Postingan

BAB 21. BERTEMU TANGAN EMAS LAGI

Siau-hong sama sekali tidak menyangka, sepasang suami-istri yang amat sederhana ini justru akan menjadi orang yang paling mempengaruhi perjalanan hidupnya serta Yang-kong, bahkan boleh dikata telah merubah seluruh perjalanan hidup mereka.

Tampak Hoapula sudah mulai kehabisan sabar.

Baginya, mau duduk di tempat seperti apa pun, duduk di atas pelana kuda jauh terasa lebih nyaman.

Namun ketika si Kantung tembakau selesai mewakilinya mengajukan beberapa pertanyaan sederhana kepada Siau- hong dan Yang-kong, kemudian minta mereka balik ke kamar, Hoapula justru berseru, "Tunggu sebentar!"

Tiba-tiba tanyanya kepada Siau-hong, "Pernah berlatih silat?" "Tidak," jawab Siau-hong segera, "Biarpun pernah berlatih selama beberapa hari, ilmu silat kucing kaki tiga semacam itu tidak terhitung ilmu silat."

"Apakah kau menggembol senjata?" kembali Hoapula bertanya. "

Tidak."

"Sebilah pisau pun tidak?” “Sama sekali tidak."

Sekali lagi Hoapula menatap Siau-hong, tiba-tiba dari balik matanya terpancar senyuman hangat yang aneh, mendadak dari sakunya dia meloloskan sebilah pisau belati.

"Lebih baik gembollah senjata ini dalam sakumu," ia serahkan pisau belati itu ke tangan Siau-hong, "Usia binimu tidak terhitung kelewat tua, padahal rombongan kita ini terdiri dari berbagai lapisan, jadi sepanjang jalan kau harus lebih berhati-hati!"

"Orang itu pasti bukan orang baik," begitu kembali ke kamar Yang-kong segera berbisik kepada Siau-hong, "Pasti bukan orang baik."

Siau-hong sendiri mau tak mau harus mengakui, sewaktu tertawa Hoapula memang menunjukkan gejala kurang beres.

Untung saja Yang-kong yang sekarang sudah bukan Yang-kong bersinar biru, malah istri Tio Kun tampak jauh lebih menarik ketimbang dirinya.

Sepasang suami-istri itu tinggal di kamar sebelah. Mereka berdiam di sebuah losmen yang kecil dan murah,

dalam  kamar  selain  terdapat  sebuah  tempat  tidur terbuat

dari bata serta sejumlah kutu busuk, benda apa pun nyaris tak ada. Dua puluh lima tahil perak termasuk juga tempat penginapan dan makan, tentu saja mereka tak bisa menuntut kelewat banyak.

Apalagi tempat tidur tanah masih terhitung cukup hangat, berada dalam keadaan seperti ini, bisa mendapat tempat tidur yang hangat sudah terhitung lumayan.

Mereka hanya berharap secepatnya dapat tertidur. Mereka tak sempat tidur.

Baru saja kedua orang itu akan terlelap, tiba-tiba dari kamar sebelah terdengar suara aneh.

Pada mulanya mereka masih belum dapat membedakan suara apakah itu.

Tapi suara itu makin lama semakin keras, bahkan berlangsung cukup lama, di antara dua kamar itu pun terpisah oleh selapis dinding tipis.

Seandainya mereka masih kanak-kanak, mungkin masih belum dapat mengenali suara apakah itu.

Sayang mereka sudah bukan kanak-kanak lagi.

Tiba-tiba Siau-hong merasakan sekujur badannya jadi panas.

Dia sama sekali tidak menyangka, perempuan yang begitu tahu aturan, begitu malu sewaktu melakukan pekerjaan begituan dengan suaminya, ternyata bisa mengeluarkan suara teriakan semacam ini.

Mungkin saja hal ini disebabkan penghidupan mereka di hari-hari biasa kelewat sederhana sehingga sewaktu tiba-tiba berganti suasana, ketika tiba di tempat yang asing, tindak- tanduk mereka jadi sedikit kelewat batas. Setiap orang pasti akan mengalami saat di mana dirinya tak sanggup mengendalikan diri, tapi ada sementara orang sekalipun berada dalam keadaan demikian, mereka tetap berusaha mengendalikan diri.

Siau-hong memejamkan mata, tubuhnya dari atas hingga ke bawah tak berani bergerak.

Dia berharap Yang-kong mengira dia sudah tertidur. Yang-kong pun tidak bergerak, apakah dia pun berharap

Siau-hong menyangka dia telah tertidur?

Fajar telah menyingsing, sinar matahari menyinari seluruh jagat.

Jauh sebelum terang tanah, Siau-hong sudah terbangun dari tidurnya, dia telah menggunakan segentong air dingin yang mulai membeku untuk mencuci muka dan membersihkan badan, kemudian dengan mengitari rumah penginapan itu berlari keliling sebanyak enam-tujuh belas lingkaran.

Ketika balik ke dalam kamar, Yang-kong telah selesai bebenah. Dia menatap Yang-kong sambil tertawa, Yang- kong pun menatapnya sambil tertawa, siapa pun tak tahu apakah semalam pihak lawan tertidur dengan nyenyak atau tidak.

Peduli malam itu mereka tertidur atau tersiksa, yang penting malam itu dapat mereka lewatkan dengan aman.

Sepasang suami-istri itu pulih kembali dengan gayanya yang jujur, polos dan tahu aturan, istrinya yang pemalu tetap menundukkan kepala, takut melihat orang.

Siau-hong serta Yang-kong tak berani memandang mereka, kuatir bila memandang kedua orang itu dan terbayang suara aneh yang mereka dengar semalam, bisa jadi mereka akan tertawa tergelak.

Apa mau dikata ternyata mereka berempat ditempatkan pada satu kereta keledai yang sama, kereta itu kecil dan sempit, mereka berempat boleh dibilang hidung berhadapan hidung, mata berhadapan mata, tak ingin melihat pun tak mungkin.

Ketika makan siang tengah hari itu, ternyata sepasang suami istri itu sempat membagikan sedikit rangsum mereka untuk Siau-hong dan Yang-kong, selain daging masak cabe, ternyata ada juga bubur bawang, masakan kegemaran orang Tibet.

Hidangan itu dibuat dari bawang liar yang tumbuh khusus di atas bukit Cu-mu-lang-ma, daunnya lebar dan bawangnya berwarna merah, bagi orang Tibet tumbuhan itu pada hakikatnya merupakan benda mustika, tak mungkin benda semacam itu dihidangkan untuk tamunya.

Tampaknya sepasang suami-istri ini khusus meminta maaf kepada mereka berdua karena tahu Siau-hong dan Yang-kong tak nyenyak tidurnya semalam.

Siau-hong hanya berharap sewaktu menginap malam nanti, mereka dapat tidur dengan nyenyak.

Sayang lagi-lagi Siau-hong kecewa berat.

Malam itu dia dan Yang-kong lagi-lagi diberi kamar bersebelahan dengan suami-istri itu, akibatnya mereka bertambah menderita.

Tampaknya kekuatan tubuh suami-istri itu jauh lebih kuat dan segar daripada penampilan mereka.

Seandainya Siau-hong dan Yang-kong adalah sepasang suami-istri, persoalan ini lebih gampang untuk diselesaikan. Sayangnya mereka bukan suami-istri sungguhan.

Mimpi pun mereka tak menyangka kalau persoalan ini merupakan masalah yang paling memusingkan sepanjang perjalanan, terlebih tak disangka adalah perempuan yang begitu polos, jujur, dan malu, begitu malam tiba ternyata berubah jadi makhluk yang mematikan.

Ketika tiba pada malam ketiga, tiba-tiba Siau-hong mengeluarkan tiga biji dadu dan berkata kepada Yang-kong, "Mari kita lempar dadu."

"Lempar dadu?" tanya Yang-kong, "Apa yang hendak kau pertaruhkan?"

"Siapa yang kalah, malam ini dia harus tidur dalam kereta di luar sana."

Tentu saja yang kalah adalah Siau-hong, dalam dadu itu dia telah melakukan kecurangan, karena dia lebih rela tidur dalam kereta.

Dan dia pun tertidur nyenyak.

Tapi sayang Yang-kong tetap tak dapat tidur.

Walaupun suara dari kamar sebelah untuk sementara menjadi tenang, ia justru terbayang banyak urusan, banyak urusan yang seharusnya tidak terbayangkan olehnya.

Pada saat itulah ia mendengar ada orang mendorong pintu.

Jantungnya kontan berdebar keras. Apakah Siau-hong telah kembali? Ternyata bukan.

Yang datang ternyata orang lain, ia tidak melihat jelas paras orang itu, tapi cukup melihat kakinya yang pendek, segera diketahui siapa yang telah datang. Sambil melompat bangun teriak Yang-kong, "Mau apa kau datang kemari?"

"Menemanimu," Hoapula menatap tajam gadis itu dan mulai mengulum senyuman cabul, "Aku tahu lakimu tak becus, jadi aku khusus datang untuk menemanimu."

Yang-kong menarik kencang selimutnya.

"Aku tak mau kau temani," gadis itu benar-benar tegang, "Kalau kau tidak segera pergi, aku akan berteriak."

"Berteriak? Memanggil siapa? Suamimu?" Hoapula tertawa menyengir, "Sekalipun dia diundang kemari pun, apa gunanya?"

Dia menggunakan sepasang tangannya yang kuat bagai baja untuk mengambil sebuah cawan teh, begitu diremas, cawan itu seketika hancur berkeping-keping.

"Memangnya suamimu memiliki kungfu seperti apa yang kumiliki?" tanya Hoapula sambil tertawa cabul.

Yang-kong hanya bisa menggeleng.

Sekarang mereka tak lebih hanya sepasang suami-istri yang sederhana, tentu saja mereka tak memiliki kungfu sehebat itu. Dia tak boleh membocorkan identitas.

Tapi selangkah demi selangkah Hoapula telah berjalan mendekat, dalam waktu singkat telah tiba di ujung pembaringan.

"Kalau kau berani teriak, aku akan segera menyumpal mulutmu. Bila suamimu berani kemari, aku akan menghajarnya hingga mampus."

Tampaknya dia sudah bertekad tak akan melepaskan gadis ini. Sekarang dia sudah bukan sinar matahari berwarna biru, sekarang dia tak lebih hanya seorang wanita yang hitam  dan jelek. Aneh, mengapa Hoapula justru kesemsem padanya?

Yang-kong merasa cemas, jengkel bercampur keheranan.

Saat itulah Hoapula telah menerkam ke depan, sepasang tangannya yang besar sudah siap melucuti pakaian yang dikenakan gadis itu.

Tapi ia gagal menangkap gadis itu, yang ditangkap hanya sebuah buntalan kain.

Rupanya Yang-kong telah berkelit ke sudut ranjang, lalu tangannya menyambar buntalan itu dan menimpuknya kuat-kuat.

Pakaiannya gagal dirobek, tapi buntalan itu segera tersambar hingga robek, semacam benda tiba-tiba keluar dari buntalan dan terjatuh ke lantai.

Tiba-tiba Hoapula menunjukkan mimik muka ketakutan, rasa takut, ngeri yang luar biasa, tanpa mengucapkan sepatah kata pun dia kabur meninggalkan ruangan.

Tindak-tanduknya begitu gugup, seakan-akan baru saja bertemu setan iblis, tanpa berpaling dia melarikan diri terbirit-birit.

Yang-kong merasakan jantungnya masih berdebar keras, tangan dan kakinya masih terasa dingin.

Mengapa secara tiba-tiba Hoapula melarikan diri? Apa yang telah dilihatnya?

Ia benar-benar tak habis mengerti.

Barang itu terjatuh dari dalam buntalan, padahal pagi ini dia sendiri yang membungkus buntalan itu, di sana tak mungkin terdapat benda yang bisa membuat orang begitu ketakutan hingga melarikan diri.

Kembali pintu didorong orang, kali ini yang masuk bukan orang lain, melainkan Siau-hong.

Dia pun tak bisa tidur terlalu nyenyak, siapa pun tak mungkin dapat tidur nyenyak di dalam kereta yang dingin, keras dan sumpek.

Apalagi selama ini dia mempunyai pendengaran yang sangat tajam.

Melihat kemunculan Siau-hong, Yang-kong menghembuskan napas lega.

"Coba kau lihat, apakah di bawah ranjang terdapat sesuatu benda?" tanyanya kepada Siau-hong.

Siau-hong cukup memandang sekejap, parasnya seketika berubah hebat.

Yang-kong semakin gelisah, semakin keheranan. "Apa yang telah kau lihat?"

Perlahan-lahan Siau-hong membungkukkan badan, dari bawah ranjang memungut sesuatu benda.

Ternyata yang diambil adalah sebuah tangan. Tangan emas!!

"Bukankah pagi tadi kau sendiri yang membungkus buntalan ini?" tanya Siau-hong kemudian.

"Benar."

"Apakah saat itu sudah ada Tangan emas dalam buntalanmu?”

“Tidak, sama sekali tak ada," jawaban Yang-kong amat tegas. "Apakah barusan kau menyaksikan sendiri benda itu terjatuh dari dalam buntalan?" "Aku melihat dengan sangat jelas."

"Lantas mengapa Tangan emas itu bisa muncul di dalam buntalanmu?"

"Aku sendiri pun tak tahu." Dia benar-benar tidak tahu. Tangan emas merupakan benda kepercayaan Hok-kui-

sin-sian Lu-sam untuk memberi komando kepada para jago, sebetulnya mustahil dapat ditemukan dalam buntalannya.

Tapi sekarang peristiwa yang tak mungkin justru telah terjadi.

Malam yang panjang belum juga lewat, tapi suasana di kamar sebelah telah lama menjadi tenang kembali.

Tiba-tiba Siau-hong bertanya lagi, "Hari ini siapa yang telah menyentuh buntalan itu?"

"Tidak ada," nada bicara Yang-kong sudah tidak seyakin tadi, "Rasanya tidak ada."

"Rasanya tidak ada atau sama sekali tak ada?"

Yang-kong mulai sangsi, pertanyaan ini sulit baginya untuk memberikan jawaban yang pasti, tapi seingatnya buntalan itu selalu berada dalam genggamannya, belum pernah lepas dari pandangan matanya.

Yang benar "nyaris", bukan "sama sekali"

Kembali Siau-hong bertanya, "Mungkinkah ada orang yang bisa mencari kesempatan untuk menyusupkan Tangan emas itu ke dalam buntalanmu?"

Kalau ingin mencuri buntalan itu dari sisi tubuhnya, jelas hal ini mustahil bisa terjadi, tapi untuk memasukkan benda ke dalam buntalan, jelas ini persoalan lain.

Yang-kong segera menjawab, "Ada!" Berkilat sepasang matanya. "Hanya ada seseorang.” “Siapa?"

Sambil menuding kamar sebelah, sahut Yang-kong, "Perempuan yang setiap malam ribut terus dan membuat kita tak bisa tidur nyenyak."

Siau-hong tidak bicara lagi.

Padahal sejak awal dia telah menduga ke situ. Mereka duduk dalam satu kereta dan sekarang boleh dibilang sudah menjadi sahabat.

Ketika berada dalam kereta, Tio Oh-si selalu duduk di samping Yang-kong, sedang Yang-kong pun selalu tak tahan untuk tertidur, jika Tio Oh-si menggunakan kesempatan itu untuk memasukkan sesuatu benda ke dalam buntalannya, jelas hal ini bukanlah sesuatu yang susah.

"Mungkin Pancapanah sama sekali tak berhasil membohongi Lu-sam, mungkin saja sepak terjang kita sudah ketahuan," kata Yang-kong, "Oleh sebab itu, sejak awal dia sudah mengutus orang untuk menguntit kita."

"Kau sangka sepasang suami-istri itu adalah orang yang dikirim Lu-sam?"

Yang-kong menggigit bibirnya.

"Sejak awal aku telah menaruh curiga terhadap mereka, seorang wanita saleh yang polos dan jujur, sudah jelas dia tahu kamar sebelah ada orang, kenapa tiap malam selalu berteriak macam setan menangis?"

Rasanya sepasang pipinya agak memerah, terusnya, "Mungkin dia memang sengaja mengacau agar kita tak dapat tidur nyenyak, agar siang hari kita tak punya semangat, karenanya dia baru mendapat kesempatan untuk turun tangan." Walaupun semua itu hanya dugaannya, namun dugaan semacam ini bukannya sama sekali tanpa alasan.

Satu-satunya kesimpulan yang bisa diambil adalah "Bila Lu-sam telah mengetahui gerak-gerik kita, mengapa dia tidak langsung menghabisi nyawa kita?"

"Karena dia masih ingin mencari tahu jejak Po Eng dari kita berdua, oleh sebab itu secara diam-diam dia mengutus orang untuk membuntuti, bahkan berusaha agar kita tidak mengetahuinya."

"Bila sepasang suami-istri itu benar-benar adalah jagoan yang secara diam-diam diutus Lu-sam untuk membuntuti kita, mengapa pula dia memasukkan Tangan emas itu ke dalam buntalan kita?" tanya Siau-hong, "Bukankah dengan berbuat begitu sama artinya mereka telah membocorkan identitas sendiri?"

Yang-kong tidak berbicara lagi.

Dalam hal ini dia sendiri pun tidak habis mengerti, di balik kejadian ini memang terdapat banyak sekali masalah yang bertolak belakang.

Suasana di kamar sebelah sebenarnya sudah cukup lama tenang, sekarang secara tiba-tiba muncul suara lagi.

Suara seorang lelaki yang terbatuk-batuk, lalu suara wanita menghela napas, suara orang turun dari ranjang, membuka pintu kamar dan suara seorang berjalan sambil menyeret sandal.

Tak disangkal di antara suami-istri itu ada seseorang telah turun dari ranjang, membuka pintu dan berjalan keluar.

Di tengah malam buta begini, mau apa keluar kamar? Siau-hong segera merendahkan suaranya, "Biar aku pergi memeriksa."

"Aku ikut," dengan cepat Yang-kong melompat turun dari atas pembaringan, "Kali ini kau tak boleh membiarkan aku tinggal seorang diri lagi dalam kamar."

Suara langkah kaki tadi tampaknya sedang menuju ke arah dapur, saat ini di dalam dapur seharusnya sudah tak ada orang.

Tapi dari bawah tungku terlihat ada lidah api, di atas tungku terlihat sekuali air.

Diam-diam Siau-hong dan Yang-kong menyelinap ke samping dapur, benar saja, mereka menjumpai di dalam dapur terdapat seseorang.

Seluruh cahaya lampu telah dipadamkan, losmen kecil dengan harga yang sangat miring ini pasti enggan berboros- boros, tak mungkin ada lampu minyak yang dipasang, apalagi petugas jaga malam yang meronda.

Untung saja di langit ada sinar bintang, dari bawah tungku pun ada cahaya api, mereka masih dapat mengenali orang itu adalah Tio Oh-si.

Waktu itu Tio Oh-si sedang menggayung air, mengambil air mendidih dari kuali besar dan segayung demi segayung dimasukkan ke dalam sebuah tahang kayu.

Tubuhnya walaupun sudah dibalut jubah luar suaminya, dia tampak seperti agak kedinginan, tampaknya selain  jubah luar itu, tubuhnya sama sekali tak berpakaian.

Tiba-tiba Siau-hong merasakan jantungnya berdebar keras, sebab dia telah membuktikan kebenaran akan hal ini.

Ternyata di balik jubah itu, dia benar-benar telanjang bulat, tak secuwil kain pun yang menutupi badannya. Baru saja dia mengambil segayung air, tiba-tiba karena kurang berhati-hati air itu tumpah dan segera membasahi jubahnya.

Cepat perempuan itu meletakkan kembali gayung kayu sambil menjinjing jubahnya yang basah, maka tubuh bugilnya seperti bayi yang baru lahir pun segera terpampang jelas di depan mata.

Tentu saja tubuhnya tidak mirip dengan bayi yang baru lahir, kulit tubuhnya putih mulus, pinggangnya ramping, sepasang kakinya putih, halus dan kuat. Siau-hong sudah seringkali melihat perempuan telanjang, tapi belum pernah menyaksikan tubuh telanjang yang begini indah, montok, dan menggiurkan.

Dalam waktu sekejap dia merasakan jantungnya nyaris melompat keluar dari rongga dadanya.

Untung saja pada waktu itu Tio Oh-si telah selesai mengambil air dan beranjak dari dapur sambil membawa satu tahang air.

Siau-hong dan Yang-kong yang bersembunyi di sudut ruangan pun menghembuskan napas lega.

"Sudah kau lihat?" tiba-tiba Yang-kong bertanya. "Melihat apa?" Siau-hong sengaja berlagak pilon. Tak tahan Yang-kong tertawa cekikikan.

"Kau seharusnya tahu apa yang telah kau lihat, bahkan melihat jauh lebih jelas daripada diriku."

Bila bertemu kejadian semacam ini, wajar bila mata lelaki selalu lebih tajam daripada mata wanita.

Terpaksa Siau-hong harus mengakuinya. Sambil tertawa kembali kata Yang-kong, "Tentunya kau pun telah melihat wajah dan tangannya?”

“Ehm!"

"Menurut kau, kulit wajah dan tangannya seperti apa?" "Seperti kulit jeruk," walaupun perumpamaan Siau-hong

tidak terlalu bagus, namun penilaiannya tidak terlalu beda jauh.

"Kalau kulit badannya?" kembali Yang-kong bertanya.

Dia tahu kemungkinan Siau-hong enggan menjawab pertanyaan ini, maka jawabnya sendiri, "Kulit badannya seperti sutera, seperti susu kambing, belum pernah kulihat kulit badan perempuan sebagus dan semulus dia."

Dalam hal ini mau tak mau Siau-hong harus mengakuinya. Tapi kulit badan seorang wanita seharusnya tidak terdapat perbedaan yang begitu besar dengan kulit wajahnya.

"Pernahkah kau melihat perempuan semulus ini?” “Tidak, kecuali. ”

Yang-kong segera mewakili Siau-hong untuk menjawab, "Kecuali dia pun seperti aku, menggunakan cairan Kong-im atau cairan sebangsanya untuk mengubah kulit wajah serta kulit tangannya!"

Tak disangkal lagi, inilah penjelasan yang paling masuk akal.

Sepasang suami istri ini telah menyamar, keikut sertaannya dalam rombongan saudagar ini tentu saja demi menguntit Siau-hong serta Yang-kong. Sekalipun di balik kejadian ini terdapat banyak hal yang sukar dijelaskan, paling tidak dalam hal itu sudah tak perlu diragukan lagi.

Kembali Yang-kong bertanya kepada Siau-hong, "Sekarang apa yang harus kita lakukan?"

"Aku sendiri pun tak tahu," jawab Siau-hong setelah termenung sesaat, "Tampaknya kita harus berlagak bodoh, hanya bisa menunggu."

"Menunggu apa?"

"Menunggu dan memperhatikan gerak-gerik mereka, menunggu sampai mereka tak sanggup menahan diri, menunggu kesempatan untuk turun tangan."

Tak dapat disangkal, memang inilah satu-satunya cara. Karena mereka tak bisa tidak harus tetap berangkat.

Kalau toh jejak mereka sudah ketahuan, mau pergi ke mana pun, hasilnya tetap sama saja.

Hanya sayang, menunggu adalah siksaan hidup yang paling menderita.

Hari kedua masih seperti hari-hari sebelumnya, matahari masih terbit dari ufuk timur, rombongan tetap berangkat subuh.

Yang berbeda adalah Hoapula yang setiap hari pasti duduk di pelananya sambil mengontrol barisan, hari ini karena "tak enak badan" ia tidak menampakkan diri, sebagai gantinya si Kantung tembakau yang memimpin rombongan.

Siau-hong dan Yang-kong masih berada satu kereta dengan Tio Kun suami-istri, sang suami masih jujur dan lugu sementara bininya masih tetap malu-malu dan tak pernah berani mendongakkan kepala. Yang-kong serta Siau-hong pun terpaksa berlagak seakan tak pernah melihat apa pun, seakan tak pernah terjadi sesuatu apa pun.

Bahkan Siau-hong tak berani memandang lagi ke arah Tio Oh-si, jangankan memandang, melirik pun tak berani. Karena setiap kali melihat wajahnya, tak tahan dia pun akan terbayang adegan syur yang dilihatnya semalam di balik dapur yang remang-remang, dia pun akan terbayang pula tubuhnya yang mulus, payudaranya yang montok, pinggangnya yang ramping dan....

Bagaimana mungkin seorang pria muda macam Siau- hong dapat melupakan pemandangan panas yang begitu indah, begitu merangsang napsu syawat? Jelas sesuatu yang amat sulit.

Untung saja selepas makan siang, si Kantung tembakau meminta mereka berdua untuk berpindah ke dalam kereta lain. Urutan kereta pun tampaknya sudah terjadi perubahan dan pertukaran.

Setiap kereta masih diisi empat orang, hanya kali ini Siau-hong berada satu kereta dengan sepasang ayah beranak, ayahnya sudah tua, lesu sementara putranya berwajah penyakitan, mereka berdua selalu membungkam dan jarang tersenyum.

Siau-hong segera memandang ke arah Yang-kong, begitu pula Yang-kong memandang Siau-hong, dalam hati mereka berdua sadar, bukan sesuatu yang mudah bagi mereka untuk menyelesaikan perjalanan ini dalam keadaan aman tenteram.

Selewat tengah hari, rombongan mulai memasuki kawasan perbukitan. Jalan gunung berliku-liku dan berbahaya, tanah yang naik turun tak merata membentang hingga jauh ke ujung langit dan akhirnya lenyap di sisi bukit yang memerah karena cahaya sang surya.

Di bawah bukit dekat jalan setapak, tersebar bebatuan cadas berwarna hitam yang amat besar, di sisi depan terlihat sebuah gunung besar berwarna hitam, pemandangan mirip dongeng yang mengisahkan seekor burung rajawali sedang terbang di udara sambil mengawasi kerumunan manusia, keadaan itu memberikan tenaga tekanan yang luar biasa besarnya.

Siau-hong dan Yang-kong duduk semakin merapat.

Bila ada orang hendak melakukan penghadangan dan berencana membunuh mereka di tengah jalan, tak salah lagi tempat ini merupakan tempat yang paling baik.

Mereka tak ingin menderita kekalahan dalam menghadapi sergapan itu, karenanya tubuh mereka berdua menempel lebih rapat, dalam hati pun telah membuat persiapan.

Pada saat itulah mereka dengar suara "Kraak!", kemudian tampak sebuah roda kereta menggelinding terbang ke depan, menumbuk di atas batu cadas hitam di tepi jalan dan hancur berantakan.

Pada saat yang bersamaan inilah Siau-hong menarik Yang-kong melompat keluar dari ruang kereta.

Kusir kereta masih berusaha mengendalikan keretanya, roda kereta pun masih bergerak tiada hentinya walau kini roda tinggal tersisa tiga buah.

Roda as sebelah kiri belakang telah patah jadi dua, rombongan kereta yang berada di barisan depan pun sudah tak nampak jejaknya. Cahaya merah di balik bukit lambat-laun berubah menjadi warna merah tua yang meski nampak indah, namun menyisipkan perasaan kesedihan yang tak terhingga.

Senja telah tiba, sebentar lagi malam akan menjelang.

Ternyata ayah beranak itu masih tertinggal dalam ruang kereta, entah sudah jatuh pingsan ataukah sedang menunggu datangnya serangan.

"Coba kau periksa," Yang-kong berkata, "Coba periksa apa yang telah terjadi?"

Siau-hong tidak memeriksa orang yang berada dalam ruang kereta, dia hanya memeriksa as roda kereta yang tiba- tiba patah.

As roda tampak rata pada bekas patahannya, asal orang yang berpengalaman, mereka pasti tahu kalau as ini memang sengaja digergaji sebelumnya hingga patah setengah.

Tentu saja Siau-hong pun dapat melihatnya.

"Datang juga akhirnya," dia menghembuskan napas panjang.

"Mereka?"

"Benar!"

Yang-kong ikut menghembuskan napas panjang. "Bagaimana pun juga mereka tidak menyuruh kita menunggu kelewat lama."

Ayah beranak yang berada dalam kereta masih juga tak bergerak, sekalipun mereka sedang menunggu kesempatan baik untuk melancarkan bokongan, saat ini seharusnya merupakan saat yang paling tepat. "Mengapa kalian berdua masih belum juga keluar?" tegur Siau-hong sambil tertawa dingin.

Kemudian sambil menendang pintu kereta, teriaknya lagi, "Mengapa kalian berdua belum juga turun tangan?"

Dari dalam ruang kereta belum juga terdengar reaksi apa- apa, dari kedua sisi jalan perbukitan pun tak nampak munculnya bayangan manusia.

Siau-hong kembali melepaskan satu tendangan, membuat ruang kereta yang terbuat dari anyaman bambu itu seketika hancur berantakan.

Ternyata ayah beranak itu masih berada dalam ruang kereta, dalam genggaman mereka berdua masing-masing memegang sebuah tabung senjata rahasia berpegas tinggi yang terbuat dari tembaga kuning.

Anehnya, senjata rahasia yang berada dalam tabung itu sama sekali tak dipancarkan, sementara tubuh mereka berdua telah mati kaku, wajahnya menghitam, biji matanya melompat keluar seperti bangkai ikan, sinar mata yang tertinggal pun memancarkan perasaan ngeri dan ketakutan yang luar biasa.

Tak salah lagi, kedua orang ini memang sengaja  dipasang dalam kereta untuk melakukan pembokongan, rupanya mereka sudah siap melancarkan serangan begitu mendapat kesempatan.

Tapi sekarang mereka berdua telah mati, di saat mereka siap melancarkan bokongan itulah mereka telah mati.

Mengapa mereka bisa mati?

Satu-satunya jawaban untuk pertanyaan ini adalah....

Yang-kong berhasil mengetahui rencana busuk mereka, karena itulah mereka berniat menyerang lebih dahulu. Siau-hong menatap Yang-kong, kemudian menghela napas panjang.

"Kau memang hebat," katanya, "Serangan yang kau lancarkan ternyata jauh lebih cepat daripada apa yang kubayangkan."

"Apa kau bilang?" Yang-kong seperti tak mengerti. "Kusangka kau tak bakal menyerang secepat itu," kata

Siau-hong  lagi,  "Karena  kita  belum  dapat  membuktikan

kalau mereka benar-benar merupakan jagoan pihak lawan, apa jadinya bila kita salah membunuh?"

Yang-kong balik menatapnya, jelas ia sangat terperanjat. "Jadi kau sangka akulah yang telah membunuh mereka?" Ooo)d*w(ooO

Traktiran: (7891767327 | BCA A.n Nur Ichsan) / (1740006632558 | Mandiri A.n Nur Ichsan) / (489801022888538 | BRI A.n Nur Ichsan) ataupun bisa melalui via Trakteer yang ada dibawah

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar