BAB 15. PILIHAN
Sebetulnya persoalan semacam ini paling dipedulikan kaum wanita, tentu saja terkecuali ia memang sudah siap menerima kehadiran lelaki itu.
Yang-kong tak peduli, apakah dia pun telah siap menerima kehadiran pemuda ini?
Tapi tiga hari kemudian secara tiba-tiba Siau-hong mengajukan permintaan ini, bahkan minta gadis itu untuk mengabulkannya.
"Kau tak boleh bertanya hendak ke mana aku pergi, apalagi menguntitku secara diam-diam. Kalau tidak, kemungkinan besar aku akan membunuhmu!"
Permintaan semacam ini sangat tak masuk akal, bahkan kelewat batas. Apa yang diucapkan pun kasar dan sangat menyakitkan hati, bahkan dia sendiri pun menyangka Yang-kong pasti akan marah.
Siapa tahu bukan saja dia tidak marah, bahkan segera menyanggupi permintaannya.
"Pergilah, aku cinta padamu!"
Sepuluh ribu tahil perak yang diminta Siau-hong, ternyata disiapkan untuk diberikan kepada Tokko Ci.
Dia sama sekali tidak melupakan janjinya dan kembali lagi ke rumah burung yang pernah ditunjukkan bocah itu. Rumah burung masih tetap ada, sangkar burung di bawah wuwungan rumah pun masih utuh, namun burung- burung yang berada dalam sangkar itu telah hilang, kosong, lenyap.
Burung-burung itu telah terpapas kutung dan rontok di atas tanah, setiap burung telah terbelah jadi dua bagian, terpapas kutung oleh sabetan pedang tajam.
Bekas darah yang berceceran di atas tanah telah mengering, suasana dalam rumah pun hening dan sepi.
Tiba-tiba Siau-hong merasakan tangan dan kakinya jadi dingin, dingin membeku.
Jangan-jangan ketika ia datang kemari tempo hari, ada orang yang secara diam-diam menguntitnya?
Sebenarnya selama ini dia yakin dengan ketajaman mata dan pendengarannya, sulit bagi siapa pun untuk menguntitnya tanpa ketahuan, akan tetapi setelah melakukan perjalanan semalam suntuk di tengah gurun pasir, sejak Pancapanah muncul secara tiba-tiba di hadapannya, keyakinan dan rasa percaya dirinya mulai goyah.
Siapa yang telah menguntitnya sampai di situ? Siapa pula yang telah membantai kawanan burung itu secara sadis dan keji? Apakah Tokko Ci dan bocah itu sudah tewas di ujung pedangnya?
Rumah burung masih tetap seperti sediakala, begitu melangkah masuk, lantai kayu yang terinjak menimbulkan suara menderit yang nyaring.
Siau-hong maju, mendorong pintu hingga terbuka lebar. Di dalam ruangan tak ada orang, juga tak ada mayat,
hanya ada selembar lukisan, kelihatannya sebuah lukisan yang dibuat dengan darah segar, lukisan itu dipasang di atas dinding kayu persis berhadapan dengan pintu masuk, melukiskan seorang iblis wanita yang sedang mengisap isi otak seorang lelaki.
Wajah iblis wanita itu mirip wajah Pova.
Sedangkan lelaki yang sedang diisap isi otaknya tak lain adalah dirinya, Siau-hong.
Hanya ada lukisan, tanpa tulisan, tanpa penjelasan. Namun Siau-hong telah memahami maksud lukisan itu,
tiba-tiba saja dia terbayang kembali lukisan dalam lekukan dinding yang berada dalam kuil yang gelap itu.
Dari sisi telinganya dia pun seolah mendengar suara bocah itu sedang berkata, "... Bila kau melanggar sumpah, selama hidup dirimu akan seperti orang itu, sepanjang masa akan merasakan penderitaan karena siksaan keji perempuan setan itu."
Siau-hong sama sekali tidak melanggar sumpahnya, dia pun tidak membocorkan rahasia ini kepada siapa pun.
Akan tetapi dia pun tidak membunuh Pova.
Tokko Ci pasti sudah mendapat tahu kalau Pova belum mati, dia pasti menyangka Siau-hong telah mengkhianatinya, karena itu segera mengajak bocah itu pergi meninggalkan rumah burung.
Burung yang dibabat mati, lukisan yang tergantung di atas dinding jelas secara khusus memang ditinggalkan di sana agar bisa terlihat oleh Siau-hong, sengaja ditinggalkan agar Siau-hong tahu kalau dia sangat membenci dan mendendamnya. Dia masih memiliki sebelah tangan yang dapat menggenggam pedang, masih memiliki kekuatan untuk membunuh burung yang sedang terbang.
Sebetulnya orang ini memang memiliki kekuatan terpendam yang sangat menakutkan, kekuatan terpendam yang selamanya susah diduga, apalagi "benci dan dendam" pun merupakan semacam kekuatan yang sangat menakutkan.
Sekarang orang pertama yang akan dibunuhnya sudah pasti bukan Po Eng, melainkan Siau-hong!
Dengan tenang Siau-hong berdiri di depan lukisan dinding itu, berdiri lama sekali, kemudian perlahan-lahan meletakkan uang sebesar sepuluh ribu tahil perak itu ke atas lantai.
Setelah itu dengan langkah lebar dia beranjak keluar, berjalan menuju ke bawah langit nan biru.
Biarpun langit masih secerah tadi, namun hatinya sekarang telah diliputi bayangan hitam yang sukar dibuyarkan.
Dia tahu, Tokko Ci tak bakal melepaskan dirinya.
Sejak saat ini sepanjang hidupnya, setiap saat dia harus waspada menghadapi datangnya tusukan yang mematikan.
Sejak bertemu untuk pertama kalinya dengan Tokko Ci, dia sudah tahu kalau salah satu di antara mereka berdua, cepat atau lambat, akhirnya ada seorang di antaranya yang bakal tewas di tangan lawan.
Ternyata Yang-kong masih menungguinya. Begitu berjumpa, kata pertama yang diucapkan adalah, "Sekarang Po Eng ada di mana? Aku akan menjumpainya, sekarang juga akan menjumpainya!" Ruangan di gedung samping lebar dan bersih, cahaya matahari menyinari seluruh ruangan, hampir setiap benda yang berada di sana merupakan barang pilihan, tak berlebihan, juga tak bakal kekurangan.
Arak yang disuguhkan pun arak anggur dari Persia yang manis dan segar, dituang dalam cawan batu kristal yang tembus pandang, memercikkan cahaya yang gemerlapan.
Po Eng menuangkan secawan untuk Siau-hong kemudian meneguk setengah cawan arak dalam cawan sendiri, setelah itu baru bertanya, "Apakah kau sudah bertekad akan pergi dari sini?"
"Benar!"
Jawaban Siau-hong masih seperti jawabannya dulu, singkat dan tegas. Dia seolah tak tahu kalau pertanyaan yang dihadapi sekarang jauh lebih serius daripada pertanyaan yang pernah dijawab sebelumnya.
Po Eng tidak bertanya lagi, dia pun tidak bicara apa pun, mereka berdua sama-sama tidak buka suara lagi.
Awan putih masih melayang di ujung langit nun jauh di depan sana, angin masih berhembus menggoyang ranting dan dahan, di bawah langit nan biru lapisan salju di puncak bukit nampak berkilauan. Manusia biasa sedang berjuang untuk kehidupan sendiri, manusia luar biasa pun sedang berjuang untuk kehidupan sendiri.
Akan tetapi semua persoalan itu terpisah dari mereka, suasana dalam ruangan itu begitu hening, tenang, menyerupai detak jantung seseorang yang telah sekarat.
Kemudian senja pun lambat-laun menjelang tiba. Semuanya hanya berlangsung sekejap, tiba-tiba kegelapan malam telah menyelimuti seluruh jagat. Di dalam ruangan ada lentera, namun siapa pun tidak berusaha menyulutnya. Kedua orang itu masih duduk tenang di tengah kegelapan, hanya bintang di luar jendela yang mulai muncul di angkasa. Lalu rembulan muncul, cahaya bintang bergemerlapan, cahaya redup yang menembus lewat daun jendela dan menyoroti tubuh mereka berdua.
Saat itulah Po Eng baru buka suara lagi.
"Aku sangat memahami tabiatmu, semua persoalan yang telah diputuskan tak nanti berubah lagi."
"Aku telah mengambil keputusan," sikap Siau-hong luar biasa tenangnya, "Aku harus pergi dari sini."
Po Eng sama sekali tidak bertanya "mengapa", malah tanyanya, "Apakah kau masih ingat perkataan yang diucapkan Pancapanah?"
"Aku masih ingat, dia bilang, belum pernah ada orang yang dapat membocorkan rahasia kalian."
"Aku percaya, kau tak bakal membocorkan rahasia ini kepada orang lain, tapi dia beda, belum pernah dia percaya kepada siapa pun," kata Po Eng, "Dia selalu berpendapat hanya orang mati yang bisa menyimpan rahasia."
"Bagaimana dengan kau sendiri?" Siau-hong mulai menggenggam kencang tangannya.
Po Eng tidak langsung menjawab pertanyaan itu, dia hanya memberitahu Siau-hong, "Terkadang ada beberapa persoalan yang tak mungkin bisa kuputuskan sendiri."
Setelah berhenti sejenak, perlahan-lahan lanjutnya, "Misalnya kau hendak pergi, aku pun tak berdaya menahanmu tetap berada di sini." Tiba-tiba Siau-hong memahami maksud perkataan Po Eng ini, karena secara tiba-tiba ia teringat kembali dengan dua patah kata yang pernah diucapkan Po Eng.
Kalau bukan teman, berarti musuh.
Untuk menghadapi musuh, jangan berbelas kasihan. Sahabat berubah jadi musuh, rangkul berubah jadi duel,
darah segar bagaikan arak wangi berceceran di atas tanah.
Anehnya, saat ini bukan hal-hal itu yang dipikirkan Siau- hong, bukan saling membunuh, bukan kematian, bukan kemusnahan.
Pada saat yang amat singkat, secara tiba-tiba ia teringat desa kelahirannya, Kang-lam, Kanglam yang indah, tenang, Kang-lam yang dikelilingi aneka bunga di tengah hujan gerimis, Kanglam dengan jembatan dan sungai yang begitu banyak.
Suara Po Eng pun mendadak berubah jadi begitu jauh, seakan suara yang datang dari Kang-lam.
"Sejak awal aku sudah tahu kau akan pergi," kata Po Eng lagi, "Setibamu di Lhasa, kau tidak pergi menengok Pova, aku sudah tahu kau telah bertekad akan meninggalkan kami, karena kau sendiri pun tahu selamanya kau tak akan memahami kami, juga tak bisa memahami semua perbuatan yang kami lakukan."
Mendadak dia memutus pembicaraan sendiri yang belum selesai, mendadak bertanya pada Siau-hong, "Apa yang sedang kau pikirkan?"
"Kang-lam," sahut Siau-hong pula, "Aku sedang membayangkan Kang-lam."
"Kau sedang memikirkan Kang-lam? Pada saat dan suasana begini ternyata kau masih memikirkan Kang-lam?" Di balik perkataan Po Eng, sama sekali tiada nada mengejek atau tercengang, yang ada hanya setitik rasa pedih yang tawar.
"Pada hakikatnya kau bukan golongan kami, kau adalah seorang penyair, bukan pejuang, bukan petarung, juga bukan jago pedang, karena itu kau ingin pergi, karena saat ini ternyata kau masih memikirkan Kang-lam."
Siau-hong mendongakkan kepala, menatap wajahnya. "Apa yang harus kupikirkan sekarang? Memikirkan
apa?"
"Kau harus memikirkan Gan Tin-kong, memikirkan Song-lohucu, memikirkan Cu Im, berpikirlah siapakah mereka."
"Mengapa aku harus memikirkan mereka?"
"Karena mereka tak akan membiarkan kau pergi," ucap Po Eng, "Bila di dunia ini masih ada cara yang dapat menahan kepergianmu, mereka pasti akan menggunakan cara itu untuk menghadapimu. Bila mereka menganggap hanya dengan menggorok lehermu maka kau baru bisa dicegah kepergiannya, mereka tak bakal menggorokkan goloknya ke tempat lain."
"Mereka adalah manusia semacam ini?"
"Benar, mereka adalah manusia semacam ini, bukan saja mereka dapat menggorok leher orang lain seperti membabat rumput, mereka pun dapat membersihkan darah yang menodai mata golok mereka seperti sedang membersihkan noda air."
Siau-hong balas menatapnya, lama kemudian perlahan- lahan ia baru berkata, "Kau pun seharusnya tahu, terkadang aku juga dapat berbuat begitu." Dari balik mata Po Eng yang tajam segera terpancar cahaya dingin yang menggidikkan bagaikan "Mata iblis", mendadak cawan kristal yang berada dalam genggamannya hancur-lebur, sambil berdiri ia mendorong daun jendela, lalu berkata, "Coba lihat apakah itu?"
Dari balik jendela tampak sebuah lentera tergantung tinggi di puncak tiang bendera.
"Hanya sebuah lentera," jawab Siau-hong.
"Kau tahu apa maksudnya?" Tentu saja Siau-hong tidak tahu.
Po Eng memandang sekejap lentera merah yang tergantung di puncak tiang, tiba-tiba sekilas perasaan sedih yang belum pernah terlihat melintas di wajahnya.
"Itu berarti mereka sudah tahu kalau kau akan pergi, kini telah disiapkan acara perpisahan untukmu."
Mendadak dia menggerakkan tangan, menyentil jari keluar jendela dan sepotong hancuran kristal mendesing tajam menembus angkasa.
