Bagian 07
Dari musuh, kedua orang itu berubah menjadi sepasang sahabat. Malam semakin larut.
Tidak terdengar suara sedikitpun. Keduanya berdiri saling bertatapan dan tidak mengucapkan sepatah katapun untuk sekian lama.
Lama, lama sekali… akhirnya Liang Fu Yong menarik nafas panjang “Adik, siapakah namamu?”
“Tan Ki.” “Orangtuamu?”
Pertanyaan ini menerbitkan rasa sakit di dalam hati Tan Ki. Wajahnya tampak berubah hebat.
“Jangan tanya persoalan ini!” bentaknya keras.
Perasaan hati Liang Fu Yong sangat peka. Setelah tertegun sekian lama, akhirnya dia dapat menduga bahwa riwayat hidup Tan Ki pasti penuh liku-liku dan tidak mudah mencetuskan penderitaan hatinya. Oleh karena itu dia tersenyum lembut dan mengalihkan pokok pembicaraan.
“Baik, jangan tanya ya sudah. Tetapi ke mana tujuan kita, seharusnya kau boleh jelaskan bukan?”
Tan Ki mendongakkan kepalanya menatap langit.
“Kita menuju sebelah Barat kota. Lihat pertarungan antara dua tokoh yang berilmu tinggi.” katanya.
“Baik.” tampaknya Liang Fu Yong sudah menaruh kepercayaan yang dalam terhadap Tan Ki. Bibirnya hanya mengucapkan sepatah kata ‘baik’ dan tidak menanyakan hal lainnya.
Sekali gerak tubuhnya langsung melesat. Kedua orang itupun berlari bersama-sama ke depan. Tiba-tiba terdengar Tan Ki mengeluarkan suara aduhan yang lirih. Alisnya langsung bertaut dengan erat. Liang Fu Yong terkejut sekali melihatnya.
“Adik, ada apa?”
“Dada. Dadaku masih terasa sakit.”
Liang Fu Yong mengeluarkan suara seruan. Dia langsung tertawa bebas.
“Hampir saja aku lupa.” dia mengulurkan tangannya ke dalam saku dan mengeluarkan empat butir pil. Disodorkannya ke mulut Tan Ki. “Setelah menelan obat ini, luka dalam sudah terhitung sembuh secara keseluruhan. Sebetulnya, tiga butir obat yang kuberikan sebelumnya daya kerja obatnya lambat sekali karena dosisnya rendah. Tidak cukup untuk membuyarkan darah yang membeku, itulah sebabnya kau tetap merasa sakit.”
“Kalau begitu, kau mengatakan aku tidak boleh menggerakkan hawa murni dan bergebrak dengan orang selama dua belas kentungan hanya bohong belaka?” tanya Tan Ki.
“Betul, kalau tidak demikian, mana mungkin kau membiarkan aku menggerayangimu?
Yang lucu justru para tokoh Bulim lainnya yang mengalami kejadian serupa. Setelah mendengar perkataanku, mereka tidak berani bergerak sedikipun, tampang mereka pada ketakutan. Hanya engkau yang tidak berhasil kukelabui. Hal ini karena watakmu yang keras sehingga lolos dari cengkeraman Cici.”
Tan Ki hanya tersenyum simpul. Dia tidak marah. Diam-diam dia menggerakkan hawa murninya melewati seluruh urat nadi dalam tubuhnya. Dia tidak merasakan adanya sesuatu kelainan.
“Mari berangkat!” katanya segera. Tubuhnya melesat dan dengan kecepatan tinggi dia menghambur ke depan.
Di bawah cahaya rembulan yang redup, yang tertampak hanya dua sosok bayangan.
Keduanya berkelebat dengan cepat. Dalam waktu tidak berapa lama, mereka sudah memasuki kota Lok Yang.
Tan Ki mengajak Liang Fu Yong menuju ke sebelah Barat kota di mana terletak Cui Sian Lau. Tujuannya untuk menyaksikan pertarungan antara Cian Cong dan Ciu Cang Po. Dia ingin sekali lihat siapa yang lebih unggul diantara keduanya.
Ketika sedang berjalan, tiba-tiba bayangan manusia berkelebat, sesosok bayangan hitam berdiri di depan pada jarak kurang lebih tujuh depa. Gerakan orang ini demikian cepat. Sekali melesat tahu-tahu dia sudah menghentikan langkah kaki dan berdiri tegak di depan sana. Melihat keadaan itu, diam-diam Tan Ki merasa terkejut.
“Siapa?” bentaknya.
Terendus serangkum bau harum mengiringi semilirnya angin, Orang itu perlahan-lahan menghampirinya. Begitu mata memandang, Tan Ki segera mengeluarkan suara kejutan.
“Kiau Hun!” panggilnya.
Tidak salah, orang yang mendatangi itu memang dayang Mei Ling yang cantik, Kiau Hun adanya. Pertama-tama wajahnya menunjukkan kegembiraan. Ketika matanya beredar, dia melihat Siau Yau Sian-li yang berdiri di samping Tan Ki. Tampangnya yang riang langsung berubah menjadi dingin.
Dalam waktu yang singkat, wajahnya berubah dua kali berturut-turut. Tan Ki masih belum menyadarinya. Dia menghambur ke depan dan mencekal sepasang tangan Kiau Hun.
“Rupanya kau juga sudah dalang ke tempat ini.” katanya. Siapa tahu Kiau Hun malah menepis tangannya dengan kasar. “Tentunya urusanmu sudah selesai!” ucapannya dingin sekali.
Tampaknya, untuk sesaat Tan Ki tidak paham maksud ucapannya. Mendengar kata- kata gadis itu dia malah tertegun. Kiau Hun tertawa dingin.
“Apa? Kau tidak bisa mengatakan apa-apa lagi?”
“Aku… aku tidak ingat urusan apa yang kau maksudkan?”
“Ketika aku hendak pergi, bukankah kau mengatakan agar aku menunggumu di sini, karena kau mempunyai beberapa macam urusan yang harus diselesaikan. Itulah sebabnya kau tidak bisa mengajak aku serta…” dia berhenti sejenak, kemudian telunjuknya menuding Liang Fu Yong. Dengan suara tajam dia berkata, “Apakah urusan penting yang kau katakan itu adalah mencarinya?”
Tan Ki menggelengkan kepalanya.
“Kouwnio jangan salah paham, urusan yang aku katakan tidak ada hubungannya dengan dia.”
Kiau Hun tertawa dingin satu kali. Tawanya itu mengandung kepiluan yang tidak terkirakan.
“Aku mengerti sekarang, kau pasti menganggap aku tidak pantas bersanding denganmu, maka kau sengaja membawanya untuk mengesalkan hatiku!” tiba-tiba hatinya menjadi perih dan air matanya pun mengalir dengan deras.
Meskipun hati gadis ini panas bagai api yang berkobar-kobar, tetapi terhadap masalah cinta kasih, dia justru memandangnya dari sudut yang pesimis. Begitu kecurigaannya timbul, penjelasan apapun tidak masuk lagi ke telinganya. Dia hanya mempertimbangkan urusan ini dengan keyakinan hatinya saja.
Pengalaman Liang Fu Yong lebih luas. Sekali lihat saja dia sudah dapat menduga apa yang sedang terjadi. Dia tidak ikut campur dalam masalah ini melainkan hanya berdiri di samping dan memperhatikan dengan pandangan datar.
Tan Ki berdiri di sudut satunya. Begitu paniknya dia sampai seperti orang linglung.
Kesannya terhadap Kiau Hun hanya perasaan kasihan saja, sama sekali tidak memendam perasaan cinta kasih. Tetapi, pada saat ini, bagaimana dia harus mengatakannya.
Tentunya kata-katanya akan menambah perasaan antipati di kedua pihak.
Dia tidak berani mengatakannya, juga tidak sanggup mengucapkannya. Biar bagaimanapun, dia merupakan wujud asli dari Cian bin mo-ong. Di bahunya masih terpanggul beban dendam ayahnya. Mana mungkin dia mendahulukan urusan cinta kasih antara muda-mudi?
Begitu pikirannya tergerak, dia membangkitkan rasa berani dalam hatinya. “Cen Kouwnio, kau tidak boleh salah paham terhadapku.” katanya.
“Salah paham? Apakah semua ini hanya kesalahpahaman saja?”
Untuk sesaat Tan Ki benar-benar tidak tahu bagaimana harus memberi penjelasan kepada Kiau Hun. Dia berdiri termangu-mangu dengan mulut membungkam.
Begitu matanya memandang, dia melihat wajah Kiau Hun basah oleh air mata.
Tampangnya sungguh mengenaskan. Diri gadis itu bagai sekuntum melati yang diterpa hujan sehari semalam. Tan Ki merasa dirinya agak bersalah. Perlahan-lahan dia menundukkan kepalanya. Perasaan gadis ini terhadapnya bagai api yang membara, memangnya dia tidak tahu? Tetapi, dia masih menanggung beban dendam sedalam lautan. Untuk saat ini dia belum ingin membicarakan soal cinta. Lagipula, orang yang menawan hatinya, justru gadis yang lainnya…
Tetapi kata-kata ini, dia tidak berani mengutarakannya. Karena dia sendiri tidak tahu apakah gadis itu juga mencintainya? Kadang-kadang urusan di dunia ini demikian aneh dan kebetulan!
Kiau Hun mencintainya sepenuh hati sehingga menyeretnya ke lembah kasih yang mana dia hanya bertepuk sebelah tangan. Sedangkan dia juga mencintai seorang gadis yang lain, bahkan merindukannya setiap saat.
Kiau Hun tidak tahu kalau Tan Ki mempunyai kesulitan yang tidak dapat dikemukakannya. Melihat dia membungkam seribu bahasa, dia bertambah yakin bahwa dugaannya memang benar. Hatinya semakin pedih. Perasaannya menjadi hancur seketika. Dia menangis terisak-isak.
Dia melampiaskan perasaannya yang tertekan dan gundah dengan air mata. Suara tangisannya begitu rendah. Di malam yang sesunyi ini, mirip dengan ratapan seorang wanita yang kehilangan suaminya. Orang yang mendengarnya akan ikut merasa tertekan dan sedih.
Lama, lama sekali… terdengar suara Kiau ,Hun yang tersendat-sendat.
“Rupanya kau juga memandang rendah diriku. Malah sengaja berpura- pura serta mendustai perasaanku.” suaranya begitu pilu. Di dalamnya terselip penderitaan yang tidak terkatakan. Ucapannya selesai, air mata sebesar kacang kedelai terus mengalir membasahi pipinya.
Mendengar makian itu, Tan Ki semakin termangu-mangu. Dia membungkam sekian lama. Perlu diketahui bahwa gadis ini terlahir sebagai orang yang tidak mampu dan terpaksa menjadi dayang keluarga Liu. Keberhasilannya hari ini, semua berdasarkan kasih sayang Mei Ling yang sudah menganggap dia seperti saudara sendiri. Tetapi, di dalam hatinya, terkandung perasaan rendah diri yang kuat. Dia selalu menganggap orang lain demikian mulia dan hidup dalam keme-wahan. Sedangkan dirinya adalah seorang gadis yang papa dan hina.
Justru karena mempunyai perasaan demikian, dia semakin yakin Tan Ki melihat dia hanya sebagai seorang dayang dan memandang rendah dirinya. Dia membenci nasibnya sendiri! Dia juga membenci Tan Ki! Perasaan cinta di dalam hatinya telah berubah menjadi benci!
Seandainya dia tidak menolong Tan Ki, dia juga tidak terusir dari perguruannya.
Sehingga sekarang dia menjadi terlunta-lunta tanpa tempat bernaung diri? Lagipula, dia menganggap cinta sucinya telah dikhianati oleh Tan Ki.
Sungguh seorang laki-laki yang memuakkan! Seorang laki-laki yang tipis budinya! Oleh karena itu, diapun memperdengarkan suara tawa yang memilukan. Perlahan-lahan dia membalikkan tubuh dan meninggalkan tempat itu.
Seorang gadis yang malang telah pergi.
Dia tidak membawa apa-apa. Hanya sekeping hati yang hancur dan perasaan benci yang terpendam mengiringi kepergiannya. Angin malam berhembus lembut seperti mengantarnya. Bayangan pungguk yang mengenaskan, menghilang dengan perlahan- lahan…
Langkah kaki yang berat tidak memperdengarkan suara lagi. Tan Ki memandang bayangan punggungnya yang menghilang di kejauhan dengan termangu-mangu. Lama sekali dia tidak membuka suara. Bahkan tubuhnya pun tidak bergerak sedikit juga.
Sebetulnya, dia tahu, menghalangi kepergian Kiau Hun hanya perbuatan yang sia-sia saja. Dalam waktu yang bersamaan, dia juga sadar bahwa dirinya telah melukai hati seorang gadis. Dia telah menghancurkan impian indah seorang dara! Dia merasa, jauh di dalam sanubarinya, dia seperti menanggung semacam hutang yang membuat hatinya tidak tenang. Dia berhutang cinta kasih kepada Kiau Hun. Berpikir sampai di sini, dia menarik nafas panjang. Perasaannya menjadi gelisah dan tertekan.
Tiba-tiba terdengar suara keluhan dari mulut Liang Fu Yong. “Adik, aku tidak jadi ikut denganmu.” katanya.
Tan Ki terkejut setengah mati. “Kenapa?”
Sepasang alis Liang Fu Yong mengerut dengan erat.
“Rupanya inilah yang disebut cinta, begitu menyayat hati dan pilu. Semuanya hanya merupakan penderitaan. Apabila Cici ikut denganmu, rasanya tidak mungkin mendapatkan manfaat apa-apa. Malah kalau aku yang mengalaminya, setiap hari aku akan berurai air mata dan meraung-raung seperti orang gila.” setelah berhenti sejenak, dia meneruskan lagi kata-katanya. “Apakah kau tidak lihat, ketika hendak pergi, tampang gadis tadi begitu kusut dan patut dikasihani. Kalau aku yang mengalami hal serupa, bukankah berarti sudah tahu malah mencari kesulitan untuk diri sendiri?”
Tan Ki tertawa getir.
“Rasa simpati diantara seorang laki-laki dan perempuan, harus terbit dari perasaan kasih diantara keduanya. Dengan demikian, baru ada kebahagian kelak di kemudian hari. Kalau hanya cinta sebelah pihak, namanya bertepuk sebelah tangan dan otomatis penderitaan yang akan diterimanya. Mana bisa kau membandingkan kedua hal itu dengan pandangan yang sama?”
Liang Fu Yong memalingkan wajahnya dan bertanya, “Benarkah demikian?” nada suaranya seperti masih kurang percaya.
Tan Ki tersenyum simpul.
“Maka dari itu, kau ikut aku dan mencobanya sendiri. Pada saat kau menyadari betapa mulianya arti kata cinta itu, kau pasti akan berterima kasih kepadaku. Tetapi ingat, aku melakukan semua ini sebagai imbalan karena kau telah membantuku menyembuhkan luka dalam.”
Liang Fu Yong menarik nafas perlahan-lahan.
“Baiklah, aku akan mempercayaimu kali ini. Bencana atau keberuntungan, semuanya tentu dapat diketahui dalam jangka waktu tiga bulan.”
Mendadak tubuhnya berkelebat! Sekali melesat dia sudah mencapai jarak sekitar tiga depa.
Dalam waktu yang singkat mereka sudah sampai di depan Cui Sian Lau yang sangat terkenal itu. Pada saat itu, waktu kurang lebih baru lewat kentungan ketiga. Di sekitar hanya kesenyapan semata, tanpa suara sedi-kitpun.
Bulan sabit menyorotkan cahayanya yang remang-remang menyinari jalanan tersebut. Tidak ada satu orangpun. Perlahan-lahan Tan Ki menarik ujung lengan baju Liang Fu Yong dan mengajaknya ke toko tahu yang ada di sebelah kiri jalan.
Saat ini, tenaga dalamnya sudah pulih kembali. Gerakannya begitu cepat sehingga tampaknya tidak kalah dengan Liang Fu Yong. Perempuan itu tersenyum melihat kenyataan ini.
“Adik, tampaknya ilmu silatmu lumayan juga.” katanya.
Tan Ki hanya tersenyum-senyum. Dia tidak berkata apa-apa. Dengan tampang serius, dia mengajak Liang Fu Yong bersembunyi di bawah atap toko tahu tersebut.
Waktu merayap dengan perlahan, satu menit, satu jam… setelah lewat agak lama, masih belum tampak ada kejadian apa-apa. Liang Fu Yong adalah seorang perempuan yang tidak bisa diam. Hatinya mulai tidak sabar. Tiba-tiba terdengar Tan Ki mendehem.
“Hati-hati, ada orang datang.” katanya.
Begitu mata memandang, dari kejauhan terlihat setitik bayangan yang berlari dengan pesat. Gerakan orang itu bagai hembusan angin melayang datang. Kecepatan gerakannya membuat hati tercekat. Dalam sekedipan mata, dia sudah sampai di bawah gedung Cui Sian Lau.
Tampak jubahnya yang berwarna hijau berkibar-kibar. Bagian belakang kepalanya diikat dengan sehelai pita. Usianya sekitar lima puluh tahunan. Wajahnya putih bersih. Matanya menyorotkan sinar tajam bagai naga sakti. Alisnya tebal bak alis harimau.
Penampilannya mengesankan kewibawaan seorang yang gagah.
Dengan seksama dia memperhatikan daerah sekitarnya. Tiba-tiba tubuhnya berkelebat dan tahu-tahu dia sudah melayang ke atas. Sungguh gerakan yang mencengangkan!
Dua pasang mata dari Tan Ki dan Liang Fu Yong tidak sempat melihat bagaimana orang itu menggerakkan tubuhnya. Yang terlihat oleh mereka hanya kelebatan bayangan dan tahu-tahu orang itu sudah hilang dari pandangan.
Diam-diam hati mereka tercekat. Tanpa sadar keduanya saling memandang tanpa mengucapkan sepatah katapun. Tan Ki sudah pernah melihat gerakan tubuh Cian Cong. Ketinggian ilmu silatnya, kalau ditilik dari keadaan sekarang, mungkin sudah sulit mencari tandingannya. Tetapi gerakan orang yang barusan, tampaknya masih lebih tinggi lagi dari Cian Cong.
Siapa orang itu? Seorang tokoh yang misterius.
Kedua orang itu masih tergetar hatinya. Tiba-tiba terdengar suara siulan yang panjang dan suara teriakan yang keras berkumandang dalam waktu yang bersamaan. Dari arah Barat dan Timur mendadak muncul dua sosok bayangan. Gerakan tubuh kedua orang ini sama cepatnya dan dalam sekejap mata sudah tiba dia atap Cui Sian Lau.
Begitu mata memandang, hati Tan Ki terkejut juga gembira. Yang datang ternyata memang Cian Cong si pengemis sakti dan Ciu Cang Po yang merupakan tokoh nomor satu di dunia Kangouw zaman ini.
Terdengar Cian Cong mengeluarkan suara tawa yang bebas. “Nenek pengemis, kau juga sudah datang?”
Ciu Cang Po tertawa dingin.
“Jangan kata Cui Sian Lau. Meskipun gunung golok maupun lautan berapi, aku juga akan menepati janji.”
Baru saja dia berkata sampai di situ, tiba-tiba Tan Ki menyadari sesuatu hal. Di seberang jalan, berdiri Pangcu dari Ti Ciang Pang, yakni Lok Hong. Jenggotnya melambai-
lambai dan bibirnya tersenyum. Cucu perempuan kesayangannya Lok Ing malah tidak tabu ke mana perginya. Gadis itu pun tidak terlihat di sekitar tempat tersebut.
‘Orang-orang yang datang malam ini, mungkin banyak juga.’ pikir Tan Ki dalam hatinya.
Ketika benaknya sedang bekerja, tiba-tiba dia merasa di atas kepalanya berkelebat beberapa bayangan. Semuanya berjumlah tiga orang. Dari atap toko tahu mereka melesat ke seberang jalan dan menghilang di kegelapan malam.
Mata dan perasaan Siau Yau Sian-li Liang Fu Yong lebih peka serta awas. Begitu melihat ketiga orang itu semuanya berkepala gundul dan mengenakan (jubah) abu-abu yang longgar, dia segera menarik tangan Tan Ki.
“Mereka adalah para Hwesio. Kemungkinan dari Siau Lim Pai.” kata- katanya terhenti sejenak, dia mendongakkan wajahnya dan melanjutkan kembali. “Lihat, di sana ada beberapa orang tojin!”
Sinar mata Tan Ki mengikuti arah yang ditunjuknya. Ternyata dia melihat orang bertampang pendekar dan dengan mengendap-endap menyelinap ke Bagian belakang Cui Sian Lau. Meskipun orang-orang ini jumlahnya lebih banyak, namun masing-masing dari mereka mempunyai gerakan yang gesit dan lincah. Langkah kaki mereka tidak menimbulkan suara sedikitpun. Hal ini membuktikan bahwa mereka tentunya Tosu Bu Tong Pai yang memiliki ilmu tinggi. Hatinya tergetar.
‘Tampaknya urusan malam ini, bukan lagi masalah kalah menangnya pertandingan antara Cian Cong dengan Ciu Cang Po. Di balik semua ini pasti ada persoalan yang lain…’ pikirnya dalam hati.
Begitu perasan seperti itu menyelinap di dalam kalbu, tanpa sadar tubuhnya menggelinjang seperti orang yang kedinginan. Dia terus merasa bahwa dalam pertandingan malam ini mungkin terselubung rencana yang keji!
Tiba-tiba, di benaknya juga terlintas suatu ingatan.
‘Mungkinkah orang-orang ini sedang memasang perangkap untuk menjebak Cian bin mo-ong? Hm, hm… aku justru berada di sini, apakah kalian dapat menangkapku? Sayang sekali, kalian bahkan tidak tahu wajah asliku…’ ejeknya dalam hati.
Berpikir sampai di sini, dia tersenyum penuh kebanggaan. Tindak-tanduknya selama setengah tahun belakangan ini dengan nama Cian bin mo-ong, telah menggetarkan hati para tokoh Bulim. Dia sudah menjadi Bagian tertentu dalam tindak-tanduk tokoh-tokoh kelas tinggi dunia Bulim.
Tiba-tiba segumpal awan besar berwarna hitam menyelubungi rembulan yang sedang bersinar. Sekitar tempat itu menjadi gelap gulita. Tetapi terdengar suara bentakan dan siulan panjang yang memecah keheningan malam. Angin yang timbul dari pukulan tangan malah membisingkan telinga.
Rupanya, dalam waktu yang singkat, Cian Cong dan Ciu Cang Po sudah mulai bergebrak. Tan Ki segera memusatkan perhatiannya. Begitu seriusnya dia memperhatikan jalan pertarungan sehingga tubuhnya tidak bergerak dan matanya hampir tidak pernah berkedip. Hanya terasa angin malam yang menghembus mengibar-ngibarkan lengan bajunya.
Sementara itu, tampak juga beberapa orang sedang bergerak. Mereka rupanya berganti posisi persembunyian. Sejenak kemudian, awan hitam tadi pun mulai berarak.
Cahaya rembulan kembali bersinar. Kesenggangan yang ada di jalanan pun pulih kembali.
Ini merupakan malam yang sunyi mencekam. Dalam keheningan, juga terselip mara- bahaya yang mengintai. Begitu mata memandang, di atas atap Cui Sian Lau, bayangan tubuh manusia masih berkelebat ke sana ke mari. Pertarungan masih berlangsung dengan sengit.
Si pengemis sakti Cian Cong tahu bahwa lawannya jarang berkeliaran di dunia Kangouw. Tetapi ilmu silat yang dikuasainya sudah mencapai taraf yang tinggi sekali. Oleh karena itu, dia tidak berani memendam perasaan memandang ringan lawannya. Telapak tangannya yang besar bak kipas itu mengibas, serangkum angin yang dahsyat pun terpancar keluar.
Tampaknya dalam hati Ciu Cang Po juga mengerti bahwa orang yang ada di depan matanya mempunyai tenaga dalam yang dahsyat. Kibasan tangannya itu seakan tidak terlalu istimewa tetapi sebetulnya mengandung kekuatan tenaga dalam yang telah dilatihnya selama ini tak boleh dianggap enteng.
Untuk sesaat dia tidak berani menyambut dengan kekerasan. Pinggangnya meliuk dan tahu-tahu tubuhnya berputar serta mundur tiga langkah. Tiba-tiba dia merasa Bagian bawah kakinya licin sekali. Tubuhnya menjadi tidak seimbang dan bergoyang-goyang seperti orang mabuk. Hampir saja dia tergelincir ke bawah.
Rupanya atap genting dari Cui Sian Lau terbuat dari bahan kaca keluaran Su Couw yang sangat terkenal. Benda ini keras dan licin. Orang yang berdiri di atasnya, terasa bagai menginjak kumparan minyak, maka tubuhnya akan semponyongan. Justru karena hati Ciu Cang Po terlalu yakin akan dirinya sendiri, dia hampir saja tidak menyadari bahaya tersebut, nyaris saja tubuhnya tergelincir ke bawah.
Hatinya tercekat, cepat-cepat dia menggeser ke samping sejauh dua langkah kemudian mengangkat tongkat ke depan untuk melindungi Bagian dadanya. Sikap Cian Cong meskipun ugal-ugalan, tetapi pada dasarnya dia adalah seorang pendekar berjiwa mulia. Dia tidak menggunakan kesempatan itu untuk menyerang Ciu Cang Po. Hanya mulutnya saja yang mengeluarkan suara tawa terbahak-bahak.
Tampak wajah Ciu Cang Po menjadi merah padam. Dari malu dia menjadi marah.
Mulutnya meraung murka dan tongkatnya yang anehpun bergerak menimbulkan ribuan bayangan yang bergelombang-gelombang menghempas datang!
Dalam satu jurus, enam buah urat darah penting di depan dada sudah terkurung bayangan tongkat si nenek kurus tersebut. “Ilmu tongkat yang bagus!” teriak si pengemis sakti Cian Cong. Tubuhnya menghentak dan tiba-tiba mencelat ke atas. Meskipun dia sedang mengelakkan serangan, tetapi dia tetap tidak lupa menyerang musuhnya.
Orangnya masih di tengah udara, saling susul menyusul dia melancarkan empat buah pukulan dan tiga kali tendangan.
Ciu Cang Po melihat Cian Cong menyerang dengan gencar, dengan kalang kabut tubuhnya mencelat mundur sembari diamdiam mengagumi ketinggian ilmu silat si pengemis sakti yang tinggi sekali. Di samping itu dia juga merasa penasaran.
Watak nenek ini pada dasarnya memang picik dan tinggi hati. Kalau tidak demikian, dia tidak mungkin menantang Cian Cong malam ini untuk pertarungan sengit hanya karena urusan Tan Ki yang sepele.
Maka dari itu, persoalan yang membuatnya semakin penasaran, pandangan pun menjadi semakin picik. Dia tidak sudi mengalah. Walaupun ilmu silat si pengemis sakti lebih tinggi lagi, dia juga ingin bertarung sampai ada penentuan siapa yang kalah serta siapa yang menang baru hatinya merasa puas.
Begitu mencelat mundur, nenek kurus itu langsung menghimpun tenaga dalam dan mengatur hawa murni di dalam tubuhnya kemudian sekali lagi mengibaskan tongkat ke depan. Dalam waktu yang singkat dia telah melancarkan delapan belas jurus berturut- turut.
Serangan yang gencar ini membuat Cian Cong terdesak sehingga dia terpaksa mundur f tiga langkah kemudian memaksakan diri menyambut serangan itu. Ketika pukulannya datang, terdengar angin menderu-deru. Hal ini membuat Ciu Cang Po menahan dari sebelah kanan dan menghindar ke sebelah kiri. Berturut-turut kakinya mundur ke tempat semula.
Kedua orang itu hilir mudik, maju mundur saling menyerang serta menangkis dengan sengit. Perkelahian diantara kedua orang itu merupakan pertarungan yang sengit di antara dua tokoh berilmu tinggi yang mengeluarkan segenap kemampuannya!
Hal ini membuat Tan Ki yang menyaksikan pertandingan itu menjadi terpesona dan terpaku. Bahkan orang-orang yang bersembunyi di dalam kegelapan juga hampir kelepasan mulut berseru memuji. Tetapi karena mereka mempunyai rencana tertentu, maka tidak berani berteriak dengan suara keras. Kentungan ketiga sudah berlalu. Menang atau kalah di antara kedua orang itu masih sulit ditentukan.
Kentungan keempat… kentungan kelima, juga segera berlalu.
Di batas langit, lambat laun tersembul cahaya kuning keemasan. Hari yang baru telah datang. Namun, kedua orang yang bertarung di atap genting Ciu Sian Lau masih belum berhenti.
Mereka sudah bertarung sebanyak ribuan jurus. Sampai sekarang masih belum dapat menentukan siapa yang lebih unggul di antara keduanya. Hal ini tampaknya membuktikan bahwa ilmu silat mereka setali tiga uang alias seimbang. Siapapun diantara mereka sulit merubuhkan lawannya.
Tan Ki mengalihkan pandangannya, dia melihat ke sekeliling. Tampak orang-orang yang sedang bersembunyi di kegelapan sedang memusatkan perhatiannya menyaksikan jalannya pertarungan. Tetapi mimik wajah mereka agaknya sudah mulai tidak sabar.
Beberapa kali mereka menegakkan tubuh dan memperhatikan sekitar. Kadang-kadang mereka berbincang-bincang beberapa patah kata dengan rekannya kemudian menggelengkan kepala sambil tertawa getir.
Tan Ki tidak tahu apa yang sedang mereka nantikan. Tetapi kalau ditilik dari mimik wajah mereka, kemungkinan orang yang mereka tunggu tidak akan muncul malam ini. Ketika benaknya sedang merenung, tubuh Liang Fu Yong yang kecil dan mungil entah sejak kapan telah menyelusup ke dalam pelukannya. Saat ini pikiran Tan Ki sedang bekerja keras, dia tidak memperdulikan tingkah perempuan itu.
Tetapi tampang perempuan itu kelihatannya agak aneh. Seperti seorang yang sedang mengkhayal, juga seperti sedang menyimpan sesuatu rahasia. Di wajahnya tersirat mimik yang kadang tertawa tetapi ka-dangkala malah cemberut.
Padahal dia sendiri merasa bingung. Mengapa hatinya bisa berdegup-degup sehebat itu? Indera penciumannya, mengendus serangku m bau yang terpancar dari tubuh Tan Ki. Bau itu menunjukkan desah nafas dari seorang laki-laki yang gagah. Dia merasa hatinya menjadi gelisah dan pikirannya melayang-layang.
Bernaung di dalam pelukan Tan Ki yang bertubuh kekar dan berotot, dia dapat mendengar denyut jantung anak muda itu. Dak!
Duk! Dak! Duk! Bagai irama musik yang mengiringi degup jantungnya sendiri.
Hatinya sendiri, entah mengapa timbul semacam perasaan yang aneh. Tetapi dia sendiri tidak dapat menjelaskannya. Dia hanya merasa perasaan ini amat ajaib, membuat hatinya terlena.
Dia teringat beberapa tahun yang lalu, ketika dia menyerahkan sesuatu yang paling berharga dari diri seorang gadis kepada seorang pemuda yang dicintainya. Dia juga mempunyai perasaan seperti sekarang ini… kemudian, perasaan seperti ini tidak dirasakannya lagi… bagai sesuatu terombang-ambing di tengah lautan dan sulit ditemukan lagi. Ingin sekali rasanya dia mencari kem-bali perasaan yang hilang itu. Walaupun hanya sedikit kenangannya saja. Oleh karena itu, diapun memaksakan kehendaknya kepada setiap laki-laki yang ditemuinya, dia berharap laki-laki itu dapat mengajaknya naik ke puncak gunung yang tinggi dan beterbangan di awan biru…
Tapi, dia selalu gagal. Setiap kali gelombang birahi sudah berlalu, dia merasakan kehampaan yang membingungkan. Hatinya menjadi kosong melompong. Padahal dia sadar, apabila dia mengulangi perbuatan itu, yang didapatinya hanyalah penyaluran sesaat, kesenangan sekejap. Dia tidak mungkin memperoleh ketenagan bathin. Tetapi setiap gairah dalam hatinya bergejolak, kembali bara api di dalam dadanya berkobar- kobar. Hal ini membuat dia tidak sanggup mempertahankan diri.
Sekarang, dia bergelayutan di pelukan Tan Ki. Kembali dia mengendus bau nafas yang istimewa pada diri seorang laki-laki. Wajahnya menjadi merah padam. Dia merasa hatinya berdebar-debar.
Seluruh tubuhnya terkulai lemas seperti tidak mempunyai tenaga sedikitpun. Dia tidak tahu mengapa, tapi dapat merasakan bahwa hal ini merupakan peristiwa yang aneh.
Karena setiap kali dia berhubungan dengan seorang laki-laki, dia belum pernah mempunyai perasaan yang seaneh ini.
Tepat pada saat hatinya sedang gundah, tiba-tiba segulungan angin yang dingin menghembusi wajahnya. Tanpa sadar tubuhnya menggigil.
“Adik, aku merasa kedinginan.” katanya dengan suara lirih.
Sepasang mata Tan Ki sedang terpaku ke atap genting. Dia malah tidak berkedip sekalipun. Tetapi setelah mendengar ucapannya, dia segera mengulurkan lengannya dan memeluk pinggang perempuan itu.
Sebetulnya, seluruh perhatian Tan Ki sedang terpusat pada pertarungan yang terjadi antara Cian Cong dengan Ciu Cang Po. Dia mengulurkan lengannya memeluk pinggang Liang Fu Yong hanya bertujuan agar perempuan itu mendapat sedikit kehangatan. Dia tidak mempunyai maksud lain sedikitpun. Hanya semacam gerakan refleks pada saat tertentu.
Liang Fu Yong tertawa lebar. Tawanya mengandung kegenitan dan kejalangan yang dinyatakan secara menyolok. Dia merasa lengan Tan Ki begitu kekar, juga mengandung tenaga yang kuat seakan sanggup meremukkan setiap Bagian dari tubuhnya.
Tentu saja apa yang dipikirkan dalam hatinya, orang lain tidak mungkin bisa tahu.
Sementara itu, pertarungan di atas atap genting telah mencapai puncak ketegangannya. Suasana terasa semakin mencekam.
Tampak gerakan Cian Cong dan Ciu Cang Po berdua berubah menjadi lambat sekali.
Setiap kali tangan diangkat dan kaki menginjak seakan membawa beban ribuan kati sehingga sulit digerakkan.
Tapi tenaga yang terkandung dalam setiap pukulan ataupun kibasan tongkat, tampaknya mengandung kekuatan dahsyat yang tidak berwujud sehingga atap genting Cui Sian Lau itu pecah berhamburan.
Untung sebelumnya Bu Ti Sin-kiam Liu Seng sudah menyuruh orang berjaga di dalam Cui Sian Lau. Maksudnya pertama untuk melindungi setiap tamu yang berkunjung ke penginapan itu, sekaligus menyatakan bersedia mengganti kerugian apabila terjadi kerusakan. Kalau tidak diberitahukan terlebih dahulu, kemungkinan para pelayan maupun tamu-tamu yang datang akan terkencing-kencing ketakutan mengetahui adanya pertarungan di atap genting rumah makan sekaligus dengan datangnya berbagai tokoh yang ingin menyaksikan keramaian.
Terdengar suara bentakan nyaring dari mulut Ciu Cang Po. Seluruh rambutnya yang telah memutih seakan berjingkrakan ke atas. Sepasang matanya menyorotkan sinar api yang berkobar-kobar. Tampangnya garang menyiutkan nyali orang yang memandangnya.
Meskipun marah, tapi penampilan si pengemis sakti Cian Cong lebih tenang. Justru setelah pihak lawan meraung nyaring, dengan dahsyat dia melancarkan sebuah pukulan untuk menyambut datangnya serangan tongkat Ciu Cang Po yang keji.
Dua gulungan tenaga yang kuat langsung beradu. Timbul suara yang menggelegar seperti genderang yang ditabuh dengan keras. Kemudian terlihat dua sosok bayangan mereka berpencar. Kedudukan tetap seimbang.
Tiba-tiba… setelah berhenti sejenak, keduanya mengeluarkan suara teriakan dan saling menerjang lawannya. Kejadiannya hanya sekejap mata!
Dalam waktu yang singkat itu, kedua orang tersebut kembali beradu pukulan!
Mendadak sesosok bayangan melesat ke atas dan menerjang ke depan. Dia adalah pangcu Ti Ciang Pang, Lok Hong. Gerakan orang ini cepat tidak terkira. Ketika dia melesat ke atas genting, matanya langsung mengedar. Tanpa terasa dia jadi termangu-mangu.
Tampak si pengemis sakti Cian Cong sedang memegang dada dengan tangan kirinya. Tubuhnya tetap berdiri tegak. Mimik wajahnya menyiratkan bahwa dia sedang menahan rasa sakit. Sedangkan Ciu Cang Po terbaring di atas genting tanpa bergerak sedikitpun. Matanya terpejam rapat-rapat. Kalau tidak sampai mati, paling tidak menderita luka yang sangat parah.
Perlahan-lahan Lok Hong menarik nafas panjang. “Cian heng, bagaimana keadaanmu?” tanyanya.
Si pengemis tua Cian Cong masih dapat tertawa terbahak-bahak.
“Si pengemis tua termakan tendangan nenek pengemis itu satu kali. Tapi dadanya juga terkena serangan pukulan si pengemis tua. Kedua-duanya tidak ada yang rugi…” tiba-tiba mulutnya terbuka dan ‘Hoakkk!’ diapun memuntahkan darah segar. Tubuhnya semponyongan beberapa saat kemudian terkulai jatuh.
Lok Hong terkejut sekali. Dengan panik dia mengulurkan tangan dan segera memapah orangtua itu. Tampak Cian Cong menghembus nafas panjang-panjang. Bibirnya masih juga tersenyum.
“Ilmu silat si nenek pengemis ini benar-benar membuat si pengemis tua kagum kepadanya. Tetapi watak orang ini benar-benar terlalu picik, tidak dapat diajak bersahabat…”
Mendadak rasa sakit di dadanya terkena tendangan Ciu Cang Po semakin sakit. Cepat- cepat dia menutup mulutnya dan tidak berani berbicara lagi. Saking sakitnya, keringat dingin telah membasahi kening orangtua tersebut.
Lok Hong tersenyum simpul.
“Membiarkan orang seperti dia hidup di dunia sama sekali tidak ada manfaatnya. Biar hengte yang membereskannya saja…”
Dalam pandangan tokoh-tokoh Bulim, Cian Cong dianggap sebagai salah satu dari dua tokoh sakti yang masih hidup di dunia ini. Hal ini bukan kebetulan, tetapi selain ilmu silatnya yang tinggi, hatinya juga welas asih dan adil dalam memutuskan sesuatu.
Mendengar kata-kata Lok Hong, dia jadi panik sekali. Orangtua itu segera mencegah.
“Tidak boleh, ilmu silat yang dimiliki orang ini, mungkin telah menghabiskan separuh usianya, baru ia mencapai tingkat setinggi ini. Kalau kau membunuhnya begitu saja, benar-benar patut disayangkan. Apalagi, aku dengar tindak-tanduk orang ini sebetulnya tidak terlalu…”
Tiba-tiba terdengar sebuah suara yang dingin menukas…
“Perbuatannya tidak terlalu apa? Cian Cong, kau anggap perbuatanmu seumur hidup selalu benar dan tidak pernah ada terkandung niat busuk sedikitpun?”
Mendengar ucapan itu, Cian Cong benar-benar merasa di luar dugaan. Untuk sesaat dia jadi termangu-mangu. Begitu mata memandang, dia melihat seseorang sedang melangkah dengan santai di atap genting, ilmu ginkang yang dimilikinya, mungkin malah lebih tinggi daripada dirinya sendiri. Hatinya langsung tercekat.
Setelah di perhatikan baik-baik, dia melihat orang ini mengenakan jubah hijau dengan rambut disanggul ke atas. Tangannya memegang sebatang kipas yang terbuat dari sejenis tulang yang keras. Tampangnya biasa-biasa saja. Namun penampilannya seperti playboy kawakan. Tetapi membuat orang yang menatapnya menjadi sebal.
Sepasang alis Cian Cong langsung terjungkit ke atas.
‘Entah di mana aku pernah berjumpa dengan orang ini… benar-benar kurang ajar, justru pada saat diperlukan aku selalu tidak bisa mengingatnya….’ katanya dalam hati.
Tampaknya Lok Hong sudah dapat melihat bahwa orang yang baru muncul ini mempunyai ilmu silat yang tinggi sekali. Dia segera merangkapkan sepasang tangannya menjura.
“Entah siapa nama Saudara yang mulia. Harap maafkan kalau pandangan hengte sudah kurang jelas.” katanya.
Meskipun Lok Hong adalah seorang pang-cu, tetapi seumur hidup dia sibuk berlatih ilmu silat dan mengurusi tetek bengek di perkumpulannya. Oleh karena itu dia jarang berkelana di dunia Kangouw. Kecuali dua tiga orang sahabat lamanya, tokoh yang lain dia hanya pernah mendengar namanya saja dan belum pernah bertemu muka. Apalagi kalau orang berjubah hijau ini sudah lama mengasingkan diri dan baru muncul kembali.
Tampak laki-laki berjubah hitam itu melirik Lok Hong sekilas dengan sinar matanya yang datar. Bibirnya tersenyum. Tatapannya beralih kepada Cian Cong.
“Pengemis tua, jurus seranganmu yang dinamakan “Hui Siu Jut Lim” (Lengan baju terbang memasuki hutan) tampaknya boleh juga!”
Tampaknya watak orang ini sulit dimengerti. Ketika berbicara dan tertawa, rasanya tidak terselip rasa permusuhan. Tetapi entah mengapa, Cian Cong yang mendengar suara tawanya, tanpa sadar jadi menggidik.
Mata manusia berjubah hijau itu beredar lagi. Kali ini berhenti pada diri Lok Hong.
Mulutnya kembali memperdengarkan suara tertawa yang nyaring. “Apakah saudara tetap ingin membunuh Ciu Cang Po?”
Nada bicaranya tajam sekali meskipun diucapkan dengan bibir tersenyum. Lok Hong yang mendengarnya menjadi tidak tenang. Wajahnya merah padam. Dia sampai tidak sanggup mengucapkan sepatah katapun. Sengaja dia membuang muka dan melihat ke tempat lain. Tampaknya dia tidak ingin bertemu pandang dengan orang ini.
Orang berjubah hijau itu tersenyum simpul.
“Nenek ini mempunyai hubungan yang erat denganku. Kalau kalian berdua tidak senang melihatnya, bagaimana kalau kubawa pergi saja?” tanpa menunggu jawaban, dia langsung membungkukkan tubuhnya memondong Ciu Cang Po.
Tindak tanduknya ini seperti menyatakan, “Biarpun kalian tidak setuju, aku tetap akan membawanya. Lihat apa yang dapat kalian lakukan terhadap diriku?”
Wajah Lok Hong langsung berubah hebat. Baru saja dia hendak meluapkan perasaan amarahnya, dia merasa ujung lengan bajunya telah dijawil oleh Cian Cong. Dia segera mengalihkan tatapannya. Dia melihat mimik wajah si pengemis tua itu mengandung kecurigaan yang berat. Sepasang alisnya terjungkit ke atas. Hatinya seakan sedang menghadapi masalah yang rumit, dan tidak dapat dipecahkannya.
Padahal dia tahu sikap Cian Cong biasanya sangat bebas. Bibirnya selalu tersenyum. Kalau tidak menghadapi masalah yang serius, tampangnya tidak pernah seperti itu. Lok Hong menjadi terpana. Tetapi dia melihat orangtua itu mengerutkan sepasang alisnya. Cian Cong sedang merenung tanpa mengucapkan sepatah katapun. Dia merasa tidak enak untuk mengajukan pertanyaan pada saat seperti itu. Akhirnya dia terpaksa menahan emosi dalam dadanya dan mendelik lebar kepada manusia berjubah hijau seperti menunjukkan bahwa hatinya merasa kurang senang.
Hal ini karena kedudukannya sebagai pangcu sebuah perkumpulan yang namanya telah menggetarkan dunia persilatan. Apabila dia sampai disudutkan oleh seorang tokoh tidak dikenal dan tidak berani mengambil tindakan apa-apa, tentu dirinya akan dicemooh orang.
Manusia berjubah hijau itu melihat kedua orang itu saling lirik beberapa kali. Tetapi mereka tidak memberikan jawaban. Setelah menunggu sekian lama, hatinya mulai kurang sabar. Oleh karena itu dia langsung memperdengarkan suara tawa yang dingin.
“Apakah kalian tidak ingin mengatakan apa-apa? Kalau begitu aku akan membawa orang ini. Selama gunung masih menghijau dan air masih mengalir, kelak kita pasti akan berjumpa kembali!” tubuhnya berkelebat dan orangnya sudah mendarat di atas tanah.
Gerakannya sungguh cepat dan indah.
Tanpa menolehkan kepala sekalipun, dia langsung melesat ke depan. Dalam waktu yang singkat, bayangannya pun sudah tidak terlihat lagi. Dari kejauhan, tiba-tiba berkumandang suara orang itu yang diucapkan dengan sungkan…
“Si pengemis tua harap menunggu dengan sabar. Tiga bulan kemudian, aku akan me- ngajarkan kepada nenek ini mengembalikan jurus serangan Hui Siu Jut Lim milikmu itu!”
Meskipun suara itu terpancar dari jauh dan di telinga Cian Cong maupun Lok Hong terdengar lirih sekali, namun kata-katanya sangat jelas. Pengalaman maupun pengetahuan kedua orang ini sangat luas. Begitu mendengar suaranya, mereka segera sadar bahwa pihak lawan menggunakan semacam ilmu tingkat tinggi dan mengumpulkan ucapannya menjadi gabungan yang kemudian dikirimkan dari jarak jauh. Tanpa terasa keduanya saling pandang sambil tertawa getir. Tidak sepatah katapun terucap dari bibir mereka.
Ilmu semacam ini kedua orang itu otomatis juga bisa. Tetapi kalau dibandingkan, ucapan yang terdengar tidak sejelas manusia berjubah hijau tersebut. Begitu manusia
berjubah hijau itu membawa pergi Ciu Cang Po, hawa pembunuhan yang tadi memenuhi tempat itu juga buyar seketika.
Tetapi… di dalam hati orang-orang yang ada di sekitar daerah itu, timbul sebuah pertanyaan.
Siapa dia? Siapa kiranya tokoh yang misterius itu? Siapa?
Tidak ada seorangpun yang dapat menjawabnya. Pertanyaan itu bagai teka teki terselubung dan harus dicari dulu pemecahannya.
Sekian lama Cian Cong dan Lok Hong termenung memikirkan pertanyaan yang sama. Kadang-kadang mereka saling lirik dengan harapan rekannya dapat memberi keterangan tentang masalah yang rumit ini.