Postingan

Jilid 10

Anak itu yatim piatu, pantaslah dia harus dikasihani. Demikianlah pikirnya didalam hati, sebagai seorang pendekar besar, sudah tentu ia mendengar berita tentang  kegagahan Thio Kim San. ia kagum dan menghargai  ayahnya  Sin  Houw itu. Anak itupun berbakat bagus dan berotak cerdas, serta tabiatnya mulia pula, oleh pertimbangan-pertimbangan itulah, mendadak saja lenyaplah tabiat anehnya. ia tidak hanya menerima Sin Houw sebagai muridnya saja, akan tetapi bersedia bersenda gurau pula. 

"Kedua kakak seperguruanmu berusia jauh lebih tua dari padamu. umurnya kini barangkali tigapuluh lima tahun lebih." kata Bok Jin Ceng, "Malahan murid mereka ada diantaranya yang telah berusia lebih tua dari padamu, maka bisa kejadian mereka akan menyesali aku lantaran aku menerima seorang murid begini muda.   Celakanya lagi, apa bila kau tidak berhasil. Umpama  kata kau kalah ketika diadu dengan murid-murid mereka, kedua kakak seperguruanmu pasti akan mencela aku!" 

"Suhu, aku akan belajar dengan  sungguh-sungguh."  kata  Sin Houw dengan semangat menyala. Kemudian mengalihkan pembicaraan: "Apakah Thio susiok murid suhu juga?" 

"Dia hendak ikut Thio Su Seng berperang," jawab Bok Jin Ceng. "Tiada waktunya untuk belajar lama-lama kepadaku, sehingga aku hanya mengajari ilmu pukulan Hok-houw ciang saja, Karena itu tak dapat dia disebut sebagai muridku." ia berhenti sebentar memalingkan  pandangnya,   sambil menuding ke pada Un siang,  ia  meneruskan:  "Lihat  pulalah dia. setiap kali kita berlatih, dia ikut menyaksikan.  

Diam-diam ia menyimpannya didalam  ingatannya.   Apa yang di ingatnya bukan sedikit, walaupun demikian apabila dibanding dengan kedua muridnya, bedanya seperti bumi dan langit!" 

Mendengar perkataan Bok Jin Ceng, maka Thio Sin Houw tercengang oleh rasa kagum, Dengan mata kepala sendiri ia menyaksikan betapa  perkasa  si  bisu  itu.  Kepandaiannya tinggi, meskipun demikian dia hanya seorang pelayan yang dapat memiliki ilmu kepandaiannya itu dengan cara mencuri pandang saja. 

Gurunya sendiri, Thio Hian Cong, hanya memperoleh ilmu pukulan Hok-houw ciang - meskipun demikian gurunya itu seorang pendekar tangguh dan gagah sekali. Jika ilmu kepandaian mereka berdua hanya dikatakan sebagai satu kepandaian sambil lalu saja, maka betapa tinggi ilmu sakti Bok Jin Ceng, sudah dapat dibayangkan. Diam-diam ia berpikir didalam hati: 

"Jika  aku  belajar  dengan  sungguh-sungguh, meskipun tidak dapat menjajari kedua kakak seperguruanku, setidak- tidaknya aku akan bisa memiliki  kepandaian  setaraf  dengan Nie susiok. Kurasa itupun sudah cukup untuk kubuat bekal membalas dendam kematian ayah dan ibuku,"  Oleh pikiran itu, ia menjadi girang sekali. 

"Rumah perguruan kita ini adalah dari golongan Hoa-san pay," kata Bok Jin Ceng meneruskan keterangannya. "Kami kaum Hoa-san pay mempunyai peraturan yang  keras,  serta  ada pula pantangannya.  Yakni pantang  berbuat  cabul, pantang melakukan kejahatan, pantang menjadi kaki-tangan bangsa asing atau musuh negaxa. pantang melakukan pekerjaan sebagai seorang piauwsu atau pengantar barang kiriman dan lain-lainnya, Dikemudian hari akan  kujelaskan  lebih lanjut lagi. sekarang, camkan segala pesanku ke dalam perbendaharaan hatimu.  

Yang pertama, kau harus patuh kepada perkataan gurumu! Dan yang kedua, jangan melakukan hal-hal yang tercela." 

"Pasti aku akan patuh kepada setiap perkataan suhu, dan aku berjanji tidak akan melakukan perbuatan yang buruk." kata Sin Houw dengan suara berkobar-kobar. 

Bok Jin Ceng girang mendengar Sin Houw memberikan janjinya, serunya: 

"Bagus, anakku! sekarang, marilah kita mulai berlatih! Thio Hian Cong mengajari ilmu pukulan Hok-houw ciang dengan selintasan saja. sebenarnya  ilmu pukulan yang diajarkan kepadamu itu serupa dengan seseorang yang menyekat jalan panjang. Apabila kau tidak mulai dari ujungnya atau tidak kau selami dari titik pangkalnya, dikemudian hari kau tidak akan memperoleh kesempurnaan. Karena itu, kini aku akan mengajakmu dengan ilmu Tiang-kun sip- toan kim." 

"Dulu pernah aku memperoleh pelajaran ilmu itu dari suhu Ouw Sam Ciu!" seru Sin Houw heran. 

"Ch, begitu? Umpama kata benar demikian, kukira belum berarti." kata Bok Jin Ceng, "Apakah kau sudah merasa dapat mempergunakan ilmu Tiang-kun Sip toan kim? jika merasa begitu, kau keliru sekali. Sebab, jika kau sudah mahir memainkan ilmu Tiang-kun Sip- toan kim, hanya beberapa orang saja yang dapat mengalahkanmu "  Thio Sin Houw tercengang, ia percaya keterangan gurunya itu, sehingga ia tak berani lagi membuka mulut. 

"Apakah kau kurang yakin?" tanya Bok Jin Ceng,  "Coba, kau lihatlah. setelah itu kau tirukan!" setelah berkata demikian, Bok Jin Ceng lantas memberi contoh jurus-jurus ilmu Tiang- kun sip-toan kim. Dan Sin  Houw dengan penuh perhatian mengikuti setiap gerakan Bok Jin Ceng, semuanya mirip. Sama sekali tiada bedanya dengan ajaran  dari Ouw  Sam  Ciu. ia jadi heran dan tidak mengerti,  apakah  kehebatannya  ilmu  itu? sedang Sin Houw sibuk berpikir  pulang  balik,  Bok  Jin Ceng menegur: 

"Apakah kau mengira aku membohongimu?  Mari,  kau coba. Kau seranglah aku! Apabila kau bisa menyentuh ujung bajuku saja, anggaplah kau sudah mahir." 

Tentu saja Thio Sin  Houw tak berani menyerang  gurunya,  ia hanya ber-senyum saja, Dan sama sekali tak bergerak dari tempatnya. 

"Hayo, maju! Aku sudah mengajakmu salah satu jurus ilmu Tiang-kun Sip toan kim." 

Mendengar bahwa  gurunya mulai hendak  memberikan pelajaran, Thio Sin Houw lantas  saja melompat masuk ke dalam gelanggang. Dengan serta merta ia menyambar baju gurunya yang berpakaian seperti pendeta.  

Menurut perasaannya,  ia bakal berhasil menyentuhnya. Alangkah herannya, setiap kali tangannya nyaris menyentuh ujung baju, mendadak saja ujung baju itu mundur sendiri. ia lantas melompat menerkam, tetapi justru demikian,  ia kehilangan pengamatan - tiba-tiba saja gurunya lenyap dari depannya. 

"Aku disini!" seru gurunya sambil tertawa, tangannya menerkam pundaknya. Ternyata ia berada dibelakang punggungnya. 

Sin Houw mengasah otaknya, dan cepat-cepat ia memutar tubuhnya. Kemudian dengan berjumpalitan ia menghampiri.  Gerakannya gesit sekali,  kedua tangannya dipentang untuk memeluk. Tetapi  ia  hanya  memeluk  udara  kosong melompong, sama sekali  tubuh  gurunya  tak  dapat disentuhnya. Dan apabila ia berpaling, gurunya telah berada kira-kira sepuluh langkah dibelakang punggungnya. 

Thio Sin Houw jadi penasaran.  ia melompat sekali lagi dengan gesit. Tapi langsung kedepan, Dan pada saat itu, tiba- tiba mengebaskan lengan bajunya, dan tubuhnya ikut melesat. Dengan begitu ia menghindarkan terkaman Sin  Houw, sehingga anak itu hanya menangkap angin. 

Sekalipun begitu Thio Sin Houw tidak menjadi putus asa. Lantaran mendongkol, ia malahan jadi bersemangat. 

Kini ia tertawa gembira. ia mengejar, membiluk dan mengikuti gerakan gurunya, tiba-tiba ia melihat si bisu menggerakkan tangannya diluar gelanggang. 

Diam-diam ia memperhatikan, dan mendadak saja hatinya tergerak. Katanya didalam hati: 

"Nie susiok memerintahkan aku meniru gerakan guru, melakukan ilmu sakti Tiang-kun Sip-toan kim, Mengapa bisa begitu gesit?" 

Ia masih mengubar selintasan, kemudian dengan perlahan-lahan ia mulai memperhatikan gerak-gerik gurunya. Karena otaknya cerdas luar biasa, sebentar saja ia telah dapat memahami semua gerakannya.  setelah  merasa diri dapat menirukan, segera  ia  mencontoh  gerakan  gurunya.  Lantas saja kegesitannya bertambah beberapa kali lipat. 

Bok Jin ceng yang sejak tadi mengawasi gerak-gerik muridnya, diam-diam manggut-manggut, pikirnya didalam hati: 

"Anak ini benar-benar cerdas, ia mengerti apa yang kukehendaki." 

Thio Sin Houw memperhebat pengejarannya, karena kini  bisa bergerak lebih lincah dan  gesit. Akan  tetapi gerakan gurunya pun bertambah gesit lagi, sehingga usahanya untuk menangkap atau menyentuh ujung baju gurunya menjadi sia- sia belaka. Tetapi si bisu yang berada  diluar gelanggang bergembira karena mereka berdua bergerak  bagaikan bayangan saja. 

Beberapa saat kemudian, mendadak saja Bok Jin Ceng melompat keluar gelanggang, kemudian berbalik menerkam muridnya dan diangkatnya tinggi  tinggi  diudara.  serunya sambil tertawa: 

"Murid  yang  baik!  Murid yang baik ! Kau seorang anak 

manis sekali !" 

"Suhu!" seru muridnya pula yang menjadi girang luar biasa- "Barulah sekarang aku menyadari bahwa ilmu itu tidak boleh dibuat gegabah." 

"Bagus, anakku. cukup sudah untuk  hari  ini."  tegas gurunya. ia menurunkan tubuh Sin Houw sambil berkata lagi. 

"Sekarang, kau ulangi lagi." 

Thio Sin Houw segera mengulangi jurus-jurus ilmu sakti tiang-kun sip toan kinu setelah  memperhatikan  gerak-gerik Thio Sin Houw beberapa kali, Bok,  Jin Ceng kemudian masuk ke dalam kamarnya. 

Tetapi Thio Sin Houw tak sudi beristirahat ia berlatih terus sampai belasan kali, sehingga  makin lama makin mengerti faedahnya ilmu sakti Tiang kun Sip-toan kim. Ternyata ilmu itu: berpokok pada kegesitan dan kecepatan.  

Kesadaran ini  membuat  hatinya  bertambah  girang,  ia begitu girang sampai tak dapat tidur nyenyak pada malam harinya. Jurus-jurusnya berkelebatan di dalam benaknya, sehingga dalam mimpinya ia sedang berlatih dengan giat. 

Pada esok harinya, tatkala fajar hari baru saja menjenguk dilangit timur, Thio Sin  Houw sudah bangun dari  tidurnya, Terus saja ia melompat dari pembaringannya,  dan berlatih mengulangi jurus-jurusnya semalam, ia takut lupa,  maka dengan sungguh-sungguh dan penuh perhatian ia berlatih seorang diri, selagi tenggelam dalam latihannya, tiba-tiba ia mendengar batuk gurunya dibelakang punggungnya. segera ia  berputar dan berseru girang: "Suhu!" 

Bok Jin Ceng tertawa lebar. sahutnya: 

"Kau telah  paham dan mengarti dengan cepat sekali. Bagus, anakku. Tetapi sebenarnya, kau baru mengarti bagian atas, Bagian bawahnya  belum. Karena  bagian  bawahmu masih kosong, maka apabila kau menghadapi seorang lawan tangguh, kau bakal celaka. Beginilah seharusnya..." 

Setelah berkata demikian, Bok Jin Ceng lalu menurunkan ilmu sakti Tiang-kun Sip-toan kim bagian bawah. Serunya: 

"Sekarang, hayo. Kau tirukan!" 

Thio Sin Houw segera menirukan gerakan gurunya. Berkat kecerdasan otaknya, ia dapat mengarti dengan cepat sekali. Dengan penuh tekun ia menyelami dan mendalami sehingga dalam waktu satu hari saja, pengertiannya bertambah pesat. 

Selanjutnya sejak hari itu tak pernah Thio Sin  Houw mengabaikan ajaran  gurunya, walaupun sesaat saja. Tak terasa tiga tahun telah lewat dan usia Sin Houw kini telah mencapai tujuh belas tahun. Bisa racun yang mengeram didalam tubuhnya  sekali-kali terasa lagi, akan tetapi  berkat obat pemunah buatan Lie Hong Kiauw, dapatlah ia mengatasi. Malahan tubuhnya kini menjadi kuat sekali. ia tumbuh menjadi seorang yang tegap dan gesit gerak geriknya. 

Seperti biasanya, Bok Jin Ceng pada waktu-waktu tertentu turun gunung selama dua atau  tiga  bulan.  setiap  kali bepergian, selalu  ia mengajari berbagai ilmu sakti. Apabila pulang ia lantas meniliknya, setelah merasa puas,  ia memberikan tambahan lagi. Demikianlah, hatinya puas karena memperoleh seorang murid yang rajin sekali dan berotak cerdas luar biasa. 

Pada suatu hari Bok Jin Ceng mengeluarkan  sebuah lukisan. ia memberi hormat kepada lukisan itu, lalu memerintahkan pula kepada Thio Sin Houw agar berbuat yang sama. Kemudian berkatalah dia dengan suara terang:  "Sin Houw, masih ingatkah  siapa   gambar  ini?  Beliau adalah mendiang kakek guruku, namanya Cie Couw Suya, pendiri rumah perguruan Hoa-san pay ini,  Dan  tahulah  kau apa sebab pada hari ini kau kuperintahkan memberi hormat kepada cikai bakal Hoa-san pay?" 

Thio Sin Houw menggelengkan kepala . 

Bok Jin Ceng kemudian masuk ke dalam kamarnya,  ia keluar lagi membawa sebuah peti kayu  berukuran  panjang, Peti itu diletakkan diatas  meja. Apabila tutupnya terbuka, berkeredeplah suatu sinar gemerlapan, sinar itu begitu menyilaukan mata, Thio Sin  Houw menjenguknya,  dan ia kaget tatkala melihat  sebatang pedang  yang  panjangnya hampir satu meter. 

"Apakah suhu bermaksud hendak mengajariku ilmu pedang?" ia menegas dengan suara gemetar. 

Bok Jin Ceng manggut, ia mengeluarkan pedang tajam itu, dan memberi perintah dengan suara angker: 

"Kau berlututlah! Dan dengarlah perkataanku!" 

Hati Thio Sin Houw tergetar, Selama tiga tahun menjadi murid, baru pada hari itu ia mendengar  gurunya  bersikap angker dengan mendadak. Keruan  saja ia lantas  berlutut dihadapannya. 

"Pedang, adalah raja dari  berbagai  ratusan  macam senjata." Bok Jih Ceng mulai. "Tetapi pedang merupakan senjata yang paling sukar diajarkan dan dipelajari. Tetapi kau berotak sangat cerdas, dan hatimu keras pula. Aku  yakin, bahwa kau sanggup mempelajarinya.  ilmu pedang Hoa-san pay, sudah beralih tiga kali ditangan ahli warisnya,  syukur makin lama ilmu pedang Hoa-san pay makin memperoleh kemajuan. Pada umumnya, seorang guru biasanya merahasiakan satu ilmu pukulan yang  menentukan  terhadap ahli warisnya, untuk berjaga-jaga diri.  

Dengan demikian ahli waris yang di kemudian hari melahirkan angkatan-angkatan  barunya, makin lama makin  bertambah kurang kepandaiannya.  Syukurlah kita  tidak memilih jalan demikian. Kita tidak perlu berjaga-jaga  menghadapi murid murtad, asal saja sebelum kita menerima murid, harus mengkajinya benar-benar, setelah memperoleh seorang murid yang  tiada celanya,  semua  rahasia  ilmu warisan Hoa-san pay harus diwariskan dengan sepenuhnya.  

Bahkan dianjurkan agar setiap ahliwaris pedang ini, di kemudian hari harus dapat menambahkan dan melengkapkan ilmu-ilmu sakti yang sudah diwarisinya,  Dengan  demikian, pada tiga ratus atau empat ratus tahun kemudian, apabila ahli waris Hoa-san pay melahirkan zaman baru, jadi bertambah maju, ilmu pedang kita memang sulit untuk di pelajari, tetapi apabila kau sudah memahami, di dunia ini tiada tandingnya. 

Mulai pada hari ini, aku hendak mengajarimu ilmu pedang, Akan tetapi kau harus bersumpah terlebih dahulu, bahwa kau tidak akan membunuh seseorang yang tidak berdosa atau bersalah!" 

Sambil berlutut Sin Houw menyahut: 

"Pada hari ini, suhu hendak  mewariskan ilmu pedang kepadaku, Apabila dibelakang hari aku membunuh seseorang yang sama sekali tidak bersalah atau berdosa, biarlah aku terbunuh pula oleh seseorang." 

"Bagus!" seru gurunya, "Nah, bangunlah !" 

Thio Sin Houw bangun dan berdiri dengan  tegak.  Kata gurunya lagi: 

"Aku tahu kau berhati mulia, tidak bakal kau membunuh seseorang tanpa alasan tertentu,  Hanya saja masalah  dunia ini sangat rumit, Benar dan salah sukar dibuktikan, hanya tulen dan palsu lambat-laun akan kau ketahui juga. Karena itu mulai saat ini kau harus belajar bisa membedakan  antara   yang benar dan yang palsu. Asal hatimu jujur,  bersih  dan  penuh cinta kasih pada setiap insan, aku percaya  di kemudian hari kau tidak akan main bunuh terhadap seseorang yang sama sekali tidak bersalah atau berdosa. Karenanya kau ingat- ingatlah pesanku tadi, jujur - bersih dan cinta kasih!  Thio Sin Houw memanggut. 

"Sekarang, kau  lihatlah!"  akhirnya  Bok  Jin  Ceng mengakhiri perkataannya. 

Dengan sebat ia memegang hulu pedang dengan tangan kanannya. Kemudian tangan kirinya diletakkan diatas bagan pedang itu, dan mulailah ia melakukan jurus-jurus ilmu pedang Hoa-san pay. pedang yang bergemerlapan  itu lantas saja mengeluarkan sinar berkilauan. 

 (Oo-dwkz-oO) 

SUDAH tiga tahun Thio Sin Houw berguru kepada Bok Jin Ceng, Baik  pendengaran  maupun  penglihatannya  jauh melebihi Thio Hian Cong dan  guru-gurunya yang lampau. walaupun demikian, ia tak dapat mengikuti  gerakan  pedang Bok Jin Ceng yang cepat luar biasa dan yang tertangkap oleh penglihatannya hanya berkelebatnya sinar berkilauan di depan hidungnya. Dan pedang  itu  terasa  menyilaukan  kedua matanya.  

Tahu-tahu kesiur angin tajam  lewat  didepan  hidungnya, dan pedang itu tertancap bergetaran pada batang pohon yang berada didepan pertapaan, itulah tenaga lemparan yang luar biasa dahsyatnya. Sin Houw kagum sampai terpukau mengawasi. 

"Bagus!" seru  seseorang  yang  berada dibelakang punggung Sin Houw. 

Thio Sin Houw kaget sampai berjingkrak. selama tiga tahun berada di atas gunung, tiada suara lain yang di dengarnya kecuali suara gurunya dan si gagu, sekarang dengan  mendadak saja ia mendengar suara asing bagi pendengarannya.  

Dan suara itu tiba-tiba saja muncul  dibelakang punggungnya, Keruan  saja ia kaget dan  heran.  cepat ia berpaling, dan didepan  matanya berdiri seorang laki-laki mengenakan pakaian pendeta. Laki-laki itu berkumis jembros dan berjenggot sejadi-jadinya, seperti rambutnya,  kumis dan  jenggotnya sudah putih semua. Dengan kedua matanya yang bulat bundar, ia tersenyum berseri-seri. Kedua tangannya di gendongnya dibelakang punggung, sehingga  sikapnya mirip seorang majikan besar. 

Pendeta itu berjubah putih.  setelah  memuji  Bok  Jin  Ceng, ia berkata: 

"Barangkali, sepuluh tahun lebih aku tidak  melihat  kau menggunakan pedangmu, sama sekali tak kusangka kau telah memperoleh kemajuan demikian rupa !" 

Bok Jin Ceng tertawa lebar. sahutnya: 

"To-heng! Malaikat mana yang telah membawamu sampai kemari ? Eh, Sin Houw! cepat kau berlutut kepada beliau ini." 

Thio Sin Houw segera menghampiri pendeta itu, Bok siang Tojin, Dan kemudian berlutut  dihadapannya. Tetapi cepat- cepat Bok siang Tojin mencegah, ia membangunkan Sin Houw seraya menolak : 

"Jangan, jangan! jangan begitu. Aku bukan raja atau keturunan malaikat " ia berkata dengan tertawa lebar sambil 

membungkuk hendak membangunkan Sin Houw. 

Akan tetapi Sin  Houw tidak membiarkan dirinya kena diangkat. sebagai biasanya, seseorang yang mengetahui tentang ilmu sakti, secara wajar ia lantas mengerahkan tenaga dalamnya itu sebabnya, tidak mudah Bok  siang  Tojin mencegah pemberian hormatnya. Dan orang tua itupun hanya hendak mencobanya. 

"Lauw-bok!" kata Bok siang tojin kemudian. "Telah sepuluh tahun lamanya tak pernah  aku bertemu denganmu.  Tak tahunya, kau mengeram disini untuk mendidik muridmu, inilah suatu karunia besar bagimu. pada saat kau menjangkau hari akhirmu, masih bisa kau memperoleh seorang murid berbadan bagus sekali." 

Bok Jin Ceng girang atas pujian Bok-siang Tojin. Dengan sahabatnya itu seringkali ia bersenda gurau. serunya senang:  "To-heng! Kau seorang pendekar berkepandaian  tinggi. Kalau aku memperoleh karunia Tuhan,  pastilah kau akan memperolehnya pula, soalnya kini, tinggal menunggu waktu saja!" 

"Nah, nahl Kau pandai pula berkhotbah!" kata  Bok-siang Tojin sambil tertawa. "Sayang, pada  hari ini  sama sekali aku  tak beruang, Dengan cuma-cuma sajar kuterima sembah muridmu ini, Apa yang harus kubayarkan?" 

Mendengar perkataan Bok-siang Tojin, hati Bok Jin Ceng tergerak. Teringatlah dia bahwa Bok-siang Tojin memiliki ilmu kepandaian luar biasa  tingginya.  Alangkah  baiknya, seumpama dia sudi mewariskan salah satu dari ilmu kepandaiannya itu kepada Sin  Houw, hanya saja, selama hidupnya tak sudi ia menerima murid     

Dengan ingatan demikian, Bok Jin Ceng  berkata  kepada Sin Houw. 

"Sin Houw! Totiang telah berjanji kepadamu hendak memberikan hadiah. Hayo, cepat-cepat lah kau berlutut menghaturkan terima kasih!" 

Thio Sin Houw benar-benar  pemuda cerdik, segera ia mengerti maksud gurunya. Maka  cepat-cepat  ia  berlutut sambil mengucapkan terima kasih. 

Bok-siang Tojin tertawa terbahak-bahak. Katanya: 

"Bagus! Tetapi, untuk dapat menjadi manusia kau harus berhati jujur dan polos! jangan kau mencontoh pekerti gurumu yang tebal kulit mukanya. 

Betapa tidak? Begitu mendengar aku hendak memberikan sesuatu, belum-belum ia sudah memaksamu menghaturkan terima kasih. Tetapi, tak apalah! Pada hari ini hatiku sangat gembira. Biarlah aku memberimu sebuah kenang-kenangan." 

Setelah berkata demikian, ia meraba jubahnya lalu mengeluarkan sebungkus kain, apabila Thio Sin Houw membukanya, ternyata  gumpalan  kain itu merupakan baju berwarna hitam mirip seperti kaos, Bahannya seperti dari kulit,  akan tetapi mengkilat seperti sutera . 

Selama hidupnya, baru pada hari itulah Sin Houw melihat baju berbahan demikian.  Tentu  saja  ia  menjadi  terharu hatinya, tatkala ia menerima hadiah yang tak pernah dimimpikannya. 

"To-heng, jangan kau bergurau..."  kata Bok Jin Ceng, "Bagaimana kau menyerahkan baju mustika itu  kepada  anak ini? 

Bok-siang Tojin yang  di  kalangan  Rimba  persilatan terkenal dengan gelar Kwi-eng cu (Bayangan Iblis) tidak menggubris. sebaliknya, mendengar  ucapan  gurunya,  Sin Houw menjadi terkesiap. Jadi, pikirnya didalam hati.  Ba  ju mirip kaos itu sebuah baju mustika? 

Cepat-cepat ia mengangsurkannya kembali kepada Bok- siang Tojin, tetapi orang tua itu menolak, Katanya: 

"Aku tidak sekikir gurumu. Kalau aku sudah memberikan sesuatu kepada seseorang, tidak akan kutarik kembali. Nah, ambillah!" 

Masih saja Thio Sin Houw tak berani menerima pemberian hadiah itu, ia berpaling kepada gurunya. 

"Jikalau begitu kehendakmu, baiklah ! Nah, Sin Houw! Kau terimalah hadiah itu, Dan berlututlah menghaturkan terima kasihmu." 

Thio Sin Houw menurut. ia berlutut  sekali lagi sambil menghaturkan terima kasih. Lalu dengan wajah sungguh sungguh, Bok Jin Ceng berkata kepadanya. 

"Sin Houw! Sesungguhnya,  inilah sebuah  baju  mustika yang tiada taranya, konon kabarnya, baju ini dahulu To-tiang mendapatkannya dengan mengeluarkan keringat dan darah. sekarang kau pakailah!" 

Kali inipun Sin Houw menurut. 

Segera ia mengenakan baju mustika itu. Dan  sambil berjalan, Bok Jin Ceng menghampiri pohon untuk mencabut  pedangnya, katanya: 

"Baju mustika itu sejak dahulu kebal terhadap  semua senjata tajam." 

Diluar dugaan, setelah berkata demikian dan secara  tiba- tiba ia menyabetkan pedangnya ke pundak Sin Houw. Keruan saja pemuda itu kaget bukan kepalang, ingin ia mengelakkan diri, tetapi sudah terlambat, Dalam hal kegesitan tubuh, Sin Houw masih kalah terlampau jauh dari pada gurunya. 

Satu-satunya jalan yang dapat di lakukan, hanyalah melompat. Namun pada  saat  itu  pundaknya  telah kena sabatan pedang, ia kaget, heran  dan  girang  ketika dirasakannya sabatan itu sangat ringan, dan pedang itupun terpental balik. sedangkan Sin Houw sendiri sama sekali tak terluka. Maka dengan serta merta untuk kesekian kalinya ia berlutut lagi kepada Bok-siang Tojin. 

Bok-siang Tojin tertawa lebar, Katanya: 

"Baju mustikaku sangat buruk. Tatkala kau berlutut kepadaku, pastilah kau berlutut hanya menuruti  perintah gurumu, Tetapi kali ini, aku tahu hatimu benar-benar puas, Bukankah begitu ?" 

Merah muka Sin  Houw kena sindir, meskipun demikian hatinya penuh haru,  girang dan  hormat, Kembali lagi  ia berlutut. 

Bok-siang Tojin tidak memperdulikan pekerti Thio  Sin Houw, ia berkata lagi: 

"Beberapa kali baju mustika itu telah menolong jiwaku. sekarang, kuberikan kepadamu. Asal saja gurumu tidak menganggu diriku, di dunia ini, tidak ada  seorangpun  yang dapat melukai diriku meskipun aku tidak mengenakan baju mustikaku lagi." 

Setelah berkata demikian, Bok-siang Tojin tertawa berkakakan, Rupanya ia sangat riang, Bok Jin Ceng pun tertawa, ia berkata pula:  "Hai, pendeta bangkotan!  Kau  menjual  cerita  besar didepan muridku, Dalam hal ilmu kepandaian, tak dapat aku melawanmu. Akan tetapi dikolong langit ini memang banyak sekali orang-orang yang berkepandaian sangat tinggi." 

Bok-siang Tojin tersenyum, sahutnya: 

"Akh! Kita berdua tak boleh menggunakan  pedang atau senjata tajam lainnya. Mari, kau ambillah alat Kim dan  aku akan membawa serulingku !" 

 (Alat "Kim" s semacam Kecapi). 

"Apakah kita akan mengadu kepandaian dengan alat musik?" Bok Jin Ceng tertawa. 

"Benar!" sahut Bok-siang To-jin tertawa gelak. "Caramu memetik Kim, benar-benar membuat hatiku ketagihan mendengarkannya." 

"Baiklah!" sahut Bok Jin Ceng, "Telingaku ketagihan pula mendengarkan tiupan serulingmu, Kau datang dari  jauh  dan sudi mendaki gunungku, tak bakal aku mengecewakan hatimu. Hai, apakah  kau membawa juga tempat nasi dan tempat minum?" 

Keduanya lantas sibuk dengan ke-ahliannya masing- masing. Bok-siang To-jin meniup seruling, dan Bok Jin Ceng memetik Kim. perpaduan keahlian masing masing serasi dan selaras, sehingga memberikan  suatu  pendengaran  yang indah. Mereka bermain terus menerus tiada  henti-hentinya sampai jauh malam hari, sementara si bisu yang menyelenggarakan makan-minumnya. 

Selama itu Thio Sin Houw menunggu disamping mereka, sama sekali ia tak mengarti permainan mereka. walaupun demikian, lantaran bisa menangkap keindahan dan kemerduannya, ia mencoba  mengerti  dengan  mengamat- amati gerak jari-jari gurunya menyentuh tali-tali kim. Gurunya lantas mengajari cara memetik kim itu. 

Ilmu memetik Kim terbagi dalam kelompok-kelompbk perpaduan nada, Tegasnya selain  memperindah gaya lagu,  ikut serta menentukan iramanya. Karena tidak mengutamakan lagu, tata lagunya  berbeda dengan ilmu meniup seruling, nampaknya mudah dipelajari, tetapi sesungguhnya untuk  menjadi seorang ahli, sulit liku-likunya.  

Sebab apabila belum mengenal lagunya  terlebih dahulu akan sukar menentukan keserasiannya,   Namun  Thio  Sin Houw mempunyai pembawaan alamiah yang luar biasa, sekali mendengar dan sekali melihat ia sudah paham liku-likunya, ia tertarik karena liku-likunya berkesan seolah-olah kelompok tata-muslihatnya yang diatur dalam jurus-jurus pula.  

Tatkala Bok siang Tojin dan gurunya beristirahat, ia menekuni dan mencoba menyelami. Menjelang fajar hari, jari- jarinya mulai bisa bergerak dengan lancar. 

Bok-siang Tojin benar-benar seorang yang keranjingan dalam hal seni lagu,  Mendengar  irama  Kim  yang  dimainkan Sin Houw yang mulai bisa dinikmati terus saja ia terbangun. Tanpa segan-segan lagi ia membangunkan Bok Jin Ceng dan berkata mengajak: 

"Mari, kita main lagi!" 

Bok Jin Ceng tertawa geli menyaksikan tamunya yang tak kenal lelah itu, sahutnya: 

"Aku tak bersemangat lagi untuk  mengiringi lagumu, kau beristirahatlah dahulu!" 

Terpaksalah Bok-siang-Tojin beristirahat, Akan tetapi di dalam kamarnya, pendengarannya selalu terganggu oleh petikan Kim dari Thio Sin  Houw, sehingga  tertatih-tatih ia bangun lagi dan menghampiri pemuda itu. Kemudian ia mencoba menerangkan bagaimana caranya memetik Kim. ia membagi tangga nada menjadi tiga bagian.  Dan masing- masing pembagian tangga nadanya mempunyai beberapa kelompok kelompok iringan lagu, semuanya  itu  diajarkan dengan setulus hati kepada Sin Houw. 

Sejak itu Thio Sin Houw mulai belajar memetik Kim dengan sungguh-sungguh, Tiga hari tiga malam ia bertekun, Dan  selama itu gurunya dan  Bok-siang Tojin berbicara terus menerus, mengenai seni sambil sekali-kali  meniup  seruling dan memetik Kim. pada hari ke empat, Bok Jin Ceng berkata kepada Bok-siang Tojin: 

"Pada hari ini biarlah kau beristirahat dahulu, aku harus mengajarkan ilmu pedang kepadanya terlebih dahulu." 

Alasan itu kuat, sehingga Bok-siang Tojin tak dapat menawar lagi. Tetapi menunggu Bok Jin Ceng memberi pelajaran ilmu pedang kepada Sin Houw, dirasakan  sangat membosankan. Tak mengherankan begitu Bok  Jin  Ceng selesai memberi pelajaran, segera ia  menarik  tangan sahabatnya itu dan diajaknya bertempur melalui seruling dan Kim. 

"Mari, kita bermain lagi!" ajaknya dengan penuh semangat. 

Bok Jin Ceng sebenarnya sudah lelah, akan tetapi karena tak sampai hati mengecewakan  hati  sahabatnya  itu, terpaksalah ia melayani. Begitulah terjadi satu bulan lebih, setiap kali selesai melatih muridnya, harus ia  menyediakan waktu untuk melayani tamunya apabila Bok Jin Ceng nampak kurang semangat sedikit saja, tamunya itu menjadi seperti tersiksa. Dan semuanya itu tak pernah lepas dari  perhatian Thio Sin Houw. 

Oleh rasa iba terhadap gurunya, setiap kali memperoleh kesempatan terus saja ia berlatih, Dalam  sebulan  itu,  ternyata ia sudah mahir. 

Pada suatu hari menjelang fajar hari, ia memetik kim-nya. Tahu-tahu Bok-siang Tojin sudah berada  di  belakangnya meniup serulingnya,  inilah kejadian  yang sangat menggembirakan. Maka dengan hati-hati dan  seksama, Sin Houw lalu mengiringkan tiupan lagu Bok-siang Tojin. Ternyata sama sekali ia tidak salah. Keruan saja Bok-siang  Tojin menjadi bertambah semangat, pujinya: 

"Eh, anak! Kau benar-benar cerdik - kalau kau berlatih terus-menerus kau tentu dapat mengalahkan gurumu!"  Dua tiga kali Bok-siang Tojin menguji, ia meniup berbagai macam lagu yang sebelumnya tak pernah di dengar oleh Sin Houw, semuanya dapat diiring-kan oleh Sin Houw dengan sempurna.  

Karena memperoleh kenyataan itu dan rasa girang yang meluap, Bok-siang Tojin berkata: 

"Baiklah kita atur saja begini sekarang,  setiap  kali  kau dapat mengiringkan tiga laguku,  aku akan mempelajari kau semacam ilmu kepandaian bagaimana? setuju atau tidak?" 

"Biarlah aku minta pendapat guruku terlebih dahulu." sahut Sin Houw. 

Bok-siang Tojin pun tahu, seorang murid tak boleh melancangi gurunya.Maka itu ia menyetujui. Katanya: 

"Baik, Kau tanyalah kepada gurumu!" 

Thio Sin Houw lari mencari gurunya. ia mengabarkan kehendak Bok-siang Tojin, Tentu saja Bok Jin Ceng girang bukan kepalang. itulah yang  diharap-harapkannya sejak sebulan yang lalu, ia tahu Bok-siang Tojin seorang pendekar yang berilmu kepandaian tinggi, hanya saja tabiatnya aneh.  

Tak senang ia menerima murid. sebaliknya apabila sekali sudah berjanji, tentu akan di tepatinya, Dan hal itu terjadi, karena orang tua itu  begitu  ketagihan  mendengarkan permainan perpaduan suara antara kim dan seruling. 

Lantas saja Bok Jin Ceng menarik tangan Thio  Sin  Houw dan diajaknya menghadap Bok-siang Tojin, ia menyuruh muridnya bersembah untuk menghaturkan rasa terima kasih, kemudian ia sendiri berkata kepada Bok-siang Tojin. 

"To-heng! Kau hendak menyempurnakan ilmu kepandaian muridku, akupun menghaturkan rasa terima kasih yang tak terhingga kepadamu." 

Dalam pada itu Thio Sin Houw sudah berlutut, tetapi cepat- cepat Bok siang Tojin menolaknya, Katanya. 

"Jangan! jangan! Aku tidak menerimamu sebagai murid.  Apabila kau menghendaki  pelajaranku, kau  harus mengiringkan tiga laguku terlebih dahulu." 

"Bukankah ini suatu jual-beli? Dimana ada pembicaraan antara guru dan murid..." 

Bok Jin Ceng tertawa. Dengan cepat ia menyahut: "Apakah maksudmu dengan berkata demikian ?"  

"Dalam hal ilmu pedang dan ilmu pukulan, dikolong langit 

ini kau tiada lawannya, Aku takluk kepadamu.  sebaliknya dalam hal ilmu berlari dan menimpuk senjata bidik, kukira ilmu kepandaianku tidak mengecewakan." 

"Memang! siapapun tahu, bahwa kau anak siluman! Hanya saja, ilmu kepandaianmu  yang  istimewa  itu  jangan  kau bualkan disini." kata Bok Jin Ceng yang kembali tertawa. 

"Apakah kau mencela kepandaianku...?" ujar  Bok-siang Tojin agak kurang senang. 

Bok Jin Ceng  bersenyum.  sambil  menggelengkan  kepala, ia menyahut: 

"Didalam dunia ini, siapakah yang dapat menandingi ilmu berlarimu? Kau  pun  seorang ahli senjata  bidik yang tiada tandingan. Karena itu, kami berdua mengucapkan rasa terima kasih kepadamu " 

Bok-siang Tojin dapat  dibuat  mengerti,  iapun  lantas tertawa. Katanya: 

"Bukankah adil pertimbanganku? Setiap kali muridmu mengiringkan tiga laguku, aku lantas  memberi  pelajaran sejurus dua jurus kepadanya." 

"Kau tidak hanya adil, malahan bermurah budi pula." sahut Bok Jin Ceng cepat, Dan setelah berpikir demikian, ia berpikir didalam hati: 

"Pendekar bangkotan ini benar-benar licik dan lucu. Akan tetapi dia seorang laki-laki  sejati.  Sekali  menyanggupkan  diri, ia tak akan menarik janjinya kembali. inilah suatu rezeki besar  bagi Sin Houw. 

Lalu ia berkata memutuskan: 

"Baiklah kita atur begini saja, Yang kukhawatirkan adalah justru Sin Houw, Jangan-jangan ia sia-siakan waktunya yang sangat berharga. Karena itu setiap mengajarkan sesuatu kepadanya, kau harus lakukan setelah ia sudah mengiringkan tiga lagumu, Dengan demikian, ia tidak akan sia-siakan kesempatan yang bagus ini, Sekarang, kau boleh meniup seruling sesuka hatimu. Delapan atau sepuluh  kali,  masa bodoh !" 

Bok-siang Tojin girang bukan kepalang. Demikian pula Sin Houw, Tak sia-siakan waktu  lagi, mereka berdua lantas mengambil  tempatnya  masing-masing,  Bok-siang  Tojin meniup serulingnya, dan Sin Houw memetik Kim mengiringi. Mereka duduk berhadap hadapan seakan-akan dua orang pendekar besar lagi mengadu ilmu kepandaian. 

Enam kali mereka mengumandangkan lagu panjang dan pendek. Dan Bok-siang Tojin pun menepati janjinya. Katanya: 

"Kali ini aku hanya mengajarimu sejurus ilmu petak, Meskipun hanya sejurus, tetapi faedahnya sangat besar. Tubuhmu akan terasa menjadi ringan. Kalau sudah mahir, bayangannya sendiri sulit terlihat, Nah, kau lihatlah gerakanku dengan sungguh-sungguh!" 

Setelah berkata demikian, Bok-Siang Tojin bergerak. Tahu- tahu tubuhnya sudah berada  diatas  pohon. Tatkala turun dengan berjungkir-balik, sudah berada kembali didepan  Thio Sin Houw.  

Keruan saja Sin Houw kagum bukan main, ia merasa diri seakan-akan terpukau. Apabila tersadar, ia bersorak dan bertepuk tangan dengan setulus hati. 

"Sekarang, mulailah berlatih!" seru Bok-siang Tojin, Dan pendeta aneh itu segera mengajarkan jurus tersebut, yang disebut Poan-in seng-liong (Naga naik merayap di awan). Dan untuk menangkap intisarinya,  Sin  Houw berlompatan kian- kemari melemaskan urat-uratnya, Mula-mula ia merasa kebingungan, tetapi lambat-laun ia merasa diri memperoleh kemajuan. untunglah  Bok- siang Tojin ternyata teliti dalam menurunkan pelajarannya.  Dengan cermat dan  tak bosan- bosan ia memberi contoh  serta memberi petunjuk  inti-inti rahasianya. 

Pada hari kedua, Sin  Houw tak memperoleh tambahan, meskipun sudah mengiringi enam lagu lagi, Tetapi pada hari ketiga dan keempat, ia mendapat tambahan dua jurus sekaligus. Setelah memasuki hari ke empat belas, mulailah dia memperoleh tambahan sejurus, dua  jurus secara teratur. Bahkan pada bulan berikutnya Bok-siang Tojin mulai mewariskan rahasia ilmu bidiknya. 

Empat bulan lamanya ia belajar ilmu  bidik.  Tatkala pelajaran mulai  menginjak pada bagian membidik sasaran dengan tiga puluh lima senjata bidik  sekaligus,  ia membutuhkan waktu tujuh  bulan. Dengan demikian, tanpa terasa satu tahun lewatlah sudah. sekalipun demikian, Bok- siang Tojin tak bosan-bosan  meniup  serulingnya   dengan iringan kim Thio Sin Houw.  

Melihat mereka begitu akrab, Bok Jin Ceng bersyukur didalam hati,  ia tahu, apa  sebab Bok-siang Tojin betah bertempat tinggal pada suatu tempat sampai satu tahun lebih, itulah disebabkan orang tua itu berkenan  hatinya terhadap muridnya. Maka ia berpesan kepada si bisu, agar melayani Bok-siang Tojin dengan sebaik -baiknya. 

Pada suatu hari selagi Sin Houw berlatih disamping kedua gurunya, tiba-tiba terdengarlah suatu  auman  hebat.  serentak ia menoleh dan melihat sibisu sedang  berhadapan  dengan seekor harimau tutul.  

Menyaksikan si bisu dalam bahaya, tanpa berpikir panjang lagi, Thio Sin Houw segera melompat dan lari menghampiri. pada saat itu, macan tutul telah melompat serta menerkam si bisu, si bisu nampak marah. ia melejit  ke samping, dan mendaratkan pukulannya.   Tetapi bertepatan pada saat itu, sesosok bayangan berkelebat, itulah Bok Jin Ceng yang menyambar  lengan  si bisu dan  dibawanya menjauhi. Kemudian Bok  Jin  Ceng berseru kepada Sin Houw: 

"Sin Houw! Biarlah kau yang melayani harimau itu!" 

Thio Sin Houw tahu, gurunya sedang  mengujinya,  Terus saja ia melompat menghadang titik balik  harimau itu,  akan tetapi entah apa sebabnya, tiba tiba macan tutul itu memutar tubuhnya, serta berjalan menjauhi.  Sin  Houw melesat dan menggerakkan tangannya memukul pantat. oleh rasa sakit, binatang buas itu mengaum dan  memutar tubuh  sambil mencengkeram. 

Thio Sin Houw mengelak dan  melompat ke samping, Kemudian  tangannya  bergerak  hendak  menyerang, akan tetapi tiba-tiba saja ia merasakan suatu ancaman bahaya  datang dari belakang  punggungnya. Tahulah  dia, dirinya sedang diserang dari jurusan lain. Tak sempat lagi ia memutar tubuhnya. Dengan menjejak tanah ia melompat  tinggi kemudian dengan berjumpalitan ia turun diatas tanah dengan tak kurang suatu apa.  

Begitu membalikkan tubuhnya, ia melihat penyerangnya - seekor macan kumbang  sebenarnya, sejak berada  di atas gunung itu belum pernah ia berkelahi. walaupun  demikian, sama sekali ia tak takut menghadapi kedua binatang buas itu, segera ia menyerang dengan menggunakan  tipu-tipu ilmu Hok-houw ciang, Menyaksikan perkelahiannya, Bok Jin Ceng bergembira. Katanya didalam hati: 

"Anak ini ternyata benar-benar tidak sia-siakan lelahku." Tetapi setelah mengamat-amati sekian lamanya, Thio Sin 

Houw ternyata hanya dapat menyakiti kedua binatang itu saja, pukulannya sama sekali tak bertenaga, ia jadi heran, Apa sebab demikian? Bok Jin Ceng tak tahu, bahwa dalam diri Sin Houw mengeram racun jahat Hian-beng sin-ciang yang memunahkan sebagian tenaganya! 

"Sambut pedangku!" seru Bok Jin Ceng yang tak sempat  menyelidiki sebab sebabnya. 

Thio Sin Houw melompat menyambut pedang, tetapi pada saat itu kedua macan itu lari menerjang belukar, sin Houw mengejar selintasan, tiba-tiba dua  sosok  bayangan menyambar dari kiri  kanan.  cepat  ia  menggerakkan pedangnya sambil melesat  kesamping,  Ternyata penyerangnya adalah dua ekor kera hampir setinggi dirinya. 

"Jangan bunuh!" tiba-tiba terdengar  Bok-siang  Tojin berseru. 

Thio Sin Houw  mengangguk.  Kemudian  dengan pedangnya ia mendesak. ia dapat bergerak dengan gesit. Saban-saban ia menyabat  atau  menikam,  Dan  diserang secara demikian, kedua binatang  itu  berlompat-lompatan dengan gesit pula.  

Sekiranya mau, Sin  Houw dapat menikamnya dengan mudah. Akan tetapi ia hanya melukainya saja pada lengan, pundak, kepala dan kedua kakinya. 

Diperlakukan demikian, kedua binatang itu nampaknya mempunyai perasaan. Tatkala mereka melompat menjauhi lawannya tidak mengejar, Sin Houw malahan berhenti menggerakkan pedangnya, dan hanya mengawasi saja. 

Bagaikan insan manusia, kedua kera itu memekik tinggi. Kedua tangannya ditutupkan ke  kepalanya,  lalu  merebahkan diri sambil menyiratkan pandang memohon ampun. 

Thio Sin Houw datang mendekati. ia mengerti, kedua binatang itu menyerah  kepadanya, Si bisu menjadi girang, Dengan berlari-larian ia masuk ke dalam rumah dan keluar lagi dengan membawa tambang untuk pembelenggu. 

Mula-mula kedua binatang itu mencoba memberontak, mereka memekik sambil memperlihatkan kedua baris gigi mereka. Akan tetapi tenaga si bisu jauh lebih kuat. Akhirnya mereka menyerah saja, dan sama sekali tak berani melawan. 

Baik Bok Jin Ceng maupun Bok siang  Tojin  memuji kegesitan Thio Sin  Houw, Mereka menganjurkan agar dia  belajar lebih tekun lagi dan bersungguh sungguh - Sudah tentu Sin Houw menjadi  girang  dan  penuh syukur mendengar pernyataan kedua orang tua itu, iapun merasakan sendiri betapa bagus hasil latihannya.  

Disamping itu, ia memperoleh dua binatang hutan, yang seekor jantan dan yang satunya betina, oleh rasa  girangnya, Tliio Sin Houw mencarikan buah-buahan  untuk  diberikan kepada kedua binatang itu, 

Selang sepuluh hari, kedua binatang itu menjadi jinak sekali. Kedua-nya mengerti akan kesayangan Sin Houw terhadap mereka, dan  mereka kemudian  tak perlu diikat tambang lagi, Tiada niatnya untuk kabur. 

Sin Houw memberi nama A Leng kepada kera yang jantan, dan A Yung kepada yang betina. Agar mereka paham akan namanya masing-masing, sin Houw membiasakan memanggil namanya setiap kali bertemu. Bok Jin Ceng dan  Bok-siang Tojin tertawa menyaksikan pekerti Sin Houw, dan  ikut bergembira menyaksikan kedua binatang itu  telah  menjadi jinak. 

Dan setelah Sin  Houw yakin  kedua binatang itu benar- benar jinak,ia membebaskannya. Kini dengan merdeka A Leng dan A Yung mencari makan sendiri . Kadang-kadang mendaki sampai ke puncak gunung, kemudian terjadilah suatu peristiwa yang membuat suatu penemuan yang aneh sekali. 

Seperti biasanya, A Leng dan temannya mendaki puncak gunung untuk mencari makanan. Dengan berani A Leng memanjat dinding gunung, sampai mendadak saja kakinya tergelincir. Tak ampun lagi lepaslah pegangannya, sehingga ia jatuh ke dalam jurang. 

Dinding gunung itu sangat curam dan mempunyai kedalaman empat sampai limapuluh  meter lebih.  Keruah  saja A Yung menjadi kaget bukan main. segera ia menjenguk dari tepinya, ia melihat A Leng  tersangkut  pada  cabang  pohon yang tumbuh di-depan sebuah goa kosong.  

Mulut goa itu nampak hijau berlumut, pada mulut goa itulah  A Leng berpegangan. Nampak tergantung~gantung pada ketinggian tebing gunung. 

Meskipun daya pikir dan  perasaan seekor kera tidak sesempurna manusia, akan tetapi binatang itu banyak akal. Dalam sibuknya, A Yung lari pulang mencari  Sin   Houw. Tatkala itu majikannya sedang berlatih ilmu pedang, ia lantas memekik-mekik tinggi tiada hentinya sambil berjingkrakan.  

Sin Houw heran,  ia menghampiri dan  mengamat-amati tubuh A Yung. Disana-sini terdapat beberapa tusukan duri pepohonan. sedang kesan  wajahnya  nampak  ketakutan. segera ia mencari Un Siang, si bisu, untuk diajak menyelidiki kehendak binatang itu. 

Ternyata A Yung memutar tubuh  dan  berlari-lari menghampiri jurang, setibanya ditepi jurang, A Yung memekik- mekik sambil berjingkrakan, Kedua tangannya berserabutan sambil menjenguk ke bawah, Sin Houw dan Un siang segera menghampiri dan melihat A Leng dalam bahaya. 

Dengan cepat Sin  Houw lari pulang untuk mengambil tambang. Kemudian dilemparkannya tambang  itu ke dalam jurang, sedang ia mengikat ujungnya pada lengannya  dan lengan Un Siang. 

A Leng dalam keadaan sangat lelah, namun tatkala melihat menyambarnya tali segera ia menangkapnya.  Dan  di pegangnya erat-erat, Pada saat itu Sin Houw dan Un siang menariknya ke atas, Ternyata ia terluka dibeberapa tempat, syukur, tidak begitu hebat. Kemudian  dengan memperdengarkan pekikan ber-ulang-ulang ia memperlihatkan kedua telapak tangannya. " 

Thio Sin Houw menjadi heran ketika melihat dua benda tajam menancap pada telapakan tangan A Leng, ia mencabutnya, namun benda itu tertancap dengan sangat kokohnya. A Leng lantas memekik kesakitan. 

"Apakah disini ada musuh?" tanya Sin  Houw  kepada dirinya sendiri. ia menjadi curiga, segera menghampiri tebing jurang dan memperhatikan ke dalamnya. ia melihat sebuah  goa kosong. 

Pada mulut goa itulah  tadi  A  Leng  terkatung-katung, Apakah di dalam goa itu terdapat senjata bidik? Tetapi senjata bidik tak akan dapat bekerja,  tanpa   ada  yang melemparkannya. Lantas siapa? 

Mapnya tidak mungkin, karena letak goa itu  sangat terpencil. 

Dengan berbagai macam pikiran, 

Sin Houw mengajak Un siang pulang untuk mencari kedua gurunya, setelah bertemu ia menc:eriterakan  penga1aman- nya. Mendengar keterangan Thio Sin Houw maka  Bok  Jin Ceng berdua Bok-siang Tojin ikut merasa heran, Bok-siang Tojin adalah seorang pendekar ahli senjata bidik.  Melihat bentuk senjata bidik yang tertancap pada telapakan tangan A Leng, ia berkata: 

"Aku seorang yang gemar sekali akan senjata bidik, sehingga berbagai macam senjata bidik pernah kulihat. 

Tetapi senjata bidik ini  yang berbentuk kelabang,  baru untuk pertama kali inilah kulihat. Lauw-bok! Kali ini runtuhlah kedudukanku sebagai seorang ahli senjata bidik." 

Bok Jin Ceng menatap sahabatnya, kemudian berkata mengusulkan: 

"Coba keluarkan dahulu senjata  bidik  yang  menancap pada telapakan tangan binatang itu!" 

Bergegas Bok-siang Tojin masuk  ke  dalam   kamarnya untuk mengambil sebilah pisau kecil, Dengan  pisau itu ia membedah telapakan tangan  A Leng untuk mengeluarkan senjata bidik yang aneh itu. 

A Leng agaknya mengetahui maksud baik Bok-siang Tojin hendak menolong dirinya. Sama sekali ia tidak memberontak, setelah benda yang menancap pada telapak  tangannya tercabut, lukanya  segera diobati dan  dibalut, Binatang  itu nampak puas, dan segera mengikuti A Yung mencari makan.  Dua senjata bidik itu panjangnya kurang lebih tiga cun, berbentuk seperti kelabang, bersungut dua. Kedua sungut itu sekecil dan setajam jarum.  warna  keseluruhannya  hitam gelap, kotor berlumut, Tetapi setelah Bok-siang Tojin membersihkan lumutnya, benda itu  nampak  mengkilat. Ternyata terbuat dari perak ! 

"Pantas timbangannya berat, kiranya terbuat dari perak!" seru Bok-siang Tojin. 

Sekonyong-konyong Bok Jin Ceng terkejut, tak terasa ia berseru: 

"lnilah senjata bidik Gin-coa piao!" 

"Gin-coa piao?" Bok-siang Tojin menegas dengan wajah tercengang, ia terdiam sejenak, lalu berkata meneruskan: "Kau maksudkan Gin-coa Long-kun  pemiliknya?  Bukankah kabarnya dia telah wafat sejak belasan  tahun  yang lalu?" sambil berkata demikian, sekali lagi ia memeriksa senjata bidik yang berada, ditangannya, Kini wajahnya benar benar nampak terkejut, Serunya: 

"Tidak salah! Benar dia!" 

Ia membolak-balikkan senjata bidik berbentuk kelabang itu, di bagian perutnya tertera sebuah ukiran  kecil  berbunyi "THAY". Dan pada bagian perut  senjata bidik yang kedua terdapat ukiran huruf: BENG. 

"Suhu, siapakah Gin-coa Long-kun?" tanya Sin  Houw kepada Bok Jin Ceng, yang masih saja tercengang sejak tadi, "Kelak akan kuberi keterangan..." sahut gurunya setelah berdiam beberapa lama, setelah   menimbang-nimbang sebentar, ia meneruskan: "To-heng, coba katakan kepadaku, mengapa senjata bidik ini bisa berada didalam goa itu?" 

Sesuai dengan namanya, bentuk senjata itu seperti ular, bukan kelabang seperti yang diduga oleh Bok siang Tojin, ia tidak segera menjawab pertanyaan rekannya,  sebaliknya ia mengernyitkan keningnya, wajahnya jadi tegang, tak terkecuali Bok Jin Ceng, Keruan  saja Thio Sin Houw tak berani  mengulang pertanyaannya. 

Malam itu selesai waktu makan, Bok Jin Ceng dan Bok- siang Tojin duduk sambil berbicara. Thio Sin Houw mendengarkan dengan berdiam diri, sama sekali  ia  tak mengerti tentang  apa yang sedang dibicarakan. ia hanya mendengar kata-kata: "pembunuhan akibat permusuhan dan pembalasan dendam.  Kalimat-kalimat lainnya, masih gelap baginya. 

"Jadinya, Gin-coa Long-kun datang memasuki daerahmu untuk menyingkirkan diri dari musuh-musuhnya?"  kata Bok- siang Tojin menegas. 

Bok Jin Ceng tak berani  menyatakan dengan pasti, ia nampak berbimbang hati, sahutnya: 

"Mengingat kepandaiannya,  sebenarnya  tak  ada  perlunya ia menyingkir jauh-jauh sampai kemari, bersembunyi ditempat yang sunyi sepi, Baginya, merupakan alasan  yang  kurang kuat." 

"Mungkinkah dia belum  mati?" Bok-siang Tojin seperti menguji. 

"Dia seorang luar biasa." jawab Bok Jin Ceng, "Selama ini kita hanya mendengar namanya belaka, dan belum  pernah bertemu dengan dirinya. Memang kabar berita  mewartakan bahwa dia telah meninggal dunia. Akan tetapi sebab-sebabnya atau bagaimana caranya dia  meninggal,  tiada  seorangpun yang dapat memberi keterangan." 

"Dia memang aneh sepak terjangnya..." Bok-siang Tojin menghela napas. "Ada kalanya dia kejam sekali, tetapi tak jarang pula dia berbuat mulia, Dengan demikian, apakah dia seorang jahat atau seorang yang mulia hati orang hanya dapat menduga-duga saja. Beberapa kali pernah aku mencoba mencarinya, namun senantiasa gagal." 

"Sudahlah! Tiada gunanya kita menduga-duga saja."  Bok Jin Ceng memutuskan. "Baiklah, besok pagi  menjenguk  goa itu."   (Oo-dwkz-oO) 

KEESOKAN harinya Bok Jin Ceng mengajak  Bok-siang Tojin, Thio Sin Houw dan Un Siauw menjenguk goa dengan membawa senjata dan tambang. Sin Houw berada didepan sebagai penunjuk jalan lantaran dialah yang  mengetahui letaknya goa itu. 

"Hati-hati!" pesan Bok Jin Ceng ketika  Bok-siang  lojin mengatakan hendak turun sendiri. 

Bok-siang Tojin mengangguk. Cepat ia mengikat pinggangnya dengan  ujung tambang  yang tertambat pada pohon. Kemudian dengan pertolongan Un siang dan   Sin Houw, ia dikerek turun perlahan-lahan.  Didepan mulut  goa yang berlumut itu, ia berdiri memperhatikan.  

Mulut goa penuh kabut, sehingga  tanahnya tak  nampak jelas, Hatinya tercekat, meskipun ia seorang jago yang sudah kenyang makan garam. 

Dengan tertegun-tegun ia mengawaskan ke dalam   goa terus menerus. 

Biasanya, pandang mata seseorang lambat laun bisa menyesuaikan dalam kegelapan.  Setidak-tidaknya akan bisa menangkap  penglihatan  walaupun  dalam  samar-samar. Namun penglihatan Bok-siang Tojin malahan makin menjadi guram. Akhirnya ia memperoleh kesimpulan , tentulah goa itu sangat dalam. 

Ia kemudian maju meraba-raba menyelidiki ruang masuk, Dan ternyata  sempit,  ia  berbimbang-bimbang sebentar, apakah dirinya bisa memasuki pintu sempit itu...? 

Bok-siang Tojin adalah seorang  yang  keras  hati,  Tak  sudi ia mundur, sekalipun menghadapi kenyataan yang tidak memungkinkan. setelah membungkus sebelah tangannya, segera ia memasuki ke dalam mulut  goa  itu,  Meskipun seorang pemberani, namun tak mau ia berlaku semberono, perlahan lahan tangannya meraba-raba dan  tiba-tiba membentur suatu benda tajam. Benda tajam itu menancap  pada mulut goa. ia menduga itulah Gin-coa piao, senjata bidik berbentuk ular perak yang semula disangkanya berbentuk kelabang, segera secara hati-hati ia mencabutnya, lalu meraba-raba lagi dan  mencabut yang kedua. Demikianlah, sampai tujuh belas ia mencabut. ia berniat  hendak   maju meraba lagi, akan tetapi teringatlah dia kepada Un siang dan Sin Houw yang menahan tubuhnya dari atas tebing, Mereka berdua tentu sudah merasa lelah. 

"Tarik!" segera ia berteriak memerintahkan . 

Te riak airnya terdengar oleh Bok Jin Ceng, Gurunya Sin Houw itu segera memerintahkan agar menarik Bok-siang Tojin keatas dengan perlahan-lahan. Kira-kira dua tombak dari atas tebing, Bok-siang Tojin menjejakkan kakinya  pada  batu lambing. Dengan begitu cepat sekali Bok-siang Tojin telah berada di antara teman-temannya. 

"Lihat ini!" katanya kepada Bok Jin Ceng sambil memperlihatkan tujuh belas batang Gin-coa piao yang dipegangnya erat-erat. Bentuknya sama dengan senjata bidik yang menancap pada telapak tangan A Leng. 

Bok Jin Ceng memperhatikan, lalu berkata dengan sungguh-sungguh: 

"Hantu itu menyimpan bendanya  di dalam goa, apakah maksudnya? Entah benda apa lagi yang terdapat di dalam goanya? Biarlah aku yang melihat " 

"percuma saja kau turun kebawah!" Bok-siang Tojin mencegah. "Mulut goa terlalu sempit, tubuhmu tak akan dapat memasukinya." 

Bok Jin Ceng menundukkan kepalanya, ia diam berpikir, Tiba-tiba Thio Sin Houw berkata minta pertimbangan: 

"Suhu, apakah aku diperkenankan menyelidiki?" 

"Betapa mungkin?" sahut Bok-siang Tojin dengan tertawa panjang, "Jurang begitu dalam, apakah kau berani?" 

"Aku berani, supeh!" kata Sin Houw, "Suhu, aku  diperkenankan ikut menyelidiki atau tidak?" 

Bok Jin Ceng masih terbenam dalam pikiran, Kata  guru yang bijaksana itu didalam hati: 

"Orang jahat itu menyimpan senjata bidiknya didalam goa, pastilah mempunyai maksud-maksud tertentu. Sebaliknya, apabila tidak diselidiki benar benar saya, Akan  tetapi  siapa tahu justru didalam goa itu  tersimpan  suatu  ancaman bencana? Kalau anak ini kuijinkan pergi seorang diri, tidakkah akan membahayakan jiwanya?" Memperoleh pertimbangan demikian, ia lantas berkata: 

"Aku mengkhawatirkan bencana yang mengancam dirimu!" "Aku dapat berlaku waspada, suhu .,." Sin Houw 

mendesak. 

Melihat muridnya demikian berani dan bernapsu, akhirnya Bok Jin Ceng mengangguk, katanya: 

"Baiklah, tetapi kau harus  mencoba  menyalakan  api terlebih dahulu sebelum memasuki goa. Manakala api  itu padam, janganlah kau memaksa dirimu memasuki." 

"Aku tahu suhu." sahut Sin Houw, Dan cepat-cepat ia mempersiapkan sebatang obor, sedang pedangnya  segera dihunusnya, Dengan pedang dan obor di tangan, ia  dikerek  turun perlahan-lahan seperti Bok-siang Tojin. 

Cepat sekali Thio Sin  Houw telah sampai dimulut  goa. Teringat pesan gurunya, ia menyulut obor terlebih  dahulu, ternyata tidak padam, ia jadi girang, Kemudian secara berhati- hati ia merayap memasuki mulut goa, tali yang mengikat pinggangnya tak dilepaskannya, setelah  merayap  kira-kira limabelas meter jauhnya, terowongan yang dilaluinya mulai mendaki. ia maju terus perlahan dengan perlahan.  

Kira-kira tiga meter lagi sampailah  dia  pada  tempat terbuka, sehingga dapatlah ia berdiri tegak, setelah mengatur pernapasannya sejenak, ia maju terus. 

Beberapa saat kemudian, jalan yang ditempuhnya  menikung dan memasuki kelokan serta tikungan, empat lima kali, ia jadi semakin berwaspada. Dengan  memegang pedangnya erat-erat, ia maju terus. Tatkala berjalan kira-kira lima belas meter lagi, ia tiba di sebuah kamar batu, segera ia memasuki sambil memajukan obornya, Tiba-tiba ia terperanjat sampai mengeluarkan keringat dingin. 

Di atas sebuah batu yang berada ditengah-tengah kamar duduk sesosok kerangka yang lengkap tak  ubah  manusia hidup, Kedua tangannya terletak diatas pangkuannya, Dengan mata tak berkedip  dan jantung menekan-nekan, Sin Houw mengawasi kerangka itu.  

Setelah itu, barulah ia memeriksa ruang-ruang  kamar. syukurlah, tiada suatu penglihatan yang mengerikan lagi. 

Belasan Gin-coa piao menancap malang-melintang diatas tanah mengitari kerangka  itu,  sebatang  pedang  panjang terletak disampingnya. Pada dinding kamar terdapat sederet lukisan manusia berukir,  sikapnya  berlain-lainan,  mirip seorang yang sedang menghadapi tata-muslihat lawan.  Sin Houw memperhatikan dengan penuh  perhatian  akhirnya tahulah dia bahwa lukisan-lukisan itu menggambarkan seseorang sedang berlatih ilmu silat tertentu.  

Hanya saja ia tak mengarti maksudnya apalagi letak intisarinya, Pada ujung gambar terdapat tujuhbelas patah kata berukir pula, Sin Houw mendekati dan membacanya: 

"Mustika berharga ilmu sakti  rahasia  diberikan  kepada siapa yang memasuki pintu. Tetapi janganlah menyesal Manakala kena bahaya " 

Thio Sin Houw masih mengawasi dan memperhatikan  hal itu, tatkala tiba-tiba seseorang memanggilnya.  itulah suara gurunya yang memanggil namanya didepan  mulut  goa, Dengan bergegas ia merayap balik. 

Bok-siang Tojin berdua Bok Jin Ceng yang berada diatas jurang, gelisah setelah menunggu sekian lamanya. Mereka tak berani menarik tali pengikat lantaran  takut Sin Houw telah melepaskan diri dari ikatannya, Mereka menyabarkan diri  beberapa waktu lagi, Tetapi tetap saja Sin Houw tidak muncul. Khawatir anak itu menemui bencana, Bok Jin  Ceng memutuskan untuk menyusul.  

Demikianlah, setelah tiba dimulut goa segera ia memanggil-manggil nama muridnya. Hatinya lega luar biasa, begitu mendengar muridnya memberikan jawaban. 

Dengan tanda teriakan, Bok Jin Ceng memerintahkan Bok- siang Tojin dan Un siang menarik tali pengikat. sebentar saja Bok Jin Ceng berdua Sin Houw sudah berada diatas tebing, seluruh tubuh Sin Houw berlepotan lumpur, debu dan lumut. pakaian yang dikenakannya kotor dan wajahnya  nampak tegang. 

Bok-siang Tojin dan Bok Jin Ceng tahu, bahwa hal  itu terjadi lantaran anak itu pasti  menemukan  atau  melihat sesuatu yang luar biasa. Maka mereka membiarkan anak itu tenangkan hatinya terlebih dahulu.  Dan benar saja, setelah dapat menenangkan hatinya kembali , Sin  Houw kemudian menuturkan pengalamannya. 

"Pastilah tidak salah lagi! itulah  kerangka  Gin-coa Longkun." ujar Bok Jin Ceng,  "Akh, tak pernah  kusangka, seorang pendekar yang sakti luar biasa  akhirnya  binasa ditempat sesunyi ini, sungguh sayang!" 

"Apakah arti tujuh belas patah kata pesannya itu?" tanya Bok-siang To-jin minta pendapatnya. 

Bok Jin Ceng tak segera menjawab, ia merenung beberapa saat lamanya. Lalu menyatakan pendapatnya: 

"Rupanya dia menyimpan suatu benda berharga dalam goanya, Hanya kita tak tahu, mustika  apa  yang  disimpannya itu, Dia seorang pendekar yang memiliki ilmu maha sakti, pastilah dia tidak akan membiarkan ilmu saktinya musnah dari percaturan hidup.  

Dengan cara cara tertentu, pastilah dia menyimpannya di dalam goanya. Mungkin ia menunggu seorang yang berjodoh dengan pengucapan hatinya, untuk mewarisi ilmu  kepandaiannya. Sayang, dia seorang yang hidup dengan menuruti pertimbangan perasaan sendiri. ia sama sekali tak beragama, lantas berkecimpungan diantara manusia-manusia liar yang menamakan diri mereka kaum Beng-kauw!" 

Hati Thio Sin Houw tercekat. Gin-coa Longkun yang binasa didalam goa, ternyata orang yang digolongkan sebagai kaum Beng-kauw, Keruan saja perhatiannya jadi bertambah. Dalam pada itu Bok Jin Ceng meneruskan perkataannya: 

"Rupanya ia menghendaki agar yang memasuki pintunya, bisa melanjutkan cita-citanya. Jadi, istilah pintu itu bermakna cita-cita atau kaumnya. Tetapi mungkin pula berarti benar- benar pintu, yang mengancam malapetaka.." 

Bok Jin Ceng menunda bicara dan menarik napas panjang, lalu berkata lagi: 

"Jelek-jelek kita ini  manusia beragama, setidaknya kita mengenal Tuhan, Karena itu tak boleh kita mengharapkan warisan mustika dari orang kafir! Tetapi  justru  kita  merasa telah memilih jalan ke-Tuhan-an, kita harus menunjukkan kebesaran dan kelapangan hati. 

Biarlah Sin Houw esok pagi menjenguk goanya kembali, untuk mengubur kerangkanya sebagai manusia yang pernah hidup. Betapapun juga, kita harus menghormatinya  sebagai seorang cianpwee. 

Karena itu, Sin Houw, pada waktu hendak  mengubumya, kau wajib berlutut padanya, Panjatkan doa kehadapan Tuhan agar diampuni semua dosanya. Dengan cara demikian, kita semua dapat menghormatinya sebagai  manusia wajar dan layak. Kita boleh tidak sepaham dengan pendiriannya, tetapi sebagai manusia kita semua adalah mahluk Tuhan dan anak Tuhan!" 

Thio Sin Houw manggut, dan  Bok-siang Tojin seiring dengan perkataan Bok Jin Ceng, ia bahkan menyatakan rasa kagumnya. Katanya: 

"Kaupun seorang aneh pula! Seorang yang pandai  berkhotbah. Pantasnya harus hidup didekat sebuah  kuil, Kenapa kau justru bermukim diatas gunung sesunyi ini?" 

"ltulah soal kenikmatan! Kenikmatan bersembah kepada Tuhan!" jawab  Bok Jin Ceng,  Dan mendengar jawaban itu, Bok-siang Tojin menjadi  kagum, Dua tiga kali  ia  menarik napas. 

Keesokan harinya Thio Sin Houw membekal pacul dan alat-alat lainnya untuk mengubur mayat, ia diantarkan Nie Un Siang, Bok Jin Ceng berdua Boksiang Tojin tak ikut serta, karena menganggap tiada bahayanya. Mereka hanya menyertakan restunya, dan membekali lima batang obor yang berisi minyak pembakar penuh-penuh. 

Nie Un siang mengerek Sin Houw turun dengan perlahan- lahan, setelah tiba dimulut  goa, dengan cekatan Sin  Houw merayap memasuki goa. Begitu  sampai didalam ruangan kamar, segera ia menancapkan batang obornya. Lalu mulai menggali liang, Berbagai macam  pikiran  dan  ingatan berkelebat didalam benaknya. Teringatlah dia kenada nasib ayah-bunda dan  kakaknya yang binasa tak berkubur. Tak dikehendaki sendiri mengucurlah air matanya.  pikirnya  di dalam hati: 

"Dia seorang maha sakti, begitulah kata suhu. Tetapi mati disini.Kenapa? Apakah kena  fitnah?  Apakah  untuk menghindari musuh-musuhnya seperti yang dialami ayah dan ibu?" 

Tergetar hati Thio Sin Houw, ia menoleh mengawasi kerangka, Tiba-tiba berkelebatlah bayangan  Cie  siang  Gie yang berkesan baik dihatinya. 

"Dialah Gin-coa Long-kun, seorang tokoh Beng-kauw. Meskipun berkesan liar, namun para anggautanya berwatak ksatrya, sebenarnya, bagaimana  sesungguhnya?" kata Sin Houw didalam hati, Tentu saja ia tak dapat menjawab pertanyaannya sendiri itu. 

Demikianlah, setelah selesai ia menggali kubur, maka ia berlutut kepada kerangka Gin-coa Long-kun. Katanya didalam  hati: 

"Aku, Thio Sin Houw, secara kebenaran saja menemukan jenazah Cian-pwee, Pada hari ini, aku hendak  mengubur jenazah Cianpwee.  semoga tenanglah  arwah  cianpwee  di alam baka." 

Baru saja ia mengucapkan kata kata demikian, hatinya mendadak menjadi  sedih. Teringatlah dia kembali kepada kedua orang tuanya, kakaknya dan dirinya sendiri yang kini hidup yatim piatu, ia lantas menangkis sedih.  

Tiba-tiba saja tengkuknya seperti kena raba tangan halus dan dingin. itulah angin lembut yang datang dari luar goa, Sin Houw bergidik, bulu tengkuknya merinding. serentak ia menegakkan kepala -dan berputar mengarah liang kubur. 

Untuk menenangkan hati, ia menjajaki, Dirasanya, masih kurang dalam, maka mulailah ia menggali lebih dalam lagi. Tanah yang kena sentuh paculnya  ternyata  kian  menjadi lunak. ia jadi gembira dan bekerja dengan cepat.  

Tiba-tiba paculnya memperdengarkan suara membeletuk. itulah akibat suatu benturan dengan benda keras, rasanya bukan batu, Lalu apa? Besi? 

Ia mengambil obornya  lalu  menyuluhi,  ia  heran  karena pada dasar tanah itu terdapat selembar papan besi, Tertarik akan hal itu, ia memacul sekitarnya. Benar-benar papan besi yang berjumlah beberapa lembar. Lalu  ia  mulai mengangkatnya, dibawahnya  terdapat sebuah petih besar berbentuk persegi.  

Terbuat dari besi pula, Terdorong oleh rasa  ingin mengetahui, Sin Houw mengangkat peti besi itu, Timbangan beratnya sedang, dapatlah ia mengira ngira bahwa isinya tidak terlalu banyak. Lantaran tak terkunci, dengan mudah ia dapat membukanya. Ternyata ke dalamnya dangkal. Kira-kira hanya setinggi lima senti saja, Keruan saja Sin Houw jadi bertambah heran. 

"Mengherankan!" seru Sin Houw didalam  hati, "ukuran  petinya besar dan tinggi, kenapa pendek saja dalamnya?" 

Ia menemukan sepucuk surat bersampul, yang berisi delapan patah kata diatas sampulnya. Bunyinya begini: 

"Barang siapa memperoleh petiku, kuperkenalkan membuka isi sampul suratku." 

Didalam sampul terdapat dua pucuk surat bersampul pula yang berukuran lebih kecil. semuanya terbuat dari kulit kerbau, sampul surat yang pertama berkepala: Cara membuka  peti, Dan yang kedua: Bagaimana mengubur tulang tulangku. 

Setelah membaca sampul surat itu, Thio Sin Houw baru mengarti bahwa  peti besi itu berlapis,  ia mengangkat dan menggoyang-goyangkannya. Kali ini ia mendengar  suara benda bersentuhan. Namun hatinya tak tertarik akan segala warisan Gin-coa Long-kun yang disebutnya sebagai mustika. Yang terasa dalam hatinya, hanyalah kepiluan dan keharuan. Katanya didalam hati: 

"Lo cianpwee! Kalau aku mengubur tulang-tulangmu, sebenarnya kulakukan demi tulang-tulang kakakku, Thio Sin Han, yang binasa didalam jurang, Moga-moga dengan memakamkan tulang-tulangmu, seseorang memakamkan pula tulang-tulang kakakku, oh, Tuhan. Demikianlah harapanku. Tentang mustika yang  kau janjikan, biarlah diwarisi oleh seorang pendekar yang tepat." 

Thio Sin Houw kemudian membuka sampul surat kulit yang kedua. Didalamnya terdapat selembar kulit  tipis  yang  bertulisan. Bunyinya seperti berikut: 

"Leluhurku dari marga Lie, pendiri persekutuan Beng-kauv. sampai di tanganku sudah melalui ampat angkatan.  orang- orang dikalangan Rimba persilatan memberikan  gelar kepadaku sebagai Gin-coa Long-kun,  namaku  sendiri  adalah Vo Han, Dan semenjak kini lenyaplah sudah keturunan leluhurku, karena aku tak diberi kesempatan mempunyai keturunan " 

Sampai disini Sin Houw berhenti membaca, pikirnya  didalam hati: 

"Apakah ini alasan suhu, apa sebab suhu mengelakkan pertanyaanku tentang nama Gin-coa Long-kun, karena  ia adalah keturunan dari pendiri kaum Beng-kauw? Tetapi, apa sebab kemarin suhu menyebut kerangka Lo-cianpwee ini sebagai pendiri Beng-kauw, secara  kebetulan   aku menyebutnya Lo-cianpwee, kiranya tak begitu salah jauh " 

Dan ia meneruskan membaca: 

"Sekiranya kau  sudi  memakamkan  tulang-tulangku, maukah mendengarkan pesanku? setelah  kau gali lubang, tolong galilah lebih dalam lagi kira-kira satu meter, Dan tanamlah tulang-tulangku disitu, Berada didalam liang kubur yang dalam, rasanya aku akan bebas dari gangguan segala kutu-kutu dan semut " 

Terharu hati Thio Sin Houw membaca surat Lim Po  Han atau Gin-coa Long-kun, Katanya didalam hati: 

"Lo-cianpwee, aku akan membuatmu puas. Aku akan menggali lebih dalam lagi, memenuhi pesan terakhirmu " 

Dan kembali Thio Sin  Houw menggali liang kubur lebih dalam lagi, Kali ini tanah penuh batu, Tak mudah Thio  Sin Houw memacul seleluasa tadi, sebentar saja ia telah bermandikan keringat. Tatkala paculnya hampir mencapai enampuluh senti, mendadak ujungnya lagi lagi membentur sebuah benda keras sehingga menerbitkan suara gemerincing yang nyaring. 

Karena telah  memperoleh pengalaman,  walaupun  heran Thio Sin Houw menggali terus. Dan kembali  lagi  ia menemukan sebuah peti  besi  berbentuk  persegi  dan berukuran lebih kecil. 

"Pendekar gagah luar biasa ini benar-benar aneh," pikirnya  di dalam hati. "Entah benda apa  lagi yang  di simpannya didalam peti ini?" 

Ia mengangkat peti itu dan dapat  membuka  tutupnya dengan mudah. Dan seperti tadi ia mendapatkan selembar  kulit tipis yang memuat beberapa deret kalimat. Manakala ia membacanya, hatinya kaget bukan kepalang sehingga keringatnya mengucur deras. 

Beginilah bunyi  tulisan itu: 

"Kau benar-benar seorang yang baik hati dan jujur. Karena kau mendengar pesanku, sudah selayaknya aku wajib membalas kebaikan hatimu, Yang pertama  dengan  ramuan obat mustika yang kedua benda mustika dan yang ke tiga ilmu sakti warisanku. 

Manakala kau membuka peti besar, dari dalamnya akan menyambar anak-anak panah beracun. Surat dan peta yang berada didalamnya palsu semua malahan  beracun  juga! Biarlah orang-orang jahat menerima hadiahnya yang setimpal. 

Barang yang tulen, berada di dalam peti kecil  ini,  pastilah kau telah mandi keringat. Kau telanlah ramuan obat mustika yang berada dalam lapisan atas!" 

Meskipun bunyi surat itu meyakinkan, namun Thio  Sin Houw tak berani melancangi  gurunya. Lagipula, tujuannya memasuki goa bukanlah mengarah mustika yang terpendam didalamnya. ia ditugaskan memakamkan kerangka seorang leluhur, Maka tak boleh dirinya terpancing pada bunyi surat, sehingga mengabaikan  tujuan semula. sadar akan hal  itu, cepat-cepat ia meletakkan dua  peti besi  ditepi  liang,  lalu dengan sikap hormat ia mengebumikan tulang-tulang Gin-coa Long-kun. Kemudian dengan  hati-hati ia memendam dan meratakan sampai rapi,  setelah  meletakkan  batu  tempat duduk almarhum diatas pekuburan sebagai nisan,  ia  berlutut dan bersembah tiga kali, sedang  pedang almarhum  tidak disentuhnya. 

 (Oo-dwkz-oO) 

SELESAI sudah ia melakukan kewajibannya, secara langsung, sebenarnya ia sudah menjadi ahliwaris Gin-coa Long-kun. Akan tetapi dia tidak memikirkan hal itu, Dengan membawa dua peti almarhum, Thio Sin Houw keluar kamar, sampai ditikungan ia berhenti karena terowongan menjadi  sempit, ia memperhatikannya. Hatinya lega, karena sempitnya terowongan ternyata diatur oleh rencana bangunan. Rupanya Gin-coa Long-kun sengaja mengatur demikian rupa,  untuk mencegah masuknya seseorang dengan leluasa kedalam goanya.  

Memperoleh pikiran demikian, dengan cekatan ia membongkar  susunan  batu-batu  penyempit.  Dengan demikian, apabila  gurunya kini menghendaki,  bisa leluasa masuk ke dalam  goa lantaran terowongan menjadi   cukup lebar. 

Setibanya dimulut goa, Sin  Houw  memanggil  Un  siang agar menarik -tali pengikat.  Lalu dengan  berlari  larian  ia pulang mencari kedua gurunya. 

Bok-siang Tojin memeriksa surat-surat wasiat, didalam hati ia terperanjat Bok Jin Ceng yang ikut pula memeriksa surat- surat, tak terkecuali. Tatkala membuka sampul surat petunjuk membuka peti, ia membaca dengan nyaring: 

"Untuk membuka peti terdapat  pesawat rahasia, Untuk membuka, ke dua tanganmu menyentak  dengan  berbareng. Lalu bukalah penutupnya." 

Bok-siang Tojin dan Bok Jin Ceng  kagum  bukan  main, itulah jebakan yang mengerikan. Coba, andaikata Sin Houw serakah sehingga tidak memakamkan jenazah almarhum terlebih dahulu, lalu membuka petinya lantaran bernapsu,  ia pasti bakal tersambar pesawat rahasia yang tentu mengancam jiwanya. 

Bok Jin Ceng memerintahkan Nie Un siang mengambil sebuah tong besar yang ukurannya sama  setinggi  peti  besi. Lalu ia membuat dua lubang. Kemudian peti besi dimasukkan kedalamnya, dan  bagian atas tong itu ditutupnya   dengan papan. 

"Mari!" Bok-siang Tojin mengajak Thio Sin Houw. 

Berdua mereka memasukkan sebelah tangannya masing- masing, lewat lubang tong dan memegang sisi peti bagian  pelatuk, setelah  saling memberi isyarat dengan  berbareng mereka menyentakkan pelatuk yang dipegangnya.  

Penutup peti terdengar menjeblak,  lalu  terdengar  pula suara beruntun membenam pada papan penutup. Dan tong tergetar karenanya. 

Thio Sin Houw menunggu beberapa saat. Apabila suara getaran terhenti, ia hendak membuka  papan  penutup.  Tiba- tiba gurunya menarik lengannya sambil berseru mencegah: 

"Tunggu!" 

Baru saja Bok Jin Ceng menutup mulutnya, terdengarlah kembali suara susulan  seperti tadi, Thio Sin  Houw jadi mengarti maksud gurunya menarik lengannya. Sekarang, ia berpaling kepada gurunya. Dan gurunya bersikap menunggu sekian lamanya. 

"Nah, sekarang balik !" akhirnya gurunya yang bijaksana itu membuka suaranya, Dengan dibantu oleh Un Siang maka Sin Houw membalikkan tong dan di angkatnya. Dan  papan penutup yang tertinggal diatas lantai penuh tertancap  anak- anak panah. semuanya berjumlah duapuluh tujuh batang.  

Bok Jin Geng, Nie Un siang dan Bok-siang Tojin mencabuti semua anak panah yang tertancap itu dengan jepitan. setelah diletakkan diatas meja, masih saja mereka   takut menyentuhnya. 

Bok Jin Ceng menghela napas. Ka-tanya dengan suara kagum: 

"Gin-coa Long-kun benar-benar manusia yang pandai berpikir jauh dan dalam sekali. Rupanya, ia khawatir serangan pertama akan dapat dielakkan. Lalu diatur  demikian rupa, sehingga terjadi serangan susulan setelah serangan pertama reda," 

Bok-siang Tojin mengeluarkan peti besi dari dalam tong, setelah lapisan penutup terbuka, ia memeriksa dalamnya disini terlihatlah olehnya,  penuh dengan urat-urat kerbau kering malang-melintang. inilah  alat pesawat penjepret anak-anak  panah yang saling menyusul. Susunannya   seperti  jebakan tikus yang saling menyukus. sekali kena tertarik, pesawatnya segera bekerja menjepretkan anak panah puluhan batang jumlahnya. Benar-benar hebat! 

Dengan menggunakan jepitan, Bok-siang Tojin menyingkirkan urat-urat kerbau yang tidak bekerja lagi, Dibawahnya terdapat sejilid kitab berju-dul: Kitab sakti rahasia Gin-coa pit-kip" 

Dengan terus menggunakan jepitan, Bok-siang Tojin membalik-balik halaman isi kitab. isinya penuh dengan huruf- huruf kecil, gambar-gambart peta, keterangan dan contohnya serta gambar berbagai macam senjata  tajam,  Dan  semua makin menjadi kagum. 

setelah itu Bok Jin Ceng membuka peti besi lainnya yang berukuran lebih kecil. ia menemukan sejilid kitab lagi - baik bentuk dan isinya serupa. Akan tetapi apabila diamat-amati dengan seksama, ternyata berbeda. Baik mengenai  bentuk hurufnya, gambar-gambarnya dan petanya. justru inilah kitab warisan yang sebenarnya. 

"Benar-benar Gin-coa Long-kun  berotak luar biasa."  puji Bok-siang Tojin - "Untuk menghadapi orang yang tak sudi mengubur kerangkanya, dia telah mengasah otaknya demikian rupa hingga membuat kitab palsu serta panah beracunnya. Bukankah semuanya itu dipersiapkan setelah ia meninggal dunia.,.? Kenapa ia bersiaga begitu rupa terhadap orang yang masih belum diketahui termasuk buruk atau baik?" 

"Menurut khabar, ia memang seorang yang cupat pandangannya." kata Bok Jin Ceng,  "Baiknya ia tahu diri, sehingga tidak menjadi terkebur, Tetapi akhirnya ia mengalami kematian demikian rupa, disebuah  goa yang sunyi sepi, seakan-akan benar-benar anak setan atau siluman." 

Bok-siang Tojin manggut sambil menarik napas. ujarnya: "Aku  sendiri  bukan  seorang  yang  tidak  pernah melakukan 

kesalahan,   terbukti   kau   sendiri   menamakan   diriku sebagai 

pendeta    bangkotan.   Tetapi    rasanya   apabila  dibandingkan  dengan dia, masih lumayan diriku." 

Bok Jin Ceng tertawa. Kemudian ia memberi perintah kepada Sin Houw dengan sungguh-sungguh: 

Sin Houw! Kau simpanlah dua peti ini dan semua isinya. Gin-coa Long-kun adalah seorang yang berpemandangan sempit, kitabnya pun pasti akan membuat sesat orang. Karena tiada faedahnya, janganlah kau membacanya. Apalagi untuk mempelajarinya." 

Thio Sin Houw patuh  kepada  guru-nya. Kedua kitab warisan Gin-coa Long-kun  dikembalikan  kepada tempatnya semula, setelah menutup kedua peti besi, ia menyimpannya di kamar tengah. Cara mengaturnya meniru Gin-coa Long-kun mengatur kedua peti warisannya didalam goa. 

 (Oo-dwkz-oO) 

SEJAK KEJADIAN itU, Thio Sin Houw melanjutkan latihan- latihannya bertambah tekun dan rajin.  Bok-siang  Tojin demikian sayang kepadanya,  sehingga mewariskan seluruh ilmu kepandaiannya yang istimewa. itulah ilmu membidik dan ilmu ringan tubuh, selang beberapa  bulan  kemudian orang tua itu berpamit turun gunung untuk kembali hidup  berkelana seperti yang dilakukan sejak masa mudanya. 

Thio Sin Houw sebenarnya  merasa berat  berpisahan, namun tak dapat ia mencegah kehendak Bok-siang Tojin itu. 

Selanjutnya, ia belajar terus dibawah asuhan tunggal: Bok Jin Ceng, yang juga telah mewariskan seluruh ilmu kepandaiannya kepada murid yang berbakat  dan  rajin  serta ulet itu. Dan empat tahun lewatlah sudah, Thio Sin Houw kini sudah berusia duapuluh dua tahun. 

Sepuluh tahun lamanya  Thio Sin  Houw berada  diatas gunung Hoa-san, sekarang dia  tumbuh menjadi seorang pemuda yang berkepandaian  tinggi, Dari Bok Jin Ceng ia memperoleh ilmu pedang dan pukulan tangan kosong. sedang dari Bok-siang Tojin ia memperoleh seorang ahli pembidik senjata jarak jauh dan ilmu ringan tubuh.   Empat ilmu kepandaian itu digabungkannya menjadi satu, Dibandingkan dengan ilmu kepandaiannya si bisu atau bekas- bekas gurunya yang dahulu, ia berada jauh diatas mereka. Hanya mengenai tenaga pantulan, ia masih sangat  lemah. itulah disebabkan lantaran racun Hian-beng Sin-ciang  yang masih menqeram didalam tubuhnya. 

Pernah hal ini dibicarakan kepada kedua gurunya itu, akan tetapi baik Bok Jin Ceng maupun Bok-siang Tojin tak dapat mengatasi. Mereka  hanya  dapat  membesarkan  hatinya, bahwa pada suatu saat, racun yang mengeram dalam  dirinya itu pasti akan menjadi susut dan  akhirnya  musnah  sama sekali. 

Dalam pada itu karena belasan tahun Thio Sin Houw tidak pernah turun gunung, maka ia buta  mengenai  percaturan dunia. Apa yang terjadi di bawah gunung, sama sekali gelap baginya. sebaliknya, percaturan dunia pun tidak mengetahui bahwa Bok Jin Ceng berdua Bok-siang Tojin kini mempunyai seorang murid penutup. 

Pada suatu pagi pada permulaan musim semi, selagi Thio Sin Houw bertekun berlatih  dengan ditemani kedua ekor keranya, A Leng dan A Yung, tiba-tiba muncul Nie Un siang dengan menggerak-gerakkan tangannya. Tahulah Sin Houw gurunya memanggilnya. Tidak ayal lagi, ia segera berhenti berlatih. Kemudian dengan cepat ia masuk ke dalam kamar gurunya, ia heran tatkala melihat dua orang asing  bertubuh tinggi besar berdiri disamping gurunya.  

Selama berada diatas gunung Hoa-san, selain Bok siang Tojin, tiada seorang pun yang pernah mendaki mengunjungi pertapaan gurunya. siapakah mereka berdua, sama sekali ia belum kenal. 

"Sin Houw! inilah Ong toako dan Sie toako." Bok Jin Ceng memperkenalkan kedua tamunya. "Nah, kau perkenalkanlah dirimu." 

Karena gurunya menyebut mereka sebagai  "toako",  Thio Sin Houw menduga mereka berdua adalah sahabat- sahabatnya gurunya. lantas saja ia maju mendekati, memberi hormat sambil berkata: 

"Susiok, perkenalkan..." 

Baru saja Sin Houw menyebut kata-kata "susiok", kedua orang itu cepat-cepat membalas hormatnya sambil menyahut: 

"Jangan memanggil kami susiok justru kamilah yang harus menyebut dirimu susiok " 

Thio Sin Houw tertegun.  Bagaimana ini? Mungkinkah mereka berdua memanggil dirinya susiok? ia jadi berteka-teki. 

Bok Jin Ceng tertawa, katanya: 

"Maril Kalian bertiga duduklah se jajar!" 

Baik Thio Sin Houw maupun kedua tamunya lantas duduk diatas kursinya masing-masing, yang  sudah  disediakan  oleh  Un siang. Diam-diam Thio Sin Houw memperhatikan kedua tamunya itu, Mereka berdua berpakaian seperti petani, gerak- gerik mereka gesit. Hanya  kesan wajahnya tegang  dan pemalu. 

Dalam pada itu Bok Jin Ceng masih tertawa, kemudian memperkenalkan kedua I  tamunya  kepada  Sin  Houw. Katanya: 

"Belum pernah  kau ikut aku turun gunung. Maka tak mengherankan, Sin Houw, kau tidak mengetahui tingkat derajatmu. Kedua tamu kita ini Ong Kie Po dan Sie Goan Liep adalah murid-murid dari keponakanku. Mereka memanggil aku sebagai Su-couw- Dengan  sendirinya karena kau adalah muridku, maka mereka akan memanggilmu  sebagai  susiok. Tetapi karena usia mereka jauh lebih tua  dari  pada  dirimu, lebih baik kalian bertiga berkedudukan sesama saudara dan sederajat saja, Sin Houw harus memanggil Ong  Kie  Po  dan Sie Goan Liep dengan sebutan "toako", sebaliknya Ong Kie Po dan Sie Goan Liep hendak lah memanggil Sin Houw dengan sebutah sutee." 

Baik Thio Sin Houw maupun kedua tamu gurunya menjadi  lega hati kini, setelah mendengar penjelasan Bok Jin Ceng, Menurut tingkatan, memang sudah sepantasnya  kedua  tamu itu memanggil susiok atau paman kepada Sin  Houw,  karena Sin Houw adalah muridnya Bok Jin Ceng yang berkedudukan sebagai su-couw mereka.   

Akan tetapi Sin Houw yang baru memasuki usia duapuluh dua tahun, sudah barang tentu tak enak rasanya apabila dipanggil paman oleh  mereka  yang  sudah  berumur ampatpuluh tahun lebih - sekarang gurunya memutuskan sederajat dan setingkat saja. 

Keruan saja pemuda itu bersyukur didalam hati, Rasa kekakuannya hilang sebagian besar. Dan yang  dirasakannya kini suatu keakraban yang nyaman. 

"Kedua toakomu itu datang dari Shoasay atas  perintah Thio Su Seng, 

Di Shoasay ada urusan penting yang harus dirundingkan, oleh karena itu besok aku harus turun gunung." 

"Suhu, apakah  kali ini  aku diperkenankan ikut serta?" tanyanya, "Sekiranya  belum  diperkenankan  menjenguk sucouw dan sekalian susiok, biarlah aku mencari Thio susiok." 

Bok Jin Ceng tertawa mendengar permohonan Sin Houw. pemuda itu ternyata  tak pernah  melupakan mereka  yang pernah melepas budi kepadanya. Guru itu kemudian berkata kepada muridnya: 

"Pada waktu ini tentara  rakyat sedang bergerak menuju kedua propinsi Shoasay dan Siamsay, maka baiklah saat ini kau turun gunung sekalian untuk menuntut  balas  kematian ayah dan ibumu. Hanya saja masih berat  hatiku untuk mengijinkan..." 

"Mengapa? Apakah kepandaianku belum cukup untuk menuntut dendam ayah?" 

^itupun termasuk salah satu alasanku,"  sahut  Bok  Jin Ceng. "Kecuali itu masih ada alasan  lain lagi yang  lebih penting. coba pertimbangkan!"  Bok Jin Ceng memberi isyarat mata kepada Ong Kie Po  dan Sie Goan Liep. Mereka berdua lantas  keluar pendopo supaya tidak mengganggu pembicaraan  antara   guru  dan murid itu, setelah berada berdua dengan muridnya, berkatalah Bok Jin Ceng: 

"Kematian kedua orang tuamu sangat menyedihkan. sebaliknya, keadaan negara ini jauh lebih menyedihkan. Kini sedang terjadi perpecahan antara para pejuang bangsa yang berada dibawah pimpinan Thio Su Seng dan mereka yang bernaung dibawah bendera Beng kauw. Kejadian  ini meramalkan alamat yang mengerikan dikemudian hari, apabila tidak cepat-cepat kita tanggulangi bersama.  

Bangsa kita belum lagi berhasil mengusir kaum penjajah bangsa asing, sebaliknya diantara sesama kita telah terjadi perpecahan. Kau  hendak  menuntut balas  kematian ayah bundamu, itulah bagus! Tetapi  tahukah  kau  dengan  pasti, siapa sebenarnya pembunuh  ayah-bundamu? Kedua orang tuamu sendiri tatkala masih hidup masih belum memperoleh pegangan. itulah  menurut  tutur-katamu  dahulu.  Apalagi engkau! 

Bagaimana kalau kau sampai salah  membunuh ? jika sampai terjadi demikian, maka  kau  akan  menambahi kekacauan dan kesuraman bangsamu. sedang urusan negara merupakan perkara besar. Dan urusan pribadi menjadi sangat kecil apabila dibanding. Aku yakin, arwah ayah-bundamu akan mengutukmu pula bila perbuatanmu itu akan menambah kemuraman perjuangan bangsamu." 

Thio Sin Houw menjadi  terkejut, perkataan gurunya  itu bukan tak mungkin terjadi, sebab musuh orang tuanya yang sesungguhnya memang belum  diketahuinya  dengan pasti. seketika itu juga tubuhnya dirasa menjadi panas dingin. 

"Urusan negara adalah urusan besar ! Dan urusan pribadi adalah urusan kecil, kataku tadi." Bok Jin Ceng mengulangi perkataannya, "ltulah sebabnya aku berkeberatan mengijinkan kau mengadakan balas dendam pada saat init siapa  tahu, musuhmu justru memegang kendali perjuangan yang  menentukan. Karena  itu kau harus berani  bersabar dan berhati-hati.  

Manakala demikianlah keadaannya,  maukah kau mengorbankan kepentingan pribadimu? jika kau berjanji akan sanggup bersikap begitu aku akan mengijinkan.  syukurlah, apabila musuh besarmu itu, bukan  salah  seorang  pejuang yang penting kedudukannya." 

Bergplak hati ttiio Sin Houw mendengar perkataan Bok Jin Ceng, yang agung dan berwibawa. Tak terasa ia mengangguk 


"Bagus!" seru gurunya setengah bersorak. "llmu kepandaianmu kini telah mempunyai dasarnya.  Memang, segala bentuk ilmu kepandaian itu tiada batasnya. Akan tetapi aku telah mewariskan seluruh kepandaianku kepadamu. 

Aku percaya dengan berpegang kepada ilmu kepandaian yang telah kau miliki itu, kau akan bisa berbuat  lebih  banyak lagi, Hanya saja, jangan menganggap dirimu sudah sempurna sehingga merasa tiada tandingnya. inilah pantangan yang maha besar! sebaliknya bertekunlah disetiap waktu, agar memperoleh kemajuan pesat. Besok aku akan berangkat. setelah dirimu sudah merasa mendapat keyakinan, kau boleh menyusul aku di markas Thio Su Seng!" 

Thio Sin Houw girang bukan kepalang, segera ia berjanji hendak patuh kepada segala pesan gurunya. Dan mendengar janji serta kesanggupan Thio Sin Houw, maka Bok Jin Ceng memberi tahu  rahasia-rahasia  pergaulan,  dan berbagai macam tanda-sandi kaumnya, setelah itu ia  berkata menambahi: 

"Kau jujur dan berhati-hati. Aku percaya kepadamu. Akan tetapi kau masih muda, semangatmu sedang berkobar-kobar. Maka pesanku yang harus kau ingat-ingat adalah  tentang godaan paras cantik.  Menghadapi godaan ini  kau harus waspada luar biasa, sejarah hidup manusia sudah banyak membuktikan dan mewartakan  tentang  seorang  gagah perkasa yang akhirnya roboh di tangan seorang perempuan  cantik, sehingga dirinya kena malapetaka dan namanya rusak untuk selama-lamanya. Kau  ingat-ingat lah hal  begini baik- baik!" 

Pada keesokan harinya sebelum terang tanah, Thio  Sin Houw sudah bangun. Dengan dibantu  oleh Un siang, ia menyalakan api dan menanak nasi. setelah makanan siap, ia pergi kekamar gurunya untuk mempersilahkan gurunya makan pagi.  

Tetapi kamar gurunya telah kosong.  Rupanya,  gurunya telah berangkat pada tengah malam  bersama-sama  Ong  Cie fio dan Sie Goan Liep di luar pengetahuannya. ia jadi berdiri mematung, dengan pandang kosong pula  ia  mengawasi ranjang gurunya. Kesannya, sunyi menyayatkan hati, 

 (Oo-dwkz-oO) 

KEMUDIAN ketika teringat iapun bakal  turun  gunung, hatinya sangat girang. Bukankah dia  bakal  bisa bertemu dengan kakek-guru serta paman-paman gurunya di Bu-tong san? Juga dengan siang Gie Coeh dan Lie Hong Kiauw? Oleh rasa girangnya, ia berlari-larian mencari Un siang. Si bisa yvnq baik hati itu, pasti akan ikut menjadi girang. Diluar dugaan, Nie Un Siing ternyata sebaliknya, si bisu memutar tubuhnya dan dengan wajah berduka keluar dari dapur. 

Thio Sin Houw jadi terharu,  sepuluh  tahun lamanya ia berkumpul, bersenda  gurau dan bergaul bagaikan saudara kandung sendiri.  sekarang bakal berpisah.   Tak mengherankan, paman yang bisu dan  baik  hati  itu  jadi berduka. Menimbang hal itu, hampir saja ia membatalkan maksudnya hendak turun gunung. 

Dengan cepat sembilan hari lewatlah sudah. selama itu Sin Houw terus berlatih memahirkan semua pelajarannya dengan rajin dan bersungguh-sungguh,  sejak kanak-kanak ia hidup dikejar kejar musuh, maka tahulah  dia  apa  arti  ilmu kepandaian yang tinggi itu. Dengan berbekal ilmu kepandaian yang tinggi, tak perlu lagi ia berkecil hati menghadapi bahaya yang mengancam dengan tiba-tiba.  Malam hari itu, setelah makan malam ia duduk terpekur menghadapi perdiangan,  sebagai  perintang  waktu  ia membaca sejilid kitab pelajaran. Kira-kira satu jam lamanya, ia terbenam dalam isi kitab, Tiba-tiba Un siang masuk dengan menggerak-gerakkan tangannya. Si  bisu  hendak mengabarkan, bahwa seseorang telah memasuki dataran pertapaan Bok Jin Ceng dengan diam-diam. 

"Oh begitu? Biarlah kuperiksa-nya." kata Sin Houw. Tetapi baru saja bergerak hendak keluar pintu,  Un  siang mencegahnya. si bisu itu memberi isyarat mata, bahwa  ia sudah memeriksanya dan ternyata tiada nampak jejaknya.  

Meskipun demikian, Thio Sin Houw merasa belum puas, Dengan mengajak A Leng dan A Yung, ia meronda sekeliling pertapaan . ia tidak menemukan tanda-tanda yang mencurigakan, setelah yakin  tiada  yang bakal  menganggu ketenteraman pertapaan, ia kembali dan menidurkan diri. 

Kira-kira tengah malam, ia tersentak bangun mendengar teriakan dari A Leng dan A Yung, serentak ia berlompat duduk dan memasak pendengaran, sekonyong-konyong   ia mengendus bau wangi. Hatinya tercekat. sebagai murid  Ouw Gie Coen, walaupun dalam mimpi dan anak didik Lie Hong Kiauw, tahulah dia arti bau wangi itu. itulah bau wangi ramuan obat pembius.  

Seperti yang pernah dilakukan oleh Lie Hong Kiauw, ketika menghadapi saudara-saudara  seperguruannya.  Mereka semua adalah ahli ahli racun yang  tiada  taranya  di  dalam dunia ini. Keruan saja ia berteriak: 

"Celakai" 

"Cepat-cepat ia berusaha menahan napas, lalu meloncat turun. Alangkah kagetnya,  tatkala dirasakan tenaga ke dua kakinya lenyap tak keruan. Tatkala menginjak  lantai batu, mendadak terhuyung dan hampir roboh. 

"Cepat pemunah Palupi1" tiba-tiba suatu ingatan menusuk benaknya. Tangannya meraba kantong bajunya, Baru saja ia menelan sejumput, tiba-tiba pintu terjeblak, dan muncullah  sesosok bayangan melompat memasuki kamar, sebilah golok menyambar kepadanya. 

Kepala sin Houw terasa pusing sekali, akan tetapi  tak  sudi ia membiarkan dirinya kena tabasan  golok. sadar  akan ancaman bahaya, ia mengelak dengan mengendapkan kepalanya. Tangannya yang kanan berkelebat membalas menyerang, bayangan itu ternyata gesit. ia berputar dan menyabatkan golok ke lengannya. 

Menghadapi lawan  gesit, Sin  Houw tak mau bekerja setengah matang. Terus saja ia melejit dan menyusulkan  tangan kirinya. Tepat bidikannya. Dengan menggunakan sisa tenaganya, tangan kirinya berhasil menghantam pundak. Dan bayangan itu berteriak kesakitan. tubuhnya menjadi limbung. Nampaknya dia heran, apa sebab pemuda itu tidak segera roboh setelah menghisap uap  racunnya,  Dia tidak tahu, lawannya mengantongi bubuk ramuan  obat  dari  tabib istimewa. Sayang, baru menelan sedikit sudah terlibat dalam suatu perkelahian. 

"Apakah dia masih mampu melawan?" terdengar suara lain bertanya. 

Thio Sin Houw tak gentar  menghadapi  dua  lawan, ia bergerak hendak  melakukan serangan. sekonyong-konyong penglihatannya berputar, Kepalanya terasa menjadi berat, Tak ampun lagi, ia roboh tak sadarkan diri. 

Entah berapa  lama ia tak berkutik tiba-tiba ia  tersadar, itulah akibat bekerjanya bubuk  pemunah racun. Hanya sayang ia tadi menelan sangat sedikit walaupun demikian, bubuk pemunah yang hanya sejumput itu masih mampu mengusir pengaruh hawa berbisa. seluruh tubuh Sin Houw terasa lemas dan nyeri. Tatkala mencoba hendak menggerakkan ke dua tangan dan kakinya, ia terperanjat  bukan  main,  Ternyata kedua tangan kakinya telah terbelenggu. 

Dengan penasaran ia menyiratkan pandangnya, Kamarnya telah menjadi terang benderang, dilihatnya kedua orang itu sedang asyik menggeledah kamarnya, peti pakaian dan  segalanya yang tersusun rapi, dobongkarnya hingga menjadi kacau-balau. 

"Celaka!" dia mengeluh di dalam hati, Kemudian ia mengutuki diri sendiri oleh rasa sesal dan kesal. Baru satu minggu gurunya meninggalkan  pertapaan, ternyata  tempat bermukimnya kena digerayangi para pencuri.  

Dan ia sama sekali tak berdaya berbuat  sesuatu.  Kalau nanti ada yang hilang, bagaimana ia hendak mempertanggung jawabkan kepada gurunya? 

"Nasibku ini memang sial, Baru menghadapi  begini  saja aku tak mampu. Apalagi berangan-angan hendak  menuntut balas ayah-bunda segala.  Huh!  pantas  guru  belum mengijinkan aku turun gunung. Nyatanya selain aku tolol, tak berguna pula..." 

Sekalipun demikian, ia sesungguhnya seorang  pemuda yang cerdik dan cepat reaksinya,  segera  ia  berpura-pura masih tak sadarkan diri, dan menutup kedua matanya kembali. Lalu mengintai dari celah-celah pelupuk mata mengikuti gerak- gerik mereka berdua. 

Yang sedang membungkuk i bongkahan peti, seseorang yang berperawakan kurus kering,  sedangkan  yang  lain bertubuh pendek-gemuk dan  berpakaian  sebagai  pendeta, Yang kedua itulah, yang tadi kena pukulannya. 

"Dalam pertapaan ini terdapat benda berharga apa sampai mereka menggerayangi tempat ini?" pikir Sin  Houw  didalam hati dengan mendongkol. "Paling juga aku mempunyai  sisa uang seratus tail perak pemberian suhu sebagai bekal perjalanan. jangan-jangan mereka justru  musuh-musuhnya ayah yang mencium beradaku disini, celaka! Belum lagi aku turun  gunung,  sudah kedahuluan       Tetapi mengapa  mereka 

tidak segera membunuhku saja? Apa perlunya menggeledahi peti pakaianku? pastilah ada  yang dicarinya,  Aku  dibiarkan hidup untuk persediaan, manakala mereka tak dapat menemukan barang  yang dicarinya, lantas mereka akan menyiksa  diriku.  Kalau  begitu,  apakah  musuh-musuh  suhu?  Melihat gerak-geriknya, mereka  bukan orang sembarangan " 

Sambil berpikir, Thio  Sin  Houw  berusaha  merenggutkan tali pengikat, ia mengerahkan tenaganya dengan diam-diam ia terkejut setengah mati, karena ternyata tenaganya punah sama-sekali, Pada saat itu, mendadak si gemuk berteriak kegirangan: 

"ini dia!" 

Si kurus menoleh,  wajahnya berubah cerah, ia melihat kawannya sedang  menyeret peti besi  dari  kolong  ranjang, itulah peti besi warisan Gin-coa Long-kun! 

Berdua mereka mengangkat peti besi itu, dan diletakkan diatas meja, Dari dengan berbareng mereka membuka  tutup besi itu, serta mengeluarkan sejilid  kitab. setelah pelita didekatkan, terbacalah judul buku itu: KITAB SAKTI RAHASIA GIN-COA L0NG-KUN. Begitu terbaca judulnya, mereka lantas tertawa gembira. 

"Suko! Ternyata benar dugaanmu,  benda itu memang berada disini!" si kurus berseru girang. "Tak sia-sialah  usaha kita selama lima belas tahun!" 

Pendeta yang bertubuh gemuk itu tertawa lebar.   Lalu dengan pandang melotot ia membuka-buka halamannya yang penuh dengan huruf-huruf kecil, peta serta  gambar- gambarnya. saking girangnya,  ia sampai menggaruk-garuk punggung daun telinganya. 

Sekonyong-konyong si kurus berteriak kaget: "Hey! Mau lari kemana?" 

Sambil berteriak demikian, ia menuding kearah Hii.o Sin 

Houw. pemuda ini  jadi terkejut. Tahulah dia, bahwa  sikap pura-puranya ketahuan. Dan saat itu, si pendeta menoleh pula ke arah-nya. Diluar dugaan, si kurus menggerakkan tangan kanannya.  

Dalam sekejab, punggung pendeta gemuk itu tertancap sebilah pisau belati sampai ujungnya muncul didadanya.  setelah itu, sikurus meloncat mundur sambil menghunus pedangnya. Ia bersikap membela diri dengan mengandalkan pedangnya pada tenggorokan Si pendeta! 

Pendeta itu kaget kena tikam pisau belati dengan mendadak, ia menoleh, kesan wajahnya tak terlukiskan. 

Terkejut, menyesal, benci, muak, mengutuk, menangis dan dendam. sesaat kemudian tertawa kosong melolong, lalu berkata: 

"Ha-ha-ha! Lima belas tahun kita mengikat  tali persahabatan. Lima belas, tahun bersatu padu mencari ini... Sekarang   berhasil        ha-ha-hal  lalu   kau  yang   berhati mulia 

hendak  mengangkangi  sendiri  ...  Benar-benar  adil.  ha-ha-ha! 

Kenapa  belum-belum  sudah menurunkan tangan jahat " 

Dan si pendeta tertawa lagi, tawa yang hebat dan seram kesannya sampai Sin Houw bergidik seluruh bulu romanya ia 

melihat pendeta itu menggerakkan tangan kanannya hendak mencabut belati yang membenam punggung sampai menembus dadanya. Akan tetapi tangan itu tak berhasil mencapai gagangnya. Dengan  serta-merta ia  mendorong ujung belati yang menembus dadanya, ke  dalam.  Dan  pada saat itu ia memekik tinggi, lalu roboh terguling, Terlihat kakinya berkelejatan sebentar, lalu terdiam    

Si kurus menunggu beberapa saat lamanya. ia khawatir, temannya itu sedang menggunakan  tipu  muslihat. Lantas  saja ia menikamkan pedangnya dua kali berturut-turut, untuk meyakinkan hatinya. Dan menyaksikan hal itu, seluruh  tubuh Ihio Sin Houw menjadi panas dingin. Alangkah kejam orang itu sampai tega membunuh sahabatnya sendiri! 

Kemudian terdengar si kurus berkata: 

"Maaf! Kita memang tidak hanya bersahabat, tetapi juga merupakan sesama saudara seperguruan. ilmu kepandaianmu berada diatasku, seumpama aku tidak mendahului, kau pun akan membunuhku juga, Karena itu, terpaksa aku       

hmmm. !"  Mendengar perkataan si kurus,  hati  Sin  Houw  kian bergidik. Jadi, bukan hanya sahabat?  Malahan  sesama saudara seperguruan!  Alangkah bengis  orang ini -  benar- benar bengis dan kejam! 

Si kurus sebenarnya tidak mengetahui  bahwa Sin Houw sudah sadar sejak tadi, Dua kali ia tertawa seram, lalu ia menyentil angus sumbu pelita agar nyalanya jadi kian terang. Kemudian ia menganbil meja dan  membalik-balik  halaman kitab peninggalan Gin coa Long-kun.  

Dia begitu bergembira, sehingga membaca dengan mulutnya. Lalu berkata: 

"Hmm...! Bukankah ini rahasia ilmu sakti Gin-coa kun yang kau bangga-banggakan? Akh, ternyata  kau  bisa  membadut juga " 

Kembali ia membalik-balik halaman kitab itu, Diantaranya terdapat dua  tiga halaman  yang saling melekat lantaran tersimpan terlalu lama. Si kurus  lantas menempelkan jari tangannya ke lidahnya. Dengan  kuluman ludahnya  itu, ia melepaskan halaman buku yang melekat. Demikianlah yang dilakukan berulang kali, setiap kali menemui halaman  yang melekat. 

Tiba-tiba teringatlah Sin Houw bahwa kitab yang berada di peti besar itu beracun. Karena kitab itu sesungguhnya kitab palsu. Kalau begitu si kurus bakal keracunan.  Teringat  akan hal itu, ia kaget, Tak dikehendaki lagi ia berseru tertahan. 

Mendengar suara Thio Sin Houw si kurus menoleh. Tepat pada saat itu pandangnya tertumbuk pada kedua mata Sin Houw yang menggambarkan rasa takut, lantas saja ia bangkit dari kursinya kemudian menghampiri mayat si  gemuk   yang mati menelungkup dilantai. Di cabutnya pisau belatinya yang membenam dipunggung si gemuk,  setelah itu  ia  mendekati Thio Sin Houw. 

"Kita berdua sebenarnya tidak pernah bermusuhan," katanya dengan suara bengis. "Akan tetapi pada hari ini, terpaksalah aku membunuhmu."  Hebat ancaman kedua matanya,- dan sambil mengangkat pisau belati ia tertawa melalui hidungnya. selagi hendak membenamkan pisau belatinya kepada Sifi Houw, sekonyong- konyong ia seperti teringat sesuatu. ia membatalkan niatnya, kemudian berkata: 

"Jika aku lantas saja membunuhmu, sampai di akhirat kau pasti belum mengerti apa sebabnya. Baiklah aku terangkan sejelas-jelasnya, Aku datang dari keluarga Thio di Kie-ciu, Ciat-kang, pihak kami dengan Gin-coa Long-kun saling bermusuhan. sedangkan namaku sendiri adalah Thio Kun Cu. Baik kami maupun Gin-coa Long-kun telah  memutuskan  tak sudi hidup bersama dalam dunia ini, kami atau dia yang harus mati, Hal itu disebabkan karena dia telah memperkosa adik seperguruanku kemudian kabur kemari.  

Belasan tahun lamanya aku mencarinya hampir ke seluruh jagat, tak tahunya ia meninggalkan warisan kepadamu. Entah apa hubunganmu dengan dia, yang terang kau pastilah bukan manusia baik-baik.  

Itulah sebabnya, apabila kau  tidak  kubunuh,  dikemudian hari akan membuat onar pula.  Karena  itu,  biarlah  kau menuntut balas kepadaku setelah kau menjadi  hantu.  carilah aku ke Kie-ciu, tempat keluarga Thio!" 

Baru saja Thio Kun  Cu menyelesaikan perkataannya, mendadak ia menjadi  terhuyung mengarah  Thio Sin  Houw. Tentu saja Sin Houw terkejut bukan  main,  inilah  saat-saat  yang menentukan mati hidupnya. seketika itu juga datanglah tenaganya secara gaib, Terus saja ia merenggutkan tali pembelenggu tangan dan kakinya.  

Entah dari mana datangnya tenaga dahsyat itu, Barang-kali memang demikianlah yang terjadi pada setiap insan anak manusia, apabila berada dalam  bahaya  yang  mengancam jiwa, itulah  tenaga  naluriah,  tenaga  mempertahankan hidupnya.  

Dan dengan tenaga itu Sin Houw  berhasil  merenggutkan diri dari tali pembelenggunya, serentak ia melompat maju  hendak mendahului menyerang, tetapi sebelum dapat melakukan sesuatu, Thio Kun Cu roboh terjengkang dengan mendadak.  

Belatinya terlempar jauh, kedua kakinya berkelejatan lalu diam tak berkutik.  Sesaat kemudian dari mata, hidung dan telinganya mengalir darah hitam mirip buih kuda kelelahan. 

Thio Sin Houw tercengang, itulah akibat racun pada kitab palsu Gin-coa Iong-kun, pendekar besar yang sudah lama pulang kealam baka tetapi masih dapat merenggut jiwa manusia. Hebat ataukah dia jahat?  

Dalam hal ini Thio Sin  Houw merasa berhutang  budi, sebab andaikata Thio Kun Cu tidak mati keracunan, pastilah dirinya yang kini mati terkapar dengan  tubuh  membenam pisau belati seperti sigemuk tadi. Dan teringat betapa Thio Kun Cu mati terkena racun, ia menjadi sangat kagum terhadap perhitungan Gin-coa Long-kun. 

Jelas bahwa Gin-coa Long-kun pasti telah mengenal tabiat dan perangai  musuh-musuhnya. seumpama Bok-siang tojin sempat menyaksikan kekejaman Thio Kun  Cu, tentu  akan hilang sebagian prasangka buruknya terhadap pendekar besar Gon-coa Long-kun yang di anggapnya sebagai  orang  yang tidak mengenal agama dan kebajikan. 

Untuk beberapa saat lamanya Thio Sin Houw menjadi diam terpukau, sampai tiba-tiba tenaganya yang tadi datang telah menjadi sirna kembali dan ia segera roboh terkulai.  

Lebih dari seperempat jam lamanya ia rebah tak berkutik setelah bahaya  yang mengancam jiwanya lenyap,  seluruh tubuhnya terasa lelah luar biasa, itulah akibat pudar-nya rasa tegang. Tetapi ia menyadar bahwa dirinya tak boleh dalam keadaan seperti itu terlalu lama, Rumah terlalu sunyi dan mengerikan, dengan tidak munculnya si bisu sekian lamanya, pastilah ia dalam keadaan gawat! 

Dengan sisa tenaganya ia meraba saku  celananya, kemudian menelan obat pemunah yang tinggal beberapa butir, itulah obat pemunah  racun buatan Lie Hong Kiauw yang  dikirimkan satu tahun sekali lewat Thio Hian Cong, walaupun belum dapat memunahkan racun Hian-beng  sin-ciang yang mengeram didalam tubuhnya, namun setidaknya dapat membantu kesehatannya. Demikianlah, setelah menelan obat pemunah itu tangan dan kakinya dapat digerakkan kembali seperti biasa. 

Segera ia lari keluar kamar dan melihat  si  bisu  Nie  Un siang terbelenggu dengan kedua mata terbuka lebar, tubuh si bisu itu tidak bergeming, sehingga Thio Sin Houw cepat-cepat menolong membebaskannya.  

Tak jauh dari tempat itu, A Leng dan  A  Yung  menggeletak tak berkutik pula. Dengan hati cemas pemuda itu mendekati, ternyata kedua binatang itu telah terbang nyawanya  akibat tangan jahat. 

Hati Thio Sin Houw terpukul penuh haru, Dengan kedua binatang itu, ia bergaul tak ubah sebagai anggota keluarga selama beberapa tahun lamanya.  sekarang  mereka  mati akibat malapetaka terkutuk. Jadi  pekiknya  semalam merupakan suara mereka yang penghabisan -untuk pendengaran Thio Sin Houw. 

"Apakah yang telah terjadi?" tanya Thio Sin Houw setelah Nie Un siang berhasil dibebaskan. 

Si bisu menjawab dengan gerakan tangannya, ia menceritakan bahwa ia di pukul dari belakang, sebelum dapat melawan, ia telah dibelenggu. Gerakan tangannya memberitahukan pula bahwa hidungnya mencium bau-bauan yang melumpuhkan tenaganya. Thio Sin Houw tak  berkata- kata lagi,  satu-satunya yang  dapat  dilakukan  hanyalah menarik napas panjang. pengalaman si bisu tiada bedanya dengan pengalamannya sendiri. 

Tatkala pagi hari tiba, dengan bantuan si bisu, Thio Sin Houw membawa keluar jenazah Thio Kun  Cu  berdua temannya yang mereka kuburkan dalam sebuah liang, Kemudian ia mengubur juga jenasah A Leng dan A Yung  tak jauh dari kuburan kedua orang jahat itu.  Pada malam harinya, oleh rasa sunyi maka Thio Sin Houw jadi teringat dengan pengalamannya. ia bergidik dengan sendirinya apabila membayangkan ancaman yang sangat berbahaya itu, Ketika peti besi warisan Gin-coa Long-kun diketemukan, ia belum lagi berumur duapuluh tahun. 

Kini umurnya menanjak hampir duapuluh tiga tahun, oleh kesibukan latihan-latihannya,  hampir  saja  ia  melupakan tentang peti besi itu. 

Sekarang setelah menyaksikan betapa Thio Kun Cu saling memperebutkan dan saling mencurigai, hatinya tergerak untuk ia melihat isi kitab warisan itu yang asli, pikirnya didalam hati: 

"Limabelas tahun lamanya mereka mencari terus menerus, mereka kemudian rela saling mengadu  jiwa,  seumpama warisan Gin-coa Long-kun tidak berharga sekali, tidak akan terjadi demikian sebenarnya, apakah yang  tertulis  di  dalam kitab itu?" 

Tiba-tiba teringatlah Thio Sin Houw  kepada  kata-kata kedua gurunya yang melarangnya membaca isi kitab warisan pendekar luar biasa itu, ia menjadi bimbang sampai sekian lamanya. Dalam hatinya timbul suatu pertengkaran yang seru, sampai akhirnya ia menjenguk kolong ranjangnya.  

Peti besi kecil itu disimpannya disebelah dalam,  teraling oleh peti yang besar sehingga tidak terlihat oleh kedua orang jahat itu. 

Thio Sin Houw kemudian  menyeret peti kecil  itu,  yang penuh debu bercampur sarang laba-laba. Dengan hati-hati ia mengambil kitab warisan yang  asli,  ia  membalik-balik halamanya dan memberhatikan semuanya dengan sesungguh hati.  

Dalam hal ilmu pukulan dan cara melepaskan senjata rahasia, keterangannya  jauh berbeda dengan  ajaran  Bok- siang Tojin dan Bok Jin Ceng. 

Traktiran: (7891767327 | BCA A.n Nur Ichsan) / (1740006632558 | Mandiri A.n Nur Ichsan) / (489801022888538 | BRI A.n Nur Ichsan) ataupun bisa melalui via Trakteer yang ada dibawah

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar