BAB 28. ADU KECERDASAN
Tidak gampang membuat Liok Siau-hong menaruh hormat di samping merasa segan, ada banyak orang menganggap ilmu pedang yang dimiliki Sebun Jui-soat telah melampaui kemampuan Tionggoan It-tiam-ang, bahkan telah mencapai puncak kesempurnaan di mana "tiada aku, tiada kau, tiada perasaan, tiada pedang".
Hanya orang yang telah mencapai tingkatan itu baru bisa mengendalikan tenaga pada pedang sedemikian tepat dan sempurna.
Tapi tidak banyak orang yang dapat mencapai tingkatan seperti ini, biasanya setelah tercapai tingkat kesempurnaan semacam ini, orang itu akan semakin tak sembarangan membunuh orang.
Bila kau tak pantas membuatnya mencabut pedang, biar kau berlutut memohon kepadanya, jangan harap dia sudi melukai seujung rambutmu.
Lalu siapakah pembunuh sepasang suami-istri itu?
Tentu seorang yang ilmu pedangnya telah mencapai puncak kesempurnaan, mengapa pula harus turun tangan menghabisi nyawa suami-istri yang begitu bersahaja?
Tak ada yang melihat apa penyebab kematian suami-istri itu, juga tak ada yang tahu siapakah mereka, terlebih tak ada yang mengerti betapa menakutkannya tusukan pedang yang sangat mematikan itu.
Tak heran banyak orang bertanya kepada Siau-hong. "Siapakah mereka? Siapa kau? Apakah kau kenal dengan
mereka?"
Sebenarnya Siau-hong pun mempunyai banyak masalah yang ingin ditanyakan kepada orang-orang itu, tapi dia tak bertanya, sebab secara tiba-tiba satu kejadian aneh kembali ditemukan, tiba-tiba ia merasa seakan pernah kenal dengan perempuan yang duduk di atas kereta beroda tunggal sambil menggendong bocah perempuan itu.
Dua orang yang sama-sama tak berakar, di saat baru mendusin dari mabuk arak, di saat kehilangan dan kesepian, di saat ingin mencari orang untuk diajak berkeluh- kesah, pertemuan yang tak disengaja harus diakhiri dengan satu perpisahan.
Setelah lewat lama kemudian, dalam satu kesempatan mereka bertemu lagi tanpa sengaja, kedua belah pihak sama-sama merasa seakan pernah kenal, mungkin hanya sekilas pandang, mungkin hanya saling melempar senyuman dan kemudian berpisah kembali, karena mereka lebih suka memendam sekelumit perasaan itu di dalam hati.
Sedikit perasaan yang tawar, sedikit kesedihan yang tawar, begitu indah, begitu mengagumkan.
Tapi sekarang, Siau-hong sama sekali tak memiliki perasaan itu, bukan disebabkan perempuan yang serasa pernah dikenal itu telah meninggal, melainkan karena di antara mereka berdua pada hakikatnya tidak memiliki sekelumit perasaan semacam itu.
Dia sama sekali sudah tak teringat lagi di mana dan kapan pernah bersua dengan perempuan itu, seperti dia pun tak teringat lagi siapakah gadis penunggang keledai yang berpapasan muka dengannya tadi.
Namun di saat dia siap untuk tidak memikirkannya lagi, tiba-tiba dia pun teringat akan sesuatu.
Karena secara tiba-tiba dia menyaksikan kaki milik perempuan itu. Dalam hubungan antara lelaki dan wanita, "kaki" tak bisa dianggap sebagai satu hal yang penting namun ada banyak lelaki yang senang mengawasi kaki milik wanita.
Padahal Siau-hong sama sekali tidak memperhatikan kaki milik perempuan itu, dia sedang mengawasi sepatu yang dikenakannya.
Gaun yang dikenakan wanita itu sangat sederhana dan biasa, gaun yang terbuat dari kain satin tipis, gaun panjangnya yang berwarna hijau tepat menutupi bagian kakinya..
Kini perempuan itu sudah terkapar di tanah, karena itulah kakinya baru terlihat jelas.
Ternyata dia mengenakan sepasang sepatu laras kecil dan mungil, asal orang persilatan yang berpengalaman, segera akan diketahui kalau di balik sepatu laras itu terdapat lapisan baja berbentuk segi tiga yang disembunyikan di ujung sepatu larasnya itu.
Sepatu laras semacam ini biasanya disebut laras pedang, seperti anak panah yang disembunyikan di balik baju, sepatu laras semacam ini pun termasuk senjata yang sangat mematikan.
Perempuan yang mengenakan sepatu semacam ini biasanya pernah berlatih ilmu tendangan Lian-hoan-wan- yan-tui atau ilmu sebangsanya.
Tiba-tiba Siau-hong teringat kalau perempuan ini tak lain adalah si nona berkepang yang tempo hari menendang hancur tenggorokan si pelayan muda dari warung penjual kue.
Walaupun hari ini rambutnya tidak dikepang sedang dandanan maupun caranya berpakaian pun tampak lebih dewasa dan sopan. Siau-hong yakin apa yang dilihatnya tak bakal salah.
Oleh karena itu suami-istri ini sudah pasti bukan datang dari wilayah Kang-lam, mereka adalah jago yang dikirim Pancapanah.
Tentu saja mereka pun bukan suami-istri sungguhan, mereka hanya ingin menggunakan cara itu untuk merahasiakan identitas serta aksinya.
Sepasang suami-istri dari desa asing, dengan membawa bocah yang masih kecil melakukan perjalanan, harus diakui penyamaran semacam ini merupakan cara yang paling baik.
Biasanya tugas yang harus dilakukan orang-orang semacam ini adalah melakukan pembunuhan gelap.
Beberapa hal ini tak perlu diragukan lagi kebenarannya, hanya persoalannya sekarang adalah siapa yang hendak mereka bunuh?
Jika sasaran yang hendak dibunuh adalah Siau-hong, mengapa tadi mereka tidak turun tangan?
Sudah jelas tadi mereka telah memperoleh kesempatan yang sangat baik, bagi pembunuh berpengalaman yang pernah dilatih secara ketat dan keras, semestinya mereka tahu kesempatan emas segera akan lewat bila tidak dimanfaatkan.
Jawaban terbaik untuk pertanyaan ini adalah sasaran yang hendak mereka bunuh bukan Siau-hong, sudah pasti bukan Siau-hong, karena walaupun Pancapanah bukan sahabat Siau-hong dia pun bukan musuh besar Siau-hong, tak punya ikatan dendam atau sakit hati apa pun dengan pemuda itu.
Lalu siapa yang hendak mereka bunuh? Siapa pula yang telah membunuh mereka? Mereka adalah pembunuh terlatih yang dididik Pancapanah secara rahasia, bila tidak terpaksa, Pancapanah tak nanti mengutus mereka melakukan pembunuhan.
Oleh sebab itu tugas yang mereka emban kali ini pasti sangat rahasia dan amat mendesak, tak disangkal sasaran yang hendak mereka bunuh pastilah seseorang yang sangat berbahaya bagi posisi Pancapanah dan harus dimusnahkan secepatnya.
Biarpun teman Pancapanah tidak terlalu banyak, musuh yang dimiliki pun tak banyak, tapi mengapa di kota kecil yang meski makmur dan ramai tapi terletak di pinggir perbatasan ini dia tak segan mengorbankan banyak tenaga, pikiran, dan biaya untuk membunuh seseorang? Siapakah orang itu?
Pertanyaan yang lebih penting lagi adalah mengapa di dalam kota kecil yang meski ramai tapi sangat terpencil ini bisa muncul seorang jago pedang yang sanggup menghabisi nyawa pembunuh yang telah dilatih Pancapanah selama banyak tahun hanya dalam sekali tusukan?
Ooo)d*w(ooO
Malam sangat gelap, pejalan kaki sudah makin jarang, lentera yang redup menyinari kegelapan.
Di bawah lentera terdapat arak, arak panas, arak yang belum diteguk, Siau-hong duduk di tepi lentera.
Masih banyak persoalan yang harus dipikirkan, masih banyak masalah yang wajib dia pertimbangkan, tapi dia tidak memikirkannya.
Yang ia pikirkan sekarang adalah sebuah persoalan yang sama sekali tak ada hubungannya dengan persoalan ini, seseorang yang sama sekali tak ada sangkut-pautnya dengan masalah ini.
Yang dia pikirkan sekarang adalah gadis berusia enam- tujuh belas tahunan, berpakaian ketat berwarna hijau yang menunggang keledai seorang diri.
Si nona yang seakan pernah dikenal, seolah pernah dijumpai sebelumnya.
Dia yakin dan percaya bahwa apa yang diduganya tak bakal salah.
Gadis itu belum pernah berhubungan dengannya, sama sekali tak ada ikatan perasaan atau cinta lama dengannya, tapi apa mau dikata dia justru memikirkan nona itu.
Walaupun dia ingin sekali memikirkan persoalan yang lebih berharga, tapi pikirannya selalu kembali pada bayangan si nona yang duduk di atas pelana keledai sambil mengulumkan senyum tak senyum itu.
Mengapa begitu?
Sebetulnya dia sedang tertawa atau tidak? Kalau tertawa, mengapa pula harus tertawa? Seorang gadis muda yang sama sekali tak dikenal, mengapa harus melempar senyuman untuk seorang pria asing? Kalau tidak tertawa, mengapa seorang gadis muda mengulum senyum tak senyum terhadap seorang lelaki asing?
Bila mereka benar-benar saling mengenal, mengapa setelah tertawa ia tidak tertawa lagi? Setelah tidak tertawa kemudian tertawa?
Malam yang dingin telah mencapai ujung, lentera yang redup hampir padam, para pelancong yang tertidur pulas sudah saatnya bangun, mereka yang belum tidur pun seharusnya sudah mulai naik ke atas pembaringan. Siau-hong sudah merasa amat letih.
"Plok!", suara yang sangat perlahan, perlahan sekali, bunga cahaya memudar dan lentera pun padam.
Lentera minyak belum lagi disulut, langit pun belum terang tanah, ruang losmen yang dingin, sepi dan menyendiri, tiba-tiba berubah semakin dingin, semakin gelap.
Siau-hong berbaring di tengah kegelapan, berbaring di atas pembaringan yang dingin dan kaku... tiba-tiba ia menangkap suara yang perlahan, perlahan sekali, sedemikian perlahan seperti suara lentera sewaktu padam tadi.
Dia tidak mendengar suara lain, bahkan tidak menyaksikan apa-apa, tapi setiap bagian tubuhnya yang punya perasaan, setiap otot yang bisa merasakan, setiap syaraf yang bisa merasakan, tiba-tiba mengejang kencang.
Karena secara tiba-tiba ia merasakan hawa pembunuhan yang sangat tebal dan kuat.
Hawa pembunuhan itu tak bisa ditangkap, tak bisa diraba, tak bisa didengar, tak bisa pula dilihat. Hanya manusia yang sudah sering membunuh, hanya senjata yang sering digunakan untuk membunuh, baru dapat memancarkan hawa pembunuhan semacam ini.
Hanya manusia yang sering membunuh dengan membawa senjata yang sering dipakai untuk membunuh baru memiliki hawa pembunuhan yang begitu tebal dan kuat.
Hanya manusia macam Siau-hong pula yang dapat merasakan hawa pembunuhan semacam ini. Meski seluruh otot dan syaraf tubuhnya telah mengejang, namun dengan satu gerakan cepat dan cekatan dia telah melompat bangun dari atas pembaringan yang dingin dan kaku.
Pada saat tubuhnya melejit dari atas pembaringan bagaikan ikan Lehi meletik di tengah arus sungai Hongho, dia baru menyaksikan sekilas cahaya pedang yang seharusnya ditusukkan ke atas ranjangnya.
Seandainya dia bukan Siau-hong, seandainya dia tidak memiliki pengalaman yang menakutkan dan berharga, seandainya dia tidak merasakan hawa pembunuhan yang amat tebal itu....
Maka nasibnya saat ini pasti sangat tragis, dia pasti akan mengalami nasib seperti suami-istri muda yang mati terbunuh di pinggir jalan dan sekarang dia pun sudah mati terbunuh di atas ranjangnya.
Cahaya pedang berkelebat, suara pedang pun bergema....
Pedang tak bersuara, suara pedang yang terdengar Siau- hong adalah suara ujung pedang yang menembus dasar pembaringan.
Ketika ia mendengar suara itu, ujung pedang telah menembus papan kayu. Tempat di mana ujung pedang itu menghujam tak lain adalah letak jantungnya sewaktu berbaring, tapi kini ujung pedang itu hanya menembusi sebuah papan kayu yang tebal.
Terlepas pedang macam apakah itu, yang pasti pedang itu berada dalam genggaman seseorang.
Terlepas manusia macam apakah orang itu, yang pasti orang itu berada di tepi pembaringan.
Karena tubuh Siau-hong sedang meletik bagaikan seekor ikan Lehi, seluruh bagian tubuhnya saat itu sedang diliputi tenaga yang luar biasa. Mendadak ia melejit balik kemudian menerjang ke bawah, menerkam ke tempat yang menurut perkiraannya dipakai untuk persembunyian sang pembunuh.
Ternyata perhitungannya tak meleset, dia berhasil menangkap seseorang.
Oleh karena ujung pedang masih menancap di atas papan, gagang pedang masih berada dalam tangan orang itu.
Maka Siau-hong pun berhasil menangkap orang itu.
Terkaman Siau-hong yang keras membuat orang itu roboh ke lantai, sementara Siau-hong yang masih mencengkeram tubuhnya ikut pula roboh ke bawah.
Mereka berdua sama-sama roboh ke lantai, sama-sama terjungkal ke bawah, namun apa yang dirasakan kedua orang itu sama sekali berbeda.
Mengapa begitu?
Orang yang diterkam Siau-hong itu semula mengira tusukan pedangnya pasti akan berhasil menghabisi nyawa lawan, siapa tahu bukan saja bokongannya gagal, bahkan berhasil dirobohkan lawan, bisa dipastikan selain terkejut bercampur ngeri, dia pun merasa sangat kecewa.
Siau-hong jauh lebih terperanjat, karena secara tiba-tiba ia menjumpai bahwa orang yang berhasil dirobohkan dan dipeluk erat-erat itu ternyata adalah seorang wanita.
Seorang perempuan yang sangat harum, lembut, dan mungil.
Ia tak dapat melihat perempuan itu, tak dapat melihat pakaian apa yang dikenakan perempuan itu, tak dapat melihat bagaimana wajah perempuan itu, tapi ia dapat menyaksikan sepasang matanya. Sepasang mata yang indah dan bercahaya.
Sepasang mata yang seolah pernah dilihat sebelumnya.
Mereka berdua sama-sama punya mata, mata mereka berdua sama-sama melotot besar. Siau-hong yakin pernah bertemu dengan perempuan itu, yakin pernah menyaksikan sepasang matanya, sayang ia tak ingat dimanakah mereka pernah bersua, tak teringat di tempat mana mereka pernah bertemu.
"Siapa kau?" Siau-hong menegur, "Mengapa ingin membunuhku?"
Tiba-tiba perempuan itu tertawa, tertawa yang sangat aneh, tertawa sangat manis dan menawan.
"Ternyata kau tak ingat siapakah aku?" perempuan itu tertawa cekikikan, "Kau memang bukan manusia, kau seorang telur busuk."
Di saat ia tertawa paling manis, di tangannya telah bertambah lagi dengan sebuah senjata mematikan yang diarahkan ke tenggorokan Siau-hong.
Setiap wanita tentu memiliki tangan.
Perempuan itu banyak jenisnya, tangan perempuan pun banyak jenisnya. Ada sementara wanita yang cerdas, justru memiliki sepasang tangan yang bodoh. Ada sementara wanita yang halus dan mungil, justru memiliki sepasang tangan yang kasar.
Perempuan ini bukan saja cantik bahkan amat bersih, pakaian yang dikenakan seolah baru saja diambil dari tukang jahit, rambutnya pun seolah baru saja disisir dan disanggul dengan rapi, bahkan dasar sol sepatu yang dikenakan tak nampak noda tanah atau lumpur. Anehnya, di balik kuku jari tangannya justru terdapat lumpur.
Di tangannya ia menggenggam seekor ulat kecil, seekor ulat kecil berwarna hitam. Dengan ujung jari tangannya yang runcing dia jepit ulat kecil itu dan ulat kecil tadi ditempelkan di atas tenggorokan Siau-hong.
"Tahukah kau benda apakah ini?" tanyanya kepada Siau- hong.
Pertanyaan ini sesungguhnya tak perlu dijawab Siau- hong, dia pun malas menjawabnya, jangankan orang dewasa, bocah berusia tiga tahun pun pasti tahu benda itu adalah seekor ulat kecil.
Terdengar perempuan itu kembali berkata, "Kalau kau anggap benda ini tak lebih hanya seekor ulat kecil, maka dugaanmu itu keliru besar."
"O, ya?" Siau-hong balik bertanya, "Apakah bukan seekor ulat kecil?"
Gadis pemegang ulat itu tertawa merdu, sahutnya, "Tentu saja seekor ulat, biar orang yang amat bodoh pun seharusnya dapat mengenali benda ini adalah seekor ulat kecil, cuma... ulat pun ada banyak jenisnya."
"Lalu ulatmu termasuk jenis yang mana?"
"Ulatku termasuk jenis yang bisa makan manusia," sahut gadis itu, "Asal kulepaskan tanganku, dia akan menerobos masuk ke dalam tenggorokanmu, menyusup ke dalam nadi darahmu, menyusup ke dalam tulang-belulangmu, kemudian akan mengisap semua cairan dalam otakmu, mengisap darahmu dan mengisap sel-sel tubuhmu."
Setelah tertawa cekikikan, kembali terusnya, "Manusia makan burung, burung makan ulat, kejadian semacam ini lumrah dan tak ada yang aneh, tapi terkadang ada juga ulat yang bisa makan manusia."
Siau-hong ikut tertawa, karena dia sudah teringat siapa gerangan gadis cilik ini.
Sewaktu berada di Lhasa, ketika berada dalam biara kuno yang penuh misteri, ketika berada di bawah cahaya lentera yang redup dan sejak lama sudah mempesona berapa banyak manusia, berada di depan altar batu hijau yang telah menghitam karena asap dupa para pesiarah, gadis inilah yang telah membawanya ke depan lukisan iblis wanita yang sedang mengisap otak manusia, dialah yang memaksanya angkat sumpah di hadapan lukisan itu.
Dia pula yang sewaktu di kota Lhasa membawanya mengunjungi rumah burung yang misterius, pergi menjumpai Tokko Ci.
Waktu itu dia tampil sebagai seorang bocah lelaki yang dekil penuh dengan lumpur.
Tapi sekarang dia adalah seorang gadis cantik yang bersih dan mempesona, kecuali ujung kuku tangannya berlepotan lumpur.
Sebetulnya kedua orang itu mustahil merupakan satu orang yang sama, tapi Siau-hong yakin kali ini dia tak bakal salah melihat.
"Aku mengenalimu," seninya kemudian, "Aku telah mengenali dirimu."
"Kau memang seharusnya telah mengenaliku," ternyata gadis cilik itu sama sekali tak berniat menyangkal, "Kalau kau tak mengenaliku, bukan saja kau adalah telur busuk, pada hakikatnya lebih mirip seekor babi, babi mampus." Gadis itu tertawa cekikikan, seakan seorang gadis cilik yang sedang bergurau dengan seorang bocah lelaki sahabat karibnya.
Tapi tatapan matanya sama sekali tak ada senyuman, sama sekali tidak menampilkan niatnya untuk bergurau.
"Tadi aku telah berkata, asal kulepaskan genggamanku maka ulat kecil ini segera akan mengisap cairan tubuhmu hingga kering." Lalu tanyanya kepada Siau-hong, "Percayakah kau dengan perkataanku ini?”
“Aku percaya."
"Kau ingin kulepaskan tanganku?” “Tidak!"
"Kalau begitu kau harus melepaskan aku terlebih dulu," dengan dagunya yang halus, gadis itu menggesek tangan Siau-hong yang sedang mencekik lehernya, "Mencekik cara begini membuat tubuhku sangat tak nyaman"
Siau-hong ikut tertawa, sebab bukan saja dia telah mengenali siapakah gadis kecil ini, bahkan ada banyak persoalan yang seharusnya tak dipahami, kini telah dipahami semua.
Gadis kecil itu berada di sekitar tempat ini, tak disangkal Tokko Ci pasti berada pula di sekitar tempat ini.
Tokko Ci adalah musuh besar Pancapanah, kemungkinan besar orang inilah yang dianggap Pancapanah sebagai musuhnya yang paling menakutkan.
Perempuan yang memakai sepatu berlapis pedang bisa jadi merupakan orang yang diutus Pancapanah untuk membunuh Tokko Ci. Bukan membunuhnya, tapi mencari info, karena bukan pekerjaan mudah bagi Pancapanah untuk mengutus orang yang bisa menyelidiki sepak-terjang Tokko Ci.
Sekalipun hanya bermaksud mencari info, tapi pada akhirnya tewas secara mengenaskan di ujung pedang gadis cilik ini.
Pedang pembunuh yang tajam meski sudah dirontokkan dari genggaman, namun ulat beracun yang sangat mematikan justru masih berada di tangannya.
Siau-hong masih tertawa, gadis kecil itu justru sudah tidak tertawa lagi, dengan sepasang matanya yang besar bulat diawasinya wajah pemuda itu tanpa berkedip, "Sudah jelas kau dengar semua perkataanku tadi?"
"Jelas sekali," jawab Siau-hong, "Aku telah mendengarnya dengan sangat jelas."
"Kau tak akan melepaskan aku?” “Tidak."
Mencorong sinar tajam dari balik mata gadis cilik itu, ditatapnya Siau-hong dengan gemas, lalu tanyanya jengkel, "Kau ingin mampus?”
“Tidak!"
"Mengapa kau tidak melepaskan aku?" desak si nona. "Karena tiga alasan," sahut Siau-hong, "Pertama, kau
datang untuk membunuhku, bila aku tak melepaskan dirimu, paling kita berdua mati bersama. Sebelum aku menemui ajalnya, tengkukmu pasti telah kuparahkan. Sebaliknya bila aku lepas tangan, kau pasti tak akan melepaskan aku, maka tengkukmu tak bakal patah sementara aku tetap harus mampus."
"Masuk akal." "Kedua," lanjut Siau-hong, "Rasanya kau sedang mengancamku, kebetulan aku adalah orang yang paling tak suka diancam.”
“Ketiga?"
"Tak ada ketiga," jawab Siau-hong "Peduli bicara dengan siapa pun, dua alasan itu sudah lebih dari cukup." Sekali lagi gadis cilik itu tertawa.
"Tak heran orang lain menyebutmu Siau-hong yang tak sayang nyawa," katanya sambil menatap pemuda itu, "Ternyata kau benar-benar tak sayang nyawa sendiri."
Sehabis mengucapkan perkataan itu, tiba-tiba dia melakukan satu tindakan yang sama sekali di luar dugaan siapa pun, mendadak ia menggencet ulat kecil itu hingga mati.
Biasanya orang yang bisa melakukan satu tindakan yang membuat orang lain tercengang dan sama sekali tak menyangka, tentu akan merasa bangga dan gembira atas ulahnya itu.
Tidak terkecuali gadis cilik itu.
Ia menatap wajah Siau-hong dan tertawa sangat riang. "Aku percaya kau pasti tak akan menyangka, mengapa
aku bukan saja tidak melepaskan ulat kecil itu di atas tenggorokanmu, sebaliknya malah menggencetnya sampai mati."
Siau-hong memang sama sekali tak menyangka.
Gadis itu tidak membiarkan Siau-hong harus memeras otak untuk mencari jawabannya, karena ia segera menjelaskan alasannya mengapa berbuat begini.
"Karena meski harus membunuhmu, aku akan membunuh dengan menggunakan pedangku, bukan menggunakan ulat kecil ini," lalu sambil membusungkan dada, terusnya dengan angkuh, "Aku adalah seorang jago pedang, bila jago pedang ingin membunuh, dia seharusnya menggunakan pedang miliknya."
Mau tak mau Siau-hong harus mengakui hal ini, dia pun mau tak mau harus mengakui bahwa gadis cilik itu sudah terhitung seorang jago pedang.
Siapa pun itu orangnya, asal dapat menggunakan ilmu pedang sehebat itu, membunuh orang tepat pada bagian yang mematikan, membunuh dalam waktu singkat, dia sudah terhitung seorang jago pedang, seorang jago pedang kelas wahid.
Tapi jago pedang kelas wahid ini tiba-tiba tertawa cekikikan, suara tertawanya terdengar masih kekanak- kanakan.
"Apalagi ulat kecil itu tak lebih hanya ulat biasa yang baru saja kutangkap dari atas tanah, bila kulepaskan di atas tenggorokanmu, paling kau hanya akan merasa sedikit geli, paling hanya merasa terperanjat saja, kaget sesaat."
Kali ini Siau-hong benar-benar tidak menyangka.
Diperbodoh orang lain jelas bukan suatu kejadian yang menggelikan, paling tidak ia sendiri tak akan merasa geli.
Kembali gadis cilik berkata, "Padahal aku pun tidak bersungguh hati ingin membunuhmu, aku tak lebih hanya ingin menjajal pedangku di atas tubuhmu, menjajal apakah aku mampu membunuhmu."
Siau-hong menatapnya dingin, lalu bertanya, "Dan sekarang kau telah menjajalnya?"
"Ehm."
"Kau sanggup membunuhku?” “Rasanya tak sanggup.”
“Bagaimana kalau aku yang mencoba?” “Mencoba apa?"
"Mencoba apakah aku mampu membunuhmu?”
“Tidak, tidak ingin!" teriak gadis kecil itu, "Aku sama sekali tak ingin!"
Kali ini Siau-hong tertawa.
Tapi di saat dia mulai tertawa itulah mendadak pemuda itu melakukan pula sebuah tindakan yang sama sekali di luar dugaan.
Tiba-tiba dia lepaskan tangannya yang masih mencekik tengkuk gadis itu, kemudian menabok pantatnya keras- keras.
Kontan saja gadis cilik itu menjerit, suara teriakannya jauh lebih keras dari semula, "Kenapa kau memukulku?"
"Kau hendak membunuhku, kenapa aku tak boleh menabok pantatmu?"
"Kenapa kau harus memukul bagian tubuhku yang di sana?"
"Kalau kau seorang gadis suci, tentu saja aku tak boleh menabok bagian tubuhmu itu. Kalau kau adalah seorang jago pedang, terlebih aku tak boleh menabokmu," kata Siau- hong, "Sayangnya, di dalam pandanganku kau tak lebih hanya seorang bocah cilik yang tubuhnya berlepotan lumpur dan suka bermain ulat kecil dengan hidung penuh ingus."
Kemudian sambil memukul pantatnya, sekali lagi dia berseru, "Sekarang pergilah!"
Kali ini gadis itu tidak tertawa lagi. Seorang gadis yang mulai dewasa, seorang jago pedang yang sanggup mencabut senjatanya membunuh orang, ternyata masih dianggap orang sebagai seorang bocah ingusan, semisal ada orang merasa geli akan kejadian ini pun, yang pasti gadis itu tak sanggup tertawa.
Namun dia pun tidak beranjak pergi.
Mendadak dia melompat bangun, melambung di udara, berjumpalitan berulang kali dan dalam waktu singkat ia telah mencabut pedangnya yang menancap di atas ranjang.
Sewaktu tubuhnya melayang turun ke lantai, pedang telah tergenggam di tangannya.
Setelah pedang berada dalam genggaman, senyuman yang tampil di wajah nona itu pun berubah.
Tiba-tiba Siau-hong teringat kembali kepada Po Eng, di tengah malam yang hening, di saat selesai meneguk arak, Po Eng pernah mengucapkan sesuatu perkataan yang sulit dimengerti olehnya saat itu.
"Pedang milik seorang jago pedang, terkadang mirip dengan uang. Dalam beberapa hal boleh dibilang nyaris sama."
"Seperti uang?" tanya Siau-hong tak mengerti, "Kenapa pedang bisa mirip uang?"
"Apakah seorang jago pedang memiliki pedang seperti seseorang memiliki uang dalam sakunya. Terkadang dapat merubah segala penampilannya," perkataan itu dirasakan Po Eng kurang gamblang, kurang jelas, karena itu dia menjelaskan lagi, "Bila seorang jago tak berpedang seperti seseorang tak beruang sebuah kantung beras yang tak berisi berat, untuk bangkit pun tak mampu." Siau-hong sangat memahami perkataan Po Eng itu, karenanya hingga sekarang dia tak pernah melupakannya.
Kini si nona cilik itu telah bangkit, tiba-tiba sikapnya berubah jadi sangat tenang, sangat mantap, dingin, dan tak berperasaan.
"Tadi kau memang mempunyai peluang untuk membunuhku, tapi sekarang keadaan telah berbeda," kata gadis itu, "Tadi aku gagal dalam serangan bukan dikarenakan ilmu pedangku tak mampu mengungguli dirimu, apakah sekarang kau masih ingin mencobanya?"
Pedang milik Siau-hong tidak tergembol di badan, masih berada di atas ranjang tapi sekali sambar ia dapat mengambil pedang miliknya itu. Sejak ia mendapatkan kembali pedang itu untuk terakhir kalinya, belum pernah dia taruh pedang itu di tempat yang tak terjangkau tangannya.
Dengan sorot mata tajam gadis kecil itu mengawasi tangannya.
"Akan kuberi kesempatan kepadamu untuk mencabut pedang," katanya.
Haruskah ia mencabut pedangnya? Atau jangan? Ingatan itu melintas dalam sekejap, ia harus mengambil keputusan secepatnya.
Dalam waktu relatif singkat, Siau-hong tidak bisa mengambil keputusan, dia teringat banyak persoalan yang sangat aneh. Ia sedang bertanya pada diri sendiri.
Jika dia adalah Po Eng, dalam situasi seperti ini akankah dia mencabut pedangnya?
Dia pun memberi jawaban untuk diri sendiri, tidak mungkin. Karena bocah perempuan ini masih belum bisa memaksa Po Eng mencabut pedangnya, dia belum pantas.
Siau-hong pun kembali bertanya pada diri sendiri, andaikata....
Pancapanah, dalam keadaan dan situasi seperti ini, mungkinkah dia mencabut pedangnya?
Dengan cepat jawaban yang ia berikan untuk diri sendiri adalah, tidak mungkin!
Sebab bila Pancapanah benar-benar berada di sini, sejak tadi bocah perempuan itu sudah menjadi orang mati, pada hakikatnya Pancapanah tidak perlu melolos pedangnya karena gadis itu sudah menjadi orang mati.
Ketika Pancapanah hendak membunuh orang, buat apa dia mesti mencabut pedangnya?
Siau-hong bukan Pancapanah, juga bukan Po Eng. Dia mencabut pedangnya, perlahan-lahan menggunakan tangannya untuk mencabut pedang.
Lawannya, dengan mimik wajah yang sangat aneh mengawasi dia melolos pedang Mo-gan, ternyata ia tidak melakukan penyerangan.
Bila sepasang pedang saling bentur, tentu akan muncul percikan bunga api.
Ketika dua orang yang hidupnya tergantung pada pedang saling berhadapan dengan pedang terhunus, suasana saat itu pasti dipenuhi hawa pedang dan hawa pembunuhan.
Namun di antara mereka berdua tak ada keadaan seperti itu, meski pedang berada dalam genggaman Siau-hong.
Biarpun di tangannya ada pedang, namun hatinya tak ada pedang begitu juga dengan sorot matanya. "Kau minta aku mencabut pedang kau ingin menggunakan pedang untuk mencobaku," tanyanya kemudian kepada nona itu, "Mengapa hingga sekarang kau belum turun tangan?"
Ooo)d*w(ooO