Elang Terbang di Dataran Luas BAB 38. SERANGAN PENUH

BAB 38. SERANGAN PENUH

Setelah lewat lama sekali, kembali ada satu orang di antara ketiga orang itu yang berjalan mendekat. Cara orang ini berjalan tampak aneh sekali. Tentu saja dia pun datang untuk membunuh Siau-hong.

Tapi caranya sewaktu berjalan seperti seorang murid yang datang menghadap gurunya, bukan saja lembut, halus, sopan, penuh aturan, bahkan tampak sedikit takut-takut.

Sekilas pandang Siau-hong sudah mengetahui kalau orang ini pernah mendapat pendidikan ketat, bahkan sejak kecil sudah hidup disiplin.

Tapi bila ditinjau dari sudut pandang lain, tak diragukan dia pun merupakan seorang yang sangat menakutkan.

Biarpun langkah kakinya mantap, namun tubuhnya dipenuhi dengan kewaspadaan tinggi, setiap saat selalu memelihara sikap siap tempur, sedikit pun tidak memberi peluang kepada musuhnya untuk melakukan serangan bokongan.

Walaupun sepasang lengannya dibiarkan mengendor, tapi tangannya selalu berada di dekat gagang pedangnya.

Sepasang mata orang itu pun selalu menatap tangan Siau-hong, tangan yang menggenggam pedang.

Ada banyak orang berpendapat, di saat dua jago lihai siap bertarung, mengawasi terus tangan lawan merupakan sebuah tindakan yang bodoh, tidak cerdas.

Karena banyak orang berpendapat, dari tangan lawannya tak mungkin kau bisa menemukan atau menyaksikan apa pun.

Sebagian besar orang berpendapat, di saat menghadapi pertarungan, seharusnya sorot mata lawanlah yang patut diperhatikan, tapi ada pula sebagian orang berpendapat, mimik muka lawanlah yang patut diperhatikan dengan seksama. Padahal pandangan orang-orang itu kurang tepat, karena mereka telah mengabaikan beberapa hal.

Untuk melakukan pembunuhan, orang butuh tangan.

Tangan memperlihatkan perasaan, kadang malah membocorkan banyak rahasia.

Banyak orang mungkin bisa menyimpan baik-baik gejolak perasaan serta rahasianya, bahkan dapat membuat diri sendiri berubah menjadi buah keras yang susah diteropong, agar orang lain tak dapat menemukan semua rahasia yang tak ingin diketahui orang lain melalui perubahan wajah serta tatapan matanya.

Tapi berbeda sekali dengan tangan.

Bila kau saksikan otot hijau di tangan seorang menonjol, di saat urat nadinya menonjol nyata, segera akan kau ketahui perasaannya saat itu pasti sedang amat tegang.

Bila kau saksikan tangan seseorang sedang gemetar, maka segera akan kau ketahui, bukan saja merasa tegang, orang itu pun merasa takut, ngeri, gusar bercampur emosi.

Semua itu tak mungkin bisa dikendalikan, tak mungkin bisa dirahasiakan, karena semua itu merupakan sebuah reaksi yang spontan, reaksi tubuh yang alami.

Oleh sebab itu seorang jagoan sejati pasti akan memperhatikan tangan lawan ketika sedang menghadapi pertarungan mati hidup.

Tak diragukan, orang ini pun merupakan seorang jago tangguh yang sudah banyak melakukan pertarungan dan banyak pengalaman, bukan saja gerak-geriknya tepat, jalan pikirannya pun sangat tepat. Siau-hong balas menatapnya, namun tidak menatap tangannya, karena Siau-hong tahu, orang semacam ini tak mungkin melancarkan serangan terlebih dulu.

"Jadi kau pun datang untuk membunuhku?" tanya Siau- hong kemudian.

"Benar."

"Kau kenal aku?” “Tidak!"

"Ada dendam sakit hati denganku?” “Tidak ada!"

"Mengapa kau ingin membunuh aku?"

Pertanyaan ini bukan sebuah pertanyaan yang bagus, ada banyak orang membunuh orang lain tanpa membutuhkan alasan apa pun.

Namun Siau-hong tetap mengajukan pertanyaan itu, karena dia butuh waktu untuk mengendalikan gejolak hatinya, dia pun butuh waktu untuk lebih banyak memahami tentang orang ini.

Mungkin dikarenakan alasan yang sama, ternyata orang itu segera memberikan jawabannya....

"Aku hendak membunuhmu karena kau adalah Siau- hong Siau-hong yang tak takut mati, kau boleh saja merenggut nyawa orang lain, apa salahnya kalau orang lain pun datang untuk merenggut nyawamu?"

Kemudian balik tanyanya, "Cukupkah alasanku ini?" "Cukup, sudah lebih dari cukup."

Selesai mengucapkan perkataan itu, Siau-hong pun turun tangan lebih dahulu. Sebab dia tahu, orang ini tak bakal melancarkan serangan lebih dahulu, rekannya telah memberi sebuah pelajaran yang sangat baik baginya.

Dia pun ingin belajar dari Siau-hong, ingin menghimpun tenaga mempersiapkan diri, dengan tenang mengatasi gerak.

Sayang lagi-lagi dia melakukan perhitungan yang salah, gerak serangan Siau-hong betul-betul kelewat cepat, jauh lebih cepat daripada apa yang dibayangkan.

Di mana cahaya pedang berkelebat, percikan darah menyebar ke empat penjuru, pedang Mo-gan tahu-tahu sudah menusuk tenggorokan orang itu.

Pedang adalah benda mati, manusialah yang hidup, sebuah tusukan yang sama kadangkala mendatangkan hasil yang berbeda. Bukan dada, melainkan tenggorokan.

Bagi seseorang yang mempelajari pedang, bila ingin hidup lebih lama daripada orang lain, dia harus belajar menghidupkan dulu pedang yang berada dalam genggamannya.

Tak diragukan Siau-hong telah mempelajari tahap itu.

Karena itu dia masih hidup, musuhnya yang roboh terjungkal, roboh terkapar sebelum memperoleh kesempatan untuk melancarkan serangan balasan.

Sebab dia telah mengetahui musuhnya bukan seorang yang gampang dihadapi, belum pernah menduga dalam satu serangan akan mengenai sasaran.

Kecepatan gerak dan ketepatan menganalisa yang ditunjukkan kali ini sama sekali di luar dugaan siapa pun, termasuk dirinya sendiri. Ini membuktikan ilmu pedangnya kembali telah memperoleh kemajuan pesat.

Dari balik kegelapan seolah ada orang menghela napas, helaan napasnya seperti suara orang bertepuk tangan, dipenuhi rasa kagum dan pujian.

"Kalian tentu datang untuk membunuhku, bukan?" ujar Siau-hong sambil menatap kedua orang di balik kegelapan, "Tak ada salahnya kalian turun tangan bersama-sama."

Satu orang tetap berdiri tak bergerak, sedang orang yang lain mulai berjalan maju dengan langkah lambat.

Dia berjalan sangat lambat, jauh lebih lambat daripada orang yang barusan tewas di ujung pedang Siau-hong.

Dia tidak langsung berjalan menuju ke hadapan musuhnya.

Siau-hong menatapnya, menatap setiap gerak-geriknya, menatap sepasang matanya yang berkilat.

Sekonyong-konyong Siau-hong menyadari kalau dia salah.

Orang ini bukan datang untuk membunuhnya, orang kedualah pembunuh yang sesungguhnya.

Kehadiran orang ini tak lebih hanya untuk memecah perhatian Siau-hong.

Dia tak berpedang juga tiada hawa membunuh.

Bagaimana dengan orang kedua?

Dalam waktu yang amat singkat inilah ternyata orang itu telah hilang tak berbekas.

Tak mungkin seorang yang terdiri dari darah dan daging akan hilang begitu saja, namun siapa pun tak tahu ke mana dia telah pergi. Orang di hadapannya itu telah berjalan menuju ke bawah sebatang pohon, berdiri di situ dengan santai. Ia tampilkan sikap sebagai seorang penonton yang baik, penonton yang mengamati reaksi Siau-hong, bahkan sepasang matanya yang berkilat terselip senyuman acuh, sama sekali tidak menguatirkan keselamatan rekannya.

Biarpun orang ini datang bersama ketiga orang lainnya, namun dia seakan sama sekali tidak memikirkan mati hidup orang-orang itu, kehadirannya tak lebih hanya ingin menyaksikan dengan cara apa Siau-hong menghadapi mereka.

Tentu saja dia bukan sahabat Siau-hong, namun dia pun tidak mirip musuh besar pemuda itu.

Sikapnya yang sangat aneh, aneh tapi penuh kehangatan, seperti baju abu-abu yang dikenakannya.

Sikap Siau-hong pun sangat aneh.

Dia memperhatikan terus orang yang berdiri di bawah pohon itu, terhadap musuh menakutkan yang tiba-tiba hilang lenyap malah sama sekali tak acuh, perhatian sedikit pun tidak.

Dia malah tertawa kepada orang itu, manusia berbaju abu-abu itu pun balas tertawa, sapanya dengan sopan, "Baik-baikkah kau?"

"Aku tidak baik," jawab Siau-hong "Baru saja menikmati tidurku, tanpa sebab musabab datang beberapa orang ingin membunuhku, mana mungkin aku bisa baik?"

Manusia berbaju abu-abu itu menghela napas, bukan saja menyatakan persetujuannya, bahkan menyatakan pula simpatiknya. "Bila aku yang sedang berbaring tidur di ranjang, tiba- tiba muncul tiga orang yang akan membunuhku, aku pun akan merasa sial sekali."

"Hanya tiga orang yang ingin membunuhku?" "Hanya tiga orang."

"Bagaimana dengan kau?" tanya Siau-hong, "Apakah kau pun datang untuk membunuhku?"

Sekali lagi manusia berbaju abu-abu itu tertawa.

"Kau semestinya bisa melihat sendiri kalau aku bukan datang untuk membunuh," katanya, "Antara kita tak pernah terikat dendam atau sakit hati, mengapa aku harus membunuhmu?"

"Mereka pun tak punya ikatan dendam atau sakit hati denganku, mengapa datang untuk membunuhku?"

"Mereka hanya melaksanakan perintah." "Perintah siapa?" tanya Siau-hong lagi, "Lu-sam?"

Manusia berbaju abu-abu itu menggunakan senyuman untuk menjawab pertanyaan ini.

"Bagaimana pun juga, dua di antara mereka bertiga kini sudah tewas di ujung pedangmu"

"Bagaimana dengan orang ketiga?"

"Tentu saja orang ketiga merupakan orang paling menakutkan, jauh lebih menakutkan bila dibandingkan dua orang digabung.”

“O, ya?"

"Orang pertama yang kau bunuh itu bernama Oh Toa- leng, orang kedua bernama Tu Yong," manusia berbaju abu-abu itu menerangkan, "Ilmu pedang yang mereka miliki tidak lemah, pengalaman membunuh pun sangat luas dan matang, tapi aku sama sekali tidak menyangka kau mampu mencabut nyawa mereka hanya dalam satu gebrakan saja."

Sesudah menghela napas dan tersenyum, terusnya, "Ternyata kehebatan ilmu pedangmu jauh di luar perhitungan mereka."

Siau-hong ikut tersenyum.

"Mungkin juga dikarenakan ilmu pedang yang mereka miliki ternyata jauh lebih cetek daripada apa yang mereka perkirakan.”

“Tapi orang ketiga jauh berbeda!” “O, ya?"

"Orang ketiga inilah baru pembunuh sejati, tahu dan mengerti bagaimana cara membunuh.”

“O, ya?"

"Dua orang pertama tewas di ujung pedangmu, karena mereka tak mengerti apa yang disebut, tahu kekuatan sendiri tahu kekuatan lawan," kata orang berbaju abu-abu itu lagi, "Bukan saja mereka kelewat memandang tinggi kemampuan sendiri, bahkan kelewat rendah menilai kemampuanmu."

Setelah berhenti sejenak, lanjutnya, "Tapi orang ketiga sangat menguasai tentang dirimu, baik latar belakang keluarga, ilmu silat maupun pengalamanmu, ia paham seperti memahami jari tangan sendiri, sebelum datang untuk membunuhmu, dia telah melakukan penyelidikan yang jelas dan teliti, bahkan telah menyaksikan semua gerakan yang kau lakukan untuk membunuh orang tadi."

Siau-hong harus mengakui akan hal ini. "Tapi bagaimana dengan kau sendiri?" tanya manusia berbaju abu-abu itu lagi, "Berapa banyak yang kau ketahui tentang orang ini?”

“Sedikit pun aku tidak tahu."

"Ai, itulah, dalam hal ini kau sudah berada di bawah angin!" manusia berbaju abu-abu itu menghela napas. Siau- hong pun kembali harus mengakui.

"Sekarang kau berdiri di sebuah tempat lapang yang sangat terbuka," kata manusia berbaju abu-abu itu lebih jauh, "Dari empat penjuru, orang dapat melihat kehadiranmu dengan sangat jelas."

Lalu tanyanya kepada Siau-hong, "Tahukah kau di mana ia berada? Sudah kau lihat keberadaannya?"

"Aku tidak melihatnya," jawab Siau-hong, "Tapi mungkin saja aku dapat menebaknya."

"O, ya?"

"Dia pasti sudah menyelinap ke belakang tubuhku," ujar Siau-hong lebih jauh, "Pada saat aku memusatkan seluruh perhatian di tubuhmu tadi, dia telah menyelinap ke samping kemudian berputar ke belakang tubuhku."

Manusia berbaju abu-abu itu menatapnya, perasaan kagum terpancar dari balik matanya.

"Dugaanmu tepat sekali," katanya.

"Sekarang besar kemungkinan dia telah berdiri di belakangku, mungkin juga sudah berada begitu dekat jaraknya dengan tubuhku, bahkan kemungkinan besar dalam sekali gerakan tangan ia dapat membunuhku."

"Karena itu kau tak berani berpaling ke belakang." "Betul, aku memang tak berani berpaling," Siau-hong menghela napas, "Sebab kalau aku berpaling maka gerakan tubuhku pasti akan muncul titik kelemahan, dan dia pun mempunyai kesempatan untuk membunuhku."

"Kau tak ingin memberi kesempatan kepadanya?" "Tentu saja tak ingin."

"Tapi sayangnya meski tidak berpaling pun dia tetap mempunyai kesempatan untuk membunuhmu," ujar manusia berbaju abu-abu itu, "Membunuh orang dari arah belakang selalu jauh lebih gampang  daripada membunuhmu dari arah depan."

"Biarpun lebih gampang, tidak terhitung kelewat gampang.”

“Kenapa?"

"Sebab aku belum mati, aku bukan orang mati," Siau- hong menerangkan, "Aku masih mempunyai telinga untuk mendengar."

"Apakah mendengarkan desingan angin waktu dia menyerang?”

“Benar!"

"Bila dia menyerang dengan sangat lambat, bukankah serangan itu tidak disertai desingan angin?"

"Betapa pun lambatnya serangan yang dia lancarkan, aku tetap dapat merasakannya," ujar Siau-hong hambar, "Sudah belasan tahun aku berlatih pedang, belasan tahun berkelana dalam dunia persilatan, kalau soal sekecil ini pun tak dapat merasakannya, bagaimana mungkin aku bisa hidup hingga sekarang?"

"Masuk akal," manusia berbaju abu-abu itu setuju, "Sangat masuk akal!" "Oleh sebab itu bila dia ingin turun tangan membunuhku, lebih baik pertimbangkan dulu akibatnya."

"Akibat?" tanya manusia berbaju abu-abu itu lagi, "Akibat apa?"

"Dia menginginkan nyawaku, aku pun menghendaki nyawanya," suara Siau-hong terdengar dingin dan hambar, "Sekalipun dia dapat membunuh aku di ujung pedangnya, aku pun tak akan membiarkan dia pulang dalam keadaan hidup."

Manusia berbaju abu-abu itu menatapnya sampai lama sekali, kemudian baru bertanya perlahan, "Kau benar-benar yakin mempunyai kemampuan seperti ini?"

"Tentu saja yakin!" sahut Siau-hong, "Bukan saja aku percaya bahwa aku memiliki kemampuan itu, bahkan dia pun pasti percaya."

"Kenapa?"

"Kalau dia tidak menganggap aku memiliki kemampuan itu, mengapa hingga sekarang belum juga turun tangan?"

"Mungkin dia masih menunggu, menunggu hingga datangnya kesempatan yang lebih bagus sebelum turun tangan."

"Dia tak akan bisa menunggu."

"Kalau begitu sekarang kau tidak seharusnya mengajak aku berbicara."

"Kenapa?"

"Ketika berbicara dengan siapa pun, daya konsentrasimu pasti akan buyar, saat itu dia tentu akan memperoleh kesempatan untuk turun tangan." Siau-hong tersenyum, tiba-tiba tanyanya kepada manusia berbaju abu-abu itu, "Tahukah kau apa yang telah terjadi di sekitar sini tadi?”

“Tidak tahu!"

"Aku tahu," kata Siau-hong, "Di saat kau berjalan menuju ke bawah pohon itu tadi, di atas pohon ada seekor tupai yang menerobos masuk ke dalam liang, tupai itu membuat enam lembar daun berguguran, sewaktu kita mulai berbicara, di semak belukar sebelah kiri terdapat seekor ular sawah sedang menelan seekor ayam hutan, lalu seekor musang berlarian dari bawah bukit menuju ke arah seberang jalan, disusul kemudian sepasang suami-istri yang tidur di penginapan bagian belakang terbangun, sedang kucing peliharaan Lopan penginapan ini mencuri ikan di dapur."

Dengan perasaan terkejut manusia berbaju abu-abu memandang ke arah Siau-hong, serunya kaget, "Benarkah apa yang kau katakan?"

"Tak mungkin salah, peduli aku sedang melakukan apa pun, jangan harap gerak-gerik yang terjadi pada radius dua puluh tombak di sekelilingku dapat lolos dari pendengaranku."

Manusia berbaju abu-abu itu menghela napas panjang. "Untung kedatanganku bukan untuk membunuhmu,"

ujarnya sambil tertawa getir, "Kalau tidak, kemungkinan besar saat ini aku pun sudah tewas di ujung pedangmu."

Siau-hong tidak menyangkal hal ini.

Lagi-lagi manusia berbaju abu-abu itu bertanya kepada Siau-hong, "Kalau kau sudah tahu dia ingin membunuhmu, sudah tahu pula dia berada di belakangmu, mengapa kau tidak turun tangan lebih dulu menghabisi nyawanya?" "Karena aku tak perlu terburu-buru, yang terburu-buru justru dia," kembali Siau-hong tersenyum, "Dia datang untuk membunuhku, bukan aku yang ingin membunuhnya, tentu saja aku lebih dapat mengendalikan diri ketimbang dirinya."

Untuk kesekian kalinya manusia berbaju abu-abu itu menghela napas panjang.

"Aku kagum kepadamu, betul-betul kagum kepadamu! Bila kita bukan bersua dalam kondisi dan situasi seperti ini, aku sungguh berharap dapat bersahabat dengan dirimu."

"Mengapa sekarang kita tak boleh bersahabat?"

"Karena aku datang bersama mereka, sedikit banyak kau pasti menaruh perasaan was-was terhadapku."

"Kau salah besar!" Siau-hong menggeleng, "Kalau aku tak bisa membaca maksud hatimu, buat apa mengajakmu berbicara?"

"Jadi sekarang aku masih dapat bersahabat denganmu?" "Mengapa tidak boleh?"

"Tapi kau sama sekali tak tahu siapakah diriku, bahkan namaku pun tidak kau ketahui!"

"Bolehkah kau beritahukan kepadaku?” “Tentu saja boleh."

Manusia berbaju abu-abu itu kembali tertawa, tertawa sangat gembira, katanya, "Aku she Lim bernama Ceng- hiong, semua temanku memanggil aku sebagai Masa."

"Masa!"

Nama itu tentu saja tak akan memancing perasaan keheranan dan curiga Siau-hong, ada banyak sekali di antara teman-teman Siau-hong yang mempunyai nama jauh lebih aneh daripada nama itu.

"Aku she Hong, bernama Wi."

"Aku tahu!" kata Lim Ceng-hiong, "Sudah lama aku mendengar namamu."

Perlahan-lahan ia berjalan mendekati Siau-hong.

Di tangannya sama sekali tak ada pedang, dari ujung rambut hingga ujung kaki sama sekali tidak terpancar hawa membunuh barang sedikit pun.

Ia berjalan menghampiri Siau-hong tak lebih karena ingin bersikap lebih akrab, hal semacam ini jelas merupakan satu kejadian yang lumrah, karena Siau-hong telah menganggapnya sebagai sahabat.

Siau-hong memang orang yang senang bersahabat. Dia tak pernah bersikap waspada terhadap seorang sahabat, tentu saja sekarang pun tidak.

Ketika hampir tiba di hadapan Siau-hong, tiba-tiba paras orang itu berubah, jeritnya lirih, "Hati-hati, hati-hati belakangmu."

Tak tahan Siau-hong berpaling... siapa pun itu orangnya, berada dalam keadaan seperti ini, dia pasti tak tahan untuk tidak berpaling.

Pada saat Siau-hong baru saja berpaling itulah, tiba-tiba dari balik saku Lim Ceng-hiong menghunus sebilah pedang.

Sebilah pedang lemas yang terbuat dari baja asli, begitu digetarkan di udara segera menusuk belakang tengkuk Siau- hong bagaikan pagutan seekor ular berbisa.

Tengkuk kiri sebelah belakang. Waktu itu Siau-hong berpaling ke belakang dari arah sebelah kanan, dalam keadaan seperti ini, tentu  saja tengkuk belakang sebelah kirinya berada dalam posisi  "pintu kosong".

"Pintu kosong" adalah istilah yang biasa digunakan umat persilatan, maksudnya tempat itu seperti sebuah pintu gerbang dalam keadaan terbuka lebar, tiada penjagaan, tiada halangan, asal kau senang maka kau bisa masuk sesuka hatimu.

Di tengkuk belakang sebelah kiri tiap orang terdapat sebuah nadi besar, merupakan nadi penting, jika nadi penting itu sampai terpapas putus, kau akan mengalami pendarahan hebat dan akhirnya tewas tak tertolong.

Bagi seorang pembunuh yang berpengalaman, dia tak akan turun tangan bila kesempatan yang meyakinkan tidak datang.

Tak diragukan Lim Ceng-hiong telah memegang baik- baik kesempatan emas ini, kesempatan yang dia ciptakan, ia yakin kali ini serangan mautnya tak bakal meleset.

Dalam hal ini dia merasa sangat yakin, maka orang itu sama sekali tidak mempersiapkan jalan mundur bagi diri sendiri.

Maka dia pun mati, mati di ujung pedang Siau-hong! Bukankah Siau-hong berada dalam keadaan tidak siap?

Bukankah dia sedang berpaling dan tidak waspada, bahkan sama sekali tidak mempunyai kesempatan untuk berkelit maupun menangkis?

Lim Ceng-hiong telah memperhitungkan hal ini, dia pun sudah mengincar hal itu secara baik-baik. Ketika ia melepaskan tusukan mautnya tadi, perasaannya seakan seorang pemancing ikan yang sudah merasakan kailnya bergetar, tahu sang ikan sudah menyambar kailnya.

Mimpi pun dia tak menyangka, pada detik yang terakhir itulah tiba-tiba Siau-hong melancarkan pula sebuah tusukan, menusuk masuk dari suatu posisi yang sama sekali tak terduga sebelumnya.

Belum sempat pedangnya menggorok tengkuk belakang Siau-hong, tusukan pedang Siau-hong telah menembus jantungnya.

Ketika pedang Siau-hong menembus jantungnya, pedang miliknya hanya selisih satu inci dari belakang tengkuk Siau- hong.

Hanya selisih satu inci, satu inci yang lebih dari cukup.

Terkadang selisih jarak antara mati hidup seseorang hanya terpaut tak sampai satu inci, seringkali menang kalah seseorang pun hanya selisih satu inci, oleh sebab itu buat apa mempermasalahkan urusan yang lebih besar?

Mata pedang yang dingin melesat lewat dari sisi tengkuk Siau-hong, waktu itu tangan Lim Ceng-hiong yang menggenggam pedang sudah keburu kaku dan mati rasa.

Tiba-tiba terdengar suara helaan napas dan tepukan tangan berkumandang dari belakang tubuh Siau-hong.

"Hebat," seseorang berseru sambil menghela napas, "Betul-betul hebat, luar biasa."

Suara itu selisih jauh dari tempat Siau-hong berdiri, karena itu Siau-hong membalikkan badan. Sewaktu berpaling tadi, ia sama sekali tidak melihat di belakang tubuhnya ada orang, waktu itu matanya hanya melihat Lim Ceng-hiong dan pedang orang itu.

Sekarang dia telah melihatnya.

Seseorang berdiri di balik kegelapan di kejauhan sana, terpaut sebuah jarak yang cukup jauh dan aman bagi dirinya maupun Siau-hong.

Karena Sah Peng tak pernah membiarkan orang lain menaruh prasangka buruk dan rasa curiga besar terhadap dirinya.

"Sebetulnya kusangka kau bakal mampus," katanya sambil menghela napas, "Sungguh tak disangka, dialah yang mati."

"Aku sendiri pun tidak menyangka."

"Sejak kapan kau baru tahu bahwa dialah orang ketiga yang benar-benar akan membunuhmu?"

"Ketika ia berjalan mendekat," sahut Siau-hong.

"Waktu itu bahkan aku pun mengira kau sudah bersedia untuk bersahabat dengannya, dari mana kau bisa tahu kalau dia ingin membunuhmu?"

"Karena sewaktu berjalan, langkahnya kelewat hati-hati, seolah takut sekali kakinya menginjak mati semut di lantai."

"Apa salahnya dengan jalan berhati-hati?"

"Hanya satu kesalahannya," jawab Siau-hong, "Bagi orang persilatan macam kami, biar menginjak mati tujuh ratus ekor semut pun tak bakal ambil peduli, kenapa dia harus sangat berhati-hati, tentu saja terkecuali dia sedang berjaga-jaga terhadapku."

"Masuk akal." "Hanya orang yang berniat akan mencelakai orang lain, dirinya baru waspada terhadap orang lain.”

“O, ya?"

"Aku pernah mempunyai pengalaman semacam ini,"  ujar Siau-hong lebih lanjut, "Biasanya orang yang tertipu, justru mereka yang berniat akan mencelakai orang lain."

"Kenapa?"

"Oleh karena mereka tidak mempunyai ingatan untuk mencelakai orang, karena itu baru tak ada ingatan untuk berjaga-jaga. Bila kau pernah mempunyai pengalaman seperti ini, pasti akan memahami pula maksudku."

"Aku paham maksudmu, tapi tidak mempunyai pengalaman seperti itu," kata Sah Peng, "Karena aku tak pernah mau mempercayai siapa pun."

Dia menatap Siau-hong sekejap, lalu tersenyum. "Mungkin karena kau pernah mengalami pengalaman

seperti ini, pernah mendapat pelajaran yang menyakitkan, maka sekarang kau pun belum mati."

"Mungkin saja begitu," Siau-hong mengangguk, "Membodohi aku satu kali, tapi kesalahan ada pada dirimu, membodohi aku dua kali, kesalahan berada di pihakku. Jika setelah mengalami satu kali pelajaran, kau masih tak tahu waspada, maka manusia semacam ini memang pantas mati."

"Sebuah ungkapan yang bagus sekali."

"Bagaimana dengan kau sendiri?" tiba-tiba Siau-hong bertanya, "Apakah kau pun datang untuk membunuhku?”

“Bukan."

"Kau anak buah Lu-sam?” “Benar."

"Datang bersama mereka?"

"Benar," Sah Peng mengangguk, "Kami datang kemari atas perintah Lu-sam, hanya perintah yang kami dapatkan berbeda.”

“O, ya?"

"Kalau mereka bertiga mendapat perintah untuk membunuhmu, maka aku hanya mendapat perintah untuk datang melihatmu.”

“Melihat apa?"

"Melihat bagaimana membunuh orang," kata Sah Peng, "Peduli mereka yang membunuh dirimu atau kau yang membunuh mereka, aku harus menyaksikan dengan jelas."

"Sekarang kau telah melihatnya dengan jelas?" "Benar."

"Kalau begitu, sudah waktunya bagimu untuk pergi dari sini?”

“Benar, tapi sebelumnya aku ingin memohon sesuatu kepadamu.”

“Mohon apa?"

"Biarkan aku membawa kembali tubuh mereka," kata Sah Peng, "Peduli mereka mati atau hidup, aku harus membawanya pulang." Kepada Siau-hong tanyanya lagi, "Apakah kau bersedia?" Siau-hong tertawa.

"Ketika masih hidup, mereka sama sekali tak berguna bagiku, setelah mati apa pula gunanya bagiku?"

Kepada Sah Peng tanyanya kemudian, "Mengapa aku harus menahan mayat mereka?" "Jadi kau izinkan aku membawanya pulang?" Siau-hong manggut-manggut.

"Hanya aku pun berharap kau bisa melakukan satu hal untukku.”

“Apa?"

"Aku harap sekembalimu dari sini, beritahu Lu-sam, suruh dia baik-baik menjaga diri, baik-baik menjaga kondisi badan hingga sewaktu aku pergi menemuinya, dia masih hidup sehat walafiat."

"Dia pasti tetap sehat," jawab Sah Peng, "Selama ini dia memang sangat pandai menjaga diri."

"Bagus sekali," Siau-hong tersenyum, "Aku betul-betul berharap dia masih tetap hidup ketika aku pergi menjumpainya."

Sah Peng ikut tersenyum.

"Aku berani menjamin, untuk sementara waktu dia tak bakal mati."

Tentu saja Lu-sam tak bakal mati.

Dia selalu percaya dirinya masih dapat hidup lebih panjang daripada orang mana pun yang sebaya dengan dirinya.

Dia selalu percaya uang adalah segalanya, selalu menganggap pekerjaan di dunia ini tak akan beres tanpa uang, bahkan termasuk kesehatan serta keselamatan jiwanya.

Terlepas jalan pikirannya benar atau salah, paling tidak hingga sekarang dia masih bisa hidup sehat sentosa. Nomor tiga, tiga belas dan dua puluh tiga telah mati semua, tampaknya kejadian ini sudah berada dalam dugaannya.

Kalau sudah tahu mereka bertiga pasti mati, mengapa masih menyuruh mereka bertiga mengantar kematiannya? Mengapa tidak membiarkan mereka turun tangan bersama?

Dalam persoalan ini, Sah Peng sendiri pun tak habis mengerti.

Sah Peng hanya tahu satu hal, semua tugas yang diserahkan Lu-sam kepadanya harus dia laksanakan dengan baik, betapa pun sulitnya persoalan itu, tugas tetap harus diselesaikan.

Lu-sam minta dia membawa pulang ketiga orang itu, baik dalam keadaan hidup maupun mati.

Sah Peng telah melaksanakannya.

Bila mereka telah tewas di ujung pedang Siau-hong, Lu- sam mewajibkan dia untuk membawa pulang ketiga  jenazah itu dalam empat jam, agar ia dapat memeriksa mayat-mayat itu.

Sudah jelas hal ini bukan suatu pekerjaan yang gampang untuk dilaksanakan, tapi Sah Peng terbukti dapat melakukannya. Mereka tewas di saat fajar menyingsing menjelang tengah hari, Lu-sam telah memeriksa mayat mereka bertiga.

Dalam keadaan dan situasi apa pun, jangan sampai sepak-terjangmu diketahui dan dikuntit orang.

Tugas ini tentu saja jauh lebih sukar, Pancapanah serta Siau-hong pasti tak akan melepaskan setiap kesempatan untuk melacak tempat persembunyian Lu-sam, apalagi kesempatan ini kemungkinan besar merupakan kesempatan terakhir kalinya.

Bahkan tugas sesukar ini pun Sah Peng dapat melaksanakannya. Dia percaya dan yakin, tak seorang pun dapat melacak jejak Lu-sam dari sepak-terjangnya.

Bahkan dia berani menggunakan batok kepala sendiri sebagai barang taruhan.

Mengapa dia begitu yakin?

Dengan cara apa dia laksanakan ketiga tugasnya itu?

Tentu saja Pancapanah tak akan melepaskan kesempatan ini, sebelum Siau-hong menghabisi nyawa Masa, Pancapanah telah mengumpulkan semua jago-jagonya yang paling berpengalaman dan paling hebat ilmu meringankan tubuhnya untuk berkumpul di sana dan menyebar mereka  di sepanjang jalan itu untuk melakukan pengawasan.

Setelah Sah Peng mengangkut mayat-mayat itu, setiap tempat yang disinggahi, setiap perbuatan yang dia lakukan, mereka telah memeriksa dan menyelidikinya dengan sangat jelas, bahkan tempat-tempat kecil yang tampaknya tak ada hubungan dengan persoalan ini pun sama sekali tidak dilepas.

Dalam hal ini mereka telah membuat laporan terperinci dan teliti.

Sah Peng menggunakan sebuah kereta besar yang disewanya dari pasar untuk mengangkut ketiga jenazah Oh Toa-leng sekalian.

Sejak malam sebelumnya dia telah menyewa kereta itu dan membayarnya dengan harga lima kali lipat daripada harga biasa, bahkan minta sang kusir untuk menunggu di sekitar tempat itu. Lo-ong sang kusir kereta sudah dua-tiga puluh tahunan bekerja di bidang ini, dengan mereka sama sekali tak ada hubungan maupun sangkut-paut apa pun.

Ditinjau dari hal ini, bisa disimpulkan bahwa dia telah membuat persiapan jauh sebelumnya, dia pun sudah menduga kalau ketiga orang itu besar kemungkinan tak akan balik dalam keadaan hidup.

Toko penjual peti mati terbesar di kota itu bernama "Liu- ciu Thio-ki".

Ooo)d*w(ooO
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar