Bagian 11
Kata-kata dengan nada yang berat segera tercetus dari mulutnya.
“Entah urusan apa yang menggelayuti pikiran Cian Locianpwe sehingga tindak- tanduknya hari ini menjadi jauh berbeda dengan biasanya. Sampai-sampai senjata yang sehari-harinya digunakan juga ketinggalan…!” mendadak mimik wajahnya menjadi dingin. Dia langsung membentak dengan suara keras. “Siapa kau sebenarnya?”
Suara bentakannya bagai guntur yang menggelegar, sehingga menggetarkan hati orang yang mendengarnya. Padahal wajahnya penuh welas asih dan murah senyum, tetapi begitu hawa amarah dalam dadanya meluap, tiba-tiba suaranya pun berubah ketus dan tajam. Di dalamnya seakan terkan-dung kewibawaan yang besar sekali.
Hati Tan Ki tercekat. Dia memaksakan seulas senyuman di bibirnya.
“Aku adalah aku, memangnya ada orang lain yang berani memalsukan?” mungkin orang yang melakukan kesalahan pasti gugup. Tawanya ini demikian janggal serta aneh.
Liu Seng langsung tertawa dingin.
“Selamanya Cian Locianpwe selalu menyebut dirinya sendiri ’si pengemis tua’. Mengapa tiba-tiba cara bicara saja bisa berbeda…” dibenaknya, tiba-tiba terlintas sebuah ingatan, wajahnya langsung berubah hebat. “Kau… kau adalah… Cian bin mo-ong?”
Kata-kata ini sebetulnya baru saja terlintas di otaknya. Tetapi karena hatinya tersirat rasa takut yang dalam, maka begitu dicetuskan, suaranya pun terdengar gemetar dan tersendat-sendat.
Ketika kata-kata tadi sudah tercetus dari mulutnya, suasana di dalam ruangan itu bagai diselimuti hawa kematian yang tebal. Wajah orang-orang yang hadir hari itu langsung berubah hebat. Mereka berdiri serentak. Suasana semakin menegangkan. Akhirnya Tan Ki tahu samarannya sudah terbongkar. Dalam seumur hidupnya, baru kali ini samarannya berhasil dibongkar orang. Dia sadar percuma meneruskan sandiwaranya. Oleh karena itu, dia mengeluarkan suara tertawa yang panjang. Suara tawanya itu sampai menggetarkan atap penginapan tersebut. Begitu kerasnya sampai me-mekakkan telinga orang yang mendengarnya. Namun di dalamnya seperti tersirat perasaannya yang penuh penderitaan dan kesedihan.
Dengan demikian, rencananya untuk membalaskan dendam bagi ayahnya tercinta kembali gagal. Kemudian, dia tertawa dingin sambil memalingkan wajahnya.
“Benar. Aku memang Cian bin mo-ong. Untungnya mata Saudara bagai dewa, belum apa-apa sudah membongkar samaranku ini. Kalau tidak, mungkin saat ini kau sudah rebah di atas tanah bermandikan darah!” ketika berbicara, nada suaranya yang tercetus keluar mengandung hawa pembunuhan yang tebal rasa benci yang dalam.
Tiba-tiba, terlihat bayangan-bayangan, berkelebat. Orang-orang yang ada dalam ruangan itu segera memencarkan diri dan mengambil posisi mengurung Tan Ki. Meskipun hanya ada seorang Cian bin mo-ong, namun
sanggup membuat mereka khawatir dan tidak tenang. Gerakan mereka ini tentu saja berniat mengeroyok Tan Ki. Mereka tidak perduli lagi peraturan dunia Kangouw yang menganggap perbuatan itu sangat rendah.
Tan Ki mengeluarkan suara tawa yang dingin. Dia tetap berdiri tanpa bergerak sedikit pun. Dia tahu segelombang pembunuhan segera akan berlangsung di depan mata. Diam- diam dia menghimpun tenaga dalamnya dan siap-siap melancarkannya setiap waktu.
Penampilannya malah berubah menjadi tenang dan dingin. Bagai seekor rajawali yang siap tempur, berani dan gagah.
Tiba-tiba terdengar Liu Seng membentak dengan suara lantang.
“Ini yang dinamakan dikejar malah hilang, tidak diundang malah datang sendiri!” keberhasilan yang tidak perlu mengeluarkan tenaga. Karena engkau seorang, Lohu sampai mengirimkan surat undangan kepada para sahabat di dunia Bulim agar mereka berkumpul di Lok Yang. Tak nyana sama sekali, di tempat seperti ini dan saat seperti ini, Saudara justru datang berkunjung. Tampaknya kita memang berjodoh, terimalah!”
Begitu kalimatnya yang terakhir diucapkan, tampak Liu Seng memajukan langkah kakinya dengan diiringi segulungan hembusan angin dia pun melancarkan sebuah pukulan.
Terasa gulungan angin bagai putaran roda, di dalamnya terkandung searus gelombang yang kuat. Belum lagi serangannya sampai di sasaran, pakaian Tan Ki sudah terhembus sehingga berkibaran.
Tiba-tiba terlihat bayangan berkelebat, tahu-tahu tubuh Tan Ki sudah menghilang dari pandangan. Dalam waktu yang sekejap dia sudah sampai di belakang punggung Liu Seng. Bahaya datang mengincar!
Kalau pada saat ini Tan Ki melancarkan sebuah pukulan, tidak ayal lagi Liu Seng pasti akan terluka parah walaupun tidak sampai ajal. Pada saat yang genting ini, para hadirin sampai mengeluarkan seruan terkejut saking paniknya. Keringat dingin membasahi tubuh mereka. Saat itu, merupakan detik-detik yang kritis!
Sebuah suara yang merdu menjerit memecahkan kesunyian! Angin yang bertiup membawa serangkum bau yang harum. Bagai seekor walet, tubuh Mei Ling melesat keluar dari tempat berdirinya!
Gerakannya yang cepat bagai anak panah yang meluncur. Seandainya Tan Ki berhasil melukai Liu Seng tanpa memperdulikan segalanya, dia sendiri pasti terhantam oleh pukulan Mei Ling sehingga terluka parah.
Dalam keadaan seperti ini, mau tidak mau Tan Ki harus menyelamatkan jiwanya dulu.
Dia terpaksa melepaskan kesempatan yang bagus untuk membunuh Liu Seng.
Dendam di. dalam hati anak muda ini sudah mendalam sekali. Melihat kesempatannya membunuh musuh gagal, dia meluapkan segala kekecewaan dan kemarahan hatinya pada orang yang menyerangnya dari belakang.
Sayangnya, dia tidak tahu orang yang menyerangnya dari belakang adalah gadis pujaan hatinya! Dia hanya ingin mengumbar kemarahannya. Tiba-tiba dia meraung murka dan secepat kilat memutar lengan tangannya dan menghantamkan sebuah pukulan.
Jurus Tian Lui Ci-ming (Guntur di langit bagai ratapan) langsung dikerahkan pada saat itu juga. Jurus yang digunakannya ini merupakan salah satu jurus yang paling ampuh dari ilmu Tian Si Sam-sut. Kecepatannya mengandung kekejian yang dahsyat.
Hati Mei Ling khawatir ayahnya dalam keadaan bahaya, tanpa memperdulikan dirinya sendiri, dia terus menerjang ke depan!
Sesaat yang kritis itu menimbulkan kenyataan yang menyayat hati. Tiba-tiba terdengar suara jeritan ngeri yang berkumandang memenuhi seluruh ruangan disusul dengan sesosok bayangan manusia yang terkapar di atas tanah.
Perubahan yang mendadak ini, membuat para hadirin tidak sempat lagi memberikan pertolongan. Untuk sesaat mereka malah jadi terpana. Tan Ki sendiri langsung tertegun.
Mimpipun dia tidak pernah menduga bahwa serangannya tadi justru melukai gadis pujaan hatinya. Hal ini benar-benar di luar dugaannya, dia merasa hatinya bagai disiram oleh air es dan keringat dingin segera membasahi keningnya.
Meskipun, perasaan cintanya terhadap Mei Ling hanya sepihak saja, tetapi dia juga merasa bahwa tidak seharusnya dia membuat gadis itu berduka. Pukulan yang melukai Mei Ling benar-benar merupakan suatu kesalahan yang besar.
Dalam keadaan panik, tanpa dapat ditahan lagi seluruh tubuhnya basah oleh keringat dingin. Tiba-tiba dia juga teringat suatu persoalan.
‘Apakah aku boleh membunuh Liu Seng?’ tanyanya dalam hati.
Dia jadi termenung. Semakin dipikirkan hatinya semakin bimbang. Dia sendiri tidak dapat mengambil keputusan yang tepat. Untuk sesaat, dia bahkan lupa bahwa dirinya masih terkurung oleh lawan-lawan yang hebat.
Tepat pada saat itu, terdengar bentakan dari mulut Liu Seng.
“Hari ini aku akan mengadu jiwa denganmu. Kalau bukan kau yang mati, maka akulah yang akan menghadapi ajal!”
Dia melihat putri tunggal kesayangannya rebah di atas tanah dengan mata dan mulut tertutup rapat, rambut acak-acakkan, dan tidak bergerak sedikitpun. Dia mengira Mei Ling sudah mati. Dalam waktu yang singkat, rasa bencinya kepada Cian bin mo-ong Tan Ki segera menyusup sampai ke tulang sumsum.
Begitu kumandang suaranya sirap, dengan cepat dia melancarkan tiga pukulan. Ketiga pukulan ini dilancarkan dalam keadaan marah, deraan angin dari telapak tangannya kuat sekali. Udara bagai sesak dan sayup-sayup terdengar suitan panjang yang terpancar dari pukulannya. Sasarannya merupakan Bagian yang mematikan dari tubuh Tan Ki.
Pikiran Tan Ki masih kalut. Dia tidak tahu apakah dia harus membunuh Liu Seng untuk membalaskan dendam ayahnya. Kalau dilihat dari ilmu silat yang dimilikinya sekarang, apabila bertarung satu lawan satu, hal ini merupakan urusan yang mudah baginya.
Tetapi kalau urusan ini berhasil, dia pasti kehilangan kesempatan untuk memperoleh cinta kasih Mei Ling.
Dendam ayahnya? Cinta kasih? Dua macam pikiran yang bertolak belakang ini membuahkan bayangan penderitaan dalam sanubarinya. Hatinya menjadi gundah. Dia tidak dapat menentukan pilihan yang tepat. Entah mana yang lebih baik di antara keduanya!
Di kala dia masih merenung, tiga pukulan yang gencar dan mengandung kekuatan yang dahsyat menerjang ke arahnya. Dengan panik dia menggeser tubuhnya ke samping sejauh dua tindak. Dengan demikian Tan Ki pun berhasil meloloskan diri dari serangan tersebut.
Saat ini dia sudah terperangkap dalam kurungan para hadirin. Baru saja dia berhasil menghindarkan diri dari tiga pukulan Liu
Seng. Di belakang kepalanya terdengar lagi desiran angin yang lain. Sebatang golok sedang menebas di belakang kepalanya dari atas ke bawah.
Hawa amarah dalam dada Tan Ki jadi meluap seketika. Di tambah lagi dengan perasaan khawatir dan takut. Segala keresahan dalam hatinya belum sanggup disalurkan. Oleh karena itu, dia langsung tertawa dingin.
“Bagus, kalian ingin mengandalkan orang banyak untuk meraih kemenangan?” bentaknya sinis.
Pinggangnya meliuk, dia berhasil menghindar dari serangan golok. Kemudian dengan gerakan yang kilat, dia melesat ke sebelah kiri orang tersebut. Gerakan tubuhnya sangat aneh, seperti setan gentayangan layaknya.
Detik-detik yang hanya sekejapan mata saja, membuat pandangan para hadirin jadi berkunang-kunang. Tiba-tiba terdengar suara jeritan ngeri yang menggetarkan indera pendengaran. Sesosok tubuh yang tinggi besar tahu-tahu melayang keluar dan terjatuh di sudut tembok. Mulut orang itu terbuka lebar, matanya membelalak. Nyawanya pun melayang seketika. Sebatang goloknya yang mengeluarkan cahaya berkilauan, tertancap dalam-dalam di tanah dan yang terlihat hanya gagangnya saja.
Kematiannya yang mengenaskan dan menyayat hati. Membuat orang-orang yang ada dalam ruangan itu memandang dengan terbelalak dan nyali mereka pun ciut seketika.
Perasaan takut yang tidak terkirakan menyusup di dalam hati mereka. Mereka seperti melihat Dewa Kematian telah menggapaikan tangannya kepada mereka.
Kengerian dalam menghadapi kematian! Ketegangan yang mencekam!
Semuanya terpatri dalam bathin mereka. Setelah berhasil membunuh satu orang, Tan Ki memperdengarkan suara tertawa yang panjang. Suaranya bagai ratapan. Melihat keadaan itu, hati para hadirin semakin berdebar-debar.
Dalam suara tawanya seperti menyatakan, biarpun dia sudah membunuh satu orang, namun hatinya masih belum merasa puas. Betul! Dendam ayahnya belum terbalas tuntas. Kalau urusan ini belum beres, selamanya dia tidak akan merasa puas.
Dalam suasana yang diselimuti dengan hawa pembunuhan ini, terlihat tangan Liu Seng bergerak. Dari balik pakaiannya dia mengeluarkan sebilah pedang panjang. Pedang itu segera dihunus dan tampaklah cahaya yang berkilauan. Cahaya itu demikian terangnya sehingga menyilaukan dan untuk sesaat para hadirin sulit membuka matanya lebar-lebar.
Bagi orang yang ahli, sekali pandang saja tentu dapat mengetahui bahwa pedang tersebut terbuat dari bahan baja yang murni dan dapat memotong besi dengan sekali tebasan. Pedang ini sudah pasti bukan sembarangan pedang tetapi merupakan benda pusaka yang langka. Hati Tan Ki sampai tercekat melihatnya. Mimik wajahnya yang dingin dalam sesaat berubah menjadi kelam. Tampaknya dia tidak berani berbesar hati.
Terdengar suara
Trak! Dia pun mengeluarkan sebatang suling kumala yang berbentuk antik.
Pandangannya beredar. Karena tidak tahu nasib putrinya yang entah sudah mati atau masih hidup, Liu Seng sampai sakit hati saking kesalnya. Tiba-tiba dia mengeluarkan suara teriakan dan langkah kakinya pun menerjang datang. Tangannya bergerak-gerak dan menebaskan pedangnya dari atas ke bawah.
Meskipun kekuatan serangan ini tidak terlalu dahsyat, tetapi karena hawa dingin yang terpancar dari atas pedangnya bagai air sungai di kutub yang beriak-riak, maka orang yang memandangnya merasa ada segulungan angin yang menggigilkan menerjang datang, Tan Ki seakan merasa hidungnya menyedot segulungan hawa yang dingin. Cepat- cepat dia bertindak mundur. Suling kumala yang ada di tangannya merupakan hasil curian dari kuburan para ketua Ti Ciang Pang. Dia tidak tahu di mana letak keistimewaannya, baru pertama kali ini dia menggunakannya. Oleh karena itu dia tidak berani menggunakan suling tersebut untuk menangkis datangnya serangan pedang Liu Seng.
Ketika kakinya melangkah mundur, dia melihat cahaya dingin bagai kilat dan memancarkan bintang-bintang berwarna keperakan yang memenuhi udara. Dalam waktu yang singkat, Liu Seng sudah melancarkan delapan belas tusukan ke arahnya.
Gerakannya yang indah dipadukan dengan serangannya yang gencar, membuahkan kekuatan yang dahsyat. Depan belakang kiri kanan bagai diselimuti cahaya dingin yang menggigilkan.
Serangan yang gencar ini membuat hati Tan Ki tercekat saking terdesaknya. Dia merasa hal ini di luar dugaan. Biar bagaimanapun, ilmu silatnya merupakan peninggalan para ketua Ti Ciang Pang yang masing-masing memiliki ilmu pukulan maupun ilmu pedang yang tinggi sekali. Suling kumalanya segera digerakkan, terdengar suara suitan yang seperti ratapan dari suling tersebut! Dalam sekejap mata dia sudah berhasil menghindarkan diri dari delapan belas tikaman pedang Liu Seng. Dalam waktu yang bersamaan, dia pun melancarkan tiga tusukan dengan serulingnya dan satu buah tendangan.
Perkelahian di antara kedua orang ini sama-sama menggunakan kecepatan yang sulit diikuti pandangan mata. Setiap jurusnya dapat mematikan pihak lawannya. Orang-orang yang ada dalam ruangan ini membelalakkan matanya lebar-lebar agar dapat melihat lebih jelas. Suasanapun semakin menegangkan.
Diam-diam Tian Tai Tiau-siu Kok Hua-hong mengeluarkan dua butir bola besi yang kecil dari dalam sakunya. Dia bermaksud menimpukkan senjata rahasia tersebut ke arah Tan Ki.
Tapi pertarungan di antara kedua orang itu berlangsung dengan sengit. Tubuh keduanya melesat ke sana ke mari. Tampaknya dia tidak mempunyai kesempatan untuk menurutkan niatnya tersebut.
Ciong Sang Suang-siu melihat Liu Seng melancarkan serangan dengan gencar. Setiap jurus yang digunakannya seperti sedang pengadu nyawa dan tidak memperdulikan keselamatan dirinya sendiri. Tanpa sadar keduanya saling pandang sekilas, dan dalam Waktu yang bersamaan mereka pun mengerahkan tenaga dalamnya pada ujung telapak tangan serta bersiap-siap memberikan perto-longan kepada Liu Seng di saat yang kritis. Begitu mata memandang, tampak Cian bin mo-ong lebih banyak menahan diri daripada melancarkan serangan. Penampilannya begitu tenang. Meski bagaimana caranya Liu Seng menusukkan pedangnya, dia tetap dapat memecahkannya atau menghindarkannya dengan mudah. Kalau tiba-tiba dia melancarkan serangan, maka tampak Liu Seng segera terdesak dalam keadaan yang membahayakan sehingga mau tidak mau orang itu terpaksa menggerakkan tubuhnya mundur ke belakang.
Julukan Liu Seng, yakni Bu Ti Sin-kiam, bukan sekedar nama kosong belaka. Tetapi karena saat ini hatinya sedang gelisah dan kalut. Maka hawa amarah dalam dirinya membuat akal sehatnya tidak dapat bekerja dengan sempurna. Boleh dibilang dia melancarkan serangan dengan kalap. Tanpa perhitungan yang matang. Setiap jurus yang dikembangkannya seperti tidak mengandung perubahan yang hebat. Di tambah lagi ilmu silat yang dikuasai oleh Tan Ki boleh dibilang semuanya aneh-aneh. Setiap serangannya merupakan jurus yang belum pernah ditemui maupun didengar olehnya. Sasarannya malah merupakan Bagian tubuh yang harus dilindungi.
Dari dua kelebihan ini saja, meskipun Liu Seng mempunyai ilmu yang lebih tinggi lagi, tetap sulit baginya untuk meraih keuntungan. Walaupun demikian, cahaya pedang dan bayangan suling memenuhi seluruh ruangan. Kadang menebas, menikam, menyapu, menerjang, membuat orang yang melihatnya menjadi kagum bukan main dan menyayangkan kedudukannya yang hanya sebagai pe-nonton.
Kurang lebih sepeminum teh kemudian, orang-orang yang ada di dalam ruangan itu mulai dapat merasakan, apabila pertarungan ini diteruskan, maka pihak yang akan tumbang pasti si Pedang Sakti tanpa tandingan, Liu Seng.
Hawa kematian yang semakin menebal ditambah lagi dengan ketegangan yang menyesakkan dada!
Entah siapa yang bersuara, tiba-tiba terdengar teriakan lantang.
“Saudara-saudara sekalian, menghadapi raja iblis yang gemar membunuh ini, kita tidak perlu membicarakan peraturan dunia Kangouw lagi. Mari kita maju bersama untuk membasminya!”
Baru saja suara teriakan sirna, tiba-tiba terlihat cahaya yang dingin berkelebat, sebatang trisula sudah meluncur ke arah Tan Ki. Di dalamnya terkandung kekuatan yang dahsyat. Serangannya sendiri belum sampai, sudah terasa angin yang menggigilkan menerpa wajah dan dinginnya bagai sayatan golok.
Perlu diketahui, bahwa setiap orang yang ada di dalam ruangan itu memiliki ilmu yang tinggi dan merupakan tokoh Bulim yang sudah menyandang nama besar. Biarpun
serangan yang dilancarkan tampaknya sederhana, namun sanggup mencabut nyawa seseorang sehingga tidak boleh dipandang ringan.
Melihat keadaan itu, hati Tan Ki marah sekali.
“Bagus, Kalian turun tangan saja sekaligus!” tubuhnya menggeser dan dihindarinya serangan trisula tersebut.
Tiba-tiba mulutnya mengeluarkan suara siulan yang panjang, tubuhnya memutar dan menerjang ke arah Kok Hua-hong. Tampak bayangan suling dalam jumlah yang banyak seperti gulungan ombak yang menyapu ke depan.
Jurus serangan yang tidak alang kepalang cepatnya!
Pada dasarnya Kok Hua-hong memang sudah bersiap melancarkan serangan. Melihat Tan Ki mendahului, mulutnya segera mengeluarkan suara bentakan:
“Bagus!”
Lengannya yang bak besi itu dibenturkan dengan keras untuk menangkis serangan suling kumala. Dan dalam waktu yang bersamaan, pergelangan tangannya memutar, dua buah bola besi yang tergenggam dalam telapak tangannya dan mengandung kekuatan yang dahsyat tiba-tiba dilontarkan secara terturut-turut sehingga melayang ke depan
Benda ini merupakan senjata rahasia, bentuknya agak besar (seperti bola kasti) dan telah membuat nama Kok Hua-hong terkenal di dunia Bulim. Bola besi tersebut sangat berat serta dapat menebus berbagai jenis logam. Begitu dilancarkan kali ini, tampaknya lebih hebat dari yang sudah-sudah. Bola besi itu melayang di udara kemudian menerobos ke dalam bayangan suling kumala dan meluncur terus ke depan.
Jarak di antara mereka hanya kurang lebih satu setengah meter. Meluncurnya bola besi itu begitu cepat bagai kilat, dan datangnya juga mendadak. Tan Ki baru merasakan adanya suara yang bergema di udara, hebatnya bukan main. Dia segera tahu bahwa yang meluncur datang merupakan senjata yang berat, dia bermaksud menghindar namun tidak keburu lagi. Terlihat bola-bola besi itu menerobos melewati bayangan sulingnya dan tahu- tahu sudah mengincar Bagian yang membahayakan di depan dada.
Keadaan yang genting segera terpampang di depan mata!
Hati Tan Ki tercekat, bulu kuduknya merinding seketika. Tanpa dapat mempertahankan diri lagi, dia mengeluarkan suara bentakan dan tubuhnya pun melesat ke atas. Gerakan yang hebat. Caranya mencelat ke atas tadi sebetulnya merupakan kesalahan bagi kaum persilatan, tetapi karena ilmu silat Tan Ki tidak dapat dipandang ringan, dua bola besi pun meluncur lewat di bawah kakinya. Dia tidak menunggu sampai para hadirin mengeroyokinya, tiba-tiba terdengar suara tawanya yang panjang, kepala di bawah dan kaki di atas, laksana seekor elang yang menukik, dia menerjang ke bawah.
Terdengar suara Trang! Trang! Sebanyak dua kali berturut-turut. Diantara para hadirin, sudah ada dua orang yang senjatanya terpental. Pada saat ini, Tan Ki sedang mengumbarkan hawa amarahnya kepada para penyerang. Cara turun tangannya menjadi
keji. Begitu mendarat di tanah, kakinya segera maju dan sejurus Si U Kua-sa (Burung Gagak Mengais Pasir) pun langsung dikerahkan.
Kembali terdengar suara jeritan memenuhi seluruh ruangan. Segera terlihat seseorang terhantam mundur dua langkah. Orang itu memuntahkan darah segar dan rubuh bermandikan darah!
Diiringi suara jeritan yang menyayat hati, orang kedua pun tumbang, mati. Kembali terdengar suara Prang! Prang! Yang keras dan memekakkan telinga. Pintu kayu ruangan tersebut hancur ambruk dengan dua lubang besar bekas hantaman kedua bola besi milik Kok Hua-hong.
Rupanya, ketika Tan Ki mencelat ke udara dan mementalkan senjata lawan serta melukai seseorang, kejadian berlangsung secara berturut-turut. Tepat pada saat itu juga, kedua bola besi yang dilontarkan oleh Kok Hua-hong pun menghantam pintu ruangan sehingga hancur. Dapat dibayangkan sampai di mana kecepatan gerakannya. Begitu mata para hadirin ikut memandang, mereka merasa terkejut juga penasaran. Dalam sesaat, timbul niat untuk menghabisi musuh dan merekapun turun tangan serentak.
Terjadilah pertarungan yang sengit!
Cahaya pedang bayangan golok melayang ke sana ke mari memenuhi ruangan. Deruan angin yang timbul dari pukulan dan tinju menyesakkan di setiap sudut. Yang dapat terlihat saat itu hanya bayangan tubuh manusia yang berkelebat, tanpa dapat dibedakan mana kawan dan mana lawan.
Dengan merayapnya waktu, pertarungan semakin lama semakin sengit!
Tiba-tiba terdengar suara bentakan Tan Ki… “Enyah!”
Blamm! Segera ada seseorang yang memuntahkan darah segar dan terkapar di atas tanah. Hawa kematian yang memenuhi ruangan, semakin lama semakin menebal. Para hadirin mengandalkan tenaga gabungan sejumlah tujuh delapan orang, meskipun belum sanggup menyentuh ujung pakaian Tan Ki, tetapi membuat anak muda itu letih sekali.
Kening dan dahinya telah dibasahi oleh keringat.
Keadaan yang membahayakan semakin merapat pada dirinya. Tiba-tiba dia menjadi sadar. Apabila dia masih tidak mencari jalan untuk menerobos keluar, setiap saat pasti akan timbul bencana yang mungkin membuat nyawanya melayang.
Tiba-tiba, Liu Seng bersiul dengan kalap dan tanpa berpikir panjang lagi dia menikam ke depan. Jurus serangannya ini tidak mempunyai nama. Dia hanya melancarkannya tanpa memperdulikan keselamatan nyawanya sendiri. Suling kumala di tangan Tan Ki baru saja menangkis pukulan Yi Siu. Tiba-tiba dia merasa cahaya dingin menyilaukan mata dan menekannya dari atas. Hatinya terkesiap. Baru saja dia bermaksud menggeserkan tubuhnya menghindar, si pendek gemuk Cu Mei sudah memutar pegelangan tangannya dan melancarkan sepasang pukulan yang mengandung tenaga dahsyat!
Kali ini, dia menghadapi dua musuh yang menyerang sekaligus. Meskipun Tan Ki mempunyai kepandaian yang tinggi, tetap saja sulit baginya untuk menyelamatkan dirinya
dari kedua serangan tersebut. Hatinya menjadi panik. Dengan gugup dia menarik kembali suling kumalanya dan memutar lengannya untuk menghindari serangan kedua pukulan dari belakang. Justru pada saat yang sedetik itu, tanpa dapat dipertahankan lagi mulutnya mengeluarkan suara keluhan. Terasa pinggang sebelah kiri bawah agak dingin dan darahpun merembes keluar.
Tusukan pedang ini hebat sekali. Darah mengalir dari pinggang sebelah kiri bawah anak muda tersebut. Dagingnya tersayat kurang lebih tiga cun dan menimbulkan guratan panjang.
Dia menggigit bibirnya sendiri dan mempertahankan diri untuk tidak mendengus sedikitpun. Telapak tangan kiri dan suling di tangan kanan, secara gencar melancarkan beberapa serangan. Dia sadar, apabila saat ini dia hanya melihat ke arah lukanya, malah memberi kesempatan pada pihak lawan. Oleh karena itu, dia segera melancarkan tiga kibasan suling dan dua pukulan. Dia berusaha menerobos keluar dari kepungan lawan.
Tampak jelas bahwa pihak lawannya merupakan orang-orang yang sudah berpengalaman dalam menghadapi pertempuran. Apalagi mereka tidak memakai peraturan lagi mengeroyoknya. Bagaimana Tan Ki bisa mendapat kesempatan untuk mengatur nafasnya, sedangkan deruan pukulan, tinju dan berbagai macam senjata rahasia mengepungnya dengan ketat.
Dalam waktu yang singkat, Tan Ki sudah menjadi kalang kabut. Nafasnya tersengal- sengal. Belum lagi rasa sakit di Bagian atas pahanya semakin lama semakin terasa. Seiring dengan gerakan tubuhnya, bercak darah terlihat di mana-mana. Membuat orang yang melihatnya menjadi ngeri.
Keadaan yang kritis! Bayangan kematian! Tan Ki sudah hampir kehilangan daya untuk memberikan perlawanan. Orang-orang yang ada dalam ruangan itu dapat melihat keadaan Cian bin mo-ong sudah mulai payah. Hal ini malah membangkitkan semangat mereka.
Secara berturut-turut mereka menerjang ke depan. Rasanya ingin menebas mati Tan Ki dalam satu gebrakan.
Beberapa saat dia masih dapat mempertahankan diri. Dengan seorang diri, Tan Ki menghadapi lima enam jago kelas tinggi dari dunia Bulim. Sebetulnya dia sudah memaksakan diri mati-matian. Tenaganya bagai terkuras habis.
Tiba-tiba…
Brak! Brakkk! Terdengar dua suara menggelegar. Jendela kayu yang menghadap ke arah pegunungan hancur seketika. Pecahan kayu jendela menimbulkan suara yang bising. Sesosok bayangan berwarna hijau melesat ke dalam ruangan.
Gerakan orang ini cepatnya luar biasa. Meskipun hal ini di luar dugaan para hadirin, tetapi pada saat ini, keadaan sedang genting, kesempatan untuk membunuh Cian bin mo- ong merupakan urusan yang akan terjadi dalam satu dua detik. Siapa yang sudi memencarkan perhatiannya pada orang yang baru datang itu?
Manusia berpakaian hijau itu tertawa terbahak-bahak. Dia tidak menghalangi para hadirin. Dengan santai dia membopong tubuh Mei Ling yang tidak sadarkan diri karena lukanya yang parah.
Ketika Liu Seng melihat keadaan ini, dia hampir jatuh pingsan saking kagetnya. Ke- marahannya berubah menjadi kehilangan kesadaran. Untuk sesaat dia malah berdiri termangu-mangu.
Manusia berpakaian hijau itu mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Dia memperhatikan situasi yang berlangsung beberapa saat. Tiba-tiba mulutnya mengeluarkan suara bentakan yang keras.
“Berhenti!”
Suara bagai guntur yang menggelegar. Begitu kerasnya sampai ke telinga para hadirin seperti tergetar dan lama sekali baru sirna. Kekuatan tenaga dalam orang ini sudah terlihat jelas dari bentakannya ini. Kalau dikatakan secara kasar, tidak ada seorangpun diantara para hadirin yang dapat menyamai setengahnya saja.
Rasa terkejut yang tidak diduga-duga timbul dari suara bentakan tadi. Tanpa bersepakat terlebih dahulu, serentak para hadirin mencelat mundur dan menarik kembali serangan masing-masing.
Begitu mata memandang, terlihat di wajah para hadirin seakan tersirat datangnya kesulitan yang besar. Begitu terkejutnya mereka sampai mencelat mundur sejauh dua langkah. Mereka benar-benar tidak menduga, bahwa biang iblis nomor satu di dunia Kangouw yakni Sam Jiu San Tian-sin Oey Kang bisa muncul di tempat ini dan pada saat seperti ini.
Oey Kang melihat tampang para hadirin yang pucat pasi. Dia langsung mendongakkan kepalanya dan tertawa dengan penuh kebanggaan.
“Apakah kalian semua merasa takut kepadaku?”
Yi Siu yang merupakan salah satu Ciong San Suang Siu berusaha membangkitkan ke- beraniannya.
“Takut sih belum tentu, namun ingin tahu tujuan Locianpwe muncul di tempat ini.” Oey Kang menunjuk ke arah Mei Ling yang berada di dalam pondongannya.
“Aku memerlukan gadis ini untuk melengkapi barisan yang kuciptakan.” matanya beralih dan berhenti pada diri Tan Ki. “Pernah dengar cerita orang banyak bahwa Po Siu- cu Cian Cong pernah bergebrak dengan si Tosu tua Tian Bu Cu selama tujuh hari tujuh malam. Bahkan masih belum dapat menentukan siapa yang menang dan siapa yang kalah. Urusan ini menjadi buah bibir orang-orang Bulim. Tetapi pertemuan dengan Saudara hari ini, benar-benar membuat aku rada kecewa.”
Yi Siu tertawa dingin. Dia segera menukas.
“Cian Heng merupakan salah satu tokoh sakti dari dunia Bulim. Jiwa pendekarnya tidak usah diragukan lagi. Meskipun kami-kami ini mempunyai kedudukan di perguruan masing- masing, juga tidak berani kurang ajar terhadap orangtua itu. Sedangkan orang ini…”
Oey Kang tersenyum simpul.
“Dia adalah Cian bin mo-ong bukan?”
Mulut orang ini manis namun tajam menusuk. Liciknya bukan main. Tampangnya selalu tersenyum dan ramah. Kalau orang-orang yang hadir bukan tokoh-tokoh yang sudah berpengalaman, pasti akan termakan rayuan manisnya.
Tan Ki tertawa sumbang.
“Aku memang Cian bin mo-ong. Tampaknya pandangan Saudara cukup tajam.” katanya tenang.
Wajah Oey Kang agak berubah mendengar ucapan ini, tetapi dalam sekejap mata sudah normal kembali.
“Kau ikutlah denganku!” sahutnya.
Nada suaranya datar, tetapi mengandung kekuatan yang tidak terkirakan. Membuat orang yang mendengarnya ragu-ragu mengambil keputusan. Tan Ki sendiri sampai tertegun.
Tiba-tiba terdengar bentakan Liu Seng… “Kembalikan putriku!” Terdengar suara Trang!!!
Sebuah serangan dilancarkan. Oey Kang tersenyum simpul.
“Segala macam kutu busuk juga berani banyak lagak!” pada saat berbicara, tidak terlihat bagaimana tubuhnya bergerak, tiba-tiba terdengar Liu Seng menjerit, tubuhnya sempoyongan dan kakinya mundur satu langkah. Disusui dengan suara dentingan, pedangnya pun terjatuh di atas tanah.
Jurus yang ampuh dan ajaib, kecepatannya membuat orang tidak sempat melihat bagaimana cara dia melakukannya.
Jurus yang dilancarkan oleh Oey Kang ini membuat para hadirin yang melihatnya menjadi terperanjat dan sekaligus marah. Tetapij tidak ada seorang pun yang berani mengambil tindakan apa-apa. Dia telah membuat orang-orang itu ciut nyalinya. Oey Kang tertawa lebar. “Siapa lagi yang merasa tidak puas?” tanyanya angkuh.
Matanya beredar, wajah para hadirin menunjukkan kegusaran hati mereka, tetapi tidak ada seorangpun yang berani untuk menyambut tantangan Oey Kang. Orang itu kembali tersenyum simpul.
“Baiklah, kalau begitu aku akan membawa pergi si Cian bin mo-ong ini, tampaknya kalian tidak ada yang merasa keberatan.”
Kemarahan di hati Tan Ki hampir meledak. Begitu jengkelnya sampai sepasang matanya mendelik lebar, rambutnya berjingkrakan ke atas dan baru saja dia berniat menerjang ke depan untuk mengadu jiwa, tiba-tiba dia dicekal erat-erat oleh Kok Hua- hong. Akhirnya dia menarik nafas panjang, dan dari kedua matanya mengalir air mata seorang pendekar.
Padahal dia juga tahu sampai di mana ketinggian ilmu silat Oey Kang, hanya dengan sebuah telunjuknya saja dia sanggup membunuh Liu Seng. Sedangkan kematian tetap tidak dapat menyelamatkan putrinya.
Tan Ki melihat gadis pujaannya dibopong oleh Oey Kang. Meskipun dia tidak bisa me- nunjukkan reaksi apa-apa, tetapi hatinya terasa perih. Kenyataan yang terpampang di depan mata, hanya membawa kerugian bagi dirinya. Kemungkinan yang paling baik adalah mengikuti Oey Kang. Meskipun hal ini agak menjatuhkan pamornya, tapi dalam keadaan terdesak, dia tidak mempunyai pilihan yang lain. Oleh karena itu dia menahan gejolak hatinya dan tersenyum-senyum.
“Kalau begitu aku harus mengucapkan terima kasih kepadamu.” perlahan-lahan dia melangkah menuju ambang jendela.
Liu Seng yang melihat mereka akan pergi, hatinya menjadi panik. “Jangan pergi!” bentaknya keras.
Terdengar suara hembusan angin dan sebuah serangan dihantamkan ke depan.
Kekuatan yang terkandung dalam serangannya merupakan luapan emosi. Oleh karena itu terselip kekejian yang hebat.
Tan Ki tertawa sumbang.
“Biar aku yang menjajal dirimu kali ini!” baru saja ucapannya selesai, dia segera mengulurkan tangan kanannya menyambut serangan Liu Seng.
Perlu diketahui bahwa ilmu silat Tan Ki merupakan hasil curiannya. Dia tidak pernah mempunyai guru yang membimbingnya. Oleh karena itu, semua ilmu silat yang dikuasainya hanya berdasarkan perkiraannya saja. Demikian pula tenaga dalamnya.
Keseluruhannya merupakan pelajaran yang dipaksakan. Begitu serangannya dilancarkan, dia tidak bisa mengira-ngira seberapa banyak tenaga yang harus digunakannya. Itulah sebabnya serangan anak muda itu selalu terlihat keji karena mengandung tenaga yang sepenuhnya. Tenaga dalamnya bagai air yang meluap tanpa dapat dibendung. Terdengar suara beradunya pukulan yang keras sekali. Seluruh ruangan bahkan ikut bergetar. Tubuh merekapun terhuyung-huyung. Wajah menjadi merah padam. Tiba-tiba terdengar Liu Seng mengeluarkan suara jeritan, kakinya limbung, dan tanpa dapat mempertahankan diri lagi, dia tergetar mundur tiga langkah.
Habislah sudah! Dia sudah kalah! Nama besar yang dipupuk Liu Seng selama ini goyah bersamaan dengan langkah kakinya yang tergetar mundur.
Putri kesayangannya diculik orang, nama baiknya hancur, dalam pukulan bathin yang bertubi-tubi itu, dia meraung sekeras-kerasnya dan jatuh tidak sadarkan diri.
Perubahan yang mendadak ini berlangsungnya terlalu cepat. Begitu paniknya para hadirin sampai kalang kabut dan tidak tahu apa yang harus dilakukan terlebih dahulu. Telinga mereka menangkap suara tawa Oey Kang yang terbahak-bahak.
“Mari kita pergi!” tubuhnya berkelebat dan melayang keluar menerobos jendela.
Kemudian, terlihat Tan Ki segera menyusul di belakangnya. Tidak ada seorangpun yang menghalangi. Nama besar Oey Kang yang menggemparkan dunia Kangouw, kehebatan tenaga dalam Tan Ki, membuat para hadirin jadi terpana dan membiarkan mereka pergi begitu saja.
Entah mengapa, Cianpwe Bulim yang dihormati setiap orang, yakni Yuan Kong Taisu masih belum menampakkan diri lagi sejak mengejar Tan Ki.
Sementara itu, Tan Ki terus mengikuti belakang Oey Kang. Mereka meninggalkan penginapan tersebut dengan terus berlari kencang. Dalam waktu yang singkat, mereka sudah mencapai jarak kurang lebih enam tujuh puluh li.
Sembari berlari, otak Tan Ki terus berputar. Bagaimana caranya menolong Mei Ling? Karena hatinya digelayuti masalah dan lagipula ilmu Oey Kang memang jauh lebih tinggi daripadanya, lambat laun jarak antara kedua orang itu semakin lama semakin jauh.
Tiba-tiba terlihat Oey Kang menghentikan langkah kakinya pada sebuah padang rumput dan mendongakkan kepalanya seakan sedang merenungkan sesuatu. Tan Ki juga diam tidak bersuara. Hatinya justru lagi memecahkan persoalan yang membingungkan…
Beberapa hari yang lalu, Oey Kang membawa pergi Ciu Cang Po, entah apa tujuannya? Beberapa hari kemudian, yakni saat ini, Oey Kang juga menculik gadis pujaannya bahkan menolong dirinya. Mungkinkah di balik semua ini juga terselip rencana yang licik?
Dua pertanyaan ini terus berputaran di benaknya. Tetapi dia tetap tidak sanggup memberi jawaban yang memuaskan kepada dirinya sendiri. Tetapi hati kecilnya berkata, bahwa tindakan Sam-jiu San Tian-sin ini pasti tidak mengandung niat yang baik!
Dalam keadaan merenung, tiba-tiba terdengar suara tawa Oey Kang.
“Saudara mengaku sebagai Cian bin mo-ong, apakah ada bukti yang dapat dipercaya?” “Kalau kau tidak percaya, aku juga tidak dapat berbuat apa-apa.” sahut Tan Ki.
Setidaknya anak muda ini sudah mempunyai cukup banyak pengalaman. Sebelum mengetahui tujuan lawannya, dia tidak ingin berterus terang tentang dirinya. Sembari berbicara, dia mengeluarkan obat penyembuh luka dan mengobati Bagian atas pahanya yang tersayat pedang Liu Seng.
Terdengar kembali suara tawa Oey Kang yang lepas.
“Baik, pokoknya aku mempercayaimu. Mulai hari ini, kau kuangkat sebagai Koanke (semacam kepala pelayan) di Pek To San (Gunung Unta Putih) sebagai salah satu pembantu yang paling kuandalkan. Tetapi, kau jangan mencoba-coba mengandung maksud lain terhadapku! Soal membereskan para pengkhianat, aku mempunyai keahlian tersendiri.” ujarnya kemudian.
Tan Ki menjadi tertegun. “Apa yang kau katakan?” Oey Kang tertawa lebar.
“Apakah kau masih belum jelas? Aku bilang mulai hari ini, aku menerima kau sebagai Koanke, guna membantu menyelesaikan berbagai urusan.”
Sekali lagi Tan Ki tertegun. Tiba-tiba dia tersadar dan memperdengarkan suara tawa yang dingin.
“Urusan seperti ini, seharusnya atas persetujuan kedua belah pihak. Sama sekali tidak boleh dipaksakan. Lagipula, siapa memangnya Cian bin mo-ong, mana sudi ia memangku jabatan serendah itu?”
Lambat laun wajah Oey Kang berubah kelam. Tetapi dalam waktu yang singkat sudah pulih kembali. Isi hati orang ini sungguh sulit diterka, perubahan mimik wajahnya terjadi demikian cepat. Sejenak kemudian dia sudah tersenyum kembali.
“Kau tidak boleh terlalu keras kepala. Pertimbangkan dengan kepala dingin. Biar bagaimana aku tidak akan merugikan dirimu.”
Selesai berkata, sepasang matanya mengeluarkan sinar yang tajam dan menatap lekat- lekat kepada Tan Ki. Dia seakan sedang menunggu jawaban dari anak muda itu.