Elang Terbang di Dataran Luas BAB 37. MENCIPTAKAN PERANGKAP

BAB 37. MENCIPTAKAN PERANGKAP

Tawa Lu-sam sangat riang.

"Tampaknya meski kau jauh lebih pintar ketimbang Biau Swan, namun tak bisa dianggap kelewat pintar."

Sah Peng sangat setuju dengan pendapat itu.

Selama hidup dia memang tak pernah berniat menjadi seorang pintar, paling tidak sejak berusia tiga belas tahun, dia tak pernah mempunyai keinginan itu.

"Pancapanah sengaja mengumumkan rencana untuk melakukan penyerbuan, tujuannya tak lain agar kita membocorkan jejak kita sendiri," kata Lu-sam, "Oleh karena itu kita tak boleh berbuat begitu, tak boleh mengabulkan keinginannya."

"Benar."

"Tapi kita pun tak boleh melepaskan kesempatan baik ini," kata Lu-sam lebih jauh, "Pancapanah adalah seekor rase tua, untuk menangkap rase tua ini, kita tak boleh melepaskan kesempatan ini."

"Benar."

"Oleh sebab itu kita harus menciptakan perangkap lain, agar dia terjerumus sendiri ke dalamnya.” “Benar."

Arak di dalam cawan telah kosong, Lu-sam memenuhi lagi cawannya dengan arak.

Dia tak pernah membiarkan orang lain menuangkan arak baginya, arak yang dituangkan orang lain baginya belum pernah diminumnya, biar seteguk pun.

"Biarpun anak buah Pancapanah hampir semuanya merupakan pejuang yang terlatih, namun di antara sekian banyak, tidak ada jagoan tangguh yang sesungguhnya," setelah termenung sejenak, Lu-sam menambahkan, "Hanya satu orang terkecuali."

"Siapa?"

"Siau-hong," jawab Lu-sam, "Hong Wi!"

Kembali ujarnya, "Selama ini aku selalu memandang rendah kemampuannya, tapi sekarang aku baru tahu, orang ini bagaikan sebuah bola karet, bila kau tidak menyentuhnya, dia seakan sama sekali tak berguna, bila kau memukulnya satu kali, bisa jadi dia akan melompat secara tiba-tiba, makin kuat kau memukulnya maka dia akan melompat semakin tinggi, bisa jadi akhirnya dia akan melompat naik ke atas kepalamu dan merenggut nyawamu."

"Benar," sahut Sah Peng, "Kelihatannya dia memang manusia semacam ini, karena itulah orang lain menyebutnya Siau-hong yang tak punya nyawa."

"Kau mengetahui jejaknya?" "Aku tahu."

"Dalam dua hari belakangan dia berada di mana?"

"Di Lhasa, dalam gedung Hui-eng-lau, yaitu tempat yang digunakan kantor dagang Eng-ki untuk menjamu tamunya." Kembali Lu-sam mengawasi kilauan cahaya emas dalam cawannya, lewat lama kemudian ia baru bertanya lagi, "Tahukah kau nomor tiga, nomor tiga belas dan nomor dua puluh tiga, selama berapa hari ini berada di mana?"

"Aku tahu."

"Dapatkah kau mencari mereka sampai ketemu?”

“Bisa!" jawab Sah Peng, "Dalam enam jam, aku pasti telah menemukan mereka.”

“Bagus sekali."

Sekali teguk Lu-sam menghabiskan isi cawannya. "Begitu berhasil menemukan mereka, segera bawa menghadapku di loteng Yan-cu-lau.”

“Baik."

"Tahukah kau pekerjaan apa yang ingin kuminta kepada mereka untuk lakukan?"

"Tidak tahu."

"Pergi membunuh Siau-hong, aku ingin mereka pergi membunuh Siau-hong."

Setelah berhenti sejenak, perlahan-lahan lanjutnya, "Tapi ada satu hal kau harus ingat, jangan biarkan mereka bertiga turun tangan bersama."

Ketika Lu-sam ingin membunuh orang, dia selalu melakukan dengan segala cara, jelas Siau-hong bukan seorang jagoan yang gampang untuk dihadapi.

Bila mereka bertiga turun tangan bersama, tak diragukan kekuatan itu jauh lebih kuat daripada kekuatan satu orang, kesempatan untuk berhasil pun jauh lebih besar.

Tapi Lu-sam tidak ingin berbuat begitu. Mengapa dia harus melakukan hal itu? Sah Peng tidak bertanya.

Dia tak pernah bertanya mengapa, peduli seaneh  apa pun perintah yang diberikan Lu-sam, dia harus menurut, taat, dan melaksanakannya.

"Nomor tiga", "Nomor tiga belas" dan "Nomor dua puluh tiga" tentu saja bukan tiga buah angka, melainkan tiga orang.

Tiga orang pembunuh berilmu tinggi, setiap saat tugas mereka hanya menanti perintah Lu-sam untuk melakukan pembunuhan.

Mereka hidup karena harus membunuh orang demi Lu- sam.

Mereka bisa hidup, karena mereka membantu Lu-sam membunuh orang.

Di suatu tempat yang teramat rahasia, di dalam ruang bawah tanah yang dibangun dari batu granit, di dalam sebuah peti besi yang hanya bisa dibuka oleh Lu-sam, terdapat sebuah kitab catatan. Kitab catatan itu tak pernah disiarkan kepada umum. Dalam kitab catatan itu tertera bahan dan data lengkap mengenai ketiga orang itu.

Nomor dua puluh tiga. Nama: Oh Toa-leng.

Jenis kelamin: laki laki. Usia: dua puluh satu.

Daerah asal: Cikang, Hangciu.

Orang tua: ayah, Oh Cu-jong. Ibu, Sun Yong. Saudara kandung: tidak ada. Anak istri: tidak ada. Begitulah data lengkap mengenai manusia nomor dua puluh tiga.

Oh Toa-leng di dalam kitab catatan itu.

Orang-orang yang bekerja untuk Lu-sam selamanya hanya memiliki data yang singkat dan sederhana.

Namun di dalam kitab catatan lain yang hanya bisa dilihat Lu-sam, data mengenai manusia dua puluh tiga Oh Toa-leng jauh berbeda.

Dalam kitab catatan khusus itu, semua detil tentang manusia yang bernama Oh Toa-leng itu dijabarkan lebih jelas dan lengkap.

Setiap orang pasti memiliki sisi lain, beginilah sisi lain dari Oh Toa-leng.

Oh Toa-leng, lelaki, dua puluh tiga tahun. Ayahnya koki dari perusahaan ekspedisi Yong-lip-piau-kiok, ibunya seorang ibu susu dalam perusahaan ekspedisi Yong-lip-piau- kiok.

Itulah data lengkap tentang Oh Toa-leng, sekalipun tidak terhitung kelewat banyak, namun sudah lebih dari cukup.

Cukup artinya, bila kau adalah seorang yang cukup cerdas dan cukup berpengalaman, tidak sulit bagimu untuk mengorek lebih banyak lagi persoalan tentang orang itu dari data yang tersedia.

Organisasi yang dipimpin Lu-sam besar, luas dan sangat rahasia, tidak gampang untuk bergabung menjadi anggota organisasi ini. Bila kau bisa masuk ke dalam organisasi itu dan mendapat nomor rahasia, berarti ilmu silatmu pasti luar biasa hebatnya.

Ketika berusia enam belas tahun, Oh Toa-leng sudah menjadi seorang jago ampuh di antara jago lihai lainnya, dengan mengandalkan sebilah pedang ia berhasil mengalahkan jago-jago yang orang lain anggap tak  mungkin dia kalahkan.

Seorang anak koki dan ibu asuh ternyata pada usia enam belas tahun telah berhasil menjadi seorang jago kelas wahid dalam dunia persilatan, tentu saja banyak penderitaan yang dia rasakan, telah melakukan banyak sekali pekerjaan yang tak mungkin dilakukan orang lain dan tak akan dilakukan orang lain, bahkan dia memiliki tekad pantang mundur.

Namun sejak bergabung ke dalam organisasi yang dipimpin Lu-sam, dia telah berubah menjadi seorang tak bernama, seorang yang hanya memiliki nomor rahasia.

Siapa pun itu orangnya, mereka pasti tak akan rela meninggalkan nama dan kedudukan yang diperoleh dengan cucuran air mata dan darah begitu saja, Oh Toa-leng bisa berbuat begitu, tentu saja karena dia mempunyai kesulitan yang terpaksa.

Dia telah banyak membunuh orang yang tidak seharusnya dibunuh, melakukan pekerjaan yang tidak seharusnya dia kerjakan, karena bagaimana pun juga dia tetap tak bisa melupakan bahwa dirinya hanya putra seorang koki dan ibu asuh.

Justru karena dia tak pernah bisa melupakan asal- usulnya yang rendah dan hina, maka dia pun melakukan banyak sekali perbuatan yang tidak seharusnya dia lakukan, karena itulah dia baru bergabung ke dalam organisasi pimpinan Lu-sam.

Banyak sekali kejadian di dunia ini berlangsung seperti itu, karena ada sebab baru muncul akibat, ada akibat pasti ada sebab. Oleh karena asal-usulnya sangat rendah dan hina, dia baru mati-matian berjuang untuk tampil lebih terhormat, terhadap siapa pun dan persoalan apa pun jiwanya selalu dikuasai sifat memberontak, membangkang sehingga di dalam pandangan orang lain, dia dianggap seorang pembangkang, seorang pemberontak.

Ilmu pedangnya seperti orangnya, temperamen, berpandangan sempit, dan penuh sifat membangkang.

Berbeda halnya dengan keluarga Tu Yong, dia memiliki latar belakang yang bertolak belakang dengan Oh Toa-leng.

Peduli berada dalam buku catatan mana pun, Tu Yong selalu tampil sebagai manusia yang amat normal, latar belakang keluarga, serta pendidikan dasar yang diperolehnya sangat baik. Nomor tiga belas. Nama: Tu Yong. Jenis kelamin: Lelaki. Usia: tiga puluh. Daerah asal: Kamsiok, Siciu. Ayah: Tu An.

Ibu: Tan Siok-tin, telah meninggal. Istri: Cu Kui-hun. Keturunan: seorang putra, seorang putri. Tu An, ayah Tu

Yong adalah seorang Piausu dan saudagar paling berhasil di

wilayah Kiang-pak, membangun usaha dari nol, ketika berusia dua puluh tujuh tahun telah berhasil  mengumpulkan harta kekayaan berjuta tahil.

Ibu Tu Yong sudah lama meninggal, ayahnya tidak pernah menikah lagi, bahkan tak pernah kendor mendidik putranya. Di saat Tu Yong berusia tujuh tahun ayahnya mengundang tiga orang sastrawan dan dua orang Bu-su, serta seorang jago dari Bu-tong untuk mendidik dan melatih ilmu silatnya, dia berharap di kemudian hari anaknya bisa menjadi seorang pemuda Bun-bu-coan-cay.

Tu Yong tak pernah membuat ayahnya kecewa, sejak muda dia sudah menguasai ilmu sastra, ilmu pedangnya pun memperoleh didikan dari jago Bu-tong sehingga pada akhirnya oleh umat persilatan ia disebut sebagai angkatan muda Bu-tong-pay yang paling sukses.

Istri Tu Yong pun berasal dari keluarga persilatan, selain cantik, orangnya halus, lembut dan saleh, pada saat masih berusia lima belas tahun, ia telah kawin dengan Tu Yong hingga dianggap orang sebagai wanita yang punya rezeki.

Putra Tu Yong cerdas dan berbakti, orangnya jujur dan tahu aturan, belum pernah ia melakukan perbuatan yang menimbulkan perasaan sedih bagi ayah ibunya.

Kalau benar Tu Yong memiliki keluarga yang begini bahagia, mengapa dia melepaskan segala sesuatu yang dimilikinya dan malah bergabung dengan organisasi di bawah pimpinan Lu-sam?

Tentu saja ada orang pernah mengajukan pertanyaan ini padanya, suatu kali di saat sedang mabuk berat ia sempat menjawab, "Karena aku sudah tak sanggup menerima semua itu."

Dengan kehidupan seperti ini, rumah tangga seperti ini dan lingkungan semacam ini, apa lagi yang tak sanggup dia terima?

Bila kau memahami segala sesuatu tentang dirinya lebih mendalam, kau segera akan mengerti apa sebetulnya yang membuat dia tak tahan.

Ayahnya kelewat tangguh, kelewat mampu bekerja, kelewat punya duit, dan kelewat ternama. Sejak berusia belasan tahun, segala kebutuhan dan segala keinginannya telah tersedia untuknya, tak ada lagi persoalan di dunia ini yang dapat membuatnya risau atau kuatir. Sejak kecil ia sudah terdidik menjadi seorang bocah yang tahu aturan, dia pun belum pernah melakukan suatu perbuatan yang membuat ayahnya kuatir atau bingung.

Kehidupan baginya seolah sudah ditentukan, ia sudah diatur agar menjadi manusia bahagia, manusia yang berhasil, memiliki keluarga bahagia, memiliki pekerjaan yang sukses, punya kedudukan, punya nama.

Tapi semua itu dia peroleh bukan berkat perjuangan sendiri, melainkan karena tergantung pada kehebatan ayahnya.

Banyak orang di dunia persilatan yang iri kepadanya, banyak juga yang mengaguminya, tapi orang yang benar- benar kagum dan menaruh hormat kepadanya tidak  banyak.

Oleh sebab itulah dia ingin melakukan beberapa perbuatan yang bisa menarik perhatian orang, agar pandangan orang lain terhadap dirinya berubah.

Bila kau ingin melakukan perbuatan semacam ini dengan tergesa-gesa, kau pasti akan melakukan kesalahan besar. Tidak terkecuali Tu Yong.

Mungkin dia bukan benar-benar ingin melakukan perbuatan semacam itu, tapi akhirnya dia tetap melakukannya.

Oleh sebab itu dia pun terpaksa harus bergabung dengan organisasi pimpinan Lu-sam.

Ilmu pedangnya seperti orang lain, berasal dari perguruan kenamaan, jarang melakukan kesalahan, tetapi sekali berbuat salah akibatnya tak terselesaikan.

Tak diragukan Oh Toa-leng dan Tu Yong merupakan dua jenis manusia dengan karakter yang berbeda, mengapa sekarang mereka bisa bergabung dalam organisasi yang sama, melakukan pekerjaan yang sama sifatnya?

Persoalan ini rasanya sulit untuk memperoleh jawaban yang tepat.

Mungkinkah ini yang disebut nasib? Kemauan takdir?

Terkadang kemauan takdir dapat membuat seseorang mengalami kejadian aneh yang sukar diduga dan diramalkan sebelumnya.

Kemauan takdir pun seringkali membuat seseorang terjerumus ke dalam situasi yang memedihkan tapi juga menggelikan, membuat orang sama sekali tak ada kesempatan untuk memilih.

Namun orang yang benar-benar pemberani dan punya nyali, selama hidup dia tak mau tunduk dan takluk pada kemauan takdir.

Dari berbagai kesulitan yang dialami, mereka telah belajar bersabar, belajar menahan diri, belajar menahan diri dalam situasi yang paling pelik, begitu muncul kesempatan, mereka segera akan membusungkan dada dan melanjutkan perjuangannya untuk meronta dan memberontak.

Selama mereka belum mati, mereka akan menemukan kesempatan untuk mendongakkan kepala.

Tak diragukan Lim Ceng-hiong termasuk jenis manusia yang berbeda dari kedua rekannya.

Dia adalah orang Hokkian.

Di wilayah Hokkian, marga Lim adalah marga  mayoritas penduduk, Lim Ceng-hiong pun merupakan nama yang sangat umum dan biasa, hampir di setiap kota, setiap desa, setiap dusun pasti ada orang yang bernama Lim Ceng-hiong. Ia dilahirkan di sebuah tempat dekat pesisir pantai Hokkian, wilayah yang paling sering disatroni perompak Jepun, konon di usianya yang keenam belas, dia pernah membantai perompak Jepun sebanyak seratus tiga puluhan orang dengan mengandalkan sebilah golok panjang.

Dalam bahasa Jepun, dia disebut sebagai "Masa", begitu menyinggung nama "Masa", kawanan perompak dari Jepun segera akan pecah nyali dan melarikan diri terbirit-birit.

Kemudian lambat-laun perompak Jepun berhasil ditumpas, maka dia pun meninggalkan desa kelahirannya dan mengembara ke seantero jagat.

Dalam dunia persilatan, ia tidak memperoleh hasil yang terlalu membanggakan.

Ini disebabkan dia tidak memiliki latar belakang keluarga yang baik, dia pun bukan berasal dari perguruan kenamaan, ke mana pun dia pergi, pekerjaan apa pun yang dia lakukan, selalu dicemooh dan tak bisa diterima di mana pun.

Maka beberapa tahun kemudian nama "Masa" pun lenyap dari peredaran dunia persilatan, manusia yang bernama Lim Ceng-hiong pun ikut lenyap tak berbekas.

Setelah itu di dunia persilatan muncul seorang pembunuh bayaran yang kejam tak berperasaan, walaupun bekerja sebagai pembunuh namun tidak pernah membunuh orang untuk kesenangan.

Dalam buku catatan milik Lu-sam, dia tercatat dengan nomor tiga, hal ini menunjukkan ia sudah lama sekali bergabung dengan organisasi pimpinan Lu-sam ini.

Nomor tiga.

Nama: Lim Ceng-hiong, julukan Masa. Jenis kelamin: laki-laki. Umur: empat puluh tiga tahun. Asal: Hokkian. Asal-usul keluarga: tak jelas. Sejak berusia dua puluh lima tahun, Lim Ceng-hiong mulai menggunakan pedang.

Waktu itu dia sudah bukan seorang pemuda, sudah tidak memiliki dorongan emosi dan kehausan untuk belajar pedang.

Tentu saja dia pun tidak memiliki bimbingan guru serta sistim pendidikan yang penuh disiplin seperti yang dialami Tu Yong, bisa jadi dia sama sekali tidak paham tentang intisari sebuah ilmu pedang. Akan tetapi dia kaya akan pengalaman.

Pengalaman yang dimilikinya mungkin jauh lebih banyak daripada pengalaman Oh Toa-leng digabungkan dengan pengalaman Tu Yong sekalipun, bekas bacokan yang menghiasi tubuhnya pun jauh lebih banyak daripada gabungan bekas bacokan kedua orang itu.

Dari pengalamannya bertarung melawan perompak Jepun di kala masih muda dulu, ia berhasil menciptakan sebuah ilmu pedang khusus yang merupakan gabungan ilmu pedang daratan Tionggoan dengan ilmu samurai dari negeri Jepun.

Biarpun ilmu pedangnya tidak banyak kembangannya, perubahan pun tidak terlalu banyak, namun manfaatnya luar biasa.

Tak dapat diragukan lagi nomor tiga, nomor tiga belas, dan nomor dua puluh tiga merupakan jago-jago lihai andalan Lu-sam.

Ketiga orang itu melambangkan tiga jenis manusia dengan perangai dan karakter yang berbeda, ilmu silat dan ilmu pedang yang dimiliki ketiga orang itu pun sama sekali tak sama. Dengan memberi perintah kepada mereka bertiga untuk membunuh Siau-hong, tindakan Lu-sam ini boleh dibilang tepat sekali.

Perintah dari Lu-sam memang tak pernah tidak tepat.

Anehnya, mengapa ia tidak membiarkan mereka bertiga turun tangan bersama? Bukankah bila mereka bertiga turun tangan berbareng maka kesempatan menang jauh lebih besar daripada bila menyerang satu per satu?

Di manakah letak maksud dan tujuannya?

Tak ada orang yang tahu apa maksud tujuannya, tak ada yang tahu apa rencananya.

Tak ada yang tahu, tak ada yang berani bertanya.

Bukan saja Sah Peng tidak bertanya, Oh Toa-leng, Tu Yong, serta Lim Ceng-hiong pun tidak bertanya.

Ketika Sah Peng berhasil menemui ketiga orang itu, dengan perkataan yang paling sederhana ia sampaikan perintah Lu-sam.

"Lopan perintahkan kalian untuk membunuh Hong Wi," ujar Sah Peng, "Minta kalian bertiga menyerangnya satu per satu."

Jawaban ketiga orang itu pun amat singkat. "Baik!"

Kemudian dalam waktu yang paling singkat, mereka berhasil menemukan Siau-hong.

Biarpun masih belum ada orang yang mengetahui rencana Lu-sam, namun pergerakan telah dimulai.

Tak diragukan, anak buah Pancapanah pun sudah mulai dengan pergerakan mereka. Maka masa perencanaan pun telah berakhir, masa pergerakan dimulai... tentu saja pergerakan secara total.

Malam yang cerah, tiada bintang, tiada rembulan, tiada hujan, tiada angin.

Ruangan agak gelap karena cahaya lentera remang- remang.

Lentera remang-remang karena Siau-hong memang sengaja memutar sumbu api menjadi yang terkecil.

Dia selama ini merupakan orang yang suka terang dan terbuka, tapi sekarang dia lebih suka berada seorang diri di balik kegelapan.

Hal ini bukan dikarenakan dia mempunyai banyak persoalan yang harus dipikirkan, juga bukan dikarenakan saat ini dia sedang mulai melakukan pergerakan atas sebuah perencanaan yang telah diputuskan.

Ada sementara manusia yang sangat terbuka dan  tak sudi hidup kesepian, ketika berada di suatu saat tiba-tiba bisa berubah jadi suka akan kesepian dan kesendirian.

Begitulah perasaan Siau-hong saat ini, selama beberapa hari belakangan dia selalu bersikap demikian.

Dia mempunyai banyak persoalan yang ingin disampaikan kepada Yang-kong, dia pun mempunyai banyak masalah yang ingin ditanyakan kepada Soso.

Tapi akhirnya dia tidak bertanya, tidak mengatakannya, bahkan dia sama sekali tak mau duduk berduaan dengan mereka. Mungkin saja dia sedang menghindar.

Sekalipun menghindar tak akan menyelesaikan persoalan apa pun. Namun peduli siapa pun, dalam perjalanan hidupnya pasti akan menghadapi saat untuk menghindar. Menghindar berarti beristirahat. Siapa pun tentu butuh istirahat, terutama di saat perencanaan telah diputuskan, di saat suatu gerakan segera akan dimulai.

Di tengah kegelapan malam tak berbintang, tak ada rembulan, tak ada hujan inilah mendadak di tengah hembusan angin berkumandang suara napas, suara napas yang sedang bergerak mendekat.

Yang pasti bukan dengus napas satu orang, Siau-hong dapat memastikan paling tidak ada tiga orang, paling banyak pun hanya empat orang.

Hanya suara dengusan napas, tiada suara langkah kaki. Tapi hal ini paling tidak membuktikan akan dua hal. Peduli Siau-hong berada dalam kondisi apa pun, telinganya masih tetap tajam.

Peduli yang datang tiga orang atau empat orang, mereka pasti jago lihai yang memiliki ilmu silat hebat! Sebab langkah kaki mereka jauh lebih ringan daripada dengusan napasnya.

Waktu itu Siau-hong sedang berada di sebuah rumah penginapan.

Sejak Pancapanah memutuskan untuk melaksanakan rencananya, dia telah pindah ke rumah penginapan itu.

Sebuah rumah penginapan yang sepi dan terpencil, dalam rumah penginapan itu pun dia memilih halaman belakang yang sepi dan jauh dari keramaian orang.

Pemilik losmen maupun para pelayannya setiap saat dapat muncul di halaman belakang itu.

Orang-orang yang berlalu-lalang di sekeliling dusun pun terkadang bisa muncul dan tersesat di sana. Hanya saja saat ini malam sudah larut, sebagian besar orang sudah tertidur, orang yang belum tidur pasti mempunyai alasan khusus sehingga belum tidur.

Bila bukan disebabkan alasan khusus, tak mungkin suara langkah kaki seseorang jauh lebih ringan daripada suara napas.

Paling tidak hal ini membuktikan akan satu hal.

Beberapa orang yang datang saat itu pasti mempunyai tujuan khusus sehingga mereka muncul di situ.

Berada dalam saat seperti ini, tempat seperti ini, tak mungkin ada orang datang mencari Siau-hong untuk minum arak, main catur, atau mengobrol.

Sekalipun ada orang datang untuk mengajaknya mengobrol, tak mungkin mereka datang bertiga, bahkan berempat.

Lalu ada urusan apa mereka datang mencari Siau-hong?

Jawaban yang pasti hanya ada semacam... mereka datang untuk membunuh Siau-hong, di tengah kegelapan malam tak berbintang, tak ada rembulan, tak ada hujan, hanya ada angin seperti ini merupakan saat yang tepat untuk melakukan pembunuhan, apalagi Siau-hong berada dalam bilik yang gelap dan terpencil.

Tentu saja Siau-hong pun berpikir ke situ.

Maka dengan satu gerakan cepat dia melompat bangun, kemudian menggenggam pedang Mata iblis miliknya.

Namun dia belum bergerak, belum melancarkan serangan.

Suara napas makin lama semakin dekat, sekarang dia pun dapat mendengar suara langkah kaki mereka, semacam suara langkah kaki yang hanya bisa didengar oleh manusia macam dia.

Semacam suara langkah kaki dari orang yang pernah berlatih tekun ilmu meringankan tubuh atau ilmu pedang.

Siau-hong pun dapat mendengar ada beberapa orang yang bergerak menghampirinya.

Yang datang ada empat orang, tak salah, empat orang, empat orang yang pernah berlatih tekun ilmu meringankan tubuh dan ilmu pedang tingkat tinggi.

Peluh dingin mulai bercucuran membasahi telapak tangannya.

Karena dia tak yakin mampu menghadapi keempat orang itu, bila mereka melancarkan serangan bersama, sedikit pun dia tak yakin bisa menghindarkan diri dari bencana besar ini.

Yang membuat dia tidak menyangka adalah ternyata langkah kaki itu tidak berjalan menuju ke arah biliknya, tapi berhenti lebih kurang dua puluh tombak dari ruang tidurnya.

Menanti terdengar lagi suara langkah kaki yang bergerak mendekat, tinggal suara langkah satu orang.

Langkah kaki maupun dengus napas orang ini jauh lebih berat daripada suara yang terdengar tadi, hal ini membuktikan orang itu merasa amat tegang, bahkan jauh lebih tegang daripada Siau-hong.

Kalau tujuan kedatangannya untuk membunuh Siau- hong, mengapa dia datang seorang diri?

Mengapa rekan-rekannya tidak ikut bersama dia, turun tangan bersama?

Siau-hong bingung, tak habis mengerti. Namun dia pun tak punya waktu untuk berpikir lebih jauh karena langkah kaki orang itu telah sampai di muka jendela kamarnya.

Angin berhembus dari dataran tinggi di seberang sana melewati tanah pertanian yang subur dan gembur, daun jendela bergetar karena hembusan, bukan hembusan angin yang lewat, melainkan karena dengus napas orang itu.

Hal ini membuktikan ia berdiri begitu dekat dengan daun jendela.

Dengan cepat Siau-hong berhasil menyimpulkan satu hal... tak diragukan, orang ini pastilah seorang temperamental, gampang emosi, biarpun ilmu silatnya cukup tangguh, melakukan pekerjaan semacam ini pun bukan untuk pertama kalinya, namun dia tetap tak bisa mengendalikan emosi, gampang dipengaruhi perasaan.

Menyimpan kekuatan menunggu kedatangan lawan, dengan ketenangan mengatasi gerak.

Setelah berulang kali merasakan mati hidup, Siau-hong sangat memahami apa arti perkataan itu.

Maka dari itu dia tetap menjaga ketenangannya, bahkan wajib mempertahankan ketenangan.

Ketenangan, bukan kepala dingin.

Siau-hong tak dapat mempertahankan kepala dinginnya, sebab sesungguhnya dia pun termasuk orang yang gampang panas, gampang emosi, naik darah.

Saat ini debar jantungnya bertambah cepat, dengus napas pun ikut memburu.

Mendadak dari luar jendela terdengar seseorang memanggil namanya, "Siau-hong Hong Wi!" Walaupun ia sedang tertawa dingin, namun suaranya terdengar parau lantaran tegang, "Aku tahu, kau belum tidur, bahkan tahu akan kedatanganku!"

Siau-hong tidak menjawab, ia masih mempertahankan ketenangan hatinya.

"Aku datang untuk membunuhmu!" kembali orang itu berkata, "Seharusnya kau pun tahu aku datang untuk membunuhmu!"

Kemudian tanyanya kepada Siau-hong, "Kenapa kau masih belum keluar?"

Siau-hong belum bergeming dia masih tetap mempertahankan ketenangan hatinya.

Bukan hanya menjaga ketenangan, dia pun berusaha berkepala dingin, kini dia sudah tahu orang ini jauh lebih emosional ketimbang dirinya dulu.

Kertas jendela yang berwarna putih telah basah sebagian bahkan bergetar sangat keras, karena dengus napas orang itu bertambah cepat dan memburu.

Kau hendak membunuhku, tentu saja aku pun mau tak mau harus membunuhmu.

Dalam keadaan seperti ini masih emosional, jelas suatu peristiwa yang sangat tidak menarik.

"Blaam!", akhirnya daun jendela dijebol orang, tampaklah sebuah wajah yang hijau membesi, amat tampan, amat muda, muncul di depan mata.

"Aku bernama Oh Toa-leng!" ia memperkenalkan diri, "Aku datang untuk membunuhmu!"

Menggunakan sepasang matanya yang tajam tapi dipenuhi serat berwarna merah darah, ia pelototi wajah Siau-hong, kemudian teriaknya lagi, "Mengapa kau masih belum keluar?"

Siau-hong tertawa.

"Adalah kau yang ingin membunuhku, bukan aku yang ingin membunuhmu, kenapa aku mesti keluar?" dia balik bertanya kepada anak muda itu.

Oh Toa-leng tak mampu berkata-kata lagi.

Dia telah bersiap mencabut pedangnya, telah bersiap menyerbu masuk ke dalam.

Pada saat itulah tiba-tiba ia saksikan cahaya pedang berkelebat, selama ini belum pernah ia saksikan cahaya pedang secepat ini, cahaya pedang yang begitu menyilaukan mata.

Terpaksa ia bergerak mundur, menghindar lalu bersamaan dia mencabut pedang sambil melancarkan serangan balasan.

Semua reaksi dan gerakan tubuhnya tidak terhitung kelewat lambat, hanya sayang ia tetap terlambat satu langkah.

Terlihat cahaya pedang berkelebat, serangan yang  semula mengancam tenggorokan tiba-tiba berubah arah, kini serangan itu langsung menusuk ke jantungnya.

inilah bagian tubuh yang paling mematikan, siapa tertusuk, dia pasti akan mati seketika, tak mungkin bisa ditolong lagi.

Karena kau ingin membunuhku, mau tak mau aku pun harus membunuh dirimu!

Sesaat sebelum jantung Oh Toa-leng berhenti berdetak, akhirnya dia memahami satu hal. Hidup sebagai seorang yang sederhana dan biasa, sesungguhnya bukan satu kejadian yang menyedihkan apalagi memalukan.

Dia tak seharusnya datang membunuh, karena sesungguhnya dia bukanlah orang yang senang membunuh orang lain.

Karena dia kelewat emosi, kelewat tak mampu mengendalikan diri.

Seorang yang sederhana dan biasa, tapi memaksakan diri untuk melakukan suatu perbuatan yang tidak seharusnya dia lakukan, kejadian seperti inilah yang pantas disedihkan.

Angin masih berhembus.

Di balik kegelapan di kejauhan sana, masih ada tiga orang berdiri tenang di situ.

Mereka datang bersama Oh Toa-leng namun kematian Oh Toa-leng seolah sama sekali tak ada sangkut-pautnya dengan mereka.

Ketiga orang itu masih menatap Siau-hong, menatapnya tanpa berkedip.

Tatkala Siau-hong membunuh Oh Toa-leng dengan sebuah tusukan kilatnya, mereka mengawasi dan mengikuti setiap gerakan itu dengan seksama, tak satu adegan pun yang terabaikan.

Ooo)d*w(ooO
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar