Jilid 09
"llmu kepandaianku ini kuperoleh dari seorang sakti yang telah berusia lanjut, Aku sendiri belum berhasil menyelami sampai ketataran kesempurnaan Meskipun demikian, apabila hanya untuk melayani jago-jago kelas dua atau kelas tiga, rasanya sudah cukup, Tatkala aku mewarisi ilmu pukulan ini, orang aneh itu memaksa aku untuk bersumpah kepadanya, bahwasanya sejak itu tak boleh aku menghina orang-orang yang berkelakuan baik atau mencelakai seseorang tanpa alasan..."
Thio Sin Houw seorang anak yang cerdik, segera ia mengerti maksud Thio Hian Cong, Katanya didalam hati:
"Sebelum menerima ajarannya, aku diwajibkan bersumpah dengan berlutut. Aku dibawanya berjalan ditengah malam yang gelap pekat, Maksudnya bukan aku berlutut kepadanya, akan tetapi kepada diriku sendiri dan bersembah kepada orang aneh yang memiliki ilmu sakti yang akan diajarkan.
Memperoleh pikiran demikian, segera ia berlutut benar- benar, serunya:
"Aku Thio Sin Houw, dengan ini bersumpah kepada diriku sendiri, kepada pemilik ilmu sakti yang akan diajarkan kepadaku, kepada bumi dan langit serta Tuhan, bahwasanya setelah aku mewarisi ilmu sakti ini tidak akan kupergunakan untuk menghina orang orang yang bertabiat baik dan mencelakai seorang tanpa alasan apabila ternyata - dikemudian hari aku melanggar " sumpah ini, paman Thio Hian Cong boleh datang kepadaku, untuk membunuh diriku."
Mendengar sumpah Sin Houw, Thio Hian Cong tertawa. ujarnya:
"Bagus! Berdirilah tegak kembali dan dengarkanlah! Tahukah kau, ilmu sakti apakah yang hendak kuajarkan kepadamu ?"
"Pastilah ilmu sakti yang terelok didunia ini!" jawab Sin Houw dengan suara penuh semangat.
Sekali lagi Thio Hian Cong tertawa. Berkata:
"lnilah ilmu sakti Hok-houw ciang - esok pagi bisa kita mulai "
Thio Hian Cong berkata "esok pagi ", akan tetapi tiba-tiba tubuhnya melesat. Gerakan itu mengherankan dan mengagumkan Thio Sin Houw. Gurunya yang baru itu lenyap dari pengamatannya, Tatkala menoleh, gurunya sudah berada dibelakang punggungnya dan menepuk pundaknya.
"Kau tangkaplah aku!" seru gurunya.
Thio Sin Houw telah memperoleh dasar-dasar ajaran ilmu sakti dari ke empat gurunya. Kecuali dasar pembawaannya baik, diapun seorang anak yang cerdik dan cerdas luar biasa. Begitu mendengar seruan Thio Hian Cong, ia tidak segera memutar tubuhnya untuk menangkap.
Akan tetapi ia mengendapkan pundaknya dahulu, kemudian baru tangan kirinya digerakkan. Dan tangan kanannya tiba-tiba menyusul menyambar sambil mendengarkan kesiur angin gerakan tubuh gurunya. Dan pada saat itulah, kedua tangannya tiba-tiba menyambar ke arah kaki.
"Bagus! inilah cara menangkap yang tiada celanya sama sekali!" seru gurunya, Namun sambaran yang bagus itu tiada hasilnya. Sebaliknya, sekali lagi pundaknya kena tepuk. Sin Houw kaget, secepat kilat ia memutar tubuh, tetapi tubuh gurunya, lagi-lagi luput dari pengamatan.
Menghadapi kecepatan gerak gurunya itu, otak Thio Sin Houw yang cerdik lantas saja bekerja. Teringatlah dia ajaran- ajaran Ouw Sam Ciu berempat yang pernah memberinya dasar-dasar ilmu sakti. sekarang, tidak lagi ia memutar tubuh atau menyambar sasaran.
Sebaliknya, selangkah demi selangkah ia berjalan mengarah ke sebuah batu besar, Begitu menghampiri, segera ia memutar tubuhnya dengan dinding batu di belakang punggungnya. Kemudian berseru girang:
"Suhu, sekarang tak dapat lagi suhu menyelinap dibelakang punggungku, Aku dapat melihat gerakan suhu!"
Inilah suatu kecerdikan yang mengagumkan Thio Hian Cong. Dengan berdiri didepan sebuah batu besar, tak dapat lagi ia menyelinap dibelakangnya anak itu, Maka sambil tertawa ia menyahut:
"Bagus! Bagus sekali ! Kau cerdik dan mempunyai bakat besar! Di kemudian hari pastilah kau dapat mewarisi ilmu sakti Hok-houw ciang dengan sempurna."
Keesokan harinya, Thio Hian Cong mulai memberikan pelajaran jurus jurus ilmu saktinya. Dalam beberapa hari saja selesailah sudah seratus delapan jurus yang mempunyai tiga perubahan pada setiap gerakannya. Mengelak dan menyerang silih berganti, sehingga semua jurusnya berjumlah tigaratus dua puluh empat.
Seperti diketahui, Thio Sin Houw memiliki otak yang cerdas luar biasa, yang jarang terdapat di dunia. Baru saja diajari tiga kali, sudah dapat ia menghafal dan memahami semuanya. Bahkan dengan perlahan-lahan ia dapat pula melakukan gerakan-gerakan jurus ilmu sakti Hok-houw elang dengan tepat sekali.
Menyaksikan hal itu, diam-diam Thio Hian Cong bergembira bukankepalang. Terus saja ia mulai memecahkan intisari jurus-jurus yang telah dipahaminya itu, Pandai sekali Thio Hian Cong meresapkan ajarannya kedalam perbendaharaan muridnya, Sebaliknya, Thio Sin Houw yang mempunyai bekal sangat luar biasa dan bersungguh-sungguh, dengan mudah saja dapat menangkapsemua keterangan dan penjelasan gurunya. inilah yang dinamakan suatu perjodohan.
Gurunya rajin, ulat dan cermat, sedangkan muridnya bersemangat penuh dan bersungguh-sungguh, dengan mudah dapat menangkap semua keterangan dan penjelasan gurunya, Pada setiap malam, tigapuluh jurus dengan pecah- pecahannya dan perubahannya, dapat di lampaui dengan cepat serta sempurna. Apabila sedang berlatih, anak itu tidak mengingat waktu lagi, Tahu-tahu fajar hari telah tiba.
Pada pagi hari ke empat, tatkala Thio Hian Cong berjalan- jalan menghirup udara segar, tiba-tiba ia melihat Thio Sin Houw masih saja asyik berlatih. ia jadi kagum akan kemauannya yang keras, setelah memperhatikan selintasan, ia menjadi heran lantaran muridnya dapat melakukan inti rahasia ilmu Hok-hok ciang dengan sempurna.
Padahal ia baru saja mengajarkannya. Keruan saja ia bersyukur dalam hati.
Dengan berindap-indap ia menghampiri muridnya, kemudian melompat dengan mendadak serta menghantam punggung. Thio Sin Houw kala itu sedang bertekun menyelidiki jurus ke sembilan puluh delapan, Tiba-tiba ia mendengar kesiuran angin tajam mengancam punggungnya. Cepat luar biasa ia berputar tubuh sambil meloncat ke samping, Tangan kanannya ditabaskan untuk menangkis berkelebatnya kaki yang menendang dirinya, Akan tetapi begitu mengenal siapakah penyerangnya, segera ia menarik tangkisannya,
"Thio susiok!" serunya girang.
"Jangan berhenti ! Hayo, serang terus !" sahut Thio Hian Cong dengan tertawa. ia mendahului menyerang kepala.
Dengan cepat Sin Houw mengelakkan diri, Kakinya dimajukan selangkah agak kesamping, dan dari situ ia mulai mengirimkan serangannya mengarah pinggang, inilah jurus ke sembilan puluh delapan.
"Bagus! Begitulah seharusnya!" puji Thio Hian Cong, Guru ini segera menangkis dan kembali menyerang.
Thio Sin Houw melayani serangan gurunya beberapa jam lamanya. seringkali ia salah langkah dan gurunya segera membetulkan, sehingga ia jadi sangat bersyukur. semangat tempurnya makin lama makin menghebat. Terus , menerus ia melayani gurunya, sehingga habis lah semua tiga ratus dua puluh empat jurus. Namun gurunya enggan berhenti.
Bahkan dia menyerang lagi dan mengulang semua jurus- jurus pukulan sampai beberapa kali, Dan Thio Sin Houw sendiri seakan-akan memperoleh suatu mustika yang tak ternilai harganya. Dengan tak disadari sendiri ia telah
menggenggam beberapa macam rahasia pukulan Hok-hok ciang, yang belum pernah diperolehnya dari keempat gurunya dahulu.
"Sekarang marilah kita beristirahat !" ajak Thio Hian Cong telah melihat muridnya itu mandi keringat. Akan tetapi selagi duduk beristirahat, ia mulai memberikan berbagai penjelasan penting. Dan apabila melihat muridnya sudah cukup beristirahat, kembali lagi ia melatihnya dengan sungguh- sungguh.
Mereka berdua, guru dan murid terus menerus berlatih sampai tiba saat bersantap pagi hari, Kemudian kembali mereka berlatih lagi sampai matahari condong ke barat, setelah makan siang, lagi-lagi mereka berdua berlatih sampai jauh malam.
Tegasnya, mereka berhenti beristirahat apabila waktu makan tiba, Tak terasa, tujuh hari lewatlah sudah, Pada malam hari ke delapan Thio Hian Cong berkata kepada Sin Houw:
"Sin Houw, apa yang kumiliki kini telah kuberikan kepadamu, sekarang tinggal caramu meyakinkannya, Apabila menghadapi musuh, seseorang akan mengandal pada tujuh bagian latihannya dan tiga bagian pada kecerdasannya, apabila kau hanya mengandal kepada latihanmu saja, akan sukarlah memperoleh kemenangan. sebaliknya apabila engkau hanya mengandal kepada kecerdasanmu belaka, hasilnya sama pula, Kau tidak akan berdaya, karena kau melupakan latihanmu, Kedua unsur itu harus saling mengisi."
Dengan bersungguh-sungguh Thio Sin Houw merasukkan nasehat gurunya itu kedalam perbendaharaan hatinya. Di kemudian hari ia dapat membuktikan kebenaran pesan itu. Karena rajin berlatih dan dibantu oleh kecerdasan otaknya, ia berhasil melampiaskan dendam orang tuanya yang mati tak berliang kubur.
"Esok pagi aku harus bergabung kepada Lie Ciangkun kembali," kata Thio Hian Cong lagi. Maka semenjak malam ini, kau harus sanggup berlatih seorang diri.
Merah kedua mata Thio Sin Houw mendengar ucapan gurunya itu. Hampir-hampir saja tak sanggup menahan linangan air matanya, benar dia baru berkumpul beberapa hari saja, akan tetapi sepak terjang gurunya itu sangat menawan hatinya. Dia seorang yang manis budi, mengajarnya dengan sungguh-sungguh.
Thio Hian Cong sebenarnya seorang peperangan yang ulung. seringkali ia melihat berbagai peristiwa yang menggoncangkan hatinya. walaupun demikian, melihat muridnya itu mendadak menundukkan kepalanya, hatinya tak urung menjadi terharu pula.
Terus saja ia mengusap-usap rambut anak itu. Katanya dengan suara membujuk:
"Sin Houw! jarang sekali aku bertemu dengan seorang yang berbakat dan cerdik sebagai kau. Hanya sayang sekali, kita berdua tidak diperkenankan berkumpul lebih lama lagi."
"Bagaimana kalau aku ikut susiok saja, bergabung dengan Lie Ciangkun?" Thio Sin Houw mencoba.
"Kau masih terlalu muda, Sin Houw - belum bisa kau hidup didalam kancah peperangan." sahut Thio Hian Cong.
Thio Sin Houw hendak menjawab ucapan gurunya itu, mendadak terdengar suara teriakan kaget yang sangat riuh.
Bulu kuduknya lantas saja meremang dengan tak dikehendakinya sendiri. Dan bersama gurunya, ia lari mendaki tanjakan. Begitu melihat apa yang terjadi dibawah gunung, mereka berdua bukan kepalang kagetnya.
Seluruh gunung menjadi terang benderang oleh nyala api yang datangnya dari bawah. Lalu, nampaklah berbagai senjata berkilauan. itulah tentara Mongolia yang dengan tiba-tiba saja telah mengurung puncak gunung Beng-san.
Para orang gagah yang bergabung dalam laskar perjuangan Cu Goan Ciang, baru saja bubar. Yang masih berada diatas gunung tidak begitu besar jumlahnya, inilah suatu masalah yang menyulitkan ! Merekapun tidak berjaga- jaga atau memperoleh berita terlebih dahulu tentang sergapan tentara Mondolia, hal itu disebabkan lantaran penjaga yang berada digardu-gardu penjagaan, telah terbunuh semuanya.
Dengan demikian, tiada seorangpun diantara mereka yang dapat memberikan tanda bahaya.
Cu Kauwcu adalah seorang peperangan ulung, Meskipun terkejut, namun hatinya tidak gentar sama sekali. Dia-lah salah seorang jago kenamaan dikalangan Rimba persilatan yang berkepandaian tinggi, dengan suara tenang mereka menghampiri Ouw Sam Ciu dan berkata:
""Ouw hiantee! Kau pimpinlah para tukang masak dan penjaga-penjaga perkemahan, untuk menyulutkan api sebelah timur, jangan lupa, kalian harus berteriak-teriak agar lawan tersesat!"
Dengan gembira Ouw Sam Ciu melakukan tugas itu dengan cepat, ia berlari-lari sambil memanggil tukang masak dan sebagainya, setelah terkumpul, mereka dikerahkan mengarah ke sebelah timur gunung.
"Coa Hiantee dan Go Hiantee .., "
Cu Kauwcu kemudian memanggil Coa Kim siong berdua Go Kim Sun, "Jiwie berdua hendaknya bertugas menahan lajunya tentara musuh. Bawa beberapa orang yang pandai memanah, hujani mereka dengan anak panah beberapa kali! setelah itu, cepat kembali mencari diriku!"
Kedua guru Thio Sin Houw itu segera berlalu dan membawa tugas Cu Goan Ciang, setelah mereka pergi, Cu kauwcu kemudian menghadapi Thio Hiang Cong. Katanya dengan suara hati-hati:
"Thio hiantee, perkenalkan aku memohon kepadamu, sudikah kau memegang satu tugas yang amat penting?"
"Apakah Kauwcu menghendaki agar aku melindungi Sin Houw?"
Cu Goan Ciang tertawa, kemudian menyahut:
"Benar! Dan setelah berkata demikian, dengan hormat ia menjura kepada Thio Hian Cong.
Keruan saja Thio Hian Cong kaget bukan kepalang, tersipu-sipu ia membalas hormat. Katanya mencegah:
"Kauwcu! janganlah Kauwcu berbuat demikian kepadaku, perintahkan saja apa yang harus kulakukan, dan aku akan melakukan tugas Kauwcu dengan segenap hatiku."
Pada saat itu suara hiruk piruk terdengar semakin hebat. sekarang tentara Mongolia mulai melepaskan anak panah, dan suara mereka itu datang dari atas gunung. Tahulah Cu Kauwcu bahwa itu semua hasil kerja Ouw San Ciu yang berusaha menyesatkan lawan.
"Thio hiantee," katanya perlahan, "Tie-kong tianglo adalah seorang sesepuh, dia mempunyai murid bernama Thio Kim San. Dan adik ini, adalah puteranya satu-satunya, Karena itu, tolonglah dia agar terluput dari bahaya ini ! Bawa dia turun gunung dengan selamat!"
"Aku akan melakukan perintahmu, Cu kauwcu." sahut Thio Hian Cong.
Pada waktu itu Coa Kim siong dan Go Kim Sun telah kembali menghadap Cu Kauwcu, setelah melepaskan hujan anak panah. Cu Goan Ciang menyatakan rasa puasnya, kemudian berkata lagi:
"Aku akan berjalan bersama saudara Go Kim Sun, kemudian kami berdua akan bergabung dengan saudara Ouw Sih Ciu. Kami bertiga akan menerjang musuh dengan menuruni gunung sebelah timur. saudara Coa Kim siong bersama saudara Ho Thong Cun akan menerjang lawan dari barat. Agar penglihatan musuh tersesat, kami bertiga akan mendahului menerjang. Dengan disusul terjangan saudara Coa Kim siong dan soudara Ho Thong Cun.
Saudara Thio Hian Cong cepat-cepatlah membawa Sin Houw turun gunung dari sebelah utara, Dikemudian hari, kita semua akan kembali berkumpul menjadi satu lagi!"
Semua orang yang mendengar perintah Cu Kauwcu menjadi kagum, Pada saat segenting itu, Cu Kauwcu masih sanggup mengatur cara mengelakkan lawan demikian rapi. Coba andaikata dia mempunyai pasukan tentara, pastilah keadaan medan laga akan menjadi lain sifatnya.
Thio Sin Houw waktu itu sedih bukan main, lantaran harus berpisah dengan keampat gurunya yang pernah mendidiknya dengan sungguh-sungguh, inilah perpisahan yang amat menyakitkan hatinya, perpisahan yang tiada kata-kata selamat jalan atau selamat berpisah, lantaran dipaksa oleh keadaan. Apa yang dapat dilakukannya, hanyalah membungkuk hormat beberapa kali terhadap mereka. Katanya terisak.
"Ouw susiok, Coa susiok, Ho susiok... sampaikan hormatku kepada Go susiok yang aku... tak dapat..."
Thio Sin Houw menyelesaikan perkataannya, karena tenggorokannya seakan-akan tersumbat. maka ia mencoba menguasai diri, Cu kauwcu telah mendahului. Kata pemimpin itu:
"Adikku! jangan kau berpisah dari gurumu, Thio Hian Cong! Kau harus dengarkan setiap perkataannya!"
Thio Sin Houw masih berkutat dengan perasaan sendiri. Untuk menjawab perkataan Cu Kauwcu, ia hanya dapat memanggut, Dalam pada itu, suara berisik ditengah gunung, terdengar semakin hebat. itulah suatu tanda bahwa tentara Mongolia sudah mulai mendaki bukit yang berada didepan.
"Mari!" ajak Go Kim Sun.
"Thio hiantee, kau berangkatlah sebentar lagi... setelah kita berhasil menyesatkan musuh."
Mereka semua lantas mulai bekerja - Go Kim Sun melihat Thio Hian Cong tidak bersenjata, maka cepat-cepat ia melemparkan goloknya kepadanya sambil berkata setengah berseru:
"Thio hiantee, sambutlah ini!"
"Aku tidak membutuhkan senjata apapun!" sahut Thio Hian Cong, ia menyambar golok itu yang sedang melayang di udara, Tatkala hendak di kembalikan kepada pemiliknya, Go Kim Sun sudah lari jauh sehingga ia membatalkan maksudnya.
"Mari!" katanya kepada Sin Houw. Dengan membawa golok ditangan kanannya, ia menarik lengan Thio Sin Houw dengan tangan kirinya, Kemudian dibawanya lari mengarah utara.
Dengan berlari-larian, mereka berdua mengitari belakang pesanggrahan, dari sana cahaya api nampak terang benderang, Diantara nyala api itu, kelihatan tentara Mongolia mendaki puncak gunung berlapis-lapis, Entah berapa jumlahnya. Merekapun mulai melepaskan anak panah api.
Menyaksikan hal itu Thio Hian Cong merandek, kemudian ia balik memasuki dapur dan muncul kembali dengan membawa kuali penggorengan.
"lni tamengmu!" katanya kepada Sin Houw sambil menyerahkan sebuah kuali.
Dengan berlompatan, mereka berdua memasuki kabut gelap. Dan pada saat itu terdengarlah teriakan-teriakan tentara Mongolia sambung menyambung:
"Kejar! Kejar!"
Dan tentara Mongolia itu berserabutan mengejar mereka berdua sambil memanah.
Thio Hian Cong berjalan di belakang, dengan perisainya yang istimewa ia menangkis setiap anak panah yang menghujani, Ditengah kesibukan itu tameng istimewanya menerbitkan suara berisik membisingkan telinga.
Thio Sin Houw sendiri seperti mengerti akan tugasnya sebagai pembuka jalan, ia maju dengan bersenjata sebatang tombak pendek. Tatkala kena pegat tentara yang sedang merangkaki tebing, terus saja ia menyerang, Dan belasan tentara kena dirobohkan dengan mudah.
Akan tetapi tombak pendek itu merupakan senjata yang tidak tepat baginya.
Gerakannya tidak begitu leluasa, itulah sebabnya, setelah kena keroyok tentara lainnya, ia hanya dapat melindungi dirinya. Tak lama kemudian tibalah mereka dipinggang gunung, Baru saja mereka melepaskan napas lega, terdengar suara ribut lagi, pasukan tentara Mongolia yang dipimpin oleh seorang perwira tiba-tiba saja menerjang dari samping, Perwira itu rupanya bermaksud hendak menangkap Thio Hian Cong dan Sin Houw hidup-hidup, itulah sebabnya ia melarang tentaranya melepaskan anak panah, sebaliknya dengan pedang panjang di tangan ia memimpin pasukannya mengepung rapat-rapat.
Thio Hian Cong menangkis sebatang pedang perwira itu. Dalam bentrokan ia mengetahui bahwa perwira itu bertenaga besar, maka dengan sebat ia membalas menyerang.
"Maju!" perwira itu memberi aba-aba kepada tentaranya. Tak sudi Thio Hian Cong melayani perwira itu lama-lama.
Dengan lindungan tameng istimewanya, ia mengancam perwira itu dengan golok pemberian Go Kim Sun. ia menikam sambil membentak, dan celakalah perwira itu. Tulang iganya kena tikaman golok.
Ketika Thio Hian Cong mencabut senjatanya, ia menoleh. Ternyata Sin Houw tak terlihat lagi, Bukan main ia menjadi terkejut, Dengan pandang beringas ia mengembarakan goloknya, Di sebelah kirinya ia melihat kerumun tentara sambil berteriak-teriak kalap.
Segera ia melompat dan menerjang.
Dan kena terjangannya, beberapa tentara mundur dan menyibakkan diri dengan menderita luka-luka parah. Ternyata Sin Houw terkepung oleh tiga orang tentara yang bersenjata pedang panjang, Tombak pendeknya sudah terlepas dari tangan. ia melawan dengan jurus-jurus, ilmu sakti Hok-houw ciang dengan tangan kosong. Meskipun terdesak, namun masih bisa ia mempertahankan kedudukannya.
Menyaksikan hal itu, tanpa bersuara lagi Thio Hian Cong melompat menerjang, seorang tentara roboh terjungkal dan menyusul yang kedua, dengan demikian, tertolonglah Thio Sin Houw. "Mari!" ajak Thio Hian Cong, Dan sambil menarik tangan Sin Houw, ia menyibakkan beberapa serdadu yang masih menghadang didepannya.
"Kejar!" seru beberapa tentara. Dan mereka lantas saja mengejar beramai-ramai sambil berteriak sambung- menyambung,
Mendengar teriakan sambung menyambung itu, sepasukan tentara yang berada di sebelah kiri turun mener- jang, Thio Hian Cong membalikkan tubuh dan menikam, Dua orang tentara roboh tertikam dengan sekaligus. Kemudian ia menerjang yang ketiga, yang mencoba merangsak dari depan. Serdadu itu kena dilemparkan sehingga roboh terjungkal dan menjerit tinggi.
Menyaksikan hal itu, tentara yang lainnya, yang sedianya hendak menerjang beramai-ramai, tak berani mendesak lebih jauh, Mereka merandek seperti patung-patung tak bernyawa. Tentu saja hal itu merupakan kesempatan yang bagus sekali bagi Thio Hian Cong, De-ngan cepat ia menyambar Sin Houw dan kemudian didukungnya, Dengan menggunakan ilmu ringan tubuh, ia kabur sepesat angin. setelah cukup jauh meninggalkan lawan, barulah ia menurunkan Sin Houw diatas tanah.
"Apakah kau terluka?" Thio Hian Cong minta keterangan. Thio Sin Houw mengusap mukanya. Tangannya
menyentuh cairan lendir yang telah melekat dimukanya. Cepat-cepat ia memeriksa tangannya dalam cahaya bulan remang-remang, dan ia melihat cairan merah, itulah darah segar, Keruan saja ia terkejut, Hatinya tercekat pula tatkala melihat wajah gurunya berlepotan darah, gugup ia berseru:
"Susiok! Darah darah!"
"Tidak apa. inilah darah tentara Mongolia yang kena tikamanku." sahut Thio Hian Cong, "Apakah kau terluka?"
"Tidak." jawab Sin Houw,
"Bagus!" Thio Hian Cong merasa bersyukur. Terus saja menggandeng Sin Houw seraya berkata:
"Mari, Kita harus cepat-cepat pergi dari sini!"
Mereka lantas menyelusup diantara pohon-pohon, menghindari bahaya, setelah berjalan kira-kira setengah jam lamanya, sampailah mereka di suatu lembah yang sama sekali tiada pohonnya, tatkala Thio Hian Cong melongok ke bawah, nampak cahaya terang dibeberapa tempat, puluhan tentara berjalan mondar mandir dengan menyandang senjata. Keruan saja hatinya terkejut bukan main, Tak terasa ia berseru tertahan:
"Akh! Tak dapat kita lewat disitu, kita harus mengambil jalan lain, Di sinipun tiada semak belukar, untuk kita berlindung,"
Dengan tetap membimbing tangan Sin Houw, maka Thio Hian Cong memilih jalan kesebelah kanan. Berjalan kira-kira cukup jauh, sampailah dia didepah sebuah goa buntu yang panjangnya hanya dua meter, Goa itu tertutup oleh semak belukar. Karena tiada pilihan lain, Thio Hian Cong membawa masuk Sin Houw kedalam goa itu untuk bersembunyi.
Thio Sin Houw merasa sangat lelah, meskipun sejak kanak-kanak hidupnya selalu dikejar-kejar oleh musuh-musuh ayah-bundanya, akan tetapi baru pada malam itulah dia bertempur secara berhadap-hadapan, Maka begitu merebahkan diri, ia lantas tertidur nyenyak.
Thio Hian Cong segera mengangkat tubuhnya dan dipeluknya serta dipangkunya. setelah itu ia menajamkan pendengarannya, agar dapat mengikuti perkembangan keadaan medan perang, Di luar goa, suara riuh rendah belum juga berhenti. Kemudian ia mendengar suara gemerotok keras, dan udara tiba-tiba terang benderang oleh nyala api. Tahulah dia, bahwa perkemahan yang didirikan oleh laskar perjuangan di atas gunung Beng-san, dibakar musnah oleh tentara Mongolia. Hatinya panas bukan main.
Satu atau dua jam kemudian, terdengarlah suara terompet mengalun di udara, itulah suatu tanda bahwa komandan tentara Mongolia memanggil pasukannya agar berkumpul dan turun gunung. Hati Thio Hian Cong lantas saja berdebar. pendengarannya yang tajam segera menangkap langkah- langkah kaki mereka berderapan, Hatinya mengeluh dengan sendirinya. Betapa tidak?
Ia mendengar langkah kaki tentara penyerbu semakin mendekati goa persembunyiannya, Hatinya cemas bukan kepalang, kalau sampai tentara itu menemukan goa persembunyiannya... entah apa jadinya.
(Oo-dwkz-oO)
TIBA-TIBA terdengarlah seseorang duduk diluar goa, untunglah goa persembunyiannya teraling gerombol semak belukar, sehingga orang itu tidak melihat dirinya. Dengan menggenggam senjata pemberian Go Kim Sun erat-erat dan tangan kirinya menekap mulut Sin Houw, ia bersiap menghadapi setiap kemungkinan. Ia terpaksa menekap mulut Sin Houw, lantaran khawatir anak itu terkejut dan berteriak.
Beberapa saat lamanya tiada terdengar sesuatu, kecuali langkah kaki sibuk. Lalu tiba-tiba terdengar seseorang membentak.
"Bawa kemari anjing itu!"
Kemudian terdengar beberapa orang menyeret seseorang berjalan ayal-ayalan, pastilah itu seorang tawanan yang diseret beberapa serdadu secara paksa.
"Menurut penglihatan salah seorang pembantu kita, kau menyerahkan senjatamu kepada seseorang. siapakah dia? Dan siapa pula anak tanggung itu, itulah bentakan seseorang yang memberi perintah kepada beberapa tentara membawa tawanannya, suaranya nyaring bagaikan genta pecah.
Dan oleh suara nyaring itu, Sin Houw benar-benar tersadar dari tidurnya. Syukur, jauh-jauh sebelumnya Hian Cong telah menekap mulutnya. Maka begitu melihat Sin Houw tersadar dari tidurnya, segera ia membisik:
"Diam !" Dalam pada itu orang yang memiliki suara nyaring luar biasa tadi, terdengar membentak lagi:
"Kau mau bilang apa tidak? Kalau kau tetap membandel, kukutungi sebelah kakimu terlebih dahulu!"
"Jika kau hendak mengutungi kakiku, kutungilah!" tantang seseorang itu, dengan suara tajam, "Aku, Go Kim Sun, tidak takut. Meskipun kau kutungi kedua kaki dan tanganku, aku tidak akan merintih atau menyesal. Kau boleh mengutungi kepalaku sekali! Huh!"
Mendengar suara Go Kim Sun, Thio Sin Houw terkejut, serunya tertahan:
"Go susiok!"
"Sstt! jangan bergerak !" bisik Thio Hian Cong.
"Jadi benar-benar kau tak sudi memberi keterangan? Baiklah!" lagi-lagi orang yang bersuara nyaring tadi membentak.
"Tidak!" terdengar jawaban Go Kim Sun tegas. Dari dalam goa, Sin Houw dapat membayangkan bahwa gurunya tentulah meludahi orang itu. Tiba-tiba ia terkejut tatkala mendengar erang gurunya:
"Aduh!"
Suara orang itu disusul dengan suara terbantingnya benda berat, Rupanya sebelah kakinya dikutungi benar-benar. Karuan saja Sin Houw tak dapat menguasai diri lagi, ia merengut dari tekapan tangan Thio Hian Cong.
"Go susiok!" Sin Houw memekik sambil terus menerjang keluar goa.
Begitu keluar dari mulut goa, ia melihat seseorang mengayunkan goloknya kearah tanah. Diantara cahaya api, ia melihat seseorang menggeletak berlumuran darah. itulah gurunya, Go Kim Sun! Dengan rasa gusar bukan kepalang ia menerjang dengan salah satu jurus ilmu sakti Hok-houw ciang yang mengandung ancaman maut. Orang yang sedang mengayunkan goloknya itu memekik tinggi begitu kena pukulan Sin Houw, Matanya berkunang kunang, dan mundur sempoyongan dengan tak dikehendaki sendiri. selagi demi-kian, lengannyapun terasa sakit, sedang goloknya kena terampas.
Thio Sin Houw bergerak tidak kepalang tanggung, setelah berhasil menghantam orang itu dan merampas senjatanya, ia membacok pula, Meskipun belum memiliki himpunan tenaga sakti, akan tetapi tenaga jasmaninya sudah cukup membuat somplak pundak tentara itu.
Saking sakitnya, orang itu menjerit tinggi, dan jatuh terkapar diatas tanah tak sadarkan diri.
Sebenarnya didepan goa, terdapat beberapa tentara yang bersikap mengurung tawanannya, Namun peristiwa itu terjadi dengan sangat tiba-tiba. Lantaran kaget mereka jadi tertegun saja,
Dan setelah melihat kawannya jatuh terkapar, barulah mereka tersadar. serentak mereka menerjang, sambil berteriak teriak.
Thio Sin Houw tidak gentar. Dengan golok rampasannya, ia menyerang dan membela diri, sewaktu berada dalam bahaya, tiba-tiba meloncatlah seseorang dari dalam goa, dengan membawa senjata rantai berkilauan. Ternyata rantai itu terbuat dari perak murni.
Begitu digerakkan diudara remang-remang, lantas saja berkeredepan menyilaukan mata, Dialah Thio Hian Cong.
Yang meloncat keluar goa untuk melindungi Sin Houw, sekali menggerakkan senjata rantainya, beberapa tentara menjerit kesakitan, senjata mereka terpental ke udara!
Keruan saja para tentara itu kaget bukan kepalang, Beberapa orang diantaranya yang masih berada di luar gelanggang, lantas saja berseru seru mengabarkan tanda bahaya, sigap luar biasa, Thio Hian Cong menyambar Sin Houw dan dibawanya lari turun gunung. Dan pada saat itu mereka berdua dihujani anak panah.
Tiba-tiba diantara tentara yang kalang kabut itu, muncullah empat orang yang gerakannya gesit, Dengan sekali melihat, tahulah Thio Hian Cong bahwa mereka berempat memiliki ilmu kepandaian tinggi pula, seorang diantara mereka memasang gendewanya dan melepaskan anak panah.
Thio Hian Cong kala itu lari sambil mengempit Sin Houw, ia berlompatan kesana-kemari untuk menghindari sambaran anak panah. Tatkala mendengar ke-siur angin tajam mengancam tengkuknya, cepat-cepat ia mengendapkan diri, Dan tiga anak panah lewat diatas kepalanya dengan bersuling nyaring.
Tetapt justeru karena mengendapkan diri, langkah Thio Hian Cong jadi terhenti. Pada saat itu, seorang di antara ketiga musuh yang mempunyai ilmu kepandaian tinggi melepaskan tiga anak panah lagi. Ketiga anak panah itu mempunyai arah bidikan yang berbeda-beda, Yang pertama mengarah kepada Sin Houw, yang kedua mengarah Thio Hian Cong dan yang ketiga menjaga gerak larinya, Melihat ancaman bahaya itu.
Thio Hian cong memutar senjata rantainya dan ketiga anak panah itu runtuh ditanah dengan sekali kebasan.
"Susiok! Biar aku turun saja!" se ru Sin Houw dengan semangat tempur yang menyala-nyala.
Thio Hian Cong menurunkan Sin Houw sambil berkata : "Kau lari dulu!"
Mereka berdua telah terpisah jauh dari tentara Mongolia, akan tetapi keempat orang yang masih mengejarnya seolah- olah bayangannya sendiri. Dengan cepat mereka telah tiba dihadapan mereka.
"Sahabat, letakkan senjatamu ..!" salah seorang diantara mereka berseru.
"Kau serahkan dirimu! Kami berjanji akan memperlakukan dirimu baik-baik!" Hati Thio Hian Cong mendadak menjadi sebal mendengar suara orang itu. ia menjadi dengki dan mendongkol, sambil lari ia memindahkan senjata rantainya ditangan kiri, kemudian ia mempersiapkan senjata sumpitannya yang terbuat dari paku- paku berujung tajam, ia menunggu sampai orang itu datang dekat, dan dengan tiba-tiba ia melepaskan senjata bidiknya tiga batang sekaligus.
Orang yang mengunbar suaranya tadi sama sekali tidak menduga bahwa musuh memiliki senjata bidik istimewa.
Tatkala melihat berkelebatnya tiga batang paku, ia kaget setengah mati, Tanpa ampun lagi ia roboh terjengkang. Kedua pahanya tertancap sebatang paku, sedang tangan kanannya dapat hadiah sebatang paku pula. Sebaliknya, ketiga kawannya tidak memperdulikan ancaman bahaya, mereka mengejar terus. seperti saling berlomba.
Melihat datangnya ketiga orang itu yang makin lama makin dekat, Thio Hian Cong berkata kepada Sin Houw seperti sedang bergurau:
"Adikku, sepasang golok orang itu tepat sekali untuk dirimu, Biarlah kurampasnya sekali untukmu!"
Setelah berkata demikian, Thio Hian Cong memindahkan senjata rantainya ketangan kanannya kembali. Kemudian melompat maju menghampiri salah seorang musuhnya, yang bersenjata sepasang- golok. Terang sekali maksudnya, ia hendak membuktikan ucapannya, Akan tetapi orang itu ternyata bukan lawan lemah, ia mendahului menyerang . berulang kali, Untuk beberapa waktu lamanya, Thio Hian Cong belum berhasil men capai maksudnya.
Selagi Thio Hian Cong berkutat dengan orang itu, kedua musuhnya menghampiri Sin Houw, Masing-masing bersenjata sebatang pedang panjang dan ruyung besi. inilah berbahaya bagi Sin Houw, karena dia tidak bersenjata sama sekali. Golok rampasannya tadi tertancap pada pundak orang yang hendak membunuh gurunya, Go Kim-Sun, maka dengan tangan kosong ia mencoba membela diri, Thio Hian Cong jadi mendongkol dan kebat-kebit, sadarlah dia, bahwa dirinya tidak boleh terlibat terus menerus oleh napsunya hendak merampas sepasang golok lawan, cepat ia melesat mundur sambil memutar tubuhnya, senjata rantainya diayunkan dan menghantam orang yang bersenjata ruyung.
"Prak!!"
Kena pukulan senjata rantai Thio Hian Cong, orang itu terhuyung mundur. Justeru pada saat itu Sin Houw sedang mengayunkan kakinya. Tepat sekali tendangannya. Meskipun tidak sampai melontakkan darah, orang itu terguling diatas tanah dengan memaki kalang kabut.
Kejadian itu membangkitkan rasa marah orang ketiga. Dengan sebatang pedang ditangan ia menerjang dan menabas, secepat kilat Thio Hian Cong me-lompat dan menangkap pergelangan tangannya. Kedua orang itu lantas berku-tat mengadu tenaga.
Pada saat Thio Hian Cong berkutat mengadu tenaga dengan orang yang bersenjata pedang itu, yang bersenjata sepasang golok dan ruyung datang mengepung. Mereka menyerang dari belakang. Juga orang yang tadi roboh kena paku Thio Hian Cong, kini juga dapat bangun pula. Dengan masih menggenggam tombak panjang ia maju tertatih-tatih, kemudian menikam. Akan tetapi sasarannya adalah Sin Houw.
inilah saat-saat berbahaya bagi Thio Hian Cong dan Thio Sin Houw, Meskipun demikian Thio Hian Cong tidak menjadi bingung atau berputus asa, sambil berseru nyaring, ia menghajar orang yang bersenjata ruyung. Kena pukulannya, orang itu roboh terjengkang. Begitu hebat cara robohnya, sehingga ia menubruk kawan sendiri yang sedang berjalan tertatih-tatih sambil, menggenggam tombak panjang hendak menikam Sin Houw.
Karena tadi sudah menderita luka, tak dapat ia mempertahankan diri tatkala kena tubruk kawannya Dengan demikian ia ikut terguling pula diatas tanah. Masih syukur, mereka tidak sampai saling manikam. Dengan cepat Thio Hian Cong melompat merampas ruyung. Kemudian dengan ruyung ini ia menangkis sepasang golok yang menyambar dirinya. Setelah itu ia menarik tangart Thio Sin Houw dan diajaknya lari secepat mungkin. ia tak sudi terlibat terus menerus lantaran tentara Mongolia sudah mulai bergerak mendekati.
Sekarang keempat lawannya tidak berani melawan lagi. Mereka mulai sadar, bahwa lawannya itu bukan lawan sembarangan, Namun membiarkan buruannya lolos dengan begitu saja, sudah barang tentu mereka tak rela, seperti berjanji, mereka lantas saja melepaskan senjata jarak jauh, itulah senjata Sumpitan yang bentuknya seperti panah-panah kecil.
Sambil melindungi Sin Houw, Thio Hian Cong menangkis sambaran senjata bidik mereka dengan ruyung dan rantainya. Kadangkala ia melompat atau mengelak sambil menyingkirkan Sin Houw dari berbagai serangan yang saling menyusul. Namun karena harus melindungi Sin Houw, gerakannya tidak segesit seperti biasanya.
Satu kali ia harus menarik Sin Houw ke dadanya terlebih dahulu, untuk menangkis sambaran senjata bidik. Kali ini ia terlambat, tiga batang anak panah meraung membuntutinya. Dua anak panah bisa dielakkan, akan tetapi yang ketiga mengenai jitu paha kirinya, Dia terkejut, sebab mula-mula tiada rasa sakit sama sekali. Mendadak lama-lama menjadi gatal, Tahulah dia, bahwa anak panah itu mengandung racun jahat, segera ia mengerahkan tenaganya untuk berlari lebih kencang lagi.
Tetapi justeru demikian, racun yang merayap didalam dirinya bekerja kian merunyam, Kakinya lantas saja terasa kaku, sehingga tak dapat lagi dilangkahkan dan disaat berikutnya ia roboh terguling.
"Susiok!" Sin Houw berteriak lantaran kaget bukan main, Hampir saja ia terguling pula.
Ditengah keremangan malam, ke empat penyerangnya samar-samar melihat robohnya Thio Hian Cong, Begitu mendengar teriakan Sin Houw, mereka bertambah yakin. lantas saja mereka berlomba untuk mengejar.
"Sin Houw!" seru Thio Hian Cong, lari cepat ! Aku akan menahan mereka."
Thio Sin Houw kenyang pengalaman pahit. Melihat gurunya roboh, ia seperti teringat akan nasib ayah bunda-nya. Maka tanpa memperdulikan bahaya, segera ia melompat kesamping gurunya dan bersikap hendak melindungi.
"Sin Houw! Dengan kepandaianmu ini, sanggupkah kau melindungi diriku?" kata Thio Hian Cong terharu, ia tahu muridnya itu sangat cerdas. Akan tetapi sama sekali tak mengira bahwa ia berbakti pula, meskipun baru bargaul selama delapan hari saja.
Dalam pada itu keampat penyerangnya sudah datang semakin dekat, Mereka semua bersenjata dan bermaksud hendak menawan buruannya hidup-hidup, Yang membawa sepasang golok dan sebatang pedang panjang, memutar kebelakang Sin Houw dan menerjang berbareng. Yang di arah betis kanan.
Kaget Sin Houw melihat serangan itu. ia mengelak dengan melompat, sudah barang tentu Thio Hian Cong tak sudi tinggal diam Meskipun kaki kirinya tidak dapat digerakkan, akan tetapi ia memaksa diri berbangkit.
(Oo-dwkz-oO)
TAPI, ia berhasil merampas ruyung besi, Tanpa berpikir panjang lagi ia segera menimpukkannya kepada orang yang bersenjata sepasang golok, orang itu kaget bukan kepalang, sampai tak dapat mengelakkan diri. Kepalanya pecah terhantam ruyung itu. Dan pada saat itu pula Thio Hian Cong melesat menubruk lehernya. ,Krak! Dan orang itu terguling roboh, tak bernapas lagi...
Inilah peristiwa hebat bagi ke tiga kawannya, orang-orang bersenjata pedang panjang lantas saja memutar tubuhnya dan lari terbirit-birit, Sedang kedua kawannya segera menyusul pula.
Apalagi yang seorang telah terluka pundaknya sejak tadi. Thio Hian Cong sendiri nyaris kehilangan tenaga, darahnya
mengucur tidak hentinya. Kaki kanannya beku tak dapat digerakkan lagi. Namun tak sudi ia menyerah dengan keadaan itu, Dengan menguatkan hati ia mengumpulkan sisa-sisa tenaganya, kemudian dengan bantuan ruyung rampasannya ia mencoba untuk bangun berdiri. ia sadar, bahwa ketiga musuhnya tadi lari untuk kembali lagi dengan membawa bala bantuan.
Kesempatan untuk melarikan diri hanya sedikit saja. "Maril" ia berkata mengajak.
Dengan menyeret kakinya ia berjalan selangkah demi
selangkah, dengan bantuan ruyung rampasannya, Sin Houw berjalan disebelah kanannya, ia memasang pundaknya untuk memeluk lengan gurunya dan membiarkan dirinya digelendoti, Dengan demikian perjalanan agak lancar juga.
Akan tetapi setelah berjalan beberapa ratus meter, keadaan Thio Hian Cong bertambah hebat. Rasa beku yang memendam sebelah kakinya tadi perlahan-lahan naik ketangan, Dan tiba-tiba saja tangan itu kehilangan tenaga, ia tahu, itulah racun jahat yang sedang bekerja, segera ia memindahkan ruyung rampasan ketangan kiri dan melanjutkan berjalan sedapat-dapatnya. Sin Houw tak mengerti tentang bekerjanya racun jahat itu, yang dirasakan Thio Hian Cong menggelendot makin berat. Meskipun ia mandi keringat, namun tetap membungkam mulut, Tetapi setelah berjalan dua tiga li lagi, rasa lelahnya tak tertahankan lagi.
"Susiok! Di depan nampak sebuah rumah. Mari kita beristirahat dlsana." katanya sambil menuding kedepan. "Bukankah kita bisa bersembunyi di rumah itu?"
Thio Hian Cong memanggut sambil mengumpulkan sisa tenaganya. Begitu tiba didepan pintu, habislah tenaganya - ia roboh terkulai. Sin Houw mencoba menahannya, akan tetapi gagal. Keruan saja bocah itu terkejut.
"Susiok!" ia memekik. Gugup ia membungkuk hendak membangkitkan. "Susiok, bagaimana?"
Hampir bersamaan dengan waktu itu - terbukalah pintu rumah. Dan seorang wanita berusia pertengahan muncul di ambang pintu. Melihat munculnya wanita itu, Sin Houw lantas saja berkata mengadu:
"Subo, kami dikejar-kejar tentara Mongolia. Pamanku ini terluka, bolehkah kami menumpang satu malam saja di-sini?"
(Subo - bibi).
Wanita itu seorang petani, ternyata ia murah hati, segera ia manggut dan memanggil seorang anak tanggung kira-kira berusia delapan atau sembilan belas tahun untuk membantu menggotong Thio Hian Cong masuk. Kemudian ia direbahkan diatas dipan panjang yang berbuat dari bambu.
Thio Hian Cong sebenarnya luka parah, akan tetapi karena tangguh dan memiliki himpunan tenaga sakti ia tidak pingsan atau kalut pikirannya -meskipun kaki dan tangannya beku sebelah, dengan tenang-tenang saja ia minta kepada Sin Houw agar mengambil pelita yang menyala didinding, Dan dengan penerangan pelita itu ia memeriksa lukanya.
Mereka yang melihat luka itu terkejut, sebab kaki kirinya tidak hanya bengkak saja tetapipun nampak matang biru dan bergenik, Kesannya mengerikan ( - tiba-tiba saja tatkala Sin Houw melihat luka itu, terbanglah ingatannya kepada mimpinya yang ajaib. ia seperti pernah melihat luka demikian dan pernah pula mempelajari cara pengobatannya. Dan oleh ingatan itu terus saja ia menerkam pundak Thio Hian Cong.
"Susiok! Luka dipundakmu harus kubalut dahulu!" katanya. Segera ia merobek lengan bajunya dan menggunakannya
sebagai pembalut. Mula-mula ia membalut pundak Thio Hian Cong keras kencang, setelah itu ia membalut paha untuk mencegah menjalarnya racun jahat ke jantung. Apabila telah dikerjakan dengan rapi, secara hati-hati ia mencabut senjata sumpitan beracun yang masih menancap pada paha, Begitu tercabut, darah hitam meleleh keluar.
Melihat darah hitam itu, Thio
Hian Cong menundukkan kepala, ia bermaksud hendak menghisap darah hitam itu dari lukanya. Akan tetapi mulutnya tak sampai. Sin Houw lantas saja menggantikan, ia menghisap berulang ulang dan memuntahkannya diatas tanah. Setelah menyedot dan menghisap kira-kira empat puluh kali, barulah luka itu mengalirkan darah merah.
Thio Hian Cong menghela napas lega, katanya dengan suara bersyukur:
"Ternyata bukan racun yang sangat berbahaya, Sin Houw, kau kumurlah cepat cepat!"
Wanita petani milik rumah itu sejak tadi berdoa dengan maksud menolong meringankan penderitaan Thio Hian Cong, Mendengar perkataan Thio Hian Cong, ia girang bukan kepalang, dan untuk menyatakan rasa syukurnya, ia berdoa panjang pendek dengan giat sekali.
Pada esok harinya pemuda tanggung itu keluar rumah, untuk melihat keadaan gunung, Lewat tengah hari ia datang dan melaporkan bahwa tentara penjajah tiada nampak seorangpun lagi, Berita itu melegakan hati Sin Houw akan tetapi melihat keadaan Thio Hian Cong yang mengkhawatirkan, ia menjadi gelisah.
Benar bengkaknya mulai kempes tetapi suhu badannya naik tinggi sehingga seringkali mengigau.
Dua tahun lebih Sin Houw berada disamping ide Hong Kiauw, Banyak pula pengetahuannya tentang obat obatan.
Halaman 42/43 Hilang pan. setelah semuanya beres, segera ia kembali pulang. Nampaknya berjalan dengan sangat lancar dan sederhana saja.
Akan tetapi gerobak itu sesungguhnya sejak lama dikuntit beberapa orang mata-mata pihak pemerintah Mongolia, Begitu melihat Sin Houw membawa Thio Hian Cong memasuki rumah penginapan, mata-mata itu segera lari kencang melaporkan kepada atasan mereka.
Thio Sin Houw masih mempunyai beberapa tail sisa uang bekalnya, Dan dengan uang itu ia mencari beberapa ramuan obat yang diperlukan. Karena selama itu ia belum pernah memasuki kota, ia mengajak seorang pelayan sebagai penunjuk jalan. setelah memperoleh ramuan obat-obat yang di carinya, segera ia pulang ke rumah penginapan.
Sama sekali ia tak menyadari bahwa dua orang tentara telah menguntitnya diam-diam.
Tiba di rumah penginapan, segera ia memasak ramuan obat-obatnya. Dalam pada itu Ihio Hian Cong masih tetap rebah di tempat tidur dengan kepala panas bagaikan api. Belum lagi air di-masak mendidih, delapan orang tentara tiba- tiba memasuki rumah penginapan dan membawa rantai pembelenggu, seseorang yang mengenakan pakaian sebagai rakyat biasa, menuding kepada Sib Houw seraya berkata:
"Dialah orangnya!"
Seorang tentara lantas membentak:
"Hai! Kau pelarian dari atas gunung, bukan?"
Thio Sin Houw kaget tak terkira, Tak tahulah ia apa yang harus diperbuat. Akhirnya dalam bingungnya, menjawab sekenanya saja:
"Bukan "
Pemuda tanggung itu perlu dikepung sekawanan tentara yang berjumlah delapan orang?
Dalam pada itu seorang tentara melancarkan rantai belenggunya keleher Sin Houw, Anak itu mundur mengelakkan diri, sama sekali ia tidak berkisar dari ambang pintu. Niatnya sudah teguh untuk mencegah kawanan tentara memasuki kamar.
Bagaimana akibatnya nanti , tak masuk dalam pikirannya. Tentara itu malu karena tak mampu membekuk seorang
anak tanggung, sedang dia merasa diri sudah berpengalaman belasan tahun lamanya, Lantaran malu, ia menjadi gusar. Tangan kirinya bergerak dan menyambar tengkuk.
"Thio Sin Houw tak gentar melihat datangnya serangan, ia menangkis sambaran tangan yang hendak mencengkeram tengkuknya, ia menggunakan salah satu jurus ilmu Hok-houw ciang, Dan begitu tangannya membentur sasaran, tentara itu mundur sempoyongan. Dia menjadi gusar setengah mati, sambil memutar tubuh, kakinya menendang dan mulutnya memaki:
"Anak anjing!"
Thio Sin Houw menang gesit, Melihat berkelebatnya kaki, ia mengelak kesamping, Dengan kedua tangannya ia menangkap kaki itu, terus diangkat dan didorong dengan keras. seketika itu juga tentara tadi terlempar dan jatuh terbanting diatas tanah.
Para tamu yang berkumpul di pekarangan kagum dan bersorak tak terasa. Terhadap rombongan tentara penjajah mereka nampaknya tak senang, Meskipun bukan termasuk para pejuang, mereka berpihak kepada Sin Houw, Mungkin sekali lantaran melihat Sin Houw seorang pemuda tanggung, yang sama sekali tiada bersenjata atau berteman.
Namun kedelapan tentara itu nampak beringas dan bengis. Mereka jadi tak puas dan bersyukur tatkala melihat sin Houw berhasil melemparkan seorang polisi sampai terbanting diatas tanah.
Ketujuh tentara lainnya heran menyaksikan ketangguhan Sin Houw. Mereka mengira anak itu mempunyai ilmu gaib, Segera mereka saling memberi isyarat kemudian menerjang berbareng. Diantara mereka ada yang bersenjata pedang, golok dan panggada kayu. Dan menyaksikan gerakan mereka, para tamu kaget, takut dan bingung. Mereka mundur dengan sendirinya .
Meskipun Thio Sin Houw kini sudah mewarisi ilmu sakti Hok-houw ciang dari Thio Hian Cong, akan tetapi tenaganya masih lemah. Lagi pula ia belum berpengalaman. itulah sebabnya, menghadapi keroyokan demikian ia menjadi bingung, Dalam saat-saat yang berbahaya itu, sekonyong- konyong melompatlah seorang dari kamar sebelah. orang itu bertubuh besar dan berkulit hitam.
Dengan sekali lompat, ia telah berada di depan Sin Houw dan terus menggerakkan kaki dan tangannya. Entah bagaimana caranya ia bergerak. Tiba-tiba saja para tentara yang bersenjata tajam itu kena terampas senjatanya dan dilemparkan berjungkir balik.
Kemudian ia mendesak, menyerang dan menerjang ke kiri kanan sampai ketujuh tentara itu babak belur, setelah itu ia berteriak nyaring seperti kerbau menguak, Aneh suaranya!
"Siapa kau?" seorang tentara menegur. "Kami hendak menangkap pemberontak , jangan ikut campur!"
Orang itu seperti tuli. sekali menggerakkan tangan, ia menjambret dada tentara itu dan mengangkatnya tinggi tinggi. Kemudian dilemparkan hingga tentara itu melayang-layang bagaikan layangan putus, dan roboh diatas tanah tak sadarkan diri. Menyaksikan hal itu kawan-kawannya bubar berderai dan lari berserabutan keluar rumah penginapan.
Orang itu kemudian berpaling kepada Sin Houw, ia membuka mulutnya dan tangannya bergerak-gerak. Tetapi mulutnya tiada mengeluarkan suara apapun kecuali "ah-ah-uh- uh". Maka tahulah Sin Houw, bahwa orang itu bisu. Dan apa yang dikehendaki sangat mudah di tebak.
Beberapa saat lamanya Sin Houw bingung menebak- nebak. Akan tetapi dia memang anak cerdas luar biasa, Segera ia mengamat-amati gerakan tangan dan gerakan mulut orang itu. selagi mengamat-amati mendadak orang itu mengangkat tangannya keatas, lalu ditabaskan kebawah, Kedua kakinya digerakkan dan tahu-tahu ia sudah melakukan jurus-jurus ilmu sakti Hok-houw ciang, dari jurus pertama sampai jurus kelima belas dan melihat Sin Houw jurus pertama sampai jurus ke sepuluh, setelah itu ia berhenti, sikapnya menunggu.
Otak Sin Houw yang cerdas luar biasa segera dapat mengerti kehendaknya, buru-buru ia menjawab dengan melanjutkan jurus ke sebelas sampai jurus kelimabelas. Dan melihat Sin Houw dapat melanjutkan jurus-jurus ilmu sakti Hok-houw ciang, si bisu tertawa lebar sambil memanggut- manggutkan kepalanya, sekonyong-konyong ia melompat sambil mengulurkan tangannya, tahu-tahu Sin Houw dipondongnya dan hendak dibawanya pergi.
Thio Sin Houw teringat gurunya yang masih rebah didalam kamar, dengan girang ia menuding kamarnya, Si bisu rupanya mengerti gerakan tangannya, segera ia masuk kedalam kamar sambil menggendong Sin Houw. Terhadap Sin Houw, seolah- olah ia menemukan mustika yang tak ternilai harganya.
Tetapi begitu melihat wajah Thio Hian Cong yang pucat lesi bagaikan mayat , orang itu nampak kaget sekali.
Cepat-cepat ia menurunkan Sin Houw dan menghampiri Thio Hian Cong, ia memijit-mijit menyadarkannya, kemudian kedua tangannya digerakkan.
Oleh pijitannya itu, Thio Hian Cong tersadar, Begitu melihat siapa yang memijitnya, wajahnya bersinar terang, iapun segera menggerakkan kedua tangannya sambil menunjuk pahanya.
Orang itu mengerti arti gerakan tangan Thio Hian Cong, seketika itu juga ia bekerja, Dengan tangan kiri ia membimbing Sin Houw dan dengan tangan kanannya ia memondong Thio Hian Cong, Kemudian dengan langkah lebar ia keluar kamar dan meninggalkan rumah penginapan, ia lari sangat pesat begitu tiba dijalan, tak perduli berat tubuh Thio Hian Cong yang dipondongnya.
Baik pemilik rumah penginapan maupun para pelayan, tak ada yang berani merintang, semuanya menyaksikan kegagahannya, seorang diri saja ia sanggup mengundurkan delapan orang tentara, malah yang seorang dibanting roboh sampai pingsan tak sadarkan diri, Terhadap orang segagah itu, siapakah yang berani mencoba-coba merintangi kehendaknya ?
Namun pihak tentara tidak mau sudah, dua orang mata- matanya segera menguntitnya, Tentu saja mereka tak berani berada terlalu dekat, mereka menguntit dalam jarak duapuluh langkah, tujuan mereka hanya ingin mengetahui dimana tempat tinggal sigagu itu. setelah mereka ketahui, mereka akan menyulutkan tanda-tanda tertentu untuk mencari bala bantuan.
Thio Hian Cong masih tak sadarkan diri, ia tak tahu bahwa dirinya dibawa kabur oleh si bisu dari rumah penginapan. Si bisu sebaliknya tidak mengetahui bahwa dirinya selalu di bayangi dua orang mata-mata, tapi tidak demikian halnya Sin Houw yang cerdik. ia melihat dua orang yang selalu mengikutinya, diam-diam ia menarik tangan si bisu,
Dan dengan memonyongkan mulutnya ia memberi aba- aba, Si bisu lantas berpaling, dan ia melihat pula dua orang itu yang selalu mengikutinya.
Namun ia bersikap acuh tak acuh, Dengan berlagak pilon ia lari terus dengan cepat, Sin Houw dibawanya lari kencang melintasi tegalan-tegalan sepi - kira tiga atau ampat li lagi, tiba-tiba si bisu meletakkan Thio Hian Cong keatas tanah.
Agaknya dia hendak beristirahat untuk menghilangkan rasa lelahnya, Tahu-tahu dengan sekonyong-konyong ia membalikkan tubuhnya, dan melesat kebelakang, Dalam dua tiga gebrakan saja, ia sudah sampai ke depan mata-mata itu yang kaget setengah mati.
Itulah serangan diluar dugaan. Dalam kaget dan takutnya, kedua mata-mata itu segera memutar tubuh, Maksudnya hendak mengangkat kaki, namun sudah terlambat. Si bisu sangat cepat gerakannya. sebelum mereka berdua dapat menggerakkan kaki, tangan si bisu sudah menghempaskannya, Tak ampun lagi mereka roboh terjengkang diatas tanah.
Orang bisu itu bekerja tidak kepalang tanggung. Melihat kedua lawannya roboh, tangannya mencengkeram ke rambut mereka. Kemudian diangkat tinggi tinggi dan dibenturkan kesebuah batu yang berada dipinggir tegalan,
"Prak!"
Tak sempat lagi kedua mata-mata itu berteriak, mereka mati dengan kepala pecah.
Setelah menamatkan riwayat hidup kedua mata-mata itu, si bisu kembali menghampiri Thio Hian Cong. Dengan ringan sekali ia mengangkat tubuh Thio Hian Cong, dan dibawanya berlari lagi, Larinya cepat bagaikan terbang.
Celakalah Thio Sin Houw! pemuda tanggung ini mencoba lari sekencang-kencangnya, agar dapat menjajarinya, usahanya sia-sia belaka, meskipun ia telah mengerahkan seluruh kemampuannya. Makin lama ia makin tertinggal. Akhirnya ia merasa tak sanggup lagi, dan dengan napas tersengal-sengal ia menghentikan langkahnya.
Si bisu menoleh, ia berhenti pula sambil tersenyum. Melihat Sin Houw kehabisan tenaga, ia menghampiri dengan wajah ramah. Lalu menyambar tubuhnya dan digendongnya, Dengan menggendong dua orang, ia lari kencang lagi.Malahan kini larinya lebih kencang, dibandingkan dengan semula, Lantara ia tidak usah menunggu-nunggu Sin Houw.
Setelah berlari-lari sekian lamanya, ia membelok ke kiri dan lari mengarah ke sebuah gunung, ia mendaki dengan cekatan, dan sama sekali tak mengenal lelah, Dalam sekejap mata saja dua bukit telah dilaluinya. Tiba-tiba nampak sebuah rumah gubuk di depan lamping gunung, Dengan langkah tetap ia menghampiri gubuk itu. Seseorang yang berada di ambang pintu lari menyambut. Dia seorang wanita berumur tigapuluh tahun lebih. ia memanggut kepada si bisu, dan si bisu pun membalas anggukannya, Nampaknya ia heran melihat si bisu membawa bawa dua orang dalam gendongannya, segera ia mengajak masuk.
"Cie Lan! Kau sediakan tiga mangkok air teh!" seru wanita
itu.
Dari ruangan dalam terdengar jawaban dan muncullah
seorang gadis kecil membawa nampan berisi tiga mangkok air teh, ia nampak heran begitu melihat si bisu, kemudian ia memandang kepada Thio Hian Cong dan mengamat-amati Sin Houw. Kedua matanya jernih bening dan meresapkan penglihatan. Gadis kecil inilah yang bernama Cie Lan, umurnya kurang lebih duabelas tahun.
Setelah melirik Cie Lan, pandang mata Sin Houw beralih kepada wanita muda itu, Dia seorang wanita yang cantik, mukanya putih bersih dan halus.
Bibirnya manis dan suaranya meresapkan pendengaran. Meskipun pakaiannya sederhana, pribadinya berkesan agung, Dengan ramah ia bertanya kepadanya:
"Umurmu sebaya dengan anakku, siapakah namamu? Bagaimana kau bisa bertemu dengan dia?"
Waktu itu Sin Houw sudah diturunkan ke tanah. Mendengar lagak lagunya, tahulah ia bahwa si bisu adalah sahabat nyonya rumah itu, Maka dengan tulus ia menceritakan pengalamannya.
Ibunya Cie Lan kemudian memperkenalkan namanya, Cin Bun Nio, Dan setelah memperkenalkan namanya, ia masuk ke dalam dan keluar lagi dengan membawa dua botol ramuan obat, Sin Houw melihat bubuk putih dan merah terbawa oleh rasa girangnya, segera ia menyendoknva sedikit dan diadukkan ke dalam air teh, setelah itu ia menegukkan ke dalam mulut Thio Hian Cong. Bun Nio heran menyaksikan Sin Houw mengerti tentang obat-obat, Katanya : "Heee, kau semuda ini sudah mengerti tentang ilmu ketabiban?"
Oleh kata-kata itu, Sin Houw tersadar . wajahnya menjadi merah, cepat-cepat ia membungkuk hormat dan meminta maaf atas kelancangannya. sahutnya.
"Maaf, bibii Maaf ... aku..."
Tetapi Bun Nio tidak merasa tersinggung, ia bahkan tertawa manis sekali , lalu katanya:
"Bagus! Tak usah kau bersegan-segan terhadapku, rupanya kau murid seorang tabib pandai. Kalau aku boleh bertanya, siapakah gurumu?"
"Sebenarnya aku tidak mempunyai guru, hanya secara kebetulan saja aku mendapat kesempatan belajar mengenal obat-obatan dipinggang gunung Ouw-tiap san."
Bun Nio mengira, Sin Houw tidak mau memperkenalkan nama gurunya. oleh pertimbangan sopan-santun, ia tak mau mendesak. Berkata mengalihkan pembicaraan:
"Apakah kau membutuhkan alat tertentu ?"
"Benar, Apakah bibi mempunyai pisau kecil? Aku harus mengiris lukanya."
Bun Nio segera menyediakan pisau kecil yang dimintanya. Dengan cekatan Sin Houw mengiris luka Thio Hian Cong. setelah itu ia memborehi dengan obat-bubuk kuning, ia menunggu sebentar. Kemudian luka itu dicucinya kembali dan diborehi bubuk kuning lagi. Tiga kali ia mencuci dan memborehi luka Tliio Hian Cong. Dan menyaksikan hal itu Bun Nio bertambah heran, makin percayalah dia bahwa Sin Houw pastilah murid seorang tabib pandai.
Selang beberapa waktu, Thio Hian Cong membuka mulutnya. ia memperdengarkan suara tak jelas.
"Anakku! Kau benar-benar seorang tabib pandai! Dia ketolongan!" seru Bun Nio dengan suara girang. Dengan isyarat tangan, ia memanggil si bisu, ia minta tolong kepadanya agar membawa masuk Thio Hian Cong masuk kedalam kamarnya. Dan tatkala si bisu membawa Thio Hian Cong masuk ke dalam kamar, Bun Nio menutup botol obatnya sambil berkata kepada Sin Houw:
"Mari, kuperkenalkan dengan anakku, Dia bernama Cie Lan, mulai sekarang tinggallah kau bersama kami di sini."
Thio Sin Houw memanggut.
"Meskipun kau tidak memperkenalkan nama gurumu, aku bisa menebak delapan bagian - lantaran kau menyebutkan bukit ouw-tiap san." kata Bun Nio. "Apakah kau kenal tabib sakti Ouw Gie Coen?"
Bun Nio tidak menunggu Sih Houw membenarkan dugaannya, dengan tersenyum manis ia masuk kebelakang, Dan dengan dibantu Cie Lan, ia menanak nasi dan menyembelih ayam, sebaliknya Sin Houw lelah luar biasa.
Oleh rasa kantuknya, dengan tak dikehendaki sendiri ia tertidur di tepi meja, kepalanya terletak diatas tangannya, yang bersilang diatas meja. Apakah dunia hancur pada saat itu, berada di luar ingatannya.
Keesokan harinya baru saja matahari muncul diudara, Cie Lan sudah menarik tangan Sin Houw, Kata gadis cilik itu:
"Mari, cuci muka!"
Sin Houw tersentak dari tidurnya, ia mengucak-ucak matanya. Tiba-tiba teringatlah dia kepada Thio Hian Cong, serentak ia menyahut:
"Aku hendak melihat paman dahulu. Bagaimana lukanya
..!"
"Nie susiok telah membawanya pergi sejak fajar hari tadi."
kata Cie Lan.
Thio Sin Houw terkejut mendengar perkataan Cie Lan, tukasnya: "Nie susiok? siapakah Nie susiok itu?"
"Nie susiok si bisu." jawab Cie Lan dengan tertawa.
Hati Sin Houw tercekat. menegas dengan wajah berubah: "Dibawa ke manakah Thio susiok?" Cie Lan hendak
menjawab, Tetapi pada saat itu, Sin Houw tiba-tiba melompat dari kursi dan lari memasuki kamar, Benar-benar kosong. Tiada Thio Hian Cong maupun si bisu. Hati Sin Houw terpukul, terus saja ia roboh terkulai tak berdaya.
"lbu! Ibu!" teriak Cie Lan memanggil ibunya.
Cin Bun Nio datang dengan cepat. Melihat sin Houw roboh terkulai, ia berkata membesarkan hati Cie Lan:
"Tak apa. Kecuali terkejut, semalam perutnya belum kemasukan sebutir nasipun, sebentar lagi ia akan siuman kembali."
Setelah berkata demikian, ia mendekati Sin Houw dan memijit-mijit pundaknya. Bisiknya:
"Anakku, pamanmu terluka parah, ia perlu mendapat pertolongan seorang tabib pandai. Kau mengenal obat-obatan, pasti kau juga mengerti bahwa obat bubuk kuning semalam hanya merupakan obat darurat saja. Bukankah begitu?"
Thio sin Houw manggut lalu berkata :
"Benar, dan aku hanya memberikan pertolongan pertama. ia terkena racun senjata rahasia yang sangat dahsyat, kalau tidak cepat-cepat ditolong secara sempurna, sebelah kakinya bisa lumpuh selama-lamanya."
"Sin Houw dari mana kau memperoleh pengetahuan tentang ilmu tabib begini sempurna?" tanya Bun Nio kagum.
Thio Sin Houw terhibur hatinya -karena mendengar perkataan Bun Nio dan ia segera memberikan jawaban:
"Secara kebenaran saja aku berada dirumah salah seorang murid terpandai dari tabib sakti Ouw Gie Coen." "Ohl" seru Bun Nio kagum, "Pantas saja kau mahir sekali dalam ilmu ketabiban, Kalau tahu begini, aku tidak akan mengijinkan Nie Un siang membawanya pergi."
Thio Sin Houw menarik napas.
"Sebenarnya Thio susiok dibawah kemana?" tanyanya. "Nie siang membawanya menghadap seseorang yang
berilmu sakti. pada jaman ini kukira hanya dia seorang yang dapat menyembuhkan Thio susiokmu, tapi tunggu saja disini, apabila sudah sembuh Thio susiokmu itu pasti akan datang kemari menjengukmu."
Sin Houw menyadari apabila Thio susioknya memperoleh pertolongan seorang tabib pandai, pastilah lukanya akan dapat disembuhkan. Hanya saja lantaran kata-kata Cin Bun Nio bersikap menghibur, hatinya menjadi sedih. Beberapa saat lamanya ia termenung dan Bun Nio membujuknya lagi:
"Sin Houw, Thio susiokmu pasti akan sembuh. sekarang pergilah kau mencuci muka, setelah itu kita makan bersama. meskipun aku tidak pandai memasak, tetapi daging ayam itu sendiri pasti akan menawan seleramu!"
Sin Houw sadar akan maksud baik wanita setengah baya itu, walaupun ia masih merasa letih, namun ia mencoba menguasai diri, Kemudian mencuci mukanya disebuah pancuran yang berada di belakang rumah, setelah itu ia duduk bersama ibu dan anak yang ditumpanginya itu.
Ternyata Cin Bun Nio pandai mengambil hati, suaranya sendiri sudah meresapkan pendengaran. Apalagi dia bermaksud membujuk dan membesarkan hati. Thio Sin Houw lantas saja menyerah kalah. Dengan kemauannya sendiri ia menceritakan tentang riwayat hidupnya, dan mendengar kisah anak itu, Bun Nio menghela napas berulangkali. Katanya dengan hati pilu:
"Kalau begitu, tinggallah engkau bersama kami, disini, jangan kau mencemaskan apa-apa lagi, kau tunggu saja Thio susiokmu di sini. Apabila sudah sembuh, pasti ia akan menjengukmu"
Sin Houw manggut. sejak bayi ia hidup menderita sekali, dibawa orang tuanya merantau dari satu tempat ke tempat lainnya untuk menghindar dari pihak lawan yang datang tak hentinya, setelah berumur delapan tahun, dengan cara yang menyedihkan sekali kedua orang tuanya meninggal didepan matanya. Sekarang, ia bertemu dengan Bun Nio yang halus budi dan manis sekali perlakuannya. sudah tentu ia seperti memperoleh seorang ibu sejati, Disamping itu, Bun Nio masih mempunyai seorang puteri yang manis pula, Cie Lan, Gadis itu cantik dan selalu bersedia menjadi kawannya. Maka tak mengherankan, baru beberapa hari saja Thio Sin Houw merasa betah tinggal dirumahnya Bun Nio.
Pada suatu hari Cin Bun Nio minta kepada Sin Houw untuk memperlihatkan ilmu silatnya ajaran Thio Sin Houw di hadapannya. Dengan cerman Sin Houw melakukan jurus-jurus ilmu Hok-houw ciang hoat, menyaksikan cara Sin Houw mengalah jurus-jurus Hok-houw ciang, Bun Nio memuji tiada hentinya.
Maka ia menjadi insyaf, bahwa hal itu telah terjadi berkat kecermatan dan ketelitian Thio Hian Cong tatkala memberi pelajaran.
Setelah sepuluh hari berada di rumah itu, Bun Nio menganjurkan kepada Sin Houw agar berlatih dengan sungguh-sungguh pada setiap hari. Namun ia tak pernah membenarkan atau menyalahkan. Dengan seksama ia menilik dan mengikuti gerak-gerik sin Houw dalam mengolah liku-iiku intisari ilmu Hok-houw ciang, tetapi sepatah katapun tak pernah terbersit dari mulutnya yang menyinggung tentang latihan itu, Malahan beberapa hari kemudian, jarang sekali ia hadir. sebaliknya Cie Lan mengganti kedudukannya menemani Sin Houw, tetapi tiba-tiba pada hari kedua belas, Cie Lan dipanggil ibunya, selagi seperti biasanya menemani Sin Houw berlatih sampai rampung.
Thio sin Houw tak pernah menduga jelek. pastilah ada alasannya mengapa Cie Lan dipanggil ibunya, dan tidak di perkenalkan lagi hadir tatkala dia sedang berlatih. Mungkin sekali hal itu merupakan pantangan besar bagi seseorang yang melihat orang lain berlatih diri, pada suatu hari Bun Nio datang kepadanya dan berkata:
"Sin Houw, aku hendak pergi sebentar, kau temanilah adikmu Cie Lan. Tetapi jangan kau ajak dia keluar rumah, karena disekitar rumah ini banyak binatang buas."
Bun Nio tidak memberi keterangan kemana dia hendak pergi. Tetapi sebenarnya dia hendak ke kota untuk membeli dua perangkat pakaian untuk Sin Houw, lantaran pakaian yang dikenakan sudah usang.
Thio Sin Houw patuh kepada pesan Bun Nio, ia menjaga Cie Lan seperti seseorang menjaga adik kandungnya sendiri. Cie Lan sendiri bersikap manja terhadap sin Houw, ia berlari- larian kesana dan kemari mengajak bermain. "Tiba-tiba gadis itu berkata:
"Sin Houw koko, marilah kita bermain masak-masakan. Biarlah aku , membeli seekor ayam, kau yang menyembelih nanti!"
Tanpa menunggu persetujuan Sin Houw gadis itu lari keluar rumah.
"Kau hendak mencari ayam dimana?" tanya sin Houw.
"Di pekarangan depan. Disana banyak ubi hutan!" sahut Cie Lan.
Maka tahulah Sin Houw, bahwa ubi hutan itu diumpamakan sebagai ayam lantas pergi kedapur mencari sebilah pisau. Bukankah ia telah dianggap jadi tukang sembelih ayam. Tetapi setelah menunggu sekian lamanya, Cie Lan tidak muncul kembali. ia jadi tidak sabaran memanggil:
"Cie Lan! Cie Lan!"
Tetapi panggilannya tiada jawaban - jantungnya jadi bertebaran. Teringat dia akan pesan Bun Nio, bahwa di sekitar rumah itu banyak berkeliaran binatang buas, dengan pisau ditangan ia lari keluar rumah. Begitu berada di pekarangan, ia menjadi kaget bukan main.
Seorang laki-laki bertubuh tinggi-besar nampak sedang mengempit Cie Lan dan sedang memutar tubuh hendak pergi. Keruan saja ia berteriak kalap.
"Heii Kau hendak membawanya ke mana?"
Orang itu tidak menghiraukan. Dia melompat keluar halaman. Pada saat itu Thio Sin Houw ikut melesat pula, Anak itu tidak hanya mengejar, tetapi menyerang pula dengan pisaunya. Keruan saja penculik itu menjadi kaget. sama sekali ia tak mengira bahwa anak itu bisa menikam, untung Sin Houw tidak bermaksud mengarah jiwanya, ia hanya menikam bagian kaki, justru demikian penculik itu mendongkol dan gusar karena kesakitan!
"Kurang ajar!" dia memaki dan menurunkan Cie Lan, Lalu berbalik sambil menghunus goloknya, dan terus menyerang.
Thio Sin Houw tidak takut, dia menangkis dengan tangan kosong. Tentu saja yang dipukul balik adalah lengan si penculik, itulah salah satu jurus ilmu sakti Hok-houw ciang warisan gurunya, sekali ia menangkis, tangan kanannya ikut segera menyerang.
Heran orang itu, Terpaksa ia harus melayani dan terjadilah suatu perkelahian yang ganjil, seorang terasa bertubuh besar bersenjata golok, bertempur melawan seorang anak belasan tahun bersenjata pisau dapur.
Dalam hal tenaga, tentu saja orang itu menang dua kali lipat, goloknya menerbitkan kesiur angin menderu-deru. Namun dalam hal kegesitan, Thio Sin Houw jauh lebih menang. ia menghindarkan bentrokan senjata dengan mengelakkan diri dan disaat-saat tertentu menikam atau menusuk secara tiba-tiba.
Setelah belasan jurus, orang itu jadi sibuk sendiri. ia heran dan penasaran, mengapa ia tak sanggup mengalahkan seorang pemuda tanggung yang hanya bersenjata pisau dapur saja? Karena itu ia berkelahi semakin sengit tak ubah sedang berhadapan dengan seorang musuh tangguh. Goloknya kini terus membabat mengarah kaki.
Bagus sasarannya, tetapi sulit untuk dilakukan - hal itu disebabkan lantaran lawannya lebih pendek dari dirinya sendiri. untuk dapat menyerang kaki, terpaksalah ia bergulingan ditanah. Kemudian berjongkok atau membungkuk.
Cara berkelahi demikian sebenarnya menghabiskan tenaga, tetapi Sin Houw belum berpengalaman. ia menjadi sibuk juga, terpaksa main mundur untuk menghindari ancaman golok lawan.
Cie Lan yang telah bebas, tidak hanya menonton saja, Dia lari ke dalam rumah dan kembali dengan membawa pedang panjang, Dengan senjata itu ia menyerang si penculik dari belakang. Ternyata ia pandai bersilat dengan pe-dang, walaupun belum mahir.
"Hai, setan! Kau perempuan cilik ikut-ikut campur juga? Apakah kau mau mampus?" bentak penculik itu. Cepat-cepat ia membalikkan tubuh dan mengayunkan goloknya, namun ia tidak menggunakan tenaga sepenuhnya lantaran tidak menghendaki jiwa Cie Lan, ia hanya menangkis agar pedangnya Cie Lan terlepas dari tangannya.
Akan tetapi Cie Lan seorang gadis cerdik, Gerakannya gesit pula, Dia mengelak tangkisan itu sambil melompat kebelakang, lalu maju kesamping dan dengan cepat balas menikam!
Lega hati Thio Sin Houw yang menyaksikan Cie Lan bisa menikamkan pedangnya. Tadinya ia khawatir melihat majunya gadis cilik itu, setelah melihat serangannya beberapa kali, ia menjadi girang, Terus saja ia membarengi dengan tikaman berantai jurus delapan belas dari ilmu sakti Hok-houw ciang.
Diserang secara berbareng, si penculik menjadi kalang- kabut, untuk membela diri terpaksa ia bergerak dengan gesit sekali. Sin Houw berbesar hati, oleh karenanya serangannya semakin gencar dan hal ini membuat hati si penculik bersyukur Karena meskipun mereka berdua pandai berkelahi, namun baik tenaga maupun keuletannya masih kurang jauh.
Maka dengan sabar ia hanya membela diri saja, dengan mengelakkan berbagai serangan. Dan dugaannya ternyata benar, beberapa waktu kemudian kegarangan Sin Houw berdua Cie Lan menjadi semakin surut. Kini mereka berdualah yang bergilir menghadapi serangan balasan.
Tatkala Cie Lan menikam, penculik itu menangkis dengan tenaga penuh. Demikian hebat tenaganya, sehingga Cie Lan tak dapat mempertahankan diri, pedangnya lantas terpental diudara dan jatuh berkelontangan ditanah.
Melihat Cie Lan terancam bahaya, Sin Houw menerjang dan menikam, buru-buru penculik itu menangkis dan menendang Cie Lan dengan sebelah kakinya. Kena tendangan itu, Cie Lan menjadi terguling-guling.
Sin Houw kaget dan cemas. . Lupa akan penjagaan diri, ia melompat menikam dengan sembarangan saja, Tentu saja hal itu membuat girang si penculik, ia mengelak lalu merangsak dengan goloknya. Dan menghadapi rangsakan, Sin Houw cepat-cepat mengangkat pisau dapurnya untuk menangkis, inilah bentrokkan yang tak dapat dihindarkan lagi, pisau dapurnya lantas saja terlepas dari tangan dan menancap di tanah selagi terkejut, pergelangan tangannya kena cengkeram pula dan diputar?
Sin Houw kesakitan, Namun dalam kesakitan ia tidak menjadi gugup. tangan kirinya segera menyelonong masuk menghantam tulang rusuk, Penculik itu kaget bukan kepalang. Dalam kagetnya ia melepaskan cengkeramannya dan melompat mundur. Begitu berdiri tegak kembali ditanah, segera ia melesat menyambar Cie Lan dan dikempitnya. Kemudian ia memanjangkan langkah.
Walaupun sedang kesakitan, begitu melihat Cie Lan kena dibawa lari, Sin Houw menjadi kalap. Segera ia memungut pisau dapurnya lagi yang tertancap di tanah, kemudian lari mengejar sambil berteriak:
"Hai, jangan lari!"
"Akh, setan cilik! Apakah kau tak sayang jiwamu?" si penculik memaki.
Dengan tangan kiri mengempit Cie Lan, tangan kanannya menggerakkan goloknya sambil membalikkan tubuhnya, ia harus melayani Sin Houw yang sudah dapat mengejarnya, setelah bertempur lima enam jurus, Sin Houw kena dibacok bagian pundaknya.
"Bagaimana? Apakah kau masih membandel?" bentak penculik itu.
Thio Sin Houw benar-benar tak mengenal takut. Bajunya robek dan pundaknya mengalirkan darah. Namun ia menjawab dengan garang:
"Lepaskan Cie Lan! Dan aku tidak akan mengejarmu lagi!" Tentu saja penculik itu tidak menghiraukan ocehannya, ia
memutar tubuh dan memanjangkan langkahnya. Dan Sin Houw tetap mengejarnya sambil terus berteriak-teriak, Akhirnya penculik itu menjadi habis sabar, dan timbullah pikirannya:
"Jika aku tidak membunuhnya, aku akan diganggunya terus-menerus," Memperoleh pikiran demikian, ia berhenti dan memutar tubuhnya, dengan goloknya ia menyongsong serangan Sin Houw, ia kini tidak mau berkelahi setengah hati - baru beberapa gebrakan saja lagi lagi pisaunya Sin Houw kena dipentalkan jatuh ditanah.
Terus saja ia menendang -sehingga Sin Houw menjadi terguling. Setelah itu ia mengayunkan goloknya hendak menghabiskan jiwanya,
Cie Lan yang berada dalam kempitannya, melihat ancaman bahaya itu. Dengan mati-matian ia menggelendoti lengan penculik itu dan menggigitnya. Karena gigitannya, penculik itu kesakitan sehingga berteriak. Dan bacokkannya menjadi gagal pula.
Dan inilah kesempatan yang bagus bagi Sin Houw. Anak itu segera membuang diri dengan bergulingan di tanah, lalu kembali merangkak-rangkak memungut pisaunya. Tentu saja penculik itu mendongkol bukan main, Dengan penuh dengki ia menjewer telinga Cie Lan, lalu kehilangan serangannya yang tadi kena digagalkan. Karena sudah berpengalaman, dengan mudah saja ia dapat melukai Sin Houw.
Kali ini jidat anak itu yang termakan golok, sehingga mengalirkan darah. Menimbang bahwa karena luka itu Sin Houw tidak akan dapat berdaya banyak lagi, penculik itu segera memutar tubuh hendak kabur secepat-cepatnya.
Akan tetapi Sin Houw benar-benar berani dan bandel, ia melompat dan menubruk kaki si penculik yang terus dipeluknya erat-erat. Karena kehilangan pisau dapurnya, ia kini menggunakan ketajaman giginya. Meniru Cie Lan, ia menggigit kaki penculik itu sekuat tenaganya.
Penculik itu berkaing-kaing kesakitan sambil memaki-maki kalang kabut.
Dengan geram ia mengangkat sebelah ka kinya dan diinjakkan ke kepala Sin Houw, Kemudian menendangnya dengan sekuat tenaga, Dan kena tendangan itu Sin Houw terpental menggabruk tanah.
Penculik itu sudah terlanjur membencinya, terus saja ia mengejar. Dengan golok ditangan ia bermaksud membunuhnya.
Untunglah pada detik-detik yang sangat berbahaya bagi Thio Sin Houw terdengarlah suara kesiur angin. Dan tahu-tahu kepala penculik itu terbentur sebuah benda yang membeletuk.
Penculik itu terkejut, ia menoleh dan melihat Cin Bun Nio sedang mengayunkan senjata bidiknya yang kedua. Ternyata, senjata bidik itu adalah sebutir telur. Pantaslah begitu membentur kepalanya menerbitkan suara membeletuk -ia menjadi kuncup hatinya, terus saja meninggalkan Sin Houw dan kabur secepatnya dengan masih mengempit Cie Lan.
Tentu saja Bun Nio tidak membiarkan penculik itu kabur dengan membawa puterinya. ia melepaskan sambaran telurnya yang ketiga. Kali ini tepat mengenai mata kiri. Penculik itu menjadi gelagapan, Meskipun hanya sebutir telur, akan tetapi timpukan itu cukup keras, sehingga matanya berkunang-kunang, ia jadi gusar, terus saja ia melepaskan Cie Lan, Tangan kirinya mengucak matanya yang terkena pecahan telur, ia maju menyerang dengan golok ditangan kanan.
Cin Bun Nio tak bersenjata, ia melayani serangan si penculik dengan kelincahan tubuhnya. Dalam pada itu Sin Houw sudah merayap bangun. segera ia memungut pisau dapurnya kembali. Tanpa memperdulikan luka-lukanya, ia maju menyerang membantu Bun Nio. Semangat tempurnya makin lama makin menyala, dan tidak takut segala akibatnya. Cie Lan juga tidak tinggal diam.
Teringat akan pedangnya yang tertinggal dipekarangan rumah tatkala kena gempur penculik itu, segera ia lari mencarinya dan datang kembali dengan membawa pedang itu.
Karena didesak Sin Houw, penculik itu tak dapat lagi memusatkan serangannya kepada Bun Nio seperti semula, Bun Nio jadi memperoleh kesempatan untuk menerima pedang Cie Lan. Dengan pedang ditangan, ia tak ubah seekor harimau tumbuh sayap. Namun ia seorang wanita penyabar, tak mau segera turun ke gelanggang menggunakan pedangnya, ia menjumput tiga buah batu dan ditimpukkan, membuat si penculik jadi kerepotan setengah mati, Hampir saja ia ke na tikam pisau dapur Sin Houw.
Selagi penculik itu terpaksa mundur, Bun Nio berkata dengan suara sabar:
"Ouw Lo Sam! selagi aku tiada di rumah, mengapa kau hendak menculik anakku? Apakah itu perbuatan seorang laki- laki?"
Bun Nio tidak memberi kesempatan Ouw Lo Sam menjawab tegurannya, dengan pedang ditangan ia menyerang, Dan Ouw Lo Sam menjadi sibuk tak keruan. cepat cepat ia menendang Sin Houw, Bocah itu roboh terguling, kemudian ia melayani serangan Bun Nio dengan sungguh- sungguh.
Bun Nio nampaknya sedang gusar, ia berkelahi dengan hebat. setelah melakukan serangan beberapa kali, berhasil dia melukai pundak Ouw Lo Sam. Ouw Lo Sam jadi berteriak kesakitan, dan karena kesakitannya itu maka gerakannya jadi lambat.
Bun Nio tidak sia-siakan kesempatan sebagus itu, terus saja ia mendesak dan menghantam golok Ouw Lo Sam. Kena hantamannya, golok itu terlepas dari tangannya, dan buru- buru ia melompat sambil berseru:
"Aku berbuat demikian, semata mata melakukan perintah suamimu. Kau hendak membunuhku, nah bunuhlah! Tetapi aku akan mati penasaran. Apabila aku menjadi setan, akan tetap mencarimu dimana saja kau berada!"
Sepasang alis Bun Nio berdiri tegak. Dengan wajah merah karena marah, pedangnya menikam. Ouw Lo Sam agaknya sudah menduga demikian. Cepat-cepat ia menjejakkan kakinya dan melesat mundur, kemudian lari tunggang- langgang menuruni gunung.
Bun Nio tidak mengejarnya. Dengan menyarungkan pedangnya ia berbalik dan mendekati Cie Lan berdua Sin Houw. ia bersyukur karena Cie Lan sama sekali tidak terluka, tetapi Sin Houw mandi darah, cepat-cepat ia membimbingnya pulang.
Dengan tangannya sendiri ia membersihkan luka-lukanya, dan mengobati dengan bubuk kuning semalam. Anak itu ternyata mendapat dua luka, syukur lukanya tidak berbahaya. Benar ia mengeluarkan banyak darah, tetapi tidak sampai membahayakan jiwanya. "Kau rebah saja di pembaringan" kata Bun Nio dengan suara terharu.
Cie Lan segera menceritakan pengalamannya. Dan mendengar tutur kata puterinya, hati Bun Nio kian terharu. pikirnya didalam hati:
"Sama sekali tak kusangka bahwa dia berhati mulia. Dia masih begini muda, akan tetapi gagah sekali. Kalau begitu aku harus menolongnya, agar mendapat seorang guru yang tepat untuk menjangkau masa depannya."
Oleh pikirannya itu, ia berkata kepada Sin Houw:
"Sin Houw, kau tidur saja baik-baik, sebentar malam kita berangkat."
Baik Cie Lan maupun Sin Houw heran mendengar perkataan Bun Nio. sebenarnya mereka hendak minta keterangan, akan tetapi Bun Nio telah masuk kembali berkemas-kemas. ia mempersiapkan dua bungkusan, dan menunggu datangnya petang hari. setelah makan petang, bertiga mereka duduk menghadapi lilin, pintu tidak dikuncinya. Bun Nio nampaknya seorang wanita gagah yang tidak gentar menghadapi ancaman bahaya apapun.
Kira-kira menjelang malam hari tiba-tiba terdengarlah langkah kaki memasuki pekarangan rumah. Temyata dia adalah Nie Un siang, si bisu yang baik hati, ia nampak angker berwibawa dan langkah kakinya ringan sekali. jelaslah bahwa ia memiliki ilmu kepandaian tinggi.
Bun Nio menyambut kedatangannya dengan berdiri dari tempat duduknya, ia bicara dengan Un siang dengan menggerakkan kedua tangannya. Un siang rupanya mengerti akan isyarat tangan Bun Nio, dia manggutkan kepalanya.
"Ke mana kau bawa Thio susiok?" tanya Sin Houw minta keterangan. "Apakah dia tertolong?"
Bun Nio segera menterjemahkan pertanyaan Sin How. setelah memperoleh jawaban Bun Nio ewakili Un siang - katanya. "Dia dalam keadaan baik. jangan kau mengkhawatirkan. sekarang perkenalkan aku bicara denganmu."
Bun Nio mengajak Sin Houw masuk ke dalam kamar. Dia duduk diatas ranjang, sedangkan Sin Houw berdiri didepannya.
"Sin Houw, duduklah disampingku." kata Bun Nio sambil menarik tangan Sin Houw. "Begitu aku melihat dirimu, entah apa sebabnya hatiku berkenan sekali. itulah sebabnya kau kupandang tak ubah anak kandungku sendiri. Tadi kau telah berkorban demi Cie Lan, itulah budimu yang pertama kali yang tak akan kulupakan selama hidup. Malam ini kami hendak pergi ke suatu tempat yang jauh sekali, karena itu pergilah kau bersama Nie susiokmu."
"Oh, jadi subo tidak mengajak aku bersama?" Sin Houw heran. "Kukira subo tadi bermaksud mengajak aku pergi."
Bun Nio menarik napas panjang.
"Sebenarnya tak sampai hatiku untuk berpisah denganmu," sahutnya. "Tetapi aku ingin Un siang membawamu kepada seseorang. Dialah guru dari Thio susiokmu. Baru beberapa bulan saja ia belajar ilmu kepadanya, ternyata dia sudah memiliki ilmu kepandaian sangat tinggi, orang itu mempunyai ilmu kepandaian yang tiada bandingnya didunia ini, dan aku menghendaki kau berguru kepadanya."
Mendengar perkataan Bun Nio, Sin Houw terdiam. Hanya hatinya tergerak.
Tatkala hendak membuka mulutnya, Bun Nio meneruskan:
"Seumur hidupnya orang itu hanya mempunyai dua orang murid saja, Hal itu terjadi pada belasan tahun yang lampau. walaupun demikian, sampai kini dia belum mau menerima seorang murid lagi, Kau seorang yang berbakat, hatimu mulia pula, Aku percaya, dia pasti akan menerimamu sebagai muridnya. Un siang itu hanya pelayannya. itulah sebabnya, dengan perantaraannya aku me-ngirimkan kau kepadanya.
Kau pergilah dengannya. seumpama orang itu tidak sudi menerimamu sebagai muridnya, Un siang akan membawamu kembali kepadaku.
Sampai disitu Sin Houw telah mengambil keputusan, dia memanggut.
"Bagus!" seru Bun Nio gembira. "sebelum bertemu dengan orang itu, baiklah kuberitahukan tentang tabiatnya, ia seorang aneh, seumpama engkau tidak patuh kepadanya, segera ia membencimu sampai tujuh turunan, sebaliknya andaikata kau terlalu menurut, diapun mencelamu habis-habisan. Dan pastilah kau akan dikatakan sebagai seorang anak yang sama sekali tak mempunyai semangat hidup. Maka segala-galanya kini tinggal terserah kepada nasibmu belaka."
Bun Nio kemudian melepaskan sebuah gelangnya, dan dikenakan pada pergelangan tangan Sin Houw, ia memijitnya sedikit, sehingga gelang itu tidak akan lepas lagi dari pergelangan tangan anak itu.
"Dikemudian hari apabila kau sudah selesai belajar, kau akan menjadi seorang pemuda yang tinggi besar." kata Bun Nio dengan tersenyum "janganlah kau melupakan aku dan adikmu, Cie Lan."
"Akh, subo." sahut Sin Houw sungguh-sungguh. "Andaikata aku diterima sebagai muridnya, aku mohon dengan sangat, pada waktu senggang hendak lah subo mengajak Lan- noay datang menjengukku.
Sepasang mata Bun Nio mengalirkan air mata, hatinya terharu. jawabnya:
"Baik, aku akan selalu teringat kepadamu."
Bun Nio kemudian menulis sepucuk surat yang kemudian diserahkan kepada Un Siauw, setelah perbekalan selesai disiapkan, segera ia berkata memutuskan.
"Marilah kita sekarang berangkat."
Berempat mereka keluar rumah, sesampainya diluar halaman mereka berpisah dalam dua jurusan, masing-masing dengan tujuannya sendiri. Cie Lan bersama ibunya mengarah ke timur, sedangkan Un siauw mengajak Sin Houw mengarah ke barat.
Berat rasa hati Sin Houw berpisah dengan Cie Lan. inilah perpisahan yang memilukan untuk yang keenam kalinya. Yang pertama tatkala ia berpisah dengan kakek gurunya, yang ke dua dengan siang Gie Coen, yang ketiga dengan ke-empat gurunya.
Yang ke empat dengan Hong Kiauw, Yang kelima dengan Thio Hian Cong dan yang ke-enam dengan Bun Nio berdua Cie Lan.
Un siang tahu bahwa Sin Houw mengeluarkan darah banyak ketika menderita luka, karena itu ia memondongnya dan dibawanya lari cepat tanpa perduli jalan pegunungan sempit dan licin. Kakinya melesat dengan gesit sekali dan ia melakukan perjalanan pada waktu siang maupun malam. Ia baru berhenti beristirahat pada larut malam -tetapi bukannya berhenti ditempat penginapan atau dirumah seseorang, melainkan ditengah-tengah tegalan atau dalam goa.
Kalau ia memasuki pedusunan atau kota semata-mata hanya untuk membelikan barang makanan bagi Sin Houw, Dia sendiri hanya mengisi perutnya sekenanya saja.
Seringkali Thio Sin Houw minta keterangan tentang dusun- dusun yang di laluinya atau ke mana arah tujuannya, tetapi Un siang hanya menjawab dengan menudingkan tangannya kearah depan.
Setelah tiga hari melakukan perjalanan maka jalan yang di tempuhnya makih lama makin menjadi sulit. Pada waktu itu sampailah dia disebuah pinggang gunung terjal. jalanan hampir boleh dikatakan tiada. untuk maju terus, Un siang menggunakan kedua tangannya merayap atau merangkaki tebing.
Kadang-kadang ia merambat lewat akar-akar pepohonan. pada waktu itu Sin Houw dapat menggunakan kesempatan untuk melongok kebawah, Hatinya ngeri luar biasa, karena dibawah kakinya adalah jurang yang dalamnya entah berapa ratus meter, Tak terasa ia memeluk leher Un siauw erat-erat karena takut terlepas.
Dalam hatinya ia berdoa panjang dan pendek. Betapa Tidak? sekali terperosok mereka berdua bakal jatuh di dalam jurang yang sangat dalam, dan tamatlah riwayat hidupnya!
(Oo-dwkz-oO)
HAMPIR seharian lamanya Un siang memanjat dan merangkaki tebing tebing terjal, dan menjelang petang hari sampailah mereka disebuah puncak gunung yang tinggi. Sin Houw diturunkan di atas batu, waktu itu luka-lukanya sudah menjadi kering, hanya diatas alisnya masih tertinggal luka kecil. Karena itu gerakan kaki dan lengannya tak terhalang lagi, Begitu berdiri di atas batu, segera ia melayangkan penglihatannya.
Didepannya tergelar sebidang tanah lebar dengan dipagari hutan hutan cemara yang tinggi-tinggi, Kesannya sangat indah dan menyenangkan.
Setelah beristirahat sejenak, Un siang memondongnya lagi, Kemudian melanjutkan perjalanan. Hanya sekali ini ia tidak berlari-lari lagi seperti semula. setelah melewati enam rumah batu, ia tersenyum gembira. Kesannya seperti seorang perantau yang melihat kampung halamannya kembali.
Di depan sebuah rumah batu, Un siang membimbing Sin Houw masuk ke dalam pekarangannya. Lantai rumah batu itu kotor dan banyak kayu-kayu yang malang melintang, itulah suatu tanda bahwa rumah itu lama tiada penghuninya.
Segera Un siang menyapunya, sekarang rumah batu itu nampak rapi dan menyenangkan. Terus saja sia menyalakan api dan memasak air serta nasi.
Puncak gunung itu tinggi. perjalanannya sangat sukar pula. Entah bagaimana caranya Un Siang dapat menyediakan beras dan lauk-pauk yang dibutuhkan, Sin Houw cerdas, tetapi tak mampu menjawab pertanyaan itu. Tiga hari tiga malam lamanya Sin Houw berada dalam rumah batu itu dengan Un siang. Bagi Sin Houw hal itu merupakan suatu siksaan sendiri karena Un siang tak dapat diajak berbicara, Setelah menjelang hari keempat ia jadi gelisah.
Dengan gerakan tangannya, ia mencoba berbicara dengan Un siang. ia mencoba minta keterangan kepadanya kapan kiranya datang sang guru yang di janjikan.
Un siang agaknya mengerti pertanyaan Sin Houw, Dia menunjuk ke bawah gunung. Mengira bahwa guru yang dijanjikan itu berada dibawah gunung, Sin Houw segera mengajak:
"Mari kita turun saja!"
Akan tetapi Un siang menggelengkan kepalanya, maka terpaksalah Sin Houw berdiam saja, Hatinya sangat masgul, hal itu disebabkan karena ia merasa kesepian. Kalau saja dia bisa mengajak Un siang bicara, hatinya agak terhibur meskipun berada ditempat yang sunyi.
Pada suatu malam ia menjadi terkejut ketika tersadar dari tidurnya.
Didepan matanya berkelebat cahaya terang, segera ia menggeliat dan duduk di tepi pembaringan. Di depannya berdiri seorang tua membawa lilin menyala, orang tua itu berseri-seri wajahnya, tanda hatinya girang.
Dasar otaknya cerdas, Sin Houw cepat-cepat turun dari pembaringan. lantas saja bersimpuh dihadapannya sambil berkata:
"Suhu! Akhirnya suhu datang juga."
Orang tua itu tertawa terbahak-bahak, sahutnya:
"Eh, siapa yang mengijinkan kau memanggilku sebagai suhu? Bagaimana kau bisa yakin bahwa aku akan menerimamu sebagai murid?"
Sin Houw girang bukan kepalang. oleh perkataan orang tua itu, jelaslah sudah bahwa dia bakal diterima sebagai murid, segera ia menjawab:
"Subo yang mengajari aku."
"Hm!" orang tua itu mengeluh. "Artinya dia menambahi kesulitan lagi kepadaku." setelah menggerutu demikian, tiba- tiba ia tersenyum. Katanya:
"Baiklah, mengingat mendiang ayahmu, aku bersedia menerimamu sebagai murid."
Bukan kepalang girang Sin Houw, Terus saja ia bersembah beberapa kali, tetapi orang tua itu mencegahnya. Katanya:
"Cukupl cukup! sampai besok saja."
Pada keesokan harinya, sebelum terang tanah Sin Houw sudah bangun dari tidurnya. segera ia mencari Un siang. Dan melihat kedatangannya, Un siang girang bukan kepalang. untuk menyatakan kegirangannya yang meluap-luap, ia mengangkat tubuh Sin Houw dan dilemparkan tinggi-tinggi di udara dan menanggapi dengan tangannya.
Empat lima kali ia berbuat demikian, sehingga Sin Houw terapung-apung di udara. Sin Houw tahu bahwa Un siang ikut bergirang hati, karena dirinya diterima menjadi murid. Lantas saja ia tertawa.
Guru besar itu segera keluar dari kamarnya, begitu mendengar suara tertawa riuh. menyaksikan perbuatan si bisu, ia menghampiri. Berkata kepada Sin Houw:
"Bagus! Kau masih begini muda, tetapi kau mengarti berbagai perbuatan mulia dan gagah. Kau telah menolong seorang perempuan. sebelum kau mengenal namaku, coba perlihatkan kepadaku, kepandaian apa yang telah kau miliki."
Thio Sin Houw menundukkan kepalanya, wajahnya merah karena malu, ia segan memperlihatkan ilmu kepandaiannya dihadapan orang tua itu.
"Jika kau tidak sudi memperlihatkan ilmu kepandaianmu, bagaimana aku bisa mengajari dirimu?" kata orang tua itu sambil tertawa.
Sekarang barulah Sin Houw mengarti maksud orang tua itu, terus saja menyahut:
"Baiklah, suhu."
Setelah berkata demikian, ia mulai memperlihatkan ilmu sakti Hok-houw ciang yang diperolehnya dari ke gurunya dan dari Thio Hian Cong, Orang tua itu mengawasi dengan pandang berseri-seri, dia menunggu sampai Sin Houw selesai dengan jurus yang terakhir, kemudian barulah dia tertawa. Katanya:
"Pantas saja Hian Cong selalu memuji kecerdasanmu. Mulanya aku tidak percaya." katanya, "Dia baru mengajarkan jurus-jurus Hok-houw ciang baru beberapa hari saja kepadamu, nyatanya kau bisa melakukan begini rupa. Bagus!"
Mendengar disebutnya nama gurunya - Thio Hian Cong, maka Sin Houw tergerak hatinya, sebenarnya ingin segera ia memperoleh keterangan tentang gurunya, tetapi karena orang tua itu masih berbicara tak berani ia memutus.
"Sekarang, bolehlah kau mengenal namaku." kata orang tua itu.
Sin Houw masih diam mendengarkan tanpa berani mengucap apa-apa, meskipun gurunya menunda bicara, ia membiarkan sampai gurunya yang menyambung bicara:
"Aku adalah she Bok, Dikalangan Rimba persilatan, orang- orang menyebut aku sebagai Pat-jin Sin-wan, Kau harus camkan baik-baik, Lain kali apabila ada orang menanyakan nama gurumu kau harus menjawab tidak tahu!"
Sin Houw membungkuk hormat, kemudian dia minta keterangan:
"Suhu tadi menyebut nama Thio susiok, dimanakah dia sekarang? Apakah dia baik-baik saja?"
Orang tua itu mengerinyitkan dahinya, Biasanya hatinya tidak senang apabila seseorang mengalihkan pembicaraan dengan tidak mendapat persetujuannya, Akan tetapi mengingat anak itu sangat memikirkan keselamatan gurunya, diam-diam ia menaruh perhatian. pikirnya didalam hati:
"Benar, dia seorang anak yang mulia hatinya. Sama sekali ia tidak memikirkan kepentingan dirinya sendiri. Yang ditanyakan adalah keadaan gurunya dahulu,". Kemudian ia menjawab:
"la tak kurang suatu apa. ia sudah kembali kepada pasukannya, kini berada bersama-sama dengan Thio Su Seng."
Thio Sin Houw girang bukan main, Hanya saja hatinya menyesal karena tak dapat bertemu lagi dengan gurunya itu, yang telah mewariskan ilmu sakti Hok-houw ciang kepadanya.
"Baiklah," kata orang tua itu, "Karena kau sudah mengenal namaku, dan akupun telah menerimamu sebagai murid, marilah kita melakukan upacara di dalam."
Apa yang dinamakan upacara, bukanlah semacam upacara sembahyang. Tetapi orang tua itu hanya mengeluarkan selembar kertas lukisan seorang ksatria beroman alim dan agung. sambil menyulut lilin ia berkata:
"Inilah gambar Cie Couw Suya, ia pendiri dari golongan Hoa-san pay. Hayolah, kau sekarang berlutut dan menjalankan penghormatan!"
Thio Sin Houw segera bersimpuh di hadapan gambar itu. ia bersembah berulangkali tiada hentinya, sehingga membuat orang tua itu tertawa terbahak-bahak. Katanya:
"Sudahlah, cukup!"
Masih saja ia tertawa atau tiba-tiba Sin Houw berlutut kepadanya sambil berkata:
"Suhu!"
Mau tak mau orang tua itu atau Pat-jiu Sin-wan Bok Jin Ceng menerima sembah calon muridnya itu. Katanya: "Mulai saat ini kau adalah muridku yang syah, sebelum kau tiba di sini, aku mempunyai dua orang murid. Dengan demikian kau adalah muridku yang ke tiga. Terpautmu sangat jauh dengan ke dua kakak seperguruanmu itu. Hal itu disebabkan karena belasan tahun lamanya aku belum menemukan calon murid yang berbakat seperti kau,
Kini sudah kuputuskan bahwa kau menjadi murid penutup, karena itu kau harus belajar sungguh-sungguh agar di kemudian hari kau bisa menjaga martabat perguruanmu.
Thio Sin Houw manggut berulangkali, janjinya:
"Mudah-mudahan Tuhan mengabulkan kehendak suhu, dan mudah-mudahan Tuhan mengabulkan pula kepadaku untuk bisa menjunjung tinggi martabat perguruan suhu."
Pat-jiu Sin-wan Bok Jin Ceng adalah rekan sejaman dengan Tie-kong Tianglo, ia malang-melintang dua puluh tahun lamanya tanpa tandingan. Karena tak senang menjual lagak, namanya tak begitu tersohor, ia tidak memperdulikan hal itu, dia malahan menjadi seorang pendekap yang senang hidup menyendiri. Tetapi terhadap Sin Houw tiba-tiba timbullah rasa ibanya.