Benar, panggilan itu memang benar, sebagai saudara, ada persoalan apa boleh dibicarakan secara baik- baik, kenapa mesti gunakan kekerasan?”

Sekali tenggak, kembali dia menghabiskan secawan arak.

“Lotoako, kau tak boleh minum terlampau banyak ” cegah Leng-hong dengan

cemas.

Pang Goan terbahak-bahak, “Hahaha pasir pembuyar tenaga akan segera bekerja

begitu masuk tenggorokkan, minum secawan atau sepuluh cawan tidak berbeda jauh, apa salahnya kalau minum sampai mabuk lebih dulu?”

Ho Leng-hong melongo, tiba-tiba air mukanya berubah.

Meskipun hanya secegukan ia cicipi arak tersebut, tapi saat ini perutnya mulai terasa aneh sekali, perutnya seolah-olah ditembusi oleh suatu benda sehingga timbul banyak lubang, hawa murninya kontan menjadi buyar dan tak sanggup dihimpun kembali.

Pang Wan-kun tertawa dingin, dia penuhi kembali cawan Pang Goan dengan arak, lalu katanya, “Meskipun apa yang Toako katakan memang benar, tapi ada baiknya Jit- long jangan minum terlalu banyak, sebab minum arak terlalu banyak bisa mendatangkan keburukan buat lukamu.”

“Hm, kau masih berpura-pura baik hati macam kucing menangisi tikus?” teriak Leng-hong dengan marah, “Jika aku sampai mampus karena terluak parah, bukankah hal ini akan memenuhi harapanmu?”

“Jit-long, jangan kau bicara tanpa berperasaan seperti itu,” tegur Pang Goan, “bagaimanapun kalian adalah suami isteri, masa dia berharap kau lekas mati? Seandainya kau benar-benar mati, kan ilmu To-kiam-hap-ping-tin tak bisa dilatih lagi?”

“Betul!” puji Pang Wan-kun sambil tertawa, “Toako memang cerdas sekali, perasaan orang lainpun dapat kaupahami.”

“Tapi sayang, To-kiam-hap-ping-tin berada dalam perutku, sekalipun kau dapat membuyarkan hawa murniku, belum tentu bisa kaukorek keluar ilmu To-kiam-hap- ping-tin-hoat tersebut dari perutku.” “Ah, apa susahnya? Aku mempunyai cukup waktu dan kesabaran, asal luka yang diderita Jit-long telah sembuh, pelahan kita masih bisa merundingkannya lagi.”

Kemudian ia bertepuk tangan dua kali sambil berseru, “Pengawal!”

Dua orang pelayan yang mengantarkan santapan tadi segera muncul, Cuma kali ini mereka tidak membawa arak melainkan menghunus golok panjang yang bersinar gemerlapan.

“Kuloya telah mabuk, bawalah ke kamar tamu untuk beristirahat, layani dengan hati- hati dan sebaik-baiknya, jangan ayal.”

Kedua pelayan itu mengiakan, satu di kiri yang lain di kanan, segera mereka gusur Pang Goan keluar.

Pang Goan sama sekali tidak melawan, malah sambil tertawa terkekeh ejeknya, “Hehehe . . . Siaumoay, kenapa tidak dibicarakan sekarang juga? Kalau kaukatakan jejak Wan-kun kepadaku, mungkin akupun akan mengungkapkan rahasia To-kiam- hap-ping-tin-hoat kepadamu.”

“Aku tidak terlalu terburu nafsu untuk mengetahui rahasia barisan itu,” jawab Pang Wan-kun ketus, “lagipula waktu masih cukup banyak buat kami, kau masih mabuk, lebih baik pulang kamar dulu dan beristirahat.”

“Betul juga,” Pang Goan manggut-manggut, “minum arak dengan perut kosong memang gampang mabuk, Jit-long, lain kali kau musti ingat.”

Dua orang pelayan itu rata-rata bertubuh kekar dan bertenaga besar, sebaliknya Pang Goan kurus lagi kecil, belum habis perkataannya, seperti burung elang mencengkeram anak ayam, ia terus digusur keluar.

Benarkah It-kiam-keng-thian (pedang sakti penyanggah langit) dari Cian-sui-hu itu harus keok di tangan seorang perempuan?

Betapa sedih Leng-hong waktu itu, ia merasa segala sesuatu itu gara-gara tindakannya, andaikata ia bongkar semua rahasia ini kepada Pang Goan semenjak orang tiba di Thian-po-hu, tak mungkin akan timbul akibat seperti apa yang dialaminya sekarang.

Ia dapat merasakan hingga detik itu Pang Goan masih menganggapnya sebagai Nyo Cu-wi, sebab itu orang pun masih curiga kepadanya, kalau tidak, tak mungkin orang menyuruh dia ikut minum arak yang telah dicampuri racun pembuyar tenaga itu.

Jelas Pang Goan berbuat demikian dengan maksud untuk menyelidiki apakah dia berkomplot dengan musuh atau tidak, dari sini dapat ditarik kesimpulan bahwa orang menaruh curiga kepadanya. Kalau sudah demikian, dapatkah ia mengaku terus terang siapa sebenarnya dirinya sendiri? Sesungguhnya Ho Leng-hong adalah seorang luar yang dipaksa untuk melibatkan diri dalam pertikaian ini, kini secara tiba-tiba ia merasa dirinya berhak pula untuk membongkar duduknya persoalan ini hingga jelas, sebab hanya dengan demikianlah bisa membuktikan kebersihannya.

Ia telah diubah oleh komplotan Pang Wan-kun gadungan menjadi Nyo Cu-wi, Pang Goan sendiripun menganggap dia sebagai Nyo Cu-wi, maka sudah menjadi kewajiban baginya untuk berjuang sampai titik darah penghabisan menghadapi kawanan penjahat tersebut, kemudian baru berusaha mencari tahu jejak Nyo Cu-wi suami-isteri yang sebenarnya serta menyelamatkan Pang Goan . . . .

Setelah mengambil keputusan, ia berlagak mengomel, “Wan-kun, bagaimana kau ini? Kauminta aku merahasiakan urusan ini, sebaliknya kau sendiri malah menyiarkan rahasia ini.”

Dengan dingin Wan-kun melotot ke arahnya, ejeknya, “Benarkah kau dapat merahasiakan soal ini?”

“Tentu saja, aku telah menyanggupi permintaanmu, tak kusangka kau malah mencampur sesuatu di dalam arak.”

Wan-kun tertawa, “Sebetulnya aku tak ingin turun tangan, tapi apa yang hendak kauberitahukan kepadanya tengah malam nanti? Daripada kau yang mengungkapkan persoalan ini, lebih baik aku membongkarnya sendiri.”

“O, jadi kau telah mendengar semua pembicaraan kami?” seru Leng-hong terkejut.

“Kalau tak ingin diketahui orang, kecuali tidak berbuat. Jangan kauanggap aku ke dapur, lalu semua kejadian di sini bisa mengelabuhi diriku.”

Leng-hong tertawa jengah, “Padahal kau salah paham, justru lantaran ia mulai curiga kepadamu, maka aku harus membaiki dia, aku malah sudah bersiap hendak mengajak kau membicarakan soal ini secara pribadi serta mencari akal cara menghadapinya malam nanti.” 

“Benarkah itu? Bagaimana rencanamu untuk memberi penjelasan kepadanya?”

“Tentu saja aku tak akan mengakui kau ini gadungan, tentang kepandaian di dapur, aku bisa mengatakan kepandaian itu dipelajari setelah kawin, lantaran aku suka makan kuah lobak, maka ”

“Cukup! Cukup!” sela Wan-kun sambil mengulapkan tangannya dengan tidak sabar, “Jadi maksudmu kau bersedia bekerja sama denganku serta menurut semua perintahku?”

“Benar! Aku sudah terlanjut basah, kecuali begitu tiada pilihan lain lagi.”

“Bagus sekali,” Wan-kun manggut-manggut, “sekarang akan kuserahi suatu tugas kepadamu dan kau harus menyelesaikannya dengan baik.” “Aku akan berusaha sebaik-baiknya.”

“Nasihatilah Pang-lotoa, suruh dia cepat-cepat membeberkan rahasia ilmu To-kiam- hap-ping-tin-hoat tersebut kepada kami.”

“Aku tentu akan menasihatinya, Cuma iapun mulai curiga kepadaku, mungkin ia enggan membertahukan rahasia tersebut kepadaku.”

“Paling sedikit ia masih mengakui dirimu sebagai Nyo Cu-wi, tak ada salahnya kau katakan bahwa Pang Wan-kun yang asli sudah berada di tanganku, seluruh gedung Thian-po-hu juga berada dalam cengkeramanku, bila ia enggan memberitahukan rahasia To-kiam-hap-ping-tin-hoat, maka Thian-po-hu dan Cian-sui-hu bakal lenyap dari percaturan dunia persilatan.”

“Kalau begitu, nona ini dari Hiang-in-hu?” Leng-hong coba menyelidik.

Wan-kun tidak menjawab, sebaliknya malah bertanya, “Kau kira kecuali Thian-po-hu dan Cian-sui-hu, di dunia persilatan hanya tertinggal Hiang-in-hu saja yang paling hebat?”

Leng-hong tertawa, “Habis nona datang dari nama? Siapa namamu? Paling sedikit kau harus mengungkapkan hal itu kepadaku, agar aku ada alasan untuk menasihati Pang-lotoa.”

Wan-kun termenung sebentar, katanya kemudian, “Jika kau ingin tahu, hanya empat baik syair yang dapat kukatakan kepadamu, soal lain boleh kautebak sendiri.”

“Coba katakan!”

“Badan ramping tubuh lemah semangat tinggi, tinggalkan jarum belajar golok, gemuruh guntur membangunkan orang tidur, baru tahu si perempuan adalah seorang ksatria.”

Pang Goan rebah di pembaringan dengan siku sebagai bantal, matanya terpejam dan sikapnya adem ayem.

Habis mendengar keempat baik syair yang dibacakan oleh Ho Leng-hong, kontan saja ia mendengus.

“Hmm, syair kentut anjing,” serunya mendongkol, “artinya tak lebih adalah orang perempuan ingin berebut kedudukan dengan kaum pria, mengenai nama dan asal- usulnya hampir tidak disinggung satu kata pun.”

“Tapi paling tidak kan sudah diketahui bahwa dia bukan dari Hiang-in-hu.”

“Sejak pertama kali sudah kuketahui akan hal ini, sekarang akupun enggan mencari tahu asal usulnya, aku hanya ingin tahu bagaimana nasib Siaumoay.” Ho Leng-hong menghela napas panjang, “Dia hanya mengaku Wan-kun berada di tangan mereka, sedang soal lain sama sekali tak disinggung.”

“Sebelum ia memberi pertanggungan jawab nasib Siaumoay, jangan harap akan memaksa aku mengungkapkan rahasia To-kiam-hap-ping-tin.”

Tiba-tiba ia membuka matanya dan menatap Leng-hong lekat-lekat, “Kalian adalah suami-isteri, masa isteri yang tiap hari tidur bersama ditukar orang juga tidak tahu? Aku benar-benar tak habis mengerti, sesungguhnya kau ini terdiri dari darah daging atau balok kayu?”

“Tepat sekali teguran Lotoako,” Ho Leng-hong menunduk kepala, “tapi penyaruannya terlalu persis, bukan saja perawakan dan suaranya sama, bahkan tanda khusus ditubuhpun tak ada yang berbeda, ditambah lagi Bwe-ji dan Siau Lan, kedua dayang itu sudah disuap mereka, siapakah yang akan menyangka?”

“Sebelum dan sesudah kejadian, apakah dalam rumah tidak terlihat sesuatu tanda yang mencurigakan?”

“Benar-benar tak ada, bukan saja semua penghuni gedung tak tahu, teman-teman juga tak tahu, malah sewaktu Lotoako datang, bukankah engkaupun dikelabuhi?”

Pang Goan manggut-manggut, “Perempuan ini memang tidak sederhana, kecuali penyaruan yang sempurna, pemikiran yang tajam, persiapan yang cermat serta rencana yang tepat, boleh dibilang tiada titik kelemahan sedikitpun, cuma ia toh tetap melupakan satu hal.”

“Dalam hal apa?” tanya Leng-hong lirih.

Pang Goan cuma tertawa dan tidak menjawab, diambilnya sebuah cangkir teh dari meja kecil, pelahan ditempelkan telapak tangan kanan di mulut cangkir tersebut.

Dalam waktu singkat seluruh telapak tangan kanannya berubah menjadi merah darah, uap panas mengepul, asap mengepul tiada hentinya.

Tak lama kemudian warna merah itu hilang, ketika ia menggeser telapak tangannya, tahu-tahu cawan itu sudah penuh arak.

Kejut dan gembira Leng-hong, bisiknya dengan suara gemetar, “Lotoako, kau ”

Pang Goan menunjuk ke pintu dengan mulutnya sambil menukas, “Pulang dan beritahukan kepada mereka, katakan aku sanggup membeberkan To-kiam-hap-ping- tin kepadanya asal ia membertahukan lebih dulu jejak serta keselamatan Wan-kun, kalau tidak, tiada perundingan lebih lanjut.”

“Baik, segera akan kusampaikan kepadanya, semoga Toako baik-baik menjaga diri . .

. . “ bisik Leng-hong.

Ia masih ingin mengucapkan sesuatu tapi Pang Goan telah membuang arak itu ke bawah pembaringan sambil memberi tanda agar ia tinggalan tempat itu.

Setibanya di luar kamar tamu, Leng-hong merasa langkah kakinya bertambah ringan.

Itulah yang dikatakan orang pintar sejaman, bodoh sesaat. Kalau perempuan itu tahu ilmu silat Pang Goan sangat lihay, tidaklah terpikir olehnya bahwa “pasir pembuyar tenaga” belum tentu efektif terhadapnya?

Tak heran Pang Goan berkata begini, “Minum arak waktu perut kosong paling gampang mabuk.”

Rupanya hal ini menunjukkan ia sudah waspada terhadap arak dan sayur yang dihidangkan, dengan kecermatan Pang Goan, tentu saja dia tak akan dikerjai begitu saja oleh orang.

Atau dengan perkataan lain, ia pura-pura keracunan tak lebih hanya siasat belaka. Pertama karena kuatirkan keselamatan Pang Wan-kun, kedua, dengan cara itu dia hendak menyelidiki asal-usul musuhnya.

Tentu saja masih ada alasan lain, yakni lantaran luka yang diderita Ho Leng-hong belum sembuh, dia harus bersabar untuk menghindari segala kemungkinan yang tak diinginkan.

Dengan masih utuhnya tenaga dalam Pang Goan berarti setiap saat ia bisa membekuk perempuan yang menyaru sebagai Pang Wan-kun itu, asal perempuan itu tertangkap, mustahil asal-usul mereka tak terungkapkan?

Sungguh gembira perasaan Ho Leng-hong ketika itu, tapi ia harus berusaha mengendalikan pergolakan emosi tersebut dengan berpura-pura murung dan kesal, apa yang dikatakan Pang Goan segera disampaikan kepada “Pang Wan-kun”.

Rupanya Pang Wan-kun gadungan ini sudah menduga sampai ke situ, sambil tertawa dingin katanya, “Aku Cuma bisa mengatakan bahwa dia berada di tangan kami dan sehat saja, soal bukti tak bisa kami perlihatkan, jadi mau percaya atau tidak terserah padanya.”

“Tapi, tanpa suatu bukti tak mau ia ungkapkan rahasia To-kiam-hap-ping-tin dan lagi bukankah orang itu berada di tangan kalian? Kenapa tidak digusur sebentar ke sini agar mereka bisa berjumpa muka?”

“Tak mungkin,” sahut Pang Wan-kun gadungan sambil menggeleng, “sekalipun bisa dipenuhi, paling banter ia Cuma bertemu dengan seseorang Pang Wan-kun yang berwajah mirip denganku, tetap tak bisa dibedakan asli atau palsu.”

“Ya, apa boleh buat?” Leng-hong angkat bahu, “kalau kalian tetap ngotot, akupun tak bisa berbuat lain. Pokoknya Pang-lotoa juga kukuh dengan pendiriannya, sebelum bertemu dengan adiknya, jangan harap bisa memperoleh To-kiam-hap-ping-tin darinya.”

“Pang Wan-kun” tertawa dingin, “Hmm, aku punya cara untuk memaksanya berbicara, tunggu saja nanti!”

Ketika Ho Leng-hong bertanya lagi cara apa yang hendak dipergunakan, “Pang Wan- kun” tidak menjawab melainkan hanya tertawa dingin saja.

Sejak itu sampai tiga-empat hari kemudian, ternyata tiada sesuatu tindakan yang dilakukan, hari demi hari lewat dengan tenang.

Pang Goan tinggal di kamar tamu sebelah depan, kecuali dua orang pelayan yang melayani keperluannya siang-malam, ia tidak mendapat pengawalan yang ketat, asal tidak meninggalkan gedung Thian-po-hu, hampir boleh dibilang tak ada orang yang mengurusi gerak-geriknya.

Ia boleh keluar masuk taman belakang, bermain catur dengan Ho Leng-hong atau jalan-jalan dalam taman, bila dia mau bahkan makan bersama dengan “Pang Wan- kun” dan bergurau pula bersama, bagaikan kakak yang bercanda dengan adiknya.

Mereka seakan-akan sudah mempunyai persetujuan bersama, bukan saja tidak menyinggung soal Pang Wan-kun, merekapun tidak menyinggung soal To-kiam-hap- ping-tin, kedua orang itu tetap rukun seperti tak pernah terjadi sesuatu apapun.

Ho Leng-hong jadi bingung sendiri setelah menyaksikan keadaan tersebut.

Beberapa kali ia coba menyelidiki hal ini, tapi kedua pihak tidak memberi jawaban yang memuaskan, meski demikian ia dapat merasakan ketenangan di luar tak bisa mengendalikan kekalutan di dalam, suatu badai hebat setiap saat bisa terjadi, hanya tidak diketahui kapan meledaknya.

Selama beberapa hari belakangan ini ia telah menemukan pula suatu kejadian yang mengerikan, ternyata semua pelayan yang berada di taman belakang adalah komplotan “Pang Wan-kun”, lagipula ilmu silat mereka rata-rata cukup tinggi.

Jelas perempuan-perempuan itu berasal dari suatu perkumpulan yang sama dan telah mendapat pendidikan yang keras, jelas komplotan itu bukan dibentuk secara terburu- buru.

Maka dari itu, meski di luar tampaknya Pang Goan bisa bergerak bebas, sesungguhnya setiap saat dan setiap detik ia berada di bawah pengawasan yang ketat.

Rupanya Pang Goan juga mengetahui akan hal ini, maka iapun bersikap tenang dan tak pernah melewati daerah terlarang, setiap kali bertemu dengan Ho Leng-hong, yang dibicarakan hanya masalah umum.

Tampaknya mereka seperti sedang menantikan sesuatu.

Selama perang dingin berlangsung, luka di lambung Ho Leng-hong secara berangsur telah sembuh kembali.

Hari ini, Ho Leng-hong merasakan situasi agak tak beres. Sejak sore hari, tiba-tiba di taman belakang Thian-po-hu muncul beberapa orang perempuan asing.

Leng-hong berani bertaruh perempuan-perempuan itu bukan pelayan Thian-po-hu, tapi mereka mengenakan seragam pelayan Thian-po-hu, jumlahnya kurang lebih enam-tujuh, dipimpin seorang perempuan setengah umur, mereka melakukan perondaan yang saksama di setiap sudut taman, termasuk juga ruang tidur di atas loteng.

Rupanya mereka sedang memeriksa setiap tempat yang mungkin dibuat tempat bersembunyi, terutama terhadap ruang atas boleh dibilang pemeriksaan dilakukan amat teliti, kemudian empat orang di antaranya menyebarkan diri di dalam taman, sedang perempuan setengah umur itu beserta dua orang lainnya tetap tinggal di ruang atas dan menjaga jalan masuk-keluar tempat itu.

“Pang Wan-kun” tidak memberi penjelasan apa-apa terhadap kemunculan beberapa perempuan asing itu, tapi Ho Leng-hong dapat menyaksikan betapa hormatnya terhadap perempuan setengah umur yang baru datang itu, bahkan memanggilnya dengan sebutan “Liu A-ih” atau bibi Liu.

Sikap bibi Liu sangat angkuh dan tinggi hati, mukanya selalu dingin bagaikan es dan tak pernah kelihatan bersenyum.

Jika pernah senyum atau tertawa, maka hal ini terjadi ketika pertama kali berjumpa dengan Ho Leng-hong, setelah memperhatikan sekujur badan pemuda itu dengan sorot mata menghina, tiba-tiba ia tertawa.

Ketika tertawa tertampaklah dua baris giginya yang hitam seperti buah delima yang telah busuk, begitu seramnya tertawa perempuan itu membuat Leng-hong bergidik.

Suka atau tidak suka adalah urusan lain, yang pasti dengan tertawa tersebut Ho Leng- hong berhasil memperoleh sedikit hasil yang di luar dugaan.

Ditinjau dari gigi Liu A-ih yang hitam itu bisa diduga delapan puluh persen ia suka mengunyah sirih, ketika diperhatikan lagi dialek bicaranya, maka terdengarlah ia bicara dengan logat wilayah Leng-lam.

Hal ini segera menghubungkan pikiran Ho Leng-hong dengan letak Hiang-in-hu yang berada di Hu-yong-shia wilayah Leng-lam, bukankah hal ini menunjukkan rombongan Liu A-ih umpama bukan anak buah Hiang-in-hu, tapi sedikit banyak tentu ada hubungannya? Kalau tidak, maka kemungkinan besar mereka adalah gundik atau pelayan Hui Pek-ling yang berkhianat dan beraksi di luar tahu Hui Pek-ling.

Ingin sekali Ho Leng-hong melaporkan hasil penemuannya ini kepada Pang Goan di ruang depan, sayang ia tidak memperoleh kesempatan, terpaksa secara diam-diam saja diperhatikannya setiap gerak-gerik di bawah loteng.

Senja itu, ketika Peng-ji mengantar makan malam ke loteng, ia membisikkan sesuatu ke sisi telinga “Pang Wan-kun”. “Aku tahu,” Wan-kun manggut-manggut, “aku dapat menyelesaikannya, suruh mereka berhati-hati terutama bagian depan.”

Setelah meletakkan hidangan di meja, Peng-ji mengundurkan diri.

Leng-hong tertawa dan menegur, “Wan-kun, urusan apa yang hendak kalian selesaikan?”

“Lebih baik jangan banyak bertanya,” sahut Wan-kun dengan ketus, “setelah makan kenyang tidurlah baik-baik, apapun yang terjadi, janganlah kautinggalkan kamar tidur ini.”

“Aku bisa menebaknya, bukankah kalian hendak menghadapi Pang-lotoa? Kedatangan Liu A-ih pasti khusus untuk menyelesaikan persoalan ini.”

Pang Wan-kun cuma tertawa dingin, ia tidak membenarkan pun tidak menyangkal, rupanya ia tak peduli apakah Ho Leng-hong mengetahui rahasia ini atau tidak, selain itu iapun sudah menduga pemuda itu pasti bisa berpikir sampai ke situ, maka ia tidak heran.

Andaikata Leng-hong pura-pura tidak mengetahui soal apapun, mungkin tindakan ini malah akan memancing kecurigaan mereka.

Kembali Leng-hong menghela napas panjang, “Aku adalah orang di luar garis, dengan kedua belah pihak tak ada hubungan apa-apa, hakikatnya apa yang hendak kalian lakukan terhadap Pang-lotoa sama sekali tak ada hubungannya denganku, cuma sebagai penonton kuharap agar kalian jangan mencelakai jiwanya, ia sudah kehilangan ilmu silatnya, jelas tak bisa menandingi kalian. ”

“Hei, kusuruh kau jangan mencampuri urusan ini, mengerti tidak kau?” hardik Wan- kun.

“Baik, aku takkan bertanya lagi, setelah makan aku akan tidur senyenyaknya, tentunya boleh bukan?”

Habis berkata ia lanjutkan santapannya dengan lahap, betul juga, ia tidak buka suara lagi.

Pang Wan-kun bersantap dengan tergesa-gesa, setelah menyuruh Peng-ji membersihkan meja, merekapun turun dari loteng. Sebelum pergi, pintu kamar dikunci dari luar, Leng-hong dikurung dalam loteng.

Mungkin mereka mengira tenaga Ho Leng-hong telah buyar, lukanya belum sembuh, maka jalan darahnya tidak perlu ditutuk.

Ho Leng-hong sudah mempunyai rencana sendiri, buru-buru ia membuka baju luarnya dan membuat orang-orangan di balik selimut, setelah memadamkan lampu, ia membuka daun jendela.

Dari jendela tertampaklah suasana dalam taman gelap gulita, sebaliknya ruang tengah di bawah loteng terang benderang dan bermandikan cahaya lampu.

Pang Wan-kun dan Liu A-ih rupanya berada dalam ruangan semua, di dalam taman pun terdapat penjaga, tapi suasana di luar loteng amat hening, tak nampak sesosok bayangan manusia pun.

Ditinjau dari keadaan tersebut, bisa diduga malam itu mungkin ada seorang penting akan berkunjung ke situ, maka semua orang menantikan kedatangannya dengan tenang.

Tentu saja orang yang akan datang itu mempunyai kedudukan di atas A-ih, atau bahkan mungkin juga otak yang mendalangi operasi pencurian golok mestika.

Pelahan Ho Leng-hong membuka jendela dan menyelinap keluar, lalu merosot ke sebuah balkon di bawah jendela, dengan tangkas sebelah tangan memegang kosen jendela, tangan yang lain digunakan memegang emper rumah, dari situ ia ambil tangga tali yang berada di tepi emper.

Tangga tali tersebut sudah disiapkan dua hari yang lalu, dan disembunyikan di talang emper rumah, semula dipersiapkan untuk kabur bila keadaan terdesak.

Sekarang ia tahu tak mungkin turun lewat tangga tali itu sebab tindakan ini tentu akan mengejutkan para peronda dalam taman, sebaliknya naik ke atas, bukan saja lebih leluasa, dan lagi aman.

Setiba di atas atap rumah, orang bisa memperhatikan keadaan sekitarnya dengan saksama, andaikata bisa melintasi rak bunga di sebelah sana, di balik semak bunga akan lebih mudah baginya untuk menyembunyikan diri.

Begitulah, meski Ho Leng-hong tak dapat mengerahkan tenaga dalamnya, tapi ia bisa bergerak lincah, sekali berjumpalitan ke atas, tahu-tahu ia sudah berada di atas atap rumah.

Kemudian ia menarik tangga tali itu, dia atur napas, dan menelusuri atap, pelahan ia merayap ke arah rak bunga.

Baru saja melewati tiga kali lukukan genteng, tiba-tiba ia mendengar suara pembicaraan orang di sebelah bawah.

Leng-hong mengintai ke sana, dilihatnya dua buah lentera mengiringi serombongan orang sedang naik ke ruang atas dari arah barat.

Dua orang dayang cilik yang membawa lampu lentera adalah anggota Thian-po-hu, di belakang mengikut empat orang perempuan berbaju hitam, dua di muka dan dua di belakang, mengiringi seorang gadis berbaju merah.

Empat orang perempuan berbaju hitam itu mempunyai perawakan yang cebol tapi kekar, bajunya juga istimewa, bagian bawah mengenakan celana panjang yang ketat sedang bagian atas mengenakan baju pendek yang longgar dengan bagian leher sangat lebar, baju itu tidak berkancing tapi diikat dengan ikat pinggang lebar berwarna hitam, andaikata mereka tidak bersanggul tinggi, orang akan mengira mereka sebagai lelaki.

Yang lebih istimewa lagi adalah pinggang masing-masing terselip dua bilah golok, yang satu panjang dan yang lain pendek.

Yang pendek cuma dua kaki, gagang golok itu malah mencapai tujuh-delapan inci, sedangkan golok panjang berukuran empat-lima kaki, gagangnya sendiri juga mencapai satu kaki lebih.

Lebar mata golok hanya sebesar tiga jari, bentuknya ramping tapi panjang, sedikit mirip pedang, Cuma ujungnya melengkung ke atas dan jelas hanya mata golok sebelah saja yang tajam.

Jelek-jelek begitu, Ho Leng-hong terhitung seorang ahli golok, tapi selama hidup belum pernah ia lihat golok panjang (samurai) seaneh ini.

Nona berbaju merah itu tak bersenjata api gayanya lembut dan terpelajar, sekalipun dalam kegelapan tak dapat melihat wajahnya, api umurnya mungkin belum melampaui dua puluhan, dan mungkin sangat cantik.

Baru saja rombongan itu tiba di luar pintu, Pang Wan-kun serta Liu A-ih dengan langkah cepat menyambut kedatangan mereka.

“Menyambut kedatangan Samkongcu!” seru mereka sambil memberi hormat.

“Tak usah banyak adat,” nona berbaju merah itu mengulapkan tangannya, “mari kita bicara di dalam saja.”

Pang Wan-kun dan Liu A-ih segera memberi jalan, didahului keempat orang perempuan berbaju hitam tadi mereka lantas masuk ke dalam.

Ho Leng-hong diam-diam merasa heran, pikirnya, “Hebat benar perempuan ini, bukan saja bergelar Tuan Puteri, punya pengawal pribadi pula, tampaknya kehebatan mereka jauh melebihi Thian-po-hu. wah, jika ditilik dari sikap Pang Wan-kun berdua, rupanya perempuan yang menyaru Pang Wan-kun ini hanya seorang keroco, sedang Liu A-ih tak lebih Cuma seorang pelayang ”

Berpikir sampai di sini, dengan cepat ia ubah rencananya semula, diputuskan penyampaian berita kepada Pang Goan sementara waktu ditunda, dia akan mengikuti dulu pembicaraan apa yang sedang berlangsung di bawah loteng.

Tapi penjagaan di sekitar ruangan itu sangat ketat, bagaimana caranya mengikuti pembicaraan mereka?

Ah, ada akal! Pelahan Leng-hong melintasi wuwungan rumah, ia manjat ke atas rak bunga, dengan tangkai bunga sebagai aling-aling pelahan ia melayang turun ke bawah, kemudian dengan sikut menggantikan kaki ia merangkak, dari rak bunga merangkak sampai ke bawah dinding kamar, dari mana ditemukan sebuah lubang hawa yang ditutupi dengan terali besi. Di dalam lubang hawa adalah ruangan bawah tanah.

Leng-hong masih ingat, dalam ruangan itu terdapat sebuah perapian yang terbuat dari batu, perapian itu dipersiapkan sebagai penghangat udara di musim dingin, cerobong perapian tadi justru menembus ke dinding rangkap di ruang tengah.

Seandainya ia merangkak masuk ke dalam cerobong asap, tempat itu sungguh tempat persembunyian yang paing bagus untuk mencuri dengar pembicaraan yang sedang berlangsung.

Dengan sangat hati-hati ia melepaskan terali besi lubang hawa itu, kemudian tanpa mempedulikan kotornya debu dan hangus, bagaikan seekor ular pelahan ia merayap ke dalam cerobong.

Ternyata segala sesuatunya persis seperti apa yang diharapkan, letak perapian itupun sangat menguntungkan, ditambah lagi cerobong asap tersebut cukup lebar, sehingga seorang yang berdiri di dalamnya masih terasa longgar.

Yang lebih menguntungkan lagi adalah baik pada cerobong asap maupun dinding rangkap terdapat pintu kecil guna keperluan pembersihan, dengan dibukanya pintu kecil tersebut, bukan saja pembicaraan dalam ruangan dapat terdengar, bahkan pemandangan dalam ruangan juga dapat terlihat jelas.

Satu-satunya hal yang patut disesalkan adalah ketika Ho Leng-hong tiba di cerobong tersebut, Samkongcu itu sudah berduduk, kebetulan ia duduk membelakangi pintu kecil sehingga raut wajah sama sekali tak terlihat olehnya.

Tapi bila ditinjau dari bayangan punggungnya terbuktilah apa yang dibayangkan Ho Leng-hong memang tepat Dia adalah seorang gadis muda yang lemah lembut

dan berperawakan menarik.

Liu A-ih duduk di sebuah bangku di sampingnya, sementara keempat orang perempuan bersamurai itu berdiri di kiri kanan, Pang Wan-kun tampak berdiri dan sedang menuturkan kepada Samkongcu semua kejadian yang berlangsung belakangan ini.

Waktu itu laporan baru berlangsung satu bagian, rupanya Samkongcu merasa kurang puas atas laporan tersebut, pelahan katanya, “Selama ini, penampilanmu memang tak jelek, tapi kalau dibilang dengan begitu lantas Thian-po-hu dan Cian-sui-hu telah berhasil kaukendalikan, hal ini terlalu berlebihan. Kautahu, tujuan kita bukan menguasai Thian-po-hu dan Cian-sui-hu, yang kita butuhkan adalah golok mestika Yan-ci-po-to serta intisari ilmu To-kiam-hap-ping-tin-hoat tersebut, kemudian dalam pertemuan Lo-hu-to-hwe yang akan datang kita hajar mereka sampai kalah, agar setiap pria di dunia tunduk di bawah kekuasaan Ci-moay-hwe kita.”

“Hamba mengerti!” kata Pang Wan-kun.

“Kalau sudah tahu, tidak seharusnya kaugunakan kekerasan, terutama terhadap Pang Goan, tidak seharusnya kaubocorkan rahasiamu, dengan demikian intisari To-kiam- hap-ping-tin baru akan diuraikan kepada kalian.” “Tapi ia sudah mulai menaruh curiga kepada hamba.”

“Hal ini membuktikan pekerjaanmu masih kurang sempurna, dalam menghadapi pelbagai persoalan pun kurang sabar, daripada rahasiamu ketahuan kan lebih baik berusaha menghilangkan kecurigaan itu dengan cara yang lain.”

Pang Wan-kun menunduk kepala dan bungkam.

Samkongcu berkata lebih lanjut, “Yang paling tak bisa dimaafkan adalah tindakanmu yang tergesa-gesa untuk mencuri golok mestika tersebut, semua persiapan kurang sempurna sehingga akhirnya kita berkorban nyawa dua orang anggota kita, lalu apakah tindakan ini bisa menutupi titik kelemahanmu? Toh akhirnya jejakmu ketahuan juga, bayangkan sendiri, berhargakah tindakanmu itu?”

“Hamba mengaku salah,” Pang Wan-kun menundukkan kepalanya lebih rendah.”

Samkongcu menghela napas panjang, katanya lagi, “Ketika Kongcu mengetahui kejadian ini, ia marah sekali. Tapi mengingat golok mestika Yan-ci-po-to berhasil kaudapatkan, maka dosamu tak sampai dituntut, sebab itulah aku dan Liu A-ih sengaja dikirim kemari untuk membereskan langkah yang berantakan ini.”

“Terima kasih atas kebijaksanaan Hwe-cu, terima kasih pula kepada Samkongcu yang telah membantu diriku,” kata Pang Wan-kun sambil memberi hormat.

“Sekarang serahkan Yan-ci-po-to itu kepadaku dan serahkan Pang Goan kepada Liu A-ih untuk digusur pergi, dan kau sudah tak ada urusan lagi. Cuma kau harus tetap tinggal di Thian-po-hu untuk melanjutkan kedudukanmu sebagai nyonya Nyo Cu-wi, berusahalah menyelidiki asal-usul Thian Pek-tat, yang penting ia menjalankan perintah siapa? Apa pula tujuannya? Bila berhasil mendapatkan keterangan, laporkan kepada kantor cabang, jangan mengambil tindakan secara gegabah.”

Pang Wan-kun mengiakan pula.

“Selain itu, tak perlu kauberi pasir pembuyar tenaga kepada orang she Ho itu, dia adalah hasil karya kita yang telah banyak makan tenaga dan pikirkan, ilmu silatnya tidak tinggi, asal diawasi secara ketat sudah lebih dari cukup. Harus kauberi obat penawar kepadanya, rayu dia dengan segala kelembutan dan kemesraan agar ia mau kita gunakan secara sukarela.”

Pang Wan-kun hanya mengiakan berulang kali.

Dari nada pembicaraan mereka, Ho Leng-hong dapat merasakan bahwa ilmu silatnya dianggap rendah bahkan bernada menghina, hal ini amat menggusarkan hatinya.

Diam-diam ia tertawa dingin, pikirnya, “Budak sialan, kauanggap orang she Ho ini laki-laki bangor yang bernyali tikus? Hmm, kau telah salah melihat orang! Walaupun ilmu silatku rendah, tapi bukan laki-laki yang gampang dikendalikan ”

Sementara itu Liu A-ih berbangkit sambil bertanya, “Kongcu bermaksud akan berangkat kapan?”

“Berangkatlah dulu bersama tawananmu, setelah mendapatkan golok mestika itu aku segera menyusul,” kata Samkongcu.

“Sekarang juga hamba akan ke taman untuk mengambil golok,” kata Pang Wan-kun cepat, “biar Peng-ji yang mengantar Liu A-ih ke ruang depan.”

“Kausembunyikan golok mestika itu di taman?” tegur Samkongcu dengan kening berkerut.

“Benar, sebetulnya hamba akan mengambilnya dari sana, tapi perbuatanku diketahui Ho Leng-hong sehingga terpaksa harus kulukai dia, waktu itu hamba tak sempat membawanya pergi, maka golok itu kusembunyikan kembali dalam liang semula, untung Pang Goan tidak menyangka golok mestika itu masih berada di tempat semula.”

“Perbuatanmu itu terlalu berbahaya,” kata Samkongcu sambil menggeleng, “cepat ambil, semoga tidak terjadi hal-hal di luar dugaan lagi.”

Pang Wan-kun mengiakan dan keluar dari ruangan, Ho Leng-hong buru-buru menerobos keluar dari lubang hawa itu.

Ia tidak kuatir Pang Goan akan digusur pergi Liu A-ih, maka diputuskan untuk mendahului Pang Wan-kun dan merebut kembali Yan-ci-po-to itu.

Atau paling sedikit dia akan mengacau agar Yan-ci-po-to tidak sampai dibawa kabur oleh Samkongcu.

Ho Leng-hong sadar di sekitar loteng pasti dijaga ketat oleh anggota “Ci-moay-hwe” (perkumpulan kaum perempuan), tapi ia tidak mempedulikan soal itu, ia menelusuri rak bunga yang gelap dan menerobos ke belakang loteng menuju ke hutan.

Suatu keanehan kembali terjadi, sekalipun ia kabur dengan cara sekasar itu, namun jejaknya ternyata tidak diketahui oleh para penjaga.

Dalam waktu singkat pemuda itu sudah berada di tepi hutan, menurut perhitungannya Pang Wan-kun tentu masuk ke hutan lewat arah lain. Ia tak berani ayal, dengan langkah cepat ia masuk ke tengah hutan.

Ketika dia tiba di tempat penyimpanan golok tersebut, tiba-tiba dari depan terdengar suara langkah kaki orang.

Diam-diam Leng-hong gelisah, sebab menurut keadaan tersebut tak mungkin baginya untuk mengambil golok mestika itu mendahului Pang Wan-kun, sekalipun mereka tiba berbareng, dengan kepandaian silatnya jelas ia bukan tandingan perempuan itu.

Terpaksa ia berhenti dan menutup mulutnya dengan tangan, maksudnya mengurangi napasnya yang tersengal, kemudian ia pasang telinga dan memperhatikan gerak-gerik lawan. Tapi, sungguh aneh, ketika ia berhenti, suara langkah kaki itupun ikut berhenti. Ia coba maju dua langkah, ternyata di depan tidak ada reaksi apapun.

Sesungguhnya apa yang terjadi? Mungkinkah lantaran terlalu tegang maka ia salah dengar?

Keadaan sudah mendesak, Ho Leng-hong tak sempat berpikir panjang lagi, dengan langkah cepat ia memburu ke depan.

Tapi setibanya di tanah lapang dalam hutan, ia tertegun.

Di sekitar liang telah bertumpuk tanah baru, jelas liang tersebut baru digali orang. Tapi bukan Pang Wan-kun yang menggali liang tersebut, sebab perempuan itu masih berdiri di tepi liang, tangannya kosong dan tubuhnya kaku, jelas jalan darahnya ditutuk orang.

Ho Leng-hong coba memeriksa keadaan di sekitar situ, namun tiada sesosok bayangan pun, dengan cepat ia bertanya, “Mana golok mestika itu? Apakah golok mestika itu telah dibawa kabur orang?”

Pang Wan-kun tidak menjawab, kecuali biji matanya masih dapat bergerak-gerak, sekujur badanya kaku seperti patung.

Bila jalan darah seorang tertutuk, mana bisa ia menjawab?

Leng-hong ingin cepat-cepat mengetahui Yan-ci-po-to, ia mengitari liang itu dan menepuk beberapa kali punggung perempuan itu.

Tapi hawa murninya tak bisa dihimpun, otomatis pukulannya juga tak bertenaga, bagaimanapun juga ia menepuk, jalan darah Pang Wan-kun sukar dilancarkan.

Dengan gemas Leng-hong menggentak kaki ke tanah, bentaknya, “Obat penawar kaubawa tidak? Kalau ada, kerdipkan matamu dua kali!”

Pang Wan-kun segera mengerdipkan matanya dua kali.

Cepat Leng-hong menggeledah sakunya, betul juga dekat belahan baju dalamnya ia temukan sebuah botol porselen bulat pipih.

“Apakah botol ini berisi obat penawar?” tanyanya pula. Sekali lagi Wan-kun mengerdipkan matanya.

Leng-hong membuka tutup botol dan mengeluarkan sebutir obat penawar terus dimasukkan ke dalam mulut.

Setelah obat itu ditelan, tak lama kemudian muncul aliran panas dari bagian dada, bagaikan minum arak panas aliran itu terus turun ke perut. Segera Leng-hong menarik napas panjang, pelahan hawa murninya dihimpun kembali lalu disalurkan ke telapak tangan kanannya....

Tapi sebelum bertindak sesuatu, tiba-tiba terlintas satu ingatan dalam benaknya, “Tidak, perempuan ini tak boleh dibebaskan dulu jalan darahnya, ilmu silatnya mungkin lebih tinggi daripadaku, setelah dibebaskan, bisa jadi aku akan dijegal malah, kan bisa runyam?”

Berpikir demikian, maka tepukan tangannya dialihkan ke tempat lain, yakni pada jalan darah bisu di kuduk perempuan itu.

Pang Wan-kun terbatuk-batuk, setelah tumpah segumpal riak kental, ia dapat bersuara kembali.

“Cepat katakan, Yan-ci-po-to itu digali siapa?” tanya Leng-hong.

Bukan menjawab, Wan-kun malah berkata, “Jit-long, bebaskan dulu jalan darahku, bagaimanapun juga kita pernah menjadi suami isteri, lagipula obat penawar pasir pembuyar tenaga telah kuberikan padamu, masa kau tak mau menolong aku yang sedang tertimpa kesusahan?”

“Katakan dulu padaku, siapa yang telah membawa kabur golok mestika itu, asal kau megaku terus terang, tentu saja akan kutolong dirimu.”

“Aku pasti akan memberitahukan kepadamu, tapi bebaskan dulu jalan darahku.” “Hmm, sampai sekarang pun kau masih ingin bertukar syarat denganku?”

“Aku tidak minta tukar syarat, aku hanya mohon kepadamu, sebab bila golok mestika itu sampai hilang, aku bakal dihukum mati.”

“Huh, kau tak boleh kehilangan golok mestika, apakah aku boleh kehilangan? Jangan lupa, Yan-ci-po-to bukan milikmu.”

Wan-kun tertawa getir, “Jit-long, apa gunanya membicarakan persoalan itu dalam keadaan seperti ini? Baik golok itu milik siapa, kita sama-sama tak ingin kehilangan, bukan?”

Tentu saja Leng-hong tak dapat menyangkal, iapun tahu, seandainya Yan-ci-po-to sampai terjatuh ke tangan orang lain, hal ini tak ada manfaat baginya.

Wan-kun kembali berkata, “Lepaskan aku, Jit-long! Kita harus bekerja sama untuk mengejar kembali golok mestika itu, kita tak boleh saling mencurigai, bila golok itu berhasil kita dapatkan kembali, aku pasti akan menceritakan segala sesuatunya kepadamu.”

“Kalau begitu beritahu dulu kepadaku, siapa yang telah melarikan golok mestika tersebut?” Pang Wan-kun menghela napas panjang, “Bila kuberitahukan dulu hal ini kepadamu, apakah kau dapat pegang janji dan melepaskan diriku?”

“Tentu saja, orang she Ho bukan seorang laki-laki yang suka mengingkar janji.”

Wan-kun tertawa, katanya lagi, “Bersediakah kau bersikap seperti dulu, menganggapku sebagai isterimu?”

“Kau sesungguhnya mau bicara atau tidak?” seru Leng-hong dengan marah, “aku tak ada waktu untuk mengobrol dengan kau.”

“Ai, bagi kaum pria mungkin dianggap mengobrol, tapi bagi kaum wanita justru lebih penting daripada nyawa sendiri,” kata Pang Wan-kun dengan menyesal, “Jit- long, meskipun kita bukan suami isteri sungguhkan, tapi selama beberapa bulan kita telah menikmati penghidupan sebagai suami-isteri, peduli kau percaya atau tidak, yang pasti dalam hidupku ini hanya kau kuanggap sebagai suamiku, nama dan she boleh palsu, tapi perasaan kita tak mungkin palsu, Jit-long, kau ”

“Cukup,” tukas Leng-hong sambil menggoyang tangan, “sekalipun kau amat mencintaiku, sekarang bukan waktunya untuk membicarakan soal tersebut, kita harus menyelesaikan dulu masalah penting, soal cinta kasih ini boleh dibicarakan lain waktu saja, setuju bukan?”

Hampir meledak gelak tertawanya, perempuan ini memang lucu, baru saja Samkongcu menitahkan dia merayu dengan segala kemesraan, kontan ia laksanakan tugas, sayang waktunya tidak sesuai sehingga siapa yang bernafsu untuk meresapinya?

Agaknya Pang Wan-kun merasakan juga suasananya tidak cocok, dengan tersipu- sipu ia alihkan pembicaraan ke soal lain, katanya, “Baiklah kalau kau ingin mengetahui dulu siapa yang melarikan golok mestika itu aku dapat memberitahukan padamu, besar kemungkinan orang itu adalah Thian Pek-tat!”

“Kenapa kaukatakan besar kemungkinan?” tanya Leng-hong tercengang.

“Ia menggunakan kain kerudung pada wajahnya, pakaian yang dikenakan juga ringkas, tanpa melihat raut wajah yang sesungguhnya darimana aku bisa tahu pasti dia atau bukan, tapi menurut perkiraanku, kecuali Thian Pek-tat tak mungkin orang lain.”

Leng-hong memang mencurigai Thian Pek-tat, maka setelah termenung sejenak lalu katanya, “Ilmu silatnya tidak terlalu tinggi, kenapa jalan darahmu bisa tertutuk olehnya?”

“Ia menyergap diriku secara mendadak dan di luar dugaan, lagipula dalam hutan tersembunyi pula beberapa orang komplotannya.”

“Semua beberapa orang? Setelah berhasil mereka kabur ke arah mana? Sudah berapa lama?”

“Jumlah yang pasti aku tidak tahu, mungkin dua-tiga orang, setelah mendapatkan golok mestika itu mereka kabur ke arah Kiok-hiang-sia.”

Kiok-hiang-sia terletak dekat kamar loteng, bila maju lagi akan tiba di ruang depan, ditinjau dari keadaan pada umumnya, Thian Pek-tat mestinya kabur lewat taman belakang, tapi mengapa ia malah lari ke ruang depan?”

Tercengang juga Ho Leng-hong menghadapi hal ini, tapi lantaran waktu amat mendesak, tak mungkin lagi baginya untuk bertanya lebih jauh, sesudah termenung sebentar iapun putar badan dan berlalu.

“He, Jit-long, bukankah kau telah menyanggupi akan membebaskan jalan darahku?” seru Wan-kun cemas.

“Sebenarnya hendak kubebaskan jalan darahmu, tapi setelah kau kehilangan Yan-ci- po-to, Samkongcu tak nanti akan percaya begitu saja, maka lebih baik kau diam beberapa saat lagi di sini, hal ini akan lebih menguntungkan kau.”

“Hei, Jit-long, kaut tak boleh ingkar janji!” teriak Wan-kun, “Jit-long.... Jit-long. ”

Leng-hong menutuk lagi jalan darah bisunya, kemudian sambil menepuk pelahan pipinya ia berbisik, “Aku berbuat demikian demi kebaikanmu, kalau kita bukan suami isteri, tentu kulepaskan dirimu agar didamprat dan dihukum oleh Samkongcu itu, bila kau dalam keadaan begini, kan terlepaslah tanggung jawabmu.”

Habis berkata dia lantas meninggalkan hutan.

Menurut perhitungannya, Liu A-ih dan anak buahnya pasti sudah tiba di ruang depan, bila Pang Goan tak mau menyerah, pertarungan mungkin sudah berkobar, maka begitu keluar dari hutan ia langsung menuju ke ruang depan.

Tapi baru saja ia melewati pintu taman, suara bentakan nyaring sudah terdengar di depan sana. Suara itu berasal dari ruang loteng, malah kedengaran juga suara Pang Goan.

Cepat Leng-hong putar arah dan menelusuri taman dan balik lagi ke ruang loteng.

Dari kejauhan ia dapat menyaksikan lampu menerangi sekitar tempat itu, dua sosok bayangan sedang terlibat dalam pertarungan yang seru.

Sambil berdekap tangan Samkongcu berdiri di undak-undakan batu, sementara keempat perempuan pendek berbaju hitam itu berdiri berjajar di depannya.

Di bawah cahaya lentera, untuk pertama kalinya Leng-hong melihat jelas wajah Samkongcu. Ia lembut dan cantik, paling banter usianya baru delapan atau sembilan belas tahunan, matanya besar, bibirnya tipis dan sekilas pandang dapat diketahui bahwa dia adalah seorang gadis yang cerdik, cuma sorot matanya setajam sembilu dan lagi rada menyeramkan. Sementara kedua orang yang terlibat dalam pertempuran itu adalah Liu A-ih melawan Pang Goan.

Kedua orang itu sama-sama bertarung dengan tangan kosong, bila ditinjau dari situasi pertarungan, pukulan Pang Goan yang kuat membawa desing angin tajam, jelas ia menduduki posisi di atas angin, tapi gerakan tubuh Liu A-ih amat gesit dan lincah, meskipun harus menerobos ke sana kemari di antara pukulan Pang Goan yang

bertubi-tubi, sedikitpun tidak terlihat tanda-tanda akan kalah. Agaknya pertarungan antara mereka sudah berlangsung cukup lama.

Dengan sorot mata tajam, Samkongcu mengikuti jalannya pertarungan dengan saksama, sekeliling gelanggang hampir dipenuhi oleh anggota Ci-moay-hwe, tapi tak seorangpun di antara mereka yang turun kalangan dan memberi bantuan.

Jago-jago itu hanya menonton jalannya pertarungan dengan tenang, seakan-akan mereka tidak terburu nafsu untuk mengalahkan Pang Goan.

Diam-diam Leng-hong gelisah, pikirnya, “Betapa baiknya jika saat ini dia memegang Yan-ci-po-to. ”

Sementara ia masih bingung apakah mesti membantu Pang Goan atau tidak, tiba-tiba Samkongcu membentak, “Liu A-ih, mundur!”

Liu A-ih segera tarik serangan dan melompat keluar dari gelanggang, keningnya sudah basah keringat.

Samkongcu memberi tanda, tiba-tiba keempat perempuan pendek berbaju hitam itu melolos samurainya, kemudian menyerbu ke tengah gelanggang dan mengepung Pang Goan rapat-rapat.

“Perempuan busuk, rupanya kalian hendak bertarung secara bergantian?” dengus Pang Goan, “hayo majulah, aku orang she Pang tak jeri melayani barisanmu itu.”

Samkongcu tidak menjawab, katanya kepada anak buahnya, “Berikan sebilah pedang kepadanya.”

Liu A-ih melolos sebilah pedang seorang gadis pembawa lentera, lalu melemparkannya kepada Pang Goan.

Setelah menerima pedang itu, Pang Goan merasa tercengang juga, katanya kemudian sambil tertawa, “Hei, kenapa? Kalian ingin bunuh diri? barangkali sudah bosan

hidup?”

“Kami tak ingin mencari kemenangan dengan mengandalkan jumlah lebih banyak,” kata Samkongcu tenang, “tapi keempat orang ini selalu bertempur dengan ilmu golok gabungan, maka untuk adilnya kuberikan pula sebilah senjata padamu.”

Mendengar ucapan ini, Pang Goan tertawa terbahak-bahak, “Hahaha, tapi kalian jangan lupa, ilmu pedang Keng-hong-kiam-hoat dari Cian-sui-hu sudah tersohor selama puluhan tahun dalam dunia persilatan, begitu orang she Pang turun tangan, mereka tak ada harapan untuk hidup lagi.”

“Coba saja bagaimana akhirnya nanti!” kata Samkongcu, ia lantas bertepuk tangan tiga kali.

Mendengar tepukan tangan itu, keempat orang perempuan cebol berbaju hitam itu segera membentak dan menyerbu ke depan.

Mereka sama membawa sebilah samurai panjang dan sebilah pisau pendek, tapi selama pertarungan berlangsung, pisau pendek tetap terselip di pinggang, sementara samurai itu digenggam dengan kedua tangannya.

Di antara bentakan nyaring, empat bilah samurai menabas bersamaan dari kiri dan kanan, dalam waktu singkat keempat perempuan cebol itu sudah melancarkan dua belas kali tabasan.

Cahaya samurai berkilauan memenuhi angkasa, dalam waktu singkat sekeliling gelanggang seolah-olah diliputi kabut samurai yang menyeramkan.

Ho Leng-hong juga seorang ahli golok, tapi belum pernah ia lihat ilmu golok secepat dan seganas itu, tak urung peluh dingin membasahi juga tubuhnya karena mengusirkan keselamatan Pang Goan.

Di tengah bayangan golok yang berlapis-lapis, Pang Goan tertawa nyaring, serentak ilmu pedangnya dikembangkan.

Belum sempat Leng-hong menyaksikan bagaimana caranya orang itu menyerang, mendadak ia merasakan pandangannya menjadi kabur, tahu-tahu suara beradunya senjata berkumandang memekak telinga, disusul percikan bunga api di udara . . . .

Waktu maju tadi keempat perempuan cebol itu dapat bergerak cepat, sewaktu mundurpun tak kurang cepatnya, masing-masing menyurut mundur tiga-empat langkah, tapi masih dalam posisi mengepung Pang Goan.

“Boleh juga ilmu silatmu!” puji Samkongcu sambil tersenyum.

Pang Goan mendengus, “Hm, budak busuk, berapa banyak anak buahmu, suruh mereka maju semua!”

Samkongcu Cuma tertawa dan tidak menjawab, kembali ia bertepuk tangan empat kali.

Dua orang perempuan cebol diantaranya segera menyimpan kembali samurainya sambil mundur, sebaliknya dua orang lain sekali lagi melancarkan serangan.

Sekali ini kedua samurai itu menyerang secara teratur, yang satu menyerang tubuh bagian atas, sedang yang lain menyerang perut dan kaki, semuanya dengan gerakan cepat dan kerja sama yang ketat. Sekalipun dalam hal senjata telah berkurang dua bilah, tapi justru serangan ini terasa lebih dahsyat. Rupanya Pang Goan belum lagi memperhatikan serangan kedua samurai itu, pedangnya berputar menciptakan selapis cahaya yang menyilaukan mata.

“Ting! Ting!” dua kali benturan nyaring, hampir bersamaan waktunya kedua samurai lawan tertangkis balik.

Akhirnya Leng-hong dapat melihat jelas, meski Pang Goan hanya memainkan satu jurus, tapi sekaligus dapat menangkis dua serangan lawan.

Sebetulnya serangan itu digunakan menyongsong ancaman yang datang dari atas, tapi ketika terjadi benturan senjata, tiba-tiba pedang itu memerosot ke bawah, bagaikan besi semberani yang mengisap jarum, samurai yang mengancam tubuh bagian atas itu dipaksa ke bawah sehingga tepat menangkis samurai yang mengancam tubuh bagian bawah itu.

Atau dengan kata lain, gerakan tersebut adalah satu gerakan dengan dua guna, meminjam golok untuk menangkis golok, baik ketepatan waktu, jurus serangan dan tenaga, semuanya digunakan dengan tepat.

“Ilmu pedang bagus!” puji Samkongcu tanpa terasa, beruntun ia tepuk tangan lagi dua kali.

Tiba-tiba barisan serangan keempat perempuan cebol itu berubah lagi, bayangan manusia berkelebat, empat orang itu segera berdiri dalam satu garis lurus, sementara samurai pendek yang terselip di pinggang pun dicabut keluar.

Perempuan cebol yang pertama bergerak lebih dulu, samurai panjang dan pendek digunakan bersama untuk menyerang Pang Goan, tapi baru terjadi kontak senjata, tiba-tiba ia tarik serangan sambil mundur ke belakang, sementara perempuan cebol kedua segera maju menggantikan posisinya, seperti yang pertama tadi, begitu terjadi kontak senjata ia terus mundur untuk digantikan orang ketiga....

Begitulah, secara bergilir keempat orang perempuan cebol itu melancarkan serangan secara bergantian, delapan samurai panjang dan pendek bagaikan bunga salju yang berhamburan di sekitar Pang Goan.

Setiap kali mereka menyerang, arah sasarannya selalu berbeda, jurus serangan yang digunakan pun aneh dan berlainan, yakni sekali menyerang segera berganti orang lagi.

Dengan tangguh dan gagahnya Pang Goan melayani kerubutan keempat orang itu, setiap serangan dipatahkan dengan serangan, setiap bacokan dihadapi dengan bacokan, dalam sekejap mata dua puluh gerakan sudah lewat . . . .

Ho Leng-hong merasa matanya sampai berkunang-kunang, ia merasa kagum dan juga gembira, terasa olehnya permainan pedang Pang Goan begitu luwes dan leluasa, setiap serangannya selalu dilancarkan dengan enteng, lincah tapi kuat, memang tak malu sebagai seorang jago kenaman.

Diam-diam semua jurus ampuh itu diingatnya di dalam hati, sebisanya Leng-hong memperhatikan setiap gerakan dengan saksama.

Sementara ia memusatkan perhatiannya untuk mengikuti jalannya pertarungan itu, tiba-tiba terdengar seseorang tertawa dingin, dari kegelapan seseorang berseru, “Wahai orang she Pang, jangan kaukeluarkan semua ilmu silatmu, selanjutnya kau tak bisa tancap kaki lagi dalam dunia persilatan!”

Meskipun suara itu sangat pelahan, tapi setiap patah katanya dapat didengar semua orang yang hadir ini dengan jelas.

Pang Goan segera menarik serangannya sambil melompat mundur, bentaknya, “Sahabat dari manakah itu? Silakan tampil ke depan!”

Tiada jawaban yang terdengar, suasana tetap hening dan gelap.

Samkongcu pun menitahkan keempat perempuan cebol itu menghentikan serangannya, kepada Liu A-ih katanya sambil mengangguk, “Lumayan juga hasil yang kita peroleh malam ini, mari kita pergi!”

“Tapi golok itu . . . “ bisik Liu A-ih.

“Benda itu sudah tidak terlampau penting lagi artinya. Hayo berangkat!” tangan Samkongcu lantas memberi tanda, serentak lampu di empat penjuru menjadi padam.

“Perempuan busuk, mau lari ke mana kalian?” bentak Pang Goan cepat.

Pedang bergerak dan langsung membabat ke pinggang seorang perempuan cebol berbaju hitam yang kebetulan berada di dekatnya.

Perempuan cebol itu tidak menangkis melainkan melompat ke samping dan menghindarkan diri, sebelah tangannya lantas menyebarkan seenggan kabut berbau harum.

Kebanyakan kabut asap yang berbau harum adalah kabut yang mengandung obat pemabuk.

Cepat Pang Goan menutup pernapasannya sambil melompat ke belakang dan buru- buru mengambil geretan api.

Tapi ketika cahaya api menerangi sekeliling tempat itu, hanya kabut tebal berbau harum yang menyelimuti taman bunga itu, sementara Samkongcu dan rombongannya telah lenyap tak berbekas.

Buru-buru Leng-hong melompat keluar dari tempat sembunyinya sambil berseru, “Lotoako, musuh yang kalah tak perlu dikejar lagi, biarkan mereka pergi!”

Pang Goan mengangkat tinggi-tinggi obornya, lalu serunya dengan tercengang, “Jadi kau yang bersuara tadi?”

Leng-hong menggeleng kepala, “Siaute juga Cuma mendengar suaranya dan tidak melihat orangnya, tapi kukira ia memang tidak bermaksud jelek.” “Darimana kautahu ia tidak bermaksud jelek?”

“Soal itu kita bicarakan nanti saja, sekarang kita harus menangkap seseorang lebih dulu, jangan sampai ia sempat meloloskan diri.”

“Siapa?”

“Perempuan yang menyaru sebagai Wan-kun!”

Betapa girangnya Pang Goan, “Jadi ia sudah kautangkap? Di mana sekarang?” Leng-hong memberi tanda dan segera berangkat lebih dulu.

Tapi ketika mereka sampai di hutan tempat golok itu disimpan, di sana tak mereka jumpai seorang pun, Pang Wan-kun ternyata sudah lenyap tak berbekas.

“Heran!” keluh Leng-hong, “padahal Cuma sebentar kutinggalkan tempat ini, dan lagi jalan darahnya sudah kututuk, masa ia bisa terbang sendiri?”

Pang Goan mengomel, “Kau sudah tahu perempuan itu penting sekali artinya buat kita, kalau sudah dibekuk kenapa tidak dibawa serta? Besar kemungkinan ia pasti telah ditolong oleh kawanan perempuan busuk komplotannya.”

“Tidak mungkin, Samkongcu tidak tahu kalau anak buahnya sudah kubekuk, lagipula mereka baru saja pergi, hakikatnya tak ada waktu bagi mereka untuk menolongnya.”

“Jangan-jangan ia diselamatkan oleh orang yang memberi peringatan tadi?”

Kembali Leng-hong menggeleng-geleng kepala, “Itupun tak mungkin, sebab peringatan tadi justru mengingatkan kita agar jangan tertipu, atau dengan perkataan lain iapun bermusuhan dengan Ci-moay-hwe, tidak mungkin ia menyelamatkan perempuan itu.”

“Apa yang diperingatkan kepada kita? Siapa pula Ci-moay-hwe itu?” tanya Pang Goan keheranan.

Secara ringkas Leng-hong menceritakan apa yang didengarnya tadi . . . .

Selesai mendengar cerita itu, dengan wajah kurang percaya Pang Goan berkata, “Kalau begitu, Ci-moay-hwe adalah suatu organisasi yang sangat besar?”

“Bukan saja organisasi besar, bahkan ambisinya juga besar, tujuan mereka bukan hanya menghadapi tiga istana persilatan saja, bahkan kalau bisa semua pria di dunia ini hendak dikuasai dan ditaklukkannya.”

“Tapi yang pasti perempuan busuk itu tak mungkin jatuh dari langit, mereka pasti mempunyai asal-usul tertentu, kenapa dalam dunia persilatan belum pernah kudengar nama organisasi itu?” “Menurut dugaanku, mungkin mereka beranggapan bahwa kini belum saatnya untuk meresmikan organisasinya secara terbuka, maka nama perkumpulan masih dirahasiakan, bila mereka sudah yakin dalam pertemuan Lo-hu-to-hwe nanti pasti akan berhasil mengalahkan semua jago di dunia, otomatis nama perkumpulan mereka akan diumumkan secara terbuka.”

Pang Goan tertawa dingin, “Huh, aku tidak percaya hanya beberapa perempuan busuk yang tak tahu tingginya langit dan tebalnya bumi, seluruh dunia persilatan dapat mereka kuasai?”

“Ya, sebab itulah mereka ingin mencuri belajar ilmu pedangmu,” kata Leng-hong. “Mencuri belajar ilmu pedangku?” Pang Goan tertegun, “maksudmu ”

“Sengaja Samkongcu menitahkan keempat orang perempuan cebol itu menyerangmu secara bergilir, tujuannya tak lain adalah untuk menyadap ilmu pedang Keng-hong- kiam-hoatmu, sayang pada waktu itu kita tidak menyadari hal ini.”

Pang Goan termenung dan berpikir sebentar, tiba-tiba air mukanya berubah hebat, lalu serunya, “Betul juga, seandainya orang itu tidak memperingatkan, aku benar- benar tak mengira sampai ke situ, tak aneh kalau secara beruntun perempuan- perempuan busuk berubah serangan sampai tiga kali, rupanya mereka tidak sungguh bertempur “

Sesudah berhenti sebentar, lalu katanya pula, “Jit-long, menurut anggapanmu, mungkinkah ia bisa mengingat setiap jurus pedangku cukup hanya menyaksikan jalannya pertarungan tadi?”

Leng-hong mengangguk, “Bila dia mempunyai daya ingat yang bagus, kukira semua jurus pedangmu dapat diingat seluruhnya.”

“Tapi masa dia mempunyai bakat tinggi semacam itu?”

Leng-hong kembali mengangguk, “Aku percaya bisa, kalau tidak, tak mungkin ia atur keempat perempuan cebol itu untuk menyadap ilmu pedangmu. Lagipula ”

“Lagipula apa?”

Setelah tertawa getir, kata Leng-hong, “Terus terang kuakui Lotoako, ketika Siaute menyaksikan jalannya pertarunganmu melawan keempat perempuan cebol tersebut, lantaran terpesona pada kehebatan ilmu pedang Lotoako maka secara diam-diam akupun telah menyadap beberapa jurus diantaranya.”

“Oya? Berapa jurus kauingat?” “Kurang lebih dua puluhan jurus!”

Tentu saja Pang Goan tidak percaya, katanya sambil tertawa, “Baik, sekarang coba kaumainkan di hadapanku.” Setelah memberi hormat Leng-hong berkata, “Siaute hanya berbuat seperti apa yang kuingat, jika salah harap Lotoako jangan menertawakan.”

Pang Goan tidak berkata apa-apa, sambil tertawa dia angsurkan pedangnya kepada Leng-hong.

Setelah menerima pedang, Leng-hong mundur ke belakang, lalu mulai mainkan jurus pedang yang berhasil disadapnya tadi, benar juga, semua jurus pedang yang telah digunakan Pang Goan untuk bertarung melawan keempat perempuan wol tadi dapat dimainkan satu persatu dengan tepat.

Dengan saksama Pang Goan awasi setiap gerakan itu, mula-mula ia cuma tercengang, kemudian terkejut, dan akhirnya senyuman yang semula menghiasi bibirnya berubah menjadi rasa kaget.

Sedikitpun tidak salah, itulah ilmu pedang Keng-hong-kiam-hoat dari Cian-sui-hu di Liat-liu-shia.

Ho Leng-hong mainkan ilmu pedang itu sampai jurus yang kedua puluh satu, kemudian memberi hormat, katanya dengan tertawa, “Malam ini Lotoako telah memainkan dua puluh empat jurus, sayang Siaute terlalu bodoh sehingga hanya ingat dua puluh satu jurus saja, mungkin di antaranya ada bagian-bagian yang salah.”

Pang Goan tidak menjawab, ia geleng-geleng kepala berulang kali sambil bergumam, “Tidak! Tidak! Tak mungkin, hakikatnya tak mungkin ”

“Lotoako, hal ini mungkin saja terjadi, kalau Siaute saja bisa mengingat sampai dua puluh satu jurus, mungkin sekali Samkongcu dapat mengingat dua puluh empat jurus itu sekaligus, kalau tidak, tak mungkin dia mengatakan bahwa hasil yang diperolehnya malam ini cukup lumayan.”

Pang Goan hanya berdiri termangu di situ, lama kemudian baru ia menghela napas panjang.

“Tak kusangka di dunia ini benar-benar terdapat orang yang bisa mengingat segala apa hanya sekali lihat saja, hal ini benar-benar sukar dipercayai.”

“Mereka telah berhasil mendapatkan kitab pusaka Po-in-pat-toa-sik dari Nyo-keh- sin-to, tapi tidak tahu cara berlatih To-kiam-hap-ping-tin-hoat, maka sengaja

diaturnya keempat perempuan cebol yang lihai dalam ilmu golok itu untuk menyerang Lotoako dengan berbagai jurus serangan yang berbeda, pada kesempatan tersebut diam-diam ia sadap ilmu pedang Keng-hong-kiam-hoat, sudah pasti tujuannya adalah untuk mencari intisari kepandaian tersebut untuk menciptakan semacam To-kiam- hap-ping-tin, bila kepandaian tersebut berhasil dipahaminya, jelas, dalam pertemuan Lo-hu-to-hwe yang akan datang ia dapat mengalahkan tiga gedung besar dunia persilatan.”

Pang Goan tertawa getir, “Seandainya benar begitu, kita masih terhitung untung di tengah ketiak keberuntungan, paling tidak karena lukamu belum sembuh, kita masih belum lagi mulai mempelajari ilmu To-kiam-hap-ping-tin yang diincar mereka.”

“Hal ini disebabkan perempuan yang menyaru sebagai Wan-kun itu bertindak terlampau tergesa-gesa, coba kalau Yan-ci-po-to tidak dicuri dengan terburu nafsu, kemungkinan besar kita sudah terperangkap.”

Pang Goan mengangguk tanda membenarkan, “Diapun mempunyai alasan yang terpaksa, kalau golok mestika Yan-ci-po-to tidak dicuri lebih dulu, sulit bagi keempat orang perempuan cebol itu untuk menyerangku, dan merekapun tak akan berhasil menyadap ilmu pedang Keng-hong-kiam-hoat.”

Setelah berhenti sebentar, katanya lagi, “Ilmu pedang Keng-hong-kiam-hoat mengandung unsur gabungan Thian-kang, semuanya terdiri dari tiga puluh enam jurus, untungnya masih ada dua belas jurus inti yang tidak berhasil mereka sadap, mulai sekarang kita harus lebih waspada.”

“Kini situasinya berkembang makin kacau dan tak keruan. Ci-moay-hwe mempunyai ambisi yang amat besar, tapi ada orang yang rupa-rupanya memusuhi mereka secara diam-diam, misalnya saja dicurinya golok mestika Yan-ci-po-to serta orang yang memberi peringatan kepada kita tadi, cuma tidak diketahui mereka berasal dari aliran mana?”

“Tercurinya Yan-ci-po-to untuk sementara waktu bukan suatu perintang besar, siapakah orang yang memperingati kita secara diam-diam juga tak usah terburu-buru diselidiki, yang perlu kita pahami sekarang adalah rahasia sekitar perkumpulan Ci- moay-hwe, organisasi ini selain misterius juga luas pengaruhnya, di kemudian hari pasti akan merupakan bibit bencana bagi umat persilatan.”
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar