BAB 23. BUKAN KAU YANG KUCARI
Tiba-tiba suara nyanyian itu berhenti.
Penyanyi yang berada di sisi api unggun, dengan menggunakan suara yang sama pedihnya seperti ketika mendendangkan lagu tadi, berkata, "Bukan dia, tapi aku!"
Sang penyanyi berpaling, kilatan cahaya api menerangi wajahnya, dia memiliki mata yang tajam, wajah yang runcing, dan kerut muka yang dalam, membuktikan betapa sengsaranya ia memperjuangkan hidup selama ini.
Dengan tatapan mata penuh penderitaan dan kepedihan, ia berkata, "Dia yang sedang kalian cari, bukan aku." Hati Siau-hong serasa tenggelam. Nyanyian pedih yang sama, ternyata bukan berasal dari orang yang sama, bukan Po Eng, sama sekali bukan.
"Jadi kau tahu orang yang sedang kami cari adalah dia, bukan kau?" tanya Yang-kong dengan suara keras, "Dari mana kau bisa tahu?"
"Tentu saja aku tahu."
"Jadi kau pun tahu, siapakah dia?"
Penyanyi itu mengangguk pelan, lalu meneguk kering arak yang berada dalam kantung kulit kambingnya.
"Aku tahu," jawabnya, "Tentu saja aku tahu siapakah dia, justru dialah yang minta aku datang kemari."
Berkilat sorot mata Yang-kong, secercah harapan kembali muncul dalam hatinya.
"Apa yang dia minta kau lakukan?"
Penyanyi itu tidak menjawab pertanyaan itu, dari dalam sakunya ia mengeluarkan sebuah bungkusan kain kecil.
Kantung itu bersulamkan seekor burung elang, disulam dengan benang kuning emas di atas kain kantung berwarna biru.
Isi kantung itu hanya sebutir mutiara.
"Apakah kau masih ingat, benda apakah ini?" penyanyi itu balik bertanya kepada Yang-kong.
Tentu saja Yang-kong masih ingat.
Biarpun samudra mengering, batu cadas jadi lapuk, biar langit lenyap, bumi tenggelam, biar matahari dan rembulan tak bersinar lagi, dia tak bakal melupakan benda itu.
Dialah yang membuat kantung bersulam burung elang itu, inilah mas kawin yang diterimanya dari sewaktu bertunangan dengan Po Eng, mengapa saat ini bisa terjatuh ke tangan orang lain?
Penyanyi itu segera memberi penjelasan kepada Yang- kong.
"Dia yang serahkan benda ini kepadaku," katanya, "Menyerahkan secara langsung dari tangannya."
"Mengapa harus diserahkan kepadamu?"
"Karena dia minta aku mewakilinya mengembalikan benda itu kepadamu."
Nada ucapan sang penyanyi pun dicekam perasaan pedih, "Dia bilang, sepantasnya dia sendiri yang menyerahkan kembali benda itu kepadamu, tapi dia sudah tak ingin berjumpa lagi denganmu."
Perlahan-lahan Yang-kong menjulurkan tangannya, menyambut kantung dan mutiara itu.
Tangannya gemetar keras, gemetar luar biasa, begitu tergoncang hatinya sehingga memegang sebuah kantung yang kecil pun seolah tak mampu.
Kantung itu terjatuh ke tanah, mutiara itu pun ikut terjatuh ke bawah, jatuh ke dalam onggokan api unggun.
Sekilas jilatan api berwarna biru segera terpancar dari balik onggokan api unggun, kantung maupun mutiara itu seketika berubah jadi jilatan api yang membara.
Yang-kong telah roboh ke tanah.
Buru-buru Siau-hong merangkul tubuh gadis itu, kepada sang penyanyi hardiknya, "Dia bilang tak ingin bertemu lagi dengannya, benarkah dia yang mengatakan hal itu?"
"Dia masih menambahkan sepatah kata lagi." "Apa yang dia katakan?" desak Siau-hong. "Dia bilang, dia pun tak ingin bertemu lagi denganmu!"
Dengan nada dingin, kembali penyanyi itu melanjutkan, "Kau sudah bukan sahabatnya lagi, mulai detik ini antara dia dan kalian sudah tak terikat hubungan apa pun."
"Kenapa?" jerit Siau-hong.
"Seharusnya kau sendiri tahu, kenapa?" penyanyi itu tertawa dingin. "Bersediakah kau menjalin persahabatan dengan seseorang yang setiap hari tidur sambil merangkul binimu?"
Ucapan itu tajam bagaikan tusukan sebatang jarum, sebilah golok, sebuah cambuk, pukulan gada bergigi yang menghujam di atas tubuhmu.
Yang-kong segera melompat bangun.
"Aku tak percaya, sampai mati pun aku tak percaya dia akan mengucapkan perkataan semacam ini."
Dia melompat ke muka, mencengkeram kerah baju penyanyi itu, jeritnya keras, "Kau pasti telah membunuhnya, lalu menipu aku dengan menggunakan perkataan semacam itu."
Penyanyi itu mendengus, ditatapnya gadis itu dengan pandangan dingin.
"Mengapa aku harus membohongimu? Kalau bukan dia yang memberitahukan kepadaku, dari mana aku bisa tahu urusan tentang kalian berdua?"
Biarpun Yang-kong tak mampu membantah, namun dia pun enggan melepaskan orang itu begitu saja.
"Peduli apa pun yang telah terjadi, aku baru percaya bila dia mengatakan sendiri kepadaku, dia harus menyampaikan sendiri kepadaku." Suaranya telah berubah jadi serak, parau, "Kau pasti tahu di mana ia berada, kau harus beritahukan kepadaku."
"Baik, akan kuberitahukan kepadamu," jawab penyanyi itu.
Ternyata dia menyanggupi dengan cepat, sikap yang sama sekali di luar dugaan ini seketika membuat Siau-hong dan Yang-kong jadi terperangah, keheranan.
Tapi kemudian dia melanjutkan, "Walaupun aku tak bisa memberitahukan di mana ia berada, namun aku dapat memberitahukan satu hal kepadamu."
"Soal apa?"
Sorot mata penyanyi itu menatap jauh ke depan, sinar matanya membiaskan satu penampilan yang sukar dipahami orang lain.
"Tiga belas tahun berselang, aku seharusnya sudah mati, mati dalam kondisi yang sangat mengenaskan," katanya, "Aku tidak mati, karena Po Eng telah menyelamatkan diriku, bukan saja telah menyelamatkan jiwaku, dia pun menyelamatkan nama baikku."
Dalam pandangan sementara orang terkadang nama baik jauh lebih berharga, jauh lebih penting daripada nyawa.
Penyanyi misterius itu termasuk jenis manusia semacam ini.
"Oleh karena itu nyawaku sudah menjadi miliknya," penyanyi itu melanjutkan, "Oleh karena itu, setiap saat aku bisa mati demi dirinya."
Tiba-tiba ia tertawa, padahal saat seperti ini bukan saat yang tepat untuk tertawa, namun dia tertawa lebar.
"Sejak awal aku sudah tahu kalau kalian pasti akan memaksaku untuk menunjukkan tempat persembunyiannya, kecuali kalian berdua, tentu masih ada banyak orang yang bakal memaksaku, untung aku telah mempunyai cara yang tepat untuk menghindari paksaan kalian."
"Aku percaya perkataanmu, aku tak bakal memaksamu!" tiba-tiba Siau-hong berteriak.
Kembali penyanyi itu melempar sekulum senyuman ke arah Siau-hong, dan senyuman itu tetap tertinggal di wajahnya, tertinggal untuk selamanya.
Sebab wajahnya secara tiba-tiba berubah jadi kaku, setiap pori mukanya, setiap lapis kulit wajahnya, semua menjadi kaku.
Ternyata di balik sakunya ia menyembunyikan sebilah pisau, sebilah pisau pendek yang tipis dan amat tajam.
Pada saat dia mulai tertawa itulah, pisau tajam itu telah dihujamkan ke hulu hati sendiri!
Langit lambat-laun menjadi terang kembali, memandang tanah perbukitan di tengah remang-remangnya cuaca seperti memandang sebuah lukisan tinta yang tawar.
Siau-hong berdiri di puncak perbukitan, memandang tanah perbukitan di balik remangnya cuaca dengan termangu, parasnya tak jauh berbeda dengan warna tanah pegunungan.
Tio Kun yang mengundang mereka datang ke sana.
Kini jenazah penyanyi itu sudah dikebumikan, mulut luka di tubuh Yang-kong kembali merekah hingga mengucurkan darah segar, Soso berada dalam rumah menemaninya. Penyanyi tanpa nama, dikubur dalam sebuah kuburan tanpa batu nisan, walau begitu semua yang pernah dia lakukan, selamanya tak pernah akan terlupakan.
Setelah termenung lama sekali, akhirnya Tio Kun buka suara, "Aku tahu tentang manusia yang bernama Po Eng pernah bertemu denganya satu kali."
"O, ya?"
"Kalau hidup merana, mati memang jalan keluar terbaik. Bukan satu hal yang gampang untuk membuat seseorang rela dan iklhas mati demi orang lain," Tio Kun menghela napas panjang "Po Eng tak malu disebut seorang pendekar sejati!"
Kemudian ia berpaling dan menatap Siau-hong "Sayangnya, betapa pun luar biasa dan hebatnya seseorang, suatu saat dia tetap akan melakukan kesalahan."
"O, ya?"
"Aku tahu, kali ini dia pasti telah salah menuduhmu," kata Tio Kun lebih lanjut, "Dapat kulihat nona itu bukanlah nona semacam apa yang dia tuduhkan."
"Dia tidak salah, kaulah yang salah," sahut Siau-hong setelah termenung lama sekali.
"Aku yang salah?" Tio Kun balik bertanya, "Di mana letak kesalahanku?"
"Salah, karena pada hakikatnya kau tak pernah memahami dirinya," Siau-hong menghela napas sedih, "Memang jarang sekali manusia di dunia ini yang dapat memahaminya."
"Kau sepertinya sama sekali tidak membenci dia?" "Aku membencinya? Kenapa harus membencinya...' tanya Siau-hong, "Apakah kau sangka dia benar-benar sedang mencurigai aku?"
"Memangnya bukan?"
"Tentu saja bukan," Siau-hong menggeleng, "Dia berbuat begitu tak lain karena dia tak ingin menyusahkan kami lagi, maka ia sengaja melukai hati kami, mengatakan selamanya tak ingin bertemu lagi dengan kami berdua."
Ia memandang ke tempat jauh, pancaran rasa hormat terbesit di balik sorot matanya, "Dia berbuat begitu tak lain karena berharap kami bisa hidup bebas merdeka tanpa dibebani dirinya lagi."
Kembali Tio Kun termenung sampai lama sekali, kemudian baru menghela napas panjang.
"Ternyata kau memang sangat memahaminya, bila seseorang bisa mempunyai seorang sahabat karib macam begini, boleh dibilang biar mati pun akan mati meram."
Tiba-tiba ia menggenggam tangan Siau-hong dan berkata lagi, "Ada sementara persoalan, seharusnya aku tak ingin menyampaikan kepadamu, tapi sekarang mau tak mau harus kukatakan juga."
"Soal apa?" tanya Siau-hong.
"Sebuah rahasia, sebuah rahasia yang hingga sekarang tidak diketahui orang lain," jawab Tio Kun, "Kalau bukan lantaran persoalan ini, selamanya aku tak bakal memberitahukan kepadamu."
Sikap dan penampilannya berubah makin tulus dan bersungguh-sungguh, "Kujamin kau pasti akan sangat terperanjat setelah mendengarnya nanti." Tak disangkal rahasia itu tentulah sebuah rahasia yang sangat mengejutkan. Bila Siau-hong tahu rahasia itu mempunyai sangkut-paut yang begitu dekat dengan dirinya, bakal mendatangkan pengaruh yang begitu besar terhadapnya, sekalipun dia harus menggunakan ancaman pisau untuk memaksa Tio Kun bicara pun, pasti akan dia lakukan.
Sayang dia tak tahu.
Oleh karena itu tanyanya dengan nada hambar, "Apakah sekarang kau bersikeras hendak mengatakan? Apakah kau mau mendengarkan?”
“Benar."
"Kalau begitu katakanlah, aku akan mendengarkan."
Belum sempat ia mendengar rahasia itu, sebuah jeritan kaget telah berkumandang memecah keheningan, jeritan itu dipenuhi rasa kaget, takut dan ngeri.
Mungkin karena arak keras semacam "kapak", mungkin karena kebanyakan wanita penghuni perbukitan itu rata- rata sehat, kuat dan cantik, mungkin juga karena hidangan pedas selalu membangkitkan semangat hidup, atau mungkin juga karena saat ini musim dingin telah tiba.
Mungkin juga karena kebab-sebab lain yang tidak dipahami orang....
Kebanyakan penghuni dusun itu tidak terbiasa bangun pagi.
Oleh sebab itu meski langit saat itu sudah terang tanah, penghuni dusun masih terlelap dalam tidurnya yang nyenyak, suasana di setiap rumah penduduk tampak hening dan sepi, tak heran suara jeritan kaget itu terdengar sangat menusuk pendengaran. Siau-hong tidak mengenali suara jeritan itu, tapi Tio Kun segera mengenalinya.
"Soso!" ia segera menjerit kaget.
Seorang wanita cantik, seorang wanita langka semacam Soso, walau berada di mana pun, kapan pun, setiap saat kemungkinan besar akan menjumpai kekerasan yang tidak diinginkan.
Dengan sigap Tio Kun melompat bangun, menerjang turun dari atas bukit dengan kecepatan tinggi.
Siau-hong mengikut ketat di belakangnya.
Sekarang mereka sudah menjadi sahabat senasib sependeritaan, saat ini Yang-kong sedang berada bersama Soso.
Yang sama sekali di luar dugaan adalah ketika mereka tiba kembali dalam rumah batu, ternyata Yang-kong tidak berada bersama Soso.
Yang-kong telah hilang.
Soso sedang menangis, bersembunyi di sudut ruangan sambil menangis tersedu-sedu.
Pakaian yang dikenakan telah robek, payudaranya yang montok, pinggangnya yang ramping, pahanya yang putih mulus, hampir semuanya menonjol keluar dari balik pakaiannya yang compang-camping.
Begitu bertemu dengannya, pertanyaan pertama yang diajukan Tio Kun adalah, "Apa yang terjadi? Siapa yang telah menganiaya dirimu?"
Sedang Siau-hong segera berteriak, "Mana Yang-kong?" Kedua pertanyaan itu diajukan hampir bersamaan, namun Soso tidak menjawab. Sekujur tubuhnya masih gemetar keras, bergetar seperti daun yang dihembus angin dingin dan nyaris terlepas dari tangkainya.
Hingga Tio Kun membungkus tubuhnya dengan selimut dan meloloh setengah mangkuk arak "kapak" ke dalam mulutnya, gadis itu baru dapat buka suara.
Dia hanya mengucapkan beberapa kata singkat, kata- kata yang tak berbeda.
"Lima orang," bisiknya, "Lima orang." Siau-hong segera memahami maksudnya....
Ada lima orang telah muncul di sana dan melakukan suatu perbuatan yang menakutkan.
Manusia macam apakah kelima orang itu? Ke mana perginya Yang-kong?
Manusia macam apakah kelima orang itu, kini sudah tak penting lagi, sebab mereka telah pergi.
Yang paling penting kini adalah Yang-kong, apakah dia dibawa pergi orang-orang itu?"
Soso mengangguk, mengangguk dengan air mata bercucuran.
"Ke mana mereka telah pergi?"
Soso menggeleng sambil menangis, dia sendiri pun tak tahu ke mana orang-orang itu telah pergi.
"Kejar!" hardik Tio Kun dengan suara rendah.
Pengejaran tentu saja harus dilakukan, terlepas bagaimana pun pengejaran harus dilakukan, biar harus dikejar hingga ke dalam neraka atau harus menaiki bukit bergolok, kuali berminyak mendidih, pengejaran tetap akan dilakukan. Tapi ke manakah mereka harus mengejar?
"Mari kita melakukan pengejaran secara terpisah," ajak Tio Kun, "Kau mengejar ke timur, aku ke barat."
Sambil menyerahkan sebuah mercon api ke tangan Siau- hong, tambahnya, "Siapa yang menemukan lebih dulu, lepaskan mercon ini sebagai tanda."
Cara semacam ini tidak terhitung sebuah cara bagus, tapi hanya cara itulah yang bisa mereka lakukan sekarang.
Tak ada jejak, tak ada petunjuk, tak ada saksi mata.
Lambat-laun langit telah menjadi gelap, di tengah kegelapan yang mulai menyelimuti angkasa, tak terlihat ada percikan bunga salju, bahkan kabar berita tentang Tio Kun pun tak ada.
Siau-hong tidak pergi mencari Yang-kong, dia pun tak berhasil menemukan kelima orang itu.
Sudah seharian penuh ia melakukan pencarian, hingga kini dia belum sempat makan, bahkan minum air setetes pun tidak.
Kini bibirnya telah mengering hingga nyaris merekah, sol sepatunya sudah berlubang karena benturan batu tajam, beberapa guratan darah pun sempat menghiasi betisnya.
Tapi dia tetap mencari....
Seperti Go Kong dari istana rembulan yang sedang menebang pohon Kwi, pohon Kwi yang tak mungkin bakal tertebang. Walaupun sudah tahu tak akan ditemukan, dia tetap mencari terus, mencari hingga titik kekuatan penghabisan.
Pohon yang tak mungkin tertebang orang yang tak mungkin ditemukan, di dunia ini memang terdapat banyak sekali kejadian semacam ini. Rumah-rumah dalam dusun sudah mulai menyalakan lentera.
Memandang dari tempat dimana Siau-hong berdiri saat ini, dengan mudah ia dapat menyaksikan rumah batu milik tukang kayu yang mereka tinggali semalam, dari balik daun jendela yang menghadap ke arahnya, kini sudah terpancar cahaya lentera.
Apakah Tio Kun telah balik ke sana, apakah dia berhasil menemukan sesuatu jejak?
Dengan menggunakan gerakan tercepat, Siau-hong menerjang turun, baru tiba belasan tombak dari rumah batu itu, dia sudah mendengar suara berkumandang dari balik ruangan.
Semacam suara yang selama hidup tak pernah akan kau lupakan setelah mendengarnya.
Semacam campuran suara tangis, tertawa, dengusan napas, rintihan kesakitan, suara yang dipenuhi gejolak emosi dan kemaksiatan.
Semacam suara yang membuat orang paling tenang pun, tak tahan akan bergelora aliran darah dalam tubuhnya.
Siau-hong menyerbu masuk, sekali tendang ia jebol pintu depan.
Dengan cepat hatinya merasa tenggelam, hawa amarah kontan memuncak hingga ke ubun-ubun, bangunan rumah batu itu kini telah berubah jadi neraka jahanam.
Soso sedang menderita, sedang tersiksa dalam neraka itu.
Seorang lelaki kekar seperti binatang liar sedang menindih di atas badannya, menunggangi tubuhnya, dan merenggang mulut perempuan itu sambil melolohkan sekantung arak ke dalam mulutnya. Cairan arak berwarna merah darah telah membasahi tubuh bugilnya yang putih mulus.
Baru saja lelaki kekar bagai hewan buas itu melihat kemunculan Siau-hong, pemuda itu telah merangsek maju dengan kecepatan tinggi, langsung membabatkan telapak tangannya menghantam tengkuk orang itu.
Inilah sebuah gempuran yang mematikan, dalam kondisi gusar Siau-hong telah mengerahkan segenap kekuatan yang dimilikinya.
Hingga tubuh lelaki kekar itu roboh terjungkal ke tanah bagaikan sebuah karung goni kosong, hawa amarahnya belum juga mereda.
Hingga dia tarik sepasang kaki lelaki kekar itu, melempar keluar sekuat tenaga, menutup pintu kuat-kuat, ia baru teringat sebenarnya harus mempertahankan nyawa orang itu.
Besar kemungkinan dia adalah salah satu di antara kelima orang itu, kemungkinan besar dialah satu-satunya jejak yang dapat ditelusuri.
Tapi kini jejak itu sudah putus bersamaan dengan patahnya tengkuk orang itu.
Penyebab terjadinya kesalahan ini teramat banyak, tak disangkal amarah yang tak terkendali merupakan penyebab yang paling utama.
Dan kini kesalahan telah terwujud, selamanya tak mungkin bisa dibatalkan lagi.
Jendela berada dalam keadaan terbuka, bau arak yang menusuk hidung menyelimuti seluruh ruangan.
Bukan arak pedas dari arak cap "kapak", bau arak yang tersebar dalam ruangan itu lebih mirip bau pupur dan gincu. Soso masih berbaring di atas pembaringan batu yang berlapiskan kulit binatang, ia berbaring dalam keadaan telanjang bulat.
Seluruh tulang tubuhnya seolah telah dilolos, biji matanya membalik ke atas, buih putih mengalir dari tepi bibirnya, setiap jengkal tubuhnya, setiap bagian otot badannya seolah mengejang dan gemetar tiada hentinya, setiap inci kulit tubuhnya yang putih dan mulus seolah merinding berdiri bulu kuduknya.
Dia bukan Yang-kong, bukan perempuan milik Siau- hong, juga bukan sahabat Siau-hong.
Tapi menyaksikan keadaannya, perasaan Siau-hong tetap merasa sakit bagaikan ditusuk-tusuk.
Dalam waktu sekejap... dia seolah lupa bahwa ia adalah seorang wanita, lupa kalau ia berbaring dalam keadaan bugil, tanpa secuil benang pun.
Dalam waktu sekejap... dalam pikiran Siau-hong, perempuan itu tak lebih hanya seorang yang patut dikasihani, seorang yang baru saja mengalami penderitaan dan siksaan hebat.
Ooo)d*w(ooO
Dalam rumah tersedia sebaskom air dan selembar handuk.
Siau-hong menggunakan handuk yang dibasahi air hangat untuk menyeka wajahnya yang kotor, bekas kerutan berwarna hitam yang menempel di wajah perempuan itu lambat-laun luntur sebelum akhirnya mengelupas, kini muncullah selembar wajah yang begitu mempesona, wajah seorang gadis yang membuat setiap lelaki akan tertarik dan berdebar hati bila melihatnya. Saat itulah gadis itu mulai bersuara, dari balik tenggorokannya tiba-tiba mengeluarkan suara rintihan yang aneh, rintihan yang cukup membetot sukma.
Tubuhnya yang bugil mulai bergerak, pinggangnya yang ramping mulai menggeliat, pahanya yang halus, putih dan mulus mulai bergeser, mulai direntangkan lebar-lebar.
Tidak banyak lelaki yang bisa tahan menghadapi gerakan eksotik semacam ini, untung Siau-hong adalah salah seorang di antara yang sedikit itu. Dia berusaha keras tidak memandang ke arahnya, berusaha tidak memandang ke arah bagian tubuh si nona yang paling menggairahkan napsu birahi itu.
Ia sudah bersiap mencari selembar kain untuk menutupi bagian tubuhnya yang paling merangsang....
Tapi sayang pada saat itulah tiba-tiba si nona menggerakkan tangannya, memeluk tubuh Siau-hong erat- erat.
Begitu kencang, begitu erat pelukan gadis itu, dia begitu kalap seperti seseorang yang hampir tenggelam dalam air dan berusaha sekuat tenaga meraih balok kayu yang mengapung.
Siau-hong tak tega menyingkirkan tangannya, dia merasa tak pantas mendorong tubuh gadis itu, menghindari pelukannya yang begitu kencang.
Tangan yang sudah mulai mendorong tubuh si nona, dengan cepat ditarik kembali.
Bila kau pun pernah mendorong tubuh seorang wanita dalam keadaan seperti ini, kau pasti akan mengerti kenapa dia segera menarik kembali tangannya. Karena ada banyak tempat di tubuh wanita yang tak boleh disentuh kaum pria, padahal berada dalam keadaan seperti ini, bagian yang bakal kau dorong pastilah bagian tubuh tertentu.
Sekujur badan gadis itu panas sekali, panas menyengat.
Detak jantungnya pun berdebar sangat cepat, cepat sekali.
Di balik dengusan napasnya, terendus bau arak yang mirip bau pupur, setiap hembusan napasnya hampir semuanya dihembuskan ke wajah Siau-hong.
Tiba-tiba anak muda itu mengerti, mengerti apa sebabnya binatang tadi meloloh gadis ini dengan arak semacam itu, rupanya arak perangsang, arak yang membangkitkan napsu birahi.
Sayang sekali di saat dia memahami hal itu, dia sendiri pun ikut terangsang, ikut terpengaruh oleh birahi.
Dari dalam tubuhnya secara tiba-tiba timbul perubahan yang tak mungkin bisa dikendalikan oleh siapa pun.
Kesadarannya telah hancur, pendiriannya telah musnah.
Gadis itu sudah menggeliat, sudah mulai melilit tubuhnya, menidih dan menerkamnya, membawa pemuda itu memasuki lembah dosa yang paling jahanam.
Arak pembangkit birahi telah mengobarkan napsu yang paling kuno, napsu yang paling susah dikendalikan dari tubuhnya, napsu birahi, napsu pengumbar syawat....
Sejak manusia muncul di dunia ini, mereka telah memiliki napsu birahi semacam ini.
Ada banyak alasan hingga terciptanya kesalahan. Dan tak disangkal napsu birahi merupakan salah satu alasan di antaranya. Kini kesalahan telah dilakukan, selama hidup kesalahan ini tak mungkin bisa dihapus lagi.
Seorang biasa, berada dalam situasi yang tak mungkin bisa dilawan, menciptakan sebuah kesalahan fatal.
Dapatkah "kesalahan" semacam ini dianggap sebagai sesuatu yang "bukan kesalahan", dapatkah kesalahan semacam ini dimaafkan?
Kesalahan telah tercipta, gejolak birahi telah mereda, napsu telah tersalurkan, malam yang panjang pun sudah mendekati ujungnya.
Saat-saat seperti ini merupakan saat penderitaan dan kegembiraan yang saling membaur, saling mengisi.
Saat itulah manusia memperoleh kembali kesadarannya, saat penyesalan mulai tumbuh, saat hati nurani mulai berbicara.
Dan pada detik itu juga Siau-hong telah mendusin, kesadarannya telah pulih seratus persen.
Lelehan lilin telah mengering, cahaya lentera telah padam, jendela yang terlapis kertas buram lambat-laun mulai memutih, putih pucat.
Perasaan Siau-hong pun pucat-pasi.
Tio Kun adalah seorang Hohan, bahkan sudah dianggapnya sebagai salah seorang sahabatnya.
Soso adalah perempuan milik Tio Kun, wanita yang membuat Tio Kun tak segan mengorbankan segalanya.
Tapi sekarang Soso berada di sampingnya, ia bahkan dapat merasakan dengus napasnya, detak jantungnya, kehangatan tubuhnya serta ketenangan yang dirasakan perempuan itu setelah mengalami gejolak napsu birahi yang membara. Sebuah ketenangan dan kegembiraan yang bisa membuat setiap lelaki tak segan mengorbankan segalanya demi memperoleh hal itu.
Kini Siau-hong hanya berharap dapat memusnahkan semuanya.
Sayang ia tidak mampu. Dosa dan kesalahan ini dia sendiri yang menciptakan, mustahil ia dapat menghindarkan diri, tak mungkin bisa ditampik.
Apa yang dia ciptakan, harus dia sendiri yang menanggungnya. Terlepas apa pun yang telah dia lakukan, segala akibat harus dia terima dengan tulus dan iklas.
Kertas jendela semakin memutih, suasana di sekeliling tempat itu masih hening, sepi, tak terdengar suara manusia.
Mengapa Tio Kun belum kembali?
Apa yang akan dia lakukan bila Tio Kun kembali nanti? Dua pertanyaan ini pun tak ada yang mampu menjawab.
Bila Tio Kun muncul nanti, haruskah dia merasakan kejadian ini ataukah dia harus mengakui secara terus terang?
Orang pintar pasti berkata, "Rahasiakan kejadian ini, bila dia tidak mengetahui kejadian ini, perasaan semua orang akan terasa jauh. lebih lega dan enak, ia masih tetap dapat hidup bersama Soso, mungkin kehidupan mereka di masa mendatang akan jauh lebih gembira dan bahagia."
Seandainya Siau-hong adalah seseorang pintar, dia pasti akan berkata begitu, tapi sayang dia tak pernah ingin menjadi orang pintar. Ada kalanya dia lebih suka berlagak sedikit bodoh, dia lebih suka dianggap orang bodoh daripada tampil sebagai orang kelewat pintar. Soso telah mendusin, saat ini sedang menatapnya, perasaan yang tampil dari balik matanya entah menunjukkan penderitaan atau penyesalan, kebingungan, atau bahkan perasaan minta maaf?
"Aku tak akan menyalahkan dirimu," tiba-tiba nona itu berkata, "Dialah yang memaksaku meneguk arak pembangkit napsu Siau-hun-yan-ci-ciu, dengan arak semacam ini entah sudah berapa banyak perempuan suci yang diperawani Lu-sam."
"Lu-sam?" tanya Siau-hong keheranan, "Jadi orang itu pun anak buah Lu-sam?"
Soso mengangguk, tangannya segera merogoh ke bawah bantal dan mengeluarkan sesuatu benda, benda itu digenggam erat-erat, sampai lama kemudian ia baru membuka telapak tangannya.
Ternyata benda yang berada dalam genggamannya adalah sebuah Tangan emas, sebuah tangan emas yang kecil sekali, jauh lebih mini daripada tangan emas yang pernah dilihat Siau-hong.
Tak disangkal, seluruh anak buah Lu-sam menggembol Tangan emas semacam ini, tingkat kedudukan mereka dibedakan dari besar kecilnya tangan emas, semakin kecil tangan emas yang dimiliki berarti posisinya semakin rendah.
Ini berarti lelaki bagaikan binatang buas itu tak lebih hanya seorang anak buah keroco Lu-sam.
"Apakah dia pun salah satu di antara kelima orang itu?" Siau-hong segera bertanya, "Apakah mereka yang melarikan Yang-kong?"
Sambil menghela napas, Soso mengangguk. "Akhirnya aku mengerti," katanya, "kenapa mereka melarikan dia dan bukan melarikan aku."
Sejenak kemudian ia menjelaskan pertanyaan sendiri, "Mungkin mereka telah menganggap dia sebagai aku, mungkin juga dialah yang sebenarnya sedang mereka cari. Pokoknya semua tingkah laku Lu-sam memang sukar diduga siapa pun."
Siau-hong terbungkam.
Tiba-tiba soso berganti topik, tanyanya kepada pemuda itu, "Sekarang, apakah kau hendak pergi?"
Siau-hong tidak menjawab, ia tetap terbungkam.
"Bila kau benar-benar ingin pergi, ingin pergi mencari Lu-sam, kau tak perlu menguatirkan keselamatanku."
Tawa Soso sangat dipaksakan, senyumannya membuat hati orang hancur-lebur.
"Antara kita berdua memang tak pernah terikat hubungan apa-apa, jadi bila ingin pergi, setiap saat kau dapat pergi dari sini."
Siau-hong memang betul=betul ingin pergi, tetapi bagaimana ia dapat meninggalkan gadis itu seorang diri? Meninggalkannya di tempat itu? Terlepas siapa benar siapa salah dalam peristiwa yang telah terjadi, terlepas bagaimanakah hubungan di antara mereka berdua selanjutnya, ia telah berubah menjadi salah satu bagian dari kehidupannya, ia sudah tak bisa menampik dan menghindar dari kenyataan ini.
Tiba-tiba Soso menghela napas, "Peduli kau dapat menemukan Lu-sam atau tidak, kau harus pergi dari sini, harus!"
"Kenapa?" "Sebab sekarang sudah banyak anak buah Lu-sam yang dapat mengenali diriku."
Karena obat penyaru muka di wajahnya telah luntur, telah mengelupas terkena arak, kini dia telah tampil dengan wajah aslinya.
"Oleh karena itu, kau harus meninggalkan aku," kata Soso, "Bagaimana pun aku tak ingin menyusahkan dirimu."
Berada dalam keadaan seperti ini, ternyata ia bukan risau tentang keselamatan diri sendiri.
Tiba-tiba Siau-hong merasakan hatinya sedikit masam, lewat lama kemudian ia baru buka suara.
"Mari kita pergi bersama," ajaknya, "Ajaklah aku mencari Lu-sam, kau pasti dapat menemukan dirinya."
"Sekalipun dapat ditemukan, apa pula yang dapat kulakukan?" Soso tertawa getir, "Mengantar kematian sendiri?"
Kemudian ia bertanya lagi, "Tahukah kau, Lu-sam memiliki berapa banyak anak buah jagoan?"
Siau-hong tahu. Tapi dia tidak takut mati, namun ia tak berhak memaksa Soso menemaninya mencari mati, siapa pun tak berhak mengendalikan mati-hidup seseorang.
Tiba-tiba Soso menarik tangannya, mendadak berseru, "Mari kita berangkat, sekarang juga berangkat."
"Berangkat?" Siau-hong tercengang, "Kita akan ke mana?"
"Terserah, ke mana pun juga!"
Kembali Soso dicekam gejolak emosi yang menggelora, "Kita pergi mencari suatu tempat di mana tak ada orang lain bisa menemukan, kita bersembunyi di sana, melupakan semua orang dan segala persoalan."
Siau-hong terbungkam.
Kembali Soso menghela napas, "Aku tahu, kau pasti ingin bertanya kepadaku, dapatkah aku melupakan Tio Kun."
Tiba-tiba ia balik bertanya kepada Siau-hong, "Kau anggap aku masih punya muka untuk bertemu lagi dengan Tio Kun?"
Ooo)d*w(ooO