Bagian 47
Ketika jaraknya dengan gadis berpakaian merah tinggal empat lima langkah, tetap tidak terjadi apapun. Entah mengapa, terang-terangan si gadis itu tahu ada seseorang yang sedang berjalan ke arahnya, namun dia tidak menolehkan kepalanya atau melirik sekilas- pun. Dengan punggung membelakangi Tan Ki, dia menatap ke arah pemandangan yang jauh.
Tiba-tiba Tan Ki menghentikan langkah kakinya. Jaraknya sekarang hanya tinggal setengah depa saja. Begitu dekatnya sehingga apabila Tan Ki mengulurkan tangannya, dia pasti dapat meraba gadis itu. Tetapi dia malah sengaja mengeluarkan suara batuk-batuk kecil.
“Kiau Hun!” panggilnya.
Secara langsung dia menyebut nama gadis itu, tadinya dia mengira paling tidak gadis itu akan menolehkan kepalanya dengan terkejut. Siapa tahu gadis itu hanya mengembangkan sedikit senyuman sambil menyahut, “Baguslah kalau kau sudah tahu!”
“Aku ingin menanyakan sesuatu hal kepadamu!” Kiau Hun tertawa datar.
“Lihat dulu apakah hatiku sedang gembira atau tidak menjawab pertanyaanmu!” Tan Ki jadi termangu-mangu.
“Kiau Hun, mana boleh kau berbicara ketus seperti itu denganku?”
Mendengar kata-katanya, sekonyong-konyong Kiau Hun membalikkan tubuhnya. “Aku baru mengucapkan sepatah kata saja, kau sudah anggap ketus? Pernahkah kau
sendiri berpikir, berapa banyak sudah kau mendatangkan penderitaan kepada orang lain.
Tentu kau sendiri tidak merasakannya bukan?”
Wajahnya masih ditutupi sehelai cadar. Dengan demikian sulit melihat bagaimana tampangnya saat itu. Tetapi dari nada suaranya dapat diduga bahwa hatinya saat ini merasa pedih sekali.
Perlahan-lahan Tan Ki menarik nafas panjang.
“Apa yang terjadi di masa lalu, masih terbayang jelas di depan mata. Aku Tan Ki beberapa kali menerima budi pertolonganmu, biar bagaimana aku tidak akan melupakannya. Tetapi aku tidak mengerti mengapa kau harus merendahkan dirimu menjadi mata-mata bagi pihak Lam Hay. Tadi di dalam goa, kalau aku tidak keburu datang tepat pada waktunya, mungkin saat ini Tian Bu Cu Locianpwe beserta cici Liang sudah terkapar di atas tanah bermandikan darah. Keduanya pasti mati di bawah pedang hijaumu itu. Untung saja jurus yang kau gunakan tadi pernah kulihat satu kali ketika di Pek Hun Ceng, dengan demikian aku segera mengenali dirimu. Entah bagaimana perasaanku tadi, boleh dibilang kesal dan panik bercampur menjadi satu, tetapi sejak mula hingga akhir, aku tetap tidak tega turun tangan kejam terhadap dirimu…”
Kiau Hun langsung menukas dengan nada dingin.
“Sekarang Oey Ku Kiong tidak ada di sini, kau boleh turun tangan menghantam diriku sampai mati!”
Tan Ki semakin gugup menghadapinya.
“Aku hanya ingin bertanya sampai jelas, mengapa kau bisa beralih ke pihak Lam Hay Bun?”
Kiau Hun mendongakkan wajahnya tertawa terbahak-bahak. Suaranya melengking memecahkan keheningan dan membuat telinganya jadi ngilu. Wajah Tan Ki langsung berubah hebat melihat tingkah lakunya.
“Apa yang kau tertawakan?” bentaknya kesal.
“Aku menertawakan pertanyaanmu yang begitu kekanak-kanakan. Kalau di daerah Tionggoan aku selalu mendapat hinaan karena keadaan diriku yang hanya seorang budak di keluarga Liu dan di mana-mana yang terlihat hanya cibiran orang, mengapa aku tidak boleh mencari jalan mengangkat derajatku sendiri?”
“Oleh karena itu kau sengaja mendekati Tocu Lam Hay Bun dan memikatnya dengan kecantikanmu itu?”
Kiau Hun tertawa dingin.
“Ini merupakan salah satu jalan bagiku untuk membalas dendam!” Sepasang alis Tan Ki langsung menjungkit ke atas mendengar kata-katanya. “Kepada siapa kau ingin membalas dendam?”
“Siapa saja, pokoknya setiap orang yang pernah memandang rendah diriku dan pernah menghina aku. Termasuk orang-orang yang sudah merebut kekasih hatiku!”
Tan Ki tertawa getir mendengarnya.
“Bagus sekali! Sekarang aku toh ada di hadapanmu, kau boleh membalaskan dendammu yang pertama!”
Kiau Hun mendengus dingin satu kali. Tangannya bergerak, tahu-tahu sebatang pedang pendek telah tergenggam di tangannya. Cahayanya berwarna hijau dan berkilauan.
“Apa yang kau katakan memang tidak salah. Dalam daftar orang-orang yang ingin kubalaskan dendam dalam hati ini, kau menduduki urutan pertama. Demi engkau, aku tidak perduli segala macam bahaya, bahkan dengan mempertaruhkan nyawa aku pernah menolong dirimu. Akibatnya aku malah ditendang keluar dari pintu perguruan. Sebagai seorang gadis yang sebatang kara tanpa sanak saudara seorangpun, aku berkelana ke mana-mana. Apakah kau pernah membayangkan betapa mengenaskannya keadaanku saat itu? Tetapi aku tidak merasakannya sama sekali. Siapa sangka hatiku yang tulus ini ternyata dipersembahkan kepada seorang laki-laki buaya. Bukan saja aku tidak dihibur sedikitpun, kau malah menghancurkan seluruh perasaanku. Dalam keadaan putus asa, setiap orang pasti mempunyai pikiran pendek. Apalagi jiwa kami kaum perempuan yang jauh lebih lemah daripada kalian laki-laki. Biasanya sedikit-sedikit ingin bunuh diri. Tetapi aku bukan orang bodoh yang mau mati begitu saja. Aku ingin menggunakan tubuh yang sudah tidak mempunyai perasaan ini sebagai imbalan untuk membuka jalan agar aku dapat membalas dendam. Siapa saja yang pernah menganggap remeh diriku atau menghindari aku, aku akan mencincang tubuhnya sampai hancur berkeping-keping!” sambil berbicara, pedang pendek di tangannya bergerak, cahayanya berkilauan dan saat ini sudah di tempelkan di depan dada Tan Ki. Asal dia mengerahkan sedikit saja tenaganya, sudah pasti selembar nyawa Tan Ki sulit dipertahankan.
Sikap Tan Ki masih tenang seperti semula. Dia seakan tidak merasa gentar sedikitpun menghadapi pedang pendek tersebut.
“Pendirianmu yang demikian picik, akhirnya hanya akan menghancurkan dirimu sendiri.
Meskipun aku mempunyai niat membantu, tetapi aku tidak mempunyai kesanggupan seperti itu. Hany dirimu sendiri yang dapat menyadarkan pikiranmu yang sesat serta kembali ke jalan yang benar!”
Sekali lagi Kiau Hun tertawa dingin.
“Sayangnya aku ini selalu mengikuti apa kata hati, biarlah penyesalan datang di kemudian hari!”
Pergelangan tangannya bergerak, pedang pendeknya dihunjamkan sedikit ke dalam daging di dada Tan Ki. Tampak sepasang alis anak muda itu mengerut-ngerut, tetapi dia tetap menahan rasa sakit dan tidak mengeluarkan suara keluahan sedikitpun. Darah segar mengalir dari ujung pedang tersebut.
Pedang pendek di tangan Kiau Hun ini pernah mematahkan pedang suling Tan Ki ketika bertarung di dalam goa. Tajamnya jangan ditanyakan lagi. Tampak wajah Tan Ki tetap menyiratkan ketenangan seakan tidak merasakan apa-apa. Dia seperti orang yang tidak memperdulikan mati hidupnya sendiri. Sepasang matanya menatap Kiau Hun lekat-lekat tanpa mengucapkan sepatah katapun.
Angin yang sejuk berhembus semilir, pakaian kedua orang itu mengibar-ngibar.
Suasana begitu hening dan mencekam. Tiba-tiba Tan Ki merasa tangan Kiau Hun terus gemetaran, di cadar yang menutupi wajahnya juga terlihat rembesan air. Tidak diragukan lagi bahwa emosi gadis itu telah tergugah dan keringat terus menetes membasahi wajahnya.
Tan Ki menarik nafas panjang perlahan-lahan. “Mengapa kau tidak meneruskan tusukan-mu?”
Pertanyaan ini seakan memberi pukulan bathin yang hebat kepadanya. Tiba-tiba tangannya merenggang dan dia menutup wajahnya sambil menangis tersedu-sedu.
Perubahan yang tidak terduga-duga ini justru membuat Tan Ki jadi termangu-mangu.
Meskipun dia merupakan seorang pemuda yang berotak cerdas, tetapi setiap kali menghadapi air mata seorang perempuan, dia malah tidak tahu apa yang harus dilakukannya. Dia berdiri terpana di samping tanpa mengucapkan sepatah katapun. Untuk sesaat suasana jadi hening. Tan Ki hanya membungkukkan tubuhnya memungut pedang pendek Kiau Hun yang terjatuh di atas tanah.
Setelah menangis beberapa lama, tampaknya emosi di dalam hati Kiau Hun sudah agak reda. Perlahan-lahan suara isak tangisnya semakin lirih dan dilepaskannya cadar penutup wajahnya.
“Aku benar-benar tidak mengerti. Mengapa setiap orang yang terjatuh di tanganku, dapat kubunuh tanpa mengedipkan mata sedikitpun. Hanya engkau laki-laki yang tidak berbudi ini yang justru membuat aku tidak sampai hati untuk turun tangan.”
Beberapa lama dia terdiam, kemudian baru melanjutkan kembali kata-katanya, “Mungkin tanpa kusadari sebetulnya aku masih menaruh hati kepadamu.”
Diam-diam Tan Ki berpikir di dalam hati.
‘Aku sudah menikahi Mei Ling, belum lagi janjiku untuk mengambil Liang Fu Yong dan Cin Ie sebagai selir. Di samping itu masih ada dua gadis lain yang diam-diam memperhatikan aku, yakni Lok Ing dan Cin Ying. Sekarang aku sudah cukup bingung, bagaimana mungkin ditambah lagi dengan dirimu?’
Meskipun hatinya berpikir demikian, tetapi dia justru tidak tahu bagaimana mengutarakannya. Wajahnya menyiratkan perasaan bimbang.
Kedua orang itu terdiam untuk sekian’lama, mereka saling pandang tanpa mengucapkan sepatah katapun. Tan Ki merasa dengan berdiam diri seperti ini, rasanya bukan tindakan yang baik. Akhirnya dia mengungkit kembali masalah yang tadi.
“Mengapa kau tidak meninggalkan jalan yang sesat dan kembali menjadi orang baik- baik saja?”
Kiau Hun tertawa getir.
“Sekarang baru mengatakan semua ini, memangnya masih belum terlambat? Meskipun aku mempunyai niat demikian, tetapi pelaksanaannya justru tidak semudah berbicara saja.
“Mengapa sulit? Apakah mereka mengancam dirimu sehingga kau tidak dapat melepaskan diri dari pihak Lam Hay Bun?”
“Tidak juga.”
“Sebetulnya apa yang terkandung dalam hatimu, aku benar-benar tidak dapat menduganya.”
Kiau Hun tersenyum tipis. Dia mengusap bekas air mata yang masih membasahi pipinya.
“Kalau kau dapat menduga apa yang kupikirkan, tentu kau tidak akan menikahi Liu Mei Ling, bekas nonaku itu.”
Mendengar kata-katanya, sekali lagi Tan Ki tertegun. Dia merasa seperti ada sebuah batu yang berat menggelayuti hatinya sehingga dia tidak sanggup mengutarakan bagaimana perasaannya saat itu.
“Apakah kau merasa hatimu gundah sekarang ini?” tanya Kiau Hun kembali. Tan Ki menarik nafas panjang-panjang.
“Aku tidak tahu apa yang harus kukatakan.” sahutnya terus terang.
Baru saja ucapannya selesai, tiba-tiba dari mengejar si gadis yang mengenakan cadar tadi?”
Tan Ki membalikkan tubuhnya. Dia sengaja mengalihkan pokok pembicaraan. “Bagaimana keadaan di dalam goa?”
“Masih lumayan. Setelah diborehkan obat, luka Ciong San Suang Siu kedua Locianpwe tidak mengalirkan darah dan tidak perlu dikhawatirkan lagi. Sedangkan Yang Jen Ping, Goan Yu Liong dan Ban Jin Bu juga sudah menyusul ke sana.”
Tan Ki hanya menganggukkan kepalanya. Si pengemis cilik kembali melanjutkan kata- katanya.
“Si pengemis cilik tidak ingin banyak bicara. Tetapi Sam-siokmu meminta aku menyampaikan kepadamu bahwa pertandingan perebutan kedudukan Bulim Bengcu sudah di mulai. Kau harus muncul di sana secepatnya. Apabila kesempatan ini terlewati, maka harapanmu untuk merebut kedudukan itu tipis sekali. Cepatlah ke sana, urusan lainnya kau tidak perlu ikut campur lagi.”
“Tian Bu Cu Locianpwe sedang menutup diri, tugas menjaga pintu batu terpaksa kuserahkan kepada Cu-heng.” kata Tan Ki.
Baru saja ucapannya selesai, tubuhnya sudah berkelebat pergi menuju ruang pertandingan.
Dalam sekejap mata, dari kejauhan sudah terlihat kerumunan orang banyak. Jumlahnya mungkin di atas seratus orang. Tetapi meskipun tempat itu dipenuhi orang ramai, tetapi suasananya justru begitu mencekam tanpa terdengar suara sedikitpun.
Tan Ki menyeruak di antara kerumunan orang banyak. Sambil mengatur pernafasannya dia memperhatikan beberapa saat. Ada beberapa orang yang sempat melihat bagaimana dia melukai utusan pihak Lam Hay dengan sebatang pedang sulingnya. Orang-Orang ini segera membagi diri menjadi dua Bagian dan membuka jalan agar dia dapat lewat.
Hal ini menandakan rasa kagum di dalam hati mereka. Seraya memberi salam kepada orang-orang itu, Tan Ki terus berjalan sampai barisan terdepan. Begitu pandangan matanya di alihkan ke tengah arena, dia melihat Goan Siong Fei dengan pecut lembutnya sedang menghadapi seorang kakek bungkuk bersenjatakan sebatang potlot besi. Mereka sedang bertarung dengan sengit. Cahaya yang terpancar dari ujung pecut Goan Siong Fei yang diganduli oleh sebuah logam berwarna keputihan dan bayangan potlot besi memenuhi tengah arena.
Kedua orang ini merupakan pendekar pedang tingkat delapan yang sudah mempunyai nama di dunia Kangouw. Tenaga dalam mereka sudah mencapai taraf yang cukup tinggi. Jurus-jurus yang mereka kerahkan telah dilatih dengan matang. Baik pecut lemas maupun potlot besi selalu ditujukan ke arah jalan darah yang penting di Bagian tubuh lawan.
Semakin lama gerakan mereka semakin cepat, sehingga orang-orang yang menyaksikannya merasa pandangan mereka seperti berkunang-kunang.
Tepat pada saat itu, dari luar masuk seorang nenek yang rambutnya sudah penuh dengan uban. Setiap kali ia melangkah, tongkat besinya menimbulkan suara berdentum di atas tanah. Gerakannya seperti orang yang santai, tetapi dalam sekejap mata dia sudah sampai di hadapan Yibun Siu San.
Orang ini sama sekali tidak asing bagi Tan Ki. Dia adalah pendekar pedang tingkat sembilan yang selama beberapa hari ini tidak kelihatan batang hidungnya, juga merupakan bekas guru Kiau Hun dan Mei Ling, yakni Ciu Cang Po. Melihat tampangnya yang dekil dan wajahnya yang penuh debu, dapat diduga bahwa dia baru saja kembali dari perjalanan yang cukup jauh. Tan Ki segera merasa bahwa kepulangan Ciu Cang Po ini pasti membawa berita yang sangat penting, cepat-cepat dia menghambur ke depan mendekati nenek itu.
Cian Cong langsung mengeluarkan suara tawanya yang bebas. “Si nenek pengemis ini pasti sudah letih sekali!”
Yibun Siu San segera memerintahkan orang mengambil lagi sebuah kursi dan mempersilahkan nenek itu duduk di sana. Siapa nyana nenek itu malah menggelengkan kepalanya dan tidak bersedia langsung duduk. Wajahnya tampak kelam sekali.
“Nenek tua menerima tugas berat dan menyampingkan dendam pribadi dengan meninggalkan bukit Tok Liong-hong ini. Aku menghubungi pihak lima partai besar agar segera mengirimkan bala bantuan ke sini sekaligus mengintai gerak-gerik pihak Lam Hay serta Si Yu. Beberapa hari pertamanya, aku masih bisa keluar masuk dengan bebas, tidak ada seorangpun yang sempat memergoki perbuatanku itu. Tidak tahunya beberapa hari yang lalu, ketika aku sedang menyelidiki seorang diri…”
Sepasang alis si pengemis sakti Cian Cong langsung berkerut-kerut mendengar ceritanya.
“Apakah si nenek pengemis menemui kesulitan?” Ciu Cang Po langsung mendengus dingin.
“Sampai di mana tingginya ilmu si nenek tua ini, dapatkah kau jelaskan dengan terperinci?”
Rupanya si pengemis sakti Cian Cong tidak menduga kalau akan mendapat pertanyaan seperti ini. Untuk beberapa saat dia jadi tertegun, kemudian dia memejamkan matanya merenung sebentar.
“Tinggi rendahnya ilmu kepandaian si nenek pengemis, apabila hendak dijelaskan secara terperinci sebetulnya sulit sekali. Tetapi si pengemis tua mengakui bahwa kau memang bernyali besar dan banyak akalnya. Sedangkan tenaga dalammu hampir seimbang dengan si pengemis tua. Tempo hari di atap gedung Cui Sian-lau, si pengemis tua kebetulan mendapat peluang bagus dan dengan jurus Lengan Pakaian Beterbangan Masuk ke Dalam Hutan, baru bisa memaksakan diri mengalahkan dirimu. Secara kasarnya, boleh dibilang kepandaianmu itu di bawah tiga orang, di atas laksaan orang.”
Wajah Ciu Cang Po yang sudah penuh keriput jadi merah jengah mendengar pujiannya. “Kalian semua tentunya sudah tahu bahwa watak nenek tua ini picik dan ingin menang
terus. Terhadap siapapun tidak sudi mengalah. Tetapi beberapa malam yang lalu ketika kepergok, ternyata aku dikalahkan dalam tujuh jurus saja.”
Sembari berkata, dia mengangkat lengan kirinya. Begitu pandangan mata orang memperhatikan, ternyata lengan pakaiannya sudah koyak sepanjang empat cun. Setelah lewat dua hari bekas luka berdarah masih menimbulkan warna kehitaman.
Wajah Yibun Siu San jadi kelam seketika.
“Siapa sebetulnya yang melukaimu itu?” hatinya memang terkejut setengah mati, orang yang dapat melukai Ciu Cang Po dalam tujuh jurus benar-benar tidak dapat dianggap enteng. Tetapi dia memang tidak malu disebut sebagai tokoh tua yang sudah banyak pengalaman di dunia Kangouw. Meskipun terkejut, tetapi penampilannya masih menunjukkan ketenangan.
“Dia adalah seorang pemuda yang berusia kurang lebih dua puluh tiga tahunan. Aku melihat Bun Bu-siang Cia Tian Lun, Tong Ku Lu beserta tiga tongcu lainnya bersikap hormat sekali kepada orang ini. Tadinya aku mengira dialah sang tocu dari Lam Hay Bun pribadi. Tetapi kenyataannya bukan, dia merupakan murid tunggal tocu besar tersebut, namanya Hua Pek Cing.”
Mendengar kata-katanya, tanpa dapat ditahan lagi berpasang-pasang alis dari para jago tingkat sembilan dan Tan Ki langsung menjungkit ke atas. Serentak mereka menundukkan kepala merenung. Sebab mereka tahu pasti bahwa watak Ciu Cang Po sangat keras dan tidak sudi mengaku kalah kepada siapa saja. Tanpa alasan yang pasti, dia tidak mungkin mengucapkan kata-kata yang merendahkan derajatnya sendiri.
Kalau Hua Pek Cing memang murid tunggal Toa Tocu, tetapi hanya dalam tujuh jurus dia berhasil melukai Ciu Cang Po, dengan demikian Yibun Siu San, Cian Cong beserta Lok Hong yang hanya menang satu garis dari Ciu Cang Po, tentu masih terpaut jauh apabila dibandingkan dengan tocu dari Lam Hay Bun sendiri.
Tan Ki pribadi juga mempunyai pikiran bahwa apabila pihak Lam Hay dan Si Yu bergabung menjadi satu kekuatannya tidak dapat dianggap main-main, pengaruhnya pasti besar sekali. Kalau ditilik dari tokoh-tokoh yang datang tadi malam saja, paling tidak masih ada empat tokoh tingkat sembilan yang belum menampakkan diri. Sedangkan jago-jago lainnya entah masih berapa banyak lagi. Ditinjau dari keadaan ini, seandainya kedua pihak berhadapan secara terang-terangan, meskipun di puncak bukit Tok Liong-hong banyak jago-jago daerah Tiong-goan, kemungkinan tetap masih bukan tandingan pihak Lam Hay.
Satu-satunya jalan hanyalah mengajak lima partai besar ikut bergabung melawan golongan sesat yang ingin menguasai Tionggoan tersebut. Namun siapa yang sanggup melawan pimpinan mereka yang paling lihai itu? Tan Ki berusaha mengingat satu per satu tokoh berilmu tinggi yang pernah diketahuinya. Tanpa dapat ditahan lagi dia tertawa pahit, karena meskipun orang berilmu tinggi di puncak bukit Tok Liong-hong ini cukup banyak, namun orang yang benar-benar dapat menandingi tocu besar dari Lam Hay Bun itu, kemungkinan hanya tokoh sakti dari Bu Tong San, yakni Tian Bu Cu Locianpwe.
Sejak tadi Lok Hong duduk di samping tanpa mengucapkan sepatah katapun. Tiba-tiba terdengar dia mengajukan pertanyaan kepada Ciu Cang Po.
“Kau mengatakan bahwa jejakmu berhasil dipergoki pihak musuh, malah setelah terjadinya pertarungan sengit, kau terluka dalam tujuh jurus. Entah bagaimana kau bisa melarikan diri belakangan?”
“Si nenek tua mengira pertarungan tersebut boleh dibilang untuk yang terakhir kalinya.
Meskipun sudah terluka, aku tetap tidak mau mengaku kalah. Aku pikir lebih baik mengadu jiwa dengan orang itu. Rupanya walaupun tenaga dalam cukup tinggi, tetapi dalam gerakan dan jurus-jurus serangan, aku masih bukan tandingan Hua Pek Cing. Baru bertarung dengan nekat sebanyak tiga jurus, ujung pedangnya sudah menunjuk ke Bagian yang penting di dadaku.”
Mendengar sampai di sini, hati orang-orang gagah tidak ada satupun yang tidak tercekat. Meskipun sekarang ini orangnya sendiri masih berdiri dalam keadaan sehat di depan mata, tetapi membayangkan kejadian yang dialaminya saat itu, hati mereka tidak urung bergidik juga.
Setelah berhenti sejenak, Ciu Cang Po melanjutkan kembali kata-katanya.
“Keadaan waktu itu gawat sekali. Si nenek tua sendiri maklum bahwa tidak mungkin bisa meloloskan diri dari kematian. Meskipun ada niat mengadu jiwa dan mengorbankan diri dalam pertarungan, namun semuanya sudah terlambat. Baru saja aku memejamkan mata menunggu datangnya malaikat elmaut, tiba-tiba telinga ini mendengar suara benturan logam, nadanya begitu keras sehingga hatipun ikut terguncang. Bunga api memercik ke mana-mana. Aku segera menenangkan hatiku dan memperhatikan dengan seksama. Hua Pek Cing yang berilmu aneh dan dalam sepuluh jurus sanggup merenggut selembar nyawaku, ternyata terdesak mundur sejauh empat langkah oleh seorang gadis ingusan!”
Mulut Cian Cong sampai terbuka lebar-lebar. Pandangan matanya menyiratkan rasa penasaran yang tidak terkatakan.
“Masa ada kejadian seperti itu?” Ciu Cang Po tertawa dingin.
“Si nenek tua dapat meloloskan diri dari tangan malaikat elmaut sehingga selembar nyawa tua ini dapat dipertahankan, justru berkat pertolongan si gadis cilik itu. Percaya atau tidak, terserah. Si nenek tua juga tidak ingin mengoceh banyak-banyak!”
Yibun Siu San maklum di antara kedua orang ini masih tersimpan rasa mendongkol karena pertarungan tempo hari. Dia khawatir urusan akan jadi panjang dan timbul perteng-karan yang tidak diinginkan. Oleh karena itu, cepat-cepat dia mengembangkan seulas senyuman.
“Cayhe percaya sepenuhnya atas apa yang kau katakan. Tentu semuanya diucapkan dari hati yang paling dalam. Tetapi gadis cilik itu ternyata berilmu demikian tinggi dan sanggup menggetarkan pedang Hua Pek Cing, sebetulnya memang membuat orang terkejut mendengarnya.”
“Seandainya gadis cilik itu hanya menolong aku pergi dari tempat itu dan tidak ada urusan lainnya lagi, tentu orang-orang juga belum tentu percaya atau merasa terkejut.”
Sinar matanya yang tajam menyapu ke sekeliling sekilas kemudian berhenti pada wajah Tan Ki. Dia melanjutkan kembali kata-katanya.
“Gadis cilik itu menitip pesan kepada si nenek tua. Dia mengeluarkan sebatang pedang pusaka yang selalu dibawanya dan meminta aku menyerahkannya kepada Tan Ki sebagai hadiah darinya. Dalam waktu yang bersamaan dia juga menitipkan sepucuk surat agar dibaca olehnya.” seraya berkata, dari dalam lengan bajunya yang longgar dia mengeluarkan sebatang pedang kuno berwarna kehitam-hitaman. Kalau diperhatikan, mungkin usia pedang itu sudah lebih dari dua ratus tahunan. Telapak tangannya menggenggam sepucuk surat berwarna merah jambu yang kemudian diserahkannya kepada Tan Ki.
“Gadis cilik itu pasti mengenal baik dirimu. Tanpa merasa berat sedikitpun dia menghadiahkan pedang pusaka ini kepadamu. Meskipun si nenek tua mendapat pertolongan darinya, tetapi sebetulnya dia melakukannya karena memandang dirimu.”
Tan Ki segera membuka surat itu dan membacanya. Dia melihat di atas kertas berwarna putih tertera tulisan yang indah dan rapi. Secara garis besarnya, isi surat itu menyatakan:
Peristiwa melukai Liok Giok yang tanpa sengaja sudah berlalu dan tidak usah dipikirkan lagi. Dia sudah mengikuti majikannya kembali ke Tian San, Kali ini mereka menuju ke selatan dengan maksud mengambil rumput obat-obatan. Tanpa sengaja menolong Ciu Cang Po merupakan kejadian yang tidak terduga olehnya sendiri. Mendengar dari nenek itu bahwa Tan Ki masih ada di puncak bukit Tok Liong-hong untuk ikut dalam perebutan Bulim Bengcu dan dia terpaksa harus memohon diri secepatnya. Dia sendiri tidak mempunyai apa-apa sebagai hadiah kecuali sebatang pedang pusaka itu. Pedang itu
sendiri merupakan pemberian majikannya yang diberi nama Pedang Penghancur Pelangi. Apabila ada kesempatan, dia akari berusaha menemui Tan Ki.
Tan Ki melihat isi surat itu mengandung ketulusan hati yang tidak terkirakan. Bahkan setelah mengetahui bahwa dia akan ikut dalam pertandingan perebutan kedudukan Bulim Bengcu, gadis itu tidak perduli akan mendapat omelan dari majikannya dengan menghadiahkan pedang pusaka. Perasaan hati yang tulus ini membuat hati Tan Ki terharu sekali. Sepasang tangannya sampai gemetar dan hampir saja surat itu terlepas dari genggaman tangannya.
Sambil melihat perkembangan yang terjadi di atas arena pertandingan, Yibun Siu San juga memperhatikan tampang wajah Tan Ki saat itu. Melihat wajahnya menyiratkan rasa haru yang dalam, tanpa dapat menahan diri lagi dia segera bertanya.
“Apakah kau mengenal gadis cilik itu?”
Tan Ki menganggukkan kepalanya berkali-kali.
“Dialah pelayan si gadis berpakaian putih yang merupakan pemilik Liok Giok yang pernah dilukai keponakanmu ini tanpa sengaja.”
Terdengar suara desahan dari mulut Yibun Siu San.
“Tampaknya perempuan yang kau kenal tidak sedikit juga jumlahnya.” Wajah Tan Ki jadi merah padam. Dia tidak berani menyahut sepatah pun. “Apa yang tertulis dalam suratnya itu?” tanya si pengemis sakti Cian Cong. “Hal yang biasa-biasa saja, tidak ada keistimewaan apa-apa.”
Tiba-tiba terdengar Ciu Cang Po menukas.
“Apakah nona cilik itu tidak mengungkit soal Lam Hay dan Si Yu yang akan menggempur Tok Liong-hong?”
Tubuh Yibun Siu San dan Cian Cong agak bergetar mendengar kata-katanya. Serentak mereka bertanya.
“Kapan mereka akan menggempur kita?”
“Sore ini!” sahut Ciu CangPo sambil mengalihkan wajahnya bertanya kepada Tan Ki. “Apa lagi yang dikatakannya?”
“Tidak ada lagi, dia hanya mengatakan apabila ada kesempatan akan menemui Boanpwe.”
Tiba-tiba terdengar suara benturan senjata yang memekakkan telinga. Ternyata pecut lemas Goan Siong Fei dan potlot si orangtua bungkuk putus dalam waktu yang bersamaan. Kedua sosok tubuh mereka juga langsung memencar.
Rupanya Goan Siong Fei mengadu kekerasan dengan orangtua bertubuh bungkuk itu.
Keduanya sama-sama mengerahkan tenaga dalam ke arah senjata masing-masing sehingga kedua senjata tidak dapat mempertahankan diri lalu putus menjadi dua Bagian.
Perubahan yang mengejutkan ini benar-benar di luar dugaan, dengan demikian kata- kata Tan Ki jadi terhenti. Baik Yibun Siu San, Lok Hong, Cian Cong dan Ciu Cang Po segera memalingkan wajahnya melihat ke tengah arena.
Sementara itu, Ceng Lam Hong yang berdiri di belakang Yibun Siu San tampak maju ke depan. Dia mengambil Pedang Penghancur Pelangi pemberian Mei Hun dan diserahkannya kepada Tan Ki.
“Simpanlah pedang ini baik-baik, mungkin nanti kau memerlukannya.”
Sembari tersenyum simpul, Tan Ki menyambut pedang itu. Pandangan matanya kembali beralih ke tengah arena. Rupanya Goan Siong Fei sudah, berniat menyelesaikan pertarungan secepat mungkin.
Pecut lemasnya yang terputus segera dibuang ke atas tanah. Dalam waktu yang bersamaan, telapak tangan kirinya menjulur keluar dan mengirimkan sebuah serangan. Kakek tua bertubuh bungkuk itu menggeser tubuhnya sedikit. Dia mengelak dari serangan Goan Siong Fei, mulutnya mengeluarkan suara bentakan. Dengan jurus Awan Bergerak Menutupi Rembulan, dia membalas serangan Goan Siong Fei.
Terdengar suara benturan, kedua orang itu mengadu tenaga dalam dengan kekerasan.
Masing-masing tergetar mundur sejauh satu langkah. Goan Siong Fei bernyali besar, begitu mundur dia langsung maju lagi. Sepasang telapak tangannya dirapatkan. Dengan jurus Dua Rangkum Angin Menerpa Telinga, dia melancarkan sebuah serangan. Dalam waktu yang bersamaan, kaki kanannya mengirimkan sebuah tendangan. Sasarannya Bagian perut si kakek bungkuk. Sekali maju dia mengerahkan dua jurus sekaligus.
Serangannya hebat bukan main.
Diam-diam hati si kakek bungkuk merasa terkejut bukan kepalang, pikirannya tergerak. Orang ini pemberani sekali, benar-benar manusia yang jarang terlihat di dunia ini.
Ketika mengadu kekerasan tadi, kelihatannya tidak ragu sama sekali. Padahal tenaga dalamnya tidak lebih tinggi dari diriku, tetapi mengapa tanpa mengatur pernafasan sama sekali, dia berani melancarkan serangan kembali?’
Justru ketika pikirannya masih tergerak, sepasang telapak tangan dan tendangan Goan Siong Fei sudah hampir mencapai dirinya. Apabila si kakek bungkuk ingin mengelakkan serangan tersebut, pasti sudah terlambat. Akhirnya dia terpaksa menghimpun hawa murninya dan dengan posisi menahan di depan dada, dia menghantamkan sepasang telapak tangannya ke depan.
Dengan jurus Dua Naga Mencipratkan Air, dia merentangkan sepasang tangannya. Sekali dia menyambut serangan Goan Siong Fei dengan kekerasan. Dalam waktu yang bersamaan, kaki kanannya juga menyapu ke depan, dengan berani dia menyambut tendangan Goan Siong Fei.
Terdengar lagi suara keras yang menggelegar, dua pasang tangan dan sepasang kaki kembali beradu. Tenaga dalam kedua orang ini boleh dibilang seimbang. Orang-orang
gagah yang melihatnya sampai tercekat. Diam-diam mereka berpikir dalam hati: ‘Cara berkelahi tanpa memperdulikan mati hidup diri sendiri, benar-benar baru terlihat kali ini saja…’
Terdengar suara tertawa dingin dan dengusan berat dalam waktu yang bersamaan. Kedua orang itu sama-sama tergetar mundur sejauh tiga langkah. Secara berturut-turut sebanyak dua kali mereka mengadu kekerasan. Hal ini membuat hawa murni dalam tubuh mereka terkuras banyak. Aliran darah beredar semakin cepat dan nafaspun tersengal- sengal. Keringat membasahi seluruh wajah mereka dan terus menetes turun.
Tan Ki yang menyaksikan hal ini diam-diam mengerutkan sepasang alisnya. Selama beberapa bulan terakhir ini, dia sudah menjumpai banyak kejadian aneh. Pengetahuan- nyapun semakin luas. Dia tahu ilmu kedua orang itu setali tiga uang. Sulit membedakan siapa yang lebih unggul. Apabila terus bertarung dengan mengadu kekerasan seperti sekarang ini, paling-paling kedua pihak sama-sama rubuh dalam keadaan terluka. Hatinya berniat memecahkan masalah mereka, tiba-tiba telinganya mendengar suara siulan yang panjang. Nadanya bagai burung merak yang melengking murka. Tanpa dapat ditahan lagi dia segera mendongakkan kepalanya. Justru dalam waktu sekejap mata itulah, di samping Goan Siong Fei sudah bertambah seorang gadis berpakaian merah.
Tampak gadis itu berkulit halus dengan sepasang bibir yang menantang. Pakaiannya yang berwarna merah membungkus tubuhnya dengan ketat sehingga setiap lekuk tubuhnya kentara jelas. Kecantikannya menyiratkan kematangan. Gadis ini sama sekali tidak asing bagi Tan Ki. Dialah Kiau Hun yang memihak ke Lam Hay Bun.
Setelah melihat jelas, hati Tan Ki tercekat bukan kepalang. Dia segera mengedarkan pandangan matanya. Ternyata dia melihat Oey Ku Kiong dengan pakaian putih berdiri di antara kerumunan orang banyak. Hanya saja saat ini dia sudah melepaskan cadar penutup wajahnya.
Kemunculan Kiau Hun yang tidak terduga-duga itu tampaknya membuat Goan Siong Fei beserta si kakek bungkuk jadi tertegun beberapa saat. Otomatis telapak tangan mereka ditarik kembali kemudian keduanya mencelat mundur ke belakang.
Kiau Hun menatap kedua orang itu sambil tersenyum simpul. Senyumannya mengandung gaya yang kenes dan matanya menyorotkan sinar tajam menusuk sehingga kedua laki-laki yang memandangnya merasa jengah sendiri. Mereka cepat-cepat memalingkan wajahnya dan tidak berani melihat lebih lama. Telinga mereka menangkap suara yang merdu.
“Dengan segenap kemampuan kalian terus bertarung. Apalagi sama-sama menyambut serangan, musuh dengan kekerasan. Tentunya hawa murni di dalam tubuh kalian sudah banyak membuyar dan tubuhpun letih sekali. Mungkin sudah waktunya kalian beristirahat sebentar.”
Goan Siong Fei mendengar nada suaranya begitu lembut dan merdu. Seluruh tubuhpun benar-benar terasa letih. Matanya terasa mengantuk. Begitu dia menolehkan kepalanya, dia melihat juga terpikat oleh suaranya yang lembut. Matanya hampir tidak bisa dibuka Tiba-tiba hatinya jadi tergerak, cepat-cepat dia mengeluarkan suara bentakan dan mencelat ke atas.
“Perempuan siluman berani main-main, lihat seranganku!” telapak tangannya langsung menghantam ke depan.
Kiau Hun mencelat mundur ke belakang. Bibirnya mengembangkan seulas senyuman. “Kau benar-benar sudah letih, jangan sembarangan mengumbar hawa amarah dalam
hatimu.”
Sekonyong-konyong kepala Goan Siong Fei terasa pening. Tenaga dalamnya tidak dapat dikerahkan lagi. Hatinya terkejut setengah mati, cepat-cepat dia menghimpun hawa murninya dan mengeluarkan suara siulan yang panjang. Dengan demikian pikirannya menjadi jernih kembali. Telapak tangan kirinya langsung mengerahkan jurus Membangun Jembatan Besi, dilancarkannya sebuah serangan ke depan. Dalam waktu yang bersamaan kaki kirinya melayang, sekaligus dia mengerahkan dua buah serangan.
Sementara itu, si kakek bungkuk juga baru tersentak sadar. Dia segera menyadari gadis berpakaian merah itu menggunakan semacam ilmu yang disebut Ilmu Pembetot Sukma, dengan demikian dia dan Goan Siong Fei seperti dihipnotis. Untung saja tenaga dalamnya cukup kuat, pengetahuannya juga luas sekali. Begitu merasa curiga, dia langsung menenangkan pikirannya. Mulutnya juga mengeluarkan bentakan yang keras dan dengan posisi tangan menahan di depan dada, sepasang telapak tangannya mengirimkan serangan ke depan!
Empat buah tangan dan sebuah kaki yang mengirimkan serangan segera menimbulkan suara angin yang menderu-deru. Serangan ini mengandung tenaga yang kuat, sasarannya Bagian dada, pinggang dan perut Kiau Hun.
Kiau Hun memperdengarkan suara tawa yang dingin.
“Cepat juga kalian tersadar.” sindirnya. Meskipun kata-kata itu diucapkan dengan datar, namun terdengar di telinga justru tajam menusuk.
Tampak pakaiannya yang merah berkibar-kibar. Semua serangan yang ditujukan kepadanya ternyata mengenai tempat yang kosong. Debu-debu beterbangan, rumput- rumput di sekitar mereka melambai-lambai. Tahu-tahu orangnya sudah mencelat ke samping sejauh lima langkah.
Goan Siong Fei jadi termangu-mangu. Sesaat kemudian tubuhnya mencelat ke udara, telapak tangannya yang kanan menghantam dan jari tangan kirinya mengirimkan totokan. Dalam waktu yang singkat dia melancarkan serangan sebanyak dua belas jurus.
Sedangkan si kakek bungkuk mengimbangi serangannya dengan melancarkan tiga buah pukulan. Kedua orang itu dari musuh malah menjadi kawan. Mereka bergabung menghadapi seorang lawan. Tampak telapak tangan membentuk bayangan dalam jumlah yang tidak terkirakan, angin yang terpancar dari serangan mereka tajam sekali. Setiap jurus yang dikerahkan mengandung kedahsyatan yang tidak terkirakan. Sasarannya selalu Bagian tubuh yang membahayakan. Mereka maklum kemunculan Kiau Hun di tengah arena tentunya mengandung niat ikut merebut kedudukan Bulim Bengcu, tetapi tidak seharusnya dia menggunakan ilmu sesat begitu terjun ke tengah arena. Dia menghipnotis kedua lawannya agar terpengaruh pada apa yang dikatakannya. Oleh karena itu, hawa amarah Goan Siong Fei dan si kakek bungkuk jadi meluap dan dari musuh keduanya malah bersatu menghadapi Kiau Hun.
Tampak Kiau Hun tersenyum simpul, bibirnya kembali bergerak-gerak mengucapkan kata-kata yang bernada merdu.
“Kalian boleh menyerang sesuka hati. Kalau dalam sepuluh jurus aku tidak dapat mengalahkan kalian sampai merasa takhluk, otomatis aku akan mengundurkan diri!”
Seandainya ucapan ini dicetuskan oleh orang lain, tentu tidak ada orang yang menganggap sebagai kata-kata yang pongah. Tetapi karena yang mengucapkannya justru seorang gadis yang demikian muda, orang-orang gagah yang mendengarnya tidak ada satupun yang tidak mengerutkan alisnya dan berubah wajahnya.
“Perkataan nona tidak perlu demikian congkak. Aku si orangtua sudah lama berkecimpung di dunia Kangouw, tetapi belum pernah bertemu dengan seorang gadis yang begitu sombong dan menganggap dirinya hebat sekali seperti engkau ini!”
Wajah Kiau Hun langsung berubah mende ngar perkataannya. Tampangnya dingin dan datar.
“Karena ucapan yang kau keluarkan ini, aku malah akan mengutungkan sebelah telingamu sebagai hukuman!”
Tangan kirinya menekuk sedikit. Entah bagaimana caranya dia melakukan gerakan, tahu-tahu sebilah pedang pendek yang berkilauan telah tergenggam dalam telapak tangannya. Walaupun pedang itu sangat pendek, tetapi cahayanya justru terang sekali. Saat itu juga, orang-orang gagah merasa ada serang-kum hawa dingin yang menyebar dari tengah arena.
Goan Siong Fei memalingkan kepalanya menatap ke arah si kakek bungkuk. Mulutnya mengembangkan tawa yang getir. Kedua orang itu sudah lama berkecimpung di dunia Kangouw, bukan saja pengetahuan mereka luas sekali, pengalamanpun banyak tidak terkirakan. Sekali lihat saja, mereka segera mengetahui bahwa pedang pendek di tangan Kiau Hun tajam sekali dan pasti dapat memotong besi dalam sekali tebasan. Oleh karena itu, mereka segera meningkatkan kewaspadaan dan berhati-hati menghadapi lawannya.
Tiba-tiba terdengar suara bentakan dari mulut si kakek bungkuk. Tubuhn3ra berputar satu kali kemudian melesat ke depan. Tangan kanannya mengirimkan sebuah pukulan, suara angin yang ditimbulkannya berdesir-desir. Sementara itu telapak kirinya mengerahkan jurus Sungai Membeku Menjadi Es. Serangannya membawa suara siulan angin yang mendesing, dengan sengit ditujukannya ke dada Kiau Hun.
Melihat hal itu Yibun Siu San menggeleng-geleng kepalanya sambil menarik nafas panjang. Dia menggumam seorang diri.
“Meskipun serangannya keji dan dahsyat, tetapi menghadapi senjata lawan yang tajam dan langka itu, belum apa-apa dia sudah kalah satu tingkat.”
Ternyata apa yang diduganya sama sekali tidak salah. Walaupun Kiau Hun merasa rada terkejut melihat dia masih sanggup melancarkan serangan yang begitu hebat meskipun sudah bertarung dengan si kakek bungkuk, cukup lama, tetapi dia tidak bergerak atau mencelat mundur sama sekali. Hanya perge-langan tangannya saja yang memutar, ujung
pedang yang memancarkan hawa dingin meluncur ke depan sehingga si kakek bungkuk terdesak mundur dan tidak berani menyambut dengan kekerasan.
Tan Ki mulai tidak sabar melihat keadaan itu, dia menoleh kepada Yibun Siu San. “Siok-siok, cara bertarung seperti ini sama sekali tidak adil.”
Sekali lagi Yibun Siu San menarik nafas panjang.
“Dengan tangan kosong kedua orang itu menghadapi lawan yang menggunakan senjata pusaka, tentu saja tidak adil. Tetapi dengan dua melawan satu orang, apabila mengerahkan segenap kemampuannya, boleh dibilang seimbang juga.”
“Namun, kita tidak boleh membiarkan dia mendapatkan kedudukan Bulim Bengcu!” “Mengenai hal ini aku tahu, pihak Lam Hay dan Si Yu akan menyerang kita sore ini
juga. Bukan saja kita harus secepatnya memilih seorang Bulim Bengcu agar dapat
merundingkan masalah ini dan mengatur persatuan menghadapi musuh, kita juga harus membuat peraturan baru supaya posisi kita lebih kuat. Tetapi, kecuali engkau seorang, pamanmu ini benar-benar tidak tahu siapa lagi yang cocok menduduki jabatan tersebut. Justru tergantung dari dirimu sendiri berhasil atau tidaknya.”
Tan Ki mendongakkan wajahnya dan menghembuskan nafas panjang.
“Keponakan akan berusaha sekuat tenaga, kalah atau menang terpaksa melihat nasib!”
Tiba-tiba terdengar Lok Hong menukas pembicaraan mereka, “Kau mendapatkan ilmu silatmu dengan mencuri dari dalam goa leluhur lohu. Apabila kau sampai gagal merebut jabatan Bulim Bengcu, lohu akan mempereteli tulang belulang di dalam tubuhmu dan meminta kembali ilmu silat yang kau miliki!”
Justru pada saat mereka berbincang-bincang, ternyata keadaan di tengah arena telah terjadi perubahan yang besar. Goan Siong Fei dan si kakek bungkuk sudah bertarung cukup lama, hawa murni dalam tubuh mereka sudah terkuras banyak. Di lain pihak, sebilah pedang pusaka di tangan Kiau Hun bagai naga sakti yang mengamuk, hal ini menambah kekuatannya. Di mana ujung pedangnya yang memancarkan hawa dingin menyerang, kedua orang itu tidak berani langsung menyambutnya. Apabila bukan mencelat mundur, mereka pasti menghindarkan diri ke samping. Dengan demikian mereka menjadi sulit mendekati tubuh Kiau Hun.
Empat jurus telah berlalu. Bukan hanya orang-orang gagah yang menjadi penonton yang merasakan bahwa senjata di tangan Kiau Hun sangat tajam dan kedudukannya menjadi kuat, bahkan Goan Siong Fei dan si kakek bungkuk juga sudah merasa bahwa mereka tidak mempunyai harapan untuk menang. Walaupun mereka bersatu menghadapi lawan dan tenaga dalam yang ada lebih hebat satu kali lipat lagi dari sekarang, tetap saja sulit menghadapi kedahsyatan pedang pendek tersebut.
Hati mereka sudah merasa was-was. Menilik dari keadaan mereka sekarang ini, kemungkinan tidak sampai sepuluh jurus mereka akan berhasil dikalahkan oleh si gadis berpakaian merah itu.