Cahaya lentera berwarna merah yang berada dua puluh kaki di hadapannya seketika padam, sinar dingin di balik mata Po Eng pun ikut lenyap dan sirna.
"Oleh karena itu, kau sudah boleh pergi sekarang," dia sama sekali tidak berpaling lagi memandang Siau-hong, hanya tangannya yang diulapkan, "Kau boleh pergi."
Ketika Siau-hong keluar dari pintu, dia pun berjumpa Yang-kong.
Yang-kong sedang berdiri di bawah bayangan gelap sederet pagar di dalam halaman, senyuman secerah sinar matahari yang selalu menghiasi wajahnya kini sudah lenyap. Walaupun dia masih tertawa, namun senyumannya tampak begitu sendu, begitu sedih dan diselimuti bayangan gelap yang sukar dilukiskan dengan perkataan.
Siau-hong menghampirinya, berjalan ke hadapannya. "Apakah kau pun datang untuk mengantar kepergianku?"
"Tidak!" tiba-tiba gadis itu menggenggam tangan Siau- hong, jari tangannya terasa dingin bagaikan es, "Tahukah kau, apa yang telah mereka persiapkan untuk mengantar kepergianmu?"
Siau-hong segera tertawa.
"Menggunakan batok kepalaku? Atau menggunakan darahku?" katanya.
Dia pun menggenggam kencang tangan Yang-kong. "Apa yang ingin kau katakan telah kuketahui semua, terserah cara apa pun yang hendak mereka pergunakan, aku tak peduli."
"Kau tak peduli? Benar-benar tak peduli?" dengan terperanjat, Yang-kong menatap wajahnya.
"Bagaimana pun, aku telah bertekad akan pergi dari sini, terserah cara apa pun yang hendak mereka gunakan, bagiku sama saja."
Hidup juga pergi, mati pun tetap pergi, setelah memutuskan akan pergi, tak pernah dia pikirkan mati hidupnya.
Akhirnya Yang-kong melepaskan genggamannya, lalu berpaling memandang seranting daun di bawah bayangan gelap yang telah layu dan mengering.
"Baiklah, kau boleh pergi!" dia menunjuk ke arah sebuah pintu kecil di sudut halaman, "Lewatlah pintu kecil itu, orang pertama yang akan mengantar kepergianmu adalah Gan Tin-kong, kau harus memperhatikan tangannya secara khusus."
Siau-hong pernah memperhatikan cara Gan Tin-kong turun tangan.
Sewaktu berada di dalam tenda bulu elang berwarna hitam, di saat dia mencengkeram lengan iblis Liu Hun-hun.
Tangan yang digunakan adalah tangan kirinya.
"Aku tahu," ucap Siau-hong, "Akan kuperhatikan tangan kirinya secara khusus."
Tiba-tiba Yang-kong merendahkan suara, setengah berbisik ia berkata, "Bukan saja harus memperhatikan tangan kirinya, terlebih harus kau waspadai tangannya yang lain."
"Tangannya yang lain? Tangan kanan? Atau..." "Bukan tangan kanannya!"
Jangan-jangan Gan Tin-kong masih memiliki sebuah tangan yang lain, tangan ketiga?
Siau-hong masih ingin bertanya lagi, tapi nona itu sudah mengeluyur pergi tanpa berbicara lagi, seakan cahaya senja yang tiba-tiba lenyap di balik langit barat.
Hanya bedanya, cahaya sang surya pasti akan muncul kembali keesokan harinya, bagaimana dengan Yang-kong? Mungkin sepanjang hidup Siau-hong tak akan dapat bertemu lagi dengannya.
Tatkala kau bertemu dengan Gan tin-kong, peduli di saat apa pun dan di tempat mana pun, dia selalu tampil rapi dan keren seolah seseorang yang hendak memimpin upacara ritual dalam ruang biara, bukan hanya pakaiannya bersih dan rapi, gerak-geriknya pun serius dan penuh rasa hormat. Beginilah tampangnya saat ini, dia tampil bersih dan penuh wibawa, sampai di saat goloknya sedang menggorok leher lawan pun, sikap dan penampilannya tak pernah berubah.
Siau-hong berjalan menghampirinya, tanpa mengucapkan kata basa-basi yang sama sekali tak berguna, dia langsung menegur, "Kau siap menggunakan cara apa untuk mengantar kepergianku?"
"Menggunakan tangan kiriku," jawaban Gan Tin-kong tetap langsung dan berterus terang. "Tempat ini adalah sarang penyamun, masuk ke sarang penyamun seperti masuk ke dalam neraka, tak ada kesempatan untuk balik lagi ke dunia keramaian secara utuh. Karena kau ingin pergi, terpaksa aku harus membunuhmu, membunuhmu menggunakan tangan kiriku."
Dia selalu menyembunyikan tangan kirinya di dalam saku.
"Aku tak pernah menggunakan senjata, tanganku inilah senjataku untuk membunuh manusia," Gan Tin-kong menerangkan, "Tak ada manusia kidal dalam dunia persilatan yang bisa menyerang jauh lebih cepat daripada tangan kiriku, oleh sebab itu kau harus memperhatikan dengan sungguh-sungguh!"
"Aku pernah menyaksikan kau melancarkan serangan, tentu saja aku akan memperhatikan secara sungguh- sungguh," kemudian tanya Siau-hong, "Tapi aku tak habis mengerti, kalau memang kau berniat membunuhku, mengapa harus mengingatkan diriku agar lebih berhati- hati?"
"Karena aku ingin kau mati dengan puas," jawab Gan Tin-kong, "Aku ingin kau mati dengan puas tanpa menggerutu." Siau-hong segera menghela napas panjang. "Ai, ternyata Gan Tin-kong seperti namanya, jujur, tulus dan adil, tak pernah mau melakukan perbuatan yang merugikan orang, oleh sebab itu semisal kau bermain curang satu kali, tak akan ada orang yang menaruh curiga kepadamu."
Paras Gan Tin-kong sama sekali tak berubah, tapi sorot matanya telah berubah.
Kembali Siau-hong melanjutkan, "Seandainya aku benar- benar berkonsentrasi dan memusatkan seluruh perhatianku terhadap tangan kirimu, dapat dipastikan hari ini aku bakal mampus di tanganmu."
Tiba-tiba ia tertawa lebar, tambahnya, "Untung saja aku masih belum melupakan Liu Hun-hun!"
"Liu Hun-hun? Kenapa dia?"
"Bahkan dia pun tak menaruh curiga kepadamu, bahkan dia pun tertipu oleh muslihatmu, apalagi aku seorang anak muda yang baru terjun ke dalam dunia persilatan," kata Siau-hong, "Kau bisa menjadi tangan ketiga Song-lohucu, tentu saja dia pun dapat menjadi tangan ketigamu, menggunakan tangan ketiga untuk membunuhku."
Kembali dia menghela napas, lanjutnya, "Saat itu walaupun aku mati dengan perasaan tak puas, walau hatiku dipenuh perasaan jengkel, mendongkol dan marah, sayang semua itu tak mungkin bisa kulampiaskan lagi."
Paras Gan Tin-kong mulai berubah.
"Sama sekali tak kusangka, ternyata kau tidak terlalu bodoh."
Dia sudah siap turun tangan, tapi sepasang matanya mengawasi terus pintu kecil di belakang Siau-hong, tak disangkal Song-lohucu pasti berada di belakang pintu kecil itu, begitu dia turun tangan, mereka berdua akan menggencetnya dari depan dan belakang, tak diragukan lagi Siau-hong pasti akan mampus oleh gempuran ini, tak seorang pun jagoan dalam dunia persilatan yang dapat menghindari gempuran bersama kedua orang ini.
"Masih ada satu urusan lagi yang mungkin tak akan kau duga," kata Siau-hong lagi sambil tertawa.
"Urusan apa?"
"Aku pun memiliki tangan yang lain, tangan ketiga." "Kau pun memiliki tangan ketiga?" ejek Gan Tin-kong
sambil tertawa dingin, "Mengapa aku tidak melihatnya?"
"Tentu saja kau tak akan melihatnya, selama hidup jangan harap bisa melihatnya. Tapi kau tak boleh tidak harus mempercayainya."
"Kenapa?"
"Karena tangan ketigamu kini sudah dibelenggu oleh tangan ketigaku," tiba-tiba Siau-hong menambahkan, "Kalau tak percaya, apa salahnya diperiksa sendiri."
Tentu saja Gan Tin-kong tak akan pergi memeriksanya, dia mulai tertawa.
Jarang sekali orang ini tertawa, terkadang sepanjang bulan belum tentu dia tertawa satu kali, tapi kali ini dia benar-benar tertawa.
Seorang anak muda yang baru terjun ke dunia persilatan, ternyata ingin menggunakan cara semacam itu untuk membohongi seorang jago kawakan macam dia.
Ia sudah termasyhur sejak masih muda, sudah malang melintang dalam dunia persilatan sejak usianya masih kecil, tak terhitung korban yang mati di tangannya, meski di masa pertengahan dia dipaksa berganti nama karena kejaran dan desakan musuh besarnya, meski harus melarikan diri ke ujung dunia, namun kecerdasannya justru bertambah matang, pengalamannya tambah luas, bagaimana mungkin dia termakan oleh tipu muslihat semacam ini!
Di saat dia mulai tertawa itulah tangan yang selalu disembunyikan di balik pakaiannya mulai melancarkan serangan secepat sambaran petir.
Di saat dia turun tangan, Song-lohucu pasti akan mengimbangi serangannya itu dengan melancarkan serangan maut juga.
Sudah banyak tahun mereka bertempur saling bahu- membahu, sudah sering masuk keluar pertarungan yang mematikan, pengalaman bertarungnya banyak, belum pernah kerja sama mereka menjumpai kegagalan atau kejadian di luar dugaan, belum pernah meleset walau hanya satu kali pun.
Tapi kali ini terkecuali.
Gan Tin-kong telah turun tangan, akan tetapi Song- lohucu yang berada di luar pintu sama sekali tak bereaksi.
Gagal dengan gempurannya yang pertama, dia mulai menyerang untuk kedua kalinya.
Dari luar pintu tetap tiada reaksi, tak ada gerakan, tak ada serangan yang mengiringi serangannya.
Gan Tin-kong tidak lagi melancarkan serangan ketiga, tiba-tiba dia melejit ke tengah udara lalu melesat ke arah pintu kecil itu.
Song-lohucu benar-benar berada di luar pintu, tapi saat itu sedang berbaring di sudut dinding, mengawasinya sambil tertawa getir. Gan Tin-kong tak sanggup tertawa lagi, akhirnya dia menyadari bahwa peristiwa ini sedikit pun tidak menggelikan.
Siau-hong telah beranjak pergi meninggalkan tempat itu. Dia yakin Gan tin-kong takkan mengejarnya lagi,
keberhasilannya merobohkan Song-lohucu sama artinya dia telah merobohkan juga Gan Tin-kong.
Tentu saja dia bukan menggunakan "tangan ketiga" untuk merobohkan Song-lohucu, dia tidak mempunyai tangan ketiga.
Tapi dia memiliki sepasang mata kedua, Yang-kong adalah matanya yang kedua.
Andaikata tak ada bisikan dari Yang-kong, dia tak akan menyangka Song-lohucu bakal bersembunyi di balik kegelapan sambil menunggu kedatangannya, dia tak akan menyangka kalau dia akan bersama Gan Tin-kong menyergap dan menggencetnya dari depan dan belakang.
Walaupun apa yang dikatakan Yang-kong tidak terlalu jelas, namun peringatan yang diberikan gadis itu justru mengingatkan dia akan kerja sama kedua orang itu ketika menghadapi Liu Hun-hun, khususnya tipu muslihat yang telah mereka gunakan.
Oleh sebab itu dia mencari Song-lohucu terlebih dahulu, menggunakan senyuman yang ramah, sikap yang sopan, dia berusaha menenteramkan hati orang tua itu.
Di saat Song-lohucu benar-benar mengira dia telah kehilangan semangat dan daya tempurnya, secara tiba-tiba ia turun tangan, menggunakan gerak serangan paling cepat untuk menotok tiga buah jalan darah penting di tubuh kakek she Song ini. Song-lohucu bukan sahabatnya, dia adalah musuhnya, terhadap musuh yang sedang dihadapi dia harus menggunakan cara yang paling cepat dan cara yang paling keji.
Atas tindakan yang telah dia lakukan ini, Siau-hong merasa puas sekali.
Berikut siapa pula yang akan "mengantar keberangkatan"nya?
Dia masih ingat, Po Eng pernah menyinggung nama Cu Im kepadanya, dia pun masih ingat Cu Im adalah Congkoan yang mengurus kantor dagang "Eng-Ki", seorang anak muda yang amat tulus, jujur, dan sangat tahu aturan.
Siau-hong sama sekali tak menyangka kalau dia pun seorang jago Bu-lim yang memiliki ilmu silat tinggi dan selama ini selalu merahasiakan kebolehannya.
Namun ketika Po Eng menyinggung nama orang ini, dia seakan memandangnya lebih berbobot, lebih penting dan lebih serius daripada Gan Tin-kong, memang bukan manusia sembarangan yang mampu mengendalikan kantor dagang sebesar "Eng-ki", bila tidak memiliki ilmu silat dan kemampuan yang istimewa, tak nanti Po Eng akan menyerahkan tugas dan tanggung jawab berat ini kepadanya.
Siau-hong yakin, lak mungkin Po Eng salah pilih orang, terhadap Cu Im, sejak awal dia sudah menaruh perasan waswas.
Pada saat itulah dia melihat Cu Im.
Penampilan Cu Im masih seperti di hari-hari biasa, sopan, polos dan penuh aturan, satu-satunya yang berbeda adalah di tangannya saat ini telah menggenggam sebilah pedang. Sebilah pedang besi yang amat sederhana, pedang itu sudah dilolos dari sarungnya.
Sambil memeluk pedang dengan sepasang tangannya dan membiarkan ujung pedang menunjuk ke bawah, dia memberi hormat kepada Siau-hong dengan penuh sopan santun.
"Boanpwe Cu Im, menanti petunjuk Hong-tayhiap." Siau-hong tertawa.
"Aku bukan Tayhiap" tukasnya, "Kau pun bukan Boanpweku, jadi tak perlu kelewat sungkan."
Sikapnya sewaktu berhadapan dengan Song-lohucu tadi sama sopannya dengan sikap Cu Im terhadapnya sekarang, kini Song-lohucu telah tergeletak di sudut dinding.
Selama beberapa hari ini dia telah banyak belajar, banyak mempelajari berbagai persoalan.
Dia pun sangat memahami maksud Cu Im, sebagai seorang Boanpwe yang minta petunjuk kepada seorang Cianpwe, dia tak perlu bersikap adil lagi, biarpun di tangan seorang Cianpwe tak berpedang, sebagai seorang Boanpwe dia tetap boleh melancarkan serangan.
Benar saja, Cu Im telah turun tangan.
Serangan yang dilancarkan tidak terlalu cepat, perubahan jurus pun tidak cepat, pada hakikatnya jurus serangan yang dia gunakan sama sekali tak memiliki perubahan yang terlalu rumit dan pelik, serangannya tak lebih hanya sebuah jurus serangan yang amat sederhana tapi nyata dan amat bermanfaat.
Ilmu pedang semacam ini walaupun memiliki kelebihan, akan tetapi bila digunakan untuk menghadapi Siau-hong, jelas sama sekali tak ada gunanya. Biarpun Siau-hong menghadapi serangan itu dengan tangan kosong, menggunakan ilmu Kim-na-jiu-hoat yang merupakan ilmu dasar kepandaian silat pun sudah lebih dari cukup baginya untuk menghadapi ancaman lawan.
Dia bahkan mulai curiga kalau penilaian Po Eng terhadap Cu Im kelewat tinggi dan berlebihan, benarkah Cu Im belum sempat mengeluarkan ilmu silat sesungguhnya?
Baru saja Siau-hong akan menambah daya tekanannya untuk memaksa dia mengeluarkan segenap kekuatannya, tiba-tiba Cu Im sudah mundur sepuluh langkah dan sekali lagi merangkap pedangnya di depan dada sambil memberi hormat.
"Boanpwe bukan tandingan Hong-tayhiap, Boanpwe mengaku kalah," katanya.
Sekarang sudah mengaku kalah, apakah tidak terlalu awal? Tidak seharusnya Po Eng mempunyai anak buah yang begini lemah dan sama sekali tak berguna.
Semua anak buah Po Eng adalah petarung handal, kalau tidak bertarung hingga titik darah penghabisan, tak nanti mereka akan mengundurkan diri.
Tiba-tiba Cu Im berkata sambil tertawa, "Hong-tayhiap pasti menganggap Boanpwe belum menggunakan kekuatan sesungguhnya dan tidak seharusnya mundur begitu saja, bukan?"
Siau-hong mengakui akan hal ini.
Maka sambil tersenyum, kembali ujar Cu Im, "Boanpwe tak ingin bertarung lagi, karena Boanpwe tak tega bertarung lebih lanjut melawan dirimu."
"Kau merasa tak tega? Mengapa tak tega?" tak tahan Siau-hong bertanya. "Karena Hong-tayhiap sudah terkena racun jahat, usiamu sudah tak bisa melewati setengah jam lagi," jawab Cu Im lembut, "Bila Boanpwe memaksamu bertarung dua puluh gebrakan lagi, maka racun dalam tubuh Hong- tayhiap segera akan bekerja dan tak ampun jiwamu pasti akan segera melayang."
Siau-hong ikut tertawa.
Dia sama sekali tidak percaya perkataan Cu Im, sepatah kata pun tak percaya.
"Aku keracunan? Kau lihat aku sudah keracunan?" Siau- hong sengaja bertanya, "Sejak kapan aku keracunan?"
"Sejak beberapa saat berselang."
"Arak yang diberikan Po Eng ada racunnya?"
"Tidak ada, dalam arak tak ada racun," jawab Cu Im, "Bila dia ingin membunuhmu, tak perlu menggunakan arak beracun."
"Kalau dalam arak tak beracun, di mana racunnya?" "Berada di tangan."
"Tangan siapa?"
"Tadi, tangan siapa yang kau genggam?" Cu Im balik bertanya. Sekali lagi Siau-hong tertawa.
Tadi dia hanya menggenggam tangan Yang Kong, dia tak akan percaya kalau Yang Kong akan mencelakainya.
Cu Im menghela napas, katanya, "Padahal kau seharusnya dapat berpikir sampai ke situ. Dia salah seorang yang mengantar kepergianmu, dialah orang pertama yang mengantar kepergianmu, hanya saja cara yang dia gunakan sama sekali berbeda dengan cara yang kami gunakan."
"Di mana perbedaannya?" "Cara yang dia gunakan jauh lebih lembut daripada cara kami, tapi cara itu justru jauh lebih bermanfaat.”
“Cara apa yang dia pergunakan?"
"Kalian sudah sering pergi bersama, tentunya kau pernah menyaksikan cincin yang sering dia kenakan, bukan?"
Siau-hong memang pernah menyaksikan cincin emas itu, sebuah cincin yang terbuat dari emas murni, cincin yang dibuat sangat indah dan menawan.
Bagaimana bentuk cincin itu? Siau-hong sudah tak ingat dengan jelas. Di kota Lhasa, hampir setiap wanita mengenakan perhiasan emas, di sudut sungai yang mengalir, kau dapat menyaksikan ada begitu banyak orang, menggunakan cara yang paling purba, sedang berusaha mengeduk pasir emas dari tepi sungai.
Semua orang mengenakan cincin emas, di tempat ini memakai perhiasan emas bukanlah satu peristiwa yang menarik perhatian orang.
"Tapi cincin yang dia kenakan sama sekali berbeda," kata Cu Im, "Cincin itu meski beratnya hanya beberapa gram, namun nilainya bisa mencapai lebih dari ratusan tahil emas murni."
"Kenapa?" tanya Siau-hong, "Apakah cincin itu dibuat oleh seorang ahli perhiasan kenamaan atau bentuknya yang unik?"
"Bukan!"
"Lalu apa sebabnya?"
"Karena racun dalam cincin itu," Cu Im menerangkan, "Racun itu terbuat dari ramuan tiga puluh tiga jenis bahan racun yang ganas, mula-mula ketiga puluh tiga jenis racun itu digunakan untuk merendam emas, kemudian emas yang sudah mengandung racun dibuat menjadi sebuah cincin, di ujung cincin terdapat sebatang duri, duri yang lebih tajam dari ujung jarum, asal tertusuk sedikit saja pada kulit badanmu, sekalipun tusukan itu tidak menimbulkan rasa sakit, bahkan sama sekali tidak kau rasakan, namun dalam setengah jam kemudian racun itu pasti akan mulai bekerja dan merenggut nyawamu."
Siau-hong tak dapat tertawa lagi, namun dia pun tidak memberikan reaksi yang khusus.
Cu Im seolah sedang merasa kasihan dan sayang akan nasibnya yang jelek, kembali dia bergumam, "Sebetulnya kami semua telah menganggap kau sebagai sahabat. Bila kau tidak pergi, tak seorang pun di tempat ini yang akan mencelakaimu, terlebih Yang Kong, dia tak akan menyusahkan dirimu."
Kemudian setelah menghela napas panjang, lanjutnya, "Sungguh tidak beruntung, sekarang kita sudah bukan sahabat lagi."
Tiba-tiba Siau-hong menukas perkataannya, "Aku tahu apa yang akan kau katakan, kalau bukan teman berarti musuh, oleh karena itulah ia menggunakan cara semacam ini untuk menghadapiku, terhadap musuhnya, kalian memang akan bertindak dengan cara apa pun."
Cu Im sama sekali tidak menyangkal.
Kembali Siau-hong berkata, "Mula-mula dia memberitahu dulu kepadaku akan rencana Gan Tin-kong dan Song-lohucu yang berniat membunuhku, tujuannya agar aku yakin kepadanya, agar aku percaya seratus persen kepadanya, kemudian baru tanpa kusadari dia tusukkan cincin beracunnya ke telapak tanganku, agar secara tak sadar aku keracunan." Setelah berhenti sejenak, tiba-tiba tanyanya, "Tapi apa sebabnya kau memberitahukan rahasia ini kepadaku?"
Sebelum Cu Im menjawab, kembali Siau-hong telah bertanya, "Bila tangan terpagut ular berbisa, seorang ksatria akan memotong tangan sendiri, apakah kau berharap aku mengurungi sendiri tanganku ini?"
Ooo)d*w(ooO