BAB 03. SI BUTA
Namun taruhan ini belum selesai, dia harus bertaruh lebih jauh, pihak lawan pasti tak akan melepaskan dirinya begitu saja.
Walaupun kali ini dia menang, tidak menjamin berikutnya akan menang lagi, setiap saat kemungkinan besar dia akan kalah, kalau sampai kalah berarti nyawa harus digadaikan.
Malah kemungkinan besar sebelum sempat melihat jelas tampang lawannya, ia sudah harus menggadaikan nyawanya karena kalah.
Sebetulnya dia sudah siap menghadapi kematian, namun mati dengan cara begini membuatnya tak puas, merasa tidak rela.
Tiba-tiba ia mulai terbatuk-batuk.
Kalau orang batuk tentu akan menimbulkan suara, kalau ada suara berarti ada target, dia telah menelanjangi posisi sembunyi sendiri kepada pihak lawan.
Dengan cepat ia mendengar lagi suara deru angin tajam, segulung angin tajam yang seakan hendak mencabik-cabik tubuhnya.
Dengan satu gerakan cepat dia menerobos maju, menggunakan segenap kekuatan tersembunyi yang dimilikinya untuk menyusup keluar, menyusup keluar dari bawah desingan angin tajam itu.
Tiba-tiba terlihat kilatan cahaya pedang di tengah kegelapan.
Rupanya di saat ia terbatuk lagi, pedangnya telah dilolos dari sarungnya, salah satu di antara tujuh bilah pedang paling tajam di kolong langit.
Di antara kilatan cahaya pedang, terdengar... "Triiing!", lalu terdengar sebuah benda logam terjatuh ke atas pasir.
Setelah suara itu, suasana kembali dicekam dalam keheningan yang luar biasa.
Siau-hong tidak bergerak lagi, sampai napas pun seolah ikut berhenti, satu-satunya yang bisa dia rasakan sekarang hanya peluh dingin yang meleleh ke bawah melalui ujung hidungnya.
Entah berapa lama sudah lewat, tapi yang pasti masa yang begitu panjang dan lama yang pernah dia alami selama ini, sebelum akhirnya terdengar lagi semacam suara lain.
Suara yang sedang ia nantikan selama ini.
Begitu mendengar suara itu, sekujur tubuhnya seketika terasa bagaikan dilolos dari kulitnya, perlahan-lahan ia roboh terjungkal ke tanah.
Suara yang didengar Siau-hong adalalah suara rintihan yang amat lemah dan lirih serta suara dengusan napas memburu.
Hanya manusia dalam keadaan kesakitan setengah mati hingga tak mampu mengendalikan dirilah yang bakal mengeluarkan suara semacam ini. Ia tahu dalam pertempuran ini, lagi-lagi ia telah memperoleh kemenangan, meskipun kemenangan itu diraih dengan susah-payah dan mengenaskan, namun dia tetap berhasil memenangkannya.
Ia pernah menang, sering menang, itulah sebabnya dia masih hidup hingga sekarang.
Ia selalu berpendapat, bagaimana pun menang dan tetap hidup, paling tidak jauh lebih baik daripada kalah dan menghadapi kematian.
Tapi kali ini dia nyaris tak bisa membedakan bagaimana rasanya meraih kemenangan, sekujur tubuhnya secara tiba- tiba jadi lemas, seluruh tulangnya seakan dilolos, ia merasakan semacam kelemasan yang luar biasa karena seluruh otot dan syarafnya mengendor.
Empat penjuru masih diliputi kegelapan luar biasa, kegelapan tanpa tepian, kegelapan yang gampang membuat orang putus asa.
Menang atau kalah seakan sama sekali tak ada bedanya, membuka mata atau memejamkan mata pun sama sekali tak ada bedanya.
Lambat-laun kelopak matanya terasa makin berat, seakan ingin terpejam rapat, dia tak sanggup mempertahankan diri lagi, karena hidup dan mati seakan sudah tak ada perbedaan pula.
Kau tak boleh mati!
Selama masih ada secercah kesempatan dan harapan, kau tak boleh melepaskannya begitu saja.
Hanya lelaki bermental tempe, lelaki lemah yang akan melepaskan kesempatan untuk tetap hidup. Tiba-tiba Siau-hong tersentak kaget, mendusin dari rasa kantuk dan melompat bangun.
Entah sejak kapan dari balik kegelapan tiba-tiba terlihat cahaya.
Cahaya terang pun seperti kegelapan, selalu datang secara tiba-tiba, tak pernah jelas dia akan muncul di saat kapan, tapi kau harus merasa yakin, cepat atau lambat sinar terang pasti akan datang juga.
Akhirnya dia dapat melihat orang itu, seseorang yang selama ini berusaha merenggut nyawanya.
Orang itu pun belum mati.
Dia masih meronta, masih bergerak, bergerak dengan susah payah dan lambat, seperti seekor ikan sekarat yang terkurung di tengah gundukan pasir panas.
Baru saja dia mengambil semacam barang.
Tiba-tiba Siau-hong menerkam ke depan, menerkam dengan sekuat tenaga, karena ia telah melihat barang apa yang berada dalam genggaman orang itu, sebuah kantung terbuat dari kulit kambing yang berisi air.
Berada di sini, air adalah nyawa, setiap orang hanya memiliki selembar nyawa.
Tangan Siau-hong mulai gemetar keras lantaran gembira, ia menerkam ke depan bagaikan binatang buas, menggunakan cara dan gerakan binatang liar untuk merampas kantung air itu.
Air dalam kantung tidak tersisa terlalu banyak, tapi asal masih ada setetes saja, mungkin dapat memperpanjang masa hidupnya. Setiap orang hanya memiliki selembar nyawa, nyawa yang begitu berharga, nyawa yang patut disayang dan dilindungi.
Siau-hong menggunakan tangan yang gemetar untuk membuka penutup kantung air itu, bibirnya yang kering nyaris pecah segera merasakan segarnya air, segarnya kehidupan, dia sudah bersiap menikmati setiap tetes air yang berada dalam kantung itu, meneguknya perlahan- lahan.
Dia akan menikmatinya perlahan-lahan, menikmati segarnya air, menikmati kehidupan ini.
Pada saat itulah dia menyaksikan sorot mata orang itu. Sepasang sorot mata penuh penderitaan, putus asa,
dan permohonan, sepasang mata sayu orang yang sudah
sekarat.
Luka yang diderita orang ini jauh lebih parah ketimbang lukanya, dia lebih membutuhkan air itu daripada dirinya. Tanpa air, orang itu pasti akan mati jauh lebih cepat.
Sekalipun kedatangan orang itu hendak membunuhnya, namun dalam waktu sekejap, dia seolah telah melupakan hal ini.
Sebab dia adalah manusia, bukan binatang buas, juga bukan burung pemakan bangkai.
Tiba-tiba ia menemukan seorang dan seekor burung pemakan bangkai, berada dalam kondisi dan situasi seperti apa pun, tetap terdapat perbedaan yang besar.
Harga diri seorang, hati nurani seorang serta rasa simpatik selalu amat sulit untuk ditinggalkan, sukar untuk dilupakan begitu saja. Dia pun mengembalikan kantong berisi air itu kepada orang itu, orang yang selama ini berusaha merenggut nyawanya.
Walaupun dia pun pernah berniat mencabut nyawa orang ini, namun dalam detik yang singkat, di saat sifat kemanusiaannya menghadapi tantangan yang tak berperasaan, terpaksa dia pun melakukan hal itu.
Dia tidak sepantasnya merampas kantung berisi air itu dari tangan seseorang yang hampir menghadapi ajal, terlepas siapa pun orangnya.
Ternyata orang itu adalah seorang wanita, menanti dia menyingkap kain kerudung hitamnya untuk meneguk air, Siau-hong baru mengetahui bahwa pihak lawan adalah seorang wanita, seorang wanita yang amat cantik, kendatipun ia tampak pucat-pasi dan layu, namun semua itu justru menambah kecantikan dan lemah-lembutnya.
Seorang wanita semacam ini, kenapa bisa muncul seorang diri di tengah gurun pasir yang begitu menakutkan, hanya untuk membunuh seseorang?
Dia telah meneguk habis air dalam kantung kulit kambing itu, sedang melirik secara diam-diam ke arah Siau- hong, sorot matanya seakan terselip perasaan minta maaf.
"Seharusnya kutinggalkan setengah untukmu," katanya sambil membuang kantung kosong itu ke tanah dan menghela napas, "Sayang air dalam kantung itu kelewat sedikit!"
Siau-hong tertawa, dia hanya tertawa saja menghadapi ucapan itu, kemudian baru tak tahan tanyanya, "Kau si Buta atau si Air raksa?"
"Semestinya kau bisa melihat sendiri kalau aku tidak buta!" Setelah dibasahi oleh segarnya air, sinar matanya yang sejak semula memang cantik, kini nampak lebih cerah dan menawan.
"Jadi kau pun bukan Air raksa?" desak Siau-hong lebih lanjut.
"Aku hanya pernah mendengar nama ini, namun tak pernah tahu manusia macam apakah dia," perempuan itu menghela napas pula, "Padahal aku sendiri pun tidak tahu manusia semacam apakah dirimu, aku hanya tahu kau bermarga Pui (Hong) bernama Wi!"
"Tapi kau datang untuk membunuhku!"
"Aku harus datang untuk membunuhmu, dengan kematianmu, aku baru bisa hidup terus.”
“Kenapa?"
"Karena air, berada di tempat seperti ini, tanpa air berarti tak bisa hidup melebihi tiga hari," dia memandang sekejap kantung air di atas tanah, "Mereka baru bersedia memberi aku air minum bila aku berhasil membunuhmu, kalau tidak, inilah untuk terakhir kalinya aku minum air."
Suaranya penuh diliputi perasaan ngeri dan takut.
"Suatu ketika, aku nyaris mati kehausan karena mereka tidak memberi air kepadaku, selama hidup aku tak pernah akan melupakan perasaan dan siksaan itu. Kali ini, kendatipun aku dapat pulang dalam keadaan hidup, asal mereka tahu kau belum mati, maka mereka pasti tak akan memberi setetes air lagi kepadaku."
Siau-hong tertawa.
"Apakah kau minta aku merelakan batok kepalaku ini agar kau tebas, agar bisa dibawa pulang untuk ditukar dengan air?" Ternyata perempuan itu ikut tertawa, tertawa dengan lembut tapi mengenaskan.
"Aku pun manusia, bukan binatang, kau bersikap begitu baik kepadaku, tentu saja aku lebih suka mati daripada mencelakaimu lagi."
Siau-hong tidak berkata apa pun, dia pun tak bertanya kepadanya, "siapa mereka?", dia memang tak perlu menanyakan hal ini.
Tentu saja mereka adalah orang-orang yang dikirim Hok- kui-sin-sian untuk membunuhnya, kemungkinan besar mereka saat ini sudah berada di sekeliling tempat ini. Po Eng telah pergi!
Orang ini tak bedanya dengan angin ribut di tengah gurun pasir, sewaktu datang, tak seorang pun bisa menghalanginya, sewaktu akan pergi, siapa pun tak dapat mencegahnya. Selamanya kau tak pernah bisa menebak kapan dia akan datang, terlebih menduga kapan dia akan pergi.
Akan tetapi "Ci-hu" masih berada di situ.
Matahari sudah mulai muncul dari ufuk timur, akhirnya Siau-hong buka suara.
"Kau tak boleh tetap berada di sini," tiba-tiba ujarnya, "Apapun yang bakal terjadi, kau harus tetap kembali kepada mereka."
"Kenapa?"
"Karena bila matahari telah terbit, maka dalam radius seribu li di sekeliling tempat ini akan berubah menjadi bara api, sisa air yang kau minum tadi dengan cepat akan terpanggang kering dan menguap." "Aku tahu, tetap tinggal di sini berarti aku bakal mati kehausan, akan tetapi. ”
"Akan tetapi aku tak ingin melihat kau mati, juga tak ingin kau melihat aku mati," tukas Siau-hong cepat.
Tanpa mengucapkan sepatah kata pun perempuan itu manggut-manggut dan berdiri, tapi baru bangkit, dia sudah roboh kembali.
Luka yang dideritanya memang cukup parah.
Tusukan pedang Siau-hong tadi dengan telak menghujam di dadanya, hanya selisih dua inci dari letak jantungnya.
Sekarang ia sudah susah berjalan, tenaga untuk berdiri pun tak mampu, bagaimana bisa pulang sendiri?
Mendadak Siau-hong kembali berkata, "Aku mempunyai seorang teman yang bisa mengantarmu pulang."
Perempuan itu tidak melihat ada teman lain di tempat itu.
"Rasanya di sini hanya ada kau seorang!"
"Yang disebut teman belum tentu harus manusia, aku pun tahu ada banyak manusia yang belum tentu pantas disebut teman."
Perlahan-lahan ia berjalan menghampiri Ci-hu, lalu sambil membelai bulunya ia berkata lebih jauh, "Aku pun pernah bertemu dengan banyak manusia yang kau anggap sebagai teman, padahal semuanya bukan manusia."
"Oh, jadi temanmu adalah kuda ini?" agak terkejut perempuan itu berseru, "Kau telah menganggap seekor kuda sebagai sahabatmu?"
Kembali Siau-hong tertawa. "Mengapa aku tak boleh menganggap seekor kuda sebagai sahabatku?" senyumannya tampak sangat ewa dan pedih, "Selama ini aku hidup bergelandangan, tiada sanak tiada keluarga, hanya dia yang selalu mengikutiku, bersamaku, mati hidup selalu bersama, bahkan sampai saat ajal menjelang pun dia tak mau meninggalkan aku, ada berapa banyak sahabat di dunia ini yang lebih setia daripadanya?"
Perempuan itu tertunduk lesu, lewat lama kemudian ia baru bertanya, "Sekarang, mengapa kau minta dia berpisah denganmu? Minta dia mengantarku pulang?"
"Karena aku pun tak ingin dia menemani aku mati di sini!"
Ditepuknya punggung "Ci-hu" perlahan, kemudian terusnya, "Dia adalah seekor kuda jempolan, mereka tak akan membiarkan dia mampus. Sedang kau pun seorang perempuan yang sangat menarik, mereka pun tak akan benar-benar membuat kau mati kehausan. Dengan membiarkan ia membawamu pulang, maka inilah satu- satunya jalan kehidupan untuk kalian."
Perempuan itu mendongakkan kepalanya, menatap kuda itu sekejap, lama kemudian ia baru bertanya lagi, "Pernahkah kau berpikir untuk dirimu sendiri? Mengapa kau tak pernah berpikir, apa yang harus dirimu lakukan agar bisa hidup lebih lanjut?"
Siau-hong tidak menjawab, dia hanya tertawa lebar.
Ada sementara pertanyaan memang tak dapat dijawab dan tak perlu dijawab.
Tak tahan perempuan itu menghela napas panjang, menghela napas sambil mengemukakan pendapatnya tentang anak muda itu, "Kau memang manusia aneh, aneh setengah mati!"
"Memang begitulah aku!" Matahari telah terbit di angkasa.
Jagat raya tak berperasaan, segala sesuatunya telah berubah jadi bara api, seluruh kehidupan seolah sedang terbakar, terbakar hingga punah, musnah, dan akhirnya mati.
Siau-hong telah roboh terkapar di tengah bara api.
"Ci-hu" pun telah pergi, pergi sambil membawa perempuan yang dipaksa datang untuk membunuhnya.
Mungkin dia tak ingin berpisah dengan Siau-hong, tapi ia tak mungkin bisa membangkang perintahnya, karena bagaimana pun dia tak lebih hanya seekor kuda.
Di seputar tempat itu sudah tak nampak lagi kehidupan lain, Siau-hong telah terkapar di atas butiran pasir yang membara, berusaha mempertahankan diri, agar matanya tak terpejam.
Namun dalam pandangan matanya sekarang seluruh jagat raya seolah telah berubah menjadi segumpal bara api.
Dia sadar, kali ini dirinya benar-benar akan mati, karena dia telah menyaksikan khayalan yang hanya bisa dilihat oleh mereka yang hampir sekarat, tiba-tiba ia saksikan ada satu rombongan kuda dan kereta indah bergerak mendekat, muncul di bawah teriknya cahaya matahari yang berwarna kekuning-kuningan.
Setiap orang yang berada dalam rombongan itu seakan- akan memancarkan sinar keemasan seperti cahaya emas murni, tangan mereka membawa kantung emas berisi air, dalam kantung bukan hanya tersedia air, bahkan ada pula arak wangi yang lezat.
Kalau apa yang disaksikan bukan fatamorgana, bukan ilusi yang diciptakan langit untuk menghibur mereka yang sekarat, sudah pasti merekalah urusan yang dikirim akhirat untuk menjemputnya pulang.
Perlahan-lahan dia memejamkan mata, memejamkan matanya yang semakin berat, ia merasa biar harus mati pun, harus mati dengan pasrah.
Hari ini waktu menunjukkan bulan sembilan tanggal enam belas. Ketika tersadar kembali, Siau-hong segera memastikan dua hal. Pertama, dia belum mati.
Kedua, dia berada dalam keadaan telanjang bulat.
Berbaring di atas ranjang berlapiskan kulit macan tutul dalam keadaan telanjang bulat.
Ranjang empuk itu berada di sudut sebuah tenda yang maha besar dan indah, di sampingnya terdapat sebuah meja kayu, di atas meja terdapat sebuah baskom yang terbuat dari emas, dalam baskom emas berisikan air yang nilainya jauh lebih mahal dari emas.
Seorang gadis berkerudung sutera bertubuh langsing dan mengenakan baju orang Han, sedang menggunakan selembar handuk yang lembut membasuh tubuhnya memakai air dalam baskom emas.
Tangannya lembut, halus dan indah, gerak-geriknya penuh kelembutan dan teliti, seakan sedang membersihkan sebuah benda antik yang baru dikeluarkan dari gudang rahasia, dia membasuh tubuh pemuda itu dari alis mata, mata, wajah, bibir, badan hingga ke ujung kaki, bahkan semua debu yang menempel pada kuku kaki pun dicuci dan dibersihkan hingga betul-betul bersih. Seseorang yang baru saja lolos dari lubang kematian, baru saja mengalami berbagai penderitaan karena siksaan tubuh dan cuaca, tiba-tiba menjumpai dirinya berada dalam kondisi seperti ini, bisa dibayangkan betapa terperangah, kaget, keheranan, dan gembiranya pemuda ini.
Perasaan pertama yang dirasakan Siau-hong adalah seolah dirinya telah melakukan satu hal yang amat berdosa.
Di tengah gurun pasir, ternyata ada orang menggunakan air yang lebih berharga dari emas untuk memandikan tubuhnya, kejadian semacam ini bukan saja telah menghambur-hamburkan barang berharga, pada hakikatnya sudah tergotong satu perbuatan dosa besar.
Siapakah tuan rumah di sini? Siapa yang telah menyelamatkan dirinya?
Dia ingin sekali menanyakan hal ini.
Namun sayang, sekujur tubuhnya terasa lemah tak bertenaga, bahkan tenggorokan pun tetap terasa kering, dahaga nyaris merobek tenggorokannya, mulutnya tetap getir, malah lidahnya pun terasa merekah seperti mau robek.
Perempuan berkerudung asing itu meski telah membersihkan tubuhnya dengan air bersih, namun tak pernah memberinya minum, walau hanya setetes air.
Oleh karena itu perasaan kedua yang timbul dalam hatinya bukan gembira, melainkan rasa gusar yang meluap.
Akan tetapi hawa amarahnya sama sekali tak dilampiaskan, sebab secara tiba-tiba ia menjumpai lagi bahwa di dalam tenda mewah itu bukan hanya ada mereka berdua, masih ada seorang lagi berdiri tenang di sudut tenda, sedang mengawasinya dengan tenang. Seorang lelaki yang mempunyai harga diri, di bawah tatapan dan pengawasan orang lain ternyata berbaring telanjang bulat, bahkan bagaikan seorang bayi, sedang dimandikan seorang wanita yang teramat asing baginya.
Bisa dibayangkan bagaimanakah perasaannya saat itu?
Siapa pula yang dapat menghadapinya?
Kini perempuan itu mulai menggosok dan memegang bagian tubuhnya yang paling sensitif. Coba andaikata dia bukan kelewat lelah, dahaga dan lapar, kemungkinan besar napsu birahinya akan terangsang dan terpancing bangkit.
Keadaan semacam ini terlebih lagi membuat orang susah untuk mengendalikan diri.
Sekuat tenaga Siau-hong mendorong tangan perempuan itu, meronta sekuat tenaga untuk duduk, dia ingin sekali meneguk air di dalam baskom emas.
Dia harus minum sedikit air, dengan minum air dia baru bertenaga, sekalipun air dalam baskom itu adalah air bekas mencuci kaki bau, dia tetap akan meneguknya.
Sayang sekali gerakan perempuan itu jauh lebih cepat daripada gerakan tubuhnya, tiba-tiba dia sambar air dalam baskom itu, lalu sambil tertawa cekikikan menyelinap keluar dari tenda.
Siau-hong tak punya kekuatan untuk mengejar, dia pun tak mampu melakukan pengejaran. Kini dia masih berada dalam keadaan telanjang bulat, lelaki asing yang berdiri di hadapannya pun masih mengawasi gerak-geriknya.
Sekarang dia baru dapat melihat jelas tampang orang itu.
Dulu ia belum pernah berjumpa dengan manusia semacam ini, di kemudian hari pun mungkin dia tak pernah akan bertemu lagi. Di sudut tenda sebelah depan sana terdapat sebuah bangku yang amat lebar, besar, dan nyaman, orang itu berdiri persis di depan bangku itu namun tidak pernah menempatinya.
Sekilas pandang, orang yang berdiri di tempat itu sama sekali tak ada bedanya dengan orang lain.
Tapi bila kau perhatikan beberapa kejap lagi, maka segera akan ketahuan bila gayanya sewaktu berdiri ternyata jauh berbeda dengan orang mana pun.
Tapi di manakah letak perbedaan itu? Tak seorang pun dapat menerangkan.
Walaupun dengan jelas ia berdiri di tempat itu, namun justru memberi kesan susah bagi orang lain untuk mengetahui keberadaannya, sebab orang itu seakan telah menyatu dengan bangku di belakang tubuhnya, tenda di atas kepalanya serta permukaan tanah di bawah kakinya.
Peduli di mana pun ia berdiri, seakan tubuhnya selalu menyatu dengan benda dan alam yang berada di sekelilingnya.
Bila kau melihat pada pandangan pertama, dia seakan sama sekali tak bergerak, anggota badannya, tubuhnya, bulunya, setiap bagian tubuhnya dari atas hingga ke bawah, tak satu pun yang bergerak, bahkan detak jantung pun seolah ikut berhenti.
Tapi bila kau perhatikan beberapa kejap lagi, maka akan kau jumpai tubuhnya, setiap bagian organ tubuhnya seakan sedang bergerak bahkan tiada hentinya bergerak.
Bila kau lepaskan sebuah pukulan ke arah tubuhnya, peduli bagian mana pun dari tubuhnya yang kau incar, kemungkinan besar segera akan memperoleh reaksi balasan yang amat menakutkan. Parasnya pun sama sekali tidak menunjukkan perubahan apa pun.
Biarpun dengan jelas ia sedang menatapmu, namun sinar matanya sama sekali tidak menunjukkan perubahan apa- apa, seperti benda apa pun tak terlihat olehnya.
Dalam genggaman orang itu terdapat sebilah pedang, sebilah pedang bersarung hitam yang sempit dan panjang.
Pedang itu masih berada dalam sarungnya.
Akan tetapi asal kau memandang sekejap saja, segera akan kau rasakan semacam hawa pedang yang amat menyesakkan napas.
Tangannya meski belum mencabut pedangnya, namun seakan sudah berada di depan tenggorokanmu.
Siau-hong benar-benar tak ingin memandang orang itu lebih lama, apa mau dikata dia justru tak tahan untuk melihatnya lagi. Orang itu sama sekali tidak bereaksi.
Ketika sedang menatap orang lain, dia seakan sama sekali tak punya perasaan. Ketika orang lain sedang memandangnya, dia pun seolah sama sekali tak tahu.
Dia seakan-akan sama sekali tak peduli terhadap semua kehidupan yang ada di langit dan bumi, dia pun tak peduli atas sikap pandangan orang terhadap dirinya.
Karena yang dia perhatikan hanya satu hal....
Pedang miliknya!
Tiba-tiba Siau-hong merasakan telapak tangannya telah basah oleh keringat dingin.
Hanya di saat sedang menghadapi duel maut yang menentukan mati hidup, telapak tangannya baru akan basah oleh keringat dingin. Kini dia tak lebih hanya mengawasi orang itu beberapa kejap, orang itu pun tidak bergerak, sama sekali tidak menunjukkan sikap bermusuhan, mengapa dirinya bisa timbul reaksi seperti ini?
Apakah sejak dilahirkan mereka sudah ditakdirkan harus berhadapan sebagai musuh? Cepat atau lambat, suatu saat salah seorang di antara mereka harus tewas di tangan lawan?
Tentu saja kalau bisa peristiwa semacam ini jangan sampai terjadi. Di antara mereka berdua sama sekali tak terikat dendam atau sakit hati, mengapa harus saling berhadapan sebagai musuh bebuyutan?
Anehnya dari dasar lubuk hati Siau-hong justru muncul semacam firasat yang tak menguntungkan, dia seakan melihat ada seorang di antara mereka berdua yang roboh terkapar di tanah, roboh terkena tusukan pedang lawannya, terkapar di tengah genangan darah.
Sayang ia tak dapat melihat siapa di antara mereka berdua yang bakal terkapar.
Suara tawa yang merdu bagai keleningan kembali berkumandang. Perempuan berkerudung itu muncul kembali dari balik tenda, kali ini dia muncul sambil membawa lagi baskom emas yang tadi.
Suara tawanya indah, merdu dan manis, bukan saja menunjukkan rasa gembiranya, dia pun membuat orang lain ikut gembira.
Sayang Siau-hong tidak gembira. Dia pun tak habis mengerti mengapa perempuan itu bisa tertawa dengan begitu gembira.
Tak tahan ia pun menegur, "Dapatkah kau memberi sedikit air minum untukku?" "Tidak," perempuan itu menggeleng sambil tertawa, "Air dalam baskom sudah kotor, tak bisa diminum."
"Air kotor pun tetap air, asal ada air, dahagaku pasti hilang."
"Aku tetap tak bisa memberi air untukmu." "Mengapa?"
"Karena air dalam baskom ini memang bukan diberikan untuk menghilangkan dahagamu."
Setelah berhenti sejenak, kembali terusnya sambil tertawa, "Kau seharusnya tahu, air adalah benda yang sangat berharga di wilayah gurun pasir, air ini milikku, kenapa harus kuberikan kepadamu?"
"Jadi kau lebih rela air dalam baskom itu dipakai untuk memandikan aku daripada menghilangkan rasa dahagaku?"
"Itu dua masalah yang berbeda."
Mengapa berbeda? Siau-hong sama sekali tak mengerti, semua perkataannya benar-benar membuat orang sukar untuk memahaminya.
Untung saja perempuan itu segera memberi penjelasan. "Memandikan dirimu merupakan kenikmatan bagiku." "Kenikmatan bagimu? Kenikmatan apa?" tanya Siau-
hong semakin tak mengerti.
"Kau adalah seorang pemuda yang memiliki perawakan tubuh sangat bagus, pertumbuhan badanmu dari ujung kepala hingga ujung kaki sangat bagus, memandikan tubuhmu akan membuat hatiku sangat gembira. Bila membiarkan kau meminumnya, jelas hal ini merupakan masalah lain." Dia tertawa semakin manis, tambahnya, "Sekarang apakah kau sudah memahami maksud hatiku?"
Siau-hong ingin sekali tertawa kepadanya, sayang ia tak mampu tertawa.
Kini walaupun dia sudah memahami maksud perkataannya, namun ia tetap tak paham, bagaimana mungkin perempuan itu bisa mengucapkan perkataan semacam ini.
Pada hakikatnya ucapannya itu tak mirip perkataan manusia.
Tapi perempuan itu seakan menganggap apa yang dikatakan sangat masuk akal.
"Air ini milikku, terserah mau kuapakan air ini, karena sama sekali tak ada sangkut-pautnya dengan dirimu. Jika kau ingin minum air, cobalah mencari akal sendiri."
Sewaktu tertawa, sepasang matanya kelihatan amat sipit bagaikan sepasang bulan sabit, mirip juga mata kail, hanya saja siapa pun dapat melihat kalau yang ingin dia kail bukanlah ikan, melainkan manusia.
"Bila kau tak berhasil menemukan cara yang baik, kami dapat memberi sebuah petunjuk jalan untukmu."
Kali ini dia berbicara dengan bahasa manusia, karena ucapannya bisa dipahami.
"Dengan cara apa aku dapat menemukan air? Ke mana aku harus mencarinya?" Siau-hong segera bertanya.
Tiba-tiba perempuan itu mengangkat jari tangannya yang putih lembut dan menuding ke arah belakang tubuh Siau- hong, katanya, "Asalkan berpaling, kau segera akan mengetahuinya."
Siau-hong pun segera berpaling. Entah sejak kapan, ternyata sudah ada seseorang berjalan masuk ke dalam tenda.
Pada hari biasa, sekalipun hanya seekor kucing yang menyelinap masuk, dia pasti akan segera mengetahuinya, tapi sekarang dia kelewat lelah, dahaga, ingin minum air, menanti berpaling ke belakang, dia baru melihat kehadiran orang itu.
Ternyata yang dia jumpai adalah Wi Thian-bong.
Wi Thian-bong dengan perawakan tubuhnya yang tinggi besar, bersikap serius, berpakaian rapi, senyuman selalu menghiasi ujung bibirnya, sepasang mata penuh dengan tekad yang bulat, tekad yang susah dibelokkan.
Berada pada saat apa pun, tempat mana pun, dia selalu dapat memaksa orang lain selalu bersikap hormat dan kagum terhadapnya.
Di hari biasa, semua sepak terjang, semua perbuatan yang dilakukan pun cukup mengundang rasa hormat dan kagum orang lain.
Tahun ini dia berusia lima puluh tiga tahun. Sejak usia dua puluh satu tahun, ia sudah menjadi Congpiauthau sebuah perusahaan ekspedisi terbesar di wilayah Kwan- tong, dalam perjalanan kariernya selama tiga puluhan tahun, semua usahanya berjalan lancar, belum pernah mengalami masalah dan musibah yang kelewat besar.
Hingga kemarin malam, untuk pertama kalinya dia telah menghadapinya.
Lenyapnya emas lantakan menjadi bagian tanggung- jawabnya, seluruh anak murid kepercayaannya pun nyaris tewas secara mendadak dalam keadaan mengenaskan. Sekalipun begitu, dia tetap tampil penuh wibawa dan gagah, pukulan yang begitu menakutkan ternyata sama sekali tidak mengubah sikap maupun penampilannya.
Siau-hong segera menggunakan kulit macan tutul untuk menutupi bagian tubuhnya yang paling vital, kemudian baru mendongakkan kepala menghadap Wi Thian-bong.
"Tak nyana ternyata kau telah menyelamatkan aku." "Aku tidak menyelamatkan kau," jawab Wi Thian-bong,
"Tak seorang pun dapat menolongmu, hanya kau sendiri
yang dapat menyelamatkan dirimu sendiri."
Kemudian setelah berhenti sejenak, lanjutnya, "Kau telah menghabisi nyawa putra tunggal Hok-kui-sin-sian, seharusnya kau mesti menggantinya dengan nyawamu."
"Dan sekarang?"
"Sekarang seharusnya kau telah tewas di tengah gurun pasir, tewas di tangannya."
Yang dia maksudkan "nya" tak lain adalah perempuan berkerudung hitam itu.
"Tahukah kau siapa dia?" tiba-tiba Wi Thian-bong bertanya lagi.
"Aku tahu," sahut Siau-hong sambil tertawa, "Dia pasti menyangka aku tidak mengenalnya lagi, karena waktu aku bertemunya pagi tadi, dia masih merupakan seorang perempuan mengenaskan yang hampir mati, dia dipaksa orang untuk membunuhku, tapi sebaliknya malah termakan sebuah tusukan pedangku, sementara air dalam kantungnya hanya tersisa dua tegukan."
Setelah menghela napas, lanjurnya, "Karena dia tahu belum tentu usaha pembunuhannya akan berhasil menghabisi nyawaku, maka jauh sebelumnya ia telah menyiapkan jalan mundur, tentu saja dia tak boleh membawa terlalu banyak air di dalam kantungnya, daripada terampas olehku pada akhirnya. Selain itu dia pun harus berlagak sangat mengenaskan, agar hatiku iba dan terenyuh dibuatnya."
Selama ini perempuan berkerudung itu hanya mendengarkan, mendengarkan sambil selalu tertawa, tentu saja suara tawanya jauh lebih riang ketimbang tadi.
"Sejak perjumpaan kali pertama, kau tidak seharusnya mempercayai aku, hanya sayang hatimu kelewat lembek," katanya.
"Sayangnya, hati dia tak pernah lembek!" tiba-tiba Wi Thian-bong buka suara lagi.
Sui-gin, si Air raksa, ketika membunuh korbannya, ia tak pernah lembek hatinya, tak pernah lembek serangannya.
"Perempuan ini tak lain adalah Air raksa, air raksa yang tiada pori yang tak dapat ditembusi!"
Ternyata Siau-hong sama sekali tak merasa di luar dugaan.
Kembali Wi Thian-bong bertanya, "Tahukah kau, mengapa hingga sekarang dia belum membunuhmu?"
Siau-hong menggeleng, dia memang tak tahu.
"Karena Lu Thian-po telah mati, sementara tiga puluh laksa tahil emas masih tetap ada wujudnya," sahut Wi Thian-bong.
"Apa hubungan Lu thian-po dengan tiga puluh laksa tahil emas?"
"Hanya ada satu hubungan, emas senilai tiga puluh laksa tahil itu milik Hok-kui-sin-sian Lu-sam-ya." "Peduli siapa pun yang mati, setelah mampus, dia tak lebih hanya sesosok mayat," kata Sui-gin pula, "Dalam pandangan Lu-sam-ya, tentu saja sesosok mayat tak akan mengungguli emas sebanyak tiga puluh laksa tahil."
Setelah tertawa cekikikan, tambahnya, "Kalau bukan begitu, mana mungkin dia bisa kaya?"
"Oleh karena itu asal kau dapat membantuku menemukan kembali emas lantakan senilai tiga puluh laksa tahil itu, kujamin dia tak bakal mencarimu lagi untuk menuntut balas" sambung Wi Thian-bong.
"Wah, kedengarannya sebuah transaksi yang sangat menarik," teriak Siau-hong.
"Memang sangat menarik!" senyuman Sui-gin semakin memikat.
"Kalian selalu menaruh curiga kalau emas itu telah dirampok Po Eng, kebetulan aku kenal, aku segera akan membantu kalian untuk menyelidiki persoalan ini."
"Ternyata kau memang tak bodoh," seru Sui-gin sambil tertawa.
"Asal kau bersedia," ujar Wi Thian-bong pula, "Apa pun yang kau butuhkan, kami pasti akan menyediakannya untukmu."
"Dari mana aku bisa tahu saat ini Po Eng berada di mana?" kata Siau-hong lagi.
"Kami dapat membantumu untuk menemukan jejaknya."
Siau-hong kembali termenung, kemudian ujarnya perlahan, "Po Eng sama sekali tidak menganggapku sebagai sahabat. Membantu para Piausu menangkap perampok pun bukan termasuk pekerjaan yang memalukan."
"Betul." "Bila aku tak bersedia menerima tawaran ini, sekalipun kalian tidak membunuhku pun aku tetap akan mati karena kehausan." Sui-gin menghela napas panjang.
"Benar, siksaan semacam ini pasti teramat tak enak," katanya. "Maka dari itu rasanya aku harus menerima tawaran kalian ini.”
“Betul, kau memang sudah tak ada pilihan lain lagi," Sui- gin membenarkan dengan suara lembut.
Kembali Siau-hong menghela napas.
"Ai, rasanya aku memang harus berbuat begitu." "Dan kau sudah menyanggupinya?"
"Masih belum."
"Apa lagi yang sedang kau pertimbangkan?"
Ooo)d*w(ooO