Golok Hallintar (Thio Sin Houw) Jilid 15

Jilid 15

Mendengar perkataan Giok Cu Sin Houw menjadi sangat terkejut, pikirnya didalam hati: 

"Jadi, Gin-coa Long-kun suami wanita itu? Jadi, Gin-coa Long-kun ayahnya Giok Cu?" 

Ceng Sam menegakkan  pandangnya,  mendengar perkataan Giok Cu. Dengan menahan luapan marahnya, dia membentak: 

"Toako! Kau sayang kepada anak itu, nyatanya dia berani melawan perintah Jie-ko. Idzinkanlah aku menghajar dia!" 

Ceng It mencoba menengahi, Kata-nya sengit kepada Giok Cu: 

"Kau bilang, Gin-coa Long-kun  itu ayahmu?   Hayo,  kau bawa ibumu masuk ke dalam! Cepat!" 

Giok Cu tak berani membantah perintah pamannya yang tertua. Dengan  memaksa diri, ia memapah ibunya hendak dibawanya masuk ke dalam rumah. Tiba-tiba ibunya Giok Cu  tersadar, perlahan-lahan ia berkata kepada Giok Cu: 

"Katakan kepada anak Sin Houw, bahwa  aku  ingin berbicara esok malam,  Banyak yang hendak kutanyakan kepada-nya." 

Giok Cu memanggut dan segera mendekati Sin Houw. Katanya. 

"Masih ada satu hari lagi. Esok malam  datanglah  ke  sini lagi untuk mencari emasmu. ingin kutahu, kau mempunyai kemampuan atau tidak." setelah berkata demikian, ia mengeringkan matanya kepada Cie Lan.  

Pandangnya sengit, Kemudian ia memapah ibunya  masuk ke dalam. 

"Mari, Lan-moay. Kita pergi saja"  ajak  Sin  Houw  kepada Cie Lan. 

Dengan memanggut kecil, Cie Lan mendahului memutar tubuhnya. 

"Tunggu dulu!" seru Ceng Go dengan  menghalangkan kedua tangannya. "Jawab pertanyaanku satu kali lagi!" 

"Hari sudah larut malam, susiok." sahut Sin Houw dengan membungkuk hormat, "Lain kali aku datang  ke sini untuk memenuhi kehendak susiok." 

"Tidak! Jawab pertanyaanku dulu! Waktu Lim  Beng  Cin mati, siapa yang menyaksikan? Lagipula, di mana dia mati ?" 

Dengan sesungguhnya,  Gin coa Long-kun  bukan sanak keluarga Sin Houw, Tetapi mendengar lagak pertanyaan Ceng Go, ia jadi panas hati. Entah apa sebabnya, Dan  seketika itu juga, teringatlah dia kepada Thio Kun Cu dan temannya yang datang ke gunung Hoa-san hendak mencari warisan Gin coa Long kun, pikirnya didalam hati: 

"Hm... apakah aku tak tahu maksudmu sebenarnya? Kau benci terhadap Gin-coa Long-kun, tetapi hatimu mengincar warisannya. Bagus benar hatimu. walaupun sampai mati, tidak akan aku memberi keterangan kepadamu."   Dan oleh pikiran itu, ia menjawab dengan mengulum senyum: 

"Sebenarnya aku hanya mendengar berita kematian  Gin- coa Long-kun dari tutur-kata seorang sahabat. Kalau tak salah, menurut sahabatku itu Gin-coa Long-kun meninggal disebuah pulau di seberang sungai Tiang-kang, Nama pulau itu sendiri, katanya Beng-to." 

Ceng It berlima saling pandang dengan rasa heran penuh pertanyaan. Mati di pulau Beng-to? Mengapa begitu jauh? 

Sementara itu Sin Houw berkata lagi: 

"Nah, bila susiok  sekalian  ingin  melihat  makamnya, pergilah ke pulau Beng-to Sekarang, perkenankan kami 

berdua beristirahat dulu, karena hari sudah jauh malam. Hawa pegunungan terlalu dingin bagiku." 

"Tunggu dulu!" cegah Ceng Jie. Kedua tangannya dilintangkan menghadang kepergian Sin Houw, seperti perbuatan Ceng Go tadi. 

Tak senang Sin Houw dihadang dengan cara demikian. segera ia menolak lengan Ceng Jie. Tetapi Ceng Jie tidak mau mengerti, dan ia segera menekuk lengannya  lalu mencengkeram, sasarannya mengarah pergelangan tangan. 

Thio Sin Houw tak sudi terlibat  dalam  suatu  perkelahian lagi. Begitu  tangannya  berbenturan,  cepat-cepat  ia menyambar lengan Cie Lan,  Dengan  suatu  isyarat,  ia mengajak Cie Lan melompat melalui hadangan kaki Ceng Jie. Ternyata Cie Lan seorang gadis yang cerdas, ia mendahului melompat dan berhasil melalui hadangan Ceng Jie dengan selamat. 

Ceng Jie jadi panas hati, Tangan kanannya  bergerak meraba pinggangnya, Dan tiba-tiba saja ia  sudah  menggenggam sebatang cambuk lemas yang tadinya dipergunakan sebagai ikat pinggang. 

Cambuk  itu termasuk senjata  andalannya    Dibuat  dari otot 

lembu  yang  kuat  luar  biasa,  karena  terlapis  dengan   logam,  Kedahsyatannya melebihi cambuk yang dibuat dari logam penuh. 

Sebab daya gunanya jauh lebih baik dari pada logam yang sifatnya kaku. 

Kadang-kadang bisa kencang tak ubah sebatang tombak, kadangkala bisa melingkari semacam gaetan setajam pisau cukur. Dan dengan satu  lecutan,  ia  menghantam  punggung Sin Houw yang telah melaluinya. Betapa bahayanya, tak usah dikatakan lagi. 

Thio-Sin Houw mendengar kesiur angin mengejar dirinya, Tanpa menoleh, ia melesat maju  sambil  menyambar  tangan Cie Lan, Kemudian dengan mengerahkan enam bagian himpunan tenaga dalamnya, ia membawa  Cie  Lan  melompat ke atas dinding. Dan cambuknya Ceng Jie menghajar tempat kosong. 

Ceng Jie semakin penasaran. Belasan tahun lamanya ia  telah melatih diri dengan cambuk andalannya, selama itu, tak pernah sasarannya gagal. Tetapi anak muda itu ternyata bisa mengelakkan diri dengan  mudah  saja.  Maka  ia  mengulangi lagi serangannya, kali ini mengarah kakinya Cie Lan yang baru saja mendarat diatas tembok. 

Mendongkol hati Sin Houw yang menyaksikan kelicikan Ceng Jie, Mengapa menghantam Cie  Lan   yang kepandaiannya kalah tinggi? 

Sebat ia mengulur tangan kirinya menangkap  ujung cambuk, sambil ia melindungi  Cie Lan. waktu  itu,  kedua kakinya telah mendarat di atas tembokmaka dengan mengerahkan tenaga, ia menghentak. Ceng Jie kaget bukan kepalang . Sama sekali tak diduganya,  bahwa  Sin Houw mampu menangkap ujung cambukny . 

Ketika melecutkan cambuknya, ia melompat  maju  pula, Kini tiba-tiba kena bentak Sin Houw dari atas tembok. Karena kalah tenaga, ia terangkat naik, kedua kakinya jadi bergelantungan, ia jadi kehilangan tenaga. Tak dapat lagi ia berkutik.   Dalam detik itu juga, ia jadi menyesal atas kesemberonoannya sendiri. Tadinya ia mengira, dengan menjatuhkan Cie Lan dari atas tembok, kedudukan keluarga Cio-liang pay jadi tidak terlalu suram. Tak  tahunya,  ia  kini malah kena digelantungkan diudara, tak ubah seorang persakitan lagi menjalankan hukuman  gantung.  ia mendongkol, panas hati, penasaran , malu dan menyesal. 

Ceng Go menyadari kakaknya dalam  kesulitan,  Cepat- cepat ia melepaskan pisau terbangnya  hendak menolong, Bidikannya mengarah  pada cambuk. sebaliknya Sin  Houw mengira, dirinya akan diserang, Cepat-cepat ia melepaskan ujung cambuk yang berada dalam genggamannya sambil membawa Cie Lan melompat turun melintasi tembok. 

Tepat pada saat itu, sebatang pisau terbang menyambar kearahnya. Dengan gesit ia mendupak selagi melompat, dan pisau itu terpental balik membentur pisau kedua. Trang! Kedua pisau terbang itu runtuh bergelontangan diatas tanah. 

Dalam pada itu, Ceng Jie yang bergelantungan diatas terbanting jatuh ketika Sin Houw melepaskan pegangannya, Tepat pada saat itu, ia melihat berkelebatnya sebatang pisauterbang yang terpental balik kena dupakan  Sin Houw, Kaget ia melencutkan cambuknya. Maksudnya, hendak menggaet sebelum mengancam dirinya, Diluar dugaan, cambuknya telah terpapas kutung. 

Keruan saja hatinya tercekat, Dengan  mati-matian ia merobohkan diri di atas tanah sambil bergulingan justru pada saat itu, kedua pisau yang saling  berbenturan,  meletik memburu dirinya, ia selamat, tetapi tak urung bajunya masih saja kena sambar sehingga menjadi koyak. 

Ia bangkit tertatih-tatih, Mulutnya ternganga. Sama  sekali tak disangkanya, bahwa dalam keadaan demikian, masih Sin Houw mampu mengadakan serangan balasan dengan menggunakan pisau terbang lawan. cambuknya sendiri terpotong menjadi dua bagian sehingga  tak  dapat dipergunakan lagi!  Ceng It kagum bukan main, sampai ia menggeleng- gelengkan kepalanya, juga adik-adiknya pun begitu juga, Kata Ceng Go: 

"Umur anak itu belum  melebihi  duapuluh lima tahun. seumpama dia belajar ilmu sakti selagi  masih di dalam kandungan ibunya, kepandaiannya  pun   tentunya  terbatas pada masa latihannya, tetapi kenapa dia  memiliki kepandaiannya jauh melebihi diriku?" 

Ceng Go yang masih penasaran, tak sudi mengakui keunggulan Sin Houw, ia mencari kambing  hitamnya. Teriaknya: 

"Bangsat Lim Beng Cin yang berkepandaian  tinggi", akhirnya roboh di tangan kita,  Masakan  kita  kini  kalah melawan anak kemarin sore? Besok malam dia datang lagi untuk mencoba mengambil emasnya kembali. Baiklah, besok malam kita mengadakan perlawanan yang sungguh-sungguh!" 

 (Oo-dwkz-oO) 

THIO SIN HOUW dan Cie Lan sudah berada dalam rumah pemondokannya, dengan tak kurang suatu apa. Mereka menyalakan lampu penerangan. Cie Lan memuji dan mengagumi kepandaian Sin Houw tiada hentinya. Katanya. 

"Sin-ko! Ciu suheng  biasanya  memuji-muji kepandaian gurunya, Tetapi kurasa, kepandaian gurunya tak akan bisa menandingi kepandaianmu." 

"Maksudmu, temanmu yang mengawal barang perbekalan?" Sin Houw menegas. 

"Ya." Cie Lan mengangguk, pipinya  kelihatan  agak bersemu merah. 

"Siapa gurunya?" 

"Namanya Ciu suheng  adalah Ciu San  Bin," Cie Lan menjelaskan. "Sedangkan gurunya adalah Tong-pit Thi-suipoa Lauw Tong Seng, waktu mendengar julukannya Tong-pit atau  pit kuningan dan Thi-suopoa atau alat hitung besi, aku tertawa  karena merasa lucu..." 

Thio Sin Houw mengangguk. pikirnya didalam hati: 

"Kalau begitu gurunya San Bin itu adalah kakak seperguruanku yang tertua..." dan  teringatlah  Sin Houw dengan penuturan gurunya selagi mereka masih  berkumpul, yang sempat memberitahukan nama-nama saudara-saudara seperguruannya. 

Pada malam hari ketiga, Sin Houw  meminta  kepada  Cie Lan agar gadis itu menunggu saja ditempat pemondokan. 

Seharian tadi, ia memikirkan tentang kemungkinan- kemungkinannya. Rasanya, lebih baik  apabila  ia  pergi sendirian. 

Dengan demikian, perhatiannya tidak terbagi. Apabila terancam bahaya, tak usah lagi  ia  memikirkan  keselamatan Cie Lan. 

Dilain pihak, Cie Lan  menyadari  kepandaian diri sendiri yang belum ada artinya apabila dibandingkan dengan pihak Ciu-liang pay. Kalau ikut pergi, malahan membuat susah Sin Houw saja. 

Meskipun maksudnya hendak memberi bantuan, kenyataannya jatuh sebaliknya, maka iapun tak membantah permintaan Sin Houw agar menunggu ditempat pemondokan. 

Thio Sin Houw menunggu  sampai larut  malam, setelah  itu ia minta diri kepada Cie Lan dan berangkatlah ia seorang diri, seperti kemarin malam, ia mengambil  jalan  masuk  lewat dinding pagar, setelah berada didalam pekarangan - ia melihat rumah tiada penerangannya sama sekali. suasananya sunyi senyap tak ubah suatu pekuburan. Hati-hati ia mendekati serambi depan dari samping. Tiba-tiba  terdengar  suara seruling mengalun tinggi. 

"Akh! itulah serulingnya Giok Cu, yang agaknya memberi isyarat agar aku datang kepadanya." pikir Sin Houw  didalam hati. "Keluarganya licin dan ganas, tetapi Giok Cu masih mengingat azas persahabatan."  Dengan hati riang dan penuh rasa bersyukur,  Thio  Sin Houw segera melompati tembok pagar mengarah datangnya suara seruling, itulah bukit dengan dengan taman bunga dan rumah pesanggrahannya, yang baru-baru ini pernah mereka singgah dan bersenandung bersama. 

Segera ia mendaki tanjakan,  dan nampaklah dua sosok tubuh sedang duduk diserambi pesanggrahan. Mereka berdua adalah wanita, Sin Houw berhenti  dan  memperhatikan, terpaksa ia harus menunggu sampai bulan bersinar dari balik gumpalan awan,  Dan begitu sinarnya memancar ke bumi, nampaklah seorang di antaranya sedang meniup seruling. 

"Siapakah itu?" pikirnya di dalam hati, Lagu yang dikumandangkan adalah lagu kesayangan Giok Cu, juga gaya dan cara meniup seruling itu adalah gayanya Giok Cu, ia menjadi heran dan curiga, lalu secara berhati-hati ia lantas mendekati. 

"Sin koko!" seru wanita yang meniup seruling itu dengan suara tertahan. 

Thio Sin Houw menjadi  terpukau, itulah suara Giok Cu! Tetapi mengapa seorang gadis? Apakah ia sedang menyamar setelah berdiam sejenak, barulah ia membuka mulutnya: 

"Kau ... kau ... bukankah ?" 

Giok Cu memutus perkataan Sin   Houw  dengan  tertawa geli, Katanya: 

"Mari! sebenarnya aku memang seorang wanita. sekian lamanya aku telah  menipu kau, Maafkanlah  aku,  Sin-koko, Kau tidak marah, bukan?" 

Keterangan Giok Cu ini  menambah  keheranan  Sin  Houw, ia benar-benar jadi terpaku dan  merasa diri  seakan-akan berada dalam suatu impian aneh, Tetapi sedetik kemudian, teringatlah dia akan kelakuan dan sepak terjang Giok Cu perangai dan sifatnya memang perangai  dan  sifat seorang perempuan. ia menjadi geli sendiri, dan rasa curiganya lenyap seketika!  Dengan mengenakan pakaian wanita, Giok Cu nampak cantik luar biasa. Alisnya lentik, matanya jernih bening, pipinya penuh, bibirnya tipis. Dan perawakan tubuhnya langsing semampai. Melihat  kesan demikian, Sin  Houw tertawa geli didalam hati. Pikirnya: 

"Dasar aku tolol! sampai seorang gadis saja tidak segera kukenal." 

"Mari, Sin koko, Kuperkenalkan dengan ibuku. ibu ingin bicara denganmu, kalau kau tidak keberatan." kata Giok Cu menyambut tangan Sin Houw, Dan Sin  Houw membiarkan tangannya terbimbing, justru demikian, wajahnya  terasa menjadi panas, sambil berjalan menghampiri  ibunya  Giok  Cu, ia menarik tangannya perlahan-lahan. Giok Cu pun agaknya tersadar. Dengan  tersipu-sipu ia melepaskan genggaman tangannya. 

"Su-bbuw, perkenalkan diriku Thio Sin Houw," kata Sin 

Houw dengan suara agak kaku. 

Thio Sin Houw membungkuk hormat, dan ibunya Giok Cu segera bangkit dari tempat duduknya. sahutnya: 

"Anak, janganlah memakai adat-istiadat yang berlebih- lebihan, Duduklah." 

Sin Houw mengamat-amati ibunya Giok  Cu.  Kedua matanya merah seperti baru menangis. wajahnya kucal dan  tidak bersemangat. suatu tanda, bahwa  wanita itu dalam keadaan dukacita yang hebat. pikir Sin Houw didalam hati: 

"Nyonya ini pada waktu mudanya  telah   kena  diganggu iblis. Kemudian lahiriah Giok Cu, Kalau begitu, iblis itu adalah Gin-coa Long-kun. pantaslah keluarga Cio-liang pay benci luar biasa terhadap Gin-coa Long-kun, Bahkan nampaknya membenci nyonya ini pula, Tatkala Giok Cu menyebut Gin-coa Long-kun sebagai ayahnya, dia telah dibentak.  

Sebaliknya ketika mendengar kematian Gin-coa Long-kun, nyonya ini lantas saja jatuh pingsan. itulah suatu tanda rasa dukacita yang hebat! Kenapa diantara keluarga Cio-liang pay  terjadi suatu perpecahan? pastilah ada latar belakangnya yang menarik. Mungkin pula menyangkut masalah hubungan antara Gin-coa Long-kun dan nyonya ini. 

Akh, biar bagaimanapun, aku harus berusaha menghibur nyonya ini." 

Setelah memperoleh keputusan  demikian,  ia  menatap wajah ibunya Giok Cu, Tetapi sekian lamanya, nyonya itu tetap mengunci mulutnya, setelah menghela napas beberapa kali, ia berkata memberanikan diri untuk meminta keterangan. Tanyanya: 

"Benarkah dia telah wafat? Anak Sin Houw, apakah kau melihatnya sendiri ?" 

Sin Houw tahu siapakah yang disebut itu, itulah pasti Gin- coa Long-kun, Dan ia memanggut. 

Nyonya itu menatapnya sejenak. pandang matanya berbimbang-bimbang lalu berkata meyakinkan: 

"Anak, kau adalah sahabatnya anak Giok  Cu, Karena  itu, tak dapat aku  bersikap  seperti  sekalian  pamannya. percayalah, aku tidak mempunyai rasa permusuhan terhadapmu. Maka  kuminta  sudilah  kau  menceritakan wafatnya dengan sebenar-benarnya," 

Bagaimana sifat dan perangai Gin-coa  Long-kun, sebenarnya masih gelap bagi Sin Houw, ia hanya mendengar tutur kata kedua gurunya belaka. Menurut kata kedua gurunya, sepak terjang Gin-coa Long-kun sangat aneh serta luar-biasa, Dia boleh digolongkan menusia sesat dan tak sesat. itulah perkataan yang penuh teka-teki. sebab penilaian terhadap Gin-coa Long-kun tergantung  pada manusia-manusia yang pernah mengenalnya.  

Yang merasa dirugikan tentu  saja akan mengutuknya sebagai manusia iblis, sebaliknya yang merasa dilindungi, memujanya sebagai juru selamat, Sin Houw pun mempunyai pendapat sendiri. Kalau kedua gurunya yang dikenal masyarakat sebagai manusia-manusia terkenal aneh  menyebut Gin-coa Long-kun  berperangai  luar biasa, maka sudah dapat dibayangkan betapa hebat sepak terjangnya. 

Akan tetapi, lepas dari persoalan buruk dan  baiknya, sesungguhnya Gin-coa Long-kun memang manusia luar biasa, hal itu dapat dinilai dari warisan ilmu kepandaiannya. Kalau bukan manusia yang memiliki otak cerdas luar biasa, mustahil bisa menciptakan ragam ilmu kepandaian hebat  bukan  main, Sin Houw mengagumi dengan diam-diam. Dan sejak mempelajari kitab warisannya, ia mengakui Gin-coa Long-kun sebagai gurunya yang ketiga didalam hati sanubarinya, itulah sebabnya ia bersakit hati tatkala keluarga Cio-liang pay menyebut dan memaki Gin-coa Long-kun sebagai bangsat.  

Hanya karena belum mengetahui  latar  belakang persoalannya, tak dapat ia mengadakan pembelaan, Benarkah Gin-coa Long-kun seorang bajingan yang pantas dikutuk? 

Kini ia mendengar suara ibunya Giok Cu yang  lemah lembut, Dia bersikap lain terhadap Gin-coa Long-kun, padahal dia dikabarkan terusak  masa  gadisnya.  Tetapi  melihat sikapnya pastilah cerita tentang dirinya adalah khabar isapan jempol belaka. Maka ia memperoleh kesan lain terhadap Gin- coa Long-kun. Dan dengan kesan itu, ia memberikan jawaban atas pertanyaan ibu nya Giok Cu. 

"Sebenarnya, belum pernah aku  bertemu  dengan orangnya. Meskipun demikian perhitungan kami seperti  guru  dan murid. Beliaulah guruku, karena ilmu kepandaianku  ini kuperoleh dari beliau - lebih baik aku menutup mulut mengenai kematian beliau. sebab aku khawatir makamnya akan dirusak oleh tangan-tangan jahat." 

Tiba-tiba ibunya Giok Cu roboh diatas kursinya. Giok Cu melompat dan menggoncang-goncang tubuh ibunya, serunya setengah meratap: 

"lbu ... ibu! Kuatkan hatimu... bukankah ibu ingin mendengarkan keterangan tentang ayah yang sebenamya?" 

Kira-kira sepuluh menit, ibunya Giok Cu roboh dan tak sadarkan diri di atas kursinya, Dan setelah memperoleh  kesadarannya kembali, dia menangis sedih, Ratapnya: "Delapanbelas  tahun  lamanya,  aku menunggu,  setiap hari, 

setiap malam. setiap detik, senantiasa aku berharap  dan berdo'a bahwa pada suatu hari dia akan datang membawa aku dan  Giok  Cu  pergi   dari  rumah  terkutuk   ini.   akhirnya       dia 

sendiri yang telah mendahului isteri dan anaknya, Dan kau      

Giok Cu, anakku. Kau belum pernah melihat wajah  ayahmu, Tak bolehkah aku meratapinya?" 

Sudah terlalu sering, Sin  Houw melihat dan mengalami kepiluan demikian. Tatkala ayah-ibunya dan kedua kakaknya mati dan hilang, betapa sedih hatinya tak  dapat  terlukiskan lagi. 

Karena itu, bisa ia menerima ratap tangis ibunya Giok Cu, Tetapi adalah membahayakan, apabila membiarkannya dalam keadaan demikian. Setidak-tidaknya kesehatannya akan terancam bahaya. 

Katanya menghibur: 

"Su-bouw, sudahlah, jangan diper-turutkan  rasa  hati, Akupun pernah merasakan kerisauan hati  demikian. seumpama aku tak dapat menolong  diri,  pada  saat  ini  tiada lagi Thio Sin Houw didalam dunia. suhu kini sudah tenteram dialam baka, akulah yang mengubur tulang-tulangnya." 

"Kau? Kau yang mengubur tulang-tulangnya?" ibunya Giok Cu mengangkat kepalanya. Dan diantara tetesan air-matanya nampaklah sepercik sinar tersembul diwajahnya, Katanya lagi: 

"Oh, budimu sangat besar. Entah bagaimana caraku kelak membalas budimu itu." 

Setelah berkata demikian, segera ia bangkit dari kursinya. Terus saja ia membungkuk hormat dan  bahkan  hendak berlutut. Keruan saja Sin Houw kaget bukan kepalang, Cepat- cepat ia mencegah. Tetapi ibunya Giok Cu tak mau mengerti, katanya memberi perintah kepada anaknya: 

"Giok Cu, hayo, Kau berlutut kepada anak Sin Houw!"  Dan sebelum Sin Houw dapat berbuat apa-apa, Giok Cu tiba-tiba saja menjatuhkan diri dan berlutut  di hadapan Sin Houw, Cepat-cepat Sin Houw membangunkannya dan membalas memberi hormat. setelah  itu ia mempersilahkan ibunya Giok Cu kembali duduk di kursinya. 

Beberapa saat kemudian, ibunya Giok Cu sudah dapat menguasai diri, ia nampak tenang kembali, lalu mengajukan pertanyaan: 

"Apakah dia tidak menulis surat untuk kami berdua?" Mendengar  pertanyaan   itu,   Thio  Sin  Houw  jadi  teringat 

dengan   bunyi   pesan   Gin-coa   Long-kun,   ia   harus  mencari 

seseorang yang bernama Shiu Shiu, dan  ia diwajibkan memberikan uang  emas  sebanyak  seratus  ribu  keping. Apakah ibunya Giok Cu ini yang bernama Shiu Shiu? 

Menilik bunyi nama anaknya,  Sin Houw jadi menebak- nebak. jumlah uang  emas  itu  bukan  main  banyaknya, siapapun akan mudah tergiur.  Apakah Gin-coa  Long-kun binasa karena harta itu? ia  pernah  memeriksa  peta peninggalan Gin-coa Long-kun, namun tidak begitu menaruh perhatian, karena seringkali manusia mati dan tersesat oleh harta benda. 

Dan sekarang pertanyaan ibunya Giok Cu  seperti menggugah ingatannya. Hati-hati ia minta ketegasan. 

"Maaf, apakah su-bouw yang bernama Shiu Shiu?" ibunya Giok Cu terkejut sekali. 

Wajahnya berubah, dan  sahutnya dengan suara agak menggeletar: 

"Benar, itulah nama kecilku. Dari  manakah  kau mengetahui? siapa yang telah memberitahukan? Akh, ya. pastilah kau mengetahui dari bunyi suratnya apakah  suratnya itu kini kau bawa?" 

Agak tegang keadaan ibunya Giok Cu yang menunggu jawaban dari Sin Houw, pandang matanya seakan-akan tidak berkedip. selagi ia menunggu jawaban, tiba-tiba Sin Houw  lompat melesat ke luar serambi. Tangannya menyambar ke- arah gerombol bunga-bunga yang berada didekat tanjakan. 

Giok Cu dan ibunya menjadi terkejut dan heran. Dengan pandang penuh pertanyaan,  mereka mengikuti gerakan Sin Houw, Kenapa pemuda itu tiba-tiba melarikan diri? Tetapi kemudian terdengarlah suara mengaduh dari balik gerombol pohon bunga, dan muncullah Sin Houw dengan menggusur seorang laki laki yang mati kutu, Dia  dijatuhkan  di  lantai didepan Giok Cu. 

"Hey, Cit-susiok!" seru Giok  Cu heran dengan suara tertahan. 

Ibunya Giok Cu segera mengenalnya  pula,  ia  menarik napas panjang, Kata-nya prihatin kepada Sin Houw: 

"Bebaskan dia, anakku! Di sini tiada seorangpun yang memandang kami berdua sebagai manusia  berharga,  karena itu mereka dengan enak saja main selidik dan main mengintai semua gerak gerik serta pembicaraan kami berdua." 

Suara ibunya Giok Cu terdengar lesu dan patah semangat. Sin Houw segera membebaskan tawanannya dari totokannya dengan sebuah tepukan. Dan tawanan itu yang bernama Thio Ceng Cit, memekik perlahan dan tersadar. Dengan Ceng Cit, belum pernah Sin  Houw mengadu  kepandaian. Dia adalah salah seorang anggauta keluarga Cio-liang pay   yang  tidak hadir pada pertempuran kemarin. 

"Cit susiok!" tegur Giok Cu dengan  bersungut,  "Kami sedang berbicara, kenapa susiok mengintai? Sama sekali Cit susiok tidak menghargai martabatmu sendiri." 

Sepasang mata Ceng Cit terbelalak, ia mendongkol namun tak membuka mulutnya. Dengan  berdiam diri, ia memutar tubuhnya dan melangkah hendak meninggalkan serambi, pengalamannya tadi menyadarkan dirinya,  bahwa  ia bukan tandingan anak muda itu yang dapat mencekuknya dengan sekali sambar. Namun setelah berada beberapa langkah diluar serambi, ia menoleh dan berkata dengan sengit:  "Hey! Kalian yang seharusnya malu terhadap kami, karena kau melahirkan seorang anak tanpa bapak. Huh!  Kau perempuan pandai mencuri laki-laki, Sekarang anak perempuanmu kau ajari pula mencuri laki-laki." 

Itu adalah suatu penghinaan besar terhadap  Giok  Cu berdua. Maka dapat di mengerti, betapa tersinggung rasa kehormatan ibunya Giok Cu dan anak gadis  nya, Giok Cu secara tiba-tiba bahkan telah  menghunus pedangnya dan melompat keluar serambi memburu  pamannya, serunya dengan suara penuh kebencian: 

"Kau bilang apa? Cit susiok, mulutmu kotor sekali!" 

Thio Ceng Cit memutar tubuhnya dan berdiri tegak, siap bertempur. Bentaknya: 

"Apa? Kau hendak melawan kami? Aku datang ke sini atas perintah paman-pamanmu semua, tahu! Kau mau apa?" 

"Jika susiok hendak  berbicara dengan  kami,  bukankah dapat menunggu esok  hari  dibawah  matahari  terang benderang .,.?" Giok Cu balas membentak. , "Kenapa susiok main selidik dan mengintai?" 

"Hemm!" dengus Ceng Cit, Kemudian tertawa mengejek. "Kalian memasukkan orang hutan ke sini, sejarah lama akan kalian ulangi lagi! Delapan belas tahun sudah  nama kehormatan keluarga Cio-liang pay merosot akibat  perbuatan ibu mu. Kau malu, tidak?" 

Giok Cu menjadi pucat mukanya. ia menoleh  kepada ibunya, berkata mengadu : 

"lbu, dengarkanlah perkataannya,  pantaskah ucapan itu keluar dari mulut seorang laki-laki yang kusebut paman?" 

Thio Ceng Cit hendak membalas dengan ucapan sengit, tetapi ibunya Giok Cu mendahului memanggil  anaknya. Katanya perlahan: 

"Giok Cu, jangan layani dia, Dan  kau,  Cit-ko,  Kemarilah.  Aku ingin bicara denganmu."  Ceng Cit mendengus lagi, lalu menghampiri dengan sikap tinggi hati, Shiu Shiu tidak menghiraukan. Katanya kemudian: 

"Kami ibu dan anak, sudah lama  hidup  menderita, Meskipun demikian kami berdua wajib berterima kasih kepada kalian semua saudara-saudaraku, sebab kami berdua masih dibolehkan bertempat tinggal didalam lingkungan keluarga Cio-liang pay. Tentang Lim Beng Cin, belum pernah aku berbicara sepatah katapun kepada Giok Cu. Tetapi sekarang, setelah ayahnya itu sudah meninggal dan selagi kalian mengetahui semua peristiwanya, sudilah Cit-ko menolong aku, menuturkan semua yang Cit-ko ketahui tentang Lim Beng Cin kepada anakku Giok Cu dan  Sin  Houw, sudikah Cit-ko meluluskan permintaanku ini?" 

"Mengapa aku yang harus menceritakan?" tanya Ceng Cit dengan hati men-dongkol, "lnilah urusanmu, inilah perkaramu! Maka kau sendirilah yang sebenarnya   harus  menceritakan asal mulanya. Apakah karena merasa malu, sehingga kau  minta pertolonganku?" 

Chiu Shiu menarik napas,  sejenak  ia  berdiam  diri, kemudian berkata: 

"Malu! Apa yang harus aku malukan ? Kalau aku minta 

pertolonganmu semata-mata karena Cit-ko adalah salah seorang saksi yang pernah berhutang budi kepadanya. Bukankah Beng Cin pernah menolong jiwamu? Hmm, apakah didalam hatimu tiada lagi terdapat nilai-nilai budi seperti kalian anggauta keluarga Cio-liang pay?" 

Mendengar perkataan Chiu Shiu wajah Ceng Cit merah padam, sahutnya dengan sengit: 

"Baiklah! Memang benar, ia pernah menolong  jiwaku. Tetapi kenapa dia  sudi menolong jiwaku? Huh! seorang bajingan seperti Lim Beng Cin mana mau menolong  orang tanpa perhitungan yang matang demi kepentingan diri sendiri 

? Baiklah, biar aku ceritakan semuanya. Memang, kalau kau yang bercerita sendiri, pastilah akan kau tambahi  bumbu- bumbu penyedap!"  Setelah berkata demikian, Ceng Cit mengambil tempat duduk. Kemudian mulailah dia berkata: 

"Kau, saudara Sin Houw dan Giok Cu, dengarkanlah. Aku akan mulai menceritakan mengenai  seorang bajingan  yang bernama Lim Beng Cin. Biarlah aku ceritakan semuanya, agar kalian bisa menilai  dan  mengetahui betapa  jahatnya  si bajingan itu!" 

"Apa? Kau bilang bajingan? Jika kau memburuk-burukkan ayah, tak sudi lagi aku mendengarkan semua perkataanmu l" damprat Giok Cu, dan  kedua telinganya lantas  ditutupnya rapat-rapat. 

"Giok Cu, dengarkan  saja!" kata ibunya. "Ayahmu  kini sudah meninggal dunia. Meskipun ayahmu belum dapat di katakan sebagai manusia baik, namun apabila dibandingkan dengan keluarga Cio-liang pay - nilai budinya beratus kali lipat lebih tinggi." 

"Hemm! jangan lupa, kaupun termasuk keluarga Cio-liang pay." ujar "Thio Ceng Cit dengan tertawa  menghina.  Tetapi Shiu Shiu bersikap dingin. sama sekali ia tidak mengacuhkan ejekan kakaknya. Dan mulailah Ceng Cit bercerita: 

"Peristiwa itu terjadi pada dua puluh tahun yang lalu, waktu itu aku baru berumur duapuluh satu tahun. pekerjaanku membantu susiok Thio Kan Jie mengawal barang dagangan 

..." 

"Huhl Dagangan!" gerutu Giok Cu, "Katakan saja terus- terang, barang rampokan ! Malu?" 

"Giok Cu, jangan usil!" tegur ibunya. 

Wajah Ceng Cit menjadi  merah padam, akan tetapi ia berusaha menguasai diri dan meneruskan ceritanya: 

"Pada suatu hari aku membantu  susiok Thio Kan  Jie mengawal semacam barang di Yang-ciu. Pada malam kedua, aku memperoleh kesempatan untuk bekerja diluar, tetapi aku gagal "  "Coba jelaskan, apakah yang susiok kerjakan pada waktu itu." Giok Cu memutus dengan suara dingin. 

Ceng Cit menjadi gusar. Dengan  hati mendongkol, ia berkata sengit: 

"Baik! Jadi aku harus bicara terus terang? Hem aku 

bukannya kau, Aku seorang laki-laki. Kalau berani  berbuat, mengapa tidak  berani menjelaskan? waktu itu, aku melihat seorang gadis cantik sekali. Dialah puteri Ti-koan di Yang-ciu. untuk mengharap bisa mempersunting gadis  secantik itu, adalah mustahil bagiku. Satu-satunya cara hanyalah mendekapnya ditengah malam dan  memperkosanya. Demikianlah malam itu, aku memasuki kamarnya.  

Diluar dugaan, gadis itu menolak kehendaku  dengan angkuh. Karena  jengkel, ia kubunuh.  Ternyata dia  masih berkesempatan untuk  memekik, dan pekikannya  terdengar oleh para penjaga gedung Ti-koan. Aku terkepung rapat, Dan merasa tidak sanggup menghadapi orang begitu banyak aku 

lantas menyerah " 

Mendengar cerita Ceng Cit, bulu kuduk Sin  Houw merinding, ia heran cara Ceng Cit menceritakan perbuatannya dengan enak saja, Sama sekali tak merasa malu atau menyesal. Mengapa seorang seperti dia bisa kehilangan budi pekertinya? 

"Aku dijebloskan dalam penjara." Ceng Cit meneruskan ceritanya. "Tetapi aku tidak takut, paman Kan  Jie adalah seorang gagah yang berkepandaian tinggi . Tak  ada seorangpun didaerah kami  yang  bisa  menandingi.  Aku percaya asal susiok mendengar kegagalanku ini, pasti ia bakal datang menolong.  

Akan tetapi sepuluh hari sudah aku menunggu-nunggu, susiok tidak juga muncul. sementara itu, surat keputusan mengenai diriku telah datang, Aku diputuskan menjalankan hukuman mati, didalam penjara Yang-ciu itu juga.  Tatkala orang penjaga penjara memberi khabar kepadaku tentang keputusan itu, barulah aku merasa takut "  "Hmm! Aku kira susiok tidak mengenal rasa  takut!"  ejek Giok Cu. 

Ceng Cit tidak menggubris ejekan  keponakannya itu, ia meneruskan ceri-tanya: 

"Tiga hari kemudian, kepala penjara datang menjenguk kamar tempat aku ditahan dengan membawa nampan berisi makanan dan arak, Aku tahu artinya. Esok pagi, aku harus menjalankan hukumanku, Aku tahu, semua orang pasti bakal mati, semua sama, akan tetapi cara mati itulah  yang menakutkan diriku. Akupun masih sayang  kepada  diriku sendiri, aku masih muda dan merasa belum puas mereguk kesenangan.  

Namun, aku berusaha menguatkan dan  mengeraskan hatiku. Makan dan  minuman keras itu, aku sapu habis. Kemudian aku menidurkan diri,  Tepat  pada  tengah  malam, aku tersadar oleh tepukan perlahan pada  pundakku.  segera aku bangkit, dan terdengarlah bisikan ditelingaku: 

"Sst! jangan bersuara. Aku akan  menolong  jiwamu!" "Setelah berbisik demikian, ia menabas belenggu kaki dan 

tanganku dengan pedangnya. Alangkah  tajam pedangnya. Dengan sekali tabas  saja belenggu besi yang  menelikung diriku terpapas putus.  

Setelah itu, ia menarik tanganku, dan aku diajak keluar penjara. sebentar saja, kami berdua telah tiba di luar kota dan berhenti disebuah surau. 

Selama diajak lari, aku menurut saja, Memang  tak  dapat aku berbuat apapun, selain  menurut,  Bukan  main  pesat larinya. Tenaganyapun besar pula, sehingga tak dapat aku melepaskan diri dari tekanan tangannya, Tetapi karena ditarik, aku tidak terlalu lelah. Sesampai di surau itu, napasku tidak memburu, ia melepaskan genggamannya, kemudian menyalakan sebuah lilin, setelah cahaya menyibakkan kegelapan malam, barulah aku dapat  melihat  wajahnya dengan jelas.   Diluar dugaanku, ternyata dia seorang pemuda  yang sebaya dengan usiaku, tadinya kukira seorang tua yang sudah berusia lanjut, menilik ilmu kepandaiannya yang sangat.Tinggi perawakan tubuhnya tegap, wajahnya tampan luar biasa. Dikemudian hari, ternyata ia baru berumur duapuluh tahun." 

Berkata demikian, ia menyiratkan pandang kepada  Shiu Shiu bergantian untuk mencari kesan. setelah itu,  ia melanjutkan ceritanya lagi: 

"Segera aku memberi hormat kepada pemuda itu sambil menyatakan rasa terima kasihku, Hmm. Ternyata dia seorang pemuda yang angkuh dan kepala besar, Sama sekali dia tidak membalas hormatku. Katanya dengan singkat: 

"Aku bernama Lim Beng Cin, Apakah kau salah seorang keluarga Cie-liong pay?" 

"Aku memanggut. Dalam pada itu, aku memperoleh kesempatan untuk  memperhatikan pedangnya yang dapat menabas rantai belengguku dengan mudah. itulah sebatang pedang berwarna hitam, Anehnya, ujungnya terpecah menjadi dua semacam mulut ular." 

Thio Sin Houw diam-diam bersenyum, katanya   didalam hati: 

"Itulah pedang Gin-coa kiam!" 

Ia bersikap membungkam mulut dan membiarkan Ceng Cit melanjutkan ceritanya, Berkatalah orang itu: 

"Kutanyakan tempat tinggalnya, akan tetapi ia menjawab dengan suara menggerutu. Katanya: "Hm, Perlu apa  kau ketahui. Betapapun juga, dikemudian hari kau  tidak  akan merasa berterima kasih kepadaku."  

Mendengar ucapan itu, aku jadi sangat heran.  Pikirku  ia telah menolong jiwaku, untuk seumur hidup, pastilah aku akan selalu mengingat budinya,  Agaknya  ia  mengerti  jalan pikiranku, Katanya lagi: "Aku menolong jiwamu,  demi kepentingan pamanmu yang ke enam, Thio Kan  Jie!  Kau  ikutlah aku!"  "Dengan hati menebak-nebak, aku ikuti dia, ia membawa diriku ke tepi sungai Yang-ho. Dengan  menutup mulut ia melompat keatas sebuah perahu, dan aku mengikuti dibelakangnya, Dengan  suara pendek  ia memberi perintah kepada tukang perahu, agar berangkat mengarah ketimur.  

Aku jadi berlega hati, karena perjalanan itu mendekati jalan lintang yang menuju kemari. Artinya aku tak usah takut lagi kepada tentara negeri yang berusaha mengejarku. 

Lim Beng Cin mengeluarkan sebentuk senjata dari dalam sakunya, senjata itu mirip sebuah cempuling pendek, itulah senjata andalan Liok susiok. Dan melihat  senjata  andalannya itu aku jadi bertambah heran. Biasanya tak pernah Liok susiok berpisah dari senjatanya, kenapa senjatanya berada di tangan penolongku? 

"Semua pamanmu adalah sahabat-sahabat karibku !" kata Lim Beng Cin, diantara suara  tawanya,  ia  tertawa  beberapa kali lagi, Tiba-tiba pandang matanya berubah menjadi bengis. Entah apa sebabnya, aku dihinggapi perasaan kaget  dan  takut. 

"Didalam gubuk itu, terdapat  sebuah peti."  katanya  lagi, "Aku menghendaki agar kau membawanya pulang. Kau serahkan suratku ini kepada ayahmu dan sekalian pamanmu!" 

"Dengan berdiam  diri, aku mengikuti arah telunjuknya, Didalam gubuk, kulihat sebuah peti besar yang tertutup rapat sekali. Kecuali dilibat dengan ikatan tali, terpaku pula. 

"Kau harus membawa peti ini pulang secepatnya.  jangan kau singgah di manapun  juga!" ia berkata. "Peti  ini  harus dibuka oleh tangan ayahmu sendiri !" 

"Aku mengangguk, dan ia memberi pesan: 

"Sebulan lagi aku akan datang ber kunjung ke rumahmu, Berilah kabar kepada ayahmu dan semua pamanmu yang kau hormati, agar menyambut kedatanganku dengan baik!" 

"ltulah ucapan yang tak keruan juntrungnya, Meskipun demikian, aku tanggapi dengan hati lega. setelah ia memberi  pesan demikian, sekonyong konyong ia menyambar galah penggayuh dan  dengan sekali menancapkan penggayuh  di atas permukaan air, ia melompat tinggi diudara dan mendarat ditebing sungai dengan selamat." 

"Bagus!" seru Giok Cu tanpa merasa. 

"Hmm!" dengus Kan Jie dengan mendongkol. Dan tiba-tiba ia meludahi lantai serambi. "Bajingan itu memang gesit dan tenaganya besar luar biasa. Tetapi  gerak-geriknya  benar- benar sukar kuduga, Barangkali  ia  keturunan  malaikat terkutuk." 

Tak usah dikatakan lagi, ucapannya membersit dari hati yang mendongkol. Tetapi baik Shiu Shiu maupun Giok Cu, bersikap acuh tak acuh, Mereka seolah-olah tidak mengetahui keadaan hati Ceng Cit, 

"Waktu itu, kupandang dia sebagai penolongku." Ceng Cit meneruskan ceritanya . "Melihat pandang matanya yang tajam dan bengis,  rupanya dia sangat membenci aku, Meskipun demikian, aku tak mau percaya kepada penglihatanku sendiri. Mungkin sekali memang demikian perangainya. sebab biasanya, seseorang yang berkepandaian tinggi mempunyai kelakuan yang aneh.  

Karena itu, aku tidak terusik oleh pandang matanya yang bengis, setelah mendarat segera aku membawa peti besar itu pulang. Se-panjang jalan aku sibuk  menduga-duga,  tentang  peti yang kupanggul di atas pundakku. Alangkah  beratnya! pastilah isinya emas, atau perak, atau mungkin permata yang tak ternilai harganya . Tentunya, inilah harta benda  berkat usaha Liok susiok. Aku percaya pula,  bahwa  semua  paman dan ayahku akan menyambut kedatanganku dengan girang.  

Dan pastilah  mereka akan memberi sebagian harta  itu kepadaku sebagai hadiah, dan karena keyakinan itu, aku jadi bersemangat dan girang bukan kepalang. ternyata dugaanku tidak meleset sama sekali. Ayah dan  sekalian  pamanku memuji diriku setinggi langit. Kata mereka, baru  pertama kali aku keluar rumah, namun sudah memperoleh hasil yang tidak  tercela." 

"Siapa bilang, paman tercela..?" potong Giok Cu dengan suara mengejek. "setelah membunuh seorang gadis remaja  - kau pulang dengan membawa sebuah peti besar.  Mustahil kalau paman bukan kekasih malaikat." 

"Giok Cu, diam!" tegur  ibunya.  "Dengarkan  cerita pamanmu baik-baik." 

Ceng Cit sendiri tidak melayani ucapan keponakannya, ia melanjutkan ceritanya: 

"Malam itu kami berkumpul di pa-seban, Ayah menyuruh kami semua menyalakan penerangan  sebesar-besarnya. setelah itu, empat orang pelayan menggotong  peti  besar  itu dan ditempatkan di tengah-tengah  ruangan.  Ayah  duduk dengan didampingi oleh empat isterinya. 

Dengan satu isyarat mata, segera aku melepaskan  ikatan tali yang melibat peti besar itu, setelah  itu, semua pakunya kucabuti seluruhnya. 

"Masih segar dalam ingatanku, ketika aku mencabuti paku- paku itu, paman tertawa geli, Katanya diantara ter-tawanya: "Sebenarnya, gadis manakah yang  memikat Kan  Jie sehingga ia jadi lupa daratan? Dia hanya menyuruh seorang bocah membawa pulang petinya, Mari! Mari kita lihat mustika apakah yang dikirimkan pulang ini!" 

"Segera aku membuka tutup  peti,  dan  aku menemukan sepucuk sampul yang bunyinya begini:  Dipersembahkan kepada seluruh keluarga Cio-liang pay."  

Indah bentuk huruf-hurufnya. Terang sekali, bukan tulisan Liok susiok. Maka surat itu kuserahkan kepada paman tertua." 

"Kau maksudkan Kan Cing susiok?" potong  Shiu  Shiu. Ceng Cit manggut membenarkan dan meneruskan 

ceritanya: 

"Toa susiok menerima surat itu, akan tetapi ia tidak segera membukanya untuk dibaca.  sebaliknya ia memberi perintah  kepada isterinya Liok susiok, agar  membuka  bungkusan terlebih dahulu yang berada didalam peti besar. Bungkusan itu terjahit rapih, Kata Toa susiok kepada Cit subo: 

"Silahkan kau menggunting semua benangnya." 

Heran aku mendengar perintah Toa susiok. Kenapa  dia  perlu bertindak begitu cermat? sementara itu  Cit-subo mengambil gunting. Dan setelah menggunting benang-benang pengikat, dengan kedua  tangannya  ia  membawa  bungkusan itu kepada Toa susiok. 

"Mari kita lihat apa isinya!" kata Toa susiok sambil menjengukkan kepalanya. 

"Temyata isi peti itu adalah mayatnya Liok susiok!" kata Ceng Cit. 

"Dengan cekatan, Liok subo membuka tutup bungkusan. Tiba-tiba menyambarlah delapan atau sembilan  anak  panah dari dalam bungkusan..." 

Giok Cu kaget sampai  memekik  ketika  mendengar peristiwa itu, sebaliknya Sin Houw sama sekali tidak heran. Teringatlah dia, akan pengalamannya di dalam goa dulu, itulah kepandaian dan ciri Gin-coa Long-kun membuat jebakan. 

"Syukurlah, aku tidak terburu napsu." kata Ceng Cit memuji diri sendiri . "seumpama terburu napsu, dengan membuka bungkusan itu, maka akulah  yang akan mati terjengkang,  sebab sembilan batang anak panah itu terbagi dalam  dua jurusan, yang  empat batang langsung  membenam di  dada Liok subo, dan yang lima batang lagi menembus perut Toa susiok. Hebat  racun anak panah itu  -  hampir  berbareng, mereka berdua roboh ke lantai tanpa bersuara. Darah yang mengalir berubah  menjadi  hitam. Dan mereka berdua mati tiada berkutik lagi " berkata demikian, Ceng Cit menoleh 

kepada Giok Cu. Katanya dengan suara mengandung dendam dan ejekan: 

"Itulah   perbuatan   ayahmu.  Bagus, bukan?  Hemm dan 

gemparlah   seluruh   ruangan.    Jie   susiok   dan  Sam   susiok  serentak mengawasi aku. Mereka menduga buruk diriku, dan memerintahkan aku membuka bungkusan besar itu, Dengan terpaksa aku mematuhi perintah itu.  

Namun tak berani aku menghampiri atau mencoba meraba bungkusan besar itu, aku berdiri jauh-jauh dan membuka penutup bungkusan dengan menggunakan gala bambu. Ternyata kali ini tiada sebatang anak panahpun yang menyambar. Dan, tahukah kalian apakah isi bungkusan itu?" 

"Apa isinya?" Giok Cu balas menanya. 

Tiba-tiba wajah muka. Thio Ceng Cit menjadi   merah padam, nampak sangat bengis.  Dengan  suara nyaring ia memekik: 

"ltulah mayatnya Liok susiok!" 

Giok Cu terkejut, Parasnya pucat. itulah berita yang sama sekali tak di duganya. Dan melihat kepucatan wajah Giok Cu, ibunya merangkulnya. Dan beberapa saat lamanya mereka berdua berdiam diri. 

"Nah, kejam tidak perbuatan itu?" seru Ceng Cit. "Sebenarnya, sudahlah cukup dengan membunuhnya saja, Mengapa perlu membungkus mayat Liok susiok demikian rapi untuk dikirimkan pulang kehadapan  sekalian keluarga  Cio- liang pay? Kenapa? Coba jawab!" 

"Benarkah kau tidak dapat menjawab  pertanyaanmu sendiri?" jawab Shiu Shiu, "Benar-benarkah kau tidak mengetahui apa sebabnya ia sampai  berbuat  demikian terhadap keluarga Cio-liang pay?" 

Ceng Cit mendengus. Air mukanya berubah merah padam lagi, akhirnya ia berkata: 

"Anggap saja aku memang tidak  mengetahui.  Dan  kau yang maha tahu, coba jawab pertanyaanku itu!" 

Shiu Shiu melemparkan pandang ke udara bebas yang penuh dengan bintang-bintang dan  sinar bulan.  Hatinya  nampak tertawan, dan lambat-lambat ia meruntuhkan  pandangnya kepada alam sekitarnya. Kemudian kepada Giok Cu. sambil membelai rambut anaknya, ia berkata: 

"Sekarang, biarlah aku yang meneruskan cerita pamanmu. waktu itu, umurku satu tahun lebih tua dari usiamu sekarang. Akan tetapi sifatku masih kekanak-kanakan. Aku kosong dari segala masalah hidup, seluruh keluarga memanjakan diriku. segala permintaanku pasti dikabulkan,  

Tetapi kutahu, seluruh anggauta keluarga Cio-liang pay adalah sekumpulan manusia-manusia jahat, semua bentuk kejahatan pernah  mereka lakukan.  Karena itu, aku  tidak senang terhadap mereka. itulah sebabnya , sama sekali aku tidak bersedih hati tatkala melihat jenazah Liok susiok, aku hanya heran. Kukenal ilmu kepandaian Liok  susiok.  Dialah yang tertinggi diantara saudara-saudaranya, bagaimana dia dapat dibinasakan?  Aku  bersembunyi  dibelakang  punggung ibu, tak berani aku  berbicara  sepatah  katapun.  Ayah mengambil surat yang berada ditangan Toa susiok, beginilah bunyinya: 

"Kukirimkan mayat saudaramu ke sini, terimalah dengan rasa syukur! Dia memperkosa kakak perempuanku, kemudian dibunuhnya. Dia pun membunuh ayah-bunda dan dua kakakku lagi, Jadi semuanya lima orang, yang hidup tinggal  aku seorang diri, karena kebetulan dapat meloloskan diri, Dan hiduplah aku sebatang  kara dari tempat ke tempat.  Kini, barulah aku muncul kembali dalam pergaulan. 

Hutang darah harus terbayar Aku harus menuntut balas sepuluh kali lipat. Dan hatiku baru puas, Karena keluarga Cio- liang pay hutang lima jiwa, maka aku harus membunuh lima puluh jiwa dan memperkosa sepuluh anggauta wanitanya, Karena itu, bersiagalah! 

"Peristiwa itu merupakan lembaran sejarah hidupku yang baru, sehingga bunyi  surat Lim Beng Cin  yang menggemparkan terukir kuat dalam ingatanku. selama hayat masih dikandung badan takkan tercicir walau sepatah katanya pun..."  Sin Houw jadi teringat nasib  sendiri.  Kalau begitu jalan hidup Gin-coa Long-kun sama dengan sejarah hidupnya. 

Diapun kehilangan ayah-bunda dan dua saudara- sekandung. 

"Cit-ko, benar tidak perbuatannya Liok susiok? Dia membunuh seluruh keluarga Lim Beng Cin atau tidak?" kata Shiu Shiu kepada Ceng Cit. 

Ceng Cit tidak menjawab. ia hanya memanggut. Tetapi setelah memanggut, tiba-tiba meledak: 

"Kami semua hidup sebagai laki-laki,  Merampas, merampok, membakar rumah atau  membunuh  adalah pekerjaan laki laki, Kenapa aku harus memungkiri perbuatan Liok susiok? ia melihat gadis cantik, hatinya tertambat tetapi gadis itu mungkin tak mau mengerti pastilah  dia  menolak ajakan Liok susiok yang bermaksud baik.  Dia  menyakiti  hati Liok susiok, sebelum diperkosanya, Kalau Liok susiok sampai membunuhnya, itulah sudah semestinya." 

"Kenapa yang lain-lain dibunuhnya pula?" damprat  Shiu Shiu, 

"Kau anak kemarin sore, tahu apa?" Ceng Cit setengah memaki. "ltulah justru merupakan suatu bukti, bahwa  Liok susiok terlalu disakiti hatinya." 

"Eh, enak saja susiok berkata begitu." gerutu Giok Cu, "Sesudah memperkosa, lantas main bunuh!" 

"ltulah laki-laki!" sahut Ceng Cit dengan suara gagah. Kemudian ia menyambung cerita Shiu Shiu: 

"Setelah membaca suratnya Lim Beng Cin, ayah tertawa berkakakan, Kata ayah: "Jadi, dia hendak datang ke sini...? Bagus! Dengan begitu, kita tidak perlu bersusah-payah mencarinya?" Dan pada hari itu juga, ayah mulai bersiap siap.  

Ayah cermat sekali. Pada malam hari,  seluruh keluarga diwajibkan berjaga dengan bergantian. Malah pada hari berikutnya ayah perlu memanggil kedua pamanku lagi yang  berada di lain tempat. 

"Kedua susiok itu, yakni  Cit susiok dan  Pat susiok, sebenarnya mereka  berdua  merupakan  orang-orang  sakti yang tiada bandingnya di dunia ini." Ceng Cit menyambung dengan suara bangga. "Tetapi Lim Beng Cin benar-benar tak ubah iblis. Entah bagaimana  caranya ia bisa mengetahui maksud ayah memanggil kedua pamanku itu,  Tiba-tiba  saja  dua orang utusan ayah, disergapnya di tengah jalan dan dibunuhnya.  

Dan sejak itu, ia muncul seperti malaikat dan menghilang seperti iblis. Setiap malam ia masuk ke dalam rumah kami dan mula-mula mencuri lima puluh batang  arit  dan  dengan  arit  itu ia membunuhi keluarga kami. Kadang-kadang  satu malam sampai sepuluh orang. Mereka mati dengan dada membenam arit, Maka tahulah kami, apa sebab ia mencuri lima puluh arit  itu.  

Rupanya ia hendak membuktikan ancamannya, bahwa ia perlu menbunuh limapuluh orang keluarga kami demi memuaskan hatinya. Dan sebelum limapuluh orang terbunuh ditangannya, ia tak akan berhenti  mengancam  kedamaian hidup kami." 

"Jumlah seluruh keluarga Cio liang pay lebih dari seratus orang, Masakan tak dapat melawan seorang saja?" kata Giok Cu. 

"Soalnya, dia tak pernah memperlihatkan diri." sahut Ceng Cit, "Dia main sembunyi seperti iblis, gerak-geriknya tak ubah seekor kucing mengintai  sarang tikus. ia menunggu  dan menerkam korbannya apabila kebetulan memencil, Keruan saja, ayah gusar bukan kepalang.  

Dalam kesibukannya, ayah  mengundang   belasan pendekar pada setiap malamnya, dengan dalih sedang mengadakan pesta. Dengan begitu, setiap malam kami mengadakan pesta makan minum, Berapa banyak harta yang telah dihamburkan, sudah tak terpikirkan lagi, Ayahpun menyebarkan surat-surat pengumuman untuk menantang Lim  Beng Cin bertempur dengan terang-terangan agar memperoleh keputusan.  

Akan tetapi Lim Beng Cin membuta dan tuli, sama sekali ia tak menggubris tantangan ayah, Karena itu satu-satunya jalan hanyalah mengundang  para pendekar sebanyak banyaknya dengan melalui pesta pora, Dan agaknya Lim Beng Cin takut melihat hadirnya demikian banyak pendekar.  

Setengah tahun lamanya, ia tidak pernah muncul lagi, dan para pendekar undangan ayahpun  mulai  berpamit pulang seorang demi seorang. 

"Tetapi begitu rumah kediaman kami kembali sunyi sepi, kakak kami yang tertua, dan dua orang saudara sepupu kami terdapat mati didalam kamarnya. Dan keesokan harinya, tiga kemenakan kami, mati tenggelam didalam  kolam, Di tubuh mereka masing-masing membenam sebatang arit,  Benar- benar bajingan itu pandai menguasai diri. ia bisa menunggu kesempatan dengan sabar sampai setengah tahun lamanya. Dan sejak itu, setiap sepuluh hari sekali pasti ada seorang diantara kami yang jadi korban balas dendam Lim Beng Cin. 

"Tukang peti mati sampai kehabisan persediaan.  Maka terpaksalah kami membeli peti-peti mati dari luar kota. Tentu saja, kami kabarkan bahwa di dusun kami sedang terserang penyakit menular yang dahsyat. Dan  untuk  mengakali penduduk, ayah perlu membuat selamatan yang maksudnya untuk mengusir setan penyakit menular itu!" 

"Waktu itu, seluruh dusun gempar karena rasa takut." Shiu Shiu ganti bercerita. "Betapa ayah berusaha untuk menutupi kejadian yang sebenarnya  namun lambat laun tersiar juga. seketika itu juga, penduduk lantas pada mengungsi  kedesa- desa terdekat. Dengan  demikian, ayah tidak mempunyai pengharapan lagi untuk bisa memperoleh tenaga peronda.  

Dan terpaksalah anggauta keluarga meronda dan berjaga- jaga diri pada siang dan malam hari secara bergiliran seperti dahulu. Anggauta anggauta wanita dan kanak-kanak disembunyikan didalam rumah tertentu yang di jaga rapat.  Kami tidak diperkenankan meninggalkan pintu rumah selangkahpun. 

"Meskipun demikian, pada suatu malam dua iparku lenyap tak keruan." sambung Ceng Cit  dengan  gigi  bercatrukan. "Kami semua menduga bahwa kedua iparku itu  pasti  telah  mati di tangan si bajingan. Eh, diluar dugaan selang satu setengah bulan, mereka berdua  mengirim surat dari kota Yang-ciu. Ternyata mereka berdua telah dijual oleh si bajingan kepada tengkulak perempuan, tegasnya, mereka  harus melayani tetamu laki-laki tiap malam dua puluh tetamu.  

Dapat dibayangkan betapa menderita kedua  kakak  iparku itu. Mereka disekap setiap harinya " 

Mendengar tutur kata Ceng Cit hati Sin Houw jadi bergidik. pikirnya didalam hati: 

"Hebat cara pembalasan dendam Gin-coa Long-kun, Memang, ia harus membalaskan sakit hati ayah bunda dan ketiga kakaknya. Akan tetapi penyebabnya sudah kena dibinasakan, seharusnya tak perlu lagi ia merajalela begitu mengerikan " 

Sambil menghela napas, Ceng It melanjutkan ceritanya: "Kedua kakakku mendongkol bukan main mendengar 

berita itu, oleh rasa mendongkol dan sakit hati, mereka berdua sampai jatuh pingsan. Ayah tak dapat berbuat suatu apa kecuali mengirimkan uang tebusan  kepada  tengkulak perempuan tersebut, agar membebaskan kedua menantunya. 

"Dua tahun lamanya kami dirusak kedamaian  hati  kami. Dan yang membuat kami mendongkol, setiap tiga  bulan sekali, ia mengirimkan surat perhitungan dan peringatan seakan-akan kami mempunyai hutang yang wajib kami bayar. 

Dalam waktu dua tahun itu, sudah berjumlah empatpuluh tiga orang, Dengan begitu, dia masih menagih tujuh jiwa lagi   

"Kami keluarga Cio-liang pay biasanya malang melintang tanpa tandingan sejak puluhan tahun yang lalu, Baik penduduk maupun penguasa setempat tak berani mengganggu gugat  sepak terjang kami.  

Tetapi sekarang, kami dipermainkan oleh seorang  lawan saja yang benar-benar bisa membuat hati  kami  sedih,  lelah dan gelisah. Menuruti hati,  kami ingin menuntut balas pula secepat cepatnya agar memperoleh penyelesaian.  

Akan tetapi bangsat Lim Beng Cin adalah seorang musuh yang sangat licin dan gagah. Ayah dan beberapa paman kami, pernah bertempur seorang demi seorang. Ternyata mereka bukan tandingan Lim Beng Cin yang memang berkepandaian tinggi luar biasa. 

"Kami semua jadi putus asa. Rasanya, tiada sesuatu yang dapat kami lakukan, kecuali menunggu  datangnya maut, akhirnya kami bersepakat untuk  membuat pembelaan diri dengan cara bergabung. Akan tetapi asal kami sudah bersiaga dan membuat penjagaan rapat, ia tak pernah muncul sampai berbulan bulan lamanya.  sebaliknya, bilamana  lalai  sedikit saja, tiba-tiba ia muncul kembali dan membunuh jiwa kami. 

Demikianlah, setelah melampaui masa dua tahun,  hutang jiwa kami tinggal tujuh orang. Nah, Giok Cu. cobalah jawab secara terus terang! Layakkah kita apabila kita membencinya? pantas atau tidak, kita mengusiknya sampai tujuh turunan!" 

"Kemudian bagaimana?" tanya Giok Cu mengelakkan pertanyaan pamannya. 

"Biarlah ibumu saja yang meneruskan." sahut Ceng Cit dengan suara lesu. 

Thio Sin Houw mengalihkan pandang kepada Shiu Shiu, wajah ibunya Giok Cu itu nampak berduka. seperti menahan suatu penyakit dada, ia berkata perlahan: 

"Anak Sin Houw, kau telah merawat dan mengubur jenazahnya, Biarlah aku berkata terus terang saja mengenai hubungan kami. Rasanya tiada  perlunya untuk menyembunyikan sesuatu hal, Hanya saja, setelah selesai aku menceritakan sejarah hubungan kami, tolong kau kabarkan sebab-sebabnya ia meninggal.   Dengan begitu kami, ibu dan anak  jadi  mengerti keadaannya yang sebenarnya. Dengan begitu " 

Shiu Shiu tak dapat menyelesaikan perkataannya. ia menangis sedih sekali, sehingga perkataannya tertunda beberapa saat lamanya, setelah hatinya lega, mulailah dia berkata lagi: 

"Waktu itu, aku tidak mengetahui sebab-sebabnya  kenapa dia demikian kejam terhadap keluarga kami. Bahkan aku tidak ingin  mengetahuinya. Ayahpun   juga  membungkam terhadapku. Ayah hanya melarang aku keluar dari pekarangan rumah, meskipun hanya selangkah. Karena ayah tidak memberikan penjelasan, aku jadi masgul.  

Kenapa ayah mendadak saja menawan diriku? Meskipun ayah berusaha menemaniku dengan beberapa iparku, namun hatiku merasa tersiksa. Sebab aku hanya diperkenankan bermain-main didalam taman saja yang berukuran kecil. 

"Pada bulan ketiga, tibalah musim bunga. Tamanku ini penuh dengan bau harum yang segar.  Hatiku  tak  terkendali kan lagi karena ingin menjenguk bunga tanamanku. Tetapi karena sepak terjang Lim Beng Cin yang ganas, terpaksa aku bergulat mengatasi gejolak hatiku.  

Aku harus menyekap diri didalam rumah, pada suatu  kali aku ingin membolos seorang diri, akan tetapi teringat betapa sungguh-sungguh ayah melarangku keluar rumah maka aku 

batalkan niatku itu. 

"Pada suatu hari, aku bermain-main didalam taman bunga dengan dua orang iparku yang menempati kamar ke tiga dan kelima. Pamanmu, Ceng Cit dan Ceng Pat  ikut  pula menemani. Jadi kami jumlah lima orang. Aku tertarik kepada permainan ayunan, sebab bila aku bisa berayun tinggi sampai melampaui pagar dinding, pastilah bisa melihat pemandangan yang berada diluar tembok.  

Maklumlah, aku sudah cukup lama tersekap. Kira-kira hampir dua tahun. Maka tak mengherankan, hatiku amat rindu melihat kehijauan alam dan kesegaran penglihatan.  "Demikianlah, aku bermain ayun-ayunan dengan gembira. setiap kali aku berayun, aku makin tinggi dan tinggi. pemandangan alam diluar tembok dapat  kujenguk  dan kureguk, Tiba-tiba saja, Fat susiokmu memekik menyayatkan hati. sebatang piao membenam didadanya, Dan  ia  mati seketika itu juga, Dan pada saat itu, kau, Cit-ko, lantas  saja  kau melarikan diri, Dan kami bertiga, tidak kau perdulikan lagi. Bukankah begitu?" 

Merah wajah Ceng Cit, Cepat-cepat ia menjawab: 

"Habis? seorang diri, tidak mungkin  aku  melawannya. Maka aku lari masuk kerumah untuk mencari  bantuan.  coba aku tidak cepat-cepat lari, pastilah aku akan mampus sia-sia saja," 

"Hem " Giok Cu mendengus. sebaliknya ibunya bersikap 

dingin saja, Katanya melanjutkan ceritanya: 

"Aku menyaksikan peristiwa pembunuhan itu dari papan ayunan yang masih berayun dengan cepat, Dan selagi aku kebingungan karena belum  jelas tentang sebab-sebabnya terjadi pembunuhan itu,tiba-tiba kulihat berkelebatnya sesosok bayangan mengarah padaku. Bayangan itu menuruti gerakan ayunan. sewaktu aku terbawa papan ayunan menjangkau ketinggian, ia menyambar diriku dan dibawanya terbang. Aku memekik sekuat-kuatnya oleh rasa kaget dan cemas. Sebab kakiku tidak lagi menginjak papan ayunan, sedangkan diriku berada diudara hampir mencapai puncak pohon Yang-liu, Celakalah, bila sampai  terbanting  ditanah.  Apalagi   ayunan tadi, diriku dibuat terlambung seperti terlemparkan saja. 

"Bayangan yang menyambar diriku, memegang  tangan kiriku kuat-kuat, ia membawa aku terbang melintasi tembok. Tiba-tiba tangannya menyambar dahan pohon Yang-liu, dan dengan begitu lambungan ayunan agak tertahan. Kemudian dengan gesit, ia membawa aku mendarat di tanah. 

"Aku terhindar dari mara bahaya. Tetapi kemudian, ia membawaku  lari  dengan  memelukku  erat-erat.  Dalam Keadaan bingung, aku memukuli mukanya. Tatkala pundakku  kena ditekan, sekonyong-konyong  lenyaplah  tenagaku,  dan tak lama kemudian aku  mendengar  suara  berisik dibelakangku, itulah langkah ayahku beramai yang berusaha mengejar diriku yang kena diculik. 

"Dua jam lagi lenyaplah suara berisik itu. Tahulah  aku, bahwa mereka sudah ketinggalan jauh, Dan aku masih saja dibawa lari makin lama makin cepat. Akhirnya, dia berhenti di sebuah goa yang berada disamping jurang curam, jarak antara goa dan seberang tebing kurang lebih duapuluh tombak. 

"la menepuk pundakku seraya meletakkan aku diatas sebuah batu, Tenagaku  pulih kembali, dan ia memandang diriku dengan bersenyum penuh kemenangan. Tiba-tiba teringatlah aku kepada nasib dua iparku yang pernah terculik, Apakah akupun akan dijualnya kepada tengkulak perempuan untuk melayani duapuluh orang hidung-belang setiap harinya? Daripada hidup demikian, lebih baik aku mati saja. Dan kini barulah aku menyadari kehendak baik ayahku - dengan cara menyekapku didalam rumah terpisah. Teringat hal itu, aku jadi benci kepada diriku sendiri. Terus saja aku melompat membenturkan kepalaku pada batu yang mencongak ditepi jurang." 

"Dia terperanjat bukan kepalang melihat perbuatanku itu, sama sekali tak diduganya,  bahwa aku hendak melakukan bunuh diri, Meskipun demikian masih bisa ia mencegah perbuatanku, dengan tangkas ia menyambar pinggangku  - namun kepalaku terbentur juga pada batu itu, meskipun tidak keras. inilah bekas lukanya " 

Shiu Shiu memperlihatkan ujung keningnya yang tertutup rambut. Nampak sekali bekas lukanya. Melihat bekas luka itu, pastilah ia dahulu menderita luka yang tidak enteng. 

"Maksudnya hendak mencegah kenekatanku itu, mungkin sekali terbersit dari hati nuraninya yang  baik,  Tetapi  andaikata ia membiarkan diriku membenturkan kepalaku pada batu, pastilah di kemudian hari tidak akan terjadi peristiwa yang berlarut-larut. Bagi dia sendiri, penggagalan itu mungkin baik akibatnya, tetapi bagiku adalah sebaliknya." demikian Shiu  Shiu melanjutkan tutur  katanya dengan menghela napas beberapa kali. Meneruskan: 

"Aku pingsan karena lukaku. Tatkala memperoleh kesadaranku kembali, aku berada diatas sehelai permadani di dalam goa. penglihatan itu masih asing bagiku,  oleh  rasa kaget, hampir saja aku tak sadarkan diri lagi, Tetapi setelah melihat pakaianku masih dalam keadaan rapih, legalah hatiku. Ternyata dia tak memperkosaku. Mungkin sekali disebabkan oleh kenekatanku hendak bunuh diri, ia malahan tidak mengganggu aku." 

"Rupanya dia dihinggapi rasa khawatir tentang  diriku. Jangan-jangan aku akan nekat hendak bunuh diri lagi. Maka selama dua hari dua malam,  dia  menjagaku  sangat  cermat. Dia masak sendiri untuk makanku. sebaliknya, aku tak sudi menjamah masakannya. Aku menangis terus-menerus sampai pada hari keempat, Dan pada hari  kelima,  aku  jadi  kurus kering. 

"la mencoba memasak hidangan lezat, dan dengan sabar membujukku agar mau makan masakan yang dihidangkannya, Tetapi tetap saja aku tak menghiraukan bujukannya, sekonyong-konyong ia menjambak rambutku, kepalaku di tengadahkannya, Hidungku dipencetnya rapat-rapat, mau tak mau aku harus meneguknya.  Barulah  hidungku dibebaskannya. Dan ia tidak menjambak lagi, Tetapi begitu terbebas, aku menyemburkan sisa makanan dan  kuah ke mukanya. Dengan sengaja aku berbuat demikian, agar ia membunuhku karena marah. Dalam hatiku aku mengharapkan kematian daripada di perkosanya, pengalaman kedua iparku terlalu mengerikan bagiku, 

"Diluar dugaan, ia hanya tertawa saja. Dengan sabar, ia menyusuti sisa makanan yang melekat dimukanya. ia menatap diriku beberapa saat lamanya. Kemudian menghela napas. 

"Aku hendak menyanyikan sebuah lagu untukmu, kau mau mendengarkan atau tidak?" katanya kepadaku. 

"Aku tak sudi mendengarkan!" dampratku.  Mendadak saja ia berlompat-lompat kegirangan, dan menari-nari, katanya: 

"Kusangka, kau gadis gagu, kiranya kau bisa berbicara juga." 

"Itulah pernyataan diluar dugaanku. Tiba-tiba saja aku tertawa diluar kesadaran sendiri, karena perkataannya begitu lucu dan menggelikan. Jadi tadinya ia menganggap aku ini gadis bisu. 

"siapa yang gagu!" dampratku lagi - "Aku membungkam mulut karena tak sudi berbicara dengan orang jahat!" 

Dia tak melayani berbicara. sebaliknya lantas saja merebahkan diri di mulut goa. Kemudian menyanyi dan menyanyi dengan suara tinggi mengalun di tengah malam, sampai bulan bersinar tinggi diudara, ia masih saja menyanyi. Senandungnya berisikan letupan asmara antara dua muda- mudi yang hidup dalam masa madu, Seumurku belum pernah aku keluar rumah. Dan mendengar senandung cinta kasih itu, hatiku tertarik.  

"Hmm-" Ceng Cit menggerendeng dan berkata lagi: "Kau bilang tak sudi kau dengarkan, tetapi akhirnya kau dengarkan juga, bukan? siapa sudi mendengarkan ceritamu yang memuakkan ini?" Dan setelah menggerendeng demikian, serentak ia berdiri. Kemudian meninggalkan ruangan dengan langkah lebar. 

"Ibu!-Dia pasti hendak mengadu kepada paman yang lain." kata Giok Cu.  

"Biarkan saja, aku tidak takut. Apalagi kakekmu telah meninggal dunia empat tahun yang lalu, Kedudukan sekalian pamanmu dan diriku sejajar." sahut Shiu Shiu. 

"Kalau begitu, lanjutkan cerita ibu." desak Giok Cu. 

"Entah sampai jam berapa dia bergadang.  Tiba-tiba  saja aku telah tertidur." Shiu Shiu melanjutkan ceritanya. "Tatkala aku terbangun dipagi hari, dia tak kelihatan. Ha, baiklah aku kabur saja, pikirku, Tetapi setelah kulihat keluar goa, aku jadi  putus asa. Ternyata goa itu berada pada puncak gunung yang tinggi. sama sekali tiada jalan keluar.  

Hanya orang-orang berkepandaian tinggi seperti dia, baru bisa mencapai goa tempat beradaku dan sebaliknya. 

"Dan malam itu, kembali lagi dia bersenandung untukku. sebenarnya, tak sudi aku mendengarkan. Akan  tetapi  betapa aku bisa menutup  telinga terus-menerus, Sekali-kali aku  dengar bunyi senandungnya juga.  

Dan keesokan harinya, ia menghilang kembali. Kali ini dia datang dengan membawa main-mainan. Boneka, burung- burungan dan lain sebagainya, Melihat semua itu, tak sampai hati aku melemparkannya ke dalam jurang. 

"la jadi mengerti tata rasaku dan sejak itu, ia membawa binatang hidup yang lembut sifatnya, seperti kucing dan lain sebagainya. Kadang kadang ia ikut bermain boneka pula,  Di luar kehendakku sendiri,  perasaanku  terhadapnya  jadi berubah. Tidak lagi aku merasa  ngeri  atau  takut  bergaul dengan dia..." 

"Tetapi pada suatu hari, sekonyong-konyong sikapnya berubah. ia menatap  diriku lama sekali  dengan  pandang bengis. Tentu saja, aku jadi ketakutan. Dan perasaan ngeri kembali lagi mencekam sanubariku. Aku lalu menangis dan ia menghela napas berulangkali. Kemudian berkata membujuk: 

"Sudahlah, jangan menangis!" 

"Tak berani  aku menangis  lebih lama, meskipun ingin rasanya menangis sampai mati. Aku takut membuatnya kesal. Jangan-jangan sikapnya yang telah  menjadi  lunak, bisa kembali bengis dengan tiba-tiba. Tetapi pada malam  hari  itu aku melihat dia menangis. Menangis seorang diri diluar pintu goa. 

Malam itu gelap pekat. sejak sore tadi guntur berdentuman diantara kejapan kilat, Dan beberapa saat kemudian turunlah hujan deras. ia tak memperdulikan semuanya itu. Tetap saja ia menangis sedih dalam keadaan basah-kuyup.  "Aku jadi tak sampai hati, Sekarang, akulah  yang ganti membujuknya. Kataku: 

"Masuklah, kau bisa masuk angin." 

"Namun ia tidak menggubris bujukanku, Aku jadi tertarik, kataku minta keterangan: 

"Mengapa kau menangis?" 

"Diluar dugaanku, mendadak ia menyahut dengan suara bengis luar biasa. Katanya: 

"Besok  adalah  hari  peringatan  tahun  keempatbelas matinya ayah-ibu, kakak dan kedua saudaraku.  Dalam  satu hari saja, keluargaku musnah oleh tangan jahat salah seorang keluargamu, karena itu, esok hari aku harus membunuh anggauta keluargamu lagi, Setidak-tidaknya seorang! Tapi rumahmu terjaga sangat kuat dan rapi, ayahmu mengundang beberapa tokoh pendekar vang berkepandaian tinggi. seperti Bok-siang tojin, Bok Jin Ceng dan Kang-lam hiap Ong Tiong Kun, Akan tetapi aku tidak takut, biarlah,  kalau  aku  harus mati." 

"Setelah berkata demikian, ia meninggalkan  goa dalam hujan deras. Dan dua hari lamanya, ia tak muncul lagi, Dan entah apa sebabnya, aku jadi selalu teringat padanya. Diam- diam aku berharap, moga-moga ia pulang dengan selamat " 

Giok Cu mengerlingkan matanya kepada Sin Houw, untuk mencari kesan. ia ingin membaca keadaan hati Sin Houw terhadap ibunya. Akan tetapi Sin Houw duduk dengan sangat tenang, perhatiannya tertarik kepada tutur kata ibunya. Diam- diam ia bersyukur didalam hati. 

 (Oo-dwkz-oO) 

DALAM PADA ITU,  Shiu  Shiu meneruskan ceritanya: "Cuaca  kian  menjadi  gelap.  itulah  petanghari  yang ketiga, 

Dua   tiga   kali   aku   melongok   ke  mulut   goa,   yang  kulihat 

hanyalah awan gunung yang datang bergulungan, Tapi tatkala aku  melongok  untuk  yang  kelima  kalinya,  nampaklah  empat  orang berlari-lari mendaki puncak gunung. Gesit gerakan mereka, seakan-akan empat sosok bayangan. Mereka saling kejar-mengejar. 

"Aku  menajamkan  penghilatanku  syukur,  petang  hari belum tiba benar-benar, Masih bisa mataku mengenal  dua orang diantara mereka. Orang yang lari paling  depan  adalah dia, yang kedua dan ketiga berdandan sebagai  pendeta. Mereka bersenjata tajam, sedang yang ke empat, ayahku dengan bersenjata Hok-mo thung yang terkenal sejak puluhan tahun yang lalu. 

"Dengan membawa pedang  hitamnya,  ia  melayani serangan mereka bertiga.  Nampak olehku dengan  tegas, bahwa ilmu kepandaian kedua orang pendeta itu sangat tinggi. Gesit cara mereka berdua  menyerang,  hampir saja senjata mereka berhasil menghantam sasaran.  

Aku terkejut sampai memekik diluar kehendakku  sendiri. Aku mencemaskan keselamatan jiwanya. Tapi dengan pedang hitamnya, ia berhasil menangkis dan memunahkan serangan mereka. Bahkan pedangnya dapat menabas kedua senjata mereka dengan berbareng. 

"Rupanya ayah mendengar suara pekik teriakku, ia menengadah. Dan melihat diriku, ayah melompat keluar gelanggang lalu lari mengarah ke goa  hendak  menghampiri aku. 

"Melihat hal itu, dia jadi sibuk sekali. Terus saja dia meninggalkan ke dua lawannya. Kemudian mengejar ayah, Tentu saja kedua lawannya mengejar pula. 

"Tak lama kemudian, mereka tiba  didataran   ketinggian yang berada di depan tebing seberang goa, Di dataran ini, dia berhasil mengejar ayah,  Dan  dengan  serta  merta  ia menyerang ayah, Baru beberapa jurus, kedua pendeta itu datang pula, dan dia lantas terkepung rapat lagi seperti tadi. 

"Ayah tak sudi sia-siakan kesempatan, cepat-cepat ia melompat mundur dan kembali lagi lari mengarah ke  goa-ku, Aku jadi girang sekali. Teriakku:  "Ayah, cepat! cepat!" 

"Seperti kalap, dia mendesak kedua lawannya, kemudian memburu ayah lagi, Dia berhasil  mengejar dan  menyerang ayah dengan tikaman-tikaman dahsyat. sebentar saja ayah terdesak, dan terancam bahaya. 

"Shiu Shiu! Bagaimana keadaanmu?" teriak ayah. 

"Aku selamat tak kurang suatu apa, ayah tak usah cemas l" sahutku. 

"Akh, syukur!" ayah bergembira. "Tunggu dulu, biar kubereskan dahulu bajingan ini!" 

Setelah berkata demikian, ayah menyerang dengan penuh semangat. Dari pertempuran mati-matian terjadi sangat cepat. 

"Lim Beng Cin!" seru salah seorang imam itu, "Baik diriku maupun golongan kami dari Siauw-lim tidak mempunyai permusuhan apapun denganmu. 

Aku hanya mengharap agar kau mengerti, kami dari golongan Siauw-lim ikut campur semata-mata terdorong oleh rasa keadilan dan  kemanusiaan. perbuatanmu  benar-benar keterlaluan. Kami berjanji tidak akan  membantu  pihak manapun juga, asal kau sudi menyudahi   permusuhanmu dengan keluarga Cio-liang pay. Sudahi-lah rasa balas dendammu pada hari ini." 

"Tunggu dulu!" tiba-tiba Sin Houw memutus. "lmam  itu mengaku dari golongan Siauw-lim, tahukah subo nama imam itu?" 

"Dikemudian hari aku  mengetahui  bahwa  imam  itu bernama Cie-kong taysu, dan imam yang satu lagi bernama Lie-cwee tojin dari Ngo-bi pay,"  Shiu Shiu memberikan penjelasan. 

"Hemm ! " Sin Houw bersuara di hidung, namun Shiu 

Shiu yang tak mengetahui  apa-apa  telah  meneruskan bercerita: 

"Hmm enak saja kau mengumbar mulutmu!" dampratnya  dengan mengertak gigi. "Apakah tak boleh aku  melakukan  balas dendam demi menenteramkan arwah ayah-bunda dan sekalian saudaraku yang terbunuh tanpa dosa apapun?" 

"Kami mengerti. Tetapi kau sudah banyak membunuh demi memuaskan hatimu sendiri. Kukira, sudah lebih dari cukup !" sahut Cie-kong taysu. "Sekarang - pandanglah kami! Kupinta agar kedua belah pihak menyudahi persoalan ini!" 

Tetapi dia tidak menggubris. Tiba tiba saja ia menyerang Cie-kong taysu. Karena  itu,  pertempuran  sengit  terjadi  lagi kian menghebat.  Masing-masing tak sudi mengalah.  Tetapi dua imam itu sangat gagah, apalagi dibantu oleh ayah. 

Sebentar saja dia  terancam bahaya, seluruh  badannya telah mandi keringat, dia terdesak dan terdesak. Tiba-tiba dia mundur dengan sempoyongan, hampir-hampir ia  roboh terguling, justru pada saat itu, senjata Lie-cwee  tojin menyambar dirinya.  

Dengan mati-matian ia berhasil mengelakkan, tetapi tepat pada saat itu ia dipapaki oleh Cie-kong taysu. Kembali lagi ia mengelak dengan memutar tubuhnya, dan pada detik  itu, ia melihat kesan diwajahku. 

Itulah penglihatan yang menentukan baginya. Dikemudian hari ia memberi keterangan tentang keadaan dirinya pada saat itu. sebenarnya ia sudah kehilangan tenaga, tulang-tulangnya, seakan-akan terlolosi, Tetapi begitu melihat kesan wajahku yang menaruh perhatian kepadanya, tiba-tiba terbangunlah semangat tempurnya.  

Tenaganya serasa pulih kembali. Dengan galak,  ia  memutar tubuhnya dan pedangnya berkelebatan mengancam maut! 

"Shiu Shiu, jangan takut! Pasti aku dapat menjungkalkan mereka. Kau lihatlah!" serunya. 

Entah bagaimana cara dia  menggerakkan pedangnya, Tiba-tiba saja Lie-cwee tojin memekik  menyeramkan.  Dia roboh bergulingan, ternyata kepalanya terbelah dan tepat  didahinya tertancap sebatang Sin-coa piao, Keruan saja ayah dan Cie-kong taysu kaget bukan kepalang. Dan pada detik itu, dia menyerang ayah. 

Saat itu digunakan sebaik-baiknya oleh Cie-kong  taysu, untuk menyerang dari belakang. Tapi dengan gesit, dia dapat mengelakkan gempuran Cie-kong taysu,  ia  mendahului memutar tubuhnya, dengan melompat kesamping. 

Cie-kong taysu yang agaknya sudah  gentar  karena gugurnya Lie-cwee tojin, mendadak lari meninggalkan gelanggang pertempuran untuk menyelamatkan  diri.  Dan setelah Cie-kong taysu tidak  ada lagi, ia menyerang ayah kembali. Tatkala itu, wajah ayah pucat lesi seperti tiada berdarah. Tak usah dikatakan lagi, bahwa ayah kaget dan ketakutan begitu melihat kedua rekannya menjadi pecundang.  

Ayah membela diri dengan sembarangan saya. Karena hatinya telah gentar, tak dapat  lagi  ayah  memainkan tongkatnya dengan sempurna. Melihat hal itu, aku berteriak- teriak: 

"Tahanl Tahan!" 

Mendengar teriakanku, dia berhenti menyerang, dan aku berteriak lagi: 

"Bawa dia kemari! Dialah ayahku!" 

Dengan pandang bengis ia menatap ayah, katanya membentak: 

"Kau pergilah! Aku ampuni dirimu." 

Ayah tercengang, segera ia memutar tubuh hendak meninggalkan tempat itu, Aku girang bukan kepalang melihat ayah mendapat ampun, Tetapi sudah dua hari tiga malam aku tidak makan dan minum, tubuhku terasa lemah. Karena kaget melihat pertempuran dahsyat dan digejolakkan pula oleh rasa girang mendadak aku roboh ditanah. 

Melihat aku roboh, ia melompat ke dalam  goa  hendak menolongku. Ayahpun ikut pula memburu, Dengan bengis  ayah memandang padanya tatkala menolongku bangun. Aku tidak pingsan, hanya kehilangan tenaga saja. Karena  itu, dapatlah aku melihat segalanya yang terjadi dengan jelas. selagi ia menolong membangunkan diriku, tiba-tiba ayah mengayunkan tongkatnya menepuk  punggungnya  -tentu sekali, serangan gelap itu tak diduganya. perhatiannya berada padaku, penuh-penuh. Kaget aku berseru: 

"Awas!" 

Oleh peringatanku,  ia kaget sekali, segera ia memutar tubuhnya dan meloncat kesamping.  Meskipun  gerakannya gesit, namun tongkat ayahku masih saja menghajar punggungnya. syukur, ia tadi bergerak. sehingga serangan itu tidak mengenai dirinya  penuh-penuh.  selagi  memutar tubuhnya, ia berhasil merampas tongkat ayah dan dilemparkannya ke dalam jurang. Kemudian ia lompat dan menyerang ayah dengan kedua tangannya. 

Ayah gugup bukan main, ia tertegun dan menyesal karena serangannya gagal. Tongkat andalannya terampas pula, itulah suatu peristiwa yang tak pernah terbayangkan.  

Biasanya, jangan lagi menyerang dengan cara gelap sedangkan dengan berhadapan  saja tak pernah ia  gagal. Tatkala menghadapi  serangan balasan,  sama  sekali  ayah tidak berusaha mengelak atau menangkis. ia malahan berdiam diri dengan menutup kedua matanya menunggu maut. 

Dengan mendadak saja, ia  membatal  kan  serangannya. Dia menoleh kepadaku, lalu menghela napas. Kemudian ia memandang ayah dan berkata bengis: 

"Nah, pergilah cepat. jangan tunggu sampai pikiranku berubah. Benar-benar aku tak akan memberimu ampun lagi !" 

Tanpa berkata sepatah katapun juga ayah memutar tubuhnya dan lari secepat-cepatnya. 

Ia mengawasi kepergian ayah, lalu menoleh kepadaku. Tiba-tiba saja ia melontakkan darah. Darahnya menyembur ke bajuku.  Giok Cu memekik tertahan mendengar hal  itu, Katanya setengah menggerendeng: 

"Yaya benar-benar tak tahu  malu!  secara  berhadapan  ia tak berani melawan, tiba-tiba menyerang dari belakang, itulah bukan perbuatan seorang ksatria." 

 (Ya-ya - engkong). 
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar