Postingan

 
Bagian 33

Lok Ing tertawa pilu. Dia menggelengkan kepalanya tanpa menyahut. Tawanya ini bagai mencetuskan beribu kata-kata dalam hatinya. Sekejap kemudian, tampak dua butir air mata mengalir dengan deras membasahi pipinya yang halus.

Tampangnya yang mengenaskan ini benar-benar membuat Lok Hong terpana. Cucu perempuannya yang paling keras kepala dan tinggi hati, mengapa secara tiba-tiba bisa berubah menjadi demikian lemah. Hatinya ingin sekali menanyakan apa yang disusahkan oleh gadis itu. Tetapi berbagai perasaan berkecamuk di dalam kalbunya sehingga dia sendiri tidak tahu apa yang harus dikatakannya dan dari mana dia harus memulainya…

Terdengar suara Lok Ing yang lembut dan lirih bagai orang yang sedang berkeluh kesah.

“Dia sudah hampir mati. Andaikata dia mempunyai kesalahan terhadap Yaya, harap pandang muka Ing-ji kali ini saja. Jangan tanya segala macam, biarlah dia menghadapi pertarungan ini dengan tenang, setelah dia mati…”

Lok Hong terkejut sekali. Dengan pandangan tidak mengerti dia mengajukan pertanyaan kembali.

“Apa… apa yang kau katakan?” Lok Ing menangis tersedu-sedu.
“Yaya, marilah kita pergi. Entah siapa yang meracuninya, tahu-tahu keadaannya sudah parah sekali. Kemungkinan malah tidak dapat melewati senja ini dan tidak diragukan lagi dia pasti akan mati. Yaya harus membangkitkan semangatnya melakukan pertarungan.
Seandainya harus mati, biar bagaimana juga harus membiarkan dia meninggalkan sedikit nama di dunia ini. Aku tidak ingin melihat tampangnya ketika menghadapi kematian. Aku akan pergi jauh-jauh, semakin jauh semakin baik…”

Kembali dia mengembangkan seulas senyuman yang pahit kemudian melanjutkan lagi kata-katanya. “Setelah dia mati, aku akan kembali lagi membereskan jenasahnya kemudian memilih sebuah pegunungan yang sunyi atau lembah yang tenang dan akan
kubangunkan sebuah makam yang besar dan indah. Biar dia dapat terbaring di sana dengan tenteram untuk selamanya…”

Sembari berkata, air matanya terus menetes. Nada ucapannya biasa- biasa saja, tidak terselip gejolak perasaannya yang galau. Tetapi bagi pendengaran Lok Hong, hatinya bagai diganduli beban yang berat. Dari kata-katanya yang demikian romantis, sudah tidak usah diragukan lagi kalau cucu kesayangannya ini sudah mengambil keputusan yang tidak dapat diganggu gugat atas diri pemuda ini.

Baru saja dia ingin mengucapkan beberapa patah kata untuk menghibur hati cucunya, Lok Ing sudah menarik tangannya dan menyeretnya meninggalkan tempat itu.

Hal yang sama pada diri mereka adalah langkah kaki keduanya yang demikian berat.
Apa yang terkandung dalam kalbu mereka sudah barang tentu jauh berlainan. Tetapi pokok persoalannya sudah pasti diri Tan Ki juga.

Tan Ki memandangi bayangan kedua orang itu sampai jauh sekali. Beban dalam hatinya, seakan menjadi ringan. Dia mengerlingkan matanya dan berhenti pada diri manusia berpakaian putih. itu. Ditatapnya orang itu lekat-lekat sambil mengembangkan seulas senyuman.

“Urusan kita belum selesai, sekarang juga kita tentukan akhir pertarungan kita. Cepat ke mari!” sepasang tangannya mengambil posisi menahan di depan dada. Dia langsung memasang kuda-kuda seakan sudah siap menghadapi serangan lawan.

Sepasang mata manusia berpakaian putih itu membuka lalu melirik ke arah manusia berjubah hitam longgar yang tampaknya merupakan pimpinan mereka. Dia seperti sedang menanti perintah dari orang itu.

Manusia berjubah hitam longgar itu mengangkat tangannya ke atas dan menunjuk sebanyak dua kali. Manusia berpakaian putih itu-pun segera mengangguk-anggukkan kepalanya. Wajahnya yang pucat pasi tampak berkerut-kerut. Tiba-tiba dia mengeluarkan suara pekikan yang aneh, tubuhnya menyusul mencelat ke udara lalu menerjang ke depan.

Boleh dibilang dalam waktu yang bersamaan, Tan Ki juga mendongakkan wajahnya dan bersuit nyaring. Sepasang kakinya bergerak menghentak di atas tanah dengan keras.
Tubuhnya melesat ke udara menyambut kedatangan manusia berpakaian putih itu.

Kejadiannya itu berlangsung dalam sekejap mata saja. Gerakan tubuh kedua orang itu saling menerjang dari dua arah. Dalam waktu yang singkat pukulan keduanya beradu di udara. Terdengarlah suara ledakan yang menggelegar. Dua pasang telapak sama-sama mengerahkan sebuah jurus di tengah angkasa.

Cara bertarung keras lawan keras seperti ini, meskipun Tan Ki sudah bersiap sedia menghadapi lawannya dengan melancarkan serangan balasan yang hebat, tetapi karena lawannya di atas dan dia menyusul kemudian, maka tubuhnya pun tertekan oleh arus tenaga lawan sehingga anjlok turun lagi ke atas tanah.

Oey Ku Kiong yang masih duduk bersila di atas tanah, tiba-tiba membuka sepasang matanya. Perlahan-lahan dia melirik Tan Ki sekilas. Dari sinar matanya tersorot
kekhawatiran dan kecemasan hatinya. Seakan takut kalau Tan Ki bukan tandingan manusia berpakaian putih itu dan baru bergebrak saja sudah mengalami kekalahan.

Tetapi dia melihat wajah Tan Ki serius dan berwibawa. Sikapnya seperti seorang tokoh yang sudah mencapai taraf kesempurnaan. Hal ini membuat orang yang melihatnya merasa dalam hatinya timbul perasaan hormat.

Pengetahuannya sangat luas. Melihat tampang Tan Ki yang keren dan angker, dia segera menyadari bahwa ilmu Tan Ki sudah mendapatkan kemajuan yang pesat. Sikapnya yang berwibawa itu justru merupakan ciri khas seorang tokoh tingkat tinggi sebelum memulai pertarungan.

Perlu diketahui bahwa kecerdasan Tan Ki melebihi orang lain. Dalam usia dua puluh tahun saja, dia sudah menggemparkan dunia persilatan. Nama Cian bin mo-ong berkumandang ke mana-mana dan menggetarkan hati setiap orang. Di tambah lagi selama bulan terakhir ini dia sudah memahami berbagai kesulitan yang tadinya menggelayuti pikirannya. Hal ini membuat ilmu silatnya mengalami kemajuan yang pesat. Meskipun Oey Ku Kiong sendiri belum berhasil menembus urat penting dalam tubuhnya, tetapi terhadap perkembangan ilmu silat dan reaksi-reaksi yang diperlihatkan, dia justru paham sekali.
Oleh karena itu, sekali lihat saja dia sudah tahu bahwa kepandaian Tan Ki sekarang sudah jauh lebih hebat dibandingkan sebelumnya.

Saat ini jarak diantara keduanya kurang lebih empat lima langkah. Mereka seperti saling menguji kesabaran.

Sinar mata Oey Ku Kiong mengendar. Dia melihat sepasang mata Tan Ki sedang menatap si manusia berpakaian putih lekat-lekat, seakan dari pukulannya tadi dia dapat menduga bahwa orang itu bukan lawan yang mudah dihadapi dan tidak boleh dipandang ringan sama sekali. Sikapnya serius sekali.

Tiba-tiba dari kejauhan berkumandang suara suitan secara berturut-turut. Manusia berjubah hitam longgar serta bermata sipit itu langsung mengerutkan sepasang alisnya. Kemudian dia tertawa dingin. Dalam sekejap mata sikapnya kembali angkuh dan sombong.

Tampak Tan Ki mengeluarkan sebatang suling dari balik lengan bajunya dengan gerak perlahan-lahan. Kemudian dia menggetarkannya. Tiba-tiba muncul guratan sinar yang berkilauan serta menimbulkan hawa dingin. Pandangan mata menjadi kabur dibuatnya.

Rupanya di dalam seruling itu terdapat sebilah pisau yang panjang kurang lebih tiga cun. Apabila ditekan, pedang itu baru keluar.

Tetapi kalau dikibaskan dengan keras, pisau itu bisa masuk lagi ke dalam. Jadi seperti semacam senjata yang tersembunyi.

Manusia berpakaian putih itu melihat Tan Ki mengeluarkan senjatanya. Sepasang matanya yang sayu seperti mata setan tiba-tiba memancarkan sinar berwarna kehijauan. Dia berdiri dengan sikap bimbang, seakan senjata yang tersimpan dalam seruling Tan Ki membuatnya ngeri sebelum bertarung. Sikap Tan Ki yang keren dan berwibawa juga membuat orang yang melihatnya tidak berani memandangnya sebagai lawan yang enteng.

Ketegangan yang luar biasa heningnya mengiringi waktu yang merayap dengan perlahan-lahan, suasana yang mencekampun semakin terasa…

Dengan gerakan lambat Tan Ki mengangkat serulingnya ke atas. Tiba-tiba tubuhnya melesat ke depan menerjang masuk. Sinar berwarna putih melintas di udara, tahu-tahu orangnya sudah kembali pada posisi semula.

Gerakannya yang lambat tiba-tiba menjadi cepat. Hanya tampak sinar pedang berkilauan sekejap mata, orangnya pun sudah kembali ke tempat semula. Kecepatan ini sungguh sulit diikuti mata biasa. Boleh dibilang sepesat kilat yang menyambar.

Satu jurus serangan kedua orang itu dilakukan tanpa menimbulkan suara sedikitpun. Tidak terdengar suara pukulan ataupun gerakan pedang pendek dalam seruling Tan Ki.

Oey Ku Kiong mendongakkan kepalanya dan memperhatikan dengan seksama. Tanpa dapat ditahan lagi hatinya jadi bergetar. Dia melihat sepasang lengan serta tubuh tegak si manusia berpakaian putih telah merubah gerakannya, tampaknya dengan mudah dia dapat menghadapi serangan Tan Ki yang secepat kilat itu. Tetapi di lengan bajunya yang longgar itu telah terlihat celah sebesar empat lima cun. Secara samar-samar dapat terlihat bekas darah yang merembes.

Tidak diragukan lagi… serangan seruling yang dilakukan Tan Ki tadi telah berhasil melukai si manusia berpakaian putih. Namun rupanya luka yang ditimbulkan oleh pedang pendek yang tersembunyi dalam serulingnya tidak terlalu dalam.

Oey Ku Kiong sampai menarik nafas panjang-panjang.

“Dia sungguh perkasa,” katanya seperti kepada dirinya sendiri.

Semacam emosi yang tidak dipahaminya membuat pandangannya terhadap Tan Ki jadi berubah. Dia merasa anak muda itu bagai sinar mentari yang baru menyingsing, yang cahayanya membuat perasaan orang menjadi silau mengejutkan. Sikapnya berwibawa dan anggun. Dia berdiri tegak di hadapannya dengan wajah serius. Bahkan si manusia berpakaian putih yang dirinya sendiri mengakui tidak dapat mengalahkan, ternyata dengan gerakan yang sederhana dan tampaknya mudah sekali, berhasil dilukai Tan Ki. Bila dia tidak menyaksikan hal ini dengan mata kepalanya sendiri, dia benar-benar tidak percaya bahwa peristiwa ini merupakan kenyataan.

Tangan kanan Tan Ki terangkat ke atas, pedang pendek yang menyambung dengan serulingnya memancarkan cahaya yang berkilauan dan perlahan-lahan mengarah ke dada si manusia berpakaian putih tersebut.

Dengan jurus Pergelangan Tangan Mengibas Awan, telapak tangannya langsung terentang. Dari bawah tiba-tiba memutar ke atas. Tiba-tiba manusia berpakaian putih itu menyerang ke arah pergelangan Tan Ki yang menggenggam sebatang” seruling berisi senjata aneh itu.

Tampang manusia berpakaian putih ini benar-benar mirip sesosok mayat yang diseret dari liang kubur. Dia menggerakkan tangannya yang kosong tanpa membawa senjata apapun. Tetapi pada sepuluh jari tangannya justru dipelihara kuku-kuku yang panjangnya kurang lebih tiga empat cun, menyerupai kaitan yang tajam. Persis seperti sepuluh batang pisau tajam yang ditancapkan pada jari tangannya.
Begitu dia mengerahkan tenaganya melancarkan serangan, angin yang ditimbulkannya bagai sepuluh batang golok terbang yang melintas di angkasa dan dengan gusar melesat ke arah lawannya. Kecepatannya benar-benar bagai kilat yang menyambar.

Siapa nyana pedang suling yang didorongkan ke depan oleh Tan Ki tiba-tiba menekan ke bawah. Gerakannya dari lambat berubah menjadi cepat. Hawa dingin menyebar, sasarannya pergelangan tangan kanan manusia berpakaian putih itu.

Begitu jurus pedangnya berubah, dari menghindar tahu-tahu melakukan serangan, semuanya boleh dibilang terjadi dalam waktu yang hampir bersamaan. Nama Cian bin mo- ong yang sempat menggetarkan dunia persilatan, ternyata bukan didapatkan dengan mengandalkan keberuntungan saja!

Sepasang bahu manusia berpakaian putih itu bergerak, sepasang kakinya menutul, tubuhnya dalam posisi tegak mencelat ke belakang sejauh dua depa.

Meskipun perubahan gerakannya sudah termasuk cepat, tetapi putaran pedang di tangan Tan Ki laksana ombak yang dihembus angin kencang, yang terlihat hanya guratan cahaya yang membawa hanya dingin melesat lewat pergelangan tangan si manusia berpakaian putih. Ketika dia menundukkan kepalanya melihat, tahu-tahu lengan baju kanannya telah terkoyak seBagian dan darah segar jatuh setetes demi setetes membasahi tanah.

Dua jurus serangan telah berturut-turut dilancarkan, setiap jurus melukai satu tempat. Tetapi manusia berpakaian putih itu masih belum meluap kemarahannya karena hal ini. Malah sebaliknya, Kiam-sut Tan Ki yang hebat ini serta sikapnya yang berwibawa, secara diam-diam membuat hatinya tergetar. Sepasang matanya menyorotkan sinar gentar.
Melihat Tan Ki menggenggam suling di tangan dan melangkah maju dengan tampang serius, tanpa terasa kakinya malah meloncat mundur satu langkah.

Manusia berjubah hitam longgar yang tingginya kurang dari lima mistar, tiba-tiba mengerutkan alisnya.

“Ji-yau, apakah lukamu parah sekali?”

Orang ini sudah pasti wataknya angkuh bukan main, meskipun maksud pertanyaannya merupakan perhatian dan mengandung kekhawatiran tetapi nadanya justru begitu dingin seperti sebongkah es batu.

Manusia berpakaian putih itu diam-diam mencoba mengatur pernafasannya, dia merasa hawa murninya masih dapat disalurkan ke lengan tangan. Hatinya langsung tahu bahwa tulang maupun uratnya masih belum tersayat putus oleh pedang Tan Ki. Dengan demikian dia segera menyahut dengan lantang, “Terima kasih atas perhatian Kaucu, hamba masih dapat meneruskan pertarungan ini!”

Tangannya terangkat, dengan jurus Sungai Es Meluap Naik, sepuluh jari tangannya yang mirip kaitan tajam menimbulkan berpuluh-puluh bayangan. Dengan lincah dan gencar menyerang ke arah Tan Ki.

Tan Ki menggetarkan pergelangan tangannya dan mengibas ke depan, pedang sulingnya segera menyambut serangan lawan. Tetapi sepasang kakinya tidak bergerak sama sekali, dia tetap berdiri pada posisi semula. Seperti orang yang sudah dapat
bayangan bahwa dengan cara seperti ini, asal dia mengibaskan tangannya ke depan, tetap saja dia akan mengenai sasaran dengan telak. Atau paling tidak dapat menangkis serangan manusia berpakaian putih itu dengan tepat.

Tetapi nyatanya, sikapnya yang demikian tenang dan menampilkan kewibawaan, membuat manusia berpakaian putih itu tidak berani mendesak maju. Tubuhnya bergerak, dia malah mencelat ke belakang.

Melihat keadaan itu, tanpa dapat ditahan lagi sepasang alis Kim Yu berjungkit ke atas.
Dengan suara rendah dia berkata kepada manusia berjubah hitam longgar itu.

“Suheng, tampaknya anak muda itu sudah mencapai tingkat yang tinggi sekali dalam ilmu pedang. Sekali turun tangan gerakannya seperti bintang jatuh dari langit.
Kemungkinan besar Ji-yau atau Siluman Kedua bukan tandingannya!” Manusia berpakaian hitam longgar itu mendengus dingin.
“Takutnya dia malah tidak bertahan lebih banyak dari sepuluh jurus lagi.”

“Itu sih belum tentu. Di bawah pimpinan Suheng terdapat dua siluman dan dua setan. Mereka adalah orang-orang yang wataknya keras bukan main. Semakin gencar melakukan serangan, mereka semakin tidak takut menghadapi kematian…”

Di saat kedua orang itu sedang berbicara, manusia berpakaian putih itu sudah mencelat mundur dan berdiri dengan tegak. Tiba-tiba terdengar suara raungan keras dari mulut Tan Ki. Dalam waktu yang bersamaan pedang suling di tangannya juga bergerak ke depan. 
Tampak cahaya yang berkilauan melesat cepat ke arah lawan.

Jurus ini juga termasuk salah satu diantara ilmu pusaka Ti Ciang Pang yang bernama Matahari Tenggelam Menyorot Indah. Jurus ini memang khusus diciptakan untuk mengejar lawan dengan serangan yang gencar. Ketika pedang sulingnya bergerak, kecepatannya bagai sebatang anak panah yang dibidikkan ke depan!

Serangan secepat ini hanya dapat dilakukan oleh jago kelas tinggi di dunia Bulim. Begitu serangannya datang, lawannya langsung merasa kalang kabut dan tidak tahu bagaimana harus menghadapinya.

Manusia berpakaian putih itu kehilangan kesempatan yang baik. Dirinya jadi terperangkap dalam keadaan yang berbahaya. Apalagi senjata di tangan Tan Ki merupakan sejenis senjata yang jarang terlihat di dunia Kangouw, yakni sebatang suling yang berisi pisau. Ketajamannya sungguh luar biasa. Ketika bergerak menimbulkan cahaya yang menyilaukan mata pula. Sekali pandang saja dapat dipastikan bahwa senjata rahasia itu dapat memotong berbagai logam dengan mudah. Manusia berpakaian putih itu sudah barang tentu tidak berani menyambutnya dengan tangan kosong, hal ini akan merugikan kedudukannya. Secara berturut-turut dia meloncat mundur sejauh tiga langkah.

Tetapi biar bagaimana, dia merupakan salah satu pelindung hukum dalam perkumpulan Pek Kut Kau. Ilmu silatnya merupakan hasil latihan keras. Tentu saja dia juga mempunyai kelebihannya tersendiri. Sejak serangan Tan Ki membuat dirinya terdesak sehingga surut mundur beberapa kali, dia tidak berani memandang ringan lawannya lagi. Tanpa menunggu serangan Tan Ki yang berikutnya, pergelangan tangannya segera memutar dan melancarkan serangan balasan. Lengannya yang panjang dan kurus bergerak, pukulannya
bagai kincir angin yang kencang. Dalam waktu yang singkat dia sudah melancarkan empat pukulan serta dua totokan.

Kedua totokan dan empat pukulan ini merupakan serangan yang keji sekali dan mengandung tenaga dalam yang dahsyat. Ketika serangannya dilancarkan, timbul suara angin yang mirip suitan panjang. Meskipun Tan Ki sering melancarkan jurus-jurus yang aneh, tetapi biar bagaimana pengalaman dan pengetahuannya masih kalah jauh dibandingkan lawan. Lengah sedikit saja, dia sudah terdesak oleh manusia berpakaian putih itu. sampai berada dalam posisi yang berbahaya. Setelah bergebrak belasan kali, dia malah kehilangan peluang untuk balas menyerang sama sekali.

Sembari mengatur pernafasan serta hawa murninya guna menyembuhkan luka, secara diam-diam Oey Ku Kiong terus mengikuti perkembangan pertarungan antara Tan Ki dengan manusia berpakaian putih itu. Melihat keadaan jadi berbalik, Tan Ki yang kewalahan serta manusia berpakaian putih yang di atas angin, dia menjadi heran sekali.

‘Apa sebetulnya yang telah terjadi?’ pikirnya dalam hati.

Melihat keadan Tan Ki yang demikian terdesak, hatinya panik bukan main. Cepat-cepat dia mengempos tenaga dalam dan hawa murninya lalu melonjak bangun. Dia bersiap-siap mencari kesempatan yang baik supaya dapat menerjang ke depan memberi bantuan.

Namun pertarungan di antara kedua orang itu berlangsung dengan gerakan yang cepat sekali. Sejurus demi sejurus dilancarkan, deruan angin pukulan dan bayangan seruling terus bergantian. Bagai gulungan ombak di lautan yang terus melanda tiada hentinya.
Setelah memperhatikan sejenak, Oey Ku Kiong masih juga tidak mendapat kesempatan untuk memberikan bantuan.

Justru ketika dia sedang panik dan kelabakan, tiba-tiba terdengar Tan Ki meraung keras bagai harimau ngamuk. Seruling di tangannya mendadak melancarkan jurus-jurus yang aneh. Bayangan seruling yang membawa hawa dingin berkelebatan memenuhi angkasa.
Dengan jurus Kabut Awan Diselimuti Cahaya Keemasan, tubuhnya berputaran bagai kitir angin menerjang ke depan.

Rupanya dia menggabungkan Te Sa Jit-sut dengan ilmu gerakan seruling sehingga menimbulkan pengaruh yang hebat.

Sayangnya gabungan ilmu ini baru pertama kali dimainkannya, hal ini membuat gerakannya masih agak kaku. Manusia berpakaian putih itu melihat Tan Ki tiba-tiba merubah gerakannya. Sambil menghindarkan diri, anak muda itu membalas sebuah serangan. Diantara cahaya yang dingin timbul bayangan pedang dalam jumlah yang banyak. Serangannya langsung mendesak ke arah dada manusia berpakaian putih itu. Entah mengapa, serangkum hawa dingin yang timbul dari pedang Tan Ki yang jaraknya tinggal setengah depa dari dada lawannya mendadak berhenti, gerakannya seperti tertahan sesuatu sehingga tidak dapat diteruskan lagi.

Ternyata di saat yang genting ini, pedang Tan Ki sudah hampir berhasil menikam dada lawannya, tiba-tiba anak muda ini lupa lanjutan gerakan yang harus dilakukannya.
Mungkin hal ini terjadi karena gerakannya yang masih kaku dan baru pertama kali menggunakan ilmu tersebut. Dengan demikian, hilanglah kesempatan yang besar untuk membunuh lawannya karena gerakannya yang berhenti dengan mendadak itu.
Untuk sesaat manusia berpakaian putih itu menjadi terpana. Kemudian secara tidak terduga-duga dia mengerahkan jurus Menyebar Bunga Pohon Liu, tubuhnya meloncat ke samping dan tahu-tahu tangannya meluncur untuk mencekal pergelangan tangan Tan Ki yang sedang menggenggam seruling.

Saat itu Tan Ki sedang merenungi kelanjutan perubahan gerak ilmu Te Sa Jit-sut, perhatiannya jadi terpencar karena lengah ia jadi terdesak sedemikian rupa oleh serangan manusia berpakaian putih yang gencar sehingga mencelat mundur ke belakang.

Perlu diketahui bahwa ilmu pedang merupakan satu diantara sekian banyak jenis ilmu silat yang paling susah dipahami, apalagi bila hendak mencapai tingkat tertinggi. Apabila Kiam-sut seseorang sudah mencapai taraf kesempurnaan, asal dia mengempos hawa murninya saja, pedangnya dapat mengikuti kemauannya menyerang pihak lawan.
Pengaruh kekuatan pedangnya bagai air terjun yang menghempas batu karang, tidak akan satupun yang meleset dari sasarannya. Bahkan orang yang tenaga dalamnya sudah mencapai tingkat tinggi dapat membunuh lawannya dari jarak dua depaan.

Tan Ki justru mondar-mandir di antara tepian pantai ilmu pedang yang tertinggi.
Andaikata ada setitik ilham yang mendadak muncul dalam benaknya, maka kelak dirinya bagai sebuah kotak pusaka yang masih belum diketahui orang banyak. Di saat mencapai taraf tersebut, maka setiap kesulitan yang pernah dihadapinya dapat dipecahkan satu per satu bagai bayangan yang melintas di depan pelupuk mata. Hal ini berarti dirinya sudah mendapatkan hasil yang tidak habis dipakai.

Pikiran Tan Ki sedang bergelut dengan ilmu yang baru dipahaminya. Dia seolah tidak memperdulikan keadaan sekitar sama sekali. Tetapi memangnya siapa manusia berpakaian putih itu. Sejak semula dia sudah melihat sinar mata Tan Ki yang menerawang di kejauhan, hatinya segera sadar bahwa ada sesuatu yang sedang menggelayuti pikiran anak muda itu. Tentu dia tidak memperhatikan keadaan di sekitarnya. Biar bagaimana manusia berpakaian putih merupakan seorang tokoh yang licik sekali, mana mungkin dia sudi melepaskan kesempatan yang bagus ini?

Oleh karena itu, tanpa menimbulkan suara sedikitpun dia segera merapatkan dirinya ke arah anak muda itu. Tiba-tiba pergelangan tangannya mengibas dan tahu-tahu sudah meluncur ke arah pergelangan tangan Tan Ki yang sedang menggenggam seruling!

Cara melancarkan serangannya itu, menggunakan kecepatan yang tinggi sekali. Oey Ku Kiong yang melihatnya sampai terkejut setengah mati, tanpa dapat ditahan lagi dia berteriak sekeras-kerasnya.

“Tan Heng, hati-hati…!”

Mendadak serangkum rasa nyeri menyerang ulu hatinya. Persis seperti dicucuki puluhan jarum yang tajam, kata-katanya pun tidak dapat dilanjutkan lagi.

Rupanya dalam keadaan panik, dia sampai melupakan dirinya yang sedang terluka. Baru saja meneriakkan beberapa patah kata, dia tidak sanggup melanjutkan lagi. Tetapi saat ini Tan Ki bukan lagi pemuda yang ingusan yang baru terjun ke dunia Kangouw, meskipun dia terkena sedotan tenaga manusia berpakaian putih itu yang kuat. Memang tubuhnya sampai tidak dapat dipertahankan lagi tertarik ke depan satu langkah, namun dia juga jadi tersadar seketika. Melihat cakar lawannya yang tajam hanya tinggal kurang
dari satu cun dengan dadanya, cepat-cepat dia mengempos hawa murninya dan tubuhnya pun langsung mencelat mundur ke belakang.

Seraya mencelat ke belakang, Tan Ki juga langsung mengerahkan tenaga dalamnya dan memperhatikan dengan seksama gerakan lengan lawannya. Tiba-tiba tubuhnya miring sedikit kemudian meluncur membalas sebuah serangan..

Tampak cahaya dingin berkilauan. Bayangan bintang yang jumlahnya tidak terhitung berkumpul menjadi satu kemudian meluncur ke depan. Serangannya kali ini, baik kecepatan maupun tenaga yang terkandung di dalamnya merupakan paduan seluruh kekuatan pada diri Tan Ki. Terasa ada kilasan cahaya yang menyilaukan mata, dari deruan suaranya sudah dapat diduga bahwa serangan ini tidak boleh dianggap ringan.

Tampaknya manusia berpakaian putih itu terkesiap sekali melihat serangannya yang hebat bukan buatan itu. Mau tidak mau dia menarik kembali serangannya sendiri lalu mencelat ke samping untuk menghindarkan diri.

Tiba-tiba Tan Ki mendongakkan wajahnya dan tertawa terbahak-bahak. “Kau sudah tertipu, mengapa masih tidak menyerah?”
Pergelangan tangannya memutar kemudian mengibas. Tubuhnya meluncur ke depan mengejar. Begitu tangannya bergerak, pedang sulingnya langsung menimbulkan bayangan yang tidak terhitung jumlahnya. Hawa dingin menyebar, cahayanya memijar. Bagai gumpalan awan yang disinari mentari dan meluncur ke depan bagai kilat.

Jurus ini bukan jurus sembarangan, justru merupakan salah satu jurus yang paling hebat dari Te Sa Jit-sut, yakni Lautan Selatan Menggelora. Kekuatannya dahsyat sekali dan sulit dicari tandingannya.

Kemudian terdengar suara siulan yang tajam dan menyayat hati, memecahkan keheningan suasana yang tegang. Hujan darah memercik ke mana-mana, disusul dengan sebuah lengan tangan yang dilewati oleh pedang suling Tan Ki lalu terbang melayang sejauh dua depaan.

Begitu mata memandang, tampak manusia berpakaian putih itu mendekap sebelah tangannya yang kutung. Ia mundur dengan terhuyung-huyung. Wajahnya yang pucat pasi menyiratkan penderitaan yang tidak terkirakan. Tetesan-tetesan darah segar bagai air pancuran mengalir mengiringi gerakan langkahnya yang limbung.

Wajah Tan Ki malah menyiratkan seulas senyuman yang gagah dan berdiri di tempatnya dengan tenang. Saat itu dia masih mengenakan pakaian pengantinnya serta tampak berkibar-kibar ditiup angin pagi.

Sikapnya berwibawa dan anggun persis seperti seorang dewa yang turun dari langit. Tubuhnya berdiri dengan tegak. Dengan berhasilnya serangan yang ia lancarkan tadi, bahkan lawannya sampai terkutung lengannya, membuktikan bahwa hasil pemikirannya tadi sudah benar dan dia sudah menembus Bagian tersulit dalam ilmu pedang. Hatinya juga sadar bahwa Te Sa Jit-sut telah berhasil ia kuasai sepenuhnya sehingga dapat digunakan sesuai keinginan hatinya. Asal diberi waktu beberapa kentungan lagi untuk merenungkan Tian Si Sam-sut, dia yakin ilmu ini juga dapat dikuasainya dengan sempurna. Dengan demikian dia mempunyai peluang untuk menyaingi jago-jago kelas
tinggi di dunia Bulim sehingga namanya akan berkumandang di mana-mana. Sayangnya, sebentar lagi dia akan mati…

Meskipun Tan Ki adalah seorang pemuda yang bernasib malang dan tidak memperdulikan mati hidupnya sendiri, tetapi di saat berpikir tentang kemajuan ilmu silat yang berhasil dicapainya, sehingga ada kemugkinan mendapat kejayaan di masa yang akan datang, mau tidak mau hatinya menjadi pedih mengingat bahwa usianya hanya tinggal beberapa saat dan dia sudah harus meninggalkan dunia yang penuh variasi ini.

Manusia berjubah longgar hitam dan merupakan Kaucu dari Pek Kut Kau dari wilayah barat menggerakkan tubuhnya yang kecil pendek dan melangkah keluar perlahan-lahan. Tampak sepasang matanya menyorotkan sinar kebimbangan dan kekhawatiran. Dia berjalan mendekati Tan Ki.

“Ilmu pedang yang kau gunakan tadi, siapa yang mewariskannya kepadamu?” tanyanya serius.

“Bagaimana kalau aku tidak ingin memberitahukannya kepadamu?”

Kaucu Pek Kut Kau itu memperdengarkan suara tawa yang menyeramkan.

“Kata-kata yang telah aku cetuskan, tidak ada seorangpun yang berani menentangnya.
Kalau kau tidak percaya, boleh coba-coba. Saat itu biarpun kau ingin mengatakannya, kemungkinan sudah terlambat…”

Pada saat ini, Tan Ki sudah tidak memperdulikan mati hidupnya lagi. Dalam pikirannya, meskipun dia tidak mati dalam pertarungan, toh dia akan mati juga karena serangan racun dalam tubuhnya. Mendengar kata-kata manusia berjubah hitam itu yang demikian angkuh, tanpa dapat ditahan lagi dia tertawa terbahak-bahak.

“Paling-paling mati, memangnya apa yang harus ditakuti?”

Wajah Kaucu Pek Kut Kau itu langsung menyiratkan kegusaran, sembari tertawa dia berkata, “Ingin mati? Takutnya malah tidak begitu mudah!”

Dengan mata menerawang Tan Ki merenung beberapa saat.

“Kepandaian di dunia Kangouw terdiri dari bermacam ragam. Tetapi ilmu menggunakan racun bukan sembarang orang yang mempelajarinya. Cayhe juga percaya bahwa Saudara sanggup membuat diri ini terperangkap dalam keadaan mati tidak hiduppun tidak. Tetapi aku juga mempunyai keyakinan sendiri dan tidak membiarkan Saudara berbuat demikian!”

Kata-katanya ini diucapkan dengan penuh kegagahan. Di balik sikapnya yang lembut tersirat kekerasan. Oey Ku Kiong yang berdiri di sampingnya sampai menganggukkan kepala berkali-kali menyetujui pendapatnya ini. Wajahnya bahkan menyunggingkan seulas senyuman yang menunjukkan rasa kagumnya.

Sepasang alis Kaucu Pek Kut Kau itu langsung menjungkit ke atas. Wajahnya berubah jadi kelam. Namun mulutnya memperdengarkan suara tertawa yang dingin.

“Benarkah?”
“Saudara dapat melihat jurus seranganku tadi, tentunya sudah dapat menduga pula asal usulnya. Seandainya Cayhe mengungkapkan siapa orangnya yang mewariskan ilmu tersebut, harap Saudara juga mengabulkan beberapa permintaanku ini. Urusan pagi ini, biar bagaimana harus ada penentuan menang kalahnya. Biarpun Saudara tidak mengajukan pertanyaan ini, pertarungan tetap harus berlangsung. Siapapun tidak dapat mencegahnya lagi. Harap Saudara pertimbangkan lagi baik-baik. Kata-kata yang kuucapkan, hanya untuk melihat sampai di mana kegagahan tokoh dari Si Yu, bukan berarti dapat memaksa diri Cayhe menerima penghinaan dari kalian!”

Kaucu Pek Kut Kau menganggukkan kepalanya.

“Dari tokoh angkatan muda maupun para boanpwe, selamanya tidak ada seorangpun yang berani berbicara demikian di hadapanku. Sikapmu yang berani membangkang ini, meskipun sudah patut menerima hukuman mati, tetapi kata-katamu tadi beralasan juga.”

“Kalau begitu, berarti Saudara sudah menyetujui?”

Sinar mata Kaucu Pek Kut Kau itu mengedar sekilas lalu berhenti pada diri Oey Ku Kiong. Bibirnya mengembangkan seulas senyuman.

“Kita boleh saling menukar masalah, biarpun didengar oleh orang lain, tidak apa-apa.
Setelah kita selesai bicara, aku dapat membunuhnya.”

Mendengar kata-katanya, Oey Ku Kiong terperanjat sekali. Diam-diam dia berpikir dalam hatinya.

‘Orang ini secara terang-terangan menyatakan apa yang tersirat dalam hatinya, kalau dia tidak mempunyai keyakinan besar atas dirinya sendiri, mana mungkin…’

Berpikir sampai di sini, jantungnya berdegup lagi. Dia memaksakan dirinya untuk menghimpun hawa murni dalam tubuhnya. Secara diam-diam dia melihat ke sekelilingnya untuk bersiap sedia menghadapi segala kemungkinan.

Tan Ki tersenyum lembut.

“Tentang mati hidup, merupakan urusan yang baru dapat ditentukan setengah kentungan kemudian. Saudara juga tidak perlu berbicara dengan nada seyakin itu…” setelah berhenti sejenak, dia baru meneruskan lagi kata-katanya. “Jurus serangan yang tadi Cayhe kerahkan bernama Lautan Selatan Menggelora. Mungkin Saudara juga sudah mengetahuinya. Kemungkinan Saudara malah lebih memahaminya daripada diri Cayhe ini…”

Kaucu Pek Kut Kau tertawa lebar.

“Tidak salah! Jurus Lautan Selatan Menggelora yang kau gunakan tadi, bukan saja mengandung perubahan yang cepat lagipula memang aku lebih menguasainya daripada dirimu. Gerakanmu barusan seperti orang yang baru mempraktekkanya pertama kali.
Sehingga sering kehilangan kesempatan yang baik untuk membunuh lawan…”

Mendadak dia menarik nafas dalam-dalam. Kemudian baru melanjutkan kembali. “Sayangnya, dari kitab ilmu pusaka perkumpulanku itu, yakni Te Sa Jit-sut, aku hanya
memahami dua jurus yang terakhirnya saja. Salah satunya adalah Lautan Selatan Menggelora yang kau mainkan tadi.”

Hati Tan Ki tercekat mendengar kata-katanya.

“Rupanya Te Sa Jit Sut adalah ilmu dari Pek Kut Kau asalmu itu?”

Kaucu Pek Kut Kau atau Perkumpulan Tengkorak Putih menganggukkan kepalanya sedikit.

“Dalam dunia Bulim sekarang ini, kecuali aku sendiri, seharusnya tidak ada orang lagi yang paham ilmu ini. Tetapi secara tidak terduga-duga, di tempat ini juga aku bisa menemui seseorang yang paham ilmu pusaka perkumpulan kami yang sudah lama menghilang. Entah dari siapa kau mendapatkan warisan ilmu tersebut?”

Tan Ki tertegun sekian lama. Diam-diam dia berpikir: ‘Seluruh, ilmu silat yang kukuasai merupakan hasil curian dari goa makam leluhur Ti Ciang Pang, Kemudian baru mendapat kemajuan seperti sekarang. Bahkan kitab ilmu pernafasan itu termasuk salah satu diantaranya. Sedangkan hal ini merupakan rahasia yang tidak boleh diketahui oleh orang lain…’

Hatinya bagai kincir angin yang terus berputar. Setelah berpikir beberapa saat, baru saja dia ingin mencari alasan untuk mengulur waktu agak lama, tiba-tiba dari Bagian ruangan depan secara berturut-turut berlari keluar beberapa orang. Orang yang berada di paling depan mengenakan jubah hijau yang berkibar-kibar. Wajahnya bersih dan berwibawa. Dia adalah Sam-siok Tan Ki, Yibun Siu
San. Di belakangnya tampak mengiringi Liu Seng, Kok Hua Hong, serta Ciong San Suangsiu.

Kemungkinan mereka mendapat kabar tentang peristiwa diri Tan Ki yang keracunan dari Lok Hong beserta cucunya Lok Ing. Itulah sebabnya mereka bergegas keluar melihatnya.
Pada saat ini Cian Cong entah kabur kemana, bayangannya tidak kelihatan, bahkan para anak gadis juga tidak ada satupun yang muncul.

Begitu orang-orang ini sampai, Kok Hua Hong yang pertama-tama berada dekat Oey Ku Kiong guna memeriksa luka dalam yang diderita anak muda itu.

Oey Ku Kiong memaksakan seulas senyuman di bibirnya.

“Aku tidak apa-apa. Tan Heng di sana justru yang keadaannya lebih berbahaya.
Lawannya adalah Kaucu Pek Kut Kau generasi sekarang. Harap Cuwi memperhatikan keselamatan diri Tari Heng.” katanya.

Rupanya hati anak muda ini telah menganggap Tan Ki sebagai sahabat abadinya.
Setiap saat dia selalu mengkhawatirkan keselamatan anak muda itu.

Tiba-tiba Tan Ki teringat akan orangtua yang sepuluh tahun lalu pernah memberi petunjuk kepadanya agar mencari goa rahasia Ti Ciang Pang. Tanpa dapat ditahan lagi, segulung perasaan getir menyelinap di dalam hatinya. Setelah merenung sejenak, dia mendongakkan wajahnya dan menghembuskan nafas panjang.
“Ada seorang kakek tua yang mengenakan pakaian berwarna hitam, aku tidak tahu siapa namanya…”

“Mengapa kau tidak menanyakan?” tanya Kaucu Pek Kut Kau.

“Saat itu dia sedang terluka parah sekali. Nafasnya tinggal satu-satu. Lagipula aku masih merupakan seorang bocah berusia kurang lebih sepuluh tahunan.”

“Kalau begitu, seharusnya kau masih mengingat baik raut wajahnya dan bentuk tubuhnya.”

Perlahan-lahan Tan Ki menarik nafas dalam-dalam. Dengan perasaan terharu dia berkata, “Dia merupakan orang yang mempunyai budi paling dalam terhadap diriku. Meskipun kejadiannya sudah lebih dari sepuluh tahun, tetapi setiap waktu setiap saat aku selalu terkenang akan raut wajahnya dan nada suaranya…”

Tampaknya hati anak muda ini ditekan oleh berbagai peristiwa yang menyedihkan. Saat ini dia ingin meluapkannya keluar. Setelah berhenti sejenak, perlahan-lahan dia melanjutkan lagi kata-katanya.

“Orangtua itu tampaknya sangat menderita. Seluruh tubuhnya penuh dengan luka.
Keadaannya saat itu tidak mungkin dapat disembuhkan lagi oleh obat yang bagaimanapun mujarabnya. Tampangnya kusut dan pucat, bahkan sinar matanya sudah mulai pudar.
Siapapun yang melihatnya, pasti dapat merasa bahwa setiap saat orangtua itu akan melayang jiwanya. Ilmunya kemungkinan tinggi sekali, pengetahuannya pun luas. Dia memberitahukan satu hal kepadaku, yakni bahwa sebetulnya dirinya telah berada di tepi pintu kematian selama puluhan tahun. Apa yang dikatakannya merupakan hal yang sulit dibayangkan oleh orang lain. Tetapi dia punya keberanian yang besar serta semangat tinggi untuk meneruskan hidupnya. Pada hal seBagian tubuhnya sudah lumpuh dan setiap hari dia harus menerima siksaan di maria urat nadinya menjadi keras dan hawa murni dalam tubuhnya mengalir secara terbalik. Ketika aku bertemu dengannya, tempatnya adalah sebuah hutan di kaki bukit Tiang Pek San…”

Kaucu Pek Kut Kau memejamkan matanya merenung. Tiba-tiba dia mendongakkan kepalanya menatap langit. Seperti sengaja dan tidak menghindari pandangan mata Tan’Ki.

“Apakah di wajahnya terdapat guratan luka yang memanjang?”

“Benar. Lagipula bekas luka itu mungkin didapatkan ketika menjalani suatu hukuman. Begitu panjangnya sampai terlihat jelas menghiasi sebelah wajahnya. Dapat dibayangkan hukuman yang diterimanya pada waktu dulu pasti berat sekali.”

Mendengar sampai Bagian ini, tampaknya Kaucu Pek Kut Kau itu telah berhasil menyimpulkan suatu bukti yang kuat. Tubuhnya yang pendek tampak gemetar. Bahkan Yibun Siu San yang sedang memejamkan matanya merenung juga membuka matanya secara tiba-tiba. Apa yang diceritakan oleh Tan Ki, dalam waktu serentak seolah membuat kedua orang itu teringat akan suatu peristiwa besar.

Kaucu Pek Kut Kau yang angkuh dan tinggi hati itu tetap mendongakkan wajahnya menatap langit.
“Teruskan ceritamu. Selama dua puluh tahun ini, pertama kalinya aku mempunyai kesabaran mendengar pembicaraan seseorang.”

“Rupanya hari itu dia bermaksud memetik daun obat-obatan di daerah Tiang Pek San.
Siapa sangka di tengah perjalanan, luka dalamnya tiba-tiba kambuh…”

Terdengar suara keluhan dari mulut Kaucu Pek Kut Kau tersebut. Nadanya seperti orang yang mulai tidak sabar.

“Teruskanlah!”

“Pertemuan yang aneh ini rupanya memang telah diatur oleh Thian. Aku tidak membantunya menyembuhkan luka yang dideritanya. Tetapi dia malah memberi sebuah jalan terang untukku. Dia mewariskan berbagai ilmu silat kepadaku. Jurus Lautan Selatan Menggelora yang kumainkan itu juga ajaran orangtua tersebut. Meskipun aku sudah merubahnya sedikit di sana sini, tetapi memang dia yang mewariskannya kepadaku.”

“Entah di mana mayatnya sekarang?” tanya Kaucu Pek Kut Kau. Tan Ki merenung sejenak.
“Harap Saudara sudi memaafkan kalau hal ini tidak kuberitahukan kepadamu. Dia adalah seorang tokoh yang misterius. Dirinya memiliki kepandaian yang tinggi sekali, tetapi dunia Bulim justru tidak tahu ada tokoh seperti orang ini. Dia juga memiliki ilmu pengobatan yang lihai sekali, namun dia justru tidak sanggup menyembuhkan penyakitnya sendiri yang sudah parah. Di kolong langit jaman ini, mungkin tidak ada orang lagi yang mengetahui asal-usul orang ini.’”

“Tidak salah. Orang yang mengetahui asal usulnya, di kolong langit ini jaman sekarang, mungkin hanya tinggal aku seorang saja.”

“Cayhe juga mempunyai pikiran yang sama.” Kaucu Pek Kut Kau tersebut tertawa dingin.
“Kau cerdas sekali. Kalau aku mengatakan siapa adanya orang ini, kemungkinan ada beberapa sahabat yang pernah melihat wajahnya atau mengenalinya. Sayangnya usiamu tinggal sebentar lagi. Meskipun aku tidak membunuhmu, kau juga tidak mungkin bisa melihat mentari esok pagi lagi.”

Tan Ki mengembangkan senyuman yang datar.

“Soal mati hidup, aku tidak memikirkannya lagi… sekarang, seharusnya aku yang mengajukan pertanyaan kepadamu.”

“Tanyakanlah!”

Tan Ki mengeraskan suaranya, seakan sengaja membiarkan kata-katanya terdengar oleh orang-orang gagah yang ada di tempat itu.

“Kali ini urusan gabungan antara pihak Lam Hay dan kelompok Kaucu Pek Kut Kau dari Si Yu, rasanya sudah selesai dirundingkan bukan?”

“Tidak salah!”

“Apakah rombongan kalian ini merupakan pasukan pembuka jalan?”

Kaucu Pek Kut Kau mendengus satu kali. Mimik wajahnya menunjukkan perasaannya yang kurang senang. Tetapi dia tetap menjawab pertanyaan Tan Ki.

“Kalau kau mengajukan pertanyaan, lebih baik hati-hati sedikit. Jangan sampai menyinggung harga diri Kaucu ini. Tetapi, perkiraanmu memang kuat sekali.”

“Beberapa hari yang lalu, Sute Saudara mengadakan perjanjian dengan seorang perempuan di sebuah kuil tua dekat luar kota Lok Yang. Apakah masalah yang dirundingkan adalah tentang pergabungan antara Lam Hay dengan Si Yu?”

Apa yang ditanyakan adalah saat di mana dia melihat Kiau Hun masuk ke kuil tua bersama Kim Yu.

Mendengar pertanyaannya, Kaucu Pek Kut Kau itu jadi tertegun. Setelah melirik sekilas ke arah Kim Yu, bibirnya menyunggingkan seulas senyuman yang licik.

“Masalah ini biar kau duga sendiri saja. Tidak perlu aku bersilat lidah menjawab pertanyaanmu.”

Tiba-tiba dia mengangkat sebelah tangannya dan mengibas. Dua manusia berpakaian hitam segera mengiakan dan berjalan keluar, mereka menghambur ke depan sejauh tiga tindak dan berhenti di depan Tan Ki.

Sepasang alis Yibun Siu San langsung menjungkit ke atas. Tubuhnya bergerak memutar dan berdiri menghadang di depan Tan Ki. Anak muda itu memperdengarkan suara tawa yang getir sekali.

“Siok Siok, biarlah aku yang menjalani pertarungan ini!” suaranya begitu pilu dan terdengar jelas dari kata-katanya yang pendek itu.

Yibun Siu San jadi tertegun.

“Kau ingin bertarung sampai mati lalu menganggap semuanya sudah selesai? Kau tidak berpikir bagaimana menderitanya ibumu yang mengharapkan anaknya menjadi orang yang berguna? Kau malah ingin mencelakai dirimu sendiri dan menganggap ringan nyawamu sendiri…!”

Tiba-tiba terlihat manusia berpakaian hitam yang wajahnya jelek sekali serta bertubuh pendek gemuk dan berdiri di sebelah kiri secara tidak terduga-duga mengangkat sebelah tangannya dan melancarkan sebuah pukulan.

Tampaknya tenaga dalam orang ini sudah mencapai taraf yang tinggi sekali. Dia sudah bisa mengerahkan pukulan sesuai dengan keinginan hatinya. Meskipun jurus yang dikerahkan tampaknya sangat sederhana, tetapi karena dia yang melancarkannya jadi terasa mengandung pengaruh yang dahsyat sekali. Yibun Siu San meraung dengan keras dan diapun mengulurkan tangannya menyambut serangan itu dengan cara keras lawan keras.

Tiba-tiba tubuh Tan Ki memutar dan menghadang ke depan Yibun Siu San. Mulutnya langsung berteriak keras-keras.

“Siok Siok, pertarungan yang terakhir ini, biar bagaimana pun aku ingin berduel mati- matian. Seandainya matipun harus gegap gempita dan meninggalkan sedikit nama di dunia ini. Tetapi kau harus perhatikan baik-baik, dalam pihak jago-jago kita telah kesusupan seorang mata-mata…!”

Belum lagi kata-katanya selesai, pedang sulingnya sudah digetarkan lalu menusuk ke arah manusia berpakaian hitam yang ada di sebelah kanan.

Terdengar kedua manusia berpakaian hitam itu mengeluarkan suara siulan serentak kemudian memencarkan diri ke arah yang berlawanan.

Wajah Yibun Siu San berubah hebat. Dia langsung berteriak, “Hati- hatilah sedikit! Bu Heng Sin-cian atau Pukulan Sakti Tanpa Bayangan dari Si Yu sangat terkenal. Ketika dilancarkan tidak terdengar suara sama sekali. Dan sasarannya selalu Bagian yang tidak terduga-duga oleh lawan…”

Belum lagi Tan Ki sempat mengulurkan sepatah kata, tiba-tiba dia merasa Bagian dadanya sudah terkena sebuah pukulan. Tanpa dapat dipertahankan lagi kakinya limbung dan menyurut mundur sejauh lima langkah.

Perubahan yang tidak terduga-duga ini berlangsungnya terlalu cepat. Wajah Yibun Siu San tampak berubah hebat. Tubuhnya segera bergerak melesat ke depan. Sebuah jurus Bintang-Bintang Berjatuhan yang jarang terlihat langsung dilancarkannya, sekali gerak berubah delapan kali, semuanya dikerahkan dalam sekali tarikan nafas saja. Tampak bayangan telapak tangan dalam jumlah yang tak terhitung berkibar-kibar mengiringi gerakan tubuhnya. Dalam seketika langsung mendesak ke arah lawan.

Serangannya ini hebat sekali, laksana hujan deras yang tercurah dari langit secara mendadak, membuat hati orang yang melihatnya menjadi tergetar. Begitu hebat desakannya sehingga salah satu lawannya terpaksa menyurut mundur terus serta tidak mempunyai kesempatan sedikitpun untuk menangkis.

Baru saja Yibun Siu San ingin melancarkan sebuah serangan yang lebih keji lagi, tiba- tiba terdengar suara dengusan dingin dari hidung Tari Ki. Tubuhnya terhuyung-huyung lalu terduduk di atas tanah. Tidak diragukan lagi kalau anak muda itu kembali terkena sebuah pukulan dari manusia berpakaian hitam tadi.

Saat itu juga telinganya menangkap suara teriakan, “Anakku…!” Tan Koko…!” yang berkumandang dari kejauhan.

Hati Tan Ki terasa tertekan sekali. Perasaannya bagai hancur lebur. Dengan menahan rasa sakit dia langsung jatuh pingsan, tetesan darah segar terus mengalir dari sudut bibirnya dan jatuh membasahi rerumputan di mana tubuhnya terbaring.

Traktiran: (7891767327 | BCA A.n Nur Ichsan) / (1740006632558 | Mandiri A.n Nur Ichsan) / (489801022888538 | BRI A.n Nur Ichsan) ataupun bisa melalui via Trakteer yang ada dibawah

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar