Postingan

Jilid 03

“Sungguh tak kusangka kakak akan berkunjung kemari. ” katanya.

Pang Goan mendengus, “Hm, akupun tak menyangka Thian-po-hu yang tersohor telah menjadi rumah judi yang ramai.”

“Lotoako jangan marah,” buru-buru Leng-hong berkata sambil tertawa, “mereka ini adalah sahabat-sahabat Siaute, lantaran iseng, tak ada pekerjaan, maka kami bermain judi untuk membuang waktu. ”

“Hm, jadi kedatanganku tentunya mengganggu. ”

“Ah, kenapa Lotoako berkata demikian? Sekalipun diundang saja belum tentu engkau mau datang. ”

“Kalau begitu, kenapa tidak lekas enyahkan mereka dari sini!”

“Baik, baik, mereka memang sudah mau bubaran, silakan duduk dulu Lotoako!”

“Tak usah sungkan-sungkan,” dengan tajam Pan Goan menyapu pandang semua orang itu, lalu berkata pula, “kalian tidak tahu diri, apakah perlu aku orang she Pang melemparkan kalian satu persatu?”

Mendengar ancaman tersebut, semua orang berseru, “Baik, kami segera pergi! Harap Pang-toako jangan marah!”

Sungguh menggelikan, kawanan jago ternama dari Lok-yang ini ternyata diusir mentah-mentah oleh Pang Goan, bukan saja tak berani membantah, berdiam sedetik lebih lama pun tidak berani.

Ho Leng-hong merasa geli, tapi wajahnya pura-pura mengunjuk sikap serba salah.

“Jit-long,” kata Pang Goan sambil menggeleng kepala, “bukan maksudku ingin menasihatimu, tapi perbuatanmu memang kelewat batas, seorang muda kenapa tidak berusaha untuk maju, sebaliknya tiap hari kerjanya hanya minum dan berjudi melulu?”

“Harap Toako jangan marah, “kata Leng-hong dengan tersipu-sipu, “kebetulan saja hari ini Siaute menyelenggarakan pertemuan semacam ini, padahal hari-hari biasa juga tidak demikian.” “Kebetulan saja? Tak kusangka kau masih berani berkata demikian, manusia hidup di dunia ini paling-paling Cuma puluhan tahun, waktu yang lewat tak mungkin ditemukan kembali, enak saja kau menerima warisan orang tua dan saudara- saudaramu, sekalipun tak pernah mengalami susah payahnya mendirikan keluarga jaya ini, sedikitnya kau memikirkan untuk mempertahankan nama baik keluarga, tapi kerjamu selama ini bukan saja malu terhadap leluhur dan kakak-kakakmu, malu juga terhadap anak isteri, bukan berjuang untuk kemajuan, kau masih iseng berbuat hal-hal yang kurang baik ini.”

Ho Leng-hong tidak menyangka “kakak iparnya” adalah seorang yang alim dalam tata kehidupan, terpaksa ia tundukkan kepala rendah-rendah.

“Terima kasih untuk nasihat Toako, selanjutnya Siaute tentu akan memperbaiki kelakuanku,” kata Leng-hong.

“Memperbaiki diri? Hm, gampang saja kaubicara, tapi sudah sekian lama kau bergaul dengan teman-teman semacam itu, matamu sudah ternoda dan telingamu sudah kotor, kebiasaan jelek sudah meresap dalam tubuhmu, memangnya kau anggap mudah untuk memperbaikinya?”

“Lain kali Siaute tak akan berhubungan lagi dengan mereka!” Leng-hong memberikan janjinya.

“Soal ini memang bicara gampang tapi sukar untuk melaksanakannya, hubungan antara sesama Siaujin manis bagaikan madu, siapa dekat dengan gincu akan menjadi merah, siapa dekat tinta bak akan menjadi hitam, aku tidak percaya kaudapat putuskan hubungan dengan mereka.”

Ho Leng-hong didamperat hingga tak bisa mendongakkan kepalanya, diapun tak bisa marah, terpaksa menjawab sambil tertawa getir, “Menurut perkataan Toako, bukankah Siaute tak bisa ditolong lagi?”

Pang Goan menggeleng kepala berulang kali, “Dari penghemat menjadi pemboros lebih gampang, dari pemboros menjadi penghemat justru sukar, begitulah kebiasaan manusia. Ai, jika kau tak mau berjuang untuk kemajuan, aku tak ingin menyalahkan dirimu, aku hanya benci pada kebodohanku sendiri.”

“Kau benci pada kebodohanmu sendiri?”

“Kenapa tidak? Bila sejak semula kutahu kau ini manusia tak becus seperti ini, masa aku mau menjodohkan adikku kepadamu?”

“Sudahlah, Lotoako, nasihat sudah kau berikan, makian juga sudah cukup, sekarang duduklah lebih dulu, akan kupanggilkan Wan-kun untuk menemani kau bercakap- cakap.”

Begitulah, setelah minta maaf, mengaku salah, setengah membujuk dan memberi hormat, dengan susah payah akhirnya Pang Goan berhasil juga dibujuk untuk duduk, cepat Leng-hong menyuruh orang mengundang Pang Wan-kun di belakang. “Tak usah tergesa-gesa” cepat Pang Goan mencegah, “soal rumah tangga kapan saja bisa dibicarakan, sekarang justru aku ada urusan penting yang hendak kubicarakan empat mata denganmu.”

“Ah, soal apa yang hendak Lotoako bicarakan? Silakan memberi petunjuk.”

Pang Goan melirik sekejap sekeliling tempat itu, lalu katanya, “Tempat ini terlampau ramai, bukan tempat ideal untuk berbicara, adakah suatu tempat yang sepi?”

“Kiok-hiang-sia di taman belakang adalah tempat yang baik.” “Baik! Mari kita ke sana.”

Sambil membawa Pang Goan ke belakang, sepanjang jalan Ho Leng-hong berpikir, “Ya, akhirnya datang juga, yang mau dibicarakan pasti menyangkut buntalan di punggungnya itu, kalau ditinjau dari sikapnya yang serius, benda itu tentu amat berharga sekali ”

Dugaannya memang tidak keliru, baru saja duduk dalam villa itu, Pang Goan telah mengeluarkan sebuah anak kunci dari sakunya, lalu membuka rantai di tubuhnya dan melepaskan buntalan kain itu.

Ho Leng-hong tak tahu benda apakah dalam bungkusan itu, tapi bila dilihat dari bentuk serta bobotnya yang berat, kemungkinan besar adalah sebangsa kotak logam.

Pang Goan meletakkan bungkusan itu di meja, lalu katanya dengan wajah bersungguh-sungguh, “Jit-long, kita masih saudara, aku yang menjadi kakakmu inipun suka berterus terang, ada sepatah kata hendak kutanyakan kepadamu, dan kuharap kau bersedia menjawab dengan sejujurnya pula.”

“Silakan bertanya Lotoako, Siaute pasti akan menjawab dengan sejujurnya, aku tak akan membohongimu.”

“Bagus! Terus terang akuilah berapa banyak yang berhasil kaukuasai dalam permainan golok sakti keluarga Nyo kalian?”

“Tentang ini ”

“Tak usah mengibul, aku ingin mengetahui keadaan yang sesungguhnya.”

Ho Leng-hong berpikir sebentar, lalu menjawab, “Bakat maupun kecerdasan Siaute sangat terbatas, mungkin hanya empat bagian yang berhasil kukuasai.”

Ia agak jeri terhadap sinar mata Pang Goan yang lebih tajam dari sembilu itu, karenanya ia tak berani bicara terlalu banyak.

“Aku sendiri kebetulan juga berlatih ilmu golok,” demikian ia berpikir, “sekalipun bukan golok sakti keluarga Nyo yang kupelajari, pada hakikatnya ilmu silat di dunia ini bersatu sumber, kalau kukatakan empat bagian mungkin bolehlah.” Siapa tahu Pang Goan segera menggeleng kepala berulang kali, “Bila menurut pengamatanku, mungkin empat bagian pun belum berhasil kaucapai.”

“Oya!”

“Bakat maupun kecerdasanmu tidak jelek, mestinya tak mungkin hanya mencapai empat bagian saja, tapi bila kulihat caramu bersenang-senang setiap hari dengan begundalmu itu, sudah pasti ilmu silatmu terbengkalai sama sekali, oleh sebab itulah aku hanya berani menilai bahwa kepandaianmu Cuma mencapai tiga bagian saja.”

Ho Leng-hong tertunduk malu.

“Jit-long, kita adalah famili dekat, bukannya aku yang menjadi kakak ingin mengomeli kau, tapi kalau keadaan ini dibiarkan berlangsung terus, cepat atau lambat nama Thian-po-hu pasti akan rontok ditanganmu, sementara jangan kita singgung dulu makna yang sebenarnya dari ikatan perkawinan antara Thian-po-hu dengan Cian- sui-hu, coba kautanya kepada hati nuranimu sendiri, apakah kau dapat mempertanggung-jawabkan dirimu terhadap ayahmu yang membangun kejayaan keluarga ini dengan susah payah?Masih punya mukakah kau untuk bertemu dengan kakak-kakakmu yang telah mati secara perkasa dan ikhlas?”

“Membangun kejayaan keluarga dengan susah payah” tak sulit diserap maknanya, tapi apa pula yang dimaksud “mati secara perkasa dan ikhlas?”

Nama kecil Nyo Cu-wi adalah “Jit-long” atau si ketujuh, jadi di atasnya masih ada enam orang kakak, apakah keenam saudaranya telah mati semua secara perkasa dan ikhlas.

Mengapa mereka mati secara perkasa dan ikhlas.

Apa pula makna yang seberanya di balik ikatan perkawinan antara Thian-po-hu dengan Cian-sui-hu?

Dengan sorot mata tajam Pang Goan mengawasi Ho Leng-hong sekian lama, tiba- tiba ia menghela napas dan membuka bungkusan kain di meja.

Betul juga, isinya adalah sebuah kotak besi yang berwarna hitam mengkilap. Kotak besi itu digembok pula.

Pang Goan tidak membuka kotak itu lagi, tapi berikut sebuah anak kunci benda- benda itu di dorong ke hadapan Ho Leng-hong.

“Benda ini adalah milik keluarga Nyo kalian.” Demikian katanya, “batas janji selama dua tahun sudah penuh, dan sekarang aku membawanya sendiri kemari serta diserahkan kembali kepadamu, Cuma ada satu persoalan harus kuberitahukan kepadamu.”

Ho Leng-hong ingin sekali mengetahui benda apa yang ada di dalam kotak besi itu, terpaksa ia bersabar untuk menunggu kelanjutan ucapannya.. Terdengar Pang Goan berkata pula, “Sepanjang perjalanan menuju ke timur sini, sudah empat kali kurasakan jejakku dibuntui orang, rupanya mereka hendak mencuri benda ini. Malah dua diantaranya sudah menyusup ke dalam kamarku, setelah beruntun kulukai dua orang diantaranya, benda ini berhasil kuantar sampai di sini dengan selamat.”

“Siapakah orang-orang itu?” tanya Leng-hong sambil mendongak.

“Masa perlu kautanyakan? Dua tahun belakangan ini, meski dunia persilatan tampaknya tenang dan tak pernah terjadi sesuatu apapun, bukan berarti orang lain telah mengendurkan pengawasannya terhadap kita.”

“Hm . . .” Leng-hong mendengus.

Ia tak tahu siapakah “orang” yang dimaksudkan itu, iapun tak tahu kenapa ada orang mengawasi Thian-po-hu dan Cian-sui-hu.

Tapi dengusan tersebut menunjukkan bahwa ia marah sekali atas kejadian tersebut. Tapi ada juga satu hal yang diketahuinya, yakni ada orang mengincar barang dalam kotak besi ini dan berusaha mencurinya, bahkan orang-orang itu sudah menyelundup ke dalam Thian-po-hu.

Cuma sayang ia tak dapat memberitahukan urusan ini kepada Pang Goan.

Pang Goan memandangnya sambil tertawa hambar, lalu berkata, “Marah tak akan menolong dalam urusan ini, selama dua tahun benda ini berada di tanganku, sedikit banyak pihak lawan masih agak jeri padaku, tapi sekarang sesudah kuserahkan kembali kepadamu, yakinkah kau dapat melindunginya serta tidak akan jatuh ke tangan orang lain?”

“Siaute akan berusaha dengan sepenuh tenaga.”

“Dalam hal ini bukan soal berusaha dengan sepenuh tenaga atau tidak,” kata Pang Goan sambil menggeleng, “tapi yakinkah kau dapat melindunginya?”

Ho Leng-hong termenung sejenak, lalu sahutnya, “Aku tak berani mengatakan punya keyakinan, tapi aku mempunyai akal bagus untuk menjamin keselamatannya.”

“Oya?!” Pang Goan berkerut kening, jelas ia tak percaya.

Ho Leng-hong menempelkan jari tangannya pada bibir, lalu menulis beberapa huruf di atas meja, begitu selesai dibaca tulisan itu cepat-cepat dihapus.

“Bagaimana pendapat Lotoako akan siasat ini?” ia bertanya lirih.

Pang Goan mengernyit alis, sekali ini jelas sebagai tanda memperingatkan agar waspada.

Menyusul dengan suara rendah ia berbisik, “Menurut anggapanmu, mereka akan turun tangan di gedung ini?”

“Dalam hal ini bukan soal mungkin atau tidak melainkan mereka pasti akan turun tangan dalam gedung ini,” jawab Ho Leng-hong menirukan nada orang.

Pang Goan tertawa, ia tepuk bahu Ho Leng-hong seraya berkata, “Jit-long sungguh tak kusangka kau dapat berpikir secerdik ini, baik kita lakukan begitu saja.”

Anak kunci segera diambil dan kotak besi pun dibuka.

Dalam kotak besi terdapat pula sebuah kota yang terbuat dari kayu, di tengah kotak kayu dengan alas kain merah tersimpanlah sebilah golok dan sejilid kitab pusaka ilmu golok.

Golok itu pakai sarung terbuat dari kulit ular, gagangnya disepuh emas dengan empat huruf yang terbuat dari batu permata, “Yan-ci-po-to” atau golok pusaka gincu merah.

Kitab pelajaran ilmu golok hanya terdiri dari beberapa halaman, pada kulit buku itu tertera huruf yang berbunyi: Tay-sin-pat-to (delapan jurus golok malaikat sakti), itulah ilmu golok keluarga Nyo.

Perlahan Ho Leng-hong mencabut golok itu, seluruh tubuh golok berkilat bagaikan cermin, lamat-lamat tampak pancaran sinar merah jambon.

“Golok bagus!” pujinya dalam hati.

Sebenarnya di ingin memeriksa juga kitab pusaka itu, tapi niatnya dapat ditahan.

Sebab baik golok maupun kitab pusaka itu kan miliknya sendiri, adalah lucu kalau dia tertarik pada benda miliknya sendiri.

Dari atas dinding ia menanggalkan sebilah golok biasa, lalu dimasukkan ke dalam kotak besi dan kemudian kotak itu dikunci kembali.

Setelah itu ia membungkus golok dan kitab pusaka itu dengan secarik kain kumal, bungkusan itu dimasukkan ke dalam laci di bawah almari.

“Aman tidak kalau disimpan di sini?” tanya Pang Goan dengan suara agak parau.

“Semakin terbuka tempat seperti almari ini semakin aman, bila mereka hendak mencari golok pusaka, tak mungkin akan mereka perhatikan laci tempat barang rongsokkan semacam ini, sekalipun laci dibuka, merekapun tak akan menyangka golok pusaka dibungkus dalam secarik kain kumal.”

Pelahan Pang Goan mengangguk, “Aku hanya ada waktu tiga atau lima hari, aku masih harus pergi ke Sengtoh, mudah-mudahan aku tidak tertahan terlalu lama di sini.”

“Tiga sampai lima hari sudah lebih dari cukup, selama beberapa hari ini silakan Lotoako berdiam di sini, aku percaya mereka pasti akan lebih gelisah daripada kita.” Tengah bicara tiba-tiba terdengar suara gemerencing perhiasan orang perempuan, tampak Bwe-ji sedang menyeberangi jembatan.

Cepat Ho Leng-hong memberi tanda kepada Pang Goan dengan kerlingan mata, lalu kotak besi itu buru-buru dibungkus dengan kain, dirantai dan dikunci kembali.

Bwe-ji telah masuk ke dalam ruangan, ia memberi hormat lebih dulu kepada Pang Goan seraya berkata, “Ketika Hujin mendengar tentang kedatangan Kuloya, ia merasa gembira sekali. Perjamuan telah disiapkan, hamba perintahkan datang untuk minta petunjuk Loya, perjamuan akan diselenggarakan di ruang belakang ataukah diantar ke Kiok-hiang-sia sini?”

Pang Goan masih mengusirkan golok pusaka, jawabnya setelah berpikir sebentar, “Tempat ini bagus sekali, mana nyaman dan tenang lagi.”

“Begitupun boleh,” sambung Ho Leng-hong segera, “sesudah melakukan perjalanan jauh, Lotoako memang harus membersihkan badan dan beristirahat lebih dulu, biar Siaute mengantar benda ini ke dalam kamar, kemudian baru datang kemari lagi bersama Wan-kun.”

Pang Goan tidak menghalangi, sambil mengulapkan tangan ia berkata, “Kita adalah orang sendiri, asal bisa bertemu dan bercakap-cakap, itu sudah cukup, kenapa musti sungkan-sungkan?”

Sambil mengempit kotak besi itu Ho Leng-hong pun mohon diri dan berlalu, sedang Bwe-ji tetap tinggal di situ melayani Pang Goan membersihkan badan.

Sekembali Leng-hong di belakang, Pang Wan-kun telah selesai berdandan dan sedang menantikannya, begitu berjumpa ia lantas bertanya, “Kudengar Koko begitu masuk pintu lantas marah-marah, apa gerangan yang terjadi? Dari tadi sampai sekarang kalian bercakap-cakap terus di Kiok-hiang-sia sampai pelayanpun tak boleh masuk, sebetulnya apa yang sedang kalian bicarakan?”

Ho Leng-hong tertawa, katanya sambil menunjuk kotak besi itu, “Apa lagi kalau bukan lantaran benda ini, kakakmu sengaja mengantarnya pulang, begitu masuk pintu ia lihat mereka sedang bermain dadu, langsung saja aku di damperatnya habis- habisan.”

“Ya, memang begitulah watak Koko, dia berangasan dan pemarah, seolah-olah hanya dia sendiri yang suci di dunia ini, Jit-long, kau tidak marah kepadanya bukan?”

“Tentu saja tidak,” Ho Leng-hong tertawa, “kendatipun perkataannya kurang sedap didengar, tapi semuanya demi kebaikanku, apalagi kau hanya punya seorang kakak, kecuali menerima nasihatnya, apalagi yang dapat kita katakan?”

Wan-kun menghela napas panjang, “Ai, tak kusangka kaudapat menyelami perasaannya, bicara sejujurnya, meski kami adalah saudara, tapi umur kami selisih separo lebih, jangankan kau, aku pun agak takut untuk bertemu dengannya.” “Mau menghindari juga percuma sekarang, lebih baik simpan dulu benda itu, perjamuan diselenggarakan di Kiok-hiang-sia, sebentar kita ke sana bersama.”

Ketika menerima kotak besit itu, tiba-tiba air muka Wan-kun berubah serius, bisiknya, “Apa isi kotak ini. ”

“Kitab pusaka dan golok pusaka Yan-ci-po-to!”

“Ah, jadi kita menikah sudah dua tahun lamanya?” kejut dan girang Wan-kun.

“Siapa bilang tidak, kedatangan kakakmu ini justru khusus untuk mengantarkan golok mestika dan kitab pusaka ini.”

Kotak besi itu dipeluk Wan-kun erat-erat, lalu setelah tarik napas panjang ia bergumam, “Waktu sungguh cepat berlalu, dua tahun telah lewat dalam sekejap mata, bila terkenang kembali ketika kaudatang ke Cian-sui-hu untuk melamarku dua tahun yang lalu, rasanya seperti kejadian kemarin saja.”

“Padahal tidak terhitung lama, paling-paling cuma tujuh ratus hari saja,” sambung Ho Leng-hong sambil tertawa.

“Jit-long, tak heran kalau Koko marah-marah, dua tahun belakangan ini kita benar- benar telah menelantarkan pelajaran silat kita, bukan saja kerjamu setiap hari hanya bersenang-senang main judi dan minum arak, akupun tak pernah memikul tanggung jawab dengan sesungguhnya, mulai hari ini “

“Mulai hari ini aku pasti akan mawas diri baik-baik, berlatih ilmu golok secara tekun untuk mencapai kemajuan yang pesat, nah puas? O, isteriku yang bijaksana, jangan lupa kakakmu masih menunggu di Kiok-hiang-sia untuk bersantap malam, kalau kita sebagai tuan rumah tidak lekas ke sana, masa menyuruh sang tetamu menunggu dengan perut lapar?”

“Hm, orang lagi bicara serius denganmu, kau malah cengar-cengir belaka,” omel Pang Wan-kun melotot sekejap ke arahnya.

“Melayani kakak ipar juga terhitung urusan serius, Hujin, kita harus berangkat sekarang.”

Pang Wan-kun segera berbangkit, mengambil kunci dan membuka almari pakaiannya.

“Jangan kau simpan dalam lemari,” Leng-hong mencegah, “golok dan kitab itu adalah pusaka keluarga Nyo kita, sekali-kali tidak boleh hilang.”

“Tempat ini kamar tidur kita, siapa yang berani melakukan pencurian dalam Thian- po-hu kita?”

“Kukira lebih baik berhati-hati, sebab menurut penuturan kakakmu, sepanjang perjalanan katanya banyak orang yang menguntitnya dan berusaha mencuri golok pusaka ini.” “Ah, masa betul begitu?” Wan-kun tercengang.

“Tentu saja betul, justru demi keamanannya, kakak telah menggunakan rantai dan menggembok kotak ini di lehernya.”

“Lantas benda ini harus di simpan di mana baru aman?” tanya Wan-kun sambil celingukan ke sana kemari.

“Lemari besi yang kau pakai untuk menyimpan perhiasan itu kuat sekali, akan lebih aman kalau kita simpan di sana saja. Nah, masukkan ke lemari besi itu untuk sementara waktu.”

Wan-kun manggut-manggut, dia lantas membuka lemari besi di sudut kamar sana.

Dinding lemari besi itu tebalnya empat-lima senti dengan berat ratusan kati, bukan saja ditanam di dinding sehingga hanya pintu lemari saja yang menongol di luar, dari dalam sampai luar pun ada tiga lapis kunci yang sangat kuat.

Tempat sekuat ini hanya ada satu kekurangan, yakni ruang lemari tersebut terlampau sempit, apalagi di situ sudah tersimpan beberapa kotak perhiasan, boleh dibilang sudah tiada tempat lagi untuk menyimpan golok tersebut.

Ho Leng-hong turun tangan sendiri untuk memindahkan kotak perhiasan ke lemari pakaian, kemudian setelah memasukan golok tersebut ke dalam lemari besi, lalu dikunci dan anak kunci itu dimasukkan ke dalam saku sendiri.

“Jit-long, masa akupun tidak kaupercayai?” keluh Wan-kun setelah menyaksikan perbuatan suaminya.

“Bukan begitu maksudku, bukankah perhiasanmu sudah dipindah semua ke almari pakaian? Kau kan sudah tidak membutuhkan anak kunci lagi. Lagipula kuperlukan melatih ilmu golok itu secara tekun, bila kuncinya kubawa, maka setiap saat bisa kulakukan latihan dengan lebih leluasa.”

“Begitupun bolehlah,” Wan-kun tertawa, “golok pusaka itu telah kausimpan sendiri, anak kuncinya berada pula di sakumu, jadi seandainya hilang kan tak ada sangkut pautnya lagi denganku.”

Leng-hong hanya tertawa dan tidak menanggapi. Begitulah bersama Pang Wan-kun berangkat mereka menuju ke Kiok-hiang-sia.

Perjamuan diatur dengan sangat mentereng, hidangan pun amat banyak dan aneka ragam, sayang suasananya agak kaku.

Mungkin hal ini disebabkan selisih umur yang terlampau banyak antara kedua bersaudara Pang, mungkin juga lantaran Wan-kun agak jeri terhadap kakaknya, kecuali dalam sopan santun, hampir boleh dibilang perempuan itu tundukkan kepala belaka.

Pang Goan sendiri mungkin memang berwatak kurang suka bicara, mungkin juga lantaran kuatir golok Yan-ci-po-to, sikapnya amat kaku dan jarang berbicara.

Lebih-lebih Ho Leng-hong, ia kuatir banyak berbicara hanya akan membongkar rahasia sendiri, maka ia makin jarang bersuara.

Pokoknya perjamuan ini berlangsung dalam keadaan kaku dan tidak meriah, setelah minum beberapa cawan arak dan paksakan diri bersantap sedikit, perjamuan pun diakhiri.

Selesai bersantap, minuman teh dihidangkan. Inilah saat yang biasa dipakai untuk membicarakan soal-soal kecil tapi lantaran tiada soal “kecil” yang dibicarakan, maka sesudah duduk kaku sejenak, Ho Leng-hong dan Pang Wan-kun lantas mohon diri.

Pang Goan tidak mengalangi mereka, katanya dengan hambar, “Aku akan berdiam beberapa hari lagi di Lok-yang, pada kesempatan ini kita harus berlatih sebaik- baiknya To-kiam-hap-ping-tin (perpaduan golok dan pedang), Siaumoay (adik) juga harus bersiap-siap.”

“Toako suruh aku ikut pula dalam latihan To-kiam-hap-ping-tin?” tanya Wan-kun.

“Tentu saja, selama dua tahun ini hakikatnya kau tidak melaksanakan kewajiban untuk melakukan pengawasan, sekarang waktunya tidak banyak lagi, kau harus ikut serta dalam barisan ini untuk menutupi kekurangannya.”

Wan-kun hanya mengangguk tanpa membantah.

Setiba kembali di kamarnya, dengan sedih ia mengomel kepada Ho Leng-hong, “Jit- long, coba pikirlah, selama beberapa tahun ini demi mendorong kemajuanmu, aku tak segan-segan menerima tuduhan orang sebagai perempuan judas dari Thian-po-hu, hari ini aku ditegur oleh kakak, bayangkan sendiri apakah aku tak pernah menasihatimu? Mulai hari ini kauharus menuruti perkataanku!”

“Wan-kun, tak usah bersedih hati,” hibur Leng-hong sambil membelai sang isteri, “Toako tidak dapat memahami bagaimana kesenangan seseorang yang baru kawin, sebab itulah kau kena teguran.”

“Kakak ibaratnya pengganti orang tua, aku tak akan murung lantaran didamprat olehnya, aku hanya benci pada diriku sendiri, benci akan nasibku yang jelek hingga suami sendiripun tidak percaya kepadaku ”

“Eh, kapan aku tidak percaya kepadamu?”

“Ai, tak usah disinggung lagi,” Wan-kun menggelengkan kepala berulang kali.

“Tidak, kau harus mengatakan kepadaku, sebagai suami-isteri yang bahagia tak boleh ada rahasia yang disembunyikan dalam hati masing-masing, sebab hal ini sangat mempengaruhi saling percaya antara suami isteri.”

“Ah, aku hanya berbicara seadanya saja, coba lihat, kau lantas menganggapnya serius.” Wan-kun tertawa.

“Wan-kun, jangan bohongi aku, kupercaya ucapanmu muncul cari sanubarimu yang sesungguhnya, tak mungkin hanya bicara main-main belaka.”

“Sungguh, aku tidak apa-apa, kau tak boleh menebak secara ngawur!”

“Supaya aku tidak menebak secara ngawur, harus kaukatakan yang sesungguhnya kepadaku.”

“Jit-long, kenapa kau hari ini? Hanya sepatah kataku yang tidak sengaja kenapa kaudesak terus untuk mengetahui sejelas-jelasnya?”

“Sebab belum pernah kauucapkan kata-kata semacam ini, tentu ada suatu urusan yang tidak berkenan di hatimu sehingga tanpa terasa kau mengucapkan kata-kata seperti itu.”

“Ah, itu hanya sentuhan hati kecil belaka, bukan urusan yang membuat aku tak senang, sudahlah, jangan kautanyakan lagi.”

“Tidak, aku harus tahu, kalau tidak aku tak bisa tidur nyenyak malam nanti.” “Kau sungguh-sungguh ingin tahu?”

“Tentu saja!”

“Harus mengetahuinya?” “Ya, harus mengetahuinya.”

Tiba-tiba Pang Wan-kun tertawa cekikikan, sambil mencolek jidat Leng-hong dengan jari ia berkata, “Tolol, coba lihat betapa kau cemas. Baiklah akan kuberitahukan kepadamu, aku hanya tak enak hati lantaran persoalan sore tadi, maka sengaja kugoda dirimu.”

“Urusan sore tadi? Urusan apa?”

Wan-kun mengerling sekejap dan berkata, “Apa lagi? Tentu saja soal menyimpan golok pusaka tadi, bukan saja lemari perhiasanku kaukangkangi, bahkan anak kuncinya ikut dibawa, bukankah ini sama artinya dengan tidak percaya lagi kepadaku?”

“O, jadi bicara pulang pergi, rupanya kau tak senang hati lantaran persoalan itu.”

“Kenapa?” Wan-kun mencibir, “kau tidak tahu sikapmu pada waktu itu, seolah-olah aku kauanggap sebagai pencuri yang setiap saat bisa melarikan golok rongsokanmu itu, tentu saja aku merasa tak senang hati.” Sambil berkata dengan muka masam dia bangkit dan duduk di ujung pembaringan sana.

Cepat Leng-hong mendekatinya dan berkata, “Sudahlah, jangan marah, tak ada harganya untuk marah lantaran urusan sekecil itu, jangan menaruh curiga apa-apa. Aku mengambil anak kunci itu hanya supaya leluasa saja.”

“Aku adalah isterimu, apakah kurang leluasa bila anak kunci itu aku yang menyimpan? Toako suruh aku ikut serta dalam latihan To-kiam-hap-ping-tin, apakah aku tidak boleh ikut membaca isi kitab pusaka Nyo-keh-sin-to tersebut.”

“Boleh, tentu saja boleh,” Leng-hong tertawa, “Nah, kuncinya ada di sini, sekarang kuminta maaf dan mengembalikan kunci ini kepadamu, tentunya amarahmu bisa mereda buka?”

“Huh, sekarang baru dikembalikan kepadaku, siapa yang sudi?” omel Wan-kun seraya melengos.

Leng-hong sisipkan anak kunci ke balik baju bagian dadanya, lalu tertawa lirih, “Kau tak sudi anak kunci ini, justru anak kunci ini sudi kepadamu, lantas bagaimana baiknya?”

“He, kau cari mampus,” jerit Pang Wan-kun sambil melompat bangun.

Tentu saja Leng-hong tak membiarkan dia kabur sebab anak kunci masih berada dalam baju dadanya, ia harus mengambilkan pula....

Gara-gara ingin mengambil anak kunci, kedua orang lantas bergumul di atas pembaringan.

Maka terdengarlah suara tertawa cekakak dan cekikik, lalu suara napas yang tersengal-sengal, menyusul lampu lantas padam dan.....

Malam begitu indah, begitu hangat, sekalipun hujan badai mungkin akan turun keesokan harinya, yang jelas malam ini hanya ada kemesraan dan kehangatan yang memabukkan.

Malam akan terasa pendek dalam kegembiraan, tapi terasa lewat lebih cepat pada saat-saat yang penuh kehangatan.

Malam lewat dan fajarpun menyingsing pula.

Waktu Ho Leng-hong bangun dari tidurnya, Wan-kun masih tertidur nyenyak. Tubuhnya yang putih halus bagaikan kemala hanya tertutup oleh selapis selimut tipis, rambutnya terurai indah, tubuhnya meringkuk di ranjang dengan senyuman puas masih menghiasi ujung bibirnya.

Anak kunci itu tergeletak di sisi bantal yang berbau harum.

Dengan kasih sayang Leng-hong membelai rambutnya yang halus, lalu anak kunci itu diambil dan perlahan turun dari pembaringan.

Agaknya Wan-kun merasakan gerak-geriknya itu, dengan mata yang masih sepat ia memandangnya sekejap, lalu sambil menggeliat bisiknya, “Jit-long . . . jangan . . . jangan pergi “

Tak tahan Leng-hong, ia membungkukkan badan dan mencium pipinya, Wan-kun tidak bergerak, kembali ia terlelap.

Udara pagi terasa agak dingin, Leng-hong bantu menyelimuti tubuh Wan-kun, kemudian ia sendiri mengenakan pakaian dan berjalan menghampiri almari perhiasan, berjongkok dan memeriksa tanda rahasia yang sengaja ia tinggalkan di pintu almari besi.

Tapi apa yang kemudian terlihat membuat hatinya terkesiap.

Ketika menutup almari besi semalam, secara diam-diam ia telah meninggalkan seutas rambut di celah pintu, tapi sekarang rambut itu sudah rontok dan ada di atas lantai.

Hal ini menandakan semalam setelah ia tertidur ada orang telah membuka lemari besi itu.

Leng-hong segera bangun dan memeriksa semua jendela dan pintu yang ada di ruangan itu, tapi nyatanya baik daun jendela maupun daun pintu semuanya terkunci rapat, tidak berubah sedikitpun.

Tapi kalau tak ada yang masuk ke kamar, siapa yang membuka almari besi?

Cepat Leng-hong membuka semua gembok pada pintu almari besi itu, apa yang ditemukan? Kotak besi berisi golok pusaka yang berada dalam almari itu telah lenyap tak berbekas.

Macam-macam pikiran timbul dalam benaknya, tapi ia pura-pura tidak tahu apa-apa, semua gembok kembali dikunci, almari besi itupun dikunci seperti semula, setelah mengembalikan anak kuncinya ke sisi bantal, ia mengenakan pakaian, membuka pintu, turun dari loteng dan buru-buru menuju ke Kiok-hiang-sia.

Baru sampai pintu taman ia berpapasan dengan Bwe-ji.

Waktu itu Bwe-ji sedang keluar dengan rambut kusut, wajah lesu seakan-akan kurang tidur atau baru bangun tidur. Ia tampak gugup dan kelabakan ketika berjumpa dengan Ho Leng-hong, sambil berdiri dengan kepala tertunduk, bisiknya, “Tuan, kau sudah bangun!”

“Hei, sepagi ini ada apa kau ke taman?” tegur Leng-hong sambil menatapnya tajam- tajam.

Merah jengah wajah Bwe-ji, “Aku.... aku melayani Kuloya di.... di Kiok-hiang-sia. ”

sahutnya tergegap. “Apakah semalam kau. ”

“Kuloya mabuk arak, ia minta hamba tetap tinggal di sana.”

“Ngawur!” omel Leng-hong di dalam hati, dia memberi tanda dan berkata, “Cepat kembali ke kamarmu, bagaimana jadinya kalau ketahuan orang?”

Bwe-ji mengiakan dengan takut-takut, baru saja akan pergi, Leng-hong kembali berkata, “Tunggu sebentar, apakah Kuloya telah bangun?”

“Belum!”

“Apakah terjadi sesuatu di Kiok-hiang-sia semalam?” “Tidak!”

“Bagus sekali!” kata Leng-hong, setelah termenung sejenak sambungnya, “Beristirahatlah dulu, Hujin belum bangun. Urusanmu ini jangan kauberitahukan kepadanya untuk sementara waktu.”

Bwe-ji mengiakan dengan lirih, lalu berlalu.

Sepergi dayang itu, Leng-hong, mendongakkan kepalanya dan mengembus napas panjang, ia pikir, “Di luar saja Pang Goan bicara seperti orang alim, tak tahunya iapun seorang laki-laki bangor, bila aku masuk sekarang, mungkin dia akan kehilangan muka, lebih baik kutunggu sejenak lagi baru ke sana.”

Begitulah, setelah mengambil keputusan ia lantas berganti arah dan berjalan-jalan lebih dulu ke dalam taman.

Sambil berjalan otaknya merenungkan kembali peristiwa semalam, ia menaruh kecurigaan besar atas tercurinya golok mestika, untuk sebelumnya ia sudah melakukan persiapan, coba kalau tidak, tentu penjahat-penjahat itu sudah berhasil.

Ketika terbayang kembali keangkeran Pang Goan sewaktu memberi nasihat, lalu membayangkan pula keadaan Bwe-ji yang mengenaskan, diam-diam ia merasa geli sekali. Anak keturunan keluarga ternama umumnya memang lebih binal, yang benar- benar suci bersih rasanya sangat sedikit.

Sambil berjalan sambil berpikir, tanpa terasa sampailah di sisi batu gunung yang pernah digunakannya untuk duduk bersama Pang Wan-kun. Ho Leng-hong berdiri termenung, ketika teringat kembali adegan waktu itu, diam- diam ia merasa malu.

Terbayang sudah sekian lama ia masuk ke Thian-po-hu secara ajaib, meskipun peristiwa ini terjadi bukan atas kehendak sendiri, tapi kenyataan menunjukkan ia telah menggunakan nama orang lain, mengangkangi isteri orang dan harta kekayaan orang.

Tapi hingga kini ia masih belum berhasil menyelidiki asal-usul para penjahat dibalik persoalan ini, bahkan mati-hidup Nyo Cu-wi, pemilik Thian-po-hu yang sesungguhnya pun tidak diketahui, betapa hatinya tidak merasa malu . . . .

Sementara ia termenung dengan perasaan malu dan menyesal, tiba-tiba dari balik pepohonan sana terdengar suara deru angin yang santar.

Deru angin yang mirip dengan suara sambaran senjata tajam, seperti pula suara tenaga dalam yang dipancarkan.

Dengan langkah yang sangat hati-hati Leng-hong mengitari pepohonan dan mengintip ke sana, maka terlihatlah seorang sedang berlatih jurus silat dengan telapak tangan sebagai golok.

Ilmu yang sedang dilatih orang itu jelas serangkaian ilmu golok yang bersifat keras, di mana telapak tangannya menyambar, angin menderu-deru, daun dan ranting pohon di sekitar sepuluh tombak sekeliling tempat itu sama rontok dan hampir menutupi raut wajah orang itu.

Makin diperhatikan Ho Leng-hong merasa semakin terperanjat, ia tak mengerti siapa gerangan jago lihai yang sedang berlatih kungfu di dalam istana Thian-po-hu ini?

“Siapa yang sedang mencuri lihat di sana?” tiba-tiba orang itu menghentikan latihannya sambil membentak.

Karena ia berhenti berlatih, daun yang berguguran pun ikut berhenti, tapi hal ini justru makin mengejutkan Ho Leng-hong, sebab sekarang ia dapat melihat jelas siapa orangnya.

Ternyata tokoh sakti ini tak lain adalah Pang Goan.

Dengan langkah cepat Leng-hong mendekat ke sana, lalu sapanya dengan nada kaget bercampur heran, “Lotoako, sejak kapan kau bangun?”

“Sebelum fajar menyingsing aku telah bangun dan berlatih ilmu golok di sini, adakah sesuatu yang tidak beres?” Pang Goan balas bertanya dengan heran.

“Kalau begitu semalam Lotoako tidak suruh dayang Bwe-ji menemani tidur di Kiok- hiang-sia?”

“Menemani tidur?!” terbelalak mata Pang Goan, sinar matanya penuh rasa marah, “kau menganggap diriku sebagai manusia macam apa? Sudah belasan tahun aku tak pernah mendekati perempuan, mana mungkin kupaksa dayang adikku untuk menemani aku tidur? Kau anggap aku secabul dirimu?”

“Wah, celaka kalau begitu,” seru Leng-hong tiba-tiba, tanpa menunggu lama ia lantas putar badan dan lari pergi.

“Berhenti!” bentak Pang Goan sambil menghalangi jalan perginya, “sebelum kauterangkan duduknya perkara, jangan tinggalkan tempat ini.”

Terpaksa Leng-hong berkata sambil menghela napas, “Lotoako, kita harus cepat- cepat kembali ke Kiok-hiang-sia, kemungkinan besar golok mestika dan kitab pusaka telah dicuri orang.”

“Mana mungkin?” Pang Goan ikut terperanjat, “sebelum meninggalkan tempat itu sudah kuperiksa sendiri ”

“Wah, kalau begitu lebih celaka lagi, kita harus cepat ke sana,” belum selesai berkata, secepat terbang ia terjang keluar hutan.

Pang Goan melengak, buru-buru ia menyusul ke sana . . . . .

Apa yang mereka duga ternyata benar, laci lemari buku itu sudah kosong, baik golok mestika maupun kitab pusaka itu sudah lenyap tak berbekas.

Dengan gemas Leng-hong berkata, “Tak kusangka kalau Bwe-ji si dayang itu adalah seorang pengkhianat, lebih-lebih tak kusangka ketika kepergok tadi, kulepaskan dia begitu saja ”

Sambil berkata sebenarnya dia hendak memerintahkan para Busu untuk melakukan pengejaran.

Pang Goan meski juga terperanjat, sikapnya tetap tenang, sambil menggoyangkan tangannya ia berkata, “Tak perlu dikejar lagi, sekalipun dayang itu berhasil disusul juga tak ada gunanya, sebab kalau pihak lawan sudah mengatur rencana untuk mendapatkan golok mestika dan kitab pusaka itu, masakah mereka tidak menyiapkan orang lain untuk menerima barangnya. Bila benda tersebut telah mereka dapatkan, sudah pasti barang itu segera dikirim keluar.”

“Tapi barang sudah dicuri, apakah kita hanya diam saja?”

“Tentu saja tidak, bila kita berkaok-kaok dan mengerahkan orang banyak untuk mengusut, bukan saja tidak ada manfaatnya malah merepotkan saja. Kau duduklah lebih dulu dan mari kita pelajari apa yang terjadi, asal apa yang diatur musuh sudah kita pahami, tak sulit untuk berusaha merampasnya kembali barang yang telah hilang. Harus diketahui, semakin kita tidak bereaksi, semakin sulit bagi lawan untuk menduga apa yang akan kita lakukan, dan juga semakin mudah menemukan titik-titik kelemahan mereka.” Ho Leng-hong tak berdaya, ia menarik napas panjang dan duduk kembali.

Pang Goan duduk pula, katanya, “Sekarang ceritakan dulu kejadian ketika kaupergoki Bwe-ji, ceritakan setelitinya.”

Leng-hong manggut-manggut, ia mengisahkan apa yang dialami pagi tadi, iapun menceritakan perundingan rahasia yang sempat disadap olehnya ketika seorang pria dan seorang perempuan sedang berunding di dalam taman baru-baru ini, iapun mengisahkan kejadian sekembalinya ke kamar semalam dan hasil pemeriksaan terhadap lemari besi tadi . . . . .

Pang Goan hanya mendengarkan dengan saksama tanpa memberi komentar apa-apa, setelah Leng-hong menyelesaikan ceritanya, ia baru berkata, “Bila kita tinjau dari kisahmu barusan, bukan saja pihak lawan telah mengetahui gerak-gerik kita, di dalam sini ada pengkhianat, di luar masih ada yang menunggu, itu berarti kecuali kau dan aku, dalam gedung Thian-po-hu ini sudah tidak ada orang ketiga yang dapat dipercaya lagi.”

“Siaute sendiripun mempunyai perasaan demikian, terutama sekembalinya ke kamar semalam, kunci lemari besi itu belum pernah meninggalkan pembaringan, pintu dan jendela pun tak berubah, tampaknya Wan-kun pun tak lepas dari kecurigaan.”

“Wan-kun adalah isterimu dan merupakan adikku pula, mana mungkin dia akan membantu orang luar? Kupikir, orang yang membuka lemari besi itu pastilah Bwe-ji, dia adalah dayang kepercayaan kalian, untuk masuk-keluar kamar bukan pekerjaan yang sukar, tentu dia yang telah membuka lemari besi itu. Setelah mengetahui isi kotak golok adalah benda palsu, maka ia lantas mengintip di luar Kiok-hiang-sia. Ya, tidak seharusnya kuperiksa lagi laci tersebut sebelum pergi sehingga rahasia ini diketahui olehnya.”

“Tapi seandainya ia masuk ke kamarku di tengah malam, tak mungkin aku tidak mengetahui sama sekali.”

Pelahan Pang Goan menggeleng kepala, “Bila sebelum itu ia mencampurkan sesuatu dalam air tehmu, bahkan mencampuri obat dalam arak perjamuan semalam, darimana kau bisa merasakannya?”

Leng-hong tertegun, ia benar-benar tak sanggup menjawab.

Pang Goan kembali berkata, “Oleh sebab itulah barusan kukatakan setiap orang dalam Thian-po-hu ini mungkin tak dapat dipercaya lagi, aku lebih-lebih berani memastikan bahwa orang yang ditugaskan lawan untuk menerima benda itu besar kemungkinan adalah salah seorang di antara kawan berfoya-foyamu, kau mengakui tidak?”

Leng-hong menundukkan kepalanya, bagaimanapun juga dia harus mengakui kebenaran ucapan tersebut.

Pang Goan berkata lebih jauh, “Kalau kitab pusaka itu hilang, untuk sementara waktu kehilangan tersebut tak akan menimbulkan pengaruh apa-apa terhadap kita, karena Po-in-pat-tay-sik (delapan jurus sakti ilmu pemecah awan) adalah ilmu golok keluarga Nyo kalian dan sama sekali tidak mencakup ilmu pedang Keng-hong-kiam-hoat (ilmu pedang kejutan pelangi) Cian-sui-hu kami, kalau melulu Nyo-keh-sin-to atau Keng- hong-kiam-hoat masih belum dapat menandingi kelihayan Hiang-in-hu, untunglah rumus barisan To-kiam-hap-ping yang hendak kita latih bersama belum sampai tercuri lawan.”

Satu ingatan dengan cepat melintas dalam benak Ho Leng-hong, pikirnya, “Kalau didengar dari nada perkataannya ini, jangan-jangan pihak yang memusuhi Thian-po- hu adalah istana Hiang-in-hu di Hu-yong-shia daerah Leng-lam ?”

Baru saja ingatan tersebut terlintas, Pang Goan telah berkata lebih jauh, “Masalah terpenting yang kita hadapi sekarang adalah berusaha mendapatkan kembali golok Yan-ci-po-to yang tercuri, sebab golok ini sudah mempunyai sifat hidup, tajamnya luar biasa, bila sampai diperoleh orang she Hui itu, keadaannya akan mirip harimau tumbuh sayap, untuk mengalahkan dia mungkin kita akan mengalami kesulitan.”

“Bila golok mestika itu sudah mereka dapatkan niscaya orang-orang itu sudah kabur jauh, ke mana kita akan menyusulnya?”

Pang Goan berpikir sebentar, lalu berkata, “Untuk mengatasi persoalan ini, kita harus bekerja secara terpencar, kau selidiki pengkhianat dalam Thian-po-hu, sedang aku menyelidiki pihak luar yang menjadi penadahnya. Sebentar aku akan tinggalkan tempat ini, andaikata Wan-kun menanyakan, katakan saja aku ada urusan penting dan pulang ke Sengtoh.”

“Lotoako bermaksud akan pergi ke mana?”

“Aku pikir, kalau pihak musuh telah menggunakan pelbagai akal dan cara untuk mendapatkan golok mestika dan kitab pusaka itu, maka di sekitar tempat ini tentu telah disiapkan tempat lain untuk mengadakan kontak, begitu barang berhasil didapatkan, dengan melalui saluran penghubung barang itu akan diantar keluar, lalu oleh pihak utusan benda itu akan diteliti, jika terbukti asli mereka akan mencari orang yang sesuai untuk membawa golok itu dan melanjutkan perjalanan, atau paling tidak hingga dewasa ini benda tersebut belum lagi meninggalkan wilayah Kwan-lok.”

Ho Leng-hong manggut-manggut sependapat.

Kembali Pang Goan berpesan, “Sepeninggalku nanti, jangan sekali-sekali kau menunjukkan sesuatu reaksi, segala sesuatu lakukan saja sewajarnya, berpura-puralah seperti tak pernah terjadi sesuatu apapun, bahkan harus berpura-pura rileks dan gembira, kumpulkan semua temanmu berfoya-foya, mau minum arak boleh, mau berjudi juga boleh, pokoknya seorang pun jangan sampai bolos, semuanya harus datang dan berusahalah sedapat mungkin untuk menahan mereka di sini, jangan biarkan mereka tinggalkan tempat ini.”

“O, aku mengertilah akan maksudmu, kausuruh aku menahan mereka agar dapat diselidiki siapa di antara mereka yang paling mencurigakan?”

Pang Goan menggeleng, “Mencari tahu siapa yang paling mencurigakan adalah tugasmu, sedang kepergianku dari Thian-po-hu secara tiba-tiba hanya ingin membuat pihak lawan merasa curiga dan tak berani mengantar pergi golok mestika secara gegabah.”

“Toako, menyuruh aku menyelidikinya dengan cara bagaimana?” “Sederhana sekali, cukup kauperhatikan dua hal.”

“Dua hal bagaimana?”

“Pertama, perhatikan siapa yang datang paling dulu dan siapa yang paling menaruh perhatian pada kepergianku? Kedua, perhatikan sewaktu berjudi, siapa yang pikirannya tak terpusatkan dan siapa yang kalah paling banyak?”

Mula-mula Leng-hong agak melengak, tapi segera ia paham, katanya sambil tertawa, “Toako tak pernah berjudi, tak kusangka pengetahuanmu tentang jiwa penjudi sedemikian dalamnya.”

Pang Goan tertawa, “Orang yang tidak makan kan tidak berarti dia berpuasa bukan?”

“Seandainya orang yang berada di belakang layar adalah orang lain lagi dan susah payah kita melakukan penyelidikan di sini, sedangkan dia telah kabur jauh-jauh dengan membawa golok mestika itu. ”

Pang Goan menggoyang tangan.

“Peduli siapapun dia, sebelum arah tujuanku diketahui dengan jelas, tak nanti mereka berani bergerak secara sembarangan,” demikian katanya “ketika datang dari Cian-sui- hu, kotak golok itu kurantai pada leherku, sekarang benda itu sudah di tangan mereka, mana ia berani bertindak secara gegabah.”

Bicara sampai di sini ia lantas berdiri.

“Bagaimana caraku untuk mengadakan kontak dengan Lotoako?” tanya Leng-hong.

Pang Goan termenung sejenak, kemudian jawabnya, “Setiap pagi dan malam berusahalah mencari kesempatan untuk masuk ke taman sini, aku akan muncul dengan sendirinya untuk bertemu denganmu.”

Leng-hong masih ingin mengetahui hal-hal yang menyangkut musuh pihak Thian-po- hu, tapi Pang Goan telah melompat keluar dan berlalu dengan tergesa-gesa.

Taman di pagi itu masih sunyi, kabut tipis menyelimuti permukaan tanah.

Sepintas lalu Thian-po-hu masih tenang seperti hari-hari biasa, seakan-akan tidak pernah terjadi sesuatu.

Tapi lamat-lamat Leng-hong seperti telah mencium bau amisnya darah di tengah udara pagi yang segar itu, suatu intrik jahat, suatu perangkap besar seakan-akan mulai tersingkap seperti kabut tipis yang mulai buyar itu. Secara aneh dan tanpa disadari ia ikut terlibat ke dalam intrik jahat ini, urusan ini sebenarnya tidak ada sangkut-paut dengan dirinya, kini bagaikan pusaran air telah menyeretnya ke dalam, membuat ia tak bisa menghindarkan diri dan terpaksa harus mengikuti pusaran arus.

Ia tak tahu haruskah dirinya melanjutkan peranan tersebut, tapi perkembangan kejadian di luar serta perasaan ingin tahu di dalam hatinya memaksa pemuda ini mau- tak-mau harus melanjutkan peranannya, sudah terlanjur begini, ia tak dapat melepaskan diri lagi.

Sekembalinya dari Kiok-hiang-sia, baru masuk ke kamarnya, tiba-tiba Ho Leng-hong melenggong.

Pang Wan-kun telah bangun tidur, ia sedang menyisir rambutnya di depan toilet. Orang yang membantunya menyisir rambut bukan lain adalah Bwe-ji.

Besar amat nyali dayang ini, bukan saja golok mestika dan kitab pusaka telah dicurinya, dia juga berani bohong dan memfitnah nama baik Pang Goan, dan ternyata tidak melarikan diri?

Bukan saja tidak melarikan diri, sewaktu melihat Ho Leng-hong, sikapnya tetap wajar seolah-olah tak pernah terjadi suatu peristiwa apapun.

“Selamat pagi Tuan!” demikian sapanya sambil tertawa.

Api amarah segera berkobar, Leng-hong mendengus. Sebenarnya dia hendak mengumbar marahnya, tapi bila teringat pesan Pang Goan tadi, mau-tak-mau dia menahan kata-kata dampratannya.

Pang Wan-kun sedang mengawasi gerak-geriknya dari balik cermin, dengan melongo ia berpaling dan menegur, “Hei, kenapa kau? Sepagi ini kau telah marah kepada siapa?”

Ho Leng-hong duduk di tepi pembaringan tanpa menjawab.

“Hei, apa yang terjadi? Kenapa diam saja?” Wan-kun kembali menegur dengan heran.

Leng-hong melirik Bwe-ji sekejap, tiba-tiba ia menghela napas panjang, dan berkata, “Ai, Toakomu telah pergi!”

“Apa?” seperti tertusuk jarum, Wan-kun melompat bangun, jeritnya melengking, “Toako pergi? Kapan?”

“Baru setengah jam yang lalu.” “Kenapa ia pergi secara tiba-tiba?”

Sekali lagi Leng-hong memandang Bwe-ji sekejap lalu menghela napas pula, “Entahlah, aku juga tak tahu apa sebabnya.”

“Kau tidak bertanya padanya?”

“Sudah kutanyakan, ia hanya bilang ada urusan penting harus diselesaikan di Sengtoh, tapi tidak dijelaskan urusan penting apakah itu.”

“Hei, apa-apaan ini? Susah payah dari Cian-sui-hu yang ribuan li jauhnya datang kemari, ada persoalan penting apa yang lebih penting dari To-kiam-hap-ping-tin? Lagi pula kami baru berjumpa sekali, kendatipun ada urusan penting seharusnya dilaporkan dulu kepadaku. ”

Leng-hong tidak bersuara, ia hanya melirik sekejap ke arah Bwe-ji, dilihatnya air muka Bwe-ji tetap tenang dan sama sekali tidak menunjukkan sesuatu tanda.

Agaknya Pang Wan-kun mengetahui Ho Leng-hong sedang memperhatikan Bwe-ji, ia lantas bertanya, “Bwe-ji, waktu kaulayani Kuloya semalam, apa kaulakukan sesuatu yang membuatnya kurang senang? Kalau tidak, kenapa pagi-pagi benar ia sudah pergi tanpa pamit?”

“Tidak, Hujin, kemarin Kuloya malah mengeluarkan pakaian dari bungkusannya dan menyuruhku untuk mencucinya, ia bilang mungkin akan berdiam cukup lama di sini.”

Sewaktu bicara, air mukanya tidak merah, suaranya tidak gemetar, sikapnya wajar dan biasa, sulit bagi orang lain untuk mengetahui apakah dia sedang berbohong atau tidak.

Tanpa terasa Leng-hong berpikir, “Dugaan Pang Goan tampaknya tidak salah, jelas Wan-kun tidak tahu kalau dayangnya sudah dibeli orang luar untuk mengkhianatinya, sekarang ada baiknya jangan kubongkar dulu kebohongannya, tapi dia mengira aku orang she Ho gampang ditipu, keliru besarlah dugaanmu.”

Maka dia sengaja mengembus napas panjang seraya bangkit berdiri, katanya, “Bagaimanapun jua orangnya sudah pergi, apa gunanya kita menebak alasan di balik kepergiannya. Ai, baru saja kemarin kita berkumpul dan sekarang Toako telah pergi dengan marah. Bwe-ji, perintahkan orang untuk mengundang semua sobat karibku, suruh mereka datang secepatnya, pertemuan kemarin harus dilanjutkan hari ini, jangan lupa, seorangpun tak boleh ketinggalan!”

“Siapa tahu kalau kepergian Toako lantaran marah pada perbuatanmu kemarin, tidak dapatkah kau lewatkan sehari ini dengan tenang?” pinta Wan-kun.

“Ah, beberapa hari ini kehidupanku terasa hambar tak menyenangkan, isteriku sayang, jangan kau siram kepalaku dengan air dingin, izinkan aku bermain sepuasnya hari ini, boleh bukan?” kata Leng-hong sambil tertawa.

“Baik! Baik! Aku tak akan mengurus dirimu lagi, tapi kau harus tahu diri, main sih boleh, tapi jangan lupa, berlatih adalah pekerjaan yang utama,” kata Wan-kun sambil menghela napas dan menggeleng kepala berulang.

“Aku tahu, setelah permainan hari ini, lain waktu aku pasti akan menjaga diri baik- baik dan berlatih kungfu dengan tekun. Bwe-ji, kenapa tidak cepat laksanakan perintahku?”

Bwe-ji mengiakan dan cepat turun dari loteng.

Sepergi Bwe-ji, sambil tertawa cengar-cengir kembali Ho Leng-hong mencumbu Pang Wan-kun, setelah puas baru ia pergi.

Tak lama kemudian, Bwe-ji telah muncul untuk memberi laporan.

Merasa di sekeliling situ tak ada orang, sambil menarik muka Leng-hong segera menegur, “Bwe-ji, kini Hujin tak ada di sini, aku ingin bertanya kepadamu, dalam hal apakah kau telah menyalahi Kuloya sehingga ia pergi dengan marah?”

Dengan mata terbelalak Bwe-ji menggeleng kepala dan menjawab, “Aku aku

tidak . . . . . . . benar-benar tidak ”

“Kenapa pagi-pagi baru kaukembali dari Kiok-hiang-sia? Kenapa secara tiba-tiba Kuloya memutuskan untuk pergi?”

“Tuan, apa yang kau maksudkan?” keluh Bwe-ji dengan bingung, “siapa yang pagi- pagi baru pulang dari Kiok-hiang-sia aku tidak mengerti.”

Leng-hong tertawa dingin, “Aku pergoki sendiri dirimu, kenapa?Mau coba mungkir?”

Mata Bwe-ji terbelalak, rasa kejut dan heran menghiasi wajahnya, ia berkata dengan tergagap, “Kapan Tuan bertemu dengan hamba? Sungguh hamba tidak paham apa yang Tuan katakan?”

“Baik, jika kau menyangkal terus, akan kukatakan terus terang kepada Hujin, ingin kulihat di manakah akan kautaruh mukamu?”

Air mata membasahi wajah Bwe-ji, tiba-tiba ia berlutut, ratapnya, “Perbuatan apakah yang hamba lakukan? Mohon Tuan sudi menjelaskan, hamba sungguh tak tahu.”

“Aku ingin bertanya kepadamu, semalam kau tidur di mana?” “Tentu saja di kamar!” jawab Bwe-ji tanpa pikir.

“Ya, kutahu kau tidur di kamar, yang kutanyakan tidur di kamarmu sendiri ataukah di kamar baca Kiok-hiang-sia?”

Warna merah tiba-tiba menghiasi wajah Bwe-ji, katanya dengan terkejut, “Tuan, kenapa kau berkata begitu? Hamba ” “Kenapa berkata begitu?” tukas Leng-hong, “Hm, justru aku mengetahuinya dari mulutmu sendiri, bukankah kausendiri yang mengatakan padaku ketika kupergoki dirimu di depan pintu taman pagi tadi?”

“Tuan, pagi-pagi tadi kau pergoki diriku di pintu taman? Sungguhkah itu?” “Hm, sungguh atau tidak hanya kau yang tahu, waktu itu rambutmu kusut,

pakaianmu tidak teratur, ketika kutanya padamu datang dari mana, kaubilang Kuloya menyuruhmu menemaninya tidur di Kiok-hiang-sia, benar tidak kejadian ini?”

Bwe-ji tidak menjawab, tapi sambil menutup mukanya meledaklah isak tangisnya.

“Menangis sekarang apa gunanya? Mungkin saja lantaran terlalu banyak minum arak Kuloya telah melakukan hal itu, dan sebagai orang bawahan kau tak berani menolaknya, inipun bisa dimaafkan. Dengan maksud baik kurahasiakan kejadian ini pada Hujin, tapi sekarang kau menyangkal terus, tindakanmu inilah yang tidak pantas.”

Air mata membasahi wajah Bwe-ji, ia menggeleng kepala berulang kali, “Tuan, aku tidak, Tuan pasti salah lihat, aku benar-benar tidak ”

“Sampai sekarang kau masih coba menyangkal?”

“Hamba adalah pelayan Hujin, sekalipun tolol juga tak nanti melakukan perbuatan semacam itu,” kata Bwe-ji sambil menangis, “bila Tuan tidak percaya, tanyalah Siau Lan, semalam hamba berada terus bersamanya, mohon Tuan sudi memeriksa sejelasnya ”

Tampaknya Pang Wan-kun dibuat kaget oleh isak tangis tersebut, ia lari turun dari loteng sambil membentak, “Ada apa? Siapa yang menangis macam setan menjerit?”

“O, Hujin, berilah keadilan bagi hamba,” seru Bwe-ji sambil memeluk kaki Pang Wan-kun. Secara ringkas ia lantas menceritakan apa yang dituduhkan kepadanya.

“Jit-long, apa maksudmu?” kata Pang Wan-kun sambil menarik muka, “Sebagai seorang gadis, yang paling penting adalah kehormatan, kenapa tanpa sebab kau mengarang kejadian yang membingungkan semacam ini?”

“Apa yang kuucapkan adalah sesungguhnya, semua ini kudengar dari mulutnya, justru persoalan inilah Pang-toako pergi dengan marah. Aku hanya ingin mengetahui duduk persoalan yang sebenarnya, aku tidak menyalahkannya, tapi ia menyangkal terus.”

“Tapi setahuku Toako selalu mengutamakan ilmu silat, tak pernah ia bermain perempuan, mana mungkin melakukan perbuatan hal demikian.”

“Tapi hal ini Bwe-ji sendiri yang mengatakan padaku, aku dengan dia tak ada dendam atau sakit hati, buat apa kufitnahnya dengan menciptakan cerita bohong?”

Wan-kun termenung sebentar, kemudian berkata, “Soal ini tidak sukar untuk diselidiki, panggil Siau Lan sebagai saksi.” Tak lama kemudian Siau Lan muncul di situ.

Ketika didengarnya apa yang terjadi, dengan tegas katanya, “Semalam, enci Bwe-ji memang selalu berada bersamaku, ketika tengah malam aku ke kakus masih kulihat ia berada di kamar, pagi tadi akulah yang membangunkan dia untuk membantu Hujin menyisir rambut.”

“Sudah kaudengar sekarang” kata Pang Wan-kun sambil melirik Leng-hong. “Apa lagi yang hendak kau katakan?”

Ho Leng-hong tidak dapat bersuara lagi, dia hanya memandang Bwe-ji dengan rasa bingung.

Ia percaya tak mungkin salah melihat orang, tapi iapun tak bisa menyangkal keterangan mereka, kecuali di Thian-po-hu terdapat dua orang Bwe-ji.

Kalau bukan begitu, tentunya ada orang yang menyaru sebagai Bwe-ji dan membuat kekacauan.

Tapi, bukankah dayang yang bekerja di gedung belakang ada puluhan orang banyaknya, untuk menyaru yang lain jauh lebih mudah daripada menyaru sebagai Bwe-ji, mengapa menyaru sebagai Bwe-ji?

Meskipun tujuannya menyaru sebagai Bwe-ji hanya untuk mempermudah gerak- geriknya, kenapa ia menggunakan “menemani tidur” sebagai dalihnya? Ho Leng-hong benar-benar dibuat bingung oleh teka-teki ini.

Cuma ada satu hal yang diketahuinya dengan jelas, yakni di antara Bwe-ji dan Siau Lan paling sedikit ada seorang sedang berbohong, bahkan mungkin juga kedua- duanya memang berkomplot dan sengaja berbohong . . . . . .

Kebetulan datang laporan dari ruang depan waktu itu bahwa tamu sudah berdatangan.

Cepat Leng-hong menggunakan kesempatan itu untuk meloloskan diri, persoalan mengenai Bwe-ji pun tertunda untuk sementara waktu.

Thian si telinga panjang memang orang yang pandai menyelami perasaan orang.

Maka ia datang paling pagi, begitu mendapat berita, dengan gerakan tercepat ia berangkat ke Thian-po-hu.

Begitu berjumpa, Thian Pek-tat tertawa lebar sampai bibirpun tak bisa merapat, dengan berseri ia berkata, “Kabar ini sungguh merupakan berita yang paling baik, saudara Cu-wi, bicara terus terang, semalam Siaute benar-benar mengusirkan dirimu, bagaimanakah watak kakak iparmu kita sama tahu, permainan kemarin yang dibubarkan itu memang bukan soal bagi kami, tapi sedikit banyak Nyo-heng tentu diomeli. Bagaimana, kalian tidak sampai ribut, bukan?”

“Ah, tidak apa-apa,” Leng-hong tertawa, “paling-paling cuma dinasihati dan didamprat, masa ia akan membunuhku?”

“Syukurlah kalau begitu, siapa suruh dia adalah kakaknya lenso, usianya lebih tua lagi dari kita. Ya, mendengarkan beberapa patah kata nasihatnya juga pantas, nanti kan bosan sendiri.”

“Untuk dia masih ada urusan penting, sejak pagi tadi sudah pamit pergi, mumpung ada kesempatan baik, kita harus lanjutkan permainan kemarin, kita kumpul beramai- ramai selama beberapa hari.”

“Mungkin Thian kasihan kepadaku, kemarin nasibku kurang baik dan kalah tak sedikit, siapa tahu kalau kekalahanku bersama rentenya akan kutarik kembali sekarang?!”

Tiba-tiba ia mengalihkan pembicaraan ke soal lain, lanjutnya, “Eh, jauh-jauh datang dari Cian-sui-hu, tentunya kakak iparmu itu ada urusan penting bukan?”

“Urusan penting sih tidak ada, hanya lantaran sudah beberapa tahun tak bertemu dengan isteriku, maka sengaja datang untuk menengoknya sekedar melepas rindu.”

“Kalau begitu, seharusnya ia berdiam lagi beberapa hari, kenapa ia berangkat lagi secara tergesa-gesa?”

“Siapa tahu?” Leng-hong mengangkat bahu, “pokoknya ia mau datang lantas datang, mau pergi lantas pergi, bergantung pada kemauan hatinya.”

“Siaute ada sepatah kata, mungkin aku berkuatir tanpa alasan, tapi tidak mustahil terjadi, bila kukatakan nanti harap saudara Cu-wi jangan marah.”

“Silakan bicara!”

“Menurut pendapat Siaute, bila kita mau berkumpul dan bersenang-senang, sebaiknya kita ganti tempat lain.”

“Kenapa?”

“Terus terang Siaute agak curiga tentang maksud kakak iparmu pulang ke Sengtoh, seandainya dia Cuma bermaksud mencoba dirimu, pura-pura pamit pulang, tapi tahu- tahu muncul lagi, kami sih tidak apa-apa, tapi Nyo-heng yang akan kena dampratan lagi.”

“Tidak mungkin,” Leng-hong tertawa, “sekali dia berkata akan pergi, tak mungkin kembali lagi, kau tak usah kuatir.”

“Dengan dasar apa Nyo-heng merasa yakin dia tak bakal kembali lagi?”

Leng-hong sengaja berpikir sebentar, lalu bisiknya, “Sebetulnya masalah ini adalah urusan pribadi rumah tanggaku, bila kuberitahukan padamu harap kau jangan menyampaikannya lagi kepada orang lain.”

“Ah, saudara Cu-wi, bagaimanakah hubungan kita selama ini? Masakah kau masih tidak mempercayai aku orang she Thian?”

“Tentu saja aku percaya padamu,” Ho Leng-hong manggut-manggut, “cuma persoalan ini menyangkut kejelekan rumah tanggaku, mestinya tak pantas dikatakan kepada orang luar, aku cuma dapat memberi sedikit berita saja padamu, terus terang saja kakak iparku pergi lantaran malu dengan suatu perbuatan brutalnya.”

“Oya?!” Thian Pek-tat berseru heran.

Leng-hong tertawa, katanya, “Terus terang kuberitahukan kepadamu, ia tertarik oleh seorang pelayanku, tanpa sengaja perbuatannya kupergoki, lantaran malu maka iapun mohon diri secara tergesa-gesa.”

“Ah, sungguh tak kusangka,” kata Thian Pek-tat dengan tercengang, “kelihatannya saja dia begitu serius dan terpelajar, rupanya iapun seorang yang suka begituan.”

“Oleh karena itulah tak usah kuatir, sekalipun dijemput dengan tandu besar yang digotong delapan orang, tak nanti ia punya muka untuk kembali lagi ke sini.”

Sampai di sini, kedua orang itu tak dapat menahan rasa gelinya lagi, mereka mendongak dan tertawa terbahak-bahak.

Dari depan pintu masuk seseorang, dan langsung menanggapi, “Siapa yang bilang aku tak berani kemari, bukankah aku telah datang lagi?”

Yang muncul adalah Kwan-lok-kiam-kek Lo Bun-pin, ia mengenakan pakaian ringkas, tangannya menenteng hasil buruan berupa ayam hutan, kelinci liar, dan lain- lain.

Begitu melangkah masuk segera katanya sambil tertawa, “Pang-lotoa sudah pergi? Inilah yang dinamakan Thian masih memenuhi harapan orang. Siaute lagi berburu, begitu mendengar berita baik ini, tidak sempat bertukar pakaian lagi segera kulari kemari, hasil buruanku ini anggap saja sebagai oleh-olehku, kita harus minum arak dan pesta pora sepuas-puasnya.”

“Saudara Lo, jangan keburu senang dulu,” kata Thian Pek-tat sambil menyongsong kedatangan rekannya, “siapa tahu kalau nasib orang akan berubah pada hari ini, kemarin Lo-heng menang banyak lantaran lagi mujur, siapa tahu kemenanganmu kemarin akan ludes hari ini.”

“Menang atau kalah apa artinya, “Lo Bun-pin tertawa, “asal dapat main, kalah sedikit uang tidak mengapa, daripada kesal di rumah memeluk bini.”

Sementara mereka bercakap-cakap, teman-teman lainnya telah berdatangan, bagaikan setan kelaparan dan setan judi yang baru dibebaskan dari neraka, serentak mereka menarik kursi dan mengatur meja untuk minum arak sambil berjudi. Diam-diam Ho Leng-hong menghitung jumlah anggota yang datar, ternyata yang hadir kemari sekarang juga lengkap, mala ditambah pula dengan beberapa orang yang tak kelihatan kemarin, tentu saja suasana bertambah ramai.

Begitu semuanya sudah duduk, dengan suara lantang Leng-hong berkata, “Adapun maksud Siaute mengundang kehadiran saudara sekalian karena ada dua alasan.

Pertama, tentu saja untuk mohon maaf kepada saudara sekalian atas sikap kasar kakak iparku kemarin. ”

“Kita adalah saudara sendiri, buat apa membicarakan urusan semacam itu?” seru semua orang, “Hei, saudara Cu-wi, kenapa hari ini kau menjadi sungkan-sungkan dengan kami?”

“Meskipun kita adalah sahabat, adat kesopanan tak boleh ditinggalkan. Terutama setelah kukemukakan alasan yang kedua, kumohon kawan-kawan sekalian bersedia memenuhi harapanku ini.”

“Katakan saja terus terang, asal dapat kita laksanakan, siapa yang tidak mau anggaplah dia anak kura-kura,” sahut semua orang lagi.

Ho Leng-hong tertawa, katanya, “Maksud baik saudara sekalian Siaute ucapkan banyak terima kasih lebih dulu, padahal persoalan ini hanya menyangkut persoalan pribadiku, seperti diketahui, jauh-jauh dari Cian-sui-hu kakak iparku telah berkunjung kemari, ia ada pesan dan minta kepadaku untuk mulai berlatih sejenis ilmu silat keluarga, mungkin setelah hari ini kita akan semakin jarang bertemu lagi.”

Karena keterangan ini, gemparlah para hadirin.

Ada di antaranya yang segera berkata, “Yang berlatih biarlah berlatih, yang bersenang-senang boleh bersenang-senang, buat apa Nyo-heng mesti mengurung diri dan menjauhi kawan lama?”

“Antar teman bisa berkumpul dan bersenang-senang bersama, betapa gembiranya suasana seperti ini, sekalipun mau berlatih silat juga tidak harus pantang minum arak dan berjudi?” sambung yang lain.

Bahkan ada pula yang berkata begini, “Saudara Nyo, ilmu silat macam apakah yang hendak kaulatih hingga hubungan dengan para sahabatmu pun harus diputus?”

Begitulah, seketika macam-macam bisikan dan pertanyaan berkumandang memenuhi ruangan, mereka sama menujukan perasaan heran dan ragu.

Traktiran: (7891767327 | BCA A.n Nur Ichsan) / (1740006632558 | Mandiri A.n Nur Ichsan) / (489801022888538 | BRI A.n Nur Ichsan) ataupun bisa melalui via Trakteer yang ada dibawah

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar