Dendam Iblis Seribu Wajah Bagian 41

 
Bagian 41

Tosu tua ini mempunyai watak yang lembut. Hatinya juga sangat pengertian terhadap siapa saja. Dia maklum manusia berpakaian hitam ini hanya pura-pura gagah padahal dalam hatinya sudah timbul rasa ngeri. Tetapi dia juga tidak ingin menjatuhkan harga dirinya di depan orang banyak. Bibirnya mengembangkan seulas senyuman yang bijaksana.

“Kalau dihitung dari jumlah korban yang jatuh di kedua belah pihak, memang tidak seharusnya pinto mengajukan permintaan ini. Tetapi di balik urusan ini terselip persoalan budi dan dendam yang masih ada kaitannya dengan diri pinto sendiri, oleh karena itu pinto terpaksa ikut campur. Kalau kau memang merasa kurang puas, silahkan datang ke Yang Sim An di Bu Tong San dan mencari pinto, Tian Bu Cu untuk membuat perhitungan.”

Seraya bicara, tosu tua itu memalingkan wajahnya dan berpesan kepada Liang Fu Yong dan Mei Ling, “Kalian bawa dulu Cian Locianpwe, sebentar lagi aku akan menyusul!”

Kedua gadis itu segera mengiakan. Mereka langsung mengangkat tokoh tua tersebut, setelah itu mereka membalikkan tubuh dan berlari pergi. Terdengar suara angin berdesir, bayangan tubuh mereka berkelebat bagai kilat. Dalam sekejap mata saja sudah menghilang dari pandangan.

Tian Bu Cu menunggu sampai kedua gadis itu sudah pergi agak jauh baru dia menjura pada Kaucu Pek Kut Kau sambil mengembangkan seulas senyuman.

“Pohon berbuah ada masanya, sama sekali tidak dapat dipaksakan. Sicu merupakan seorang kepala pemimpin yang mempunyai wilayah sendiri, selamanya tidak pernah mencari ikatan benci atau dendam di daerah Tiong-goan. Lalu, mengapa harus melumurkan darah mengotori tangan, yang akhirnya hanya menimbulkan kesulitan bagi diri sendiri? Kata-kata pinto hanya sekian saja, makna yang terkandung di dalamnya, hanya Sicu sendiri yang harus mencari pengertiannya.”

Mendengar ucapannya, Kaucu Pek Kut Kau itu mengerlingkan matanya beberapa kali kemudian tiba-tiba membelalak, seakan ingin membalas sindiran Tian Bu Cu. Akhirnya dia hanya mendengus keras-keras dan kembali memejamkan matanya.

Meskipun Tian Bu Cu berniat mengembalikan Kaucu Pek Kut Kau itu dari jalan yang sesat, namun melihat orang tidak memberikan reaksi apa-apa atas ucapannya, akhirnya dia hanya bisa menarik nafas panjang kemudian pergi meninggalkan tempat tersebut.

****

Sementara itu, Liang Fu Yong dan Mei Ling memapah tubuh si pengemis sakti Cian Cong yang nafasnya tinggal satu-satu. Mereka berlari dengan kencang, mendaki bukit bagai berjalan di tanah datar saja. Dalam waktu singkat mereka sudah memasuki lembah pegunungan. Di kedua sisi tampak puncak gunung menjulang tinggi, mungkin mencapai ribuan depa. Mereka menembus celah-celah yang sempit lalu mengitari beberapa belokan terjal. Tiba-tiba pemandangan jadi berubah.

Di depan mata sekarang terlihat sebidang tanah luas dengan rerumputan yang subur tumbuh di atasnya. Kecuali jalan setapak yang mereka lalui pertama-tama, seluruh area di sana merupakan daerah perbukitan yang indah.

Liang Fu Yong dan Mei Ling saling lirik sekilas, mereka lalu merebahkan si pengemis sakti Cian Cong di tanah rerumputan. Saat ini hari sudah mulai gelap, sedangkan tempat seperti itu hawanya lebih dingin dari dataran rendah. Liang Fu Yong khawatir orangtua itu akan kedinginan sehingga menambah parah luka yang dideritanya. Lantas saja dia cepat- cepat mencari ranting pohon dan batang bambu yang sudah agak kering lalu menyalahkan
api unggun untuk memperoleh sedikit kehangatan. Liu Mei Ling malah duduk di atas sebuah batu hijau yang besar dan menatap si pengemis sakti Cian Cong dengan tampang kebingungan.

Tiba-tiba orangtua itu membuka matanya perlahan-lahan. Tampak sinar matanya sudah mulai redup tanpa cahaya yang berkilauan seperti biasanya. Melihat kedua gadis cantik duduk di sampingnya, dia langsung menggeleng-gelengkan kepalanya.

“Tempat apa ini, mengapa kalian membawa si pengemis tua ke mari? Isi perutku sudah tergetar hebat sehingga terluka parah, belum lagi ditambah lima batang jarum yang beracun. Biar bagaimana aku pasti sulit melewati malam ini. Meskipun ada obat mujarab yang dapat mengembalikan selembar nyawa si pengemis tua ini, kalian juga tidak perlu bercapai diri lagi.”

Melihat orangtua itu masih dapat berbicara, hati Liang Fu Yong jadi agak gembira.
Wajahnya, yang tadinya bermuram durja sekarang jadi mulai berseri. Dia segera menuangkan semangkok air dan menyodorkannya ke hadapan orangtua itu.

“Meskipun luka yang Locianpwe derita cukup parah, tetapi dengan kedatangan Tian Bu Cu Locianpwe, maka pasti dapat disembuhkan. Minumlah dulu air ini, dia orangtua sebentar lagi akan menyusul ke mari.”

Cian Cong mengerlingkan matanya ke sana ke mari, tampangnya seperti orang yang bimbang.

“Si hidung kerbau itu paling susah disuruh meninggalkan Bu Tong San, mengapa tiba- tiba bisa datang ke mari?”

Rupanya luka Cian Cong tadi terlalu parah. Ketika dia memejamkan matanya menanti ke-matian di tangan manusia berpakaian hitam, tahu-tahu dia tidak dapat mempertahankan diri lagi sehingga jatuh tidak sadarkan diri. Oleh karena itu, dia sama sekali tidak tahu bahwa Tian Bu Cu yang telah menolong dirinya dari maut.

Sepasang mata Liang Fu Yong mulai mengembangkan air. Dia langsung menceritakan kembali bagaimana Tian Bu Cu mementalkan si manusia berpakaian hitam sampai akhirnya mereka disuruh membawa Cian Cong pergi meninggalkan tempat si iblis Oey Kang.

Dari seorang perempuan yang binal, Liang Fu Yong berubah menjadi perempuan yang baik budi dan suka menolong orang lain. Biarpun dirinya memang sudah bertekad untuk merubah jalan hidupnya, tetapi dia juga banyak menerima wejangan dari mulut si pengemis sakti Cian Cong. Sambil berbicara, air matanya terus mengalir, bahkan semakin lama semakin deras.

Cian Cong tertawa sumbang melihatnya.

“Kau bocah perempuan ini memang keterlaluan, buat apa menangis? Hidup ada tempatnya, menangispun harus ada alasannya. Semua yang ada di dunia ini telah ditakdirkan garisnya oleh Thian yang kuasa. Seumur hidup si pengemis tua ini berkeliaran di dunia Kangouw, orang yang terbunuh oleh sepasang tangan ini juga sudah tidak terkira banyaknya. Kalau usia sudah di atas tujuh puluh tahun, buat apa lagi menyesalkan datangnya kematian…” berkata sampai di sini, tiba-tiba ucapannya terhenti.

Liang Fu Yong dan Mei Ling segera mendongakkan wajahnya. Mereka melihat mata si pengemis sakti Cian Cong sudah terpejam rapat, kali ini rasa terkejut dalam hati mereka tak perlu ditanyakan lagi. Serentak mereka memanggil dengan suara lirih…

“Locianpwe!”

Kedua orang itu memanggil beberapa kali berturut-turut, Sin-kai (si pengemis sakti) Cian Cong sudah tidak mempunyai tenaga untuk menjawab. Dia hanya menggerakan matanya sedikit kemudian terpejam lagi rapat-rapat. Begitu paniknya kedua gadis itu sehingga air mata mereka bercucuran dengan deras.

Justru ketika sedang kelabakan setengah mati dan tidak tahu apa yang harus diperbuat, tiba-tiba telinga mereka menangkap suara langkah kaki mendatangi. Dari jalan setapak yang mereka lalui tadi, tampak si tokoh sakti dari Bu Tong Pai, Tian Bu Cu dan seorang pemuda yang tampan namun berwajah murung serta kusut, yakni Tan Ki, sedang menuju ke tempat mereka berada. Sudah pasti Tan Ki telah mendapat kabar tentang Cian Cong yang terluka parah dari mulut Tian Bu Cu.

Di hadapan si pengemis sakti Cian Cong yang sedang terluka parah, Liang Fu Yong dan Mei Ling tidak berani menunjukkan perasaan rindunya kepada Tan Ki. Hal ini pasti bisa menimbulkan kesalahpahaman bagi Tian Bu Cu yang melihatnya. Mereka hanya mengerling sekilas ke arah pemuda itu lalu menundukkan kepalanya kembali.

Tian Bu Cu segera maju ke depan melihat keadaan Cian Cong. Dia mengulurkan tangannya meraba dada kemudian nadi orangtua itu. Sepasang alisnya langsung berkerut. Dari dalam lengan jubahnya yang longgar, dia segera mengeluarkan sebutir pil berwarna merah lalu memerintahkan Tan Ki menyuapkannya ke mulut Cian Cong. Setelah itu baru dia memeriksa luka luarnya dengan hati-hati.

Pada saat itu, racun yang terdapat pada lima lubang luka di kedua pundak si pengemis sakti sudah mulai bereaksi. Setiap lukanya sudah berubah menjadi bundaran seperti logam berwarna ungu. Tian Bu Cu langsung menghimpun hawa murninya lalu menempelkan telapak tangannya di luka tersebut untuk menyedot keluar kelima batang jarum beracun tersebut. Dia lalu menaburkan obat seperti bubuk di atas luka-luka itu. Akhirnya dia menyuruh Tan Ki mengambil air dan menjerangkan air panas.

Tan Ki segera melaksanakan apa yang diperintahkan. Sesaat kemudian tampak anak muda itu sudah menghadapi api unggun sambil memasak air panas.

“Kalau menurut penglihatan Locianpwe, apakah luka yang Cian Locianpwe derita ada harapan besar untuk sembuh kembali seperti sediakala?”

Tian Bu Cu menggelengkan kepalanya.

“Isi perutnya sudah tergetar hebat, ilmu silatnya hampir musnah. Lagipula dia menggunakan sisa hawa murninya yang terakhir untuk melakukan penyerangan. Hal ini membuat hawa murninya yang memang hanya tinggal sedikit itu jadi membuyar. Apakah nyawanya masih bisa diselamatkan, masih merupakan suatu pertanyaan. Meskipun dia bisa hidup kembali, tetapi tenaga dalamnya sudah pasti lenyap. Untuk seumur hidup, jangan harap dapat berlatih ilmu silat lagi.”
Tampang Tan Ki semakin sedih dan kuyu.

“Benarkah tidak ada harapan sama sekali? Cian Locianpwe justru datang ke Pek To San karena ingin mencari Ki-ji. Kalau dikatakan, justru Ki-ji yang mencelakainya sehingga terluka sedemikan parah. Kalau dia tidak bisa disembuhkan lagi, Ki-ji pasti akan menyesal seumur hidup. Locianpwe, carilah akal untuk menolongnya agar pulih kembali.” ketika mengucapkan kata-kata yang terakhir, tanpa dapat ditahan lagi, air mata Tan Ki berderai dengan deras, wajahnya menunjukkan rasa-panik yang tidak terkirakan.

Tian Bu Cu menarik nafas panjang.

“Kau ini memang paling-paling. Kalau masih bisa ditolong, masa aku hanya duduk saja diam-diam?” dia berhenti sejenak, kemudian sepasang tangannya dikibaskan. “Kalian bertiga jalan-jalan dulu ke belakang bukit sana. Biar aku menenangkan pikiran mencari jalan keluar…” tanpa menunggu jawaban dari Tan Ki, orangtua itu langsung menjatuhkan dirinya di samping Cian Cong dan duduk bersila dengan mata terpejam.

Mendengar ucapannya, mula-mula Tan Ki agak tertegun. Kemudian dia mengiakan dan mengajak gadis itu berjalan menuju belakang bukit. Pemandangan malam di daerah perbukitan mempunyai keindahan tersendiri. Apalagi saat ini, hari belum seluruhnya gelap. Di ujung langit masih tersisa segaris cahaya keemasan. Begitu mempesonakan laksana selembar lukisan karya seniman-seniman terkenal. Angin sejuk bertiup dari arah depan, pikiranpun menjadi nyaman seketika.

Tan Ki merasa kelelahannya selama beberapa hari berturut-turut karena mengalami berbagai kejadian hebat menjadi lenyap seketika. Dia memalingkan wajahnya menatap Mei Ling kemudian beralih lagi memandang Liang Fu Yong. Yang satu berwajah cantik dan halus seperti anak-anak, bertubuh padat tapi tidak gemuk. Sedangkan yang satunya lagi agak kurus namun menampilkan kesan kecantikan seorang wanita yang sudah matang.
Kedua-duanya semakin dilihat semakin menawan. Tanpa terasa dia mengulurkan sepasang tangannya dan menggandeng kedua gadis itu di kiri kanan. Bibirnya mengembangkan seulas senyum kebahagiaan.

“Dapat memperoleh cinta kasih serta perhatian cici berdua, siaute rasanya ketiban rembulan dan bagai hidup dalam surga tingkat sembilan…”

Liang Fu Yong mencibirkan bibirnya.

“Lihat tebalnya mukamu itu, kata-kata seperti itu sanggup dicetuskan. Dendam kematian ayah belum terbalas, beban berat masih belum terlepas dari pundak. Semua orang sudah dibikin sibuk sedemikian rupa, ceroboh sedikit saja malah ada bahaya yang menyangkut selembar nyawa. Dalam keadaan sekarang, Cian Locianpwe justru memikirkan keselamatan dirimu sehingga tidak memperdulikan dirinya yang menjabat sebagai panitia penyelenggara Bulim Tayhwe, menyusulmu ke Pek To San. Saat ini ia malah terluka begini parah, tetapi kau masih mempunyai kegembiraan hati memikirkan…”

Mata Tan Ki membelalak lebar-lebar. Melihat mata Liang Fu Yong yang sudah mengembangkan air mata, dia langsung terlonjak kaget.

“Cici, kenapa kau menangis? Aku hanya teringat cinta kasih dan perhatian yang kau berikan padaku beberapa waktu yang lalu dan tanpa sengaja mencetuskan perasaan hati. Aku sama sekali tidak berniat membuat Cici menjadi sedih sedemikian rupa.”

Air mata Liang Fu Yong malah mengalir semakin deras mendengar perkataannya.

“Kalau kau masih bisa mengingat kenangan yang lalu, seharusnya kau tahu siapa diriku ini…”

Tan Ki menggelengkan kepalanya sambil tersenyum.

“Saat dulu sudah lewat, sekarang lain lagi. Masing-masing mempunyai situasi yang berbeda. Kau tidak boleh membanding-bandingkannya lagi. Apakah kau tahu apa isi surat yang diberikan oleh Tian Bu Cu Locianpwe agar kau sampaikan kepada Cian Locianpwe?”

Liang Fu Yong menggelengkan kepalanya.

“Aku masih ingat dengan jelas. Tian Bu Cu Locianpwe menyuruh aku menyampaikannya pada Cian Locianpwe. Benda milik orang lain, mana boleh sembarang kita membuka dan membaca isinya. Tentang apa yang tertulis di dalamnya, sudah barang tentu aku tidak dapat menduga.”

Tawa Tan Ki semakin lebar.

“Biar aku memberitahukannya kepadamu. Di dalam surat itu tertulis jelas bahwa Cian Locianpwe harus memperhatikan gerak-gerikmu. Apabila kau benar-benar dapat berubah menjadi orang baik-baik dan tidak mengulangi lagi perbuatanmu yang dulu, maka orangtua itu berniat menerima engkau sebagai muridnya.”

Mendengar kata-kata Tan Ki, tubuh Liang Fu Yong langsung bergetar sedikit. Hatinya merasa terkejut sekaligus gembira.

“Apakah semua yang kau katakan ini benar?”

Beberapa kata yang singkat tercetus dari mulutnya, namun memerlukan waktu yang cukup lama karena dia menanyakan dengan sepatah-sepatah. Hal ini membuktikan bahwa perasaan gadis ini demikian terharunya sehingga hampir tidak sanggup mengucapkan kata-kata dengan sempurna.

Sekali lagi Tan Ki tersenyum lembut.

“Selamanya Siaute paling tidak suka berdusta. Penjelasan terperincinya bagaimana, kelak kau akan tahu sendiri dan bagaimana kau bisa bertemu dengan Locianpwe ini?”

Mula-mulanya aku bersama Liang Cici melihat pesan yang ditinggalkan oleh si pengemis cilik Cu Cia. Saking paniknya kami sampai menangis kebingungan. Kau ini memang paling egois, melakukan hal apapun selalu tidak pernah berpikir panjang dulu, juga tidak perduli bagaimana perasaan orang mengetahui kau tiba-tiba mengikuti Oey Kang ke Pek To San.” kata Mei Ling sambil pura-pura mendelik kepadanya. Tan Ki tertawa getir.

“Sejak aku tahu siapa musuh besarku yang sebenarnya, hawa amarah di dalam dada ini hampir meledak. Rasanya aku tidak dapat mengendalikan perasaanku lagi. Ingin sekali aku menghantam mati Oey Kang dalam satu gebrakan, sehingga aku dapat membalaskan dendam bagi kematian ayahku yang tragis. Tetapi aku benar-benar tidak tahu kalau iblis itu sudah mempunyai rencana yang jahat. Dia sengaja memanas-manasi hatiku, agar aku
terperangkap dalam siasat yang dijalankannya. Dia tahu ibuku pasti mencemaskan keadaanku dan tanpa berpikir panjang lagi akan menyusul aku ke Pek To San.” perlahan- lahan dia menarik nafas panjang baru kemudian melanjutkan kembali. “Saat itu, aku hanya mengikuti hawa emosi yang ada di hati. Tanpa memperdulikan hal lainnya, kuikuti Oey Kang yang mengajakku bertarung di Pek To San. Sebelum aku sempat masuk ke pintu gerbang perkampungan tersebut, Tian Bu Cu Locianpwe tiba-tiba muncul di sana dan memerintahkan agar aku berhenti sebentar. Kemudian orangtua itu memberitahukan kepadaku tentang rencana jahat Oey Kang. Dengan demikian aku baru tersadar. Aih, seseorang apabila sudah mengalami sesuatu, pengetahuannya serta pengalamannya baru bisa bertambah. Siaute tidak menyangka karena urusan ini malah membuat Cici berdua jadi berduka, lain kali aku tidak akan sembrono lagi.”

Liu Mei Ling mendengar nada bicaranya begitu polos dan kekanak-kanakan, tanpa dapat ditahan lagi dia jadi tertawa geli.

“Sekarang kau baru mengucapakan kata-kata seperti itu, bukankah sudah agak terlambat. Karena urusanmu, Ibu cepat-cepat menyusul. Kemungkinan besar mereka sudah sampai di Pek To San sekarang.”

Mendengar kata-katanya, Tan Ki tiba-tiba teringat akan sesuatu hal.

“Tadi kalian bilang bahwa kalian bisa menyusul ke tempat ini karena menemukan pesan yang ditulis oleh Cu Hengte. Kalau begitu seharusnya Ibu dan Cu Hengte sekalian lebih dahulu sampai di Pek To San daripada kalian. Mengapa sekarang berbalik mereka yang tertinggal di belakang, sedangkan kalian sudah sepanjang hari sampai di sini, memangnya kalian bisa terbang?” tanyanya penasaran.

“Apa yang kau duga sedikitpun tidak salah. Ketika aku dan Liang Cici baru meninggalkan Tok Liong-hong, kami berdua menemui suatu kejadian yang ajaib. Ada seorang gadis cilik berusia kurang lebih enam belasan tahun. Dia menunggang seekor elang raksasa yang warna bulunya indah sekali. Dialah yang mengantar kami ke Pek To San…”

Belum lagi ucapannya selesai, tiba-tiba dari atas kepala terdengar suara panggilan yang merdu, “Nona…! Nona…!”

Tan Ki dan Mei Ling mendongakkan kepalanya dalam waktu yang bersamaan. Tampak seekor burung kakaktua yang bulunya berwarna hijau berkilauan sedang bertengger di atas sebatang pohon yang jaraknya tidak jauh dari tempat mereka berada. Tan Ki melihat burung itu sangat lucu dan pandai pula berbicara bahasa manusia. Saat itu juga jiwa kekanak-kanakannya timbul kembali. Dia mengeluarkan sebuah bola besi berbentuk kecil dari dalam sakunya.

“Mei Ling, burung itu sungguh indah, biar aku timpuk dia supaya jatuh ke bawah dan akan kuhadiahkan sebagai mainan untukmu.”

Wajah Mei Ling langsung berubah mendengar ucapannya. “Tan Koko, jangan…!”
Baru mengucapkan sepatah kata, namun sudah terlambat. Senjata rahasia di tangan Tan Ki sudah disambitkan keluar, melesat bagai bintang yang meluncur dan bercahaya terang serta dengan cepat terbang ke atas.

Burung kakaktua itu masih belum tahu kalau ada seseorang yang membokong dirinya.
Apalagi Tan Ki menimpuknya dengan tenaga dalam yang sudah dikerahkan ke pergelangan tangan. Ketika burung kakaktua itu menyadari adanya bahaya, ia segera mengepakkan sayapnya terbang ke atas, tetapi senjata rahasia yang meluncur cepat itu sudah mencapai sasarannya. Dengan tepat menghantam sayap kirinya. Tampak kilauan berwarna hijau bergerak, beberapa helai bulunya langsung rontok dan berjatuhan ke bawah. Hembusan angin membuat bulu-bulu itu melayang-layang, indah sekali.

Begitu sayapnya terkena senjata rahasia Tan Ki, tubuh burung kakaktua itu agak limbung kemudian jatuh ke bawah kurang lebih lima depa, tetapi dalam sekejap mata dia mengepakkan sayapnya kembali dan langsung terbang pergi.

Tan Ki berlari ke depan kemudian memunguti beberapa helai bulu yang terjatuh di atas tanah, dia melihat ada bekas darah pada bulu-bulu itu. Dia jadi menarik nafas panjang berkali-kali.

“Sayang sekali, tidak disangka burung sekecil itu memiliki tenaga demikian kuat. Dalam keadaan terluka dia masih sanggup mengepakkan sayapnya untuk melarikan diri. Aku justru tidak berani menimpuk Bagian tubuh yang membahayakan…” di saat berkata tanpa sengaja dia mendongakkan wajahnya, tiba-tiba dia melihat Mei Ling berdiri memandanginya dengan termangu-mangu. Wajahnya murung sekali dan matanya tidak berkedip menatap ke arah bulu-bulu di tangannya.

Melihat sikap istri yang baru dinikahinya itu, Tan Ki merasa heran sekali. “Mei Ling, kenapa kau?”
Perlahan-lahan Mei Ling menarik nafas satu, kali. Sepasang alisnya mengerut. “Kau sudah mendatangkan bencana besar!”
Tan Ki jadi tertegun.

“Apa? Masa menimpuk seekor burung dengan senjata rahasia saja bisa mendatangkan bencana besar?”

Liang Fu Yong mengulurkan tangannya menyambut beberapa helai bulu dari tangan Tan Ki. Lambat laun mimik wajahnya menjadi kelam luar biasa. Tan Ki semakin heran melihat sikap kedua gadis itu. Baru saja dia ingin bertanya, tiba-tiba Liang Fu Yong sudah mendongakkan wajahnya dan mengajukan pertanyaan kepada Mei Ling, “Apakah adik Ling sudah melihat dengan jelas bahwa burung tadi sama dengan burung yang kita lihat itu?”

Mei Ling menganggukkan kepalanya dengan tegas.

“Malam itu ketika bertemu dengan si gadis berpakaian putih yang misterius, Siaumoay sudah menanam kesan yang dalam. Burung kakaktua bernama Liok Giok yang bertengger di atas bahunya lebih-lebih tidak pernah Siaumoay lupakan. Sayangnya Tan Koko bergerak terlalu cepat sehingga Siaumoay tidak keburu lagi mencegahnya.”

Sekali lagi dia menarik nafas panjang-panjang. Melihat mimik wajah Liang Fu Yong yang menyiratkan kepanikan dan saat ini sedang memejamkan matanya merenung, Mei Ling melanjutkan lagi kata-katanya, “Siaumoay dengar dari budaknya yang bernama Mei Hun bahwa majikannya ingin pergi ke Thai San melihat matahari terbit. Mengapa orangnya sudah pergi, burungnya malah tetap tertinggal di sini?”

Liang Fu Yong menggelengkan kepalanya.

“Manusia-manusia yang aneh seperti kaum dewata ini, selalu melakukan tindakan yang tidak terduga oleh pikiran kita. Apalagi gadis berpakaian putih yang wajahnya tertutup cadar itu. Dirinya benar-benar mirip dengan dewi-dewi yang sering kita lihat dalam lukisan-lukisan. Penampilannya begitu anggun dan suci. Mungkin Tian Bu Cu Locianpwe yang disebut manusia setengah dewa juga tidak dapat menandinginya. Sekarang urusan sudah terlanjur. Ibarat nasi sudah menjadi bubur, yang dapat kita lakukan hanya melihat
perkembangannya saja. Tetapi sebelumnya lebih baik kita ceritakan urusan ini kepada Tian Bu Cu Locianpwe, mungkin kita bisa merundingkan sesuatu sebagai jalan keluar yang baik. Orangtua itu berpengetahuan luas, hampir seluruh wilayah di Tionggoan ini sudah dijelajahinya. Siapa tahu majikan pemilik burung kakaktua itu pernah berjodoh dengannya sehingga saling mengenal atau setidaknya Tian Bu Cu Locianpwe pernah mendengar tokoh yang satu ini.”

Tan Ki mendengar kedua gadis itu berbicara, setiap ucapan mereka seakan mengandung makna yang dalam. Lagipula wajah mereka begitu murung sehingga sekali lihat saja dapat diketahui bahwa mereka benar-benar mencemaskan suatu masalah yang serius. Tanpa dapat ditahan lagi matanya membelalak lebar-lebar. Dia menatap Mei Ling beberapa saat kemudian tatapan matanya beralih kepada Liang Fu Yong. Wajahnya menampilkan kesan seperti orang yang kebingungan.

Liang Fu Yong memandang Tan Ki sambil tersenyum simpul.

“Adik Ki, burung yang tadi kau timpuk dengan senjata rahasia bernama Liok Giok. Burung itu merupakan peliharaan seorang manusia yang sangat misterius. Malam itu ketika kami mencari jejakmu, kami berlari sejauh empat puluh li dan sampai di sebuah lembah yang terpencil. Kebetulan kami bertemu dengan seorang gadis berpakaian putih dan pelayannya yang sedang duduk beristirahat. Karena kebaikkannya, kami diantarkan ke Pek Hun-ceng dengan menunggang seekor elang raksasa. Perjalanan sejauh ribuan li dapat ditempuh oleh binatang itu dalam waktu yang singkat. Bahkan Cian Locianpwe yang sudah berangkat lebih dulu setengah hari sebelum kami, masih belum sampai juga.”

Mendengar nada ucapan Liang Fu Yong, tampaknya dia sangat menghormati si gadis berpakaian putih. Hatinya mulai merasa urusan ini memang luar biasa sekali. Sejak berkecimpung di dunia persilatan sampai sekarang, waktunya sudah lebih dari setengah ta-hun. Secara berturut-turut dia menemui tokoh-tokoh yang aneh dan memiliki ilmu tinggi. Wataknya tidak sekeras dan seangkuh dulu lagi. Setelah mendengar keterangan Liang Fu Yong, sepasang alisnya langsung terjungkit ke atas.

“Meskipun Siaute menimpuk burung peliharaannya sehingga terluka, tetapi aku bukan melakukannya dengan sengaja. Seandainya dia memang seorang locianpwe yang termasuk tokoh sakti dan misterius. Rasanya masih bisa dijelaskan secara baik-baik.”
Seraya berbicara, ketiga orang itu berjalan menuju tempat semula. Tampak si pengemis sakti sedang bersandar pada sebuah batu besar dan beristirahat dengan mata terpejam.
Wajahnya yang pucat pasi menandakan bahwa luka yang dideritanya masih belum menunjukkan perubahan apa-apa. Sedangkan Tian Bu Cu duduk di sampingnya termenung-menung tanpa mengucapkan sepatah katapun. Sejak mengetahui bahwa tokoh aneh yang memiliki ilmu tinggi ini sedang menguji ketabahannya dengan maksud ingin menerimanya sebagai murid, Liang Fu Yong terlebih-lebih tidak berani banyak bertingkah. Dengan sopan dan tenang dia berdiri di samping dan membiarkan Mei Ling yang menceritakan tentang diri Tan Ki secara tidak sengaja menimpuk Liok Giok sehingga terluka. Mei Ling mengisahkan semuanya secara terperinci dan juga memberitahukan raut wajah dan tampang si gadis berpakaian putih beserta pelayannya. Tentu saja Mei Ling tidak dapat melihat jelas wajah si gadis berpakaian putih karena tertutup sehelai cadar yang tipis.

Tian Bu Cu memejamkan matanya menguras otak beberapa saat, tetapi dia tetap tidak dapat menduga asal-usul gadis tersebut, kemudian dia membuka matanya kembali sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.

“Kalau benar apa yang kalian katakan, maka gadis berpakaian putih itu pasti mempunyai riwayat hidup yang hebat. Asal-usulnya pasti luar biasa sekali. Tetapi saat ini, di seluruh sungai telaga, baik utara maupun Selatan, rasanya tidak ada tokoh seperti yang kalian…” berkata sampai di sini, tiba-tiba sepasang alisnya berkerut dan ucapannya langsung terhenti.

Tiba-tiba dari angkasa terdengar suara pekikan yang aneh, kumandangnya terdengar sampai jauh dan suaranya bening nyaring. Wajah Liu Mei Ling dan Liang Fu Yong berubah seketika mendengarnya. Cian Cong dan Tan Ki tampaknya sudah merasa kehadiran sesuatu yang mengejutkan. Menyusul kemudian suara siulan yang panjang dan tidak terhenti-henti. Di balik suara tersebut juga terdengar suara keliningan yang terus berdenting. Tian Bu Cu mengibaskan lengan pakaiannya lalu melonjak bangun.

Dalam sekejap mata, di antara pepohonan yang lebat di sebelah selatan terdengar suara seorang gadis yang bening dan kekanak-ka-nakkan.

“Siapa orangnya yang melukai Liok Giok peliharaan majikanku? Cepat keluar dan jawab pertanyaanku!”

Sepasang alis mata Tan Ki langsung terjangkit ke atas. Baru saja dia ingin membuka mulut, Liang Fu Yong sudah menarik lengannya dengan gugup. Gadis itu membisikkan beberapa patah kata, akhirnya Tan Ki dapat juga menahan hawa emosi dalam hatinya.

Kemudian terdengar suara angin kencang menderu-deru. Di hadapan mereka telah berdiri seorang gadis remaja dengan rambut dikepang dua dan mengenakan pakaian berwarna hijau. Wajahnya cantik sekali, usianya paling banter enam belasan tahun, bibirnya merah dan mungil. Tetapi ketika dia melihat Mei Ling dan Liang Fu Yong yang berdiri di samping Tian Bu Cu, perasaan marah langsung tersirat di wajahnya. Matanya mendelik lebar-lebar.

“Aku kira siapa orangnya, ternyata rombongan kalian. Malam itu di lembah yang terpencil, dengan baik hati kami mengantarmu ke mari. Sekarang air susu malah dibalas dengan air tuba. Dasar manusia tidak mengenal budi. Memangnya apa kesalahan Liok Giok kepada kalian sehingga kalian sampai hati melukainya sedemikian rupa. Kalian benar-
benar tidak boleh diberi ampun! Siapa yang melukainya cepat menggelinding keluar, aku akan mematahkan sebuah lengannya untuk membalaskan dendam bagi Liok Giok!”

Tian Bu Cu mendengar ucapan gadis remaja itu sangat ketus dan tajam menusuk.
Sikapnya malah semakin tenang dan lembut.

“Mohon tanya kepada Nona kecil ini, entah siapa nama majikanmu yang mulia? Entah berasal dari perguruan mana? Siapa tahu Pinto dengan dia pernah berjodoh sehingga pernah saling mengenal di suatu tempat. Kalau Nona kecil ini bisa memberitahukan, biar Pinto yang tampil dan menjelaskan urusan ini kepadanya. Jangan sampai gara-gara seekor burung saja, hubungan persahabatan jadi retak.”

Sepasang mata gadis itu mengerling ke sana ke mari sekilas. Kemudian berhenti pada wajah Tian Bu Cu.

“Majikanku tidak mungkin saling mengenal dengan kalian. Kau juga tidak usah ikut campur dalam urusan ini. Aku juga tidak ada waktu bersilat lidah denganmu. Pokoknya siapa yang melukai Liok Giok, cepat keluar! Jangan sampai aku melukai orang yang tidak ada sangkut pautnya dengan masalah ini!”

Ucapannya ini benar-benar menusuk, boleh dibilang sangat menghina. Tan Ki yang mendengarnya tidak dapat menahan kesal lagi. Dia segera melangkah lebar ke depan dan berdiri dengan dada membusung.

“Berapa sih harganya seekor burung? Mengapa kau demikian kasar dan sombong.
Kalau burung itu memang peliharaan kalian, seharusnya kalian kurung dia dalam sangkar dan jangan biarkan dia bebas berkeliaran ke mana-mana. Cayhe memang yang menimpuknya dengan senjata rahasia, tetapi aku tidak sengaja. Apakah majikanmu orang yang sama sekali tidak ada pengertiannya?” sahutnya dengan nada sinis.

Gadis berpakaian hijau itu mendengus dingin satu kali. Tampak tubuhnya berkelebat dan tahu-tahu orangnya sudah menerjang datang. Dengan jurus Angin Menghembus Dedaunan Rontok, serangannya dengan hebat meluncur ke arah Tan Ki. Gerakannya gesit dan ringan, kecepatannya bagai kilat.

Tan Ki hanya merasa ada segulung angin berbau harum yang menerpa ke arahnya. Gadis itu sudah menerjang ke arahnya. Dalam sesaat itu apabila dia ingin mengerahkan jurus menangkis, tentu tidak sempat lagi. Cepat-cepat dia memiringkan tubuhnya kemudian menerobos keluar ke sebelah kiri.

Tian Bu Cu mengibas lengan jubahnya, serangkum angin yang kencang langsung terpancar keluar. Meskipun gadis berpakaian hijau itu memiliki berbagai ilmu serta kepandaian yang aneh-aneh, tetapi dia belum mengerahkannya. Satu hal yang pasti, kekuatan tenaga dalamnya masih terpaut jauh apabila dibandingkan dengan Tian Bu Cu. Begitu angin pukulan memancar, kain pengikat pinggangnya sampai melambai-lambai, orangnya sendiri sampai tergetar mundur satu langkah. Seandainya Tian Bu Cu tidak melihat keadaan yang mendesak sehingga terpaksa turun tangan, kemungkinan besar Tan Ki sulit meloloskan diri dari pukulan gadis tersebut.

Gadis berpakaian hijau itu tampaknya tidak menyangka kalau tosu tua yang ada di hadapannya mempunyai kekuatan tenaga dalam yang begitu dahsyat. Untuk sesaat dia jadi termangu-mangu.

Tian Bu Cu mengembangkan seulas senyuman yang lembut.

“Usiamu masih begitu muda, mana boleh sembarangan bergerak melukai orang?
Melukai seekor burung kakaktua, meskipun merupakan binatang peliharaan yang paling disayangi oleh majikanmu, tetap harus dilihat dari alasannya. Masa benar-benar ingin orang menggantinya dengan selembar nyawa?”

Sejak mengetahui urusan, si gadis berpa-kain hijau belum pernah menemukan lawannya. Kecuali sering dikalahkan oleh majikannya sendiri, mana pernah dia kena batunya seperti sekarang ini? Begitu kesalnya gadis itu sehingga kelopak matanya menjadi merah dan hampir mengeluarkan suara tangisan yang meraung-raung. Setelah membentak keras, tubuhnya kembali menerjang ke depan. Sasarannya kali ini bukan lagi Tan Ki, melainkan tokoh sakti dari Bu Tong San, Tian Bu Cu.

Tangan kiri mengerahkan jurus Naga Mengibaskan Ekor, sedangkan tangan kanan mengerahkan jurus Petir Menyambar Atap Ramah. Kedua serangan itu dilancarkan dalam waktu yang bersamaan. Baru saja terlihat pakaiannya yang berwarna hijau berkelebat, tahu-tahu kedua serangannya sudah meluncur tiba.

Tian Bu Cu melihat gerakan tangannya begitu gesit dan cepat bagai kilat. Tanpa terasa hatinya juga bergetar. Cepat-cepat dia mengangkat jubahnya dan mencelat mundur sejauh tiga langkah.

Tiba-tiba terlihat gadis berpakaian hijau itu melesat ke udara. Di tengah-tengah tubuhnya berjungkir balik dengan kepala di bawah dari kaki di atas. Dia meluncur turun dengan gerakan berputar dan melintir-lintir seperti gasing dan tahu-tahu bayangan tubuhnya seperti menjadi banyak bahkan tak terhitung jumlahnya.

Meskipun Tian Bu Cu merupakan seorang tokoh Bulim yang dapat dianggap sebagai salah satu yang tersakti saat ini dan mempunyai pengetahuan yang maha luas, namun dia tidak dapat menduga jurus apa yang dimainkan gadis itu. Terpaksa dia mengibaskan lengan jubahnya dan mengerahkan sebuah jurus yang telah membuat namanya menjadi terkenal yakni Kibasan Lengan Besi. Serangkum angin yang kencang terpancar keluar dari kibasan lengan jubahnya dan dihantamkan ke arah bayangan-bayangan yang terlihat di udara.

Kibasan Lengan besi merupakan salah satu ilmu pusaka dalam Bu Tong Pai. Seluruh kekuatan tenaga dalam dikerahkan ke lengan baju sehingga kaku bagai lempengan besi. Bukan hanya kekuatannya yang hebat dan aneh, setiap kali sudah mendekat pasti sulit dihindari, lagipula angin yang terpancar keluar juga tajam bagai gunting. Lawan yang terhantam tenaga tersebut, besar kemungkinan akan melayang nyawanya.

Watak gadis itu terlalu sombong, dia tidak sudi mengalah begitu saja. Saat ini diam- diam dia mengerahkan tenaga dalamnya ke telapak tangan sehingga memberat ke bawah dan bagai kilat dia menyambut serangan tersebut.

Begitu kedua kekuatan saling membentur, hati gadis berpakaian hijau itu langsung tergetar. Hampir saja dia tidak dapat mempertahankan diri. Sekarang dia baru sadar bahwa kekuatan tenaga dalamnya masih terpaut jauh dengan tosu tua tersebut. Cepat- cepat dia menghimpun hawa murninya untuk melindungi tubuh dan berjungkir balik sekali lagi. Dengan membiarkan dirinya didorong oleh kekuatan tenaga Tian Bu Cu,,tubuhnya
melayang lagi ke atas, kemudian pada jarak kurang lebih tiga empat depaan baru melayang turun kembali.

Meskipun ilmu Kibasan Lengan Besi milik Tian Bu Cu ini mempunyai pengaruh kekuatan yang hebat, tetapi juga memboroskan hawa murni. Selesai mengerahkannya, wajah orangtua itu tampak agak berubah. Cepat-cepat dia menarik nafas panjang-panjang kemudian memejamkan matanya sambil mengatur pernafasan dan tidak berani langsung melancarkan serangan.

Tiba-tiba setitik sinar terang sepert berkelebat dalam benaknya. Dia teringat akan seseorang dan sepasang matanya langsung terbuka lebar-lebar.

“Apakah kau murid dari Ming San Sinni (Rahib suci dari Ming San) Fu Goat Taisu?” Tampak si gadis itu agak tertegun beberapa saat.
“Ilmu agama Sinni tiada batasnya, bagaimana mungkin beliau mempunyai seorang murid seperti aku ini? Aku…” tiba-tiba, dia menghentikan kata-katanya, seolah ada sesuatu yang kurang tepat. Cepat-cepat dia menghentikan ucapannya dan mengibaskan kepang rambutnya ke belakang. Setelah terdiam beberapa saat dia melanjutkan kembali kata- katanya, “Kau tidak usah perduli siapa diriku ini. Aku hanya ingin membawa orang yang melukai Liok Giok. Kalau kau tosu tua masih mencoba menghalangi, aku benar-benar akan mengadu jiwa denganmu!”

Tian Bu Cu tersenyum lembut. Belum lagi sempat dia membuka mulut, Tan Ki sudah berjalan keluar dengan mimik wajah menunjukkan kemarahan hatinya.
“Kau gadis cilik ini memang hebat sekali. Entah ke mana kau akan membawa diriku?” “Liok Giok adalah burung kesayangan majikanku. Orang dari rombongan kalian yang
melukainya, sedangkan luka yang dideritanya parah sekali. Aku telah melayani majikanku
selama bertahun-tahun, tetapi belum pernah ‘aku melihat beliau begitu marah. Tadi kau sudah menyambut jurus seranganku, mungkin dalam hati kau sendiri mengerti. Meskipun tenaga dalamku belum cukup sempurna, tetapi dalam gerakan maupun jurus-jurus, aku tidak kalah olehmu. Kalau pertarungan kita diteruskan, belum tentu aku akan mengalami kekalahan.’Seandainya aku tidak dapat membawa orang yang melukai Liok Giok, sebentar lagi beliau tentu akan datang sendiri, pada waktu itu urusan semakin sulit diselesaikan. 
Biarpun kalian beberapa orang bergabung jadi satu, rasanya juga bukan tandingan majikanku itu. Aku pikir, lebih baik suruh orang yang melukai Liok Giok itu mengikuti aku menemui majikan. Paling-paling juga hanya mendapat sedikit hukuman darinya. Kata-kata yang kuucapkan ini keluar dari hati yang tulus. Kalau kalian tetap tidak percaya, boleh saja coba-coba!”

Mendengar keterangannya, Tian Bu Cu menjadi serba salah. Apabila membiarkan Tan Ki pergi seorang diri menghadap majikan gadis ini, otomatis hatinya khawatir sekali. Kalau dia mencegah Tan Ki pergi, sebentar lagi apabila majikannya benar datang, kemungkinan akan terjadi pertumpahan darah baru bisa menyelesaikan urusan. Gadis berpakaian hijau itu hanya salah seorang budaknya, tetapi ilmu silat yang dikuasainya sudah demikian tinggi. Hal ini membuktikan bahwa majikannya pasti seorang tokoh yang luar biasa.

Pikirannya terus bekerja. Semakin lama hatinya semakin bingung. Kedua pilihan itu sama-sama berat baginya. Untuk sesaat, tokoh aneh yang memiliki ilmu tinggi ini juga jadi
kebingungan dan tidak tahu keputusan apa yang harus diambilnya. Dia menundukkan kepalanya merenung dan untuk sekian lama tiT dak mengucapkan sepatah katapun.

Justru ketika dia merasa serba salah, tiba-tiba terdengar Tan Ki tertawa terbahak-bahak dan berkata kepada si gadis berpakaian hijau.

“Kalau kau sudah berkata demikian, aku akan mengikutimu untuk menemui majikanmu itu. Aku ingin lihat bagaimana dia akan menghukum diriku!”

Mendengar Tan Ki bersedia ikut dengannya, wajah gadis itu yang tadinya menunjukkan kemarahan langsung berubah menjadi berseri-seri. Dia mengembangkan seulas senyuman yang manis sekali.

“Kalau kau sudah bersedia ikut denganku, maka segala kesulitan tidak mungkin sampai terjadi. Jangan sampai dipaksa dengan kekerasan yang akhirnya menimbulkan adu senjata tajam. Aku juga percaya kalau kau adalah seorang Kuncu (Laki-laki sejati). Sekarang ini tidak mungkin aku membawamu menemui majikan. Malam ini ketika rembulan tepat berada di atas kepala, kita akan bertemu lagi!” dengan suara rendah kembali gadis itu kembali menjelaskan kepada Tan Ki arah yang harus diambilnya dan tempat di mana mereka harus bertemu nanti malam. Setelah itu dia menjura dalam-dalam kepada Tian Bu Cu, lalu membalikkan tubuh berlari ke depan. Ketika baru berjalan kurang lebih dua puluh depaan, tiba-tiba dia menolehkan kepalanya kembali dan berkata kepada Tan Ki, “Ingat, ketika kau pergi nanti malam, jangan ajak siapapun. Majikanku paling benci bertemu dengan kalian kaum laki-laki…!”

Suaranya terdengar dari jelas sehingga menjadi sayup-sayup kemudian menghilang.
Orangnya sendiri sudah membelok ke dalam sebuah lembah dan tidak terlihat lagi. Kemudian terdengar lagu suara angin berderu-deru yang meninggi ke atas. Beberapa orang itu segera mendongakkan kepala, entah dari sebelah mana tiba-tiba melayang terbang dengan kecepatan tinggi seekor elang raksasa. Sayapnya mengepak-ngepak sehingga menimbulkan suara angin yang keras. Kecepatannya bagai kilat yang menyambar di musim hujan. Dalam sekejap mata saja, burung itu hanya tinggal sebuah titik hitam yang kemudian menghilang di kejauhan.

Saat ini, Tian Bu Cu serasa lega kembali. Dia menghembuskan nafas panjang-panjang- dan berjalan perlahan-lahan mendekati Cian Cong. Tanpa sengaja dia mendongakkan wa? jahnya. Tampak Mei Ling dan Liang Fu Yong masih mengerutkan sepasang alisnya dan mimik wajah mereka menyiratkan perasaan khawatir yang dalam. Orangtua itu tahu mereka mencemaskan diri Tan Ki yang telah berjanji akan bertemu dengan majikan si gadis cilik itu malam nanti. Apakah dirinya akan selamat atau bahaya masih sulit dipastikan. Dia tersenyum kecil, tetapi tidak mengatakan apa-apa. Perlahan-lahan dia kembali memejamkan matanya dan merenung memikirkan cara untuk menyelamatkan nyawa si pengemis sakti Cian Cong.

Waktu di pegunungan lebih cepat berlalu. Sebentar saja sudah masuk kentungan pertama. Tan Ki memohon diri kepada Tian Bu Cu dan yang lainnya. Dia juga memberitahukan tujuan yang akan didatanginya nanti, serta tempat di mana majikan gadis itu berada. Seorang diri dia meninggalkan padang rumput tersebut dan bersiap-siap menemui gadis berpakaian putih. Tidak disangka ketika dia baru masuk ke dalam rumah penginapan, dia telah bertemu dengan rombongan si pengemis cilik dan kawan-kawan.
Setelah mendengar cerita Tan Ki dari awal hingga akhir, sepasang alis si pengemis cilik Cu Cia langsung mengerut. Hatinya gelisah sekali.

“Kalau Tan-heng sudah mengadakan perjanjian dengan Tian Bu Cu Locianpwe untuk bertemu di tempat ini, maka secara langsung atau tidak, pasti dapat mengurangi berbagai kesulitan. Tetapi luka yang diderita suhuku demikian parah, aku takut dia tidak sanggup bertahan lebih lama lagi.”

Sam Po Hwesio mendongakkan kepalanya dan tertawa terbahak-bahak.

“Kau benar-benar banyak berpikir hal yang bukan-bukan sehingga mendatangkan kesulitan bagi diri sendiri. Tenaga dalam Cian Su-pek telah dilatih sampai taraf yang tidak terkirakan tingginya. Sedikit luka kecil seperti itu mana mungkin berakibat apa-apa bagi dirinya. Di dalam dunia Kangouw saat ini, kecuali Tian Bu Cu Locianpwe, tidak ada orang kedua lagi yang lebih hebat darinya. Siau Hente berani menjamin bahwa luka itu tidak mungkin sampai merenggut nyawanya.”

Tiba-tiba Ceng Lam Hong bangkit berdiri. Dia membungkukkan tubuhnya rendah- rendah kepada si pengemis cilik Cu Cia.

“Watak Hiantit benar-benar berjiwa besar. Setiap hari selalu tersenyum riang. Benar- benar seorang sahabat yang susah dicari keduanya. Belum lagi kegagahanmu dalam membantu orang lain. Rasanya aku tidak perlu bercerita panjang lebar lagi. Apalagi Suhumu yang disebut sebagai salah satu tokoh teraneh di dunia saat ini. Demi anakku yang tidak berbakti ini, dia orangtua sampai terluka demikian parah, keselamatan jiwanya saat ini masih belum dapat dipastikan. Aku benar-benar tidak tahu apa yang harus kukatakan kepadamu.” Ceng Lam Hong menarik nafas panjang satu kali. Ia lalu menoleh kepada Tan Ki dan membentak dengan nada keras, “Anak tidak tahu budi! Masih tidak lekas-lekas ucapkan terima kasih atas budi yang diberikan oleh Cu-heng dan suhunya?”

Mendengar bentakan ibunya, Tan Ki segera mengiakan dan ternyata dia benar-benar menjatuhkan diri berlutut di hadapan si pengemis cilik Cu Cia. Tampak dia menyembah beberapa kali. Begitu seriusnya sampai selembar wajah si pengemis cilik jadi merah padam. Dia juga ikut-ikutan menjatuhkan diri berlutut di atas” tanah.

“Tan-heng, jangan begitu. Perbuatanmu ini benar-benar ingin membuat si tukang minta-minta jadi orangtua secara tiba-tiba! Sambil berkata, dia juga menyembah kepada Tan Ki. Seakan menerima penyembahan dari orang lain benar-benar akan membuat dia menjadi tua beberapa tahun sehingga hatinya menjadi ketakutan.

Tan Ki sudah cukup lama berkecimpung dalam dunia persilatan, dia tahu orang yang sikapnya angin-anginan dan ugal-ugalan seperti Cu Cia ini justru mempunyai hati yang mulia dan tidak suka berhitungan. Meskipun dirinya belum lama mengenal si pengemis cilik Cu Cia, tetapi dia juga tidak mau sengaja membuatnya marah, yang akibatnya malah akan merusak hubungan persahabatan mereka. Akhirnya terpaksa dia tersenyum simpul dan berdiri lagi.

Hati Goan Yu Liong tidak pernah lupa masalah mengikat tali persaudaraan dengan Tan Ki. Melihat kedua orang itu saling menjatuhkan diri berlutut di atas tanah dan pakai acara menyembah segala macam dengan mimik wajah serius, tiba-tiba dia tersadar dan menepuk tangannya keras-keras.
“Ini baru hebat! Suatu kebetulan yang sulit ditemukan. Koko tukang minta-minta mewakili kita berempat menyembah kepada Tan-heng, dengan demikian kita tidak perlu mengadakan upacara yang rumit lagi!”

Mendengar teriakannya, mula-mula Tan Ki heran sekali. Untuk sesaat dia tidak mengerti apa yang dimaksudkan oleh Goan Yu Liong dengan kata-katanya tadi. Akibatnya dia jadi termangu-mangu dan memandang anak muda itu dengan mata membelalak lebar- lebar. Kemudian dia mengedarkan pandangannya ke beberapa orang yang lain dengan tatapan mengandung pertanyaan. Yang Jen Ping langsung tertawa lebar melihat sikapnya. “Setelah pertandingan di atas panggung, kami semua sudah melihat kehebatan ilmu silat Tan-heng. Rasanya orang lain juga mempunyai pendapat yang sama. Lagipula sikap Tan- heng saat itu demikian gagah dan meyakinkan. Hal ini menimbulkan perasaan kagum setiap orang. Goan Yu Liong demikian kagum terhadap ilmu Tan-heng yang tinggi dan terus berpikir untuk mengajak Tan-heng mengikat tali persaudaraan. Bahkan aku serta Ban Jin Bu juga mempunyai pikiran yang sama. Kami berharap seusai pertandingan nanti, kami bisa menjalin tali persaudaraan yang lebih erat sehingga melewati suka duka bersama-sama.”

Wajah Tan Ki jadi merah padam. Dia segera menjura dalam-dalam.

“Karena aku seorang, kalian jadi menempuh perjalanan demikian jauh, hal ini saja sudah membuat pikiran Siaute menjadi tidak enak. Kalau Yang-heng berkata begitu, kelak aku pasti merasa lebih berat lagi. Dapat mengikat tali persaudaraan dengan kalian, sungguh merupakan suatu keberuntungan Siaute yang besar sekali, namun malam ini…”

Berkata sampai di sini, tiba-tiba ia seolah merasakan sesuatu hal, sepasang alisnya bertaut erat dan mulutnya langsung membungkam.

Si pengemis cilik orangnya lebih cerdas. Dia yang pertama-tama melihat mimik wajah Tan Ki agak aneh. Oleh karena itu dia segera bertanya, “Ada apa?” meskipun mulutnya bertanya, tetapi sepasang matanya langsung berputar ke seluruh ruangan dan secara diam-diam mengerahkan tenaga dalam untuk menjaga segala kemungkinan.

Setelah mempertajam indera pendengarannya sesaat, Tan Ki baru menggelengkan kepalanya.

“Orangnya sudah pergi. Tidak ada suara apapun yang dapat dijadikan bahan penyelidikan. Mungkin salah seorang tamu dari ruangan depan yang ingin ke kamar kecil.”

“Aku selalu merasa bahwa penginapan yang satu ini memang rada aneh. Perlukah kita keluar menyelidikinya sebentar?”

Tan Ki menggelengkan kepalanya.

“Tidak usah. Besok sebelum matahari terbit, Tian Bu Cu Locianpwe pasti sudah menyusul ke mari. Dia orangtua mempunyai hati yang lapang, pengetahuannya juga luas sekali. Apabila dalam penginapan ini ada orang yang merencanakan apa-apa, pasti tidak terlepas dari pandangan mata beliau. Sekarang ini urusan kita sendiri cukup rumit. Lebih baik jangan sampai timbul lagi persoalan yang lain.”

Berkata sampai di sini, tiba-tiba telinganya mendengar suara langkah kaki yang ringan.
Begitu pandangan matanya dialihkan, dia melihat si gadis berpakaian hijau sedang melangkah ke dalam ruangan di mana mereka berada. Tampak sepasang matanya yang indah mengedar ke setiap orang. Kemudian dia mendengus dingin satu kali dan berkata kepada Tan Ki.

“Kau ikut denganku sekarang!”

Mendadak tampak Yang Jen Ping ikut berdiri.

“Tan-heng, Siaute akan menemanimu ke sana. Sekalian lihat-lihat gadis berpakaian putih yang menunggang elang raksasa itu. Siapa tahu aku mendapat kesempatan berkenalan dengannya!”

“Tidak bisa!” tukas gadis berpakaian hijau. “Kalau kau ikut dengannya, malah bisa menimbulkan masalah besar. Majikanku paling tidak suka bertemu dengan kalian kaum laki-laki.”

Wajah Ceng Lam Hong masih tampak murung. Dia juga ikut berbicara, “Kalau begitu, aku kan seorang wanita, tentu aku boleh menemaninya ke sana?”

“Tetap saja tidak boleh. Majikanku hanya mengijinkan aku membawa orang yang telah melukai Liok Giok…!”

Mendengar ucapannya, Tan Ki segera membusungkan dada.
“Majikanmu adalah seorang tokoh yang sakti, tentunya manusia seperti itu mempunyai pengertian yang dalam. Cayhe melukai Liok Giok tanpa sengaja, kalau beliau memang hanya mengijinkan aku seorang yang menemuinya. Mari kita berangkat sekarang juga.”
dia merandek sejenak dan kemudian berkata lagi kepada Ceng Lam Hong. “Ki-ji akan pergi bersamanya. Kalau majikannya benar-benar tidak tahu aturan dan tetap ingin aku mengganti kerugian yang diderita burung kakaktua tersebut, paling-paling Ki-ji kehilangan selembar nyawa. Tetapi kalau dia memang seorang
tokoh Cianpwe yang aneh, tentu tidak akan memperpanjang persoalan sekecil ini.
Pokoknya Ibu tidak perlu khawatir segala macam.”
Tiba-tiba terdengar suara siulan yang memecahkan keheningan malam. Tampak gadis berpakaian hijau itu mengerutkan sepasang alisnya.

“Cepat jalan, kalau sampai terlambat…!”

Tampaknya dia gugup sekali. Tidak diberinya kesempatan untuk tan ki membantah sedikit-pun, tiba-tiba dia mengulurkan tangannya mencekal Tan Ki dan mengajaknya keluar dari ruangan tersebut.

Mungkin dia mendapat isyarat dari suara siualan tadi, tangannya yang mencekal Tan Ki diperketat dan dia menyeret anak muda itu berlari secepat kilat. Tujuannya sudah tentu taman bunga tersebut. Di bawah cahaya rembulan, tampak bunga-bunga bermekaran dan membawa serangkum bau harum yang menyegarkan. Setelah melewati gunung-gunungan yang ada di tengah-tengah, mereka masuk lagi ke dalam sebuah halaman besar. Gadis berpakaian hijau itu menarik Tan Ki menuju ke deretan kamar yang ada di sebelah Utara.

Tampaknya gadis itu sudah menghapal daerah ini dengan baik, meskipun melangkah dengan tergesa-gesa tetapi dia sama sekali tidak bingung atau berhenti memperhatikan
keadaan di sekitarnya. Dia langsung menying kapkan tirai yang membatasi ruangan dan melangkah masuk.

Diam-diam Tan Ki memperhatikan keadaan dalam ruangan itu. Penataannya sangat asri dan apik. Di depan ruangan yang membatasi kamar utama terdapat untaian tirai berwarna putih yang terbuat dari kerang-kerangan. Pada Bagian luar diletakkan beberapa buah kursi yang disandarkan pada tembok. Di sebelah kiri duduk seorang gadis berpakaian mini dengan seBagian pundak terbuka. Tampaknya usia gadis itu lebih muda sedikit dari si gadis berpakaian hijau. Dalam pelukannya terbaring Liok Giok yang sedang terluka parah.

Ketika melihat si gadis berpakaian hijau membawa seseorang pulang bersamanya, dia segera berdiri dan tersenyum manis.

“Cici Mei Hun, apakah orang ini yang melukai Liok Giok?” tanyanya dengan suara lirih. Gadis berpakaian hijau itu menganggukkan kepalanya.
“Mana Cujin? Ke mana perginya?” tanyanya dengan suara rendah. Gadis berpakaian mini itu menunjuk ke arah kamar utama.
“Melihat luka yang diderita Liok Giok begitu parah, kelihatannya Cujin marah bukan main. Siang tadi, beliau sendiri yang mengoleskan obat dan mencekoki setengah bungkus Bubuk Penyelamat Jiwa Penyambung Tulang.” selesai berkata, dia mendelik kepada Tan Ki dengan mata terbelalak lebar-lebar. “Bencana yang kau timbulkan sungguh besar. Luka yang diderita oleh Liok Giok mungkin harus diganti dengan nyawamu sendiri!” katanya ketus.

Mendengar ucapannya, Tan Ki jadi gusar. Untuk sesaat dia jadi lupa di mana dia berada. Sepasang alisnya terjungkit ke atas dan dia sudah hampir meledakkan kemarahannya.

Melihat tampangnya yang garang, kemungkinan setiap saat Tan Ki dapat mengumbar rasa amarahnya, si gadis berpakaian mini takut dia akan membentak atau berteriak keras- keras sehingga mengejutkan majikannya yang sedang bersemedi. Tanpa dapat ditahan lagi hatinya menjadi panik. Tangan kanannya te tap memeluk Liok Giok sedangkan tangannya terulur ke depan dan secepat kilat menotok ke arah kepala Tan Ki. Angin yang terpancar dari jari tangannya kencang sekali sampai menimbulkan suara berdesir.

Tan Ki merasa dirinya memang bersalah, oleh karena itu dia tidak berani menyerang terlebih dahulu. Sebab hal ini membuktikan dirinya sebagai manusia yang tidak tahu aturan. Namun begitu gadis itu menggerakkan ‘tubuh dan menyerang kepadanya, dia langsung membalikkan tangannya dan mengerahkan jurus Lengan Besi Menahan Air Sungai. Sasarannya malah pergelangan tangan gadis itu.

Gadis berpakaian mini itu dapat melihat gerakan Tan Ki mengandung tenaga yang kuat lagi pula jurusnya agak aneh. Dia merasa bahwa anak muda ini bukan orang sembarangan juga. Cepat-cepat dia menekan lengan kirinya agar bobotnya lebih berat. Totokannya berubah menjadi tepukan, dikerahkannya ilmu Lwekang taraf tertinggi dengan gerak tangan seperti bunga teratai. Sekali lagi dia melancarkan sebuah serangan ke dada Tan Ki.
Dalam pertandingan di atas panggung beberapa waktu yang lalu, Tan Ki berhasil tnencapai peringkat Pendekar pedang tingkat lima. Hal ini tidak didapatkannya dengan mudah. Melihat serangan gadis berpakaian mini itu yang demikian keji, tanpa dapat ditahan lagi hawa amarah dalam dadanya jadi meluap. Setelah mengeluarkan suara bentakan, tangannya yang terulur ke depan membentuk cakar dan meluncur ke arah pergelangan tangan kiri gadis itu.

Siapa nyana begitu dia mengerahkan serangannya, Mei Hun juga terkejut setengah mati. Dia tahu apabila seseorang sedang bersemedi, maka hal yang paling dibenci adalah gangguan dari luar. Tadi Tan Ki membentak dengan suara keras, dia takut majikannya akan terkejut. Oleh karena itu, tanpa sadar dia menerjang ke depan dan dengan jurus Menggunting Bunga Bwe Sembarangan, kedua jari tangannya meluncur ke depan dan menotok Bagian ubun-ubun Tan Ki.

Anak muda itu langsung merasa tubuhnya seperti kesemutan dan tenaga dalamnya lenyap seketika. Baru saja dia mendengus satu kali, tubuhnya langsung terkulai di atas tanah dalam keadaan pingsan.

Ubun-ubun merupakan salah satu Bagian yang terpenting dalam diri manusia. Urat-urat syaraf yang utama semua berkumpul di daerah tersebut. Kalau sampai tertotok, orang itu tidak hanya akan merasa ngilu dan tidak sadarkan diri. Bila totokannya agak berat malah bisa membahayakan jiwa seseorang. Apabila tidak sampai mati, lama kelamaan pasti bisa berubah menjadi tidak waras. Mei Hun tadinya hanya ingin menotok Tan Ki agar anak muda itu tidak lagi berteriak keras-keras, yang ditakutkan akan mengganggu semedi gurunya. Setelah majikannya selesai semedi baru dia membebaskan totokan anak muda tersebut. Siapa tahu dalam keadaan panik dia tidak ‘membedakan Bagian mana yang ditotoknya dan turun tangannya pun agak berat sedikit. Akibatnya Tan Ki malah jatuh tidak sadarkan diri di atas tanah.

Begitu matanya memandang, dia melihat anak muda itu rebah di atas tanah dengan sepasang mata terpejam rapat. Giginya juga mengatup kuat-kuat seakan menahan penderitaannya yang tidak terkirakan. Wajahnya yang pucat terus mengerut-ngerut. Mei Hun sejak kecil tinggal di daerah pegunungan. Hatinya masih polos sekali. Sepanjang perjalanan tadi dia terus menarik tangan Tan Ki. Saat itu dia masih belum merasakan apa- apa. Sekarang tubuhnya setengah membungkuk dan dia sedang memperhatikan keadaan Tan Ki dengan seksama. Dia merasa bahwa anak muda ini berbeda dengan laki-laki ‘lainnya. Seakan seluruh Bagian dari dirinya tidak ada setitik-pun yang tidak enak dipandang…

Setelah memperhatikan sejenak, tanpa hujan tanpa angin wajahnya jadi merah padam.
Dia mendongakkan kepalanya menatap si gadis berpakaian mini.

“Cici Ciu Hiang, coba lihat tampangnya, kasihan sekali. Lebih baik kita bebaskan saja totokan pada dirinya.”

“Selamanya aku belum pernah melihat Cujin begitu marah. Tampaknya dia tidak akan melepaskan anak muda itu begitu saja.”

Hati Mei Hun jadi tergetar mendengar ucapannya.

“Cici Ciu Hiang, kalau menurut pendapatmu, mungkinkah Cujin sampai menginginkan nyawanya?”

Ciu Hiang tersenyum simpul.

“Ini… bagaimana aku bisa tahu?” tiba-tiba dia seperti teringat akan sesuatu hal. Dia mengejapkan matanya beberapa kali dan tersenyum manis. “Cici Mei Huh, tampaknya kau sangat mengkhawatirkan anak muda ini?”

Wajah Mei Hun jadi merah padam mendengar pertanyaannya. Matanya mendelik satu kali kepada gadis itu lalu menyahut, “Mengapa kau bisa mengoceh sembarangan? Aku hanya melihat tampangnya mengenaskan sekali. Ubun-ubun merupakan Bagian yang terpenting di Bagian tubuh manusia. Kalau agak lama dibiarkan, dia pasti tidak dapat menahannya. Kalau sampai terjadi sesuatu padanya sebelum Cujin mengajukan pertanyaan, bagaimana kita harus bertanggung jawab?”
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar