Dendam Iblis Seribu Wajah Bagian 44

 
Bagian 44

Rupanya setelah bertarung sekian lama, Tio Hui yang merasa dirinya mengemban tugas penting, ingin segera menyelesaikan pertarungan tersebut. Sepasang goloknya berkelebat ke sana ke mari dengan gencar. Kadang-kadang menangkis kemudian tiba-tiba melakukan penyerangan. Tampaknya orang itu sudah nekat untuk berduel habis-habisan dengan Liu Seng. Lama kelamaan Kok Hua Hong menjadi kehabisan sabar, dia menggenggam bambu pancingannya erat-erat. Segera dikerahkannya jurus Tiga Puluh Enam Kail Pengejar Angin yang membuatnya terkenal di dunia Kangouw. Tenaga dalamnya yang mengandung kekuatan ribuan kati dikerahkan secara keseluruhan di tangkai bambu pancingannya, setiap gerakan mengandung angin yang kencang.

Saat itu juga timbul bayangan pancingannya yang tampak menyapu ke kiri dan kanan.
Pengaruhnya langsung bertambah hebat, pada jarak kurang lebih sepuluh depaan diselimuti oleh bayangan pancingannya, bahkan tubuh Tio Hui seakan terkurung di dalamnya.

Melihat gerakan senjata Kok Hua Hong tiba-tiba berubah, cahayanya memercik bagai curah hujan yang deras, Tio Hui merasa ada gelombang dahsyat yang melanda ke arahnya. Dalam keadaan seperti ini, mau tidak mau dia mengerahkan seluruh kekuatannya menghadapi lawan. Sepasang goloknya langsung diputar, timbullah gulungan hawa dingin yang menyinarkan cahaya berkilauan, dengan demikian dirinya jadi terlindung dari serangan Kok Hua Hong.

Namun Kok Hua Hong menyerang semakin gencar. Sedikitpun ia tidak memberi kesempatan bagi Tio Hui untuk menangkis. Hal ini membuat hawa amarah dalam hati Tio Hui jadi meluap. Dia langsung mengeluarkan suara bentakan yang menggelegar, lengannya bergerak setengah melingkar. Dengan jurus Delapan Langkah Kembali Kosong, dia menerjang ke depan tanpa memperdulikan keadaan dirinya yang berbahaya. Tampak pancingan Kok Hua Hong bergerak cepat menuju pundak kiri Tio Hui. Dalam waktu yang bersamaan kakinya melangkah maju mendesak ke depan tiga langkah, tahu-tahu dia sudah sampai di hadapan Tio Hui.

Keberanian Kok Hua Hong dalam melakukan serangan kali ini benar-benar di luar dugaan Tio Hui. Untuk sesaat sempat dia tertegun, sekejap mata kemudian dia menggerakkan sepasang goloknya menangkis serangan Kok Hua Hong sekaligus menahan tubuh orang itu yang mendesak ke arahnya. Cahaya goloknya putih bagai salju, hawa yang terpancar dingin sekali. Dalam serangannya kali ini,, baik kecepatan, waktu, kekuatan semuanya terpadu dengan baik. Sambil menangkis, dia tetap mencari kesempatan melukai lawannya.

Cahaya golok memijar menyambut datangnya pancingan, dalam waktu sekejap mata lagi pasti akan saling beradu. Tiba-tiba Kok Hua Hong menghimpun hawa murni dalam tubuhnya dan merubah gerakannya. Dengan hentakan yang keras dia menarik kembali pancingannya yang sedang meluncur ke depan. Terdengar suara desiran yang keras, pancingannya menyapu ke arah golok yang sedang meluncur ke arahnya. Jurus ini begitu anehnya sehingga orang yang melihatnya sampai terkesima. Hal ini benar-benar di luar dugaan Tio Hui sendiri. Hatinya tergetar, apabila saat itu dia bermaksud mencelat mundur, tentu sudah tidak keburu lagi.

Tiba-tiba dia merasa pergelangan tangannya tergetar karena sapuan pancingan Kok Hua Hong. Pangkal lengannya terkoyak dan darah segera menetes jatuh di atas tanah. Wajah Tio Hui yang hitam langsung berubah hebat, tubuhnya sempoyongan seperti orang yang habis meneguk arak secara berlebihan. Setelah terhuyung-huyung mundur sejauh tiga langkah baru dia dapat berdiri tegak kembali.

Perlu diketahui bahwa orang yang satu ini biar bagaimana merupakan salah satu tongcu dari Lam Hay Bun. Sehari-harinya dia bertugas mendidik para anak murid berlatih ilmu silat. Dapat dibayangkan bagaimana berwibawanya orang ini di daerah asalnya sendiri. Kedudukannya sangat tinggi. Belum pernah ada orang yang menghina dia sedemikian rupa. Sapuan pancingan Kok Hua Hong sempat membuat lengannya terluka, meskipun tidak parah tetapi justru menimbulkan hawa pembunuhan dalam dirinya. Dia merasa kejadian ini benar-benar menjatuhkan pamornya. Dia lalu mengeluarkan suara siulan yang mengandung kegusaran hatinya. Pergelangan tangannya memutar, tiba-tiba dia mencelat mundur sejauh empat langkah. Dibuangnya golok yang ada di tangan kiri.

Kok Hua Hong mengira dia akan melancarkan serangan, tahu-tahu orang itu malah mencelat mundur kemudian membuang golok di tangannya. Untuk sesaat dia jadi tertegun, tetapi biar bagaimana dia merupakan seorang tokoh tua yang sudah banyak pengalamannya. Hatinya merasa curiga atas tindakan Tio Hui itu. Diam-diam dia mengerahkan seluruh tenaga dalamnya, matanya menyorotkan sinar yang tajam dan berdiri tegak menanti.

Justru di saat itulah dia melihat Tio Hui mengibaskan tangan kirinya, dua carik sinar berwarna keputihan melesat ke depan!

Kok Hua Hong tertawa terbahak-bahak.

“Segala macam besi rongsokan juga dipamerkan!” sindirnya.

Pancingannya segera menyapu ke depan, terdengar suara: Ser! Ser! Sebanyak dua kali.
Disusul dengan suara benturan antara logam dengan batang pancingannya, dua batang piau yang disambitkan Tio Hui langsung tersampok jatuh oleh kibasan pancingannya.

Tio Hui tertawa dingin.

“Yang pertama tadi hanya salam perkenalan saja. Seumpamanya melempar batu meninjau ke dalam sumur, sekarang boleh kau coba lagi Jarum Emas Pengincar Nyawa ini, lihat apakah kau masih berani bermulut besar?”

Sembari berkata, tangannya dikibaskan ke depan beberapa kali. Tubuhnya melesat ke udara dalam waktu yang bersamaan. Di bawah cahaya rembulan yang redup terlihat tiga
titik sinar seperti bintang meluncur, satu menyusul yang lainnya sehingga seperti barisan yang rapi. Kecepatannya bagai kilat melesat ke arah Kok Hua Hong.

Tiga batang senjata rahasia ini bentuknya kecil sekali, tetapi sinarnya justru berkilauan. Tiga-tiganya meluncur di udara bagai anak panah, tetapi tidak ada suara sedikitpun yang terdengar. Diam-diam Kok Hua Hong menduga dalam hati bahwa ketiga batang am gi (senjata rahasia) tersebut adalah sejenis Bwe Hua-ciam (jarum bunga bwe). Ilmu Kok Hua Hong sudah cukup tinggi dan namanya juga terkenal di dunia Kangouw, mana mungkin dia memandang sebelah mata pada senjata rahasia seperti mainan anak-anak ini? Dia segera mendongakkan wajahnya tertawa terbahak-bahak, tangannya menghantam ke depan mengirimkan sebuah pukulan. Tiga titik sinar tadi langsung memental kembali terkena angin pukulannya yang dahsyat, cahaya keperakan tadi berkilauan beberapa kali kemudian lenyap ditelan kegelapan.

Namun tepat ketika dia menyampok ketiga batang senjata rahasia itu, tiba-tiba di atas kepalanya terasa angin berdesir, sesosok bayangan menerjang ke bawah dengan kecepatan yang tidak terkirakan.

Rupanya ketika tubuh Tio Hui melesat ke udara, perhatian Kok Hua Hong terpusat penuh pada tiga batang senjata rahasia yang disambitkan lawan. Dalam benaknya saat itu hanya tertinggal sedikit kesan pada orangnya sendiri. Sekarang begitu tahu lawannya masih melayang di tengah udara dan dia baru saja menyampok tiga batang senjata rahasia tersebut, ingatannya masih belum tenang sama sekali. Dengan licik Tio Hui sudah memperhitungkan segalanya. Dia tahu Kok Hua Hong pasti belum mengadakan persiapan, cepat-cepat dia mengibaskan tangannya sekali, dua puluh empat batang paku beracun diluncurkan dalam perbedaan waktu sekian detik. Tubuhnya yang di tengah udara menghentakkan kakinya keras-keras dan menerjang ke bawah secepat kilat.

Kejadiannya cepat sekali. Baru saja Kok Hua Hong sadar akan datangnya marabahaya, dua puluh empat batang paku beracun sudah mengincar semua Bagian tubuhnya.
Luncuran senjata rahasia itu begitu pesat. Ketika dia mendongakkan wajahnya, jaraknya hanya tinggal tujuh belasan centi. Kali ini serangan Tio Hui benar-benar beda dengan yang tadi. Senjata rahasia itu bagai mempunyai mata yang mengincar setiap Bagian yang berbahaya, suara yang timbul terdengar berdesir-desir. Pandangan mata Kok Hua Hong seakan dipenuhi paku beracun tersebut, sedangkan waktunya sudah demikian sempit untuk menghindar.

Dalam keadaan yang demikian gawat, mungkin seorang pendekar pedang tingkat sembilan pun sulit menghindarinya, apalagi Kok Hua Hong yang ilmunya lebih rendah sedikit dan baru terhitung pendekar tingkat delapan. Untung saja pengalaman dan pengetahuannya cukup luas. Dia maklum bahwa pada saat seperti ini waktu sangatlah berharga. Seandainya dia bisa menggenggam sedikit kesempatan sebelum paku-paku beracun itu mengenainya, mungkin saja masih ada peluang untuk menyelamatkan diri dari maut. Cepat-cepat dia gelindingkan tubuhnya di atas tanah dan bergulingan beberapa kali, kemudian dia mencelat ke samping sejauh lima langkah. Baru saja tubuhnya bergerak, dia merasa pundak kiri dan pinggang kirinya terasa kesemutan. Dia langsung tahu bahwa Bagian tersebut sudah terkena serangan paku beracun tersebut. Namun Kok Hua Hong termasuk seorang tokoh yang gagah berani juga keras kepala, dia tidak mengeluh sedikitpun, tubuhnya yang baru saja terjerembab di atas tanah langsung bangkit kembali dengan tumpuan tangannya.
Baru saja berhasil berdiri tegak, dia langsung merasakan kepalanya berat dan matanya mulai berkunang-kunang, sedangkan dari atas kembali ada serangkum angin kencang yang menerpa ke bawah.

Kok Hua Hong mengangkat matanya sedikit untuk memandang. Tanpa dapat ditahan lagi sepasang alisnya mengerut ketat. Dia sadar Tio Hui yang licik kembali menggunakan kesempatan ketika dia terkena paku beracun untuk menyerangnya kembali. Memang orang itu pandai sekali memperhitungkan setiap kemungkinan, sedangkan posisi Kok Hua Hong kurang menguntungkan. Ke manapun dia menghindar, tubuh Tio Hui yang ada di udara tetap saja dapat menyerangnya dengan telak.

Untuk sesaat hawa amarah dalam dadanya meluap-luap, dia jadi jengkel melihat Tio Hui yang seakan tidak memberi kesempatan hidup sedikitpun kepadanya. Tanpa berpikir panjang lagi, dia langsung bertekad mengadu jiwa. Dengan jurus Api Berkobar Menjulang ke Atas Langit, tampak bayangan pancingannya bergulung-gulung. Ia menyapu dengan keras ke dada Tio Hui yang sedang meluncur turun itu.

Tiba-tiba tangan Tio Hui terulur, tubuhnya meluncur makin cepat ke bawah. Dengan ringan dia berhasil menangkap pancingan Kok Hua Hong. Dalam waktu yang bersamaan telapak tangannya yang satu lagi mengulur ke depan dengan kerahan tenaga seberat ribuan kati dan serangan itu ditujukan ke arah ubun-ubun kepala Kok Hua Hong.

Serangannya kali ini keji bukan main, tenaganya hebat dan suara pukulannya menderu- deru. Jelas dia berniat menghabisi nyawa Kok Hua Hong sehingga serangan yang dilancarkannya sama sekali tidak dapat dianggap remeh.

Meskipun Kok Hua Hong sudah mengambil keputusan untuk mengadu jiwa namun melihat serangannya yang keji itu, mau tidak mau hatinya tercekat juga. Cepat-cepat dia miringkan kepalanya, lengan kirinya mengulur ke depan dalam waktu yang bersamaan, telapak tangannya ditekuk sedikit membentuk cakar dan secepat kilat dia mencengkeram pundak kiri Tio Hui.

Terdengar suara siulan marah dan dengusan berat dalam waktu yang bersamaan.
Pundak kiri Kok Hua Hong yang sudah terkena paku beracun kembali terkena hantamannya sehingga tulang Bagian itu remuk seketika. Saat itu juga ia memuntahkan darah segar, tubuhnya terkulai di atas tanah. Meskipun dia sudah terluka parah, namun cengkeramannya pada pundak Tio Hui sama sekali tidak dilepas, malah bertambah erat. Dengan gerakan yang tidak kalah keji, dia menghentak keras-keras jari tangannya. Di bawah cahaya rembulan yang redup, tampak darah memercik ke mana-mana. Pada Bagian di mana jari tangan Kok Hua Hong mencengkeram, terlihat segumpal daging yang besar tergenggam erat-erat. Rupanya orang itu benar-benar sudah marah sehingga tanpa kepalang tanggung dia mencengkeram daging di pundak Tio Hui sehingga terkoyak sepotong besar. Tepat pada saat itu juga Kok Hua Hong sendiri ikut jatuh tidak sadarkan diri di atas tanah.

Pertarungan kali ini benar-benar sengit dan merupakan duel maut. Kedua belah pihak sama-sama terluka. Namun kalau dibandingkan sudah pasti luka Kok Hua Hong jauh lebih parah. Paku beracun yang mengenai pundaknya malah mendesak ke dalam karena hantaman Tio Hui. Kemungkinan besar malah tertancap di tengah-tengah tulang yang remuk. Rasanya paku beracun itu tidak mudah dikeluarkan lagi.
Sementara itu, tampak si pengemis sakti Cian Cong membuka sepasang matanya. Dia seperti menggumam seorang diri.

“Sungguh cara turun tangan yang keji! Selama hidup si pengemis tua ini entah sudah membunuh berapa banyak orang. Segala kelicikan juga sudah pernah kutemui, tetapi kalau dibandingkan, masih jauh sekali dengan tindakan saudara-saudara ini!”

Tiba-tiba di belakang punggungnya terasa angin berdesir, cepat-cepat dia menolehkan kepalanya melihat. Tampak Tan Ki, Mei Ling dan Ban Jin Bu berlari dengan tergesa-gesa ke arah Kok Hua Hong.

Melihat adanya mereka yang mengawasi Kok Hua Hong, hati Cian Cong menjadi agak tenang. Pandangannya dialihkan kepada Ho Tiang Cun.

“Makhluk tua, apakah kau sudah selesai mengatur pernafasanmu?”

Ho Tiang Cun langsung tertawa lebar. Sepasang matanya juga membuka kembali. “Terima kasih atas perhatian Cian-heng, hengte sejak tadi sudah pulih kembali.” “Bagus sekali. Kalau begitu kita boleh bertarung lagi sebanyak tiga ratus jurus!”
Terdengar suara angin berhembus, dengan posisi tangan menahan di depan dada, si pengemis sakti melancarkan sebuah serangan.

Tampak Ho Tiang Cun menggeser tubuhnya perlahan-lahan, dalam sekejap mata dia sudah berhasil menghindarkan diri. Tangan kanannya bergerak dalam waktu yang bersamaan dan dikirimkannya sebuah serangan balasan.

Kedua orang itu yang satu maju yang lainnya mundur. Masing-masing sudah mengerahkan sebuah serangan. Bila dilihat dari luar sepertinya tidak ada keistimewaan apa-apa, padahal dalam setiap serangan terkandung Lwekang sejati dan perubahannya yang membahayakan posisi lawannya. Kalau bukan orang berilmu tinggi yang mempunyai pandangan awas, tentu sulit menemukan kehebatan serangan mereka masing-masing, di mana dalam setiap perubahan terkandung lagi perubahan lainnya.

Telapak tangan Cian Cong mengulur ke depan dan dikibaskannya angin pukulan Ho Tiang Cun. Dia lalu bersiap-siap melancarkan sebuah serangan lagi, niatnya ingin menyelesaikan pertarungan tersebut secepat-cepatnya. Tiba-tiba telinganya mendengar suara teriakan Tan Ki, “Cian Locianpwe, cepat ke mari! Keadaan Tian Tai Tiau-siu genting sekali!”

Cian Cong jadi tertegun. Cepat-cepat dia mencelat mundur sejauh tujuh langkah, dengan demikian apabila Ho Tiang Cun tiba-tiba mengirimkan sebuah pukulan, dirinya tidak akan terjangkau. Setelah itu baru dia menolehkan kepalanya ke arah Tan Ki.

“Bagaimana keadaan si tua Kok Hua Hong itu?” Tampak wajah Tan Ki menyiratkan kepanikan.
“Dia terkena pukulan musuh sehingga tulang.pundaknya remuk, ditambah dengan dua batang paku beracun yang mengenai pundak serta pinggangnya. Justru paku beracun itu
sekarang sudah melesak ke dalam dan ujungnya pun tidak kelihatan sehingga Boanpwe tidak berhasil mencabutnya keluar!”

Cian Cong terkejut sekali mendengar kata-katanya, dia langsung menghentakkan kaki di atas tanah keras-keras.

“Dasar kutu busuk! Sudah tahu paku-paku itu beracun, mana boleh sembarangan dicabut keluar. Kalau dipaksakan juga racun itu akan bertambah cepat kerjanya.
Seandainya berhasil kau cabut tadi, kemungkinan besar nyawa si tua Kok Hua Hong itu sekarang sudah melayang ke surga!”

“Ilmu senjata rahasia yang dilatih oleh Tio Tongcu semuanya hebat tidak tertandingi. Paku beracun yang digunakannya dilumuri dengan tiga belas jenis rumput yang paling ganas racunnya. Sembilan hari direndam kemudian sembilan hari dijemur. Pengaruh racun itu boleh dibilang, lihat darah langsung bekerja. Kalau kau, si tukang minta-minta ini, ingin menolong dia, satu-satunya jalan hanya dalam waktu tiga kentungan menemukan tiga belas jenis obat yang dapat menawarkan rumput-rumput beracun tersebut. Asal dia minum semuanya sekaligus, baru bisa disembuhkan. Obat-obatan biasa-biasa saja tidak ada gunanya. Satu racun dapat dibasmi, masih ada dua belas racun jenis lainnya. Oleh karena itu, biarlah lohu berbaik hati menasehati kalian agar jangan meneruskan impian kosongmu itu!” tukas Ho Tiang Cun sambil cengar-cengir.

Cian Cong mendongakkan wajahnya tertawa terbahak-bahak.

“Racun keluaran Lam Hay Bun tiada duanya di dunia ini, bahkan konon tidak ada obat penawarnya. Tetapi perlu kalian ketahui bahwa daerah Tionggoan justru kaya dengan berbagai obat-obat mujarab yang khusus menawarkan racun, walau dari jenis yang paling berbahaya sekalipun. Kalau kau tidak percaya, tunggulah barang sepenanakan nasi, si pengemis tua akan membuka matamu lebar-lebar agar kau lihat betapa luasnya dunia ini. Semacam obat yang biasa-biasa saja namun pengaruhnya mengejutkan.” dia mengedarkan pandangannya ke sekeliling kemudian berhenti pada diri Liu Seng yang sedang bertarung melawan Miao Fei Siong. Diam-diam dia meninjau jalannya pertarungan di antara kedua orang itu. Setelah itu baru dia menggapai tangannya memanggil Tan Ki.

“Bubuk penyelamat nyawa penyambung tulang yang kau miliki cukup untuk menyembuhkan luka Kok Lau Tao alias si tua bangka Kok. Mungkin malah bisa menambah tenaga dalamnya, dari bencana berbalik menjadi beruntung. Tampaknya pertarungan antara mertuamu dengan laki-laki tinggi besar itu masih bisa bertahan. Sedangkan orang yang dipanggil Tio Tongcu itu kalau ditilik dari keadaan lukanya, untuk sementara pasti tidak sanggup bertarung lagi. Kalian juga tidak perlu menyesakkan tempat ini lebih lama lagi, lebih baik kalian kembali ke puncak bukit memberi bantuan kepada yang lainnya!”

Mula-mula Tan Ki agak bimbang, dia mendongakkan kepalanya memperhatikan pertarungan antara Liu Seng dengan si laki-laki bertubuh kekar. Ternyata mertuanya lebih banyak menyerang daripada mempertahankan diri. Hal ini membuktikan bahwa keadaan orangtua itu sedang di atas angin dan tidak perlu terlalu dikhawatirkan, oleh karena itu hatinya pun menjadi lega. Setelah mengiakan, dia mengajak Ban Jin Bu dan Mei Ling kembali ke puncak bukit.

Di bawah cahaya rembulan yang redup tampak tiga sosok bayangan berlari bagai terbang. Dalam waktu singkat mereka sudah sampai di puncak bukit Tok Liong Hong. Begitu pandangan mata dipusatkan, tampak di luar ruangan pertemuan mayat-mayat
berserakan, ada yang lengannya putus dan darah berceceran di mana-mana, sungguh suatu pemandangan yang menyeramkan, tanpa sadar hati mereka menggidik dan bulu kudukpun ikut meremang melihat keadaan tersebut.

Tan Ki mengenali bahwa mayat-mayat tersebut adalah para tamu dari dunia Bulim yang ikut meramaikan perebutan Bulim Bengcu kali ini. Diantaranya yang tiga orang malah merupakan pendekar pedang tingkat tujuh. Ketika matanya menelusuri mereka satu per satu, dia tidak melihat seorang asingpun di antaranya. Kecuali mayat-mayat yang berserakan itu, ternyata seluruh ruangan sunyi senyap sehingga tidak terdengar sedikit suarapun. Tanpa dapat ditahan lagi sepasang alis Tan Ki menjungkit ke atas.

“Mari kita pergi! Kita harus memeriksa Bagian penyimpanan ransum!” suaranya begitu berat, nadanyapun tegas sekali, hal ini membuktikan bahwa hawa amarah dalam dadanya telah benar-benar meluap.

Tiba-tiba Mei Ling menghentikan langkah kakinya, tampaknya perempuan itu sedang digelayuti suafcu pikiran yang berat.

“Tan Koko, lebih baik kita lihat dulu bagaimana keadaan ibu.” katanya nada lirih.

Mula-mula Tan Ki tertegun, kemudian dia sadar Mei Ling pasti mengkhawatirkan keselamatan ibunya. Tanpa terasa dia langsung mengembangkan seulas senyuman.

“Ibu juga putri seorang pesilat yang terkenal, nyalinya besar dan jiwanya tidak kalah gagah dengan kaum laki-laki. Beberapa tahun ini beliau mendapat didikan lagi dari paman Yibun Siu San, rasanya lebih dari cukup untuk membela diri saja. Kau tidak perlu khawatir, lagipula Bagian penyimpanan ransum penting sekali bagi para tamu yang hadir di Tok Liong Hong kali ini. Kalau sampai pihak Lam Hay maupun Si Yu membakarnya, masa besok pagi kita semua harus merebutkan kedudukan Bu-lim Bengcu dengan perut kosong?” 

Seraya berkata, dia mendahului yang lainnya berlari ke depan. Gerakannya bagai seekor kuda liar yang lepas kendali, setiap kali mencelat, jaraknya sampai sejauh lima enam de-paan. Liu Mei Ling dan Ban Jin Bu saling lirik sekilas. Tanpa sempat berkata-kata lagi, mereka langsung mengikuti di belakang Tan Ki. Kurang lebih sepenanakan nasi kemudian, mereka sudah melihat kobaran api di Bagian depan. Cahayanya berwarna merah membara dan suara peletekan terdengar seiring dengan hembusan angin. Wajah setiap orang dan rumah-rumah darurat yang didirikan di tempat tersebut jadi menyala terang. Dua ratus lebih tamu-tamu yang hadir di Tok Liong-hong membagi diri mereka menjadi tiga baris dan saling mengoperkan ember-ember untuk memadamkan api tersebut. Wajah mereka tampak kelam sekali, kecuali suara desiran angin, tidak ada suara lainnya yang terdengar.

Ketika ketiga orang itu sampai di hadapan Bagian penyimpanan ransum, tiba-tiba telinga mereka mendengar suara jeritan yang menyayat hati. Begitu melengkingnya sampai memecahkan keheningan malam. Mereka segera mengalihkan pandangannya, seorang laki-laki berusia lanjut rubuh terkulai di atas tanah setelah mengeluarkan suara jeritan ngeri tadi. Mulutnya terus menerus memuntahkan darah segar dan sekejap waktu saja nyawanya sudah melayang.
Tan Ki segera mengenali orangtua tersebut adalah salah satu dari pendekar pedang tingkat tujuh yang ambil Bagian dalam perebutan Bulim Bengcu kali ini. Bahkan Yibun Siu San pernah menyatakan rasa kagumnya terhadap orang ini. Hatinya tercekat, rasa terkejutnya tak perlu ditanya lagi.

Setelah menenangkan diri beberapa saat, dia baru melihat di samping kiri orangtua yang mati itu, kira-kira berjarak tiga tindak, berdiri seorang laki-laki berwajah tenang dan berpakaian putih dari bahan yang agak kasar. Tangannya menggerak-gerakkan sebatang kipas dan usianya kurang lebih lima puluh tahunan. Sikapnya yang kalem itu hampir membuat orang tidak percaya bahwa dia baru saja membunuh seseorang. Bibirnya malah mengembangkan seulas senyuman yang riang.

Di belakang laki-laki setengah baya yang tenang ini, berdiri seorang tosu dan seorang nyonya berusia pertengahan. Ingatan Tan Ki sangat tajam, sekali lihat saja dia sudah mengenali mereka sebagai Im Ka Tojin dan Lu Sam Nio yang pernah menculik Mei Ling. Wajah Lu Sam Nio yang jeleknya tidak kepalang tanggung itu paling sulit dilupakannya.

Mengingat kejadian tempo hari yang mengakibatkan Mei Ling kehilangan kesadarannya, hawa amarah dalam dada Tan Ki meluap seketika. Dia mendelikkan matanya lebar-lebar kepada kedua orang itu. Beberapa saat kemudian baru dia mengalihkan pandangannya.
Diam-diam dia memperhitungkan kekuatan yang ada di pihaknya. Kalau ditilik dari beberapa mayat yang tergeletak di atas tanah, ada beberapa yang merupakan pendekar pedang tingkat delapan. Biarpun dia belum menyaksikan dengan kepala sendiri sampai di mana tingginya ilmu orang itu, tetapi dia sudah membayangkan bahwa kepandaian si laki- laki setengah baya yang terus tersenyum simpul itu sama sekali tidak dapat dipandang ringan.

Tampak Heng Sang Si memimpin belasan orang jago dan berdiri membentuk setengah lingkaran dengan senjata masing-masing di tangan. Wajah setiap orang menyiratkan kegusaran yang tidak terkirakan, alis mereka menyorotkan hawa pembunuhan yang tebal: Tampaknya setiap saat ada kemungkinan bisa meledak.

Udara yang diliputi amis darah yang tebal membuat suasana semakin mencekam.
Bintang-bintang mengerjap samar-samar seakan ikut merasa pilu, cahayanya menyoroti mayat-mayat yang bergelimpangan di atas tanah. Hati mereka yang memandangnya ikut merasa ngeri. Angin yang dingin berhembus, perasaan Tan Ki serta yang lainnya bergidik, bulu kudukpun meremang semua.

Perlahan-lahan Mei Ling menghembuskan nafas panjang, nadanya sendu sekali, “Tan Koko, lihatlah mayat-mayat yang berserakan di atas tanah itu, kasihan sekali bukan? Aku benar-benar tidak berani membayangkan bahwa perasaan keluarga mereka apabila mendengar berita kematian sanak saudaranya ini.”

“Golongan sesat tengah merajalela, mereka berusaha menguasai daerah Tionggoan kita.

Ketiga orang ini gugur sebagai pahlawan yang mempertahankan negaranya, mereka mati dengan gemilang. Tidak ada yang perlu disesalkan. Aku rasa, keluarga mereka bahkan merasa bangga. Apa yang akan terjadi kelak bukan hal yang dapat diduga oleh kita semua. Kau juga tidak perlu membayangkan hal yang jauh-jauh.”
Meskipun mulutnya berkata, tetapi sepasang matanya yang menyorotkan sinar tajam menatap gerak-gerik si laki-laki setengah baya dengan penuh perhatian. Dia malah tidak menolehkan kepalanya.

Baru saja ucapannya selesai, tiba-tiba terlihat sesosok bayangan berkelebat. Seseorang menerjang keluar ke tengah arena. Dia adalah seorang tua yang punggungnya sudah membungkuk dan mengenakan pakaian dari bahan kasar. Saat ini dia berdiri di hadapan laki-laki setengah baya itu dan wajahnya menyiratkan kebimbangan. Jaraknya dengan orang itu masih kurang lebih tiga langkah.

Laki-laki setengah baya itu menggerak-gerakkan kipasnya dengan santai. Bibirnya menyunggingkan seulas senyuman.

‘Apakah kau juga terhitung pendekar pedang tingkat delapan?” tanyanya tenang.

Dua kali berturut-turut orangtua bungkuk itu mendengus berat. Dengan angkuh dia menyahut, “Lohu sendiri belum menanyakan nama Saudara yang mulia.”

Laki-laki setengah baya itu tertawa makin lebar.

“Pertemuan kita ini hanya sepintas lalu, sama-sama belum saling mengenal secara mendalam, untuk apa menanyakan nama segala? Kita toh bukan ingin menjalin hubungan sebagai mertua dan menantu, buat apa membuat lidah menjadi kaku. Sayang sekali cayhe tidak mempunyai seorang putri. Seandainya ada, tentu dengan senang hati mempersembahkannya kepadamu supaya dapat dijadikan istri.”

Mendengar ucapannya yang berupa sindiran tetapi dikatakan dengan tersenyum simpul, saking kesalnya orangtua itu sampai mendelikkan matanya lebar-lebar. Rambutnya yang sudah penuh uban seperti berjingkrak semua ke atas, sepasang lengannya yang sedang berkacak di pinggang seakan mengembung satu kali lipat.

Si laki-laki setengah baya tersebut melihat orang mengerahkan tenaga dalamnya secara diam-diam, tampaknya sudah siap melancarkan serangan setiap saat. Dia segera mengatupkan kipasnya dan senyumannya pun sirna seketika. Sepasang matanya yang menyorotkan sinar tajam menatap lekat-lekat pada diri si orang tua berpunggung bungkuk tersebut.

Pada dasarnya laki-laki setengah baya ini berilmu sangat tinggi. Pengetahuan maupun pengalamannya luas sekali. Melihat telapak tangan si orangtua bungkuk luar biasa besarnya dan jauh dibandingkan dengan orang lain, belum lagi warnanya yang kehitam- hitaman itu, dia langsung maklum bahwa orangtua ini menghabiskan waktu yang banyak khusus untuk melatih ilmu pukulan. Kalau bukan Ang Sa-Ciang (Telapak pasir merah), kemungkinan Hek Sa-ciang (Telapak pasir hitam) yang biasanya mengandung racun keji. Pokoknya sepasang telapak tangannya itu sudah direndam berbagai jenis obat-obatan karena kukunya pun berwarna hitam.

Tan Ki berdiri diam-diam di samping keduanya. Tiba-tiba dia melihat senyuman si laki- laki setengah baya sirap seketika, sikapnya menjadi serius tidak terkirakan, tidak mengucapkan sepatah katapun. Hatinya merasa heran dan curiga. Tiba-tiba terdengar suara bentakan yang lantang, pukulan menimbulkan suara menderu-deru. Rupanya si orangtua bungkuk sudah mulai melancarkan serangan, suara tadi timbul dari pukulannya yang dahsyat.

Si laki-laki setengah baya mengibaskan kipasnya sehingga terbuka kembali. Dengan jurus Memuja Bunga Hati, dia membalas serangan orangtua itu dengan serangan pula. Terasa serangkum angin kencang menerpa datang, tenaganya yang kuat menerjang ke arah si orangtua bungkuk.

Tenaga dalam orang ini sudah mencapai taraf yang tinggi sekali, jurus yang dikerahkannya juga sangat matang. Hal ini membuktikan bahwa dia sudah berlatih keras selama ini. Ketika dia menggerakkan kipasnya, yang terlihat justru jurus yang tidak ada keistimewaan apa-apa, namun sebetulnya mengandung kecepatan yang keji, bayangannya bergulung-gulung dan suara yang ditimbulkannya pun menderu-deru.

Justru pada detik-detik ketika pukulan keduanya hampir berlalu, si orangtua bungkuk merasa tenaga dalam yang terkandung dalam serangan si laki-laki setengah baya begitu dahsyatnya sehingga bagai jarum emas yang menusuk tajam. Bahkan gulungan tenaganya sendiri sampai terterobos dan hal ini membuatnya terkejut setengah mati. Dia benar-benar tidak menyangka kekuatan lawan jauh lebih hebat dibandingkan dirinya sendiri. Cepat- cepat dia menggeser tubuhnya sedikit dan menggerakkan tangannya ke samping,  otomatis dia tidak berani menyambut serangan laki-laki setengah baya itu dengan kekerasan.

Satu jurus sudah berlalu. Keduanya masih belum bergebrak secara sungguh-sungguh, namun sukma si orangtua bungkuk seakan sudah melayang karena terkesiap melihat tingginya ilmu lawan. Keadaannya sudah di bawah angin. Dari serangan yang pertama saja dia sudah dapat membayangkan bahwa kepandaian si laki-laki setengah baya jauh lebih hebat dibandingkan dengan ilmunya sendiri.

Begitu perhatiannya dipusatkan, entah sejak kapan si laki-laki setengah baya sudah merentangkan kipasnya kembali. Dia menggerakkan dengan perlahan-lahan seolah-olah seseorang yang sedang menikmati pemandangan dengan santai. Wajahnya merekahkan senyuman yang lebar, sikapnya begitu tenang seakan tidak sedang berhadapan dengan musuh atau sedang bertarung dengan lawan.

Siapa tahu perasaan si orangtua bungkuk ini memang angkuh dan mudah tersinggung.
Melihat orang berdiri menggoyangkan kipasnya sambil tersenyum simpul, dia langsung mengira si laki-laki setengah baya itu sedang mengolok-olok dirinya dan memandang rendah kepadanya. Hawa amarah dalam dadanya jadi meluap, rasa malu dan benci berbaur menjadi satu. Saat itu juga mulutnya mengeluarkan suara bentakan yang lantang, tubuhnya bergerak mencelat ke udara. Tampak sepasang lengannya terentang ke depan dan menimbulkan bayangan bagai bunga salju yang berderai. Dia melancarkan serangan dengan gencar, secara berturut-turut dia mengerahkan enam belas jurus.

Laki-laki setengah baya itu mendengus dingin. Dia segera menghimpun hawa murninya dan kipas di tangannya dikibaskan. Segulung cahaya berwarna putih langsung tampak berkilauan, dengan gesit dan lincah dia menyambut serangan si orangtua bungkuk.

Pertarungan antara dua tokoh kelas tinggi ini berlangsung dengan sengit. Mati dan hidup dapat ditentukan setiap saat. Di bawah cahaya rembulan yang semakin redup, tampak telapak tangan membentuk bayangan yang tidak terkira banyaknya, sedangkan kipas di tangan si laki-laki setengah baya berkelebat ke sana ke mari sehingga menimbulkan cahaya yang berpijar-pijar. Suara angin yang timbul dari serangan kedua orang itu berdesiran, rumput-rumput melambai-lambai. Debu-debu beterbangan. Dalam
waktu yang singkat bayangan tubuh kedua orang itu sulit lagi dibedakan. Bahkan orang- orang yang menyaksikan jalannya pertarungan tidak dapat lagi menentukan yang mana kawan yang mana lawan. Mata mereka berkunang-kunang. Mereka sampai menahan nafas saking tegangnya, juga ada seBagian yang mengkhawatirkan keselamatan rekan masing- masing.

Sementara itu, Ban Jin Bu berjalan menghampiri Tan Ki. Dengan perasaan ingin tahu dia bertanya, “Tan-heng, coba kau perhatikan, siapa yang akan memenangkan pertarungan kali ini?”

Tan Ki memalingkan kepalanya dan melirik Ban Jin Bu sekilas. Bibirnya bergerak-gerak seakan ingin mengatakan sesuatu, tetapi akhirnya ia batalkan. Dia hanya tertawa getir sambil menggelengkan kepalanya, namun tidak memberikan sahutan sedikitpun.

Ban Jin Bu jadi tertegun. Hatinya semakin penasaran.

“Tan-heng, tampaknya sedang banyak pikiran yang mengendap dalam bathinmu. Bolehkah kau memberitahukannya kepada siau-te sehingga kita dapat membahasnya bersama-sama?”

Tan Ki menarik nafas panjang satu kali.

“Coba kau perhatikan baik-baik, bagaimana menurut pendapatmu ilmu laki-laki setengah baya itu?”

“Jurus serangan yang dilancarkan orang ini selalu mengandung kedahsyatan yang keji.
Ilmunya sudah mencapai taraf yang tinggi sekali, rasanya lebih tinggi dari pendekar pedang tingkat delapan. Kemungkinan besar sebanding dengan si pengemis sakti Cian Locianpwe, Yibun Siu San maupun Lok Hong. Meskipun ilmu silat si orangtua bertubuh bungkuk itu lumayan juga, tetapi kalau dibandingkan dengan si laki-laki setengah baya itu, rasanya masih terpaut jauh. Setelah ratusan jurus, kemungkinan besar dia akan terkena serangan orang itu sehingga terluka parah.”

Mendengar kata-kata Ban Jin Bu yang persis sama dengan dugaan hatinya sendiri, pikiran Tan Ki semakin ruwet. Tanpa dapat ditahan lagi sepasang alisnya menjungkit ke atas.

“Justru hatiku sejak tadi merasa tidak tenang karena telah mempunyai pandangan yang sama. Perlu kau ketahui bahwa dalam perebutan Bulim Bengcu kali ini, meskipun lima partai besar yang hadir, tetapi para pesilat yang lain jumlahnya cukup banyak. Bahkan mereka terdiri dari golongan sesat dan lurus. Saat ini semuanya berkumpul di puncak bukit Tok Liong-hong. Aku selalu menganggap dengan adanya orang-orang yang mempunyai nama besar ini, pihak Lam Hay dan Si Yu pasti tidak berani berbuat macam-macam.
Apalagi seBagian besar dari orang yang hadir ini mempunyai ilmu yang tinggi. Namun dugaanku ternyata salah besar, boleh dibilang hari ini mataku benar-benar terbuka. Pihak musuh hanya mengirim empat kelompok orang yang jumlah keseluruhannya tidak lebih dari tiga belas orang, tetapi mereka sanggup membuat kocar-kacir para pendekar pedang tingkat delapan sehingga bertarung sampai mengadu jiwa. Berapa banyak korban dari pihak kita yang jatuh? Keadaan yang memalukan ini sudah cukup membuktikan bahwa pihak Lam Hay dan Si Yu merupakan musuh yang tidak dapat dianggap enteng. Para pendekar dari Tionggoan seolah menjadi bahan permainan bagi mereka. Kelompok ini masih terhitung jago kelas dua di wilayah mereka, sedangkan pemimpin yang sebenarnya
masih belum muncul. Kecuali kita bergabung dengan lima partai besar, rasanya dalam satu hari saja Tok Liong-hong ini sanggup diratakan jadi tanah oleh pihak mereka.”

Ban Jin Bu menarik nafas perlahan-lahan.

“Baik bakat maupun kecerdasan Tan-heng, memang melebihi orang lain. Siaute benar- benar mengaku tidak sanggup menandingi. Tetapi ada satu hal yang membuat siaute tidak habis pikir, kalau Tan-heng sejak semula sudah mempunyai pandangan demikian, mengapa tidak berusaha memberitahukan Cian Lo-cianpwe atau sam-siokmu, setidaknya mereka bisa menyediakan payung sebelum hujan?”

Tan Ki tertawa getir mendengar pertanyaannya.

“Urusan ini memang mudah kalau dibicarakan, tetapi pelaksanaannya justru sulit tidak terkirakan. Lima partai besar terletak di wilayah yang berjauhan. Apabila mengutus orang mengirimkan undangan, perjalanan pulang pergi saja mungkin lebih dari setengah bulan. Air yang jauh tidak mungkin memadamkan api yang dekat. Seandainya menunggu sampai pihak lima partai besar berdatangan, pasti semuanya sudah terlambat. Kecuali kalau Siau Lim, Bu Tong, Kun Lun, Cing Ceng dan Go Bi selalu mengirimkan muridnya untuk menyelidiki keadaan di dunia Kangouw, dan pada saat ini mereka sudah mendengar kabar serta mengirimkan jago-jagonya untuk memberikan bantuan ke mari. Kalau benar demikian, tentu tidak banyak waktu yang terbuang, dan kedatangan mereka tepat waktunya sehingga tidak terjadi pertumpahan darah yang demikian mengerikan.”

Berbicara sampai di sini, tiba-tiba terdengar suara siulan yang bening memecahkan keheningan malam. Otomatis kata-kata Tan Ki jadi terhenti, cepat-cepat dia mengalihkan panda ngan matanya. Tampak Heng Sang Si sedang menggerakkan tubuhnya mencelat ke udara setinggi tiga empat depa dan dia menerjang ke tengah arena.

Gerakan tubuh orang itu bagai seekor rajawali sakti yang mementangkan sayapnya dengan lebar, kecepatannya bagai kilat. Ketika tubuhnya masih melayang di tengah udara, senjatanya telah dikeluarkan, sepasang bola besi itu menimbulkan bayangan berwarna kehitaman dan menyapu datang dengan dahsyat.

Hampir bersamaan dengan senjata Heng Sang Si yang meluncur ke depan, terdengar suara jeritan ngeri yang menggidikkan hati. Disusul dengan sesosok tubuh yang terpental di tengah udara dan berputaran dua kali sebelum menghempas keras di atas tanah.
Percikan darah dan debu-debu yang beterbangan membuat pandangan mata Tan Ki jadi samar-samar. Hatinya segera merasa tertekan tidak terkirakan.

“Lagi-lagi seorang pendekar pedang tingkat delapan mati di tangannya. Dalam pertarungan malam ini, entah berapa banyak pendekar pedang tingkat tujuh dan delapan yang jatuh menjadi korban. Rasanya…” membayangkan hal yang menyakitkan hati itu, tanpa terasa matanya jadi memerah, hampir saja jatuh bercucuran.

Tiba-tiba dia merasa tangannya disenggol oleh seseorang, entah sejak kapan Mei Ling sudah berdiri di sampingnya dan memandangnya dengan wajah menyiratkan kepanikan.

“Tan Koko, lihatlah!”

Tan Ki menenangkan perasaannya sejenak kemudian mengalihkan pandangannya ke arah yang ditunjuk Mei Ling. Siapa nyana lebih baik tidak melihat. Begitu matanya
menatap apa yang ditunjuk oleh isterinya itu, hawa amarah dalam dadanya jadi meluap. Tangannya mengepal erat-erat dan tubuhnya terus bergetar.

Rupanya si laki-laki setengah baya menggunakan ilmu Lam Hay Bun yang keji dan mengandung kekuatan dahsyat untuk menghancurkan urat dalam jantung si orangtua bungkuk. Kebetulan waktu itu Heng Sang Si mengayunkan sepasang bola besinya. Entah bagaimana caranya, tahu-tahu serangan Heng Sang Si mengenai tempat yang kosong.
Bayangan kipas bergulung-gulung dan terpencar kedua arah.

Bibir si laki-laki setengah baya tetap mengembangkan senyuman, sikapnya tenang sekali. Dia masih tetap berdiri di tempatnya semula tanpa bergeser sedikitpun. Heng Sang Si mengeluarkan suara dengusan yang berat, tubuhnya terhuyung-huyung kemudian tergetar mundur sejauh empat langkah. Lengan pakaiannya yang sebelah kiri seakan terkena serangan si laki-laki setengah baya sehingga koyak berderai tertiup angin dan lengannya yang kekar pun terlihat jelas.

Tampaknya Heng Sang Si sampai termangu-mangu karena tergetar mundur dalam satu jurus saja. Tetapi sesaat kemudian dia sudah pulih kembali. Sementara itu si laki-laki setengah baya itu menggerakkan kipasnya beberapa kali dengan gaya santai. Bibirnya
lagi-lagi tersenyum simpul.

“Hai, jurus yang akan datang nanti, harap kau berhati-hati! Aku akan mengoyak pakaian di depan dadamu!” katanya sombong.

Mendengar ucapannya yang sesumbar itu, Heng Sang Si mendongakkan wajahnya dan tertawa marah.

“Ilmu silat pihak Lam Hay ternyata memang hebat. Tetapi kau juga tidak perlu demikian sombong dan menertawakan orang lain. Hengte sadar kepandaian sendiri masih tidak dapat menyamai dirimu, tetapi setidaknya aku mempunyai jiwa yang gagah. Kalau tidak percaya, boleh kau bunuh diriku sesuka hatimu!”

“Hebat sekali! Aku, Cia Tian Lun ikut mengepalai empat puluh delapan pulau, tetapi belum pernah melihat orang segagah dirimu!”

Heng Sang Si kembali mendengus satu kali.

“Ilmu kepandaian saudara benar-benar membuat orang kagum, tetapi sikapmu yang sombong itu juga merupakan orang yang pertama pernah hengte lihat seumur hidup!”

Tiba-tiba sikap Cia Tian Lun berubah mendengar perkataan Heng Sang Si. Dia mendengus dingin satu kali, kipas di tangannya direntangkan kembali. Tubuhnya berdiri tegak tanpa bergeming sedikitpun. Sepasang matanya menyorotkan sinar tajam menatap diri Heng Sang Si lekat-lekat. Sejenak kemudian bibirnya tersenyum lagi.

“Mendapat pujian dari saudara, seharusnya aku mengucapkan terima kasih sedalam- dalamnya!” mendadak kipasnya dikibaskan, tubuhnya menerjang ke depan dengan jurus Datang Awan dari Luar Langit. Angin yang timbul dari gerakan kipasnya bergulung-gulung, dia mengirimkan sebuah totokan ke dada Heng Sang Si.

Sepasang bola besi Heng Sang Si langsung dipencarkan, dia mengarahkan seluruh tenaga dalamnya. Dengan jurus Pohon Tua Mengganti Akar, dia menerjang kipas Cia Tian
Lun yang sedang meluncur ke arahnya. Tangan kanannya memutar bola besi sehingga menimbulkan bayangan melingkar, angin yang kencang segera terpancar dan kali ini sasarannya lengan atas Cian Tian Lun.

Cia Tian Lun melihat kemarahan Heng Sang Si benar-benar terpancing sehingga melancarkan serangan, bahkan kali ini mengandung kekuatan yang dahsyat. Dia langsung memperdengarkan suara tawa yang panjang. Tiba-tiba tangannya ditarik kembali dan gerakannya berubah. Tubuhnya memutar setengah lingkaran dan tahu-tahu dia menerobos ke dalam angin kencang yang timbul dari sepasang bola besi Heng Sang Si.

Gerakan tubuhnya demikian cepat dan gesit, sehingga orang-orang yang menyaksikan tidak sempat melihat bagaimana caranya dia melakukan hal itu. Mereka juga tidak dapat menduga ke arah mana sebetulnya tubuh orang itu menghindar. Heng Sang Si sendiri hanya merasa sepasang bolanya mengenai tempat kosong, matanya berkunang-kunang dan pandangannya menjadi samar. Justru di saat itu tubuh lawannya sudah berdiri tegak di hadapannya. Rasa terkejutnya kali ini benar-benar tak terkatakan. Tetapi biar bagaimanapun Heng Sang Si merupakan seorang tokoh yang sudah banyak pengalaman di dunia Kangouw, meski keadaannya sangat gawat sekali, namun pikirannya tidak menjadi kacau. Cepat-cepat dia mengerahkan jurus Ikan Lele Melompat-lompat, sepasang pundaknya ditarik ke belakang dan diapun mencelat mundur sejauh delapan sembilan langkah.

Ilmu silat Heng Sang Si sudah cukup tinggi, perubahan gerakannya juga cepat sekali, tetapi tetap saja dia tidak sanggup mengejar waktu yang hanya sekian detik itu. Ia hanya merasa mendadak ada serangkum angin yang menerpa wajahnya dan tahu-tahu Bagian dadanya terasa sejuk.

Begitu dia menundukkan kepalanya, dia melihat dadanya yang tegap sudah terbuka.
Rupanya pakaian Bagian dadanya benar-benar telah terkoyak oleh kipas di tangan Cia Tian Lun. Sobekan pakaiannya bahkan masih melayang tertiup angin. Tanpa dapat ditahan lagi wajahnya jadi hijau membesi. Perasaan malu dan marah berbaur menjadi satu dalam hatinya.

Rupanya Cia Tian Lun tidak mengerahkan tenaga sepenuhnya pada kipas di tangannya itu. Niatnya memang hanya ingin mempermalukan Heng Sang Si. Dengan ringan dia menggores Bagian depan pakaian laki-laki itu sehingga terkoyak namun ujung kulitnya tidak tersayat sedikit juga. Hal ini malah membuat rasa malu Heng Sang Si tidak tertahankan, rasanya dia tidak mempunyai muka lagi untuk berhadapan dengan orang lain. Sementara itu, Cia Tian Lun malah menelingkup sepasang tangannya di belakang dan memandangnya dengan tersenyum simpul.

Perlu diketahui bahwa para tokoh di dunia Kangouw sangat memandang tinggi ke- mashyuran nama dirinya sendiri. Seumur hidup Heng Sang Si berkecimpung dalam dunia kekerasan, selamanya dia tidak pernah takut dengan kata kematian. Tetapi dia justru tidak sanggup menerima penghinaan di hadapan orang banyak. Saat itu juga dia merasa serangkum rasa pilu melanda dalam bathinnya. Matanya yang besar memerah, dua bulir air mata langsung jatuh berderai membasahi pipinya. Tubuhnya seperti orang yang kehilangan tenaga, kakinya goyah serta tidak dapat berdiri tegak. Hampir saja dia terjatuh di atas tanah. Para hadirin yang menyaksikannya ikut merasa pedih dan iba. Mereka merasa kasihan sekali melihat keadaan laki-laki itu yang demikian mengenaskan.
Tiba-tiba terdengar mulutnya meraung keras, kepalanya mendongak ke atas dan dia langsung memuntahkan darah segar sebanyak tiga kali berturut-turut. Sepasang matanya mendelik lebar-lebar lalu yang terlihat hanya putihnya saja. Tanpa dapat dipertahankan lagi, tubuhnya jatuh terkulai di atas tanah.

Dengan panik Tan Ki berlari menghampirinya. Dia segera membungkuk dan memeriksa keadaan Heng Sang Si. Sejenak kemudian dia mendongakkan kepalanya lagi, wajahnya menyiratkan perasaan duka yang dalam. Perlahan-lahan dia bangkit berdiri dan menarik nafas panjang.

“Tidak ada harapan lagi, dia sudah menggigit putus lidahnya sendiri…”

Belum lagi ucapan Tan Ki selesai, segera terlihat berbagai reaksi dari orang-orang gagah yang berkumpul di tempat tersebut. Ada yang membentak marah, ada yang menarik nafas panjang, ada yang menghentakkan kakinya di atas tanah keras-keras. Ada juga beberapa orang yang berjalan ke depan namun menghentikan langkah kakinya kembali…

Dari sini dapat dibuktikan bahwa cara membunuh orang tanpa turun tangan sendiri yang diperlihatkan Cia Tian Lun barusan benar-benar menimbulkan perasaan marah
orang-orang gagah. Tetapi ilmunya yang sangat tinggi juga merupakan hal yang membuat orang-orang gagah ragu mengambil tindakan…

Sepasang mata Tan Ki yang tajam menyapu sekilas kepada orang-orang gagah. Ia melihat mereka semuanya seakan siap mengadu jiwa dengan Cia Tian Lun, tetapi masih merasa gentar terhadap ilmunya yang sangat tinggi. SeBagian besar malah sudah melangkah ke depan namun membatalkan niatnya kembali. Akhirnya dia menggertakkan giginya erat-erat, tangannya terulur dan merogoh ke dalam lengan baju yang satunya lagi. Begitu tangannya mengibas keluar, tampak secarik cahaya berwarna putih berkilauan sehingga timbul bayangan seperti bunga-bunga yang bermekaran. Setelah itu dia berdiri tegak dengan senjata melintang di depan dada.

Cia Tian Lun melihat anak muda itu sudah mengeluarkan senjatanya yang berupa pedang suling, tampaknya Tan Ki sudah mengerahkan tenaga dalam serta siap melancarkan serangan. Tanpa dapat ditahan lagi bibirnya menyunggingkan seulas senyuman.

“Kau juga ingin mencoba beberapa jurus ilmuku ini?” tanyanya tenang.

Dengan wajah serius Tan Ki menyahut, “Cia Siansing (Tuan Cia) melihat usiaku masih terlalu muda sehingga tidak pantas bergebrak denganmu?”

Cia Tian Lun tertawa lebar.

“Ilmu silat tidak dapat ditentukan dari usia tua maupun muda, pokoknya siapa yang menanglah yang dipersoalkan. Tetapi ditilik dari usiamu yang demikian muda, seandainya sampai….”

Tan Ki tidak memberi kesempatan kepada orang itu untuk meneruskan ucapannya, dia segera menukas, “Seandainya sampai mati di bawah serangan kipasmu, rasanya patut disayangkan bukan?”
Cia Tian Lun mengangkat sepasang bahunya. Bibirnya tersenyum makin lebar.

“Orang-orang muda memang lebih mudah emosi. Kalau kau sudah mengungkapkan apa yang tersirat dalam hatiku, aku juga tidak ingin menyangkalnya. Namun apabila kau tetap ingin menjajal barang beberapa jurus, di sini terlalu banyak orang yang hadir.
Mungkin mereka akan menganggap aku yang tua menghina kaum muda dan mengatakan aku tidak tahu aturan. Usiaku jauh lebih tinggi dibandingkan dirimu. Bagaimana kalau aku mengalah tiga jurus kepadamu dan tidak membalas sama sekali?”

i Wajah Tan Ki tetap datar dan kaku.

“Dalam tiga jurus ini, kemungkinan besar aku bisa mengambil nyawamu. Dalam perguruan Lam Hay Bun, rasanya kedudukan Cia Siansing tinggi sekali. Bagaimana kalau karena sesumbar sesaat lalu kalah di tangan seorang anak muda, rasa malunya mungkin sanggup kau terima?”

Terhadap kata-kata sindirannya yang tajam itu, tampaknya Cia Tian Lun benar-benar merasa di luar dugaan. Untuk sesaat dia jadi tertegun, kemudian dia memperdengarkan suara tawanya yang panjang. Padahal dalam hati dia memuji kecerdasan anak muda ini. Dia tahu Tan Ki sengaja memanasi hatinya dan dengan demikian dia tentu tidak enak menarik kembali perkataannya. Sebetulnya hal ini hampir sama dengan caranya menghadapi Heng Sang Si tadi, jadi boleh dibilang dia sudah kena batunya sekarang. Oleh karena itu suara tawanya begitu melengking sehingga memekakkan telinga orang yang mendengarnya.

“Kalau kau memang punya kepandaian seperti itu, silahkan lakukan saja. Baik ilmu tenaga dalam, senjata rahasia atau akal licik apapun, aku akan menemani dengan senang hati. Pokoknya tiga jurus kemudian, kau harus berhati-hati menjaga selembar nyawamu sendiri!”

Sementara itu, belasan tamu yang mengikuti perebutan Bulim Bengcu, Im Ka Tojin, Lu Sam Nio semuanya memusatkan perhatian kepada diri Cia Tian Lun dan Tan Ki. Mereka sudah dapat membayangkan kalau pertarungan yang akan berlangsung ini hebatnya bukan main. Belasan pasang mata seakan tidak ingin berkedip sedikitpun karena takut kehilangan kesempatan menyaksikan pertarungan yang seru.

Suasana yang mencekam semakin terasa karena diselipi dengan ketegangan. Selain api yang masih berkobar menimbulkan suara ple-tekan oleh hembusan angin, boleh dibilang di tempat yang luas itu begitu sunyi sehingga nafas merekapun dapat terdengar dengan jelas. Hal ini membuat perasaan mereka semakin tidak tenang dan pengap. Tampak sepasang mata Tan Ki mengeluarkan sinar bagai kilat. Sikapnya serius sekali. Tangan kanannya diangkat ke atas perlahan-lahan bagai seseorang yang menggenggam suatu benda dengan bobot berat mencapai ribuan kati.

Gerakannya yang lambat dan penampilan sikapnya yang agak tegang malah membuat hati orang-orang gagah ikut tergerak, jantung mereka berdebar-debar. Tanpa terasa tangan mereka sampai basah karena keringat dingin bahkan menatapnya pun sambil menahan nafas.

Cia Tian Lun melihat sepasang mata Tan Ki menyorotkan sinar yang tajam serta menatapnya lekat-lekat tanpa berkedip sekalipun. Tan Ki masih berdiri tegak dengan tangan menggetarkan peuang sulingnya yang menimbulkan bayangan putih berkilauan,
tanpa dapat ditahan lagi hatinya agak tercekat. Diam-diam dia berpikir: ‘Sikapnya serius dan berwibawa, tangannya diangkat dengan gerakan lamban. Ini merupakan gaya yang dilakukan tokoh kelas tinggi sebelum memulai sebuah serangan, tampaknya anak muda ini…’

Belum lagi pikirannya selesai bekerja, tiba-tiba telinganya menangkap suara siulan yang memekakkan telinga. Di depan matanya terlihat cahaya putih berkelebat, rupanya Tan Ki sudah menerjang ke arahnya dengan sebuah totokan yang ditujukan ke Bagian dada.

Cia Tian Lun mengangkat kipasnya menahan. Terdengar suara dentingan logam saling membentur. Orangnya sendiri mencelat mundur ke belakang dalam waktu yang bersamaan dengan tangkisan nya barusan.

Sepasang mata Tan Ki membuka lebar-lebar, tubuhnya bergerak mengejar ke depan. Di tengah udara pergelangan tangannya digetarkan dan pedang sulingnya diangkat ke atas. Segera dilancarkannya sebuah serangan. Gerakannya dari lambat berubah menjadi cepat. Tampak cahaya berwarna putih memijar-mijar, hawa dingin terpancar dari pedang sulingnya. Jurus yang dikerahkannya merupakan salah satu dari petikan ilmunya yang ajaib, yakni Awan Berkabut Menyorotkan Cahaya Keemasan. Serangannnya kali ini mengandung kekuatan tenaga yang sudah diperhitungkan matang-matang. Hawa yang terpancar dari pedangnya tajam bergulung-gulung bagai ombak di lautan, dengan dahsyat menerjang datang laksana angin topan!

Cia Tian Lun merasa sekitarnya dipenuhi hawa pedang berkilauan yang menusuk pandangan mata. Seluruh tubuhnya bagai diselu-supi hawa dingin. Meskipun pandangan matanya sangat awas dan pendengarannya tajam sekali, tetapi yang terlihat maupun terdengar hanya hawa pedang di tangan Tan Ki. Begitu hebatnya hawa pedang tersebut sehingga seluruh tubuhnya bagai terkurung rapat. Dia tidak dapat menduga ke arah mana pedang itu mengincar, dan jalan darah mana yang akan ditotok oleh ujungnya. Tanpa terasa hatinya tercekat. Tangan kanannya menggerakkan kipas dengan jurus Menggempur Delapan Penjuru di Malam Hari. Bayangan kipasnya bergulung-gulung melindungi Bagian atas kepalanya, orangnya sendiri langsung mencelat mundur ke belakang sejauh beberapa langkah.

Telinganya menangkap suara keresekan yang halus, kedengarannya hanya satu kali saja. Kemudian terdengar pula suara bentakan nyaring dan ada pula yang menarik nafas panjang. Beberapa macam suara membaur di telinganya… rupanya ketiga jurus inilah yang membuat orang-orang gagah tahu sampai di mana tingginya ilmu silat Tan Ki.

Cia Tian Lun menundukkan kepalanya melihat. Rupanya di antara lengan dan pergela- ngan tangannya terdapat sayatan sepanjang tiga cun. Tampaknya dia sudah terkena serangan pedang suling Tan Ki sehingga tangannya terluka. Kalau saja tenaga yang terkandung di dalamnya lebih berat sedikit, ada kemungkinan sebelah tangannya itu menjadi putus atau cacat seumur hidup. Tanpa terasa bulu kuduknya jadi meremang dan sikapnya berubah hebat. Tetapi biar bagaimana pada mulanya dia sudah sesumbar menjual omong besar, urusannya menyangkut muka serta nama baiknya sendiri. Dengan demikian dia tidak dapat menyesal sehingga dirinya akan dipandang hina oleh orang-orang gagah yang hadir di sana. Belum lagi anak buahnya sendiri. Akhirnya terpaksa dia mendongakkan kepalanya dan menebalkan kulit wajahnya dengan berlagak santai.
Bibirnya kembali mengembangkan seulas senyuman.

“Dua jurus sudah berlalu, sekarang kau masih mempunyai satu jurus lagi!”
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar