Dendam Sejagad Jilid 09

 
Jilid 09

GULUNGAN o mbak yang berkejaran me mbawa suara deruan yang keras, suatu pertarungan berdarah yang mengerikan sebentar lagi akan berlangsung di sana.

Ku See-hong menghimpun segenap tenaga dalam yang dimilikinya, ma kin dihimpun ia merasa kekuatannya makin menghebat.

Tiba-tiba…. Bentakan menggelede k yang sangat me mekikkan telinga berkumandang me mecahkan  keheningan, secepat kilat tubuhnya menerjang ke muka. Dalam waktu singkat ia  lancarkan lima buah pukulan dahsyat menghanta m lima orang musuhnya. Cepat gerakan tubuhnya,  hebat  serangannya,  betul-betul menger ikan hati…. Segulung hembusan angin dahsyat, ibaratnya amukan gelombang dahsyat di tengah sa mudra, dengan cepatnya menggulung ke arah lima orang itu.

Empat orang le laki bercambang yang mengge mbo l pedang itu menjer it kaget, cepat-cepat mereka terdesak mundur sejauh tiga empat langkah.

Si Pedang Emas Cia Tiong-gio k tertawa dingin… tubuhnya berputar kencang, lalu sepasang telapak tangannya disertai selapis tenaga pukulan yang dahsyat me munahkan datangnya ancaman itu.

Pada saat yang bersamaan itulah Ku See-hong tertawa dingin, serangan mematikan ke mbali dilepaskan. Kakinya berputar kencang, dengan suatu gerakan yang sangat aneh ia mendesak ke sisi tubuh kedua orang lelaki berca mbang itu. Berbareng itu juga lima buah jari tangan kanannya direntangkan, lalu di antara sentilan dan getarannya lima gulung angin tajam me luncur keluar dari ujung jari tangannya itu.

Dengan cepat angin serangan tersebut menyergap jalan darah Hu-hun-hiat, Kau-mao-hiat, Hun-bun-hiat, Gi-si-hiat, dan Gi-sim- hiat di tubuh kedua orang le laki berca mbang itu.

Si Pedang Emas Cia Tiong-giok sendiripun sa ma sekali tidak berdiam diri belaka, begitu lolos dari sergapan lawan yang dahsyat, serangan me matikan segera dilancarkan, sepasang telapak tangannya melakukan gerakan-gerakan yang aneh dan menciptakan desingan angin tajam yang menggidikkan hati.

Angin pukulan yang dahsyat dan tajam segera menganca m delapan belas buah jalan darah penting di tubuh Ku See-hong. Waktunya persis berbareng ketika Ku See-hong sedang menyergap dua orang le laki berca mbang itu.

Pengalaman pertarungannya selama beberapa kali me mbuat Ku See-hong me mpunyai keyakinan yang lebih besar lagi terhadap tenaga khikang Kan- kun- mi-siu yang dilatihnya, ma ka ia tidak a mbil gubris terhadap anca man dari Cia Tiong-gio k itu, ma lahan segenap tenaganya tetap disalurkan ke depan me mpertaja m kelima gulung desingan angin serangannya.

“Sreeett, sreeett, sreeett…” desingan tajam yang me mekikkan telinga secepat kilat meluncur ke depan. Dua kali jeritan ngeri yang menyayat hati bergema me mecahkan keheningan. Beberapa buah jalan darah penting di tubuh kedua orang lelaki berca mbang itu segera ditembusi oleh kelima gulung  desingan angin tajam itu sehingga darah segar menye mbur keluar sangat deras.

Bukan begitu saja, bahkan sisa tenaga serangan yang  masih besar itu telah me mbawa tubuh mereka terpental sejauh tiga kaki lebih dari te mpat se mula….

Ketika di sebelah sana berkumandang suara jeritan, maka di sebelah sini pun terjadi ledakan yang beruntun….

“Bluuumm! Bluuumm!”

Secara telak tubuh Ku See-hong kena dihantam oleh tenaga serangan Cia Tiong-giok yang a mat dahsyat itu. Akan tetapi dia hanya merasakan hawa darahnya sedikit bergetar dan tubuhnya maju dua langkah. Si Pedang Emas Cia Tiong-giok menjadi a mat terkesiap, dengan cepat ia menubruk  ke muka. Kedua  ujung bajunya bagaikan dua ekor ular berbisa, menggulung dan menyapu tiada hentinya menganca m belakang tengkuk Ku See-hong. Serangan ini a mat ganas, buas dan keji, sukar dibayangkan dengan kata-kata.

Ku See-hong sama sekali tidak menyangka kalau Cia Tiong-giok dapat menyerang dan merubah jurus serangan dengan kecepatan setinggi ini, tiba-tiba saja dia merasa ada segulung desingan angin tajam menyergap di atas belakang tengkuknya.

Dengan wajah berubah hebat buru-buru ia keluarkan ilmu gerakan tubuh Mi-khi-biau-tiong, tiba-tiba saja tubuhnya bagaikan pusaran angin berpusing secara aneh tapi sakti berputar ke arah luar. Sementara kakinya me lakukan gerakan perputaran yang aneh menuju ke luar, tubuhnya me lakukan pula suatu gerakan yang sukar dilukiskan dengan  kata-kata,  kemudian  telapak  tangan  kirinya  me lancarkan segulung angin pukulan yang dahsyat menghanta m tubuh Cia Tiong-giok.

Betapa terperanjatnya Si Pedang Emas Cia Tiong-gio k, segera ia berpikir di dalam hati:

“Ternyata ilmu silat yang sebenarnya dimiliki orang ini jauh lebih lihay dari apa yang kubayangkan se mula.”

Tubuhnya lantas sedikit berjongkok, ujung bajunya dikebaskan pelan ke arah depan me lancarkan segulung angin pukulan le mbe k yang berhawa dingin, rupanya dia ingin mencoba  tenaga  dalam yang dimiliki lawan.

“Blaaamm…!” suatu ledakan keras segera berkumandang.

Ku See-hong merasakan tubuhnya bergetar keras,  desingan angin pukulan yang maha dahsyat itupun seketika tersapu lenyap hingga tak berbekas, menyusul ke mudian segulung  tenaga dorongan yang kencang me maksanya mundur sejauh tiga e mpat langkah.

Begitu mengetahui kalau tenaga dalam musuhnya tidak lebih tangguh daripada kekuatan sendiri, Si Pedang Emas Cia Tiong-gio k merasa  a mat girang,  semangatnya  berkobar  ke mbali,   sambil me mbentak keras jengeknya:

“Orang she Ku, aku lihat lebih kau me mbalas dendam pada penitisanmu yang akan datang saja!”

Begitu kata terakhir me luncur keluar, telapak tangan kanannya segera melancarkan sebuah pukulan dahsyat yang dalam, bagaikan samudra, sementara lima  jari  tangan  kirinya  direntangkan  dan me lepaskan lima gulung desingan angin tajam ke depan.

Dua jurus serangan yang tangguh dilancarkan pada saat yang hampir bersa maan, selain ganas juga hebatnya luar biasa. Ku See-hong segera merasakan wajah maupun ketujuh lubang inderanya telah terkurung di balik desingan angin jari lawan yang tajam. Tak terlukiskan rasa terkesiap dalam haitnya, buru-buru dia gunakan ilmu gerakan tubuhnya yang lihay, Mi-khi-biau-tiong, untuk me loloskan diri.

Seluruh badan Ku See-hong segera berubah ibaratnya segumpal kapas, di tengah alunan angin pukulan yang menyelimut i angkasa, dari sudut yang  amat  aneh,  bagaikan  selembar  bulu   saja  ia  dihe mbus sehingga menyelinap keluar dari arena.

Menyaksikan ilmu gerakan tubuh yang sedemikian lihaynya itu, Si Pedang Emas Cia Tiong-giok merasa seharusnya tenaga dalam yang dimiliki pihak lawan a mat sempurna, tapi mengapa  tenaga pukulannya tadi justru jauh lebih le mah daripada tenaga pukulan sendiri…?

Cia Tiong-giok sebagai seorang yang cerdik, licik, banyak tipu mus lihat dan hatinya lebih kejam daripada seekor ular berbisa, dengan cepat menga mbil satu kesimpulan: sudah pasti pihak lawan telah me mpelajar i banyak sekali ilmu silat yang sakti dan luar biasa, hanya sampai kini masih belum dapat  dipergunakannya sebagaimana mestinya….

Begitu kesimpulan tersebut melintas lewat di dalam benaknya, niatnya untuk melenyapkan Ku See-hong ma kin mantap, dia  tak ingin me lepaskan harimau pulang ke gunung sehingga mendatangkan bencana besar di ke mudian hari….

Berpikir sampa i di situ, Si Pedang Emas  Cia  Tiong-giok segera me mbentak keras, tubuhnya dengan cepat bagaikan kilat segera mengejar ke depan. Kaki  dan tangan dipergunakan bersama, bagaikan bunga yang berguguran di musim gugur, dia kurung seluruh tubuh Ku See-hong secara ketat.

Terkesiap juga hati Ku See-hong menyaksikan kecepatan gerak lawannya, sementara ia masih tertegun bercampur kaget, selapis angin pukulan yang dahsyat bagaikan gulungan o mbak di sa mudra, di bawah lapisan bayangan telapak tangan yang membukit, secara dashyat dan bersamaan menyergap tiba.

Kesempur naan ilmu silat yang dimiliki Si Pedang Emas Cia Tiong- giok dalam dunia persilatan dewasa ini boleh dibilang sudah jarang yang bisa menandinginya lagi.  Coba kalau Ku See-hong tidak berhasil me maha mi banyak kepandaian sakti ketika berada di tanah pekuburan, ke mudian mengala mi siksaan panca istana Huan- mo- kiong yang menyebabkan bergeraknya tenaga murni yang berada di dalam tubuh dan terhisap oleh pusaran yang mengakibatkan tenaga dalamnya maju beberapa tingkat, niscaya ia sudah tewas oleh serangan keji lawannya.

Tiba-tiba Ku See-hong menghimpun tenaga dalamnya, ke mudian sekali lagi me mperguna kan ilmu gerakan tubuh Mi-khi-biau-tiong yang maha dahsyat tersebut. Tampak tubuhnya yang mela mbung di tengah udara itu terombang-a mbing mengikuti gulungan angin serangan yang dahsyat. Seenteng selembar bulu,  dia  menari  dan me layang kesana ke mari tiada hentinya.

Ternyata ilmu gerakan tubuh yang sangat lihay ini boleh dibilang menganda lkan segulung hawa murni yang  dihimpun  dari  pusar, me mbuat seluruh badannya enteng bagaikan bulu. Dalam keadaan begini, sekalipun angin pukulan yang dahsyat mengena di tubuhnya juga tak akan menghasilkan pengaruh apa-apa.

Ilmu gerakan tubuh Mi- khi biau-tiong merupa kan suatu kepandaian sakti yang berhasil diperoleh  Bun-ji  koan-su  setelah me mpe lajari is i kitab Cang-ciong pit-kip sela ma banyak tahun. Kehebatan dan kesaktiannya tentu saja sukar dilukiskan dengan kata-kata.

Tempo hari, Bun-ji koan-su pernah berkata kepada Ku See-hong, asal ia berhasil menguasai ilmu gerakan tersebut maka untuk menjaga diri hal mana sudah berlebihan.

Si Pedang Emas Cia Tiong-giok merasa kagetnya bukan kepalang tatkala menyaksikan ilmu gerakan tubuh yang dipergunakan pemuda ini setingkat lebih dalam dari pada ilmu gerakan tubuh yang digunakannya tadi, segera pikirnya:

“Heran, ilmu gerakan tubuh apakah ini? Belum pernah kubaca tentang kepandaian sakti seperti ini dalam kitab pusaka ilmu silat, padahal ilmu silat yang dimiliki ayah sangat tinggi, mengapa  aku  pun belum pernah mendengar tentang soal ini dari mulutnya…?”

Berpikir sampa i ke situ, mendadak Si Pedang Emas Cia  Tiong- giok teringat ke mbali akan sebuah ilmu sakti dari istana Huan- mo- kiong yang sudah lama tak pernah dipergunakan: Mo-to sam-huan (Tiga Perubahan dari Pulau Iblis).

Tanpa terasa kakinya segera me mbawakan  langkah tujuh bintang, bersamaan itu pula sepasang tangannya digerakkan bersama serangan itu… seperti ada seperti tak ada, seperti nyata seperti  tipuan,  kiri  kanan  sepasang   tangannya   secepat   kilat me lancarkan tiga buah serangan yang a mat aneh.

Dalam setiap gerakan yang dipergunakan se muanya disertai dengan ilmu langkah yang se mpurna, serangan itu datang pula dari sudut yang aneh, beruntun datangnya dan tiada terputus.

Demikian hebatnya jurus serangan itu, boleh dibilang belum pernah dijumpa i dalam dunia persilatan dewasa ini.

Begitu ilmu Mo-to sam-huan dikeluarkan, ma ka hebatlah akibatnya.

Ketika Ku See-hong bergerak dengan menggunakan ilmu gerakan tubuhnya yang sakti tadi, ia sudah bersiap-siap hendak menggunakan gerakan kedua dari jurus Hoo-han-seng-huan tersebut yakni Jin-hay-hu-seng (Lautan Manusia Timbul Tenggelam) untuk me lukai musuh.

Si anak muda ini baru terkesiap setelah menyaksikan Cia Tiong- giok mengeluar kan jurus sakti tersebut untuk mendesak dirinya. Dengan cepat hawa mur ni yang kuat menyelimuti seluruh dadanya, menyusul ke mudian sepasang telapak tangannya digerakkan secara aneh. Di balik kilauan cahaya yang gemerlapan, disertaai segulung hawa murni yang berat dan dalam bagaikan sa mudra, secara lamat- la mat menerobos masuk ke dala m.

Bentuk badan Ku See-hong saat ini telah berubah menjadi aneh sekali, tubuhnya berada tiga depa dari permukaan tanah, dengan bentuk seperti udang bago, di antar lengkungan dan lejitannya yang lucu… sekilas cahaya putih secepat kilat me lesat  ke  muka menganca m bagian me matikan di tubuh Cia Tiong-gio k.

Sewaktu mas ih berada dalam istana Huan- mo-kiong, Cia Tiong- giok telah mengena li kelihayan jurus Hoo-han-seng-huan tersebut, dia baru terperanjat bukan kepalang setelah menyaksikan sekilas cahaya putih menembusi dinding tak berwujud yang diciptakan berlapis-lapis itu dan secepat kilat menyergap bagian penting di tubuhnya.

Padahal Mo-to sam-huan merupakan  suatu kepandaian sakti yang dahsyat sekali pengaruhnya… dalam kenyataan serangan itu tak ma mpu me mbendung kehebatan dari jurus Hoo-han-seg-huan tersebut….

Dengan cepat Cia Tiong-giok menghimpun segenap tenaga  dalam yang dimilikinya sehingga tenaga serangan yang terpancar keluar lewat ilmu Mo-to sa m-huan itu menjadi sepuluh bagian lebih dahsyat. Lalu dengan gerakan keras lawan keras, ia sambut datangnya serangan itu.

Berbareng dengan gerakan tadi, tubuhnya turut melesat ke muka sebagai persiapan untuk menghindar i luka parah yang tak diperlukan.

“Plaaakk…!” benturan keras terjadi.

Kemudian kedengaran suara dengusan tertahan mendesis di angkasa, pusaran hawa tajam segera me mancar ke delapan penjuru.

Ku See-hong segera merasakan hawa darah di dalam dadanya bergolak keras oleh segulung tenaga dorongan yang kuat, ia didesak sa mpai mundur sejauh lima enam langkah dari posisi semula.

Cia Tiong-giok sendiri, walaupun cukup cepat reaksinya, tubuhnya ikut bergerak cahaya putih itu de mikian cepatnya, daya pengaruh yang terpancar pun begitu luas daya lingkupnya….

Tampak seluruh tubuhnya terpental jauh ke belakang oleh  sapuan tenaga yang me mbuyar itu. Sekali kuda-kudanya tergempur, badannya segera berjumpalitan di udara dan melayang turun empat kaki jauhnya dari posisi se mula.

Walaupun ia dapat melayang turun dengan manis, akan tetapi dilihat dari paras mukanya yang pucat serta sorot matanya yang penuh dengan kebencian, dapat diketahui bahwa kerugian yang dideritanya cukup besar, kekalahan yang dideritanya sekarang boleh dibilang merupakan kekalahan yang pertama kali diala minya sela ma dua puluh satu tahun.

Sekuat tenaga Cia Tiong-giok segera mengendalikan luka yang diderita ke mudian sa mbil tertawa seram dia berkata:

“Orang she Ku, mala m ini aku tak akan melepaskan kau dengan begitu saja, heeehh… heeehh… heeehh… tentunya kau rasakan penderitaan yang hebat dalam tubuhmu sekarang, bukan?”

Oleh tenaga pukulannya yang dahsyat itu Ku See-hong me mang merasakan hawa darahnya bergolak keras, tak enteng luka yang dideritanya, namun dari balik matanya yang tajam segera mencorong keluar serentetan cahaya mata yang menggidikkan hati, lalu dengan sikap sinis me nghina ia me ndengus dingin:

“Hmm, jika punya ilmu, ayo tunjukkan se mua, apa gunanya menganda lkan ketajaman mulut untuk bersilat lidah?”

Si Pedang Emas Cia Tiong-giok menyeringai sera m, sehingga wajahnya tampak mengerikan sekali, lalu sa mbil tertawa dingin katanya:

“Mana, mana, orang she Ku, kegagahanmu sungguh mengagumkan, kau me mang seorang Kuncu sejati. Heeehh… heeehh… heeehh, sekarang kau tidak me nyerang lagi? Me mangnya tanganmu sudah tak menuruti suara hatimu lagi?”

Mendengar ucapannya yang sangat licik itu, dia m-dia m Ku See- hong merasa terkesiap, pikirnya:

“Saat ini seluruh nadi pentingku terluka, darah dalam tubuhku serasa membeku, bila keadaan ini sa mpa i diketahui lawan, bisa jadi dia akan segera melancarkan sergapan mematikan,  waktu itu niscaya kesela matanku akan terancam sekali.”

Padahal Si Pedang Emas Cia Tiong-giok sendiri pun merasakan hawa darah di dalam dadanya bergolak keras akibat dari benturan itu, tapi dasar licik, walaupun ia tahu Ku See-hong juga menderita luka parah, namun tidak diketahui sa mpa i di manakah taraf luka yang dideritanya itu.

Oleh karenanya dia ingin me mancing lawannya dengan ucapan yang me manaskan hati lawan, bila luka yang diderita pihak lawan parah sekali, maka dengan me mpertaruhkan kekuatan yang dimilikinya sekarang, ia hendak menggunakan sebuah ilmu pedang yang ganas dan buas untuk me mbunuhnya.

Sayang sekali Ku See-hong bukan seorang yang bodoh, sudah barang tentu ia dapat menduga maksud keji Cia Tiong-giok, ma ka sambil berlagak seakan-akan tak pernah terjadi apa-apa, ia tertawa seram.

“Sekarang  juga  aku  orang  she  Ku  masih   sanggup  untuk   me mbinasakan manus ia laknat maca m kau. Bila tidak percaya, mari kita buktikan sekarang juga….”

Menyaksikan sikap Ku See-hong yang begitu tenang menghadapi ancaman dirinya, diam-dia m Si Pedang Emas Cia Tiong-gio k makin terkesiap. Ia tidak berbicara lagi, dia m-dia m hawa murninya disalurkan untuk mengobati lukanya, sementara sepasang matanya yang memancar kan cahaya tajam mengawasi wajah Ku See-hong tanpa berkedip.

“Syukur dia terkibuli!” pekik Ku See-hong di hati kecilnya. Buru-buru diapun mengatur napasnya untuk menyembuhkan luka yang dia derita.

Begitulah, dua orang itupun berdiri saling berhadapan di tepi pantai dengan mata melotot, walaupun di luar wajahnya sikap mereka tenang, padahal di hati kecilnya merasa begitu tegang, begitu takut dan ngeri….

Angin laut masih berhe mbus a mat kencang, gulungan ombak saling berkejaran me mecah  di pantai, suara gemur uh yang disertakan dalam gulungan itu me mberikan suasana yang lebih menger ikan bagi orang-orang di sekitar sana.

Udara  di  sekeliling  tempat  itu  penuh   diliput i  hawa   nafsu me mbunuh yang menyeramkan, kian la ma kian bertambah tebal mengikut i berlalunya sang waktu.

Pada saat itulah ada dua sosok bayangan manusia yang sedang pelan-pelan mengha mpiri belakang tubuh Ku See-hong dengan gerakan seperti sukma gentayangan, dua bilah pedang pun pelan- pelan telah diloloskan dari dalam sarungnya….

Sejak semula Ku See-hong telah merasakan kehadiran mereka, ia tahu dunia ini penuh dengan kebusukan, kejahatan serta perbuatan me ma lukan. Kulit wajahnya segera mengejang keras, ia paling benci dengan tindak-tanduk se maca m ini. Sayang tenaganya waktu itu terlalu le mah, dia tak bisa berbuat banyak kepada mere ka.

Sekulum senyuman dingin yang licik segera tersungging di ujung bibir Si Pedang Emas Cia Tiong-giok, ia merasa bangga, juga a mat gembira.

Tiba-tiba…  terdengar  dua   kali   bentakan   nyaring  bergema me mecahkan keheningan. Dua bilah pedang yang tajam disertai dengan segulung hawa pedang yang dingin, satu dari kiri yang lain dari kanan, langsung menus uk ke bagian me matikan di tubuh Ku See-hong dengan kecepatan tinggi.

Terdengar  bentakan  yang  pedih   dan   sedih   mengge legar me mecahkan kheningan. Dengan kening berkerut dan wajah dingin bagaikan salju, tiba- tiba Ku See-hong me lejit ke udara dan meluncur  ke depan. Berada di tengah udara ia berjumpalitan beberapa kali, kemudian kesepuluh jari tangannya diayunkan ke depan… desingan angin tajam bagaikan bendungan yang jebol segera menyambar ke muka.

Selapis gulungan tenaga serangan yang dingin bagaikan es dan dashyat melebihi kekuatan pada umumnya itu, melanda ke depan secepat petir dan langsung menggulung ke tubuh dua orang lelaki berbaju hitam yang menyergapnya dari belakang itu….

Rupanya  tatkala   dua   orang   lelaki  berca mbang   itu   siap  me landakan sergapan, mendadak aliran hawa murni yang aneh di dalam tubuhnya itu menyebar keluar, hal mana me mbuat hawa darah yang bergolak keras seketika itu juga pulih ke mba li seperti sediakala.

Sementara itu Si Pedang Emas C ia Tiong- giok juga telah berhasil mengenda likan pergolakan hawa darah di dalam tubuhnya… tapi sayang ia tak sempat lagi untuk menghindarkan kedua orang anak buahnya itu dari anca man maut yang dilepaskan Ku See-hong.

Dua kali jeritan ngeri yang mendirikan bulu  ro ma  segera mengge ma me mecahkan keheningan mala m… kedua orang le laki bercambang itu mati seketika itu juga.

Dalam pada itu, Ku See-hong yang baru saja me mbunuh dua orang lawannya, tiba-tiba merasakan datangnya selapis hawa pedang yang dingin menusuk tulang menya mbar ke punggungnya secara dahsyat.

Ku See-hong tak berani bertindak ayal, kakinya segera berputar secaara aneh, lalu sekali lagi dia berkelit ke sa mping dengan gerakan tubuh Mi-khi biau-t iong yang sangat lihay itu. Pangkal kakinya menempel tanah, sementara tubuhnya berjumpalitan secara indah.

Rupanya dalam keadaan kritis tersebut,  ternyata  Ku  See-hong ke mbali berhasil me maha mi suatu gerakan aneh, dan yang secara langsung segera dipraktekkan. Hebatnya, ternyata tusukan maut yang dilancarkan Si Pedang Emas Cia Tiong-giok itu segera mengenai sasaran yang kosong.

Cia Tiong-giok tertawa seram, pedang e masnya digetarkan dan diputar menciptakan selapis cahaya emas yang tebal. Gerakan pedangnya secepat kilat me mbelah angkasa. Di antara getaran tersebut terpancar keluar cahaya gemerlapan yang menyilaukan mata.

Selama ini Ku See-hong belum pernah bertarung melawan musuh yang menggunakan jurus pedang. Serangan bertubi-tubi yang dilancarkan Cia Tiong-giok dengan me nge mbangkan serangkaian ilmu pedang yang buas dan me matikan itu segera me mbuat si anak muda itu me njadi gugup dan kalang kabut tak karuan.

Mencorong sinar tajam dari balik  mata  Ku  See-hong.  Sambil me mbentak keras, sepasang tangannya masing- mas ing me mbentuk sebuah garis busur dan me lancarkan bacokan kilat….

Ketika dua gulung  tenaga pukulan yang dilepaskan semua olehnya itu saling menumbuk menjadi satu di udara, “Ploook!” hawa serangan segera me mancar ke e mpat penjuru dan bersa ma-sa ma mengurung seluruh badan C ia Tiong-gio k.

Ilmu pukulan se maca m ini adalah merupakan hasil ciptaan Ku See-hong sendiri, selain sakti dan aneh, tanpa disadari tenaga pukulan yang dihasilkannya pun satu kali lipat  lebih dahsyat daripada keadaan biasa.

Cia Tiong-giok yang menyaksikan kejadian itu menjadi sangat terperanjat, pedang emas di tangannya segera diputar menciptakan selapis cahaya dinding yang kuat dan tebal.

Di antara desingan angin tajam yang menderu-deru, seketika itu juga segenap tenaga serangan yang dilancarkan Ku See-hong kena dipunahkan oleh hawa pedang tersebut.

Mendadak pedang emas dalam gengga man Cia Tong-giok digetarkan amat cepat dan dahsyat, bertitik-titik cahaya bintang bertaburan di angkasa dan tahu-tahu me lesat ke depan, menganca m ja lan darah Gi-hu-hiat dan cong-hiat di atas tenggorokan Ku See-hong.

Serangan tersebut meluncur dengan kecepatan tinggi, jurus serangan yang dipakai juga sakti dan luar biasa, lagi ganas ancamannya.

Seperti bayangan setan saja, tiba-tiba Ku See-hong  menyelinap ke samping, ke mudian bergerak secara aneh. Sepasang ujung bajunya dikebaskan bersa ma-sama menciptakan selapis hawa pukulan yang me luncur keluar tiada habisnya. Setelah itu, sekali lagi badannya mengegos ke sa mping.

Cia Tiong-giok segera menekan pedang e masnya ke bawah, lalu dibuyarkan di belakang, langkah kakinya turut mir ing ke sa mping. Pedang digetarkan menciptakan beribu-ribu buah ja lur cahaya yang amat menyilaukan mata.

Dalam waktu singkat, selapis cahaya pedang yang dingin dan tajam, disertai deruan angin dan guntur yang me me kikkan telinga menganca m sekujur badan Ku See-hong.

“Breeett…!” karena kurang cepat menghindarkan diri, lengan kiri Ku See-hong sudah kena tersambar sehingga robek sepanjang dua inci lebih,  kulit badannya kontan merekah  dan darah segera bercucuran me mbasahi separuh bajunya.

Dengan bangga Cia Tiong-giok tertawa licik, pedang emas di tangannya  kembali  diputar  menciptakan  cahaya   perak   yang  me lingkar-lingkar, kemudian atas bawah meluncur bersama, bagaikan naga sakti yang sedang menar i di angkasa, angin tajam menyelimuti seluruh udara.

Untuk sesaat lamanya Ku See-hong terkurung di balik cahaya pedang yang rapat sekali itu.

Sepasang lengannya berputar-putar mengikuti arah pedangnya dan menciptakan sebuah aliran hawa yang menyesakkan napas, untuk me mbendung jurus pedang yang ganas dan lihay itu secara paksa. Sambaran  pedang  emas  menciptakan  deruan  angin   yang mme kikkan telinga, pasir hitam di tanah menggulung- gulung terbang mengliputi udara, sedemikian dahsyatnya ancaman itu sehingga   cukup   menggetarkan    perasaan    siapapun    yang  me lihatnya… 

Cahaya pedang berputar bagakan gulungan omba k samudra, di antara kilatan-kilatan yang menyambar  kesana kemari, hampir seluruh arena terpenuh oleh serangan lawan.

Sekali lagi Ku See-hoong menggunakan ilmu langkah Mi-khi-biau- tiong untuk menghindarkan diri  secara  aneh,  ke mudian  setelah me musatkan tenaganya dan pikiran, jurus de mi jurus serangan dilancarkan secara berantaai. Di antara bayangan teapak tangan yang berlapis-lapis, berhe mbus keluar hawa serangan yang kuat dan me mbuat orang sukar untuk me neduhnya.

Makin bertarung, Si Pedang Emas Cia Tiong-gio k merasa semakin terperanjat. Boleh dibilang pe muda itu merupakan satu-satunya musuh tangguh yang pernah dijumpainya sela ma ini. Padahal selamanya belum pernah ada orang yang sanggup menahan serangan gencarnya sebanyak tigapuluh gebrakan, tapi kenyataannya sekarang, waalau dengan tangan kosong pun Ku See- hong ma mpu menghadapi serangannya sebanyak duapuluh jurus lebih.

Selain daripada itu, hawa serangan yang dipancarkan lawannya selapis demi selapis menggulung tiba tiada hentinya, makin la ma kekuatan tersebut makin kuat. Ada kalanya jurus pedangnya kena didesak sehingga sa ma sekali tak cukup berkekuatan untuk mendesak lawan.

Sebagaimana diketahui, Ku See-hong telah mempero leh warisan hawa murni dari Bun-ji koan-su, ke mudian dia pun me mpelajar i ilmu khikang Kan-kun- mi-siu-kang yang maha dahsyat, oleh sebab itu dia tidak kuatir kehabisan tenaga dalam suatu pertarungan jarak panjang, malahan ma kin bertarung, tenaga dalamnya makin sempurna. Di sa mping itu juga, diapun me mpelajari jurus Hoo-han-seng- huan yang tak bisa disangkal lagi merupakan sumber dari segala maca m kepandaian sakti… apalagi dia pun bisa mengguna kan ilmu gerakan tubuh Mi-khi biau-tiong, hal mana me mbuat dirinya makin tangguh.

Andaikata ia, Ku See-hong, dapat menguasai beberapa macam kepandaian sakti yang berbeda itu sekaligus, maka ke majuan yang dicapai dalam tenaga dala mnya tak terukur dengan kata-kata.

Tak bisa disangkal lagi, pertarungan yang sedang berlangsung sekarang, benar-benar merupakan suatu pertarungan sengit yang jarang terjadi di dalam dunia persilatan.

Angin menderu-deru, udara terasa dingin menyayat  badan,  dalam sekejap mata Cia Tiong-giok ke mbali melancar kan delapanpuluh jurus lebih serangan pedangnya.

Mendadak….

Ku See-hong mendonga kkan kepalanya dan berpekik nyaring, jurus ketiga dari Hoo-han-seng-huan, yakni Tee-jian-hun- gi (Neraka Hancur, Sukma Gentayangan) telah dilancarkan. Seketika itu juga seluruh badannya ibarat serentetan cahaya terik matahari yang amat menyilaukan mata, dengan suatu gerakan yang  cepat bagaikan sa mbaran sukma gentayangan, dia menerobos ke muka.

Tampak cahaya putih diiringi selapis hawa tajam yang menyayat badan, langsung menyergap bagian tubuh yang me matikan di bagian bawah badan C ia Tiong-gio k.

Tampaknya Si Pedang Emas Cia Tiong-gio k cukup mengenali kedahsyatan jurus Hoo-han-seng-huan tersebut, dia ingin berkelit ke samping… sayang keadaan terla mbat. Sambil me mbentak keras dia segera bertekad untuk beradu jiwa.

Jurus-jurus tangguh yang mematikan segera digunakan, dengan kecepatan yang luar biasa tangan kirinya melepaskan beberapa gulung desingan angin dingin yang menyayat badan,  di mana desingan tadi langsung menyergap jalan darah Thian- leng-hiat di tubuh Ku See-hong. Sedangkan pedang e mas di tangan kanannya dengan menggertak berlapis-lapis hawa pedang yang tajamnya luar biasa, menyongsong datangnya kilatan cahaya putih itu.

Di dalam anggapannya, sekalipun hawa pedang yang dilancarkan olehnya tak sanggup me mbendung cahaya putih itu sehingga terluka, namun pihak lawannya akan tewas pula dalam keadaan yang mengerikan.

Padahal dari mana ia bisa tahu kalau daerah seluas satu kaki di sekeliling tempat itu sudah dilapisi oleh kekuatan yang  maha dahsyat setelah Ku See-hong menge luarkan ilmu Hoo-han-seng- huan tersebut, sehingga akibatnya pelbagai serangan atau ancaman yang bagaimanapun lihaynya jangan harap bisa me ne mbusinya.

Sesungguhnya kehebatan tersebut merupakan rahasia besar… bahwa Ku See-hong sendiri pun tak tahu akan keistimewaan tersebut. Dia hanya tahu, asal gerakan jurus manapun dari Hoo- han-seng-huan tersebut dipergunakan, niscaya lawannya akan mat i secara mengenaskan.

Tampaknya Kim- kiam C ia Tiong- giok yang sok pintar itu segera akan mati secara mengenaskan oleh serangan Tee-jian-hun-gi yang dilepaskan Ku See-hong itu…

Tiba-tiba….

Serentetan suara pekikan keras yang memekikkan telinga dengan cepat meluncur tiba me mbelah angkasa. Suaranya melengking seperti jeritan kuntilanak, benar-benar tak sedap didengar.

Di tengah pekikan nyaring inilah, sesosok bayangan abu-abu, secepat kilat menerjang masuk ke balik lapisan tenaga serangan yang dahsyat dan dingin bagaikan salju itu.

“Bluuumm… Bluuumm…!” ledakan- ledakan berkumandang secara beruntun.

Cahaya putih yang dilancarkan oleh Ku See-hong itu, mendadak terputus di tengah jalan…. Di antara berkelebatnya bayangan manusuia, paras muka si anak muda itu berubah menjadi mengerikan, rambutnya berawut-awutan tak karuan….

Duuuk… duuuk… duuuk…. Selangkah demi selangkah dia terdorong ke belakang, se mentara mulutnya muntahkan tiga kali darah kental.

Sebaliknya, paras muka Si Pedang Emas Cia Tiong-gio k pun berubah menjadi pucat pias menger ikan. Kulit tubuhnya mengejang keras, sementara sekujur badannya lemas sama sekali tak bertenaga.

“Oooh ayah…” bisiknya lir ih, “Cepat kau… kau bunuh orang itu…. Kalau tidak… dia… dia akan menjadi bibit bencana yang  besar buat… buat kita….”

Ketika berbicara sa mpai di situ, dia telah jatuh terkapar di tanah tak sadarkan diri.

Rupanya pada saat itulah di sisi tubuh Cia Tiong-giok, telah bertambah dengan seorang sastrawan berusia pertengahan yang mengenakan jubah panjang berwarna abu-abu. Sebilah pedang  antik tersoreng di punggungnya, sedangkan perawakan tubuhnya tinggi jangkung dan anggun. Dia me mpunyai alis mata yang tebal dan mata yang besar, gagah perkasa sekali ta mpangnya.

Cuma sayang sekulum  senyuman licik yang mengerikan tersungging di ujung bibirnya, dari sini bisa diketahui bahwa orang ini benar-benar merupakan orang manusia yang a mat berbahaya.

Ternyata orang ini tak lain adalah Kiong-cu angkatan ke- tigapuluh enam  dari Huan- mo-kiong yang na manya telah menggetarkan seluruh dunia persilatan, Han-thian it-kia m Cia Cu- kim adanya.

Dengan lima jari yang dipentangkan lebar-lebar, secepat kilat Han-thian it-kia m Cia Cu-kim menggerakkan tangannya me lepaskan dua belas totokan kilat di atas dua belas jalan darah penting di tubuh Cia Tiong-giok. Rupanya dia berma ksud untuk mencegah menja lannya luka tersebut hingga lebih parah lagi.

Dalam pada itu, Ku See-hong juga telah tahu kalau sastrawan setengah umur ini tak lain adalah otak dari pe mbunuhan biadab terhadap anggota perkumpulan Kim-to-pang, yaitu Han-thian it-kia m Cia Cu-kim, seketika itu juga  rasa  dendam dan  rasa  benci yang me luap-luap me nyelimuti seluruh benak atau perasaannya.

Akan tetapi hawa darah yang berada di dalam dadanya sekarang telah terhantam pukulan Cia Cu-kim yang maha dahsyat  itu sehingga bergolak keras. Penderitaan akibat mengalir me mbaliknya peredaran darah dalam tubuhnya tak terlukiskan dengan kata-kata, namun  dia  menggertak   giginya   kencang-kencang   dan mengenda likan dirinya sekuat tenaga.

Sementara itu, Han-thian it-kia m Cia Cu-kim telah me mbalikkan tubuhnya, dengan sorot mata yang tajam bagaikan kilat, dia mengawasi Ku See-hong tanpa berkedip.

Sekilas rasa kaget bercampur keheranan menghiasi wajahnya, tapi dengan cepat lenyap kembali. Sebagai gantinya, pancaran sinar buas dan bengis menghiasi ujung bibirnya yang sinis.

“Siapakah kau? Anak murid siapa?!” bentak Han-thian it-kia m Cia Cu-kim ke mudian dengan suara dingin. “Apa sangkut pautnya antara dirimu dengan ka mi Huan- mo- kiong? Dendam kesumat apa pula yang terjalin di antara kita berdua sehingga kau bertindak kejam dengan me mbunuhi anggota Huan- mo-kiong ka mi?  Hmm, jika kau tak mengucapkan  sesuatu alasan, saat ini juga  akan kusuruh tubuhmu hancur lumat menjadi abu…!”

dw

HAN THIAN IT KIAM Cia Cu-kim adalah seorang ge mbong iblis yang amat ter masyhur namanya dalam dunia persilatan. Dia kejam dan brutal, sama sekali tidak mengenal arti perike manusiaan, selama ini diapun belum pernah mengucapkan kata-kata  yang begitu sungkan terhadap seorang angkatan muda.

Tapi sekarang, kebrutalan dan keangkuhannya banyak berkurang, hal ini dikarenakan dia telah digetarkan oleh sikap Ku See-hong yang amat luar biasa itu, serta jurus Hoo-han-seng-huan yang baru saja digunakan itu.

Dia tahu jurus Hoo-han-seng-huan tersebut merupakan kepandaian simpanan dari Bun-ji koan-su, manus ia paling kosen di dunia ini. Itulah sebabnya ia berusaha keras untuk menahan amarahnya.

Sinar benci dan luapan rasa dendam segera terpancar keluar dari balik mata Ku See-hong, katanya dengan dingin:

“Suhuku adalah pe mimpin dunia persilatan di masa lalu, Bun-ji koan-su Him Ci-seng. Sedangkan mengenai sumber dari dendam kesumat itu, terus terang saja kukatakan kepadamu, jika aku masih berkema mpuan sekarang, detik ini juga akan kusuruh kau terkapar di atas genangan darah….”

Dia m-dia m terkesiap perasaan Han-thian it-kia m Cia Cu- kim setelah mendengar perkataan itu, pikirnya ke mudian:

“Se menjak Bun-ji koan-su  menerima  dua  orang  mur id  yang  ke mudian mengkhianatinya, dia telah bersumpah tak akan menerima murid lagi, bahkan sejak dua puluh tahun berselang dia telah tewas di bukit Soat-san… mana mungkin dia menerima lagi seorang mur id se muda ini?”

Tadi, sebetulnya dia mengira Ku See-hong tak lebih hanya murid dari kedua orang mur id murtad Bun-ji koan-su, apalagi sela ma tigapuluh tahun la manya Cia Cu-kim menutup diri terus menerus untuk melatih kepandaian silatnya, sudah barang tentu dia tidak begitu mengetahui akan perke mbangan yang terjadi dalam dunia persilatan sela ma duapuluh tahun belakangan ini.

Tapi yang me mbuatnya amat terperanjat adalah penampilan Ku See-hong yang begitu mendenda m dan me mbenci kepadanya, semenjak kemunculan bahkan adu ucapannya terdengar begitu angkuh dan dingin menggidikkan hati. Hal mana menimbulkan perasaan was-was di dalam hati kecilnya.

Setelah termenung sejenak Han-thian it-kia m Cia Cu-kim berkata lagi sa mbil tertawa dingin:

“Hmmm… betul-betul punya keberanian, betul-betul punya keberanian. Tak kusangka kau berani mengucapkan  kata-kata semaca m itu kepada lohu….”

Ku See-hong tahu kalau usia Han-thian it-kia m Cia Cu-kim telah mencapai ena mpuluh tahunan, cuma saja dia me miliki kepandaian untuk merawat muka sehingga tampaknya saja masih muda.

Di sa mping itu, dia juga menyadari akan kekeja man Cia Cu-kim terhadap musuhnya setelah saling berhadapan muka pada mala m ini, niscaya dia tak akan berpeluk tangan belaka.

Walaupun tahu kalau ke matian telah di depan mata, Ku See-hong yang angkuh dan keras kepala itu sa ma sekali tak ma u menunjukkan kele mahannya untuk minta a mpun. Dengan sinis dan penuh hina Ku See-hong mendengus dingin, ke mudian ujarnya:

“Kau manusia, aku pun manus ia, kenapa aku tak berani mencaci- makimu? Hmmm…. Me mangnya aku harus persiapkan keberanian lebih dahulu sebelum mengucapkan beberapa patah kata kepadamu? Betul-betul suatu lelucon yang tidak menggelikan!”

Bagaimanapun juga, Han-thian it-kia m Cia Cu-kim harus mengagumi akan keberanian pe muda itu. Dia lantas tertawa dingin dengan suara yang menyeramkan, setelah itu katanya ketus:

“Malam ini kau telah me mbunuh empat orang anggota Huan-mo- kiong kami. Sekarang kau ingin bertanya, hukuman apakah yang siap kau terima?”

“Mengandalkan kepandaian untuk me mbalas dendam merupakan suatu perbuatan yang jujur dan terbuka, sekalipun kau sendiri yang kuhadapi, aku orang she Ku juga tak akan menyerahkan nyawaku dengan begitu saja. Hmmm… mau me mbunuh aku, gunakan dulu kepandaian yang kau miliki.”

Ku See-hong tahu mundur juga mati, maju dengan mengeraskan kepala juga mati, tentu saja dia tak akan menunjukkan sikap moho n dikasihani.

Sejak dulu para enghiong lebih suka mati daripada  dihina,  itu pula menjadi prinsip hidup bagi Ku See-hong.

“Bagus sekali, bagus sekali, kau me mang betul-betul punya keberanian,” ujar Han-thian it-kia m Cia Cu-kim ke mudian, “Lohu akan me mberikan suatu kesempatan bagimu, sekalipun menimbang dari dosa-dosa yang kau lakukan dalam istana kami cukup untuk menjatuhkan hukuman mati untukmu, namun asal kau sanggup menerima tiga buah pukulan lohu tanpa mati… mala m ini aku bersedia menga mpuni sele mbar jiwa mu.”

Ku See-hong menjadi girang sekali setelah mendengar tawaran itu. Dia tak mengira kalau sikap kerasnya justru me mancing perasaan ingin menang dari ge mbong iblis itu malahan sikap buas dan brutalnya jauh berkurang terhadapnya.

Ia yakin dengan kondisi badannya sekarang, di mana gejolak hawa darah dalam dadanya telah menjadi tenang ke mbali, mungkin secara dipaksakan ia mas ih ma mpu menerima t iga buah pukulan lawan.

Walaupun pelbagai pikiran berkeca muk dalam benak Ku See- hong, namun paras mukanya masih tetap tenang dan dingin kaku seperti es, ujarnya kemudian:

“Ucapan seorang kuncu bagaikan kuda yang kena dica mbuk, bila beruntung aku orang she Ku berhasil lolos dari ke matian, tiga tahun ke mudian pasti akan kupenggal batok kepala mu itu.”

Han-thian it-kia m Cia Cu-kim segera tertawa dingin tiada hentinya.

“Heeehh… heeehh… heeehh… tak usah banyak berbicara lagi, lihat seranganku yang pertama!” bentaknya ke mudian. Begitu selesai berkata, sepasang telapak tangan Han-thian it- kiam C ia Cu-kim disilangkan di depan dada, setelah itu pelan-pe lan didorong ke depan.

Ku See-hong segera merasakan ada segulung angin pukulan berhawa dingin berhe mbus lewat dan menimbulkan serentetan ledakan yang me mekikkan telinga.

Tiba-tiba saja hawa  darah  yang  beredar  dalam  tubuhnya menga la mi suatu goncangan keras yang menggetarkan sukma, denyutan nadinya bergetar makin kencang, tenggorokannya terasa anyir dan tak a mpun lagi… dia muntah darah segar.

Han-thian it-kia m Cia Cu-kim sendiri pun merasa terkejut sekali setelah menyaksikan kejadian itu. Dia sa ma sekali tidak menyangka kalau Ku See-hong ma mpu untuk mener ima sebuah pukulannya yang disertai dengan tenaga sebesar lima bagian, bahkan tak sampai tewas. Padahal menurut perkiraannya tadi, Ku See-hong sudah pasti akan tewas dalam pukulannya yang perta ma ini.

Dengan  paras  muka  berubah   hebat,   Cia   Cu-kim   segera me mbentak keras dengan suara me nggeledek:

“Lihat seranganku yang kedua!”

Mendadak sepasang telapak tangannya direntangkan  ke samping, kesepuluh jari tangannya yang berapi-api segera disentil dan digetarkan, segulung tenaga pukulan yang dahsyat bagaikan amukan gelo mbang dahsyat di tengah samudra  sekali lagi menghanta m tubuh Ku See-hong.

Namun pukulan dahsyat itu bukan serangan yang me matikan, sebab serangan inti yang sesungguhnya terletak pada kesepuluh jalur desingan angin dingin yang berada di balik gulungan angin puyuh tersebut.

Cahaya merah yang berapi segera terpancar keluar dari balik mata Ku See-hong, sa mbil me mbentak keras, dengan menahan gejolak hawa darah yang mengge lora dalam dadanya, ia salurkan tenaga murni itu ke dalam telapak tangan. Setelah itu sepasang tangannya didorong bersama ke depan.

Segulung angin pukulan yang tak kalah dahsyatnya dengan cepat menggulung pula ke depan. Dalam jurus serangannya kali ini Ku See-hong telah menghimpun segenap tenaga dalam yang dimilikinya, tak terlukiskan kedahsyatannya.

“Blaaamm…!” di tengah ledakan keras yang me mekikkan telinga, dua gulung hawa murni itu saling bertumbukan satu sama lainnya, desingan angin berpusing segera me mancar ke e mpat penjuru.

Di tengah desingan angin tajam itulah… terdengar Ku See-hong mendengus dingin, kepalanya terasa pusing tujuh keliling, hawa darah di dalam rongga dadanya bergolak keras, kakinya menjadi gemetar dan secara beruntun ia mundur sejauh tujuh delapan langkah lebih.

Tubuhnya gontai dan wajahnya me mucat, tak tahan lagi dia muntah darah berulang kali.

Han-thian it-kia m Cia Cu-kim benar-benar merasa terperanjat sekali, di dalam serangan yang terakhir dilancarkan itu, dia telah sertakan tenaganya sebesar tujuh bagian… bahkan dia m-dia m ia sertakan pula satu jurus serangan yang me matikan, tapi alhasil dia gagal me mbinasakan si anak muda itu.

Menghadapi kenyataan tersebut, timbul niat jahat dalam hatinya, ia bersumpah hendak me mbunuh Ku See-hong dengan cara apapun juga.

Sebab, dengan usianya yang begitu muda pun dia telah me miliki kesempur naan tenaga dalam  yang  begitu  se mpurna  bila  pada ma lam ini ia sa mpai kabur dalam keadaan hidup, tak sampa i beberapa tahun kemudian sudah pasti pe muda itu akan menjadi seorang musuh yang menger ikan…. Bila sa mpai begitu ma ka cita- citanya untuk menguasai seluruh dunia persilatan pasti akan menjumpai tantangan. Han-thian it-kia m Cia Cu-kim tertawa licik, kemudian bentaknya keras-keras:

“Lihatlah seranganku yang ketiga… Hun-huan kiu-gi!”

Kali ini dia telah menghimpun tenaga dalamnya sebesar sembilan bagian… tiba-tiba sepasang telapak tangannya didorong ke muka sejajar dengan dada, gulungan angin pukulan yang dahsyat dan menyesakkan napas dengan cepat menyelimuti seluruh angkasa, di balik kese muanya itu terselip pula   kekuatan  tersembunyi  yang me mbetot sukma, langsung me nggulung ke tubuh Ku See-hong.

Ketika menyambut serangan musuh untuk kedua kalinya tadi, Ku See-hong telah merasakan isi perutnya menderita luka yang cukup parah, selain lengannya menjadi le mas, dia pun merasa kehabisan tenaga, padahal ia bisa berdiri tegak di sana pun tak lain karena kekerasan hatinya yang menunjang kese muanya itu.

Kini, ketika dilihatnya angin pukulan yang menderu-deru telah menggulung datang, sepasang telapak tangannya segera  didorong ke depan dengan mengerahkan sisa kekuatan yang masih dimilikinya.

Seketika itu juga terdengarlah suara deruan angin  tajam yang  me me kikkan telinga berkumandang me me nuhi angkasa….

Ku See-hong merasakan pandangan matanya menjadi gelap, seluruh tubuhnya terlempar sejauh empat kaki lebih dari te mpat semula oleh segulung pukulan kekuatan yang maha dahsyat….

“Blaaamm…!” ketika badannya me mbentur tanah, pasir dan debu segera beterbangan me menuhi angkasa.

Namun Ku See-hong sa ma sekali tidak digetarkan sa mpai pingsan, pelan-pelan dia mendongakkan kepalanya dengan wajah yang pucat, noda darah yang membasahi ujung bibirnya dan rambutnya yang awut-awutan tak karuan, membuat pe muda itu tampak me ngerikan sekali.

Ketika Han-thian it-kia m Cia Cu-kim menyaksikan Ku See-hong sama sekali tidak terbunuh oleh serangannya yang maha dahsyat itu, diam-dia m rasa kaget dan bergidik menyelimuti seluruh benaknya.

Mendadak…. Sekulum senyuman licik yang buas dan menyeramkan tersungging di ujung bibir Han –thian it-kia m Cia Cu- kim.

Tubuhnya bagaikan sesosok bayangan sukma selangkah de mi selangkah pelan-pe lan mende kati tubuh Ku See-hong….

Agaknya Ku See-hong telah mengerti apa yang bakal terjadi, sepasang matanya berubah menjadi merah me mbara seperti darah, itulah perasaan seram yang menceka m perasaannya menghadapi ancaman ke matian yang telah muncul di depan mata.

“Cia Cu-kim…!” teriaknya ke mudian dengan suara parau, “Sebenarnya kau… kau… adalah manus ia atau bii… binatang…?”

Han-thian it-kia m Cia Cu-kim terkekeh dengan seramnya, ia menjenge k sinis:

“Bocah keparat she Ku, serahkan  saja selembar  jiwa  anjingmu itu. Sekalipun kau telah menya mbut tiga buah pukulanku, heeehh… heeehh… heeehh… tapi, untuk menghadapi seorang musuh besar yang mungkin akan menganca m kesela matan diriku, selamanya aku tak pernah me megang janji, sebab prinsipku, terhadap orang-orang yang berbahaya bagiku adalah tindakan yang makin keji merupa kan tindakan yang paling baik.”

Waktu itu, Ku See-hong sudah merasakan jantungnya berdebar keras, peredaran darahnya kacau, sepasang matanya  menjadi gelap, keempat anggota badannya lemas seperti tak berkekuatan lagi, tentu saja mustahil baginya untuk me lakukan perlawanan.

Tak terlukiskan rasa pedih yang menceka m perasaan ketika  itu, la mat-la mat muncul jalur darah di dalam kelopak matanya, dia segera meraung keras, sekarang dia sudah tahu  manusia  yang hidup di dunia ini me mang tiada yang bisa dipercaya….

Mendadak…. Han-thian it-kia m Cia Cu-kim me ngayunkan tangan kanannya ke depan, segulung desingan angin dingin segera berhembus lewat.

Ku See-hong segera mendengus dingin, tubuhnya  bergulingan tiga empat kali di atas tanah ke mudian tergeletak kaku dan tak berkutik lagi.

Han-thian it-kia m Cia Cu-kim kuatir kalau Ku See-hong belum putus napas… sekali lagi dia lepaskan sebuah pukulan dahsyat yang menggulung tubuh Ku See-hong sehingga terpental lagi sejauh empat kaki lebih dari posisi se mula.

Setelah    itu    dia     baru     mendongakkan     kepala     dan  me mperdengarkan suara pekikan nyaring yang menggidikkan hati….

Sambil me mbopong tubuh Si Pedang Emas Cia Tiong-giok, Han- thian it-kia m Cia Cu-kim segera melo mpat dan berlalu dari situ. Beberapa saat kemudian bayangan tubuhnya telah lenyap di balik kegelapan sana.

Tak la ma ke mudian di sekeliling tempat itu telah pulih ke mba li dalam keheningan, sepi senyap, tak kedengaran sedikit suarapun.

Angin mas ih berhe mbus kencang o mbak pun menggulung dan saling berkejaran….

Ku See-hong tergeletak di atas tanah, ia nampak  begitu mengenaskan dan me medihkan hati….

Benarkah ia telah tewas di ujung telapak tangan Han-thian it- kiam C ia Cu-kim?

Benar-benar kasihan sekali Ku See-hong yang hidup penuh penderitaan  itu,  tampaknya  dia  sudah  berada   di  tepi  jurang  ke matian. Dalam keadaan tak sadar tadi ia telah termakan oleh dua buah pukulan dahsyat dari Cia Cu-kim, hal mana me mbuat nadinya telah tergetar putus.

Entah berapa saat sudah lewat, tiba-tiba Ku See-hong menggerakkan tubuhnya lagi… ke mudian berpekik dengan suara yang mengenaskan. “Haus… haus… aku minta air… air….”

Tubuhnya gemetar keras sekali, dia ingin  meronta  bangun namun tiada tenaga yang ma mpu dikerahkan, akhirnya setelah mendengus tertahan, ia terkapar kembali di atas tanah dan tak berkutik, agaknya pe muda itu telah jatuh tak sadarkan diri lagi.

Sesaat kemudian pelan-pelan ia mendusin kembali, sekali lagi dia berseru dengan suara parau:

“Air… air… aku minta air….”

Jawaban yang diperoleh hanya deruan angin tajam serta deburan omba k yang mengerikan.

Pada saat ini kesadaran Ku See-hong ha mpir punah, apa yang diketahui olehnya hanya air, sekarang yang dibutuhkan dengan segera adalah air. Dengan napas tersengkal-sengkal dan wajah menger ikan seperti iblis dia berteriak terus dengan suara parau.

Akhirnya dia menggerakkan tubuhnya. Seluruh jari tangannya dipentangkan lebar-lebar, ke mudian dengan sepenuh tenaga berusaha untuk merangka k maju ke depan….

Sepanjang hidupnya, Ku See-hong me mang  selalu  diliputi oleh ke misteriusan, setelah merangkak sekian la ma dengan penuh penderitaan, tampaknya kesadaran yang semula hilang la mbat laun menjadi sadar kembali. Kini dia merasa hausnya setengah mati, pemuda itu ingin mencar i air untuk menghilangkan dahaganya. Dia tahu air laut tak boleh diminum, ma ka ia merangka k menuju ke arah sebuah bukit yang tak jauh letaknya dari tepi pantai.

Lambat-laun kesadarannya semakin pulih ke mba li, dia merasa aliran hawa aneh yang berada dalam pusarnya ke mbali menyebar keluar. Walaupun peredaran darahnya yang me mbalik sudah jauh me mba ik, na mun seluruh tulang belulangnya yang terkena pukulan terasa sakitnya bukan kepalang, seakan-akan satu demi satu telah rontok semua, selain daripada itu, dia pun merasa tubuhnya kepanasan seperti dibakar, hausnya sukar ditahan lagi. Ternyata di dalam me lancarkan kedua buah pukulannya yang terakhir tadi, Han-thian it-kia m Cia Cu-kim telah me ngerahkan ilmu Tee-sat-ciang yang paling beracun untuk menghantam pe muda itu.

Ilmu pukulan Tee-sat-ciang merupakan se maca m ilmu pukulan beracun yang amat lihay sekali, sekalipun sulit untuk dipelajari, tapi asal bisa dikuasai maka kelihayannya bukan kepalang.

Bagaimanapun lihaynya seorang jago, asal kena terserang oleh angin pukulannya itu sehingga hawa panas beracun menyerang ke badan, maka korban itu akan me nderita lebih dahulu, sebelum akhirnya akan mati dalam keadaan yang mengenaskan.

Han-thian it-kia m Cia Cu-kim a mat takut terhadap Ku See-hong, terutama sekali beberapa maca m kepandaian sakti yang dimilikinya. Dia kuatir anak muda itu tetap hidup di dunia ini hingga menyulit kan dirinya di ke mudian hari, maka tadi secara beruntun dia lepaskan dua buah pukulan Tee-sat-ciang yang beracun dengan maksud untuk me mbunuhnya.

Siapa tahu Ku See-hong telah berhasil me mpe lajari ilmu Kan-kun mi-siu khi-kang yang a mat dahsyat itu… tanpa disadarinya sebelum serangan itu tiba, banyak sudah pengaruh pukulan beracun itu dipunahkan oleh ilmunya tersebut, selain jantungnya dilindungi agar tidak tergetar putus.

Coba  kalau  bukan  lantaran  begitu,  sekalipun  Ku   See-hong me miliki sepuluh le mbar nyawa pun akan tewas se mua di tangan lawan.

Pelan-pelan hawa darah dalam tubuh Ku See-hong berhasil dihimpun ke mbali, sekarang secara me maksakan diri dia sudah sanggup untuk berdiri. Setelah itu dengan sempoyongan berjalan ke depan.

Lebih kurang seper minum teh ke mudian, Ku See-hong telah tiba di bawah kaki bukit, saat inilah segulung angin gunung berhembus lewat… mendadak pe muda itu mengendus  bau harum yang lamat- la mat terbawa pula bau amis darah. Begitu mengendus bau harum yang sangat aneh itu, Ku See- hong segera merasakan hatinya bergetar keras, semangatnya segera berkobar kembali, satu ingatan dengan cepat me lintas di dalam benaknya.

Sambil menelusur i sebuah jalan kecil usus ka mbing, dengan mengerahkan tenaga yang paling besar, pemuda itu merangka k maju ke depan.

Hasratnya yang besar untuk mencar i hidup me mbuat dia harus menahan penderitaan dengan sekuat tenaga, menuju ke arah mana arahnya bau harum tadi, dia berjalan maju ke depan.

Napasnya segera tersengkal-sengkal dan sepasang matanya berubah menjadi merah darah.

Kembali seperempat jam sudah lewat, sekarang Ku See-hong telah tiba di bawah sebuah tebing karang yang curam dan menjulang t inggi ke angkasa.

Ia mendongakkan kepalanya me mperhatikan sekejap keadaan dari tebing curam itu.

Tampak bukit tersebut menjulang ke angkasa, kaki bukit tersebut tidak begitu curam tapi dari punggung bukit ke atas, curamnya bukan kepalang tanggung. Bukit tersebut betul-betul curam dan tegak lurus, jangankan manusia, monyet serta burung pun sukar untuk me lewatinya.

Ku See-hong mengalihkan sinar matanya me mperhatikan sebuah tonjolan bukit karang berbentuk aneh yang menjulang lima enampuluh kaki tingginya dari per mukaan. Ternyata bau harum yang semerbak tadi berasal dari  atas  tonjolan  batu  karang  itu, ma lah dari atas bukit tadi seakan-akan memancar keluar asap berwarna merah yang segera menyebar ke angkasa.

Itulah sebabnya Ku See-hong menduga bahwa benda mustika tersebut kemungkinan besar berada di atas bukit karang yang enampuluh kaki tingginya dari per mukaan tanah itu. Di atas wajah Ku See-hong yang mengenaskan segera terlintas suatu perasaan sulit, kini tubuhnya sudah menderita luka  yang cukup parah, untuk mendaki ke atas bukit karang yang enam puluh kaki tingginya di atas permukaan, pada hakekatnya hal ini jauh lebih sulit daripada mendaki ke langit….

Dengan termangu- mangu dia  berdiri  tertegun  di  situ,  sampai la ma ke mudian, Ku See-hong baru mengerahkan hawa murninya dan mencoba untuk menghimpunnya ke mbali.

Tapi dengan cepat sekujur badannya terasa sakitnya bukan kepalang, seolah-olah tulang-belulangnya sudah lepas semua.

Tiba-tiba… di atas wajah Ku See-hong terlintas keteguhan  hatinya yang membara, sambil menggigit bibir ia segera berusaha keras untuk merangkak naik ke atas tebing karang tadi.

“Aduh…!” di tengah jeritan tertahan, tubuh Ku See-hong terbungkuk ke bawah, tapi sa mbil menahan rasa sakit yang luar biasa, dia lari lagi ke depan. Tapi gejolak hawa darah yang bergolak di dalam dadanya menimbulkan rasa sakit yang menusuk-nusuk tulang, hal mana me mbuat dia terjatuh sekali lagi ke tanah.

Sementara itu, tubuhnya sudah berada duapuluh kaki di atas punggung bukit itu, namun keadaan medan makin la ma ma kin curam. Ku See-hong segera menghembus kan napas panjang, sambil mengerahkan tenaga yang dimilikinya selangkah de mi selangkah dia mera mbat terus ke atas.

Dalam waktu singkat, dia sudah mencapai sepuluh kaki lebih tinggi daripada tempat semula. Sekarang kakinya sudah menginja k di atas sebuah batu karang yang menonjol ke luar.

Berada di situ Ku See-hong baru mencoba untuk me mperhatikan keadaan di sekitar sana, empat penjuru keadaan amat berbahaya, kini jalan yang terbentang di depan matanya adalah sebuah dinding karang yang tegak lurus, tingginya mencapai duapuluh kaki lebih. Untuk mencapai batu raksasa yang berbentuk aneh dan me nonjol keluar itu, mau tak mau ia harus melewati dinding karang  yang tegak lurus itu lebih dahulu.

Walaupun jaraknya hanya duapuluh kaki, namun bagi pandangan Ku See-hong saat ini hakekatnya jauh lebih berat daripada mendaki ke langit. Seandainya tidak terluka parah, jarak sejauh  duapuluh kaki itu bukan suatu rintangan yang sukar, apalagi dengan kepandaian silat yang dimilikinya, asal di tengahnya ada tempat berpijak untuk berganti napas, dalam sekejap mata ia bisa mencapa i tempat tujuan.

“Aaaai…” Tak kuasa lagi Ku See-hong menghela napas sedih.

Ternyata dinding batu tersebut selain tegak lurus dan licin, lagi pula penuh dengan lumut hijau yang amat licin, sekilas pandangan saja dapat diketahui bahwa tempat itu sukar untuk dilewati.

Andaikata ia nekad dan menda ki ke atas dengan menyerempet bahaya, seandainya di atas tiada tempat berpijak atau tempat yang dipakai sebagai tempat berpegangan licin dan sukar dipegang, maka saat itu tubuhnya pasti akan terjatuh ke bawah dan  berubah menjadi segumpa l daging re muk.

Ku See-hong mendonga kkan kepalanya me mandang  dinding tebing yang licin dan curam itu, tiba-tiba muncul suatu ingatan yang berani… dia bertekad hendak menda ki ke atas puncak tonjolan batu itu.

Nasib manusia ada di tangan Thian, seandainya dia gagal di dalam perjuangannya untuk me mpertahankan hidup, apalagi yang bisa dia katakan?

Dia m-dia m Ku See-hong mengerahkan sisa tenaga dalam yang dimilikinya, ke mudian dengan cepat tubuhnya melo mpat ke atas.

Ketika mencapa i ketinggian tiga kaki, mendadak hawa murninya me mbuyar… dalam  terkejutnya  dia  menahan  rasa  sakit   yang  me mbuat tubuhnya gemetar dan tiba-tiba mene mpelkan badannya di atas dinding tebing. Tangan kanannya segera diayunkan ke depan berusaha berpegangan pada dinding tersebut, siapa tahu dinding itu sa ma sekali tiada te mpat untuk berpegangan lagi… lumut hijau segera berjatuhan ke atas tanah.

Ku See-hong me mang seorang pemuda yang tangguh, dalam keadaan terancam jiwanya, dia sama sekali tidak menjadi gugup, tangan kirinya yang disaluri tenaga segera membentangkan kelima jari tangannya, kemudian secepat kilat ditusukkan ke atas dinding batu itu….

“Criiing…!” kelima jari tangannya menancap ke dalam dinding batu yang berlumut tebal itu, dengan begitu maka  tubuhnya  menjadi tergantung di atas awang-awang.

Sesungguhnya tindakan yang dilakukan Ku See-hong ini benar- benar berbahaya sekali, seandainya ia tidak sedang terluka, dengan tenaga dalam yang sempurna, tentu saja menancapkan jari tangannya ke atas dinding bukanlah suatu pekerjaan yang sukar, tapi dalam tenaga dalam yang tersendat-sendat, tindakan dari Ku See-hong ini betul-betul a mat berbahaya sekali.

Mungkin nasibnya me mang lagi mujur, ternyata tepat di mana tangan kirinya ditusukkan tadi tak lain adalah sebuah celah-celah yang ada di antara dinding batu yang satu dengan dinding batu lainnya.

Agaknya Ku See-hong juga tahu kalau tangan kirinya  menancap di antara celah-celah dinding karang, ia menjadi girang sekali.

Setelah mengatur napas sebentar, dengan menelusuri  celah- celah dinding tadi, selangkah de mi selangkah dia merangkak naik lagi ke atas.

Dalam waktu singkat dia telah t iba di atas batu tonjolan besar yang berbentuk aneh itu, tapi setelah menyaksikan keadaan di situ, mendadak ia menjadi a mat terperanjat.

Ternyata tonjolan batu cadas itu bentuknya seperti naga, besarnya bukan kepalang. Batu cadas itu mene mpe l menjadi satu dengan dinding bukit itu sehingga bentuknya menyerupai kepala naga yang menerobos masuk ke dalam dinding karang.

Yang lebih mengagumkan lagi adalah batu cadas yang menonjol keluar itu entah terdiri dari batuan apa, selain licin dan halus, juga me mancarkan cahaya kemerah- merahan yang sanat indah, seakan- akan batu itu adalah sebuah batu mustika yang a mat besar.

Sedang asap merah yang menguap di atas batu mustika tersebut datangnya dari empat arah delapan penjuru yang terhimpun menjadi satu, tempat itu adalah sebuah mulut lorong yang luasnya beberapa depa di tengah batu cadas berbentuk naga tadi.

Di dalam lorong yang sempit itu terdapat sebuah celah sepanjang tiga inci… cairan berwarna merah kehijau-hijauan yang tampaknya kental seperti lem, meleleh keluar dari sana. Bau harum semerba k tadi tak lain berasal dari cairan merah kehijau-hijauan tersebut, tapi anehnya terendus pula bau anyir darah.

Saat itu, Ku See-hong sedang merasakan hausnya setengah mati, dengan   termangu- mangu   dia   mengawasi   cairan   merah  itu, ke mudian pikirnya:

“Cairan merah kehijau-hijauan itu sudah pasti adalah obat mustika yang langka dan tak ternilai harganya….”

Dengan susah payah mendaki bukit terjal, me mpertaruhkan selembar jiwanya, me manjat karang yang licin itu, tak lain tujuan Ku See-hong adalah untuk mendapatkan cairan merah itu.

Dalam keadaan demikian, dia sudah tak ambil peduli lagi cairan apakah yang ada di situ. Diapun tak a mbil peduli apakah cairan itu boleh diminum atau tidak….

Ku See-hong segera me mbungkukkan badannya, ketika hidungnya mengendus bau asap harum yang menguap, tubuhnya terasa menjadi segar tak terlukiskan.

Tanpa berpikir panjang lagi ia segera me mbuka mulutnya dan menghirup cairan merah tadi. Dengan cepat seluruh tubuhnya menjadi segar, harum se merbak hawa dingin yang menyegarkan segera me luncur masuk ke dalam tubuhnya, langsung mene mbusi pusar. Kenyataan ini, seketika itu juga me mbuat hatinya girang setengah mati.

Bagaikan orang yang mene mukan sumber air di tengah gurun pasir dengan sekuat tenaga dia menghirup cairan merah itu. Dalam waktu singkat cairan merah yang tiga inci dalamnya itu sudah berpindah ke dalam perut Ku See-hong, setetespun tak ada yang bersisa lagi.

Ku See-hong segera menggerakkan lidahnya untuk menjilati sisa cairan yang masih ada, setelah itu menarik napas panjang-panjang, seakan-akan dia belum merasa puas dengan apa yang telah diperolehnya.

Segulung hawa murni yang hangat pelan-pelan mulai bergerak naik dari dalam pusar, tak selang berapa lama ke mudian, nadi penting yang menguasai hidup matinya berhasil dite mbus i lalu menga lir i Jin dan Tok- meh, la lu balik lagi ke bawah.

Seluruh tubuhnya menjadi segar bugar semua, penderitaan dan rasa sakit yang diala minya tadi seketika lenyap tak berbekas. Hawa murninya menjadi penuh dan tubuhnya menjadi enteng dan segar, betul-betul suatu kenya manan yang tak terlukiskan dngan kata-kata.

Tegasnya Ku See-hong merasakan keempat anggota badannya segar dan nyaman, tak kuasa lagi dia mendongakkan kepalanya dan berpekik panjang.

Suara yang keras dan yaring bagaikan pekikan naga segera menggetarkan seluruh ngkasa, suaranya cukup menggetarkan siapapun yang mendengarkannya…. Tapi, sebelum pekikan tersebut selesai diutarakan, tiba-tiba Ku See-hong menjerit kaget.

Ternyata batu cadas yang semula indah dan berwarna merah bercahaya itu mendadak berubah menjadi kelabu… sedangkan asap merah yang se mula me mbumbung ke angkasa, tiba-tiba lenyap tak berbekas. Ku See-hong yang menyaksikan kejadian itu menjadi amat terkesiap. Setelah tertegun beberapa saat lamanya, mendadak  ia  mendonga kkan kepalanya.

Lebih kurang sepuluh kaki di atas cadas berbentuk kepala naga itu, ia jumpai sebatang pohon kecil dengan daun yang rimbun, ternyata rimbunnya pohon itu persis menutup mulut sebuah gua.

Menyaksikan kejadian ini, Ku See-hong ke mba li berpikir:

“Di atas batu naga ini terdapat benda mestika yang tak ternilai harganya, mungkin di sekeliling gua itupun akan kujumpai mustika yang lain? Kenapa tidak kuperiksa?”

Ku See-hong bermaksud hendak melayang naik ke atas gua itu, maka dia m-dia m pikirnya:

“Dengan ilmu mer ingankan tubuh yang kumiliki sekarang, tak mungkin dalam sekali lo mpatan sepuluh kaki bisa kucapai… tapi barusan aku makan cairan merah itu dan agaknya tenaga dalamku telah me mperoleh ke majuan yang pesat, kenapa tidak kucoba untuk me lo mpat ke situ?”

Berpikir sa mpai di situ, Ku See-hong segera berpekik nyaring, tubuhnya secepat kilat me layang naik ke atas seperti seekor burung elang yang terbang di angkasa.

Tampaknya tenaga yang digunakan terlalu besar, sehingga dalam lo mpatan itu tubuh Ku See-hong mencapai ketinggian sepuluh kaki lebih.

Dalam keadaan begini, mendadak telapak tangan kanannya menekan ke atas dinding tebing lalu tubuhnya berputar cepat di tengah udara dan membalik ke bawah. Dengan suatu gerakan yang enteng dan lincah, tahu-tahu ia telah me layang turun di depan gua.

-oodwoo-
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar