Dendam Sejagad Jilid 06

 
Jilid 06

Im Yan cu telah berhenti tertawa.

Dengan muka yang dingin kaku tanpa e mosi katanya ketus: “Nona mu bernama Im Yan cu, mau apa kau?”

Ucapan si manusia aneh bertopeng pun berubah menjadi jauh lebih halus dan le mbut, dia lantas bertanya:

“Tolong tanya nona, siapa na ma gurumu? Buat apa musti saling berbentrok dengan kekerasan?”

“Hmmm. Kau mas ih belum berhak untuk menanyakan soal guruku, bila punya kepandaian silahkan saja turun tangan, selama hidup guruku cuma me mpunyai seorang saudara seperguruan dan seorang musuh besar, dengan semua jago persilatan di dunia ini beliau tak ada sangkut pautnya, mengerti… ?”

Ku See-hong yang me ndengar perkataan itu juga merasa keheranan, diam-dia m ia lantas berpikir: “Heran, kenapa tabiat gurunya juga begitu aneh dan kukoay-nya? Dalam dunia seluas ini cuma dua orang saja yang dikenalnya, mungkin musuh besar yang dia maksudkan tadi adalah guruku Bun-ji koan-su….”

Manusia aneh bertopeng sendiripun tak berhasil menebak asal- usul perguruan Im Yan cu meski dia cerdik dan luas pengetahuannya, maka sambil tertawa dingin dengan suara menyeramkan katanya: “Baik. Kalau begitu, jangan salahkan jika aku turun tangan keji kepadamu….”

“Tak usah sok dulu,” ejek Im Yan cu sa mbil tertawa merdu, “Siapa tahu kalau kekejian nona mu berpuluh-puluh kali lipat lebih hebat daripada dirimu?”

Di tengah pe mbicaraan tersebut, telapak tangan kanannya segera diayunkan ke depan, “Weeess…” segulung angin pukulan tak berwujud yang le mbut langsung me luncur ke  depan  dan menghanta m jalan darah penting di dada manusia aneh tadi.

Semenjak tadi Im Yan cu sudah tahu kalau manus ia aneh bertopeng itu me miliki ilmu silat yang amat lihay, maka begitu turun tangan dia lantas me mperguna kan jurus  sakti  yang  ganas  dan me matikan.

Manusia aneh bertopeng itu me mang seorang jagoan, yang pandai melihat serangan orang, mendadak dia me mbalikkan tubuhnya dan melayang mundur sejauh beberapa langkah dari tempat semula, tangan kirinya kemudian menyambar ke muka dan secepat kilat mencengkeram bahu Im yan cu.

Dengan cekatan Im Yan cu mengigos ke sa mping, lalu  sa mbil  me mba likkan tangannya melancarkan serangan dengan jurus Hui- tim cing-ta m (Me mbersihkan Debu Berbicara Santai) dia balas mencengkeram nadi penting di atas tangan kiri manusia aneh tersebut. 

Sungguh cepat gerak serangan dari manus ia aneh bertopeng itu. Perubahan yang dilakukan juga amat aneh dan sakti, baru saja kebasan tangan Im yan cu me nyambar ke depan, ia telah merubah serangan cengkeramannya menjadi babatan.

Pergelangan tangannya sgera direndahkan  ke  bawah,  setelah me lepaskan diri dari sa mbaran tangan Im yan cu, jari tangannya setegang tombak langsung me njojoh jalan darah Ciang- keng-hiat di atas bahu Im yan cu. Jurus serangan ini lihay sekali, belum lagi ujung jarinya mengenai di sasaran, segulung desingan angin tajam telah meluncur datang dengan kecepatan luar biasa. Sekalipun Im Yan cu berilmu silat sangat tinggi, diapun tak berani bertindak gegabah, cepat badannya miring ke belakang lalu dengan enteng melesat mundur sejauh beberapa kaki. Manusia  aneh bertopeng itu tertawa seram, dengan sorot mata setajam se mbilu dia tatap sekejap wajah Ku See-hong, kemudian dengan gerakan tubuh yang cepat seperti sa mbaran petir ia menerjang maju ke muka.

Ku See-hong a mat terkesiap, segenap tenaga dalam yang dimilikinya segera dihimpun menjadi satu, secepat kilat sebuah pukulan dilontarkan ke muka.

Di tengah desingan angin pukulan yang me mekikkan telinga, bagaikan gunung yang ambrol, gulungan tenaga pukulan  yang maha dashyat dengan cepat meluncur ke depan.

Sekali lagi manusia aneh berkerudung itu me mperdengarkan suara tertawa dinginnya yang menggetarkan sukma,  sepasang ujung bajunya dikebaskan ke muka bersa maan dengan gerak maju tubuhnya.

Seketika itu juga, segenap tenaga pukulan yang dilancarkan Ku See-hong dengan sepenuh tenaga itu seakan-akan terjerumus ke dalam bungkusan selapis hawa pukulan  yang lembut  dan  empuk, ke mudian dalam waktu singkat lenyap tak berbekas.

Im Yan cu segera me mbentak keras ketika menyaksikan manus ia aneh bertopeng itu menerjang ke arah Ku See-hong, sepasang telapak tangannya diayunkan ke depan, segulung tenaga pukulan yang amat berat dengan cepat mengancam jalan darah penting di belakang punggung ma nusia aneh itu….

Sambil tertawa seram, telapak tangan kiri manus ia aneh bertopeng itu tiba-tiba ditarik ke belakang, ke mudian tubuhnya berputar satu lingkaran dengan suatu gerakan aneh, setelah itu telapak tangan kanannya mendadak dimuntahkan keluar. Segulung desingan angin tajam secepat kilat menggulung ke tubuh Ku See- hong dengan hebatnya. Tenaga pukulan yang dilontarkan itu bagaikan gulungan o mbak dahsyat di tengah samudara yang berlapis-lapis, seolah-olah menggulung tiada habisnya dan tiada hentinya.

Mencorong sinar buas dari balik mata Ku See-hong, sekali lagi dia me lontarkan sepasang telapak tangannya ke depan, gulungan angin yang maha dashyat bagaikan gulungan ombak di tengah sa mudra dengan cepatnya meluncur ke muka.

“Blaaamm… ” satu ledakan dahsyat yang me mekikkan telinga mengge legar me mecahkan kehengingan, ketika dua gulung angin pukulan itu saling bertumbukan antara yang satu dengan yang lainnya, terjadilah putaran angin berpusing yang kencang….

Dalam desingan angin yang tajam inilah dengan sempoyongan  Ku See-hong mundur sejauh enam tujuh langkah ke belakang. Noda darah pelan-pelan meleleh keluar daru ujung bibirnya, rambut yang panjang menjadi kacau balau tak karuan, mukanya pucat mengenaskan, ditambah pula bajunya yang terkoayk-koayk dan bernoada darah, me mbuat keadaannya benar-benar mengerikan.

Tiba-tiba…. “Blaaam!” suatu benturan keras yang me mekikkan telinga kembali mengge ma di udara….

Ku See-hong mendengus tertahan, tubuhnya tahu-tahu mencelat sejauh tiga kaki ke udara dan “Plaaak!” roboh terkapar di  atas tanah.

Im Yan cu menjer it kaget, kemudian  teriaknya  dengan penuh ke marahan:

“Makhluk aneh, kau berani bertindak keji dengan pergunakan ilmu To- im-ciat-yang (Me mancing Hawa Im, Menyambut Hawa Yang) untuk mence lakai dirinya!”

Di tengah teriakan tersebut, telapak tangan Im Yan cu segera direntahkan sa mbil menge mbangkan serangakaian serangan- serangan gencar yang dahsyat dan mengerikan.

Manusia aneh bertopeng itu tertawa terkekeh-kekeh dengan licik dan seram. “Heeehh… heeehh… heeehh… Nona Im,” de mikian ia berkata, “Bukankah barusan kau berkata hendak me mbunuhnya dengan tanganmu sendiri…? Sekarang aku telah pergunakan ilmu To-im- ciat-yang    untuk    meneruskan    tenaga     pukulanmu     untuk me mbunuhnya, bukankah tindakanku ini a mat indah dan menguntungkan dirimu? Kenapa kau malah menjadi marah- marah besar?”

Ternyata di kala Im Yan cu melancarkan sebuah pukulan dahsyat untuk menyerang manus ia aneh bertopeng tadi, tangan kirinya telah menge luarkan ilmu sakti To- im ciat-yang uantuk menyalur kan tenaga serangan dari gadis itu untuk balik menyergap diri Ku See- hong.

Padahal di kala Ku See-hong dan manus ia aneh berkerudung itu beradu tenaga tadi, isi perutnya sudah mengala mi goncangan keras sehingga darah segar muntah keluar dari mulutnya, apalagi setelah termakan oleh serangan dahsyat yang dilancarkan Im Yan  cu, kontan saja pe muda tersebut tak kuat menahan diri.

Pandangan matanya menjadi gelap, benaknya menjadi kosong me lo mpong dan akhirnya robohlah dia t idak sadarkan diri.

Im Yan cu a mat menguatirkan kesela matan jiwa Ku See-hong, maka di dalam melancar kan serangan-serangannya sekarang, hampir se muanya digunakan jurus-jurus tangguh yang mengerikan.

Tapi manus ia aneh bertopeng itu me mang lihay sekali, bagaimanapun dahsyatnya serangan yang dilancarkan pihak lawan, manus ia aneh itu masih bisa menghindar kan diri dengan enteng dan santai.

Im Yan cu mengerutkan dahinya rapat-rapat, paras mukanya berubah menjadi a mat menyeramkan, sambil me mbentak nyaring dengan kesepuluh jari dipentangkan dia lepaskan sepuluh gulung desingan angin tajam yang menderu-deru.

Sungguh dahsyat ancaman tersebut, dalam waktu singkat dua belas buah jalan darah penting di tubuh bagian atas manusia aneh tersebut sudah terjebak di tengah gulungan angin serangan si nona yang teramat hebat itu….

Tiba-tiba mencorong sinar mata tajam yang menggidikkan  hati dari balik mata manus ia aneh bertopeng itu, ujung bajunya segera dikebaskan ke muka melancar kan serangkaian angin pukulan tajam untuk meno lak datangnya anca man kesepuluh ja lur desingan angin serangan dari Im Yan cu.

“Blaaamm! Blaaamm! Blaaamm…!” serentetan bunyi ledakan yang keras bergema me menuhi angkasa, dalam sekejap mata tenaga serangan kedua belah pihak sama-sama sudah lenyap tak berbekas.

Im Yan cu me mbentak keras, telapak tangan kanannya segera dibabat  ke  depan,  sedangkan  telapak  tangan  kirinya   dengan me mbawa desingan angin tajam langsung menghanta m dada manus ia aneh bertopeng itu.

Si manusia aneh bertopeng itu merupakan seorang jago  lihay yang jarang dijumpai dalam dunia persilatan, setelah didesak berulang kali oleh serangan Im Yan cu yang makin dahsyat, akhirnya sifat buas dan bengisnya segera timbul kembali.

Sambil tertawa dingin sepasang lengannya diputar me mbentak satu lingkaran lalu dengan gerakan me mbaco k dan menangkis sepasang kakinya berbareng melayang ke depan menendang tubuh bagian bawah dari Im Yan cu.

Merah padam sele mbar wajah Im Yan cu karena jengah, dalam gusarnya mendesis muak kemudian tubuhnya  berkelebat  ke samping menghindarkan diri dari tendangan berantai tersebut.

Kemudian telapak tangan kanannya tiba-tiba me mbalik ke atas, dari serangan pukulan segera dirubahnya menjadi serangan mencengkeram, dengan cepat ia cengkeram urat nadi penting di tubuh lawan, sementara kelima jari tangan kirinya menyentil ke muka dan menoto k jalan darah Seng-hiat, Wi-ciat dan Hu-tu-hiat, tiga buah jalan darah penting di tubuh ma nusia aneh itu. Sejak melancar kan serangan, berubah jurus sampai meneter lawannya, boleh dibilang Im Yan cu me lakukan kese muanya itu dengan cepat serta kelihayan yang mengerikan.

Manusia aneh bertopeng itu segera tertawa dingin, sambil miringkan badan dan berputar kencang, sepasang telapak tangannya diputar melancarkan gulungan angin pukulan yang segera me munahkan anca man lawan yang datang secara bertubi- tubi itu.

Kedua gulung ujung bajunya yang lebar bagaikan dua ekor ular yang lincah sambil me mba lik dan menggulung dengan cepat dan tajam me mbelenggu sepasang nadi penting di atas pergelangan tangan Im Yan cu.

Mendadak tubuh Im Yan-cu berputar kencang secara aneh, sakti dan dahsyat, ibaratnya gulungan ombak di tengah samudra. Di tengah putaran tubuh yang aneh dan kencang itulah, aliran hawa sakti yang bergulung-gulung aneh me mancar ke tubuh manus ia aneh bertopeng itu dengan t iada hentinya.

Mendadak….

Im Yan cu me mbentak keras, tubuhnya tiba-tiba melayang dan menerjang maju ke muka, telapak tangan, jari tangan serta kakinya me lancarkan jurus-jurus sakti secara berbarengan. Dengan begitu dahsyatnya semua ancaman tersebut ditujukan ke tubuh manusia aneh bertopeng itu.

Demikianlah, jika dua orang tokoh sakti dari dunia persilatan terlibat dalam suatu perte mpuran sengit, maka akibatnya terjadilah suatu pertempuran maha seru yang melibatkan segenap kepandaian sakti yang mereka miliki….

Tampak bayangan manusia beterbangan kian ke mari, angin pukulan menderu-deru bagaikan angin puyuh, bukan saja me mbuat pasir dan batu kerikil beterbangan di angkasa, daun dan ranting pun ikut berguguran ke atas tanah…. Tenaga dalam yang dimiliki manus ia aneh bertopeng itu memang benar-benar sangat lihay, bukan cuma jurus serangannya yang aneh dan sakti, perubahannya begitu banyak sehingga membuat orang susah untuk menanggulanginya.

Lapisan demi lapisan angin pukulan yang bersusun seperti bukit, bagaikan hujan badai yang disertai angin kencang menyapu arena sedemikian hebat dan mengerikannya suasana waktu itu, hingga cukup me mbetot sukma.

Im Yan cu tidak gentar barang sedikitpun juga, dengan lincah dan gesit tubuhnya melo mpat kian ke mar i me loloskan diri dari ancaman, kemudian tak kalah hebatnya dia lepaskan pula serangan- serangan dahsyat yang semuanya me mpergunakan jurus-jurus sakti yang jarang dijumpa i dalam dunia persilatan.

Dengan kekuatan yang ha mpir seimbang ini, maka mes ki pertempuran sudah berlangsung empat lima ratus jurus, keadaan tetap seri, sedang di hati masing- mas ing pun saling mengagumi akan kelihayan ilmu silat lawannya.

Sementara itu, rembulan  telah  muncul  dari  balik  bukit  dan me mancarkan sinar keperak-perakannya menyoroti seluruh jagad. Tapi suasana dalam hutan di depan kuil kuno itu tetap suram dan menyeramkan, karena diiputi oleh kabut yang sangat tebal.

Pertempuran yang berlangsung antara manusia aneh bertopeng me lawan Im Yan cu sudah mencapa i pada bgian yang paling tegang, menang kalah sebentar akan ketahuan, tapi kedua orang itupun se makin me ndekati jurang pemisah antara mati dan hidup.

Sebab kepandaian silat yang dipergunakan kedua orang itu sekarang adalah serangan-serangan yang mempergunakan hawa murni tingkat tinggi yang paling se mpurna sekali, salah bertindak berarti jiwanya akan me layang meningga lkan raga.

Dari balik biji mata si manus ia aneh bertopeng yang tajam, telah mencorong keluar serentetan cahaya buas yang penuh kebencian. Dia mendengus dingin, mendada k jari tangannya menyentil ke depan, “Crit! Cring!” di tengah desingan tajam yang me mekikkan telinga, dalam waktu singkat ia telah menganca m enam buah ja lan darah penting di tubuh Im Yan-cu.

Menyusul ke mudian tubuh manusia aneh bertopeng itu segera  me la mbung ke udara bagaikan burung elang, tangan dan kaki bersamaan melancar kan serangan. Dalam waktu singkat ia  telah me lepaskan enam buah pukulan dan tiga buah tendangan berantai.

Serangan inipun dilakukan dengan kecepatan yang luar biasa serta jurus serangan yang ampuh, lihay, ganas dan buas. Benar- benar cukup mendir ikan bulu kuduk orang.

Paras muka Im Yan-cu dingin bagaikan es, matanya melotot penuh kegusaran, sambil me mbentak nyaring,  jari tangannya yang le mbut dan putih itu digerakkan berulang kali melancar kan beberapa kali sentilan jari.

Desingan angin tajam segera menderu-deru, dengan dahsyat ancaman tersebut menahan serangan jari tangan si manus ia aneh berkerudung yang sedang menggulung datang.

Siapa tahu pandangan matanya mendadak me njadi kabur, telapak tangan dan tendangan kaki manusia aneh berkerudung itu  ke mbali ber munculan dari e mpat arah delapan penjuru dengan kecepatan bagaikan sambaran kilat, sedemikian dahsyatnya ancaman itu sehingga sukar untuk dilukiskan dengan kata-kata.

Di tengah kurungan angin pukulan serta bayangan tendangan lawan, sepasang telapak tangan Im Yan cu bergerak kian kemar i bagaikan kupu- kupu menghisap madu. Dalam waktu singkat dia lancarkan pula se mbilan buah pukulan dahsyat.

Hawa serangan yang maha dahsyat sgera  melanda  seluruh jagad, di tengah amukan angin pukulan yang tajam tadi, dengan enteng dan lincahnya Im Yan cu berlo mpatan kian ke mari.

Mendadak… pada saat itulah si manus ia aneh berkerundung itu me mbentak keras, menyusul ke mudian serangan me matikan yang amat dahsyat berhamburan ke mana- mana. Ta mpaklah sepasang tangannya bergetar kian ke mari secara aneh, setiap pukulan dilancarkan dua serangan dahsyat segera me landa di udara.

Selain daripada itu, dalam setiap gerak serangan yang dipergunakannya itu, hampir se muanya dilancarkan me lalui suatu sudut yang aneh sekali. Pukulan yang berantai seolah-o lah datangnya secara berbarengan pada saat yang sama.  Kehebatan dan kelihayan jurus serangannya itu, boleh dibilang tak pernah dijumpai sebelumnya di dunia ini.

Begitu serangan tersebut dilontarkan oleh manus ia aneh berkerudung tadi, udara di  sekeliling  tempat  itu  segera  dliput i gelo mbang hawa tekanan kian lama kian bertambah besar, daerah seluas dua kaki serasa penuh dengan tekanan udara yang kuat. Sementara di tengah berpusing segulung angin tajam yang menyayat badan.

Berbarengan dengan dipancarkannya serangan me matikan dari Im Yan cu juga dilancarkan pada saat yang bersa maan.

Tampak tubuh Im Yan cu yang  menyentuh  tanah  mendadak me la mbung ke mbali ke udara. Ke mudian secara tiba-tiba badannya menyusut kecil di udara, sementara sepasang lengannya dipentangkan lebar-lebar. Seluruh gaunnya yang berwarna biru bergetar menciptakan sususan-susunan gelo mbang yang aneh.

Tiba-tiba….

Im Yan cu merapatkan tangannya lalu melurus ke depan. Seluruh badannya bagaikan sebatang anak panah yang tajam, secepat kilat me luncur ke arah manus ia aneh berkerudung itu.

Pada saat ujung jari tangannya sudah mencapa i enam depa dari tubuh manus ia aneh itu… mendadak sekujur tubuhnya bergetar keras, kemudian me luncur ke bawah.

Sedetik sebelum badannya mene mpel tanah, secara aneh sepasang lengannya itu dipentangkan lebar-lebar.

Suatu daya yang mengerikan pun segera terbentang di depan mata. “Sreeet! Sreeet! Sreeet!”

Serentetan cahaya tajam berkilauan me me nuhi udara, lalu terdengar manusia aneh berkerudung itu mendengus tertahan.

Menyusul ke mudian berkumandang pula serentetan bunyi pekikan aneh yang a mat me milukan hati….

Dengan sekujur badan ge metar keras, manusia aneh berkerudung hitam itu mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya dan sekejap kemudian sudah jauh meningga lkan tempat itu. Jelas di bawah serangan aneh dari Im Yan cu, manus ia aneh berkerudung itu sudah mender ita luka dalam yang tidak ringan….

Me mandang sa mpai bayangan tubuh manusia berkerudung itu lenyap dari pandangan mata, Im Yan cu baru menghela napas panjang, guma mnya:

“Aaai… entah siapakah manus ia aneh berkerudung itu? Begitu lihay ilmu silat yang dimilikinya dan sakti jurus serangan yang dipergunakannya, entah dia berasal dari perguruan mana….?”

Coba kalau tidak kugunakan ilmu sakti dari perguruan: HAY JIN CIANG (Ilmu Pukulan Unggas)… sudah pasti aku akan tewas termakan serangan terakhir itu… yaa, ilmu pukulan Hay-jin-ciang sungguh hebat sekali, sayang suhu cuma mewarisi satu jurus saja kepadaku.”

Mendadak Im Yan cu berpaling, la lu menjer it kaget: “Hei, dia lari ke mana?”

Yang dimaksudkan adalah Ku See-hong. Waktu itu di sekitar sana sudah tidak na mpa k lagi bayangan tubuh dari anak muda tersebut, entah sejak kapan ia sudah pergi meninggalkan te mpat itu.

Im Yan cu ke mbali menghe la napas panjang.

dw

Bab  “MANUSIA she Ku ini pun betul-betul manus ia aneh,” demikian ia berguma m lirih, “Sudah jelas ia terhajar telak sehingga terluka parah, kenapa bayangan tubuhnya tahu-tahu sudah lenyap tak berbekas? Masa ia telah berhasil melatih se maca m ilmu yang tahan pukulan?”

Tiba-tiba dengan ge mas dia berguma m lagi: “Lelaki she Ku itu amat misterius sekali, aaai…. Entah mengapa, sejak bertemu muka dengannya, aku jadi seperti tidak me mbenci orang le laki lagi, bahkan….”

Berguma m sampa i di situ, tanpa terasa sepasang pipinya berubah menjadi merah dadu, apalagi di bawah timpaan sinar mentari, dia tampa k lebih cantik dan me mpesona kan hati.

Kembali Im Yan cu berguma m:

“Luka dalam yang dideritanya akibat pukulan itu parah sekali, lagipula ia seperti me mpunyai hubungan dengan Bun-ji koan-su…. Kalau me mbiarkan seorang manus ia yang cetek pengalaman maca m dia berkelana seorang diri di dalam dunia persilatan, hal ini benar- benar berbahaya sekali. Orang persilatan kebanyakan licik dan berhati busuk, dia… kendatipun me miliki ilmu silat lihay juga tak baik….”

Im Yan cu mendongakkan kepalanya me mandang sekejap matahari yang berada di awang-awang, tubuhnya segera bergerak dan lenyap ke mba li dari depan kuil kuno yang penuh keseraman itu.

Rupanya setelah Ku See-hong kena terhajar oleh tenaga pukulan Im Yan cu yang disalurkan manus ia aneh berkerudung ke tubuhnya, lewat ilmu Too-im-ciat-yang tersebut, hawa darah di  dalam tubuhnya segera mengala mi gejolak keras yang menyebabkan ia jatuh tak sadarkan diri.

Tapi tak la ma ke mudian ai telah sadar ke mbali. Ketika itu kentongan kelima sudah lewat, sedang Im Yan cu sedang terlibat dalam pertarungan yang amat seru me lawan manusia aneh berkerudung itu. Dia m-dia m Ku See-hong menghe la napas panjang. Ia tahu entah pihak manapun yang bakal menang, kedua-duanya tidak menguntungkan baginya, maka mengguna kan kese mpatan baik tersebut, secara diam-dia m dia lantas ngeloyor pergi dari situ.

Luka dalam yang diderita Ku See-hong kali ini sungguh teramat parah. Hawa mur ni di dalam tubuhnya seakan-akan sudah kena terhajar sampai buyar tak karuan, hawa darahnya segera mengalir terbalik, jalannya menjadi gontai dan se mpoyongan hampir roboh, namun kesadarannya belum hilang. Suatu tekad yang besar muncul dalam hatinya dan sa mbil menahan sakit dia melakukan perjalanan ke depan.

Makin jauh dia berjalan, luka parah yang dideritanya sema kin parah, terasa hawa panas di dalam dadanya menerjang ke atas, sepasang kakinya seakan-akan sudah t idak menur uti perintahnya lagi.

Dalam keadaan begini, akhirnya dia menghe la napas dan merasa harus beristirahat sebentar, tapi  ingatan  tersebut  justru  segera  me mbuyarkan tekad di dalam hatinya.

Walau begitu, perjalanan yang dilakukan tanpa arah tujuan itu telah me mbawa dirinya mene mbusi beberapa buah bukit. Sekarang dia telah berada tak jauh dari sebuah tanah perkuburan yang luas dan lebar.

Tampak kuburan itu sangat kacau balau keadaannya dan sama sekali tak terawat. Batu nisan banyak yang hancur, gundukan tanah banyak yang berlubang. Meski di tengah siang hari bolong, namun suasana di sekitar tempat itu terasa seram dan mengerikan sekali.

Dengan ujung bajunya dia menyeka keringat yang me mbasahi wajahnya, kemudian setelah me mperhatikan sekejap pe mandangan di sekeliling te mpat itu, dengan susah payah dia menyeret sepasang kakinya dan pelan-pelan me masuki tanah pekuburan tersebut. Sambil berjalan, tiada hentinya Ku See-hong berguma m: “Luka yang kuderita sekarang teramat parah, mungkin masihkah ada suatu penemuan aneh lagi yang bakal kujumpai? Aaai, lebih baik mati di tempat ini saja.” Batu nisan yang berserakan dan gundukan tanah yang berjajar mendadak menimbulkan suatu perasaan pedih dalam hatinya, diam- diam ia berpikir seorang diri:

“Aaai… walaupun menjadi jagoan sepanjang masa, setelah mati kerangka tubuhnya juga akan terlantar di dalam tanah pekuburan. Orang hidup saling  mengejar  harta  dan  nama,   sepanjang  hari me mbanting tulang bekerja keras, padahal apalah gunanya semua perjuangannya itu bila hayat telah meningga lkan badan?”

Ingatan tadi begitu melintas dalam benaknya, semua kegagahannya serasa punah tak me mbekas tekad yang sela ma ini me mpertahankan tubuhnya, kontan me mbuyar, kakinya sempoyongan, hampir saja ia jatuh terjere mbab ke atas tanah.

“Koak koak koak…” bunyi burung gagak mena mbah sura mnya suasana….

Di atas beberapa batang pohon siong tak jauh dari Ku See-hong, terbang melayang empat lima ekor burung gagak.  Ketika mendengar pekikan burung yang menusuk telinga itu, mendadak Ku See-hong merasakan hatinya bergetar keras.

Kejadian demi kejadian yang me medihkan hatinya di masa  lalu ke mbali muncul di dalam hatiya. Ia teringat kembali dengan ayah- ibunya yang mati secara mengenaskan, dia teringat pula Bun-ji koan-su yang sa mpai mat i tetap me mbawa denda m….

Beberapa orang itu telah melimpahkan budi dan kasih sayang tak terlukiskan dengan kata-kata kepadanya, tapi meninggalkan pula dendam berdarah yang lebih  dalam dari sa mudra untuk ia selesaikan….

Terbayang sampai di situ dia baru merasa terkesiap. Diam-dia m tegurnya kepada diri sendiri:

“Ku See-hong, wahai Ku See-hong…. Nyawamu sih kecil, tapi dendam kesumat orang tuamu harus dibalas, apalagi Bun-ji koan-su telah mewarsikan tiga maca m ilmu kepadamu. Sampai detik-detik ke matiannya, ia masih menitipkan harapannya yang besar kepadamu.

Betul dengan watak aneh dari ia orang tua,  sampai saat terakhirnya dia tidak me minta apa-apa kepadamu, tapi betapa besarnya dia menitipkan harapn tersebut kepada mu, betapa besarnya harapan dia orang tua agar kau bisa menyelesaikan keinginannya. Apalagi kau telah bersumpah di depan jenasahnya tapi sekarang, kau telah mere mehkan nyawamu sendiri, kau gampang berputus asa, maunya mengambil keputusan pendek… Wahai Ku See-hong, manusia maca m apakah dirimu ini…?”

Begitu ingatan tersebut berkelebat lewat di dalam benaknya, muncul ke mbali semangat untuk me lanjutkan hidup di dalam hatinya, semangatnya ikut berkobar pula. Sambil mendongakkan kepalanya ia me mandang pesoan awan di angkasa, angin musim gugur yang dingin berhe mbus lewat dan mengibarkan ujung bajunya. Dalam benaknya seali muncul bayangan dari Bun-ji koan- su, telinganya serasa mendengung ke mba li pesan terakhir dari gurunya. Darah panas di dalam dadanya tiba-tiba bergelora dan mendidih, se mua ke masgulan dan kemurungan yang mengganja l dadanya terasa menyesakkan napas, tak kuasa lagi ia mendogakkan kepalanya dan berpekik panjang.

Suara pekikannya itu nyaring seperti pekikan naga….  Tinggi, keras mene mbus i awan dan mengge ma dalam le mbah. Suaranya me mantul dan mendengung t iada hentinya. Namun di balik pekikan tadi justru terbawa suasana sedih, pedih dan murung.

Tiba-tiba, pekikan nyaring itu terputus sampai di tengah jalan, terdengar Ku See-hong mendengus tertahan….

Sebagaimana diketahui, luka dalam yang diderita pemuda itu sama sekali belum se mbuh, tapi sekarang harus mengerahkan sisa tenaga yang dimilikinya untuk berpekik panjang, hala mana menyebabkan jalan darahnya mengalmi luka yang sema kin parah, lagi tentu saja kondisi badannya menjadi se ma kin buruk. Akhirnya dia tak tahan dan muntah darah segar, kemudian tubuhnya roboh ke tanah dan jatuh tak sadarkan diri. Tubuhnya tepat roboh di samping sebuah kuburan di bawah sebatang pohon pen yang lebar.

Entah berapa lama sudah lewat mendadak Ku See-hong merasa pipinya menjadi dingin, tubuhnya ge metar keras dan segera tersadar kembali dari pingsannya.

Ketika ia me mbka ke mbali matanya, tampak awan hitam menyelimuti seluruh angkasa dan menutupi cahaya sang surya, kilat menya mbar-nyambar, guntur menggelegar, ternyata hujan sedang turun dengan derasnya…..

Sekujur badan Ku See-hong basah kuyub oleh air hujan, dengan cepat sinar matanya dialihkan ke arah sebuah gardu bobrok lebih kurang dua kaki dari sana. Dengan cepat badannya jumpalitan di udara dan meluncur ke arah dalam gardu bobrok tadi.

Setelah tiba di dalam gardu, Ku See-hong baru menjer it tertahan karena kaget.

“Haaah?  Heran,  kenapa  luka  parahku  secra  tiba-tiba   bisa  me mba ik sendiri…?”

Pemuda itu merasa pergolakan hawa darah di dlaam dadanya telah menjadi tenang ke mba li, badannya tidak terasa sakit seperti tadi.

Rupanya ia telah me mperoleh warisan hawa murni dari Bun-ji koan-su yang telah mencapai puluhan tahun hasil latihan itu. Di samping me miliki pula ilmu Kan- kun- mi-siu- kang yang maha sakti tersebut.

Berhubung dia tidak segera mengatur pernapasan  setelah mender ita  luka  dalam  yang  amat  parah  itu.  Kemudian   harus me lakukan  pula   perjalanan   yang   jauh    sebelum    akhirnya me ma ksakan diri untuk berpekik nyaring… kesemuanya ini menyebabkan dia jatuh pingsan.

Tapi justru karena pingsan, pemuda itu malah mendapat cukup banyak waktu untuk beristirahat. La mbat laun gejolak hawa murni di dalam dadanya juga menjadi tenang ke mbali, kesadaran pun berangsur pulih ke mbali.

Demikianlah, setelah berhasil menenangkan perasaannya, Ku See-hong baru berguma m:

“Kenapa aku begini tolol, tak tahu mengatur napas untuk mengerahkan tenaga dalam…? Tanah pekuburan ini sangat luas dan terpencil letaknya, mungkin tiada orang yang bakal sampai ke sini, kenapa tidak kugunakan kese mpatan ini untuk menyembuhkan sisa lukaku, kemudian sekalian me mperdala m jurus Hoo- han-seng-huan yang maha sakti itu?”

Ternyata semenjak terjadinya pertarungan sengit di depan kuil kuno ke marin, bukan saja Ku See-hong telah mena mbah pengetahuan serta pengalamannya dalam menghadapi musuh, lagipula dia berhasil juga mendala mi banyak sekali kepandaian sakti.

Semua yang berhasil diperolehnya itu me mbuat pikirannya semakin terbuka untuk mendala mi kepandaian silat yang dimilikinya, otomatis  menimbulkan  pula  se mangatnya  untuk   me mpero leh ke majuan. Dia berharap dari ketiga gerakan jurus Hoo-han-seng- huan tersebut dia dapat me mperoleh kepandaian sakti yang lebih banyak lagi.

Dalam soal ilmu silat, maka yang menjadi  kunci  rahasianya adalah pengertian tentang dasar ilmu tersebut. Bila  dahsyatnya dasar tersebut sudah dipahami ma ka selanjutnya segala sesuatunya pun akan lebih lancar lagi.

Ketika Bun-ji koan-su mewaris kan jurus Hoo-han-seng-huan tersebut kepadanya tempo hari, saat itu keadaannya ssudah payah sekali. Apa yang bisa dilakukannya tak lebih hanya melakukan gerakan secara garis besarnya saja, namun berhubung ilmu itu mengandung makna yang lebih mendala m, maka Ku See-hong tak lebih cuma ditinggal sekilas kenangan saja.

Menanti ia sungguh-sungguh bertarung dengan jago kelas satu dari dunia persilatan, dan bikin kocar-kacir tak karuan, sang pemuda yang keras hati ini baru me nghimpun se mua se mangat dan tenaganya untuk berusaha mengenang ke mbali semua kesan yang telah diperolehnya itu. Untung dia memiliki kecerdasan yang tinggi serta  daya  tangkap  yang   hebat,   jadinya   ia   malah   berhasil me maha mi ma kna dari jurus Hoo-han-seng-huan tersebut.

Setelah itu, dia terlibat kembali dalam suatu pertarungan yang seru melawan Im Yan cu. Dalam pertarungan ini lebih besar lagi  hasil yang berhasil diraihnya. Banyak rahasia ilmu silat yang di hari- hari biasa mungkin sulit dipecahkan, ternyata berhasil dipahami olehnya dalam se mangat dan perjuangan yang a mat hebat itu.

Otomatis, pelbagai cara me mpelajari ilmu silat serta pelbagai jurus silat yang lihay pun berhasil dipecahkan.

Kemajuan pesat yang berhasil diraih dalam waktu singkat ini, tanpa terasa menimbulkan pula daya tarik bagi Ku See-hong untuk menyelidiki serta menda la mi ilmu silatnya lebih jauh, sebab dia sadar andaikata kepandaian silatnya tak becus, maka tanggung jawab yang berada di atas bahunya juga sukar untuk diwujudkan.

Saat itu, dalam hati Ku See-hong telah muncul suatu harapan yang sangat kuat, apa yang dia ingin lakukan tanpa segan-segan segera dilaksanakan. Dengan cepat pe muda itu duduk bersila di atas meja batu dalam gardu bobrok itu, lalu menurut i pecahan rahasia ilmu silat yang berhasil dipaha minya, dia mulai mengerahkan hawa murninya untuk mengatur pernapasan….

Dengan dibuangnya semua pikiran dari dalam benaknya serta pemusatan perhatiannya ke satu titik, dengan cepat pe muda itu mendapatkan tubuhnya makin la ma se makin segar.

Dalam waktu singkat Ku See-hong merasa hawa murni di dalam tubunya makin la ma sema kin terhimpun me njadi satu, ke mudian muncul segulung aliran tenaga yang sangat aneh  dari pusar menerjang naik ke atas dan menyebar ke seluruh badannya. Baru satu lingkaran hawa murninya hanya mengelilingi badan, ia sudah berada alam keadaan lupa diri.

Lewat seperminum teh ke mudian, dari seluruh badan Ku See- hong segera muncul suatu perubahan yang sangat aneh. Dari sekeliling badannya tiba-tiba muncul selapis kabut yang mengelilingi seluruh badannya. Kabut putih itu menyerupai awan putih di angkasa yang melapis i se mua badannya.

Di dalam keadaan de mikian, walaupun ada he mbusan angin tajam yang menerpa  badannya, gumpa lan kabut putih tetap menggumpal dan sa ma sekali t idak me mbuyar.

Entah berapa lama sudah lewat,  akhirnya kabut putih yang sangat indah itu seakan-akan terhisap kembali se muanya ke dalam tubuh Ku See-hong, menyusul ke mudian diapun me mbuka matanya ke mbali….

Me mandang gundukan tanah pekuburan yang tersebar di ma na- mana serta me mandang pepohonan yang bergoyang terhembus angin, tanpa terasa pemuda itu menghe la napas sedih.

Kiranya  hujan  telah  berhenti  waktu  itu,  awan  hitam  telah  me mbuyar dan udara pun telah ke mbali. Sang surya telah tenggelam di langit barat meninggalkan bianglala senja yang sangat indah….

Senja telah menjelang, berarti ma lam pun segera tiba.

Bunyi jangkrik mulai melagukan ira ma dendam,  angin pun berhembus sepoi-sepo i menggoyangkan rumput serta dedaunan, tanah pekuburan itu terasa ma kin kelabu dan sepi….

Setelah me lakukan se madi untuk mengobati lukanya, gejolak hawa darah di dalam tubuh Ku See-hong bukan saja telah menjadi tenang kembali, lagi pula badan serta  semangatnya menjadi segar ke mbali, hawa murni yang terhimpun di dalam badannya terasa penuh. Sinar  matanya  lebih  tajam  dan  jelas  tenaga  dalamnya ke mbali telah me mperoleh ke majuan yang sangat pesat….

Perlu diketahui: Kese mpurnaan tenaga dalam yang dimiliki Bun-ji koan-su sesungguh sudah tiada tandingannya lagi di dunia ini. Dengan ilmu Tiong-gio k-tay-hoat dari  kalangan  Buddha,  secara dia m-dia m ia telah me nyalurkan segenap kekuatannya itu ke tubuh Ku See-hong yang menyebabkan ia mene mui ajalnya karena kekeringan… hal se maca m ini boleh dibilang belum pernah terjadi di dunia ini.

Betul hawa murni yang diterima Ku See-hong tidak menyeluruh, sehingga tidak me mbawa tingkatan hawa murninya mencapa i tingkatan paling top seperti yang dimiliki Bun-ji koan-su… akan tetapi paling tidak ia telah me mpero leh tiga sa mpai empat bagian dari se mua tenaga tersebut.

Walaupun tenaga tadi belum sampai menyusup se mua ke dalam nadinya dan bisa dimanfaatkan sepenuhnya, tapi dikombinasikan dengan Kan-kun- mi-s iu khikang yang diperolehnya itu me mbuat setiap kali pe muda itu terma kan  pukulan  dari  luar  atau selesai me lakukan se medi satu kali, hawa murni tadi lebih banyak yang terhisap ke tubuh dan bisa dimanfaatkan sebagaimana mestinya.

Keadaan semacam ini boleh dibilang luar biasa sekali,  atau dengan perkataan lain, hal mana sesungguhnya merupa kan suatu rejeki yang a mat besar bagi pemuda itu. Sela ma berada dalam kuil dulu, Ku See-hong sudah terlatih me miliki keberanian yang melebihi orang lain, maka sekarang, walaupun berada di tanah pekuburan yang menyeramkan, diapun sa ma sekali tidak merasa takut.

Waktu itu, segenap pikiran dan se mangatnya dikumpulkan menjadi satu, segenap ingatan maupun pikiran yang lain terbuang jauh-jauh dari benaknya, apa yang dipikirkan sekarang hanyalah menda la mi ketiga gerakan jurus Hoo-han-seng-huan tersebut serta berusaha untuk mengupas pelbagai jurus ilmu sakti la innya yang terdapat di balik jurus-jurus serangan itu….

Pada dasarnya Ku See-hong me mang seorang pe muda yang cerdas, begitu segenap pikiran dan perhatiannya dikumpulkan menjadi satu, kembali ada banyak jurus serangan serta kunci silat lainnya yang berhasil ditelaah olehnya, dan sekarang dia betul-betul mengerti bahwa jurus Hoo-han-seng-huan tersebut sesungguhnya adalah suatu kepandaian maha sakti yang tiada taranya di dunia ini.

Di balik jurus serangan itu bukan saja mengandung intisari kepandaian yang luas dan dalam, dalam setiap gerak serangannya juga mengandung unsur kekuatan tak terduga…. lagipula me miliki makna yang tak terkirakan hebatnya.

Dalam kejut dan girangnya, Ku See-hong makin terbuai dalam pelajarannya, segenap perhatian, pikiran maupun perasaannya hanya terpusatkan pada kepandaiannya itu, sehingga  hampir  saja dia melupakan segala sesuatu lainnya….

Rembulan telah bersinar terang di ujung langit, dalam  waktu yang amat panjang ini, Ku See-hong telah berhasil me maha mi serangkaian ilmu silat yang belum tentu dapat dimiliki atau dipahami oleh umat manus ia lainnya dalam jangka waktu puluhan tahun….

Waktu  itu   re mbulan   bersinar   terang   di   angkasa   dan   me mancarkan cahaya keperak-perakan, pelan-pelan Ku See-hong me langkah keluar dari dalam gardu bobrok itu mendongakkan kepalanya dan me mandang cuaca. Ia tahu, waktu itu kentongan kedua sudah lewat.

Mendadak….

Ku See-hong berdiri tegak bagaikan sebuah batu karang, semua pikiran dan tenaganya terpusat menjadi satu, setelah itu diiringi suara bentakan yang keras dan meme kikkan telinga, sepasang telapak tangannya diayunkan ke depan. Dari kesepuluh jari tangannya, yang terpentang lebar terpancarlah desingan angin tajam yang me mekikkan telinga. “Sreeett! Sreeett! Sreeett!” desingan de mi desingan tajam menyambar me mbelah angkasa.

Dari ujung jari Ku See-hong tiba-tiba me mancarkan  keluar sepuluh jalur cahaya putih yang tak berwujud, yang menya mbar dengan kecepatan luar biasa masing- masing menyerang dua batang pohon di hadapannya.

“Pleetaak… pleeetak… blaaamm… blaaamm…!” setelah berge ma suara keras itu, pohon siong yang besar dan luar biasa tingginya itu mendadak patah menjadi dua bagian dan roboh ke bawah.

Melihat kepandaian yang dicobanya berhasil dengan sukses, timbul se mangat yang menyala-nyala dalam hatinya, sekali lagi pemuda itu me mutarkan me mba likkan sepasang telapak tangannya, menyusul ke mudian terdengar suara bentakan keras menggelegar di angkasa. Dua gulung tenaga pukulan tak berwujud yang maha dahsyat, diiringi suara gemuruh yang me mekikkan telinga, dua batang pohon lagi tumbang ke tanah.

Ku See-hong se makin berse mangat, sekali lagi dia melontarkan sepasang tangannya ke depan. Gulungan angin pukulan ibaratnya gulungan air yang baru jebol dari bendunga, dengan  kecepatan yang luar biasa menggulung ke atas dua batang pohon la in. Di  mana angin pukulan itu berhe mbus lewat, kedua batang pohon itu tak lebih cuma bergoyang pelan tanpa menunjukkan reaksi la innya.

Mendadak   Ku   See-hong   mendonga kkan    kepalanya    dan me mperdengarkan gelak tertawa panjang yang meme kikkan telinga. Di balik suara tertawa tersbut, terkandung luapan rasa bangga yang tak terhingga, nampak jelas betapa girangnya perasaan anak muda itu….

Di saat gelak tertawa Ku See-hong masih berkumandang itulah… segulung angin tajam berhe mbus lewat, tiba-tiba daun dan ranting pohon besar itu berguguran ke atas tanah, menyusul ke mudian terdengar suara gemuruh yang sangat keras berge ma di angkasa….

Dua batang pohon yang sangat besar itu tahu-tahu tumbang ke atas tanah mula i sebatas pinggang, dari bekas-bekas potongan itu kelihatan bubuk halus beterbangan ke mana- mana. Rupanya isi pohon itu sudah dibikin hancur lumat oleh pukulan tangannya.

Tiba-tiba Ku See-hong berhenti tertawa, lalu dengan wajah sedingin es guma mnya lir ih:

“Se mangat, tenaga dan kekuatan merupakan tiga unsur yang saling me mpengaruhi, jika terjadi jalinan hubungan antara ketiganya akan jadilah Huan-pu-kui-tin, tenaga pukulan berisi ta mpa k bagaikan tak berisi. Itulah pertanda kalau puncak kese mpurnaan telah tercapai…. Huan-pu ki-tin… Huan-pu kui-tin…. Betulkah kepandaianku   telah   berhasil   kucapai   hingga    puncak kesempur naannya?” Berguma m sa mpai di situ, Ku See-hong merasa kegirangan sehingga ha mpir saja melupakan segala-galanya, segera teriaknya keras-keras:

“…Sungguhkah kesemuanya ini? Sungguhkah kese muanya ini?

Mengapa secepat ini aku berhasil mencapainya…? Kenapa…?”

Dengan usaha yang sangat mudah ia berhasil mengguna kan apa yang berhasil dikupas  dalam kepandaian itu menjadi suatu kenyataan, lagi pula menurut keadaan yang terlihat itu, hal mana justru merupakan gejala dari suatu keadaan yang dina makan Huan- pu kui-tin. Dalam kejut dan girangnya tak heran kalau dia menjadi sangsi, benarkah hal tersebut merupakan suatu kenyataan? Benarkah dia berbakat bagus dan me miliki kecerdasan yang luar biasa?

Dalam termenungnya itu, pelbagai pikiran cepat muncul di dalam benaknya, tapi setelah semua alasan itu diteliti lebih lanjut, terasa olehnya bahwa semua persoalan cukup dijadikan sebagai alasan mengapa ia bisa mencapai kesuksesan dengan begitu cepatnya….

Tiba-tiba Ku  See-hong  teringat  kembali  dengan  saat-saat menje lang ke matian Bun-ji koan-su, keadaan gurunya yang loyo dan le mas seperti lentera kehabisan minyak itu… Mendadak satu ingatan terlintas dalam benaknya, dengan cepat dia berpikir:

“Ketika Bun-ji koan-su dikerubuti beratus orang jago di atas puncak bukit Soat-san, meski ia dibuat cacad dan tubuhnya terjatuh ke dalam jurang, nyatanya ia tak sampai mati. Kemudian sela ma belasan tahun lamanya diapun sanggup membunuh jago-jago lihay yang mengunjungi kuilnya secara misterius. Dari sini terbuktilah kalau ilmu silatnya sudah mencapai tingkatan yang luar biasa sekali. Tapi setelah berjumpa dengan diriku, mengapa dia lantas berubah menjadi kakek loyo yang sudah ha mpir mendekati ajalnya? Jangan- jangan….”

Berpikir sa mpa i di situ, tiba-tiba Ku See-hong berseru: “Betul…! Betul…!” “Sudah pasti hawa murni suhu yang selama ini merupakan kekuatan yang me melihara kehidupannya telah disalurkan kepadaku secara diam-dia m, kalau tidak, mengapa secepat itu aku berhasil menguasai ilmu Kan- kun Mi-s iu khikang yangmaha dahsyat itu? Oooh suhu… wahai suhu. Mengapa tidak kau katakan hal itu kepadaku?

“Begitu besar budi kebaikan yang kau limpahkan kepadaku, bagaimana caranya aku me mbalas se mua budi kebaikan tersebut?”

Ku See-hong merasakan darah panas di dalam tubuhnya bergelora keas dan mendidih, air mata  tanpa terasa jatuh bercucuran me mbasahi wajahnya.

Mendadak….

Mencorong sinar tajam dari balik mata Ku See-hong, dengan tekad yang bulat dia berseru:

“Suhu! Kau bersikap begitu baik kepadaku, budi kebaikanmu keada tecu lebih dalam dari sa mudra, untuk selanjutnya tecu pasti akan mengingat selalu di dalam hati, aku pasti akan berusaha untuk me mba laskan dendam sakit hatimu, aku pun akan me mbalas budi kebaikanmu.”

Dalam waktu singkat, kentongan ketiga ke mbali me njelang t iba.

Ketika Ku Se-hong teringat ke mbali tragedi yang menimpa Bun-ji koan-su, dia merasa terdorong oleh e mosi yyang meluap, sehingga tanpa terasa dia mendongakkan kepalanya dan me mbacakan lagu “Dendam Sejagad” yang merupa kan suara hati dari Bun-ji koan-su itu.

Dendam Sejagad

DENDAM kesumat me mbentang bagai jagad. Bukit tinggi berhutan lebat di sisi sebuah kuil. Sungai besar di depan kuil bero mbak besar. Dendam kesumat sepanjang abad. DENDAM kesumat me mbentang bagai jagad. Burung gagak bersarang di rumput di kala senja. Cinta kasih berlangsung dari muda sa mpai tua

Me metik ka mpak me mbuat lagu: Nadanya denda m. Menitik air mata darah untuk siapa?

Hati pilu menanggung derita menyesal sepanjang masa. DENDAM kesumat me mbentang bagai jagad.

Ji-koan pernah bebuat salah.

Menyandang golok menunggang kuda, apalagh gunanya? Salju terbang air laut se muanya ha mbar.

DENDAM kesumat me mbentang bagai jagad. Curah hujan me mbuyarkan awan.

Air mengalir akhirnya surut.

Dendam kesumat tak akan pernah luntur….

Irama lagu bernada iblis yang me mbetot sukma itu menjulang tinggi ke angkasa dan terbawa angin sa mpai di te mpat kejauhan. Kesunyian yang menceka m dan ira ma lagu yang me medihkan hati teralun di angkasa dan mendengung tiada hentinya.

Ketika selesai me mbawa kan lagu tersebut, seluruh wajah Ku See- hong telah basah  oleh  air  mata.  Dengan  termangu-mangu  dia me mandang jagad yang luas, dia ingin mene mukan bayangan Bun-ji koan-su, tapi tak dapat.

Udara tampak bersih, bintang berkedip-kedip menyinari angkasa, Bun-ji koan-su adalah sebuah bintang di ujung langit sana, meski orangnya telah tiada, namun kenangan serta lagunya yang penuh perasaan akan berada terus di dunia, dan Ku See-hong akan selalu me mbawa kannya…. Entah sudah berapa lama Ku See-hong menga mati  udara, akhirnya sambil menghe la napas sedih, dia duduk ke mbali di meja batu dalam gardu dan berse medi ke mbali.

Sebetulnya Ku See-hong memang seorang yang gila ilmu, setelah keberhasilannya mengupas pelbagai kepandaian sakti ia tak pernah me mbuang waktunya dengan sia-sia. Dia selalu me musatkan pikiran dan perhatiannya untuk menyelidiki kepandaian sakti. Setiap kentongan ketiga sudah tiba diapun me mbawakan lagu “Dendam Sejagad” dengan suara lantang untuk me ngenang gurunya yang telah tiada dan berdoa bagi arwah Bun-ji koan-su Him Ci-seng yang telah tiada.

Tanpa terasa, Ku See-hong sudah berdiam selama tiga hari tiga ma lam di tengah tanah pekuburan yang sepi, seram, dan terpencil itu.

Latihan semedi dari Ku See-hong pun ma kin la ma sema kin sempurna. Setiap kali duduk berse medi, dia ha mpir me mbutuhkan waktu sela ma seharian penuh. Hari- hari itu, ketika  ia mulai bersemedi di pagi hari, dalam sekejap mata, mata telah menjelang tiba ke mbali.

Hari itu, ketika Ku See-hong baru sadar dari semedinya, tiba-tiba ia mendengar seseorang tertawa cekikikan, buru-buru  anak  muda itu me mbuka matanya dan menengok ke arah mana berasalnya suara  tertawa  itu.  Sinar  mata  tajam  yang  menggidikkan  hati me mandang keluar dari balik matanya.

Pada saat itulah, mendada k terdengar bentakan nyaring… “Hei orang she Ku, sa mbutlah ini!”

“Weeess…” he mbusan angin kencang me luncur t iba.

Ku See-hong segera menyaks ikan ada sesosok bayangan tubuh yang tinggi besar me luncur datang ke arahnya dengan kecepatan luar biasa.

Waktu itu Ku See-hong sudah mengena li suara siapakah itu, sepasang alis matanya segera berkenyit tangan kanannya segera disentilkan ke depan, desingan angin tajam yang me mekikkan telinga dengan dahsyatnya menghanta m bayangan hitam tadi.

“Blaaamm…!” benturan keras berge ma di udara.

Menyusul   ke mudian   terdengar   suara   jeritan   ngeri   yang me milukan hati berkumandang me menuhi angkasa, termakan oleh angin pukulan Ku See-hong yang a mat tajam tadi, bayangan hitam tersebut segera terbabat menjadi dua bagian. Darah segar berhembus ke mana- mana dan menyiarkan bau amis yang menusuk hidung.

Ketika Ku See-hong telah melihat jelas siapa gerangan bayangan hitam itu,  dengan  suara  keras  dan  penuh  kegusaran  ia  lantas me mbentak nyaring:

“Im Yan cu, kau perempuan rendah yang berhati keji, mengapa kau pergunakan nyawa orang sebagai bahan gurauan? Kau iblis perempuan berhati busuk, mala m ini aku orang she Ku pasti akan mencabut sele mbar jiwa mu!”

Di bawah sinar rembulan, tampaklah di atas sebuah gundukan tanah pekuburan berdiri seorang gadis yang cantik jelita; dia bukan lain adalah Im Yan cu.

Ketika mendengar suara makin dari anak muda tersebut, Im Yan cu segera tertawa cekikikan, katanya:

“Hei, kenapa sih kau ini? Kenapa sikapmu kepadaku selalu begitu galak? Me mangnya aku telah salah me mbunuh?”

Ku See-hong menjadi tertegun, sorot matanya yang tajam dengan cepat me mandang sekejap sekeliling tempat itu, tapi dengan cepat hatinya menjadi a mat terperanjat.

Pemandangan yang terbentang di depan matanya ketika itu betul-betul sera m, ngeri dan cukup mendirikan blu ro ma.

Ternyata di sekeliling tanah pekuburan itu tergeletak bersosok- sosok mayat yang bergelimpangan di sana-sini, ada yang tergeletak kaki di atas tanah ada pula yang terkapar di atas gundukan tanah pekuburan keadaannya benar-benar mengerikan.

Bentuk tubuh merekapun a mat seram dan luar biasa ngerinya, ada yang kepalanya putus, ada yang anggota badannya terpapas, ada pula yang isi perutnya berha mburan… bau amis darah tersebar dari e mpat penjuru.

Menyaksikan pe mandangan seperti itu, dia m-dia m Ku See-hong bergidik dan merasakan bulu ro manya pada bangun berdiri. Sebagai pemuda yang cerdik, dengan cepat dia mengetahui apa yang menyebabkan ke matian jago-jago persilatan itu.

Ternyata Ku See-hong sudah empat  mala m  berdiam di dalam ko mple k tanah pekuburan itu, tiap mala m pada kentongan ketiga dia selalu me mbawakan lagu “Dendam Sejagad” dengan keras dan lantang, hal mana me mbuat para jago persilatan yang sedang keheranan  dan  mencari-cari  apa  sebabnya   lagu   seram  yang me mbetot sukma  itu tiba-tiba lenyap dari dalam kuil bobrok tersebut, berduyun-duyun datang ke situ.

Maka di kala pada mala m ke-e mpat suara nyanyian tersebut bergema lagi dari tanah pekuburan tadi, berduyun-duyun kawanan jago persilatan itu berdatangan ke sana.

Begitulah, sewaktu Ku See-hong sedang bersemedi pagi tadi, tak sedikit jago persilatan yang sedang menyelidiki asal nyanyian itu sampai di sana, salah seorang di antaranya adalah Im Yan cu.

Padahal waktu itu Ku See-hong sedang melatih semaca m ilmu tenaga dalam tingkat tinggi, asal ia mendapat gangguan atau serangan yang datang dari luar, maka akibatnya pemuda itu akan menga la mi “jalan api menuju neraka”. Masih mendingan kalau cuma terluka parah, bisa jadi sele mbar jiwanya akan turut me layang.

Pada mulanya jago-jago persilatan itu mas ih belum  berani mende kati Ku See-hong, ke mudian setelah melihat jelas bahwa orang itu tak lebih hanya seorang pe muda tampan, serentak merekapun melancar kan sergapan maut ke arahnya. Maka demi me lindungi sele mbar jiwa Ku See-hong, Im Yan cu segera mela kukan pe mbantaian secara besar-besaran.

Waktu itu Ku See-hong sudah berada dalam keadaan lupa diri, sekalipun langit ambruk dia juga tak akan merasa, sudah barang tentu diapun tidak tahu kalau di sampingnya sedang berlangsung suatu pertarungan sengit yang benar-benar mengerikan.

Demikianlah, walaupun Ku See-hong merasa agak ngeri menyaksikan kekeja man Im Yan cu dalam me langsungkan pembantaian, na mun karena dia merupakan tuan penolongnya dalam peristiwa  kali  ini, maka  pe muda  itu  buru-buru  me njura me mber i hor mat seraya katanya dengan lantang:

“Nona Im, aku orang she Ku merasa berterima kasih sekali atas pertolongan yang kau berikan kepadaku sehingga aku lolos dari bencana pada mala m ini. Untuk budi kebaikan itu, di kemudian hari aku pasti akan berusaha untuk membalasnya, selain itu akupun minta maaf akan kekasaranku karena ketidaktahuanku tadi.”

Mendadak paras muka Im Yan cu berubah menjadi dingin seperti es, setelah mendengus dingin, katanya dengan ketus:

“Hmmm! Siapa yang kesudian menerima pe mbalasan budimu itu? Huuuh… Aku me mbunuh orang-orang itu tak la in karena aku berpikir de mi kepentinganku sendiri.”

Mendengar perkataan itu, Ku See-hong menjadi tertegun, pikirnya: “Tabiat dari perempuan ini benar-benar aneh sekali, baru saja berbicara dengan wajah berseri, tiba-tiba saja berubah kembali menjadi dingin tak berperasaan….”

Berpikir sa mpa i di situ, dia lantas berkata dengan lantang:

“Aku Ku See-hong selama hidup tak pernah menerima budi kebaikan orang dengan begitu saja. Pokoknya barang siapa pernah me lepaskan budi kepadaku maka hal ini pasti akan kuingat selalu di dalam hati, sekalipun badan harus hancur, suatu ketika budi itu  pasti akan kubayar.” Im Yan cu tertawa dingin dengan nada sinis, ujarnya dengan ketus:

“Huuuh… pura-pura berlagak sok tahu budi. Hmm! Sungguh menje mukan!”

Mendengar ucapan tadi, mencorong sinar tajam dari balik mata Ku See-hong, katanya pula dengan gusar:

“Im Yan cu, aku orang she Ku adalah seorang lelaki sejati yang bisa me mbedakan  mana budi dan ma na denda m, apa yang kuucapkan tak akan kuingkari untuk sela manya. Aku bukan manus ia rendah yang ada ucapan tanpa wujudnya.”

Tiba-tiba Im Yan cu tertawa cekikikan, la lu katanya pula dengan suara dingin:

“Sungguh beruntung sekali aku, Im Yan cu dapat berkenalan dengan seorang Kuncu, seorang lelaki sejati seperti kau, tapi nanti kau akan me nyesal dengan perkataanmu tadi. Nah, sekarang aku hanya ingin me mohon sesuatu kepadamu, sanggupkah kau untuk  me lakukannya?”

Agak terperanjat Ku See-hong setelah mendengar perkataan itu, tapi dengan tegas dia me njawab:

“Apa permintaan nona silahkan diutarakan secara berterus terang, asal aku orang she Ku sanggup me lakukannya, pasti akan kulakukan dengan sepenuh tenaga.”

Paras muka Im Yan cu dingin kaku tanpa emosi, katanya dengan suara dingin:

“Nona mu cuma menghendaki batok kepala mu itu, bersediakah kau untuk me menggalnya dan diberikan kepadaku?”

Suaranya dingin kaku tanpa emos i dan lagi a mat tegas, sama sekali tidak dibuat-buat ini me mbuat Ku See-hong merasa terkesiap dan segera terbungkam dalam seribu bahasa. Dari balik sorot mata Im Yan cu segera terpancar keluar serentetan cahaya yang sangat aneh. Diawasinya perubahan mimik wajah si anak muda itu, ke mudian ejeknya dingin:

“Bagaimana? Kau merasa menyesal? Hmm! Tadi saja, lagaknya besar dan o mongnya segede gajah.”

Dari atas wajah Ku See-hong pun terpancar keluar serentetan cahaya yang aneh sekali, katanya pelan:

“Bila nona menghendaki batok kepala ini, aku orang she Ku tidak akan mena mpik, cuma akupun hendak mengajukan satu permintaan kepadamu, dapatkah kau me mberi kelonggaran waktu sela ma tiga tahun kepadaku?”

Bila sudah sa mpai waktunya nanti, batok kepalaku ini pasti akan kuserahkan sendiri kepadamu, tapi jika kau bersikeras menghendaki batok kepalaku pada saat ini, terpaksa aku akan persilahkan kau untuk me mengga lnya sendiri.”

Ketika selesai mengupcakan perkataan itu, dari balik mata Ku See-hong pun terpancar keluar serentetan cahaya aneh yang menggidikkan hati, ia menatap wajah Im Yan cu tanpa berkedip.

Im Yan cu segera tertawa ringan katanya:

“Baik, daripada me mbangkang lebih baik menurut saja, sekarang juga nona mu akan me mengga l batok kepala mu.”

“Tunggu sebentar!” tiba-tiba Ku See-hong me mbentak  keras, “Aku sorang she Ku hendak mengajukan satu pertanyaan kepadamu.”

Kemudian setelah berhenti sebentar terusnya lagi:

“Siapakah gurumu? Suhuku Bun-ji koan-su ada dendam sakit hati maca m apa dengan dirimu?”

Dihadapkan oelh pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh Ku See-hong itu, Im Yan cu menjadi tertegun. Ternyata dia sendiripun tidak tahu dendam sakit hati seperti apakah yang terjalin antara gurunya dengan Bun-ji koan-su. Maka setelah tertegun beberapa saat lamanya, dengan suara dingin dia berkata:

“Na ma guruku tak akan diketahui oleh orang-orang persilatan… aku rasa kaupun tak perlu tahu, bagaimanapun juga kau toh sudah mende kati ajalnya, buat apa kau banyak ertanya? Sedangkan mengenasi dnedam sakti hati yang terjalin antara suhuku dengan Bun-ji koan-su, bahkan aku sendiripun tidak tahu, dari mana aku isa menerangkannya kepadamu?”

Mendengar perkataan tersebut, mendadak Ku See-hong mendonga kkan kepalanya dan me mperdengarkan gelak tertawa panjang yang keras dan me mbetot sukma. Suara tertawanya itu penuh mengandung kesedihan, kepedihan dan kekosongan…

Begitu keras  dan  melengkinganya  suara  tertawa  itu,  selain  me mbumbung jauh ke angkasa, juga menimbulkan getaran keras di sekeliling te mpat itu, me mbuat suasana di dalam ko mplek tanah pekuburan itu menjadi lebih seram dan menggidikkan hati.

Im Yan cu sendiri pun dibuat berubah wajahnya setelah mendengar gelak tertawa itu, dia m- diam pikirnya:

“Baru beberapa hari tidak bersua dengannya, kenapa tenaga alamnya bisa me mperoleh ke majuan yang sedemikian  pesatnya? Jika dia sa mpai mengguna kan jurus-jurus yang me matikan nanti, sudah pasti aku harus menggunakan banyak tenaga untuk menghadapinya….” 

Sementara dia masih termenung dan berpikir sa mpa i ke situ, mendadak suara tertawa yang keras itu berhenti sama sekali. Suasana menjadi sepi dan hening….

Sesudah berhenti tertawa paras muka Ku See-hong berubah menjadi dingin dan kaku tanpa emos i, sorot matanya memancar kan cahaya tajam yang menggidikkan hati, me mbuat orang merasa tercekat rasanya, kemudian dengan suara yang dingin ia berkata:

“Im Yan cu, sebagai seorang murid, sudah menjadi kewajibanmu untuk me mba laskan dendam bagi sakti hati gurumu, cuma kalau toh kau sendiri juga tak tahu dari ma na timbulnya perselisihan antara gurumu dengan guruku, sudah barang tentu kau juga tak bisa menentukan siapa yang benar dan siapa yang salah di dalam peristiwa ini. Aku orang she Ku anjurkan kepadamu, lebih baik janganlah mela kukan pe mbalasan dendam secara me mbabi buta.”

“Betul aku orang she Ku pernah berhutang budi kepadamu, tapi akupun tak ingin mati tanpa diketahui sebab musababnya, oleh sebab itu hutang ini sudah pasti aku orang she Ku bayar kepadamu. Jika kau berkeras kepala juga dan ingin me mbalas dendam saat ini, silahkan saja andalkan kepandaianmu untuk me lakukannya.”

Im Yan cu menger ling sekejap dengan sepasang biji matanya yang jeli, lalu sa mbil tersenyum katanya:

“Ku See-hong, kenapa sih kau marah- marah seperti lagi sewot? Kalau kau enggan menyerahkan batok kepala mu, yaa sudahlah, kenapa musti me ngucapkan teori yang panjang lebar seperti itu?”

Ku See-hong segera merasakan hatinya bergetar keras, pikirnya: “Perempuan   ini  betul-betul  sangat   aneh…  girang,   marah tak

menentu,  sesungguhnya permainan busuk apa lagi yang hendak dia

lakukan terhadap diriku…?”

Bagaikan segulung he mbusan angin, dengan enteng Im Yan cu me layang turun ke atas  tanah,  kemudian  dengan  langkah  yang le mah gemulai dia berjalan mengha mpir i Ku See-hong, sekulum senyuman menghiasi wajahnya me mbuat hati orang berdebar.

“Ku See-hong,” de mikan dia berkata dengan merdu dan manja, “entah mengapa, sedari berjumpa denganmu, aku selalu ingin marah- marah saja atau ingin menghajar dirimu, kalau sudah begitu hatiku baru terasa gembira rasanya, anggap saja kejadian tadi seperti asap yang lenyap di angkasa, sekarang, bagaimana kalau  kau te mani aku untuk bergebrak lagi beberapa jurus?”

Nadanya polos dan bersifat kekanak-kanakan, sepasang matanya yang bulat besar juga me mancar kan cahaya lembut yang penuh dengan cinta kasih, langkah yang lembut dita mbah potongan badannya yang tinggi sema mpai, me mbuat orang menjadi terpesona dibuatnya.

Sejak kecil, dari dalam hati Ku See-hong telah muncul suatu perasaan aneh, yakni me mbenci kaum wanita…. Senyuman Im Yan cu yang mengandung nafsu me mbunuh serta perubahan wataknya yang tak menentu, kesemuanya itu mendatangkan perasaan antipati dalam hatinya.

Maka dia lantas mendengus dingin setelah mendengar perkataan itu, ujarnya dengan dingin:

“Im Yan cu, kau tak usah jual ta mpang di hadapanku, soal berkelahi aku orang she Ku juga tidak mempunyai kegembiraan tersebut. Budi kebaikan yang kuterima hari ini pasti akan kubalas di ke mudian hari. Nah, sekarang aku ingin mohon diri lebih dahulu.”

Selesai berkata, Ku See-hong segera me mbalikkan badan dan berjalan pergi dari situ. Dia benar-benar tak ingin berkumpul dengan perempuan se maca m ini.

Im Yan cu mengerdipkan sepasang matanya lalu tertawa, senyuman itu sungguh me mpesona. Hati lelaki mana saja yang bertemu dengannya sudah pasti akan terpikat dan jatuh hati.

dw

TAPI sekarang, setelah mendengar ucapan Ku See-hong yang dingin kaku itu dia me njadi tertegun dibuatnya, hampir saja dia mengira si anak muda itu buta atau tak tahu perasaan.

Maka ketika dilihatnya Ku See-hong akan pergi dari situ, paras mukanya segera berubah hebat, bentaknya:

“Berhenti kau!”

Pelan-pelan Ku See-hong me mbalikkan badannya,  lalu  mencorong sinar tajam dari balik matanya, dengan dingin dia berkata: “Nona Im, kau masih ada urusan apa lagi? Cepatlah katakan, kalau tidak, maaf kalau aku orang she Ku tak dapat lebih la ma lagi mene mani kau.”

-oodwoo-
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

1 komentar

  1. Ni Orang2 Pada berkelagi Terus berhari-hari Apa ngga Lapar / Haus, Capek loyo???