Elang Terbang di Dataran Luas BAB 35. BUKAN ANAKMU

BAB 35. BUKAN ANAKMU

Sekalipun kau sedang bercermin pun, seharusnya kau tahu kalau orang yang berada di balik cermin bukanlah dirimu yang sesungguhnya, bayangan di balik cermin hanya sebuah bayangan, sebuah ilusi.

Peristiwa semacam ini hanya bisa terjadi dalam impian, bahkan biasanya adalah impian buruk.

Sekarang Siau-hong bukan sedang bermimpi. Dia tak ingin memandang diri sendiri.

Tapi tubuhnya telah terhenti, sinar matanya telah terhisap oleh kemunculan dirinya yang lain.

Tiba-tiba saja muncul perasaan ngeri dan seram yang luar biasa, dia ingin secepatnya melarikan diri, kabur meninggalkan tempat itu.

Tapi tubuhnya sudah tak mampu bergerak lagi, sinar matanya sudah tak sanggup bergeser lagi.

Saat itulah tiba-tiba ia merasakan matanya sakit sekali, seperti ada sebatang jarum yang menusuk matanya, membuat seluruh badannya terpantek mati di atas tanah.

Ia merasa sekujur badannya seolah-olah sakit sekali, linu, kaku, dan mati rasa, ia dapat merasakan semua siksaan itu.

Tapi sayang ia sudah sama sekali kehilangan kekuatan dan kemampuan untuk bergerak.

Apakah begini pula perasaan Lo-su menjelang kematiannya? Dia seolah mendengar Che Siau-yan sedang berteriak memanggil, suaranya dipenuhi rasa panik, gelisah, cemas, dan perhatian.

Tapi ia sudah tak dapat mendengar lebih jelas lagi. Biarpun tangannya masih menggenggam pedang Mo-

gan, namun tidak memiliki kekuatan untuk melepaskan tusukan.

Karena dia sudah sama sekali dikuasai sepasang mata dirinya yang lain, ia sudah melihat neraka dari balik mata itu.

Bara api masih menyala dengan garangnya, nyala api seolah muncul dari empat penjuru.

Langit runtuh tanah merekah, batu pasir beterbangan di seluruh angkasa.

Semua patung lilin yang tak bernyawa itu mendadak memperoleh kehidupan di tengah baranya api, tiba-tiba mereka melompat bangun dan berlompatan menuju ke arah kerumunan manusia.

Suasana jadi panik, kegaduhan terjadi di mana-mana, menyusul terdengar jeritan ngeri yang memilukan berkumandang silih berganti.

Cahaya darah mulai memercik di tengah jilatan api.

Tempat ini bukan neraka, juga bukan khayalan dari balik neraka.

Siau-hong tahu semuanya bukan suatu kenyataan. Tapi dia menyaksikan dengan mata kepala sendiri.

Setelah menyaksikan pemandangan yang sangat menakutkan, dia pun jatuh tak sadarkan diri, sebelum mengetahui dengan jelas apa gerangan yang sebenarnya terjadi, ia sudah jatuh tak sadarkan diri.

Ooo)d*w(ooO

Samudra nan biru. Gulungan ombak nan biru.

Matahari bersinar cerah, memantul di atas permukaan air laut yang tenang. Di bawah cahaya sang surya, gulungan riak kecil lembut dan hangat bagaikan kerlingan mata seorang kekasih.

Kerlingan mata kekasih pun lembut dan hangat, selembut gulungan riak nan biru.

Semua ini bukan ilusi, bukan khayalan, Siau-hong menyaksikan dengan mata kepala sendiri.

Sewaktu tersabar kembali, yang terlihat olehnya hanya warna serba biru, begitu biru, begitu indah, begitu lembut.

Di tempat ini sama sekali tak ada lautan, yang dia saksikan pun bukan riak ombak.

Ia menjumpai cahaya matahari, cahaya matahari berwarna biru.

Ketika tersadar, Siau-hong melihat Yang-kong sedang menatap ke arahnya, menatap begitu halus dan lembut bagaikan riak ombak.

Benarkah semua ini? Benarkah bukan ilusi? Bukan khayalan?

Yang-kong, mengapa kau bisa berada di sini? Siau-hong tidak percaya.

Jangan-jangan tempat ini adalah neraka? Mungkinkah aku telah sampai di neraka? Bukankah dalam neraka pun terkadang akan muncul suatu pemandangan indah? Seperti fatamorgana yang dilihat mereka yang tersesat di tengah gurun pasir?

Ingin sekali Siau-hong mengulur tangan untuk mengucek mata.

Tapi tangannya terasa lemas, sedemikian lemasnya hingga sama sekali tak bertenaga.

Tangannya kemudian dapat terangkat, ini dikarenakan Yang-kong telah menggenggam tangannya.

Tangan yang dingin, air mata yang dingin.

Air mata telah meleleh, membasahi wajah Yang-kong.

Dalam waktu sesaat itu, dia seakan tak pernah akan melepaskan kembali genggamannya pada tangan Siau- hong.

Tapi apa mau dikata, ia justru dengan cepat melepaskannya kembali.

Sebab selain mereka berdua, di dalam ruangan yang lembut dan hangat itu masih hadir tiga orang lainnya.

Akhirnya Siau-hong dapat menyaksikan kehadiran ketiga orang itu.

Dua orang dewasa dan seorang anak-anak.

Orang yang berdiri di ujung ranjang Siau-hong adalah Che Siau-yan.

Dia hanya berdiri tenang di tempat itu, berdiri sambil mengawasi Siau-hong dan Yang-kong, mengawasi setiap gerak-gerik, perubahan mimik muka mereka berdua.

Sementara dia sendiri sama sekali tak memperlihatkan perubahan apa pun, dia seolah sudah kaku, sudah  mati rasa. Apa yang bisa ia perbuat? Apa yang bisa dia katakan?

Selain dia masih hadir seorang yang lain, berdiri jauh di sudut ruangan, ia berdiri sambil membopong seorang bocah.

Perempuan itu mengenakan baju berwarna abu-abu muda, wajahnya yang putih sama sekali tidak berbedak, rambutnya yang hitam digulung jadi sebuah sanggul, sepasang matanya yang indah memancarkan perasaan duka yang tawar dan apa boleh buat.

Dalam gendongannya terlihat seorang bocah yang mengenakan baju warna merah.

Soso!

Ternyata Soso pun hadir di sana.

Tak diragukan, bocah yang berada dalam bopongannya tak lain adalah putra Siau-hong.

Siau-hong merasakan hatinya sakit, sakit seperti ditusuk jarum tajam.

Mengapa Soso berada di situ? Mengapa Yang-kong berada di situ? Di manakah ia sekarang? Mengapa ia bisa berada di situ?

Apakah semua kejadian yang dilihatnya di kantor dagang Eng-ki hanya sebuah ilusi? Atau mungkin kejadian sungguhan? Apa yang sebenarnya telah terjadi?

Ke mana perginya patung-patung lilin yang misterius dan menakutkan itu?

Yang paling membuat Siau-hong tak dapat melupakan tentu saja sepasang mata itu, sepasang mata penuh kebencian. Dia tidak menanyakan semua persoalan itu, sebab dia sama sekali tak tahu pertanyaan itu harus ditujukan kepada siapa.

Ranjang yang lembut, seprei yang bersih, ingin sekali berbaring terus di sana, berbaring sepanjang hidup.

Tapi mau tak mau dia harus bangkit....

Akhirnya dia meronta bangkit, mengulurkan sepasang lengannya, seolah ingin memeluk salah seorang di antaranya. Di situ hadir tiga orang wanita.

Tiga orang wanita yang pernah mempengaruhi jalan hidupnya, yang membuat dia tak pernah dapat melupakan untuk selamanya.

Ketiga orang wanita itu pun pernah menjalin hubungan dan perasaan yang aneh, kacau dan mendalam dengan dirinya.

Lalu siapa yang akan dirangkulnya saat ini?

Siau-yan mengharapkan pelukan dari Siau-hong.

Soso pun mendambakan pelukan Siau-hong. Tapi Siau- hong menubruk ke arah Soso.

Yang dia rangkul dan peluk bukan Soso, melainkan bocah yang berada dalam gendongan Soso.

Dia peluk bocah yang belum pernah dilihat sebelumnya itu kencang-kencang.

Air mata, tentu saja air mata jatuh berlinang membasahi wajah Siau-hong.

Bukankah seorang Enghiong pantang melelehkan air mata?

Siau-hong melelehkan air mata, apakah dikarenakan dia bukan seorang Enghiong? Siau-hong mencintai Soso, tapi mereka telah berpisah dalam waktu yang amat panjang.

Siau-hong mencintai Siau-yan, tapi semacam perasaan lain selalu tumbuh di dasar hatinya, suatu saat mereka pasti akan berpisah.

Satu-satunya hubungan yang terjalin, khususnya terjalin dari sedarah sedaging hanya anak dia sendiri.

Anak dia bersama Soso, anak yang berada dalam gendongannya.

Tiba-tiba ia merasakan, perasaannya terhadap bocah yang berada dalam rangkulannya itu kacau dan mendalam.

Cinta kasih bukan berarti tak akan menipis dan menghilang, tapi cinta yang selama hidup tak pernah menipis, tak pernah menghilang justru jarang sekali.

Cinta kasih gampang sekali memudar lalu menghilang, lenyap tak berbekas.

Dipisahkan oleh gunung nan tinggi, sungai nan panjang dan jurang nan lebar, cinta kasih seseorang akan memudar secara lambat, kemudian lenyap di tengah dunia yang keji.

Sorot mata Siau-hong, sorot mata yang lembut, kini semuanya ditumpahkan ke wajah bocah itu.

Si bocah dengan membelalakkan matanya yang bening balas menatapnya dengan polos.

Tiba-tiba Siau-hong merasakan hatinya amat sakit, sakit sekali seperti ditusuk jarum.

Karena secara tiba-tiba bocah itu mengulum tertawa, tawa bocah itu seperti senyuman Soso.

Sekali lagi Siau-hong memeluk bocah itu dan mendekap di dalam pelukannya. Siau-hong memandang Siau-yan sekejap, lalu memandang pula Soso.

Di dalam benaknya segera terlintas bayangan di sana ia hidup berbahagia bersama kedua orang perempuan itu.

Semua kegembiraan, kesenangan, tak pernah akan terlupakan sepanjang masa.

Perasaan cintanya terhadap kedua orang perempuan itu pun kalut tapi mendalam.

Che Siau-yan menggunakan sorot mata yang aneh mengawasi wajah Siau-hong tanpa berkedip.

Tidak demikian dengan sorot mata Soso, tak ada keanehan ataupun rasa tercengang, karena dia sangat memahami perasaan Siau-hong.

Karena dia adalah ibu dari anak itu, Siau-hong adalah ayah dari anak itu, cinta seorang ibu terhadap putranya seperti seorang ayah mencintai anaknya.

Di tengah kesulitan, setelah lolos dari musibah, ketika tiba-tiba ia menjumpai dirinya sudah mempunyai anak, lalu ketika secara tiba-tiba bersua dengan bocah itu,. Semua pukulan batin serasa datang saling menyusul dan langsung menyentuh kantung air matanya.

Dengan pandangan penuh perasaan cinta, Soso memandang sekejap Siau-hong serta bocah yang berada dalam pelukannya, tiba-tiba perempuan itu merasakan segumpal aliran hangat muncul dalam lubuk hatinya.

Dia selamanya tak pernah menduga kalau kasih sayang seorang ayah pun begitu mendalam, begitu mengharukan. Selama ini dia hanya tahu kasih seorang ibu.

Cinta seorang ibu itu alami, sejak hamil, sejak jabang bayi terbentuk dalam rahimnya, akan muncul semacam perasaan yang aneh dan khas dalam tubuh sang ibu dan perasaan itu dengan cepat akan berubah menjadi cinta kasih.

Sebelum sang bayi dilahirkan ke dunia ini, dia telah memperoleh kasih sayang dan perhatian penuh dari ibunya.

Berbeda sekali dengan kasih sayang seorang ayah.

Seorang ayah baru akan mencintai anaknya setelah dia melihat sang jabang bayi lahir dari rahim ibunya, setelah turun ke dunia ini.

Sejak pandangan pertama melihat putranya, saat itulah cinta seorang ayah telah dimulai.

Cinta seorang ibu itu merupakan takdir, sementara cinta seorang ayah harus dipupuk mengikuti berjalannya sang waktu.

Cinta seorang ayah kepada putranya merupakan semacam cinta yang harus dipelajari.

Yang membuat Soso sangat terharu adalah setelah menyaksikan betapa mendalamnya perasaan cinta Siau- hong terhadap putranya.

Tiba-tiba ia menerjang maju dan memeluk Siau-hong serta bocah itu erat-erat.

Dengan lemah lembut Siau-hong mengalihkan tatapan matanya ke wajah Soso, sinar matanya terlintas pula perasaan terima kasihnya yang mendalam.

Berterima kasih kepada perempuan itu karena telah memberi keturunan kepadanya.

Setelah mempunyai keturunan, biar mati pun dia tak akan menyesal. Setelah mempunyai keturunan, perasaannya menjadi lebih cerah, lebih terbuka.

Dia tak perlu takut lagi menghadapi kematian, dia pun tak perlu takut menghadapi ancaman bahaya maut.

Setiap saat ia bisa saja pergi mati, demi Po Eng, demi Soso, demi Yang-kong, demi Che Siau-yan.

Ketika baru mendusin dari pingsannya tadi, Siau-hong mengira dirinya telah dijebloskan ke dalam neraka, tapi sekarang dia tahu, dirinya sama sekali tidak masuk ke dalam neraka.

Orang yang masuk ke dalam neraka sudah pasti bukan dirinya.

Sekalipun masuk ke dalam neraka, yang dia masuki tak lain adalah neraka "Kalau bukan aku yang masuk neraka, siapa yang akan masuk neraka".

Sebab secara tiba-tiba ia bertekad untuk melakukan "Kalau bukan aku yang masuk neraka, siapa yang akan masuk neraka".

Dia bertekad akan menyelidiki dan mengungkap peristiwa ini hingga jelas dan tuntas.

Sekalipun harus membayar mahal, sekalipun harus berkorban dan kehilangan nyawa, dia tetap bertekad akan menyelidiki peristiwa ini, mengungkap siapa dalang yang menyiapkan semua intrik dan rencana busuk ini.

Dia tahu dan percaya, kasus ini pasti terungkap, sebab dia sudah tak punya beban lagi, sudah tak ada yang dirisaukan lagi.

Jalan pikirannya pun tak akan mengalami pukulan hingga berantakan karena terancam oleh bayang-bayang kematian. Bagi seseorang yang tak takut langit tak takut bumi, ilmu pedangnya pasti dapat digunakan hingga mencapai kemampuan seratus persen.

Dia tahu, sekarang adalah saatnya untuk mengajukan pertanyaan. Tapi ia tidak bertanya apa-apa. Dia membopong anaknya terlebih dahulu.

Siau-hong bukan nabi, dia tak akan bisa jadi seorang nabi, dia pun tak ingin menjadi nabi.

Di sudut paling rahasia hati kecilnya, mungkin saja dia ingin sekali memeluk Che Siau-yan terlebih dahulu.

Karena dia adalah lelaki pertama bagi gadis itu, dia telah mempersembahkan keperawanan yang paling berharga, kesuciannya untuk lelaki ini.

Dalam hal seperti ini, bukan saja sulit bagi seorang wanita untuk melupakannya, begitu juga bagi seorang lelaki.

Di sudut lain yang paling rahasia dari hati kecil Siau- hong dia pun ingin memeluk Yang-kong.

Baginya Yang-kong adalah seorang gadis yang bukan saja cantik jelita bahkan seorang gadis yang buta karena cinta, dia tahu sepanjang hidup tak mungkin dia pernah  bisa memperoleh gadis ini secara utuh.

Tapi dia menyukai gadis itu, bukan hanya suka, bahkan sangat menghormatinya.

Dia telah mencampur adukkan perasaan cintanya terhadap Yang-kong dengan persahabatannya dengan Po Eng.

Siau-hong pun seorang lelaki.

Soso juga seorang wanita, seorang wanita yang sangat feminim, bahkan boleh dibilang setiap inci tubuhnya, dari ujung rambut hingga ujung kaki, semuanya kelewat berbau wanita.

Siau-hong tak mungkin bisa melupakan perempuan ini.

Perasaan cintanya, kelembutan hatinya, pelukan dan rayuannya, tak mungkin bisa terlupakan oleh lelaki mana pun.

Jadi kalau ditanya sejujurnya, sesungguhnya orang yang paling ingin dipeluknya saat ini adalah Soso.

Tapi kenyataan, dia memeluk dan menggendong putranya terlebih dulu.

Hal ini bukan dikarenakan cinta seorang ayah, hubungan perasaan seorang ayah dan anak harus dipupuk dan tumbuh dari berjalannya sang waktu, butuh dipupuk dan dibina.

Dia memeluk bocah itu terlebih dulu mungkin karena dia berharap adanya keseimbangan, semacam cinta kasih yang seimbang, semacam keseimbangan yang dapat membuat gejolak hatinya stabil dan memperoleh ketenangan.

Bagaimana pun juga dia telah melakukan hal ini.

Diam-diam Che Siau-yan mundur ke belakang, perlahan- lahan Yang-kong duduk kembali, duduk di atas bangku dekat pembaringan.

Mendadak Soso tertawa, suara tawanya aneh sekali.

Di balik suara tawanya seakan terselip sindiran dan cemoohan yang amat keji, seperti tatapan matanya saat itu.

Dia menatap Siau-hong sambil tertawa, mendadak tanyanya, "Kau sangka bocah itu benar-benar adalah putramu?"

"Memangnya bukan?"

"Bukan," jawab Soso, "Tentu saja bukan." Kemudian dengan suara dingin lanjutnya, "Kenapa kau tidak mencoba untuk berpikir, mana mungkin Lu-sam akan mengembalikan bocah ini kepadamu?"

Siau-hong tertegun, terperangah.

Dia tahu Soso bukan sedang berbohong tapi dia pun tidak melepaskan bocah yang berada dalam bopongannya, keadaannya seperti seorang yang kalap di air dan memegang sebuah benda yang dia sendiri pun tahu kalau benda itu bukan balok kayu yang bisa membuatnya terapung, namun dia tetap tidak mau melepaskannya.

Senyuman yang menghiasi wajah Soso mendadak berubah lagi seperti sedang mengenakan sebuah topeng.

"Lu-sam minta aku membawa bocah ini untuk berjumpa dengan dirimu, dia minta aku memberitahukan kepadamu kalau anakmu sudah tumbuh sebesar ini. Tumbuh sehat dan menyenangkan seperti bocah ini."

Tangan Siau-hong mulai dingin, mulai kaku. Kembali Soso tertawa dingin.

"Sebelum ini, pernahkah kau berjumpa dengan anakmu itu?" tanyanya.

"Belum pernah!" jawab Siau-hong.

Dia adalah seorang jujur, mungkin belum bisa terhitung orang baik, tapi dia sangat jujur.

Selama ini dia belum pernah berpikir tentang anaknya, karena dia belum pernah berjumpa dengan anaknya itu.

Hubungan mereka sebagai ayah dan anak belum terjalin perasaan cinta, rasa sayang belum tumbuh di antara mereka berdua. "Kau tahu kalau aku telah mengandung anakmu," kembali Soso bertanya, "Tapi kau belum pernah memikirkan tentang dirinya."

Siau-hong harus mengakui akan hal ini.

Tapi sekarang dia sudah mulai memikirkan dia, karena terhadap bocah itu dia telah memiliki gambaran yang jelas dan utuh. Begitulah sifat manusia.

Terlepas sifat manusia itu baik atau jahat, di balik sifat manusia tentu terdapat titik kelemahan.

Tak diragukan Lu-sam telah memegang titik kelemahan manusia.

"Lu-sam minta aku memberitahukan kepadamu," ujar Soso lagi, "Bila kau ingin berjumpa dengan anakmu, maka kau harus melakukan satu pekerjaan dulu baginya."

"Pekerjaan apa?" mau tak mau Siau-hong harus  bertanya, "Dia minta aku melakukan pekerjaan apa?"

Sebelum Soso sempat buka suara, dari luar sudah terdengar seseorang mewakilinya menjawab, "Dia minta kau membantunya membunuh aku."

Suara Pancapanah!

Suara yang begitu tenang, juga begitu hangat, asal mendengarnya sekali, tidak mudah bagimu untuk melupakannya.

Selamanya tak pernah ada yang tahu kapan dan dari mana Pancapanah akan muncul.

Pancapanah selalu tampak masih muda.

"Muda" bukan melambangkan usianya, tapi melambangkan semacam bentuk, semacam wujud. Dia tampak begitu muda karena dia selalu tampak begitu kokoh, kuat, dan bertenaga.

Peduli di mana pun, kapan pun, kemunculannya selalu sama.

Sekalipun dia baru merangkak keluar dari rawa-rawa berlumpur pun dia selalu terlihat seperti sebilah pedang yang baru keluar dari tungku api, kering, bersih, berkilat, dan tajam.

Sekalipun dia baru merangkak keluar dari tumpukan mayat dan lumuran darah musuh, dia terlihat bersih dan sama sekali tak berbau anyir darah.

Satu-satunya perbedaan yang dia tunjukkan kali ini adalah dia membawa sekantung arak.

Sekantung kulit kambing arak wangi.

Dia berjalan mendekat, duduk di sebuah kursi dekat sebuah meja kecil, kemudian sambil menatap Siau-hong katanya, "Duduk!"

Siau-hong pun duduk. Dia serahkan bocah itu ke tangan Soso sebelum duduk, duduk tepat di hadapannya.

Pancapanah meletakkan kantung berisi arak itu ke atas meja kecil.

"Arak ini bernama Ku-shia-sau," dia bertanya kepada Siau-hong "Kau pernah meneguknya?"

"Pernah," sahut Siau-hong.

Tentu saja ia pernah minum arak itu, Po Eng paling suka minum arak jenis ini.

Arak ini bila diteguk seperti darah panas yang mengalir di tubuh lelaki sejati. Dengan jari tangannya dia membuka penutup kantung kulit kambing itu, kemudian meletakkan kantung tadi di belakang tengkuk.

Pancapanah meneguknya lebih dulu satu tegukan besar, kemudian baru menyerahkan kantung arak itu ke tangan Siau-hong. "Kau minumlah!"

Siau-hong pun ikut meneguk satu tegukan besar, satu tegukan yang amat besar, kemudian kembali lagi giliran Pancapanah.

Mereka sama sekali tidak memandang Soso maupun Yang-kong, seakan-akan di dalam ruangan itu sama sekali tak hadir orang ketiga.

"Kau pernah meneguk arak ini," kata Pancapanah, "Tentu masih ingat dengan nyanyiannya, bukan?"

"Aku masih ingat."

"Kalau begitu kau nyanyi dulu kemudian baru aku." Maka Siau-hong pun mulai bersenandung:

"... lelaki harus ternama, Arak harus memabukkan. Berbincang setelah mabuk,

Isi hati pun semua terpampang"

Lagu itu disenandungkan sekali demi sekali, selesai satu tegukan arak, lagu pun dinyanyikan satu kali. Nyanyian mereka sekental arak, arak yang mereka minum sekental darah.

Lagu bisa dinyanyikan tiada habisnya, tapi arak pada akhirnya habis diteguk.

Mendadak Pancapanah menggebrak meja. "Aku tahu," teriaknya sambil menatap Siau-hong, "Aku tahu kau belum pernah menganggap aku sebagai sahabatmu.”

“Oh!"

"Kau selalu menganggap hanya Po Eng sahabat karibmu?"

"Dia memang sahabat karibku," sahut Siau-hong, "Bukan saja dia adalah sahabatku, juga sahabat karibmu."

"Lalu mengapa selama ini dia tak pernah datang mencarimu? Juga tidak mencari aku?" Pancapanah menatap tajam wajah Siau-hong, "Tahukah kau mengapa begitu?"

Siau-hong mengambil kantung arak, lalu meneguknya sampai puas.

Ia tak dapat menjawab pertanyaan ini, kecuali Po Eng pada hakikatnya tiada orang lain yang bisa menjawab pertanyaan ini.

Dia sendiri pun sudah berulang kali mengajukan pertanyaan yang sama, belakangan dia sudah tak pernah bertanya lagi, karena persoalan itu selalu akan melukai perasaan sendiri.

Pancapanah pun tidak bertanya lebih lanjut.

Dia mulai meneguk arak, yang dia teguk tidak lebih sedikit daripada Siau-hong.

Siau-hong sama sekali tak menyangka Pancapanah yang selalu tampil dingin, kaku bagaikan batu karang ternyata pandai pula meneguk arak dalam takaran banyak.

Dia menggenggam kantung kulit kambing itu erat-erat, tidak lagi memberi kesempatan kepada Pancapanah untuk meneguknya, ada banyak persoalan harus dia tanyakan dulu hingga jelas sebelum mereka berdua  sama-sama mabuk berat.

Kembali terdengar Pancapanah bertanya lagi, "Apakah kau telah melihat dengan jelas beberapa buah patung lilin yang berada dalam kantor Eng-ki?"

Siau-hong memang sudah melihatnya dengan sangat jelas.

"Sebelum ini, pernahkah kau saksikan patung lilin yang diciptakan begitu indah, hidup, dan mempesona?"

"Belum pernah."

"Tentu saja belum pernah!" kata Pancapanah, "Patung lilin semacam ini pada hakikatnya belum pernah muncul di daratan Tionggoan."

"Dari mana kau bisa tahu?"

"Karena di kolong langit dewasa ini hanya satu orang yang bisa menciptakan patung lilin sedemikian sempurnanya," kata Pancapanah lagi, "Pada hakikatnya hanya satu orang."

"Siapakah orang itu?" "Longhud Leadkin!"

Sebuah nama yang aneh dan istimewa, siapa pun yang pernah mendengar nama aneh ini, pasti akan selalu mengingatnya di dalam hati.

"Longhud Leadkin," sekali lagi Pancapanah mengulang nama itu, "Aku yakin dan percaya kau pasti belum pernah mendengar nama orang ini."

Siau-hong memang belum pernah mendengar nama itu. "Dia bukan bangsa Han?" "Bukan," Pancapanah menggeleng "Dia orang Persia, tapi selama ini tinggal di sebuah negeri yang disebut Inggris."

"Inggris?" selama hidup belum pernah Siau-hong mendengar nama negeri pulau itu, "Berada di manakah negeri Inggris itu?"

"Di ujung langit, sudut samudra, sebuah tempat yang belum pernah kita singgahi."

"Mengapa patung-patung lilin hasil karyanya bisa sampai di sini?"

"Karena orang yang disebut Longhud Leadkin sekarang telah berada di sini," Pancapanah menerangkan.

"Bagaimana mungkin dia bisa sampai di sini?"

"Karena ada yang mengundang kedatangannya, dia adalah seorang tokoh aneh, di kolong langit belum pernah ada manusia kedua yang dapat menandingi kesempurnaan hasil karyanya, tapi dia pun butuh penghasilan untuk menunjang hidupnya, asal ada orang berani membayar mahal, tempat mana pun akan dia kunjungi."

"Siapa yang mengundang kedatangannya?"

"Rasanya di kolong langit dewasa ini hanya satu orang yang bisa mengundang kehadirannya," kata Pancapanah, "Seharusnya kau bisa menebak sendiri, siapa orang yang kumaksud."

Siau-hong telah menduga siapakah orang itu.

Di kolong langit dewasa ini, hanya satu orang yang sanggup mengeluarkan biaya besar, dan hanya satu orang yang bisa melakukan perbuatan semacam ini.

"Kau maksudkan Lu-sam?" "Kecuali dia, siapa lagi?"

"Mengapa Lu-sam secara khusus mengundang kehadiran Longhud Leadkin kemari?" kembali Siau-hong bertanya, "Apakah hanya dikarenakan ingin membuat beberapa buah patung lilin?"

"Benar."

"Mengapa Lu-sam harus berbuat begitu?"

"Karena berbagai alasan," ujar Pancapanah, "Tapi tujuannya yang paling utama adalah dia ingin menggunakan patung-patung lilin itu untuk membunuh orang."

"Membunuh siapa?"

Padahal pertanyaan itu tidak seharusnya ditanyakan dan tak perlu ditanyakan, tapi Pancapanah tetap menjawabnya. "Bunuh kau, bunuh aku, bunuh Po Eng!"

Beberapa buah patung lilin yang tak bernyawa, tak  punya darah daging, bahkan bergerak pun tak sanggup, mana mungkin bisa membunuh orang?

Pancapanah segera menjelaskan, "Patung lilin itu kosong semua, di dalam setiap patung bersembunyi satu orang, di antaranya ada jagoan menggunakan racun, ada pula jagoan senjata rahasia."

Racun yang mereka pergunakan tentu saja racun ganas yang tak berwarna, tak berbau, agar siapa pun tidak menyadarinya.

Senjata rahasia yang mereka pergunakan pun merupakan senjata rahasia yang dibidikkan dengan tabung jarum berpegas tinggi, agar orang lain tidak melihat datangnya ancaman.

Dalam hal ini, Siau-hong telah menduganya. "Oleh karena itu siapa pun yang berani memasuki pintu gerbang Eng-ki, mereka bakal mati secara mendadak."

"Benar, siapa pun yang berani memasuki pintu gerbang Eng-ki, mereka pasti akan tewas secara mengenaskan."

Setelah berhenti sejenak, kembali terusnya, "Bila korban yang berjatuhan semakin banyak, tentu saja kami pun akan mendapat kabar, peduli berada di mana pun, kami pasti akan mendengar berita ini."

Sambil manggut-manggut Siau-hong berkata pula, "Bila kita mengetahui berita ini, tentu saja tak akan tahan untuk tidak datang melihat."

"Jika kita belum mengetahui rahasia patung-patung lilin itu, begitu masuk ke dalam gedung, nyawa kita pasti akan melayang."

Siau-hong harus mengakui kebenaran hal ini, dia sendiri nyaris sudah pernah mati satu kali.

"Untung kau dapat mengetahui rahasia itu."

"Benar, aku telah mengetahui rahasia itu," Pancapanah membenarkan, "Oleh karena itu aku belum mati, kau pun belum mati."

Siau-hong menghembuskan napas panjang, tak tahan kembali tanyanya, "Masih ada satu hal yang tidak kupahami."

"Soal apa?"

"Sepasang mata itu," Siau-hong teringat kembali dengan ular berbisa itu, "Aku tak lebih hanya memandangnya sekejap, mengapa tubuhku seolah sudah keracunan?"

"Oh, jadi masalah itu yang tidak kau pahami?" "Ya, aku tidak mengerti." "Padahal persoalan itu bukan sesuatu yang sulit dijelaskan," tiba-tiba Pancapanah balik bertanya kepada Siau-hong, "Kau pernah bertemu dengan orang yang terkena penyakit mata?"

"Pernah."

"Pernah kau perhatikan mata mereka?”

“Terkadang aku pernah memandangnya beberapa kejap.”

“Bagaimana perasaanmu setelah melihatnya?”

“Aku akan merasakan mataku ikut tak nyaman, seperti ada ganjalan."

"Bila kau memandangnya lebih lama, bisa jadi dirimu pun akan ikut terjangkit penyakit mata yang sama," kata Pancapanah, "Bila kau pikirkan lebih seksama, pasti akan kau menjumpai pengalaman semacam itu."

Siau-hong memang pernah mengalami hal seperti ini. "Tapi aku tak habis mengerti, mengapa bisa begitu?”

“Ini dikarenakan kau telah keracunan."

"Keracunan?" gumam Siau-hong keheranan, "Dari mana bisa keracunan?"

"Karena di dalam mata orang itu terdapat sejenis racun yang bisa ditularkan kepada orang lain, paling tidak terdapat dua tiga macam penyakit mata yang memiliki daya tular sangat tinggi."

"Tapi aku tak lebih hanya memandangnya dua kejap." "Memandang dua kejap sudah lebih dari cukup." "Kenapa?"

Ooo)d*w(ooO 
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar