Postingan

 
Bagian 36

Tempat ini merupakan sebuah bukit yang arealnya sangat luas. Dari puncaknya dapat melihat pemandangan bawah yang indah serta pepohonan yang subur.

Saat ini di Bagian puncaknya telah didirikan sebuah panggung atau pentas pertandingan yang tinggi. Dari bawah dapat dilihat kepala manusia bergerak-gerak. Tampaknya ramai orang yang hilir mudik, jumlahnya tidak kurang dari ratusan orang. Tentu saja, orang-orang ini merupakan angkatan yang sudah mempunyai nama di dunia Kangouw dan kedatangan mereka dapat dipastikan untuk ikut meramaikan suasana dalam merebut kedudukan Bulim Bengcu.
Cin Ying menarik tangan Tan Ki dan mengajaknya masuk ke dalam tenda besar yang digunakan untuk tempat duduk para tamu. Dari awal sampai akhir, Tan Ki terus mengeratkan sepasang alisnya tanpa berkata sepatah katapun, seakan ada urusan maha besar sedang melanda hatinya saat ini. Dan masalah ini tidak dapat diungkapkannya keluar sehingga terpendam dalam hati dan membuat perasaannya jadi kurang gembira.

Dalam sekejap mata, kedua orang itu sudah sampai di bawah pentas pertandingan.
Terdengar suara angin pukulan menderu-deru. Hawa panas seakan ombak yang bergulung-gulung, dari atas pentas sering terpancar angin yang kencang dan menerpa lewat di samping wajah.

Rupanya saat ini di atas pentas sudah ada orang yang memulai pertandingan. Tentu saja tujuan mereka untuk memperebutkan kedudukan Bulim Bengcu.

Tan Ki mengangkat pandangan matanya memandang ke atas. Dia melihat si pengemis sakti Cian Cong dan Yibun Siu San duduk di belakang panggung yang dibatasi tali panjang. Kursi yang mereka duduki adalah kursi tinggi berbentuk singa. Di hadapan mereka terdapat sebuah meja persegi panjang yang ditutupi dengan sehelai taplak berwarna merah menyala. Di atas meja terdapat beberapa buku tebal dan lengkap dengan alat tulisnya. Perhatian mereka terpusat pada kedua orang yang sedang bertanding di atas panggung.

Tentu saja kedua tokoh angkatan tua dari Bulim ini bertanggung jawab atas hasil pertandingan yang berlangsung atau disebut juga sebagai juri. Merekalah yang menentukan siapa diantara kedua orang yang bertanding itu yang dapat dianggap menang atau siapa yang dianggap kalah. Liu Seng, Kok Hua Hong dan Ciong San Suang-siu berdiri berpencaran di setiap sudut. Mereka memperhatikan keadaan di sekitar dengan tangan menggenggam senjata masing-masing. Mungkin mereka bertugas menjaga segala kemungkinan yang tidak diinginkan di saat pertandingan sedang berlangsung. Atau dengan kata lain mereka bertindak sebagai petugas keamanan.

Saat ini kedua pendekar yang sedang berada di atas pentas sedang bertarung dengan sengit. Mereka seperti berduel mati-matian. Tampak bayangan manusia berkelebat ke sana ke mari. Tinju dan pukulan mereka menimbulkan angin yang kencang. Orang-orang yang berada di bawah pentas sampai merasa tegang melihatnya. Kadang-kadang mereka sampai menahan nafas kalau keadaan agak genting atau dapat membahayakan jiwa salah satu dari kedua orang tersebut. Biarpun arena yang dibangun cukup luas karena dapat menampung begitu banyak orang, tetapi saat ini justru tidak terdengar suara sedikitpun.

Tan Ki mengerlingkan matanya memandang si cantik jelita yang ada di sampingnya.
Siapa nyana gadis itu juga sedang melirik ke arahnya. Dua pasang matapun bertemu pandang, jantung mereka sama-sama tergetar, wajahpun menjadi merah padam seketika, dan cepat-cepat keduanya memalingkan wajah mereka dan tidak berani melihat lagi.

Dari sinar mata keduanya, mereka dapat menduga apa yang tersirat dalam pikiran masing-masing. Hal itu merupakan suatu perasaan yang sangat janggal dan aneh.
Demikian ajaibnya sampai tidak dapat diuraikan dengan kata-kata.

Tan Ki merasa wajahnya menjadi panas, dia teringat akan dirinya yang keracunan sebanyak dua kali namun dapat meloloskan diri dari kematian. Tetapi justru mengira dirinya sudah di ambang ajal sehingga menyandarkan dirinya dalam pelukan gadis itu dan
mengucapkan kata-kata yang romantis. Hal ini malah menambah perasaan malu dalam hatinya sehingga kepalanya tertunduk dalam-dalam dan menarik nafas panjang.

“Mengapa kau menarik nafas? Adikku Cin Ie dan pengantin barumu semuanya sudah berada di sini. Mereka sudah siap melihat kau mengunjukkan kepandaian dalam memperebutkan kedudukan Bulim Bengcu yang gemilang. Pertemuan besar yang tidak sering diadakan, mungkin bagi kalian orang-orang Tionggoan merupakan hal yang jarang ditemui. Pertemuan ini bagi tokoh-tokoh yang namanya sudah menjulang tinggi ataupun yang masih kelas teri, tetap merupakan impian yang ditunggu-tunggu. Tanpa memperdulikan mati hidup sendiri, mereka berusaha sekuat tenaga untuk dapat merebut kedudukan Bulim Bengcu ini. Kau harus menunjukkan segenap kemampuanmu, jangan membuat banyak orang menjadi kecewa!”

Tan Ki menghentakkan kakinya sambil menarik nafas.

“Aku…” tadinya dia ingin mengatakan bahwa dirinya sudah pernah menggemparkan dunia persilatan, bahkan telah membunuh sejumlah jago-jago di dunia Bulim dengan nama Cian bin mo-ong. Tetapi kata-kata sudah sampai di ujung lidah, dia malah merasa kurang tepat bila diungkapkan pada saat ini. Akhirnya dia menarik nafas perlahan-lahan dan membungkam seribu bahasa.

Cin Ying dapat melihat mimik wajahnya yang panik dan tegang. Bibirnya sudah bergerak ingin mengatakan sesuatu tetapi dibatalkannya kembali. Diam-diam dia merasa heran Sepasang matanya yang besar dan indah menatap diri Tan Ki lekat-lekat.

“Kau kenapa?”

Tan Ki tertawa getir.

“Banyak sekali perkataan yang ingin kusampaikan kepadamu. Tetapi segalanya terasa demikian rumit sehingga aku sendiri tidak tahu harus berbuat apa. Mungkin pada suatu hari nanti…”

Tiba-tiba terasa angin berdesir, kata-katanya jadi terhenti. Ketika memalingkan wajahnya, dia melihat Cin Ie, Mei Ling, Liang Fu Yong bertiga sedang berlari ke arahnya dengan cepat. Cin Ie wataknya lebih terbuka dan suka Ceplas-ceplos. Melihat Tan Ki, dia langsung mempercepat langkahnya dan berteriak.

“Apakah lukamu sudah sembuh? Aib, ketika aku mendengar dari Yibun Siok Siok bahwa luka yang kau derita sangat parah, ditambah lagi racun yang mengendap dalam tubuhmu, serta ada kemungkinan bisa mati, aku panik setengah mati. Setelah memohon berkali-kali, akhirnya Cici baru menyatakan persetujuannya untuk melihat keadaanmu. Tetapi kalau dilihat dari keadaanmu sekarang, tampaknya kau sudah sembuh bukan?”

Cin Ying menarik tangannya perlahan-lahan.

“Sudahlah, sudahlah. Begitu ketemu kau langsung menyerang orang dengan pertanyaan yang bertubi-tubi. Tidak malu ditertawakan orang? Hayo kita pergi, biar mereka suami isteri melepas kerinduan. Pasti banyak yang ingin mereka katakan.”

Tanpa menunggu jawaban Cin Ie, dia langsung menarik tangan gadis itu dan mengajaknya berjalan ke depan.

Sinar mata Liang Fu Yong yang sendu melirik sekilas ke arah adik Ki yang dicintainya tu. Dia mengembangkan senyuman yang tipis alu mengikuti Cin Ying serta Cin Ie berjalan meninggalkan mereka berdua.

Lirikannya yang sekilas itu menyorotkan kasih sayang yang tidak terkira. Dan seakan banyak sekali kata-kata yang terpendam dalam hatinya. Mungkin orang lain tidak merasakannya, tetapi Tan Ki yang melihatnya langsung berdebar-debar dan jantungnya berdegup lebih keras lagi.

Dia langsung teringat peristiwa yang mereka lakukan di balik gunung-gunungan dekat taman bunga. Tanpa dapat ditahan lagi kepalanya langsung tertunduk dalam-dalam dan tidak berani mendongak untuk beberapa waktu lamanya.

Tiba-tiba dia merasa ada sebuah tangan yang halus menggenggam tangan kanannya.
Di telinganya terdengar suara yang bening dan lembut, “Tan Koko…”

Suaranya lebih mirip isak tangis, di dalamnya terkandung perasaan cinta yang meluap dan kelembutan yang tidak terkatakan.

Hati Tan Ki sampai bergetar mendengarnya, perlahan-lahan dia menarik nafas panjang, tetapi tetap membisu tanpa mengucapkan sepatah katapun.

Sepasang mata Mei Ling yang indah dan berkilauan menatap suaminya lekat-lekat.
Seakan takut anak muda itu akan menghilang secara gaib dari hadapannya. Cengkeraman tangannya diperkuat dan menggenggam tangan Tan Ki lebih erat lagi. Bibirnya menyunggingkan seulas senyuman yang sendu.

“Kau sudah mengalami berbagai hal, aku sudah mendengarnya dari Liang Cici. Semua peristiwa yang telah terjadi, akulah yang salah. Aku… aih! Rupanya aku adalah seorang perempuan yang demikian bodohnya, selamanya tidak mengerti kesulitan dirimu dan penderitaan yang ada dalam hatimu.” Tan Ki tertawa getir.

“Dalam hal ini kau juga tidak dapat dipersalahkan. Aku selalu menganggap diriku paling pintar, tetapi dalam keadaan seperti tadi malam, aku juga tidak dapat menahan emosi sehingga mengakibatkan pertengkaran dengan dirimu…” tiba-tiba dia teringat akan sesuatu hal. Wajahnya yang tampan langsung berubah dan tampaknya dia malu sekali juga gugup. “Apakah Fu Yong sudah menceritakan semuanya kepadamu?”

Mei Ling mengiakan dengan suara lirih. Kepalanya juga ikut mengangguk. “Baik yang dulu maupun peristiwa yang terjadi tadi malam, dia sudah menceritakannya secara terbuka kepadaku.”

Tubuh Tan Ki agak bergetar. Dia merasa seperti ada segulung hawa panas bergejolak di dalam dadanya. Dia menjadi gugup sekali.

“Jadi… semua… nya kau sudah tahu?”

Mei Ling tersenyum lembut. Tubuhnya bergerak gemulai mendekati Tan Ki. Sikapnya serius sekali, dia menyusupkan kepalanya di dada Tan Ki kemudian mendongakkan wajahnya menatap anak muda itu.
“Apa yang kau takutkan, toh belum aku jelaskan semuanya. Kalau kau memang suka, aku bersedia mengalah dan membiarkan Liang Cici yang menempati kamar pengantin kita…”

Kata-kata ini diucapkannya dengan tenang dan lembut. Nadanya juga tulus sekali. Dari matanya menyorot sinar yang penuh cinta kasih. Dia menatap suaminya lekat-lekat seakan menunggu jawaban darinya.

Mendengar kata-katanya, perasaan Tan Ki jadi tergugah. Hatinya merasa nyaman bukan kepalang atas pengertian isterinya.

“Aku… aku tidak tahu apa yang harus kukatakan…”

Tiba-tiba terdengar suara bentakan yang nyaring dan keras menggelegar memecahkan keheningan, bahkan telinga sampai berdengung dibuatnya!

Pembicaraan kedua orang itu pun terhenti seketika. Begitu mata didongakkan ke atas, ternyata dalam pertadingan di atas panggung sudah ada penentuan siapa yang menang dan siapa yang kalah. Laki-laki setengah baya yang bertubuh gemuk pendek itu telah berhasil mendesak lawannya sehingga terjatuh ke

bawah panggung.

Rupanya dalam pertandingan untuk memperebutkan kedudukan Bulim Bengcu ini su- dah ada peraturan yang dinyatakan sebelumnya. Di atas panggung tidak boleh terjadi pertumpahan darah atau sampai merenggut jiwa lawannya. Oleh karena itu, laki-laki setengah

baya yang bertubuh gemuk pendek itu hanya menjatuhkan lawannya ke bawah panggung.

Terdengar dia tertawa bebas dengan keras.
“Hengte Goan Siang Fei, tidak memperdulikan jarak sejauh ribuan li, sengaja datang ke Tok Liong Hong atau Bukit Naga Tunggal ini untuk menghadiri pertemuan akbar yang
jarang diselenggarakan di dunia Kangouw ini. Berkat belas kasihan Saudara-saudara
sekalian, Hengte berhasil memenangkan tiga babak pertandingan secara berturut-turut. Entah siapa lagi yang bersedia naik ke atas panggung memberikan petunjuk?” Baru saja ucapannya selesai, terdengar suara suitan panjang. Dari kerumunan para hadirin di bawah, tiba-tiba berkelebat sesosok bayangan. Gerakannya bagai seekor burung rajawali yang menukik dari angkasa dan tahu-tahu sudah mendarat di atas panggung.

Desir angin berhenti, orangnya pun muncul. Para hadirin segera memusatkan pandangan matanya. Tampak orang itu mengenakan pakaian yang ketat. Alas kakinya merupakan sepatu tali yang diikat sampai bawah lutut dan memang biasa dikenakan oleh para pendekar yang berkelana di dunia Kangouw. Di belakang pundaknya menggembol sepasang bola besi yang besarnya seperti buah semangka. Penampilannya gagah dan tersirat jelas bahwa dia merupakan seorang pendekar yang cukup punya nama.
Perlahan-lahan Goan Siang Fei membuka sepasang matanya dan memperhatikan orang yang baru muncul ini dari atas kepala sampai ke ujung kaki. Bibirnya mengembangkan seulas senyuman.

“Saudara membawa sepasang gandulan Im Yang sebagai senjata, mungkinkah Saudara ini bernama Saudara Heng yang mendapat julukan Harimau Utara?”

Laki-laki kekar itu segera merangkapkan sepasang kepalan tangannya dan menjura dalam-dalam.

“Terima kasih, Hengte memang Heng Sang

Si yang mendapat ejekan dari para sahabat di dunia Kangouw sebagai Harimau Utara.”

Mendengar bahwa orang yang ada di hadapannya memang tidak meleset dari perkiraannya, sikapnya langsung berubah dan wajahnya memperlihatkan keseriusan. Dia sadar bahwa lawannya ini sudah mempunyai nama yang sangat terkenal di daerah asalnya. Tampak dia menghembuskan nafas panjang dan memusatkan perhatiannya menunggu mulainya pertandingan.

Heng Sang Si tertawa lebar.

“Ilmu silat Goan-heng sungguh mengejutkan. Tiga kali bertanding, tiga kali berturut- turut meraih kemenangan. Hengte di sini dengan tidak tahu diri ingin meminta petunjuk dari Goan-heng.”

Meskipun kata-kata yang diucapkannya sangat sungkan, tetapi begitu pembicaraannya selesai, orangnya tiba-tiba mendesak maju dua langkah. Lengan kirinya digerakkan perlahan-lahan. Dengan jurus Dewi Merak Mengembangkan Sayap, dia melancarkan sebuah serangan. Terdengar deruan angin kencang yang langsung menerpa ke dada Goan Siang Fei.

Meskipun serangannya ini menggunakan jurus yang sederhana, tetapi karena tenaga dalamnya sangat kuat maka pengaruh yang ditimbulkannya pun cukup hebat. Apalagi ilmu yang dipelajarinya adalah tenaga Kang yang keras, sehingga baik kecepatan maupun daya serangannya sangat dahsyat. Ternyata jurus itu bukan jurus yang dapat dianggap enteng.

Goan Siang Fei masih berdiri dengan tenang, seakan tidak tergugah oleh serangannya yang keji dan ganas itu. Ketika angin pukulannya yang menderu-deru sudah hampir mendesak ke arah dirinya, tiba-tiba dia seperti seekor kelinci yang terkejut dan cepat- cepat mencelat ke belakang. Lengan kanannya mengibas, seiring dengan gerakan tubuhnya yang menghindari serangan lawan, dia juga membalas sebuah serangan.

Kedua orang ini merupakan tokoh yang sudah punya nama di daerah kekuasaannya masing-masing. Ilmu silatnya tinggi sekali. Meskipun masing-masing baru mengerahkan sebuah jurus serangan, dan mendesak maju lalu mencelat mundur dalam waktu yang hampir bersamaan, tetapi gerakannya sama-sama cepat sehingga membuat pandangan mata orang-orang yang melihatnya jadi berkunang-kunang. Begitu pandangan terbiasa kembali, kedua orang itu sudah berganti posisi.

Setelah mencelat mundur, keduanya tidak mengucapkan sepatah katapun. Kembali sebuah serangan dilancarkan. Pukulan dan totokan berkelebat ke sana ke mari, masing-
masing mengerahkan segenap kemampuannya dan mencari kesempatan yang baik untuk merobohkan lawannya.

Serangan mereka semakin lama semakin gencar. Pukulan mereka semakin lama semakin cepat. Terdengar suara pukulan yang menderu-deru, pengaruhnya terasa sampai jarak lima langkah. Keduanya tidak mau kalah kuat. Setelah bertanding kurang lebih sepuluh jurus, bayangan tubuh keduanya sulit lagi di-bedakan.

Tan Ki memperhatikan sejenak. Tiba-tiba dia merasa perutnya kembung, wajahnya merah padam, bibirnya menyunggingkan senyuman yang tersipu-sipu. Kemudian dia berkata dengan suara lirih.

“Ling Moay, aku ingin membuang air kecil sebentar, nanti aku kembali lagi.”

Selesai berkata, dia tidak menunggu jawaban dari Mei Ling, kakinya terus melangkah ke depan. Meskipun tampaknya dia hanya berjalan dengan wajar, tetapi langkahnya cepat sekali. Baru saja Mei Ling ingin mengatakan sesuatu, bayangan Tan Ki sudah tidak kelihatan lagi.

Tampaknya anak muda itu seperti ingin berlari dari tanggung jawabnya dengan meninggalkan panggung pertandingan tersebut. Dia merasa hatinya pengap sekali dan tidak menemukan sesuatu yang dapat dilampiaskannya. Perasaannya seakan enggan sekali serta tidak tertarik untuk melakukan apapun.

Sebetulnya hal ini disebabkan oleh pikirannya yang rumit. Persoalannya adalah karena dia mempunyai identitas diri yang lain, yakni Cian bin mo-ong. Tidak ada orang yang tahu bahwa dalam setengah tahun ini dia sudah membunuh dua puluh tujuh tokoh kelas tinggi baik dari golongan lurus maupun sesat. Hal ini membuat nama Cian bin mo-ong menjulang tinggi dan menggemparkan dunia persilatan. Gerak-geriknya sangat misterius dan datang perginya seperti angin. Dia malah dianggap sebagai raja iblis yang pertama kali menggetarkan nyali setiap orang selama ratusan tahun ini. Sekarang ini, dia merasa keadaan dirinya yang dianggap sebagai manusia keji, mana pantas bila menjabat sebagai Bulim Bengcu?

Pikiran yang saling bertentangan dengan hati kecilnya ini membuat Tan Ki merasa serba salah. Apalagi kalau membayangkan ilmu silat yang dikuasainya sekarang ini. Karena sudah berhasil menggabungkan ilmu Tian Si Sam-sut dengan Te Sa Jit-sut, sehingga pengaruhnya kuat sekali, dia percaya ilmu silatnya sekarang sudah cukup berimbang dengan jago kelas satu di dunia Bulim. Tetapi untuk memperebutkan kedudukan Bulim Bengcu, dia masih belum mempunyai keyakinan seratus persen. Tanpa terasa, semakin lama hal yang dipikirkannya semakin banyak. Semakin dipikirkan semakin kacau. Dari depan menghembus angin yang sejuk sekali, sehingga pikirannya yang terlena dan melayang-layang jadi tersadar seketika.

Begitu pandangannya mengedar, rupanya dia sedang berhenti di sebuah padang rumput yang ukurannya cukup besar. Di depannya terlihat pemandangan pegunungan yang menjulang tinggi, di Bagian bawah terlihat bunga-bungaan tumbuh dengan liar. Sungguh suatu tempat yang menimbulkan suasana tenteram di hati.

Kejadian yang dialami Tan Ki selama beberapa hari berturut-turut ini, kalau bukan terlibat dalam asmara yang rumit, pasti hal-hal yang tidak menyenangkan bahkan begitu gawatnya sehingga nyawapun hampir melayang. Mana dia mempunyai kegembiraan
menyaksikan pemandangan di sekitarnya atau menikmati dengan sungguh-sungguh. Tanpa terasa dia menarik nafas dalam-dalam. Perasaannya terasa segar dan pikirannya yang ruwet pun lenyap seketika.

Tepat ketika pikirannya mulai tenang dan menikmati keindahan pemandangan alam ini, tiba-tiba dia mendengar langkah suara kaki yang menghampiri ke arahnya. Cepat-cepat dia menolehkan kepalanya memandang. Dilihatnya seorang pengemis muda berusia kurang lebih delapan belas tahunan, berjalan mendatangi. Rambutnya acak-acakan, pakaian yang dikenakannya berwarna abu-abu dan penuh dengan tambalan. Wajahnya malah kotor sekali karena ditempeli debu-debu jalanan. Di sampingnya mengiringi seorang Hwesio yang juga berpakaian compang-camping. Usia Hwesio ini hampir sebaya pengemis tadi, hanya saja wajahnya hitam sekali. Tetapi justru karena wajahnya demikian hitam, maka sulit orang menebak bagaimana perasaan serta usia yang sebenarnya.

Tan Ki melihat kedua orang ini jalan berdampingan. Diperhatikan dari sudut manapun, tetap saja tidak enak dipandang. Selama setengah tahun ini, dia terus bertarung melawan berbagai jago dari dunia Bulim, pengalaman maupun pengetahuannya bertambah luas.
Melihat mereka melangkah dengan perlahan, namun tindakannya ringan dan cepat, dapat dipastikan bahwa ilmu ginkang kedua orang ini sangat tinggi. Hatinya langsung tergerak. Diam-diam dia berpikir: ‘Di atas Tok Liong-hong ini diselenggarakan sebuah pertemuan besar yang belum pernah ada sejak jaman dulu. Orang-orang yang hadir merupakan tokoh-tokoh yang sudah mempunyai nama cukup besar di dunia persilatan. Kalau tujuan mereka bukan untuk memperebutkan kedudukan Bulim Bengcu, tentunya hanya ingin menyaksikan keramaian saja. Meskipun tampang kedua orang ini agak aneh, tetapi dapat dipastikan bahwa mereka merupakan murid-murid dari tokoh terkemuka…’

Ketika pikirannya masih tergerak, pengemis dan hwesio cilik itu sudah lewat di sampingnya. Tetapi tepat pada saat melangkah melalui samping pundaknya, tiba-tiba pengemis cilik itu menolehkan kepalanya dan mengembangkan tawa yang lebar. Mulutnya bergerak-gerak seperti menggumam seorang diri.

“Ada keramaian bukannya disaksikan malah berdiri di sini termangu-mangu. Kalau sampai kedudukan Bulim Bengcu direbut oleh orang lain, bukankah Suhuku bisa meledak perutnya saking kesalnya?”

Kata-kata yang diucapkannya seperti bergumam seorang diri saja, tetapi begitu suaranya menyusup ke dalam telinga Tan Ki, setiap patah katanya demikian jelas dan tegas. Tan Ki yang mendengarnya sampai tertegun beberapa saat. Dia langsung menyadari bahwa kata-kata pengemis muda ini pasti mengandung maksud tertentu. Oleh karena itu, cepat-cepat dia berteriak memanggil, “Saudara berdua harap tunggu sebentar!”

Dia tidak membuka mulut memanggil masih lumayan, kedua pengemis dan Hwesio itu tetap melangkah dengan tenang. Begitu dia berteriak menyapa, keduanya seperti terkejut sekali. Langkah kaki mereka segera dipercepat, pakaian mereka berkibar-kibar menimbulkan desiran angin. Dalam sekejap mata saja keduanya sudah menghilang dari pandangan mata.

Dengan termangu-mangu Tan Ki menatapi kepergian kedua orang itu. Muncul segulung perasaan sesal dalam hatinya, seolah kehilangan kedua orang tadi merupakan kesalahannya yang terbesar.
Cepat-cepat dia membuang air kecil dan kembali lagi ke tempat di mana orang-orang gagah sedang berkumpul. Ternyata saat itu di atas pentas telah terjadi perubahan yang besar sekali.

Goan Siang Fei sudah memenangkan tiga kali pertandingan secara berturut-turut.
Otomatis hawa murninya sudah surut banyak. Tenaganya juga banyak terkuras. Sedangkan Heng Sang Si ini merupakan lawannya yang seimbang. Cara turun tangan orang ini keji sekali. Setelah ratusan jurus berlalu, keadaan Goan Siang Fei mulai terdesak, berkali-kali dia menyurut mundur.

Tiba-tiba terdengar suara bentakan yang menggelegar bagai geledek dari mulut Heng Sang Si. Lengan kanannya bergerak memutar setengah lingkaran dan dalam waktu yang hampir bersamaan, lengah kirinya terulur ke depan. Dengan jurus Iblis-Iblis Beterbangan, dia melancarkan sebuah serangan. Tenaga yang terpancar sangat kuat. Hawa panas terasa bagai gulungan angin topan yang menerbangkan pasir-pasir panas di atas tanah, dengan gencar melanda ke arah Goan Siang Fei.

Kekuatan Goan Siang Fei saat ini sudah terbatas, mana berani dia menyambut serangan itu dengan kekerasan. Dia menarik nafas dalam-dalam dan mencelat ke belakang lagi sejauh tiga langkah.

Berkali-kali dia menyurut mundur sehingga tanpa terasa dia sudah mencapai batas tonggak panggung tersebut. Situasi saat itu menggetarkan hati. Setiap detik yang berlalu bagai menyelipkan ketegangan yang tidak terkirakan. Para hadirin di bawah pentas sudah dapat melihat kedudukan Goan Siang Fei yang terjepit sekali dan setiap saat pasti bisa dijatuhkan dari atas panggung.

Nama Heng Siang Si sudah cukup terkenal di dunia Kangouw, mana mungkin dia melewatkan kesempatan emas ini. Oleh karena itu, dia segera memperdengarkan suara tawanya yang panjang. Dikerahkannya seluruh tenaga dalam yang ada pada dirinya dan dengan melancarkan sebuah pukulan yang menimbulkan angin menderu-deru, tubuhnya langsung menerjang ke depan.

Gulungan hawa yang panas dan gencar langsung melanda datang. Goan Siang Fei sudah surut mundur berkali-kali. Sekarang tidak ada tempat lagi baginya untuk melangkah mundur, tanpa dapat ditahan lagi wajahnya langsung berubah hebat. Dia segera menarik nafas dalam-dalam dan mengerahkan semua sisa tenaganya lalu melancarkan sebuah pukulan untuk menyambut datangnya serangan Heng Sang Si.

Dua gulung tenaga dahsyat dari arah yang berlawanan membentur di tengah udara. Hawa panas berpencaran ke mana-mana. Begitu kerasnya getaran kedua, pukulan itu, kain layar yang dijadikan alas panggung sampai berkibar-kibar kencang.

Terdengar Goan Siang Fei mengeluarkan suara dengusan berat. Tubuhnya sempoyongan dan tanpa dapat ditahan lagi, kakinya mundur setengah tindak. Tempat kakinya berpijak, tepat di sudut panggung. Rasa terkejutnya bukan main, kira-kira setengah depa lagi, dia pasti terjatuh ke bawah panggung. Tetapi tubuhnya diterjang oleh tenaga yang dahsyat, meskipun dia masih sanggup berdiri tegak, belum sampai kalah total. Namun dia tidak mempunyai kekuatan lagi untuk bertanding. Saat ini, apabila Heng Sang Si mengirimkan sebuah pukulan maupun sebuah tendangan, dia pasti akan terjungkal jatuh ke bawah panggung dalam keadaan terluka.
Memangnya siapa Heng Sang Si itu, mana mungkin dia sudi. melepaskan kesempatan emas ini? Mulutnya mengeluarkan suara bentakan yang keras, tubuhnya langsung mendesak ke depan dan diapun segera melancarkan dua buah serangan pukulan dan sebuah tendangan.

Dalam keadaan terdesak seperti ini, kecuali Goan Siang Fei sendiri rela mengakui kekalahannya dan mengundurkan diri dari atas panggung, tampaknya dia tidak mempunyai jalan lain lagi. Tetapi pada dasarnya watak orang ini sangat keras. Dia memandang tinggi sekali nama baik maupun gengsinya. Tentu saja orang seperti ini lebih rela mati daripada mendapatkan penghinaan. Melihat angin pukulan dan bayangan tendangan bagai kilat menyambar ke arah dirinya, dia hanya menarik nafas secara diam- diam. Seakan menyayangkan kehidupannya yang singkat dan segera akan berakhir.

Justru pada saat telur di ujung tanduk ini, tiba-tiba terdengar suara suitan yang nyaring dan bening. Suara itu berasal dari kerumunan para hadirin. Gemanya bagai gerungan naga sakti yang marah. Getarannya membuat beberapa orang yang tenaga dalamnya agak lemah menjadi sakit gendang telinganya sehingga mereka cepat-cepat mendekapkan sepasang tangan agar suara tidak begitu jelas terdengar. Tampak sebentar lagi pukulan dan tendangan itu akan mengenai tubuh Goan Siang Fei. Salah satu serangannya saja sudah pasti membuahkan hasil yang gemilang. Su-dah barang tentu hati Heng Sang Si gembira bukan kepalang. Tiba-tiba dia mendengar suara bentakan yang keras, “Berhenti!”

Disusul dengan angin pukulan yang menerjang datang dari samping tubuhnya.
Serangan itu tidak meleset sedikitpun, dikatakan lambat tidak, dikatakan cepatpun tidak, tetapi dengan tepat meluncur ke arah telapak tangan Heng Sang Si yang hampir mengenai tubuh Goan Siang Fei.

Heng Sang Si terkejut bukan kepalang. Cepat-cepat dia menarik kembali serangannya dan mencelat mundur untuk menjaga kemungkinan dirinya diserang terus oleh orang yang baru muncul ini. Setelah itu, dia baru mengalihkan pandangannya. Tampak seorang pemuda yang wajahnya sangat tampan berdiri di samping Goan Siang Fei. Penampilannya tenang, wajahnya malah tersenyum simpul.

Rupanya ketika Tan Ki melihat keadaan Goan Siang Fei yang sudah kalah dan didesak sedemikian rupa, timbul perasaan iba dalam hatinya. Tanpa mempedulikan peraturan yang berlaku, dia langsung mengeluarkan suara siulan dan mencelat ke udara setinggi dua depaan. Dengan gerakan yang ringan dan indah, dia mendarat turun di samping Goan Siang Fei. Kebetulan sekali kemunculannya dengan tepat mengelakkan Goan Siang Fei dari maut. Dia memang sudah bertekad untuk memberikan pertolongan kepada orang ini.
Melihat keadaan yang begitu genting, tanpa sadar dia mengulurkan tangannya dan mengirimkan sebuah pukulan ke depan. Hal inilah yang kemudian membuat Heng Sang Si terkejut dan cepat-cepat mencelat mundur ke belakang.

Dalam waktu yang bersamaan, terdengar suara Tan Ki yang tegas:

“Hengtai ini sudah menjalani tiga kali pertandingan sehingga tubuhnya sudah letih sekali. Sedangkan Saudara menggunakan kesempatan ini untuk menyerangnya habis- habisan, apakah tindakan Saudara ini tidak keterlaluan?”

Heng Sang Si tidak menduga pada saat seperti ini ada orang yang akan turut campur dalam urusan ini. Lagipula tenaga dalamnya begitu tinggi dan tampaknya, masih di atas
dirinya sendiri. Untuk sesaat dia jadi tertegun. Sedangkan Goan Siang Fei segera menggunakan kesempatan ini untuk mencelat ke udara dan menjauhi sudut panggung itu.

Melihat kemenangan yang hampir tercapai digagalkan oleh Tan Ki, hawa amarah dalam dadanya jadi meluap seketika. Matanya mendelik lebar-lebar ke arah anak muda itu dan membentak dengan suara keras.

“Untuk apa kau naik ke panggung ini?”

Tan Ki tersenyum lembut. “SeBagian besar dari para hadirin yang naik ke Tok Liong Hong ini bertujuan memperebutkan kedudukan Bulim Bengcu. Kalau Cayhe sampai naik ke atas panggung, tentu saja tujuannya ingin mengadu ilmu, memangnya ada jurusan apa lagi?”

Wajah Heng Sang Si menjadi kelam saking marahnya.

“Apakah kau tidak tahu peraturan? Pemuda yang usianya masih begini muda tidak mengikuti peraturan yang berlaku dan naik ke atas panggung seenaknya saja, apakah kau tidak takut dirimu akan ditertawakan orang banyak?”

Dengan gaya santai Tan Ki menjawab, “Entah di Bagian mana Cahye melanggar peraturan pertandingan ini, mohon Hengtai bersedia memberikan petunjuk.”

Sepasang alis Heng Sang Si menjungkit ke atas. Dia memperdengarkan suara tertawa yang dingin.

“Pertemuan besar yang diselenggarakan kali ini, tujuannya untuk memperebutkan kedudukan Bulim Bengcu. Orang yang hadir di tempat ini rata-rata adalah tokoh-tokoh yang sudah mempunyai nama besar, mana bisa disamakan dengan pertandingan silat di pasaran…?”

Tan Ki tidak memberikan kesempatan bagi orang itu untuk menyelesaikan kata- katanya. Sepasang alisnya ikut mengerut dan diapun langsung menukas.

“Kata-kata Saudara ini benar-benar membuat Cayhe sulit untuk mengerti. Tetapi entah di mana letak perbedaan antara pertemuan besar di Tok Liong Hon ini dengan pertandingan silat yang ada di pasaran?”

“Kalau pertandingan ilmu silat yang ada di pasaran, baik rekan yang ada di dalam arena maupun di luar arena, setiap saat boleh menghentikan pertandingan dan menyelesaikan urusan di saat itu juga. Dalam pertemuan besar ini, yang diperebutkan adalah kedudukan Bulim Bengcu. Setiap orang yang hadir membawa harapan yang besar dan juga mempunyai keyakinan bahwa ilmu silatnya sudah cukup tinggi untuk ikut bertanding.
Begitu terjun ke atas panggung menghadapi lawan, urusan menyangkut nama baik serta kalah menang yang dapat menentukan langkah kita berikutnya. Kalau tidak mempunyai keyakinan yang tinggi, lebih baik jangan coba- coba dan diam saja di bawah panggung untuk menyaksikan keramaian. Seandainya mempunyai keberanian untuk ikut bertanding, sebelumnya sudah harus mempunyai kebesaran jiwa untuk mempertaruhkan nyawa.
Lagipula tidak boleh bertindak setengah jalan, harus tegas mengambil keputusan. Dalam pertandingan yang menyangkut segala macam aturan ini, mana boleh sembarangan orang ikut turut campur seenaknya?”
Tan Ki mengeluarkan seruan. ‘Oh…’ yang panjang sekali.

“Kalau mendengar kata-kata Saudara tadi, seakan menyalahkan kemunculan Cayhe yang berniat menolong orang. Meskipun panggung ini dibangun untuk memperebutkan kedudukan Bulim Bengcu, namun tetap merupakan ajang berkumpulnya para sahabat. Saudara bisa melihat sendiri, apakah dari pagi sampai sekarang ini ada orang yang terluka parah atau sampai menemui ajalnya dalam pertandingan? Lagipula, ketika Saudara bertanding tadi, Cayhe sama sekali tidak ikut campur, atau mempunyai maksud sedikitpun untuk mencegah berlangsungnya pertandingan. Tuduhan melanggar peraturan pertandingan yang Saudara katakan tadi, Cayhe benar-benar tidak berani menyandangnya, harap Saudara…”

Heng Sang Si tampaknya tidak membiarkan Tan Ki menyelesaikan kata-katanya.

“Saudara memang tidak menghalangi jalannya pertandingan, tetapi dengan turun tangannya Saudara menolong orang saja, sesungguhnya sudah tidak pantas sekali…!” tukasnya cepat.

Tan Ki melihat watak orang ini selalu memprotes setiap perkataannya. Wajahnya yang tampan langsung berubah.

“Bukannya aku, Tan Ki, banyak” urusan. Kenyataannya Goan-heng ini sudah terlalu letih karena sudah bertanding sebanyak tiga kali. Apabila terkena serangan Saudara yang keji tadi, para sahabat di bawah panggung tentu mempunyai mata untuk melihat sendiri, apabila Cayhe tidak segera turun tangan memberikan pertolongan, bukankah selembar nyawa akan melayang dengan sia-sia?”

Heng Sang Si tertawa dingin.

“Kalau ada yang bisa disalahkan, justru dirinya sendiri yang tidak becus. Kedudukan Bulim Bengcu ini merupakan jabatan yang tidak terkira tingginya, apa dia kira mudah memperebutkan kedudukan seperti ini? Tanpa ada ketentuan kalah atau menang, bagaimana menilai hasil pertandingan. Pertandingan justru ditentukan dari mati hidupnya seseorang. Tanpa hujan tanpa angin, Tan-heng turun tangan menolongnya, berarti memang sudah berniat untuk mengacaukan pertandingan ini!”

Tan Ki melihat jawaban orang ini semakin lama semakin ngelantur. Tanpa terasa hawa amarah dalam dadanya jadi meluap. Perlahan-lahan dia memperdengarkan suara batuk kecil.

“Mohon tanya kepada Saudara, apakah dalam pertandingan ini telah ditentukan peraturan bahwa orang yang kalah tidak boleh mempunyai kesempatan untuk meninggalkan panggung ini dalam keadaan hidup? Cayhe berkelana di dunia Kangouw juga bukan baru tiga atau lima hari, tetapi sama sekali belum pernah mendengar peraturan gila ini. Dari mana sebetulnya Saudara mendengar adanya peraturan seperti itu, Cayhe ingin sekali menyelidiki kebenarannya.”

Kata-kata yang diucapkan Heng Sang Si sejak tadi merupakan protes yang tidak masuk akal. Sekarang dibalikkan oleh Tan Ki, tanpa dapat ditahan lagi dia menjadi tertegun dan tidak bisa memberikan jawaban apapun.
Tetapi pada dasarnya Heng Sang Si ini merupakan orang yang wataknya angkuh sekali dan tidak mau kalah. Di hadapan begitu banyak tokoh persilatan dari berbagai kalangan, dia didesak sedemikian rupa oleh Tan Ki, mana mungkin dia dapat menahan kemarahan hatinya? Otomatis dari malu menjadi gusar. Urat-urat hijau di dahinya langsung menonjol keluar.

“Peraturan yang ada di dunia Kangouw ini banyak macamnya. Setiap orang mempunyai pendapat yang berbeda-beda. Kalau Saudara memang sengaja mencari perkara, apa kau

kira aku benar-benar takut kepadamu? Sekarang kita mempunyai kesempatan bertemu di tempat seperti ini, aku mengharap kau sudi.
memberikan pelajaran barang beberapa jurus!”

Tan Ki sendiri masih termasuk seorang pemuda yang berdarah panas. Mendengar tantangan Heng Sang Si, dia segera melirik ke arah Yibun Siu San dan si pengemis sakti Cian Cong sekilas. Kemudian bibirnya mengembangkan seulas senyuman.

“Kalau Saudara mempunyai kegembiraan hati, Siaute tentu akan melayani dengan baik agar kau tidak merasa kecewa.”

Seraya berkata, orangnya sendiri melesat ke udara dan mencelat mundur ke belakang dan tahu-tahu sudah ada di hadapan Goan Siang Fei. Dia berkata dengan suara rendah, “Lebih baik kau mengatur pernafasan dulu agar tenagamu pulih kembali.” tubuhnya melesat kembali ke udara dan tahu-tahu sudah ada di tempat semula. Mulutnya tertawa lebar.

“Saudara ingin memberikan pelajaran dengari tangan kosong atau dengan senjata?”

Mendengar kata-katanya, tiba-tiba tubuh Heng Sang Si bergerak memutar dengan cepat. Ketika berhenti kembali, tangannya sudah menggengam sepasang gandulan besi yang tadi tersandang di bahunya. Gerakannya begitu cepat dan memang seorang tokoh yang cukup hebat. Terdengar dia tertawa seram.

“Keluarkanlah senjatamu!” katanya kemudian.

Tan Ki tertawa datar. Perlahan-lahan dia mengeluarkan sebatang seruling kuno dari selipan ikat pinggangnya. Pergelangan tangannya digetarkan, terdengarlah suara siulan yang bening dan nyaring. Hampir dalam waktu yang bersamaan, tampak cahaya berkilauan. Dari dalam seruling keluar sebatang pedang pendek. Sekali lagi dia tersenyum lembut.

“Cayhe tidak mempunyai senjata apa-apa. Biarlah sebatang seruling ini akan Cayhe gunakan untuk melawan sepasang gandulanmu itu. Tetapi jangan khawatir, aku tidak akan melukai dirimu!”

Heng Sang Si marah sekali mendengar sindirannya yang tajam.

“Sungguh ucapan yang besar sekali. Selama beberapa puluh tahun aku orang she Heng ini berkelana di dunia Kangouw, tetapi selamanya belum pernah bertemu dengan orang yang tidak memandang sebelah mata kepada orang

lain seperti dirimu ini!”

Ucapannya selesai, sepasang gandulannya langsung bergerak, dengan jurus Sepasang Naga Muncul Dari Dalam Air, dia melancarkan sebuah serangan.

Tan Ki masih tersenyum lembut. Kakinya maju satu langkah lalu tiba-tiba seperti seekor belut dia menerobos keluar dari serangan sepasang gandulan besi tersebut. Dalam waktu yang bersamaan, pedang sulingnya langsung digetarkan lalu meluncur lurus ke arah pundak Heng Sang Si. Gerakan tubuhnya begitu aneh menakjubkan sehingga hadirin yang melihatnya jadi terkejut.

Heng Sang Si belum sempat menyelesaikan jurus serangannya, malah tubuhnya terdesak sedemikian rupa sehingga mencelat mundur sejauh delapan langkah. Siapa nyana Tan Ki sama sekali tidak mengejarnya. Dia berdiri tegak dengan tangan diluruskan ke bawah. Bibirnya tersenyum simpul.

“Yang tadi terhitung jurus pertama.” katanya tenang.

Kata-kata yang sangat sederhana, tetapi Heng Sang Si yang mendengarnya merasa seperti sebatang pedang yang ditusukkan ke dalam ulu hatinya. Selama puluhan tahun berkelana di dunia Kangouw, belum pernah ada orang yang menyindirnya dengan kata- kata yang demikian tajam. Api kemarahan dalam dadanya jadi berkobar. Setelah meraung keras, sepasang gandulan besinya dipencarkan lalu menyerang dari dua arah yang berlawanan. Serangkum angin yang dingin langsung memenuhi sekitarnya dan serangannya pun meluncur ke depan dengan keji.

Tan Ki memperdengarkan suara tawa yang lepas. Tidak terlihat bagaimana dia menggerakkan tubuhnya, hanya sedikit menggeser. Tampaknya ia seperti sedang menghindari serangan lawan, tetapi sebetulnya malah dia yang melancarkan sebuah serangan. Tangannya bergerak dan diapun mengirimkan sebuah totokan ke arah lawan.

Jurus ini anehnya bukan main. Bukan saja dia bisa menghindarkan serangan keji Heng Sang Si dengan mudah, malah sekaligus dapat melancarkan serangan balasan. Sekejap mata dia sudah sampai di sisi tubuh orang itu. Begitu hebatnya serangan yang dilancarkan sehingga Heng Sang Si terdesak sedemikian rupa dan mau tidak mau terpaksa menarik kembali serangannya. Setelah itu dia mencelat mundur sejauh tiga langkah. Dengan demikian baru dia dapat menghindarkan diri dari serangan Tan Ki.

Wajah Tan Ki tetap mengembangkan senyuman yang manis. Dia juga menghentikan gerakan kakinya.

“Yang ini jurus kedua!” selesai berkata, dia tertawa lagi.

Matanya menyorotkan sinar yang tajam. Penampilannya demikian tenang dan berwibawa. Kesan yang ditimbulkannya justru membuat hati orang merasa bahwa dia bukanlah lawan yang mudah dihadapi.

Setelah Tan Ki dan Heng Sang Si saling menyerang sebanyak dua jurus, siapa yang akan meraih kemenangan atau siapa yang akan kalah, tidak sulit lagi diduga. Sebuah kenyataan lagi yang tidak dapat diingkari, biar rendah atau tinggi tenaga dalam yang dimiliki Tan Ki, tetapi gerakan tubuh serta jurus serangannya yang aneh saja, sudah merupakan hal yang sulit ditandingi oleh Heng Sang Si.
Para hadirin yang ada di bawah panggung sudah dapat melihat, apabila Tan Ki benar- benar mengerahkan segenap kemampuannya, dalam sepuluh jurus saja Heng Sang Si pasti akan terkapar di lantai panggung dengan tubuh bermandikan darah. Tampaknya sikap Tan Ki yang tenang memang bukan penampilan yang dibuat-buat.

Sejak semula si pengemis sakti Cian Cong terus memperhatikan gerak-gerik Tan Ki. Dia melihat cara turun tangannya yang sangat mantap. Setiap jurus yang dimainkannya mengandung perubahan yang hebat. Sebagai se orang yang sudah berpengetahuan luas, ternyata dia masih belum dapat menebak gerakan apa yang dimainkan Tan Ki. Tanpa dapat ditahan lagi, sepasang alisnya mengerut. Dia melirik ke arah Yibun Siu San. Dalam pikirannya, mereka berdua sama-sama pernah memberi petunjuk tentang ilmu silat kepada Tan Ki. Sudah pasti hati orang ini sangat sayang sekali kepada Tan Ki sehingga secara diam-diam mengajarkan ilmu yang hebat dan merupakan andalannya. Dua jurus yang dilancarkannya tadi, Yibun Siu San pasti paham sekali.

Siapa nyana ketika dia melirik ke arah orang itu, diam-diam hatinya jadi tergetar. Tampak sepasang alis Yibun Siu San juga terus mengerut dan memperhatikan tengah arena dengan pandangan terkesima. Wajahnya menyiratkan kebingungan. Tampaknya dia juga tidak mengenali gerakan yang dimainkan Tan Ki barusan. Bahkan mimik wajahnya juga menyiratkan kebimbangan yang dalam.

Justru ketika kedua orang itu memejamkan matanya merenungi ilmu silat yang dikerahkan Tan Ki tadi, Heng Sang Si juga langsung melancarkan jurus serangannya yang paling hebat dan dengan gencar diarahkan kepada Tan Ki. Tampak sepasang gandulan besinya bagai capitan kepiting raksasa yang siap menjepit lawannya hingga gepeng seperti perkedel.

Tidak diragukan lagi bahwa nama Heng

Sang Si cukup terkenal di daerahnya sendiri, bukan saja cara turun tangannya demikian cepat tetapi di dalamnya juga terkandung berbagai tipuan. Kadang-kadang seperti sebuah serangan yang sungguh-sungguh, namun kenyataannya hanya siasat untuk mengecoh lawan. Sepasang gandulannya yang sebesar semangka itu melayang-layang di udara bagai sedang menggerakkan tarian. Cahaya yang berkilauan, bayangan sepasang gandulannya menghantam, mengibas, menyapu, memutar, semuanya mengarah ke Bagian tubuh yang penting.

Tan Ki masih tetap tersenyum simpul. Tangannya bergerak, pakaiannya berkibar-kibar. Dia menerobos masuk ke dalam bayangan sepasang gandulan tersebut. Tampak tubuhnya bergerak memutar, persis seperti seekor kupu-kupu yang menyusup ke dalam gerombolan bunga, dan dia berkelebat ke sana ke mari di dalam kurungan bayangan sepasang gandulan lawannya itu.

Meskipun sepasang gandulan itu menyambar ke segala penjuru dengan gencarnya bagai hujan badai yang dahsyat, tetapi malah kelihatannya persis seperti makanan yang enak dilihat tetapi tidak enak dimakan. Dari awal

sampai akhir, jangan kata tubuh Tan Ki, ujung pakaian anak muda itupun tidak tersentuh olehnya.

Dalam waktu yang singkat, Heng Sang Si terus memainkan jurus-jurus mautnya. Secara berturut-turut dia sudah mengerahkan dua belas jurus lebih. Di lain pihak dalam dua belas
jurus ini boleh dibilang Tan Ki hanya mengelak ke sana ke mari, dia tidak pernah membalas sebuah seranganpun.

Setelah dua belas jurus berlalu, tiba-tiba terdengar suara tawanya yang panjang.
Pedang sulingnya menimbulkan hawa yang dingin serta melancarkan sebuah serangan secara mendadak. Tampak cahaya dingin berkilauan menusuk mata. Jurusnya yang aneh dikerahkan secara berturut-turut. Heng San Si yang sejak tadi tidak mengadakan persiapan, langsung menjadi kelabakan dan tidak dapat menahannya. Tahu-tahu jalan darahnya telah tertotok ujung senjata Tan Ki yang tajam dan jatuh tidak sadarkan diri di atas panggung. Yang ajaib justru cara pengerahan tenaga dalamnya yang tepat sekali.
Meskipun senjatanya sangat tajam sehingga dapat memotong segala macam logam, tetapi ketika dada Heng Sang Si tertotok olehnya, ternyata tidak mengakibatkan luka goresan setitikpun.

Begitu Heng Sang Si terjatuh tidak sadarkan diri, Kok Hua Hong yang bertugas sebagai regu keamanan cepat-cepat menghampiri lalu menggotongnya turun dari panggung tersebut.

Sementara itu setelah Goan Siang Fei mengatur pernafasannya beberapa saat, hawa murni di dalam tubuhnya sudah pulih kembali. Melihat Tan Ki dengan mudah dapat memenangkan satu babak pertandingan ini, dia merasa penasaran sekali. Oleh karena itu, dia segera berdiri dan melangkah perlahan-lahan menghampiri anak muda itu. Dia segera merangkapkan sepasang kepalan tangannya dan menjura dalam-dalam.

“Orang she Goan minta petunjuk.” tangannya menekan sesuatu di Bagian pinggang dan terdengar suara Brett! Senjatanya yang berupa cambuk lemas langsung dihentakkan ke depan. Matanya memperhatikan Tan Ki lekat-lekat dan memusatkan perhatiannya untuk menghadapi lawan.

“Bagus sekali.” kata Tan Ki sambil tersenyum.

Kaki kirinya bergerak maju ke depan setengah langkah. Dengan jurus ajaib yang memang khusus diciptakan sebagai pembukaan untuk menghadapi lawan, yakni Mengibas Pasir di Tanah, perlahan-lahan ia memulai gerakan.

Goan Siang Fei melihat gerakannya ini sangat istimewa. Pedang di tangannya menimbulkan cahaya yang dingin. Sikap Tan Ki demikian anggun berwibawa bagai seorang pangeran yang siap dilantik menjadi raja. Hati Goan Siang Fei langsung tergetar. Dia membentak dengan suara keras.

“Tunggu dulu!” kakinya langsung menutul dan tubuhnya mencelat mundur sejauh tiga langkah.

Mendengar bentakan Goan Siang Fei, ternyata Tan Ki benar-benar menarik kembali jurus yang sudah dijalankannya. Bibirnya mengembangkan seulas senyuman yang penuh persahabatan.

“Ada apa?”

Sikap Goan Siang Fei serius sekali. Dia memperhatikan Tan Ki dari atas kepala sampai ke ujung kaki. Setelah melihat sejenak, tiba-tiba dia memejamkan sepasang matanya dan menarik nafas panjang. Kepalanya digelengkan dan dia berkata dengan suara datar:

“Aku sebetulnya tidak habis pikir, mengapa usia Saudara masih demikian muda namun sudah memiliki pengetahuan yang demikian dalam mengenai Kiam-sut. Dalam satu jurus saja, cahaya berkilauan dan titik sinar memercik ke mana-mana. Orang sampai tidak dapat melihat ke mana arah sasaran pedangmu itu, dan tidak tahu pula ke mana tubuhmu akan bergerak. Jurus yang dikerahkan oleh seorang ahli memang mampu membuat hati orang tergetar karena mendengarnya saja… aih! Sekarang Hengte baru mengerti. Rupanya ilmu yang Saudara pelajari merupakan ilmu pedang istimewa dan Saudara sudah bisa mencapai tingkat kena di sasaran namun tidak melukai lawan. Babak ini Hengte mengaku kalah, tidak perlu bertanding lagi!” begitu ucapannya selesai, tanpa menunggu jawaban dari Tan Ki, ia segera mencelat turun dari atas panggung dan menghilang dalam kerumunan para hadirin yang ramai itu.

Tan Ki melihat orang itu sikapnya sangat terbuka, bilang pergi benar-benar langsung pergi. Diam-diam di dalam hatinya timbul rasa kagum. Dia juga merasa terharu melihat sikap orang itu yang demikian tegas.

‘Para tokoh di dunia Bulim juga tidak semuanya berhati licik dan berpandangan sempit. Ternyata masih juga ada orang yang berjiwa gagah dan ksatria. Hanya saja yang kutemui hanya segelintir…’

Pikirannya masih melayang-layang, tiba-tiba dari bawah panggung berkumandang suara siulan yang panjang. Disusul dengan dua sosok bayangan yang berkelebat ke atas. Mungkin karena tenaga dalam mereka masih kurang kuat, sehingga suara siulan itu tidak sempat bergema lama namun sudah putus di tengah jalan.

Siulannya berhenti, orangnyapun muncul. Ternyata mereka adalah sepasang pengemis dan liwesio muda yang bertemu dengan Tan Ki tadi.

Hati Tan Ki jadi gembira. Baru saja dia ingin mengatakan sesuatu, tiba-tiba si pengemis muda itu sudah membungkukkan tubuhnya dan menjura ke arah si pengemis sakti Cian Cong, mulutnya mengeluarkan suara tertawa terkekeh-kekeh.

“Suhu, apa kabar? Di sini Tecu, Cu Cia memberi hormat kepadamu!”

Cian Cong membuka sepasang matanya dan mendengus satu kali. i

“Si pengemis tua tidak sakit dan tidak menderita luka apa-apa, tentu saja baik-baik serta sehat!” sahutnya ketus.

Ternyata si pengemis sakti ini memang wataknya sleboran. Dia paling benci segala macam peradatan. Pertemuan antara guru dan murid, asal membungkukkan, tubuh sedikit saja sudah cukup baginya. Bahkan nada suara pembicaraannya juga seenaknya saja, tidak terkandung kewibawaan sebagai angkatan yang lebih tua.

Mendengar pembicaraan di antara dua orang itu, Tan Ki jadi tertegun. Hatinya berkata: ‘Rupanya Cian Locianpwe juga mempunyai seorang murid…’

Ketika pikirannya masih tergerak, tiba-tiba telinganya menangkap suara yang lirih namun jelas, “Hengte, jangan berpikir si setan cilik itu adalah muridku, lalu kau jadi sungkan untuk turun tangan. Dia berani membangkang pesan si pengemis tua dan keluar
dengan sembunyi-sembunyi. Cepat kau wakili si pengemis tua hajar dia habis-habisan biar tahu rasa!”

Tan Ki segera mengetahui bahwa Cian Cong yang berbisik kepadanya lewat ilmu Coan Im Jut-bit. Tentu saja orang lain tidak bisa mendengar apa yang dikatakannya. Oleh karena itu, Tan Ki langsung tersenyum simpul. Diam-diam dia mengerahkan tenaga dalamnya dan bersiap menghadapi lawan.

Si pengemis cilik, Cu Cia menolehkan kepalanya dan menatap sekilas ke arah Hwesio berwajah hitam tadi. Mulutnya masih saja tertawa lebar.

“Hek Lohan (Lohan Hitam) mari kita bergebrak dengan dia barang beberapa jurus dan lihat apakah dia mempunyai permainan baru yang menyenangkan.”

Hek Lohan, Sam Po tertawa terkekeh-kekeh.

“Bagus sekali, mari kita main-main!” selesai berkata, dia langsung mendahului melangkah ke depan. Dia mengangkat tinjunya yang besar dan langsung menghantam keluar.

Orang ini wajahnya hitam bagai bak tinta. Sikapnya seperti ketolol-tololan, tetapi tinjunya ini ternyata mengandung tenaga yang dahsyat sekali. Angin yang timbul terdengar berderu-deru, gelombang hawanya bagai hempasan ombak.

Tan Ki tersenyum simpul. Sikapnya masih seperti tadi. Dari luar tampaknya dia tidak mengadakan persiapan sama sekali. Padahal dia sudah mengerahkan tenaga dalamnya secara diam-diam. Begitu serangan Hek Lohan, Sam Po meluncur ke arahnya, tiba-tiba tubuhnya berkelebat, dalam waktu yang bersamaan telapak tangan kanannya menghantam ke depan. Tetapi di saat pukulannya dihantamkan ke depan, tampaknya seperti tidak mengandung tenaga dalam sama sekali. Bahkan tidak terdengar deruan angin sedikitpun. Namun Hek Lohan juga bukan orang yang benar-benar bodoh dan tidak tahu apa-apa. Sekali lihat saja, dia sudah tahu kalau serangan Tan Ki ini merupakan ilmu pukulan kelas tinggi. Di Siau Lim Si sendiri ada sejenis ilmu yang sama yang dinamakan Kim Kong-ciang. Ilmu pukulan yang langka ini memang tampaknya tidak ada keistimewaan apa-apa, karena pada dasarnya seluruh tenaga dalam sudah terhimpun dalam telapak tangan dan baru dapat dirasakan apabila sudah hampir mengenai sasarannya.

Ilmu ini memang khusus untuk melukai isi perut lawan. Biarputt tenaga dalammu sangat hebat, bahkan dapat dibandingkan dengan besi atau baja, namun tetap saja tidak sanggup menahannya. Otomatis Hek Lohan juga tidak memperdulikan serangannya kepada lawan lagi. Cepat-cepat dia berjungkir balik di udara dan mencelat ke belakang sejauh lima depa.

Tangan kiri Tan Ki bergerak, kembali dia melancarkan sebuah5 serangan yang tidak kalah hebatnya dengan yang pertama. Segulungan angin yang kencang terpancar keluar mengiringi pukulannya. Serangan kali ini mengandung kekuatan yang dahysat sekali, persis bagai ombak yang menghempas batu karang. Si pengemis cilik tadinya sudah mengerahkan tenaga dalam secara diam-diam dan siap menghadapi lawan. Namun ketika melihat serangan Tan Ki yang begitu hebat serta mengandung angin yang tajam, hatinya pun tercekat. Cepat-cepat dia menggeser langkah kakinya dan melesat ke samping untuk menghindari serangan tersebut.
Ilmu silat Tan Ki yang aneh dan tinggi benar-benar menggetarkan si pengemis cilik dan Hwesio muda itu. Tampak dua pasang mata mereka terbelalak lebar-lebar bagai buah tho dan memperhatikan diri Tan Ki sampai termangu-mangu. Begitu terkejutnya kedua orang itu, sampai sama-sama tidak dapat mengucapkan sepatah katapun.

Ketiga orang itu berdiri dengan posisi bentuk segitiga. Tiba-tiba tampak si pengemis cilik mengerlingkan matanya dan membentak dengan suara keras.

“Kau juga coba seranganku ini!” sepasang tangannya menghantam dan terasa sferang- kum kekuatan yang. dapat merobohkan sebatang pohon melanda datang ke arah Tan Ki.

Melihat si pengemis cilik itu tiba-tiba melancarkan sebuah pukulan, sikap Tan Ki yang santai langsung berubah serius. Dengan posisi tangan menahan di depan dada, diapun langsung melancarkan sebuah pukulan menyambut datangnya serangan si pengemis cilik.

Kedua rangkum tenaga yang dahsyat segera beradu di udara. Si pengemis cilik segera menunjukkan gejala kekalahannya. Kakinya goyah, tetapi orang ini termasuk cukup nekad juga. Mulutnya mengeluarkan suara seruan yang lirih dan sepasang tangannya maju mundur, secara berturut-turut dia melancarkan lagi empat buah pukulan.

Hati Tan Ki sudah siap dan tidak merasa gentar sedikitpun. Dia juga tidak menghindar, sekaligus dia menyambut empat buah pukulan itu dengan keras.

Yang satu melancarkan empat buah serangan, yang satunya lagi menyambut empat buah pukulan. Wajah kedua orang ini langsung berubah hebat, nafas Tan Ki agak tersengal-sengal. Sedangkan keringat si pengemis cilik sudah bercucuran membasahi seluruh tubuhnya. -

Si pengemis cilik melihat bahwa empat serangannya yang dikerahkan dengan tenaga dalam sepenuhnya masih belum sanggup mengalahkan Tan Ki. Tanpa dapat ditahan lagi, hawa amarah dalam dadanya jadi meluap. Dia membentak keras dan telapak tangannya pun menghantam, keluar memancarkan segulung angin yang kencang. Gerakannya begitu cepat bagai kilat yang baru terlihat di angkasa tahu-tahu sudah menyambar datang.

Tan Ki h berdiri tegak, tidak ada kesempatan lagi baginya untuk menghindar. Terpaksa dia mengulurkan telapak tangannya untuk menyambut dengan kekerasan. Kedua orang ini melakukan pertandingan dengan gerak cepat. Mungkin maksudnya ingin meraih kesempatan yang bagus sehingga bisa mendahului lawannya. Tanpa terasa sama sekali, semakin bergebrak, akhirnya malah menjadi pertarungan yang selalu menggunakan cara keras lawan keras. Terdengar suara benturan yang keras, tubuh Tan Ki terhuyung- huyung. Tetapi akhirnya dia tetap dapat berdiri tegak di tempatnya semula. Si pengemis cilik sendiri sampai tergetar mundur tiga langkah, tubuhnya masih sempoyongan dan kemudian terjatuh di atas papan panggung dan memuntahkan segumpal darah segar.
Tampak di setiap bekas injakan kakinya terdapat papan yang retak.

Yang aneh, justru meskipun dia terluka isi perutnya bahkan sampai memuntahkan darah, tetapi wajahnya malah tidak menyiratkan kegusaran sedikitpun. Dia malah tampaknya gembira sekali. Kepalanya mendongak ke atas dan tertawa terbahak-bahak.

“Kau benar-benar hebat. Si pengemis cilik rela mengaku kalah!”
Tan Ki melihat sikap orang ini sangat terbuka. Berani membuka mulut mengakui kekalahannya sendiri. Baru saja dia ingin mengucapkan beberapa patah kata untuk menghibur hatinya, siapa tahu mendadak Cu Cia si pengemis cilik itu seperti tiba-tiba teringat akan suatu masalah yang besar. Dengan kedua tangan mendekap di depan dada, dia langsung melonjak bangun dan berlari ke samping Hek Lohan. Kemudian terdengar dia berkata dengan suara lirih, “Hek Lohan, kita bukan tandingannya. Mari kita pergi.” sepasang pundaknya bergerak sedikit dan tahu-tahu tubuhnya sudah meloncat turun dari atas panggung.

Meskipun saat itu dia sedang dalam keadaan terluka dan hawa murninya agak mem- buyar, tetapi loncatannya tetap saja mengandung kecepatan yang hebat. Terdengar suara desiran angin, Sam Po Hwesio tidak mengucapkan sepatah katapun dan langsung mencelat turun mengikuti si pengemis cilik.

Sementara itu wajah para hadirin yang ada di bawah panggung satu per satu berubah menjadi kelam. Mata mereka semua terpusat pada diri Tan Ki. Bahkan Cian Cong, Yibun Siu San, kakak beradik Cin Ying dan Cin le, Mei Ling, Liang Fu Yong serta beberapa lainnya yang mengenal anak muda ini, setelah memperhatikan setengah harian, mereka masih tetap belum dapat menduga gerakan apa yang dilakukan oleh Tan Ki. Secara berturut- turut Tan Ki mengalahkan empat orang. Baik gerakan tubuh, Kiam-sut, tenaga dalam maupun perubahan jurus serangannya semuanya mengandung keajaiban. Bahkan tampaknya tenaga dalam anak muda ini juga merupakan ilmu tingkat tinggi yang jarang dapat ditemui dalam dunia Kangouw.

Tan Ki bagai sebuah patung pahatan yang indah dan berdiri tegak di hadapan para hadirin. Sikapnya tenang mengandung kegagahan yang tidak terkirakan. Dilihat dari sudut mana pun tetap saja menimbulkan rasa hormat sehingga orang tidak berani mencari perkara dengannya. Para hadirin yang melihat penampilannya hari ini, ada seBagian yang menyesalkan ilmu silatnya sendiri yang tidak dapat menyamainya, namun ada juga seBagian besar yang merasa kagum sekali terhadap usianya yang masih begitu muda namun sudah berhasil menguasai ilmu setinggi itu. Tiba-tiba…

Terdengar lagi suara siulan yang bening dan nyaring. Namun yang ini kali tidak dapat disamakan dengan yang pertama. Sekali dengar saja sudah dapat dipastikan bahwa tenaga dalam orang ini jauh lebih tinggi bahkan sudah mencapai tingkat teratas.

Tampak sesosok bayangan bagai seekor burung rajawali yang menukik turun ke atas panggung. Gerakan orang yang baru datang ini luar biasa cepatnya. Namun ketika mendarat turun, kakinya tidak menimbulkan suara sedikitpun, persis seperti sehelai bulu angsa yang melayang turun di atas tanah.

Pandangan mata Tan Ki mengerling untuk melihat, tanpa dapat ditahan lagi hatinya jadi tercekat. Wajahnya yang tampan berubah hebat. Orang yang datang ini sama sekali tidak asing baginya. Siapa lagi kalau bukan Pangcu Ti Ciang Pang yang ditakutinya, Lok Hong.

Jantungnya langsung berdebar-debar. Tanpa sadar dia mendekap dadanya sendiri seakan ingin mengurangi rasa gentar dalam hatinya.
Tampak wajah Lok Hong hijau membesi. Sepasang alisnya terus mengerut. “Lohu ingin menanyakan beberapa pertanyaan kepadamu. Tidak ingin berbicara
panjang lebar. Tetapi kau harus menjawab dengan jujur. Sepasang mata Lohu yang sudah
tua ini sudah banyak melihat hal-hal yang aneh di dunia ini. Jangan coba-coba berdusta sepatah katapun juga!” bentaknya dengan suara keras.

Tan Ki tersenyum datar. Sepasang tangannya mengait di depan dada.

“Kalau memang Cayhe tahu, tentu saja tidak akan menutupinya sedikit juga.” Lok Hong tertawa dingin.
“Lohu tadi berdiri di bawah panggung dan memperhatikan jalannya pertandingan dengan tenang. Tetapi ketika melihat kau berhasil mengalahkan empat orang berturut- turut dengan berbagai jurus yang aneh, Lohu
melihat jurus-jurus tersebut banyak Bagian yang ada persamaannya dengan ilmu kepandaian Ti Ciang Pang kami. Itulah sebabnyaLohu menjadi heran dan ingin menanyakan persoalan ini kepadamu…!”

Hati Tan Ki tergetar mendengarnya. Dia merasa tubuhnya tiba-tiba bagai diserang serangkum hawa dingin sehingga gemetar. Keringat dinginpun bercucuran di keningnya dan diam-diam dia berpikir di dalam hati: ‘Celaka! Kali ini seluruh rahasiaku pasti terbongkar!”

Traktiran: (7891767327 | BCA A.n Nur Ichsan) / (1740006632558 | Mandiri A.n Nur Ichsan) / (489801022888538 | BRI A.n Nur Ichsan) ataupun bisa melalui via Trakteer yang ada dibawah

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar