BAB 49. IN KIAM DAN TIONG TENG TIBA DI THIAN-BAK- SAN
Saat In Kiam sedang tertawa, terdengar Tiong Teng berteriak. "Jarum Bu-eng Sin-ciam!" teriak ln Tiong Teng kaget.
Jin-gie Kiam-kek Tiong Teng orangnya teliti, setelah memeriksa luka Kiauw Cian ia menemukan jarum pada luka itu. ketika itu jarum itu masih tertanam di tubuh Kiauw Cian. maka ia cabut senjata rahasia itu. Dengan demikian ia yakin bahwa itu senjata rahasia jarum Bu-eng Sin-ciam
In Kiam kaget ia berpaling ke arah puteranya.
"Jadi Kiauw Cian terluka oleh jarum Bu-eng Sin-ciam?!" kata In Kiam. "Benar. Ayah!" kata Tiong Teng. Tiba-tiba In Kiam melompat ke hadapan Tong Gie.
"Anak tak tahu diri kau berani mengelabuhi aku si orang tua!" kata ln Kiam.
Tong Gie sedikit pun tak gentar, ia membusungkan dada dan maju.
"Apa yang kukatakan benar semuanya jika aku berbohong aku siap menerima dihukum!" kata Tong Gie.
"Tiang Keng putera sahabatku, aku kenal dia dan dia tak punya Bu-eng Sinciam. Terlalu berani jika kau mau membohongiku!" kata In Kiam.
"Kiauw Cian tertangkap oleh Tiang Keng. sedang luka yang diderita oleh Kiauw Cian. perbuatan seorang nona yang ada di sampingnya. Aku yang muda mana berani berbohong! Harap Loo-cian-pwee jangan menyalahkan aku!"
In Kiam diam. "Aneh!" kata In Kiam. '"ada seorang nona di samping Tiang Keng? Siapa dia? Apa she dan siapa namanya? Bagaimana rupanya?"
Begitu In Kiam secara beruntun bertanya pada Tong Gie. Tong Gie memberi hormat.
"Nona itu she Un." kata Tong Gie. karena ia sahabat To Siauw-hiap. aku tak berani memperhatikan wajahnya, tapi sekelebatan aku tahu nona itu cantik sekali dan kepandaiannya lihay sekali."
in Kiam berpikir ia heran bukan kepalang. "Coba kau ceritakan kejadiannya." kata ln Kiam.
Tong Gie tak menolak, ia mengisah kan semua yang ia ketahui, juga tentang kejahatan Kiauw Cian, yaitu sejak si Raja Copet datang ke Su-coan memsan senjata Bu-eng Sin- ciam. sampai mereka diajak ke Thian-bak-san, dan menjalankan perintah Kiauw Cian. Akhirnya, setelah mereka bertemu dengan Tiang Keng dan Nona Un. baru rahasia Kiauw Cian itu terbuka.
ln Kiam kaget wajahnya merah padam, ia damprat Kiauw Cian habis-habisan.
"Dasar manusia celaka!" kata In Kiam gusar bukan main. Tiong Teng pun keheranan.
"Mengapa adik Tiang Keng bersama-sama dengan Nona Un?" kata Tiong Teng perlahan. Aganya dia ragu-ragu '"Sekarang dia di Thian-bak-san. Benarkah dia dalam bahaya? Ayah. lebih baik kita "
"Benar, mari kita susul dia." kata In Kiam lalu mengawasi ke arah Kiauw Cian. "Jika aku tak ada urusan, akan kuhajar dulu dia!" Maka tanpa banyak bicara ia naik kereta akan ke Thian- bak-san. la tinggalkan rombongan Tong Gie.
Pada saat matahari sudah condong ke barat, kereta yang dinaikinya sampai di mulut gunung Thian-bak-san. Karena ingat pada Tiang Keng. mereka sesudah membayar ongkos kereta, mereka langsung naik ke atas gunung. Mereka tak menghiraukan ada bahaya atau tidak, mereka terus saja mendaki dengan cepat.
Mereka harus melalui jalan yang sukar luar biasa, dan tak berpikir di bagian gunung mana sebenarnya Tiang Keng berada.
Matahari pun mulai terbenam tapi cahaya layung yang kemerah-merahan masih menampakan diri. Di tempat itu sepi dan keadaan di sekitarnya sunyi senyap. Jangankan suara orang suara binatang buaspun tak terdengar saat itu.
Tiba-tiba dalam kesunyian itu. In Kiam dan Tiong Teng mendengar suara yang sangat perlahan. Mereka mencoba mencari tahu dari mana suara itu.
"Apa kau sudah lapar, betapa gilanya aku. makanan sudah sedia tetapi tak kuberikan padamu " kata suara itu halus. Itu
suara seorang perempuan.
Begitu suara itu berhenti, tiba-tiba muncul Un Kin yang cantik, pada tangan si nona menjinjing sebuah keranjang, la tersenyum manis, lalu membungkuk dan meletakkan keranjang itu di atas rumput yang hijau dan empuk, dan membuka tutup keranjang, ia mengeluarkan sehelai kain hijau yang dia beberkan di rumput. Ketika itu Un Kin melihat ada bayangan jangkung mengikutinya. Un Kin tak bangun juga tak menoleh.
"Makanan belum siap kau sudah datang!" kata si nona.
Saat itu bayangan itu mengangkat tangannya menyerang si nona. Anginnya terasa berkesiur keras. Un Kin kaget.
"Ah tak mungkin dia bukan Tiang Keng!" pikir Un Kin.
Buru-buru Un Kin bangun, tangannya ia gunakan untuk menangkis serangan itu. Ia membentak dengan nyaring.
"Siapa kau?" kata Un Kin.
Sepasang tangan beradu keras, tapi keduanya tetap berdiri tegar. Un Kin mengawasi orang yang menyerangnya itu.
Ternyata itu memang benar Tiang Keng.
"Hai siapa yang kau bilang menyebalkan?" kata Tiang Keng. Keduanya tertawa riang, demikian mereka bergurau.
"Kau mundur agak jauh. kalau tidak aku tak bisa menyiapkan makanan untukmu!" kata Un Kin.
Dia mendorong tubuh Tiang Keng.
"Baik, baik aku mundur." kata Tiang Keng sambil tertawa. "Nah, kalau begitu baru kau anak yang manis." kata Un
Kin.
Un Kin menoleh sambil tertawa manis. Tiang Keng mengawasi si nona ia perhatikan Un Kin yang sedang bekerja.
"Sudah siap belum?" tanya Tiang Keng selang sesaat. "Sudah, tapi tunggu sebentar lagi." kata Un Kin.
"Wah aku sudah lapar nih." kata Tiang Keng. "Aku tak bisa menunggu lebih lama lagi..."
Un Kin kembali tertawa.
"Kalau begitu lekas kemari." kata si nona aleman.
Tiang Keng menghampiri Un Kin yang sibuk menyiapkan makanan.
Tak lama mereka sudah duduk berdampingan lalu mulai makan. "Bagaimana, enak tidak" tanya si nona.
Tiang Keng mengangkat tangan lalu ia belai-belai rambut si nona dengan lembut, ia merasa sangat senang.
"Eh. katakan enak tidak?" desak si nona. Tiang Keng tertawa.
"Bagi lagi aku sepotong, sepotong kecil mana cukup." kata Tiang Keng.
"Dasar setan kelaparan." kata Un Kin sambil tertawa manis.
Ia mengambil sepotong daging ayam yang ia suapkan ke mulut Tiang Keng.
"Enaaak, sungguh enak!" kata Tiang Keng. "Cuma..." "Cuma apa?" tanya si nona.
"Aku kira kau besanan dengan garam, kalau tidak mana mungkin makanan ini asin!" kata Tiang Keng.
"Setan!" teriak Un Kin. lalu ia jejalkan kaki ayam ke mulut Tiang Keng.
"Aduh! Aduh!" kata Tiang Keng. "Kenapa?" tanya si nona kaget. "Asiiin!" teriak Tiang Keng menggoda.
Tiang Keng tertawa si nona pun ikut tertawa riang.
Kedua anak yatim itu tertawa dan begitu gembiranya mereka, tapi tiba-tiba keduanya diam. mereka saling mengawasi .
Tiba-tiba mereka mendengar suara binatang malam berbunyi mereka jadi kaget.
"Cuaca semakin gelap..." kata si nona.
Tiang Keng mengelah napas. Memang alam dengan cepat berubah menjadi gelap. "Ya. kau lihat rembulan sudah muncul!" kata Tiang Keng. Un Kin menunduk.
"Aku tak tahu Un Jie Giok sudah pergi atau belum " kata
Un Kin perlahan
"Mungkin belum " jawab Tiang Keng. "Karena sekarang
belum bisa dikatakan sudah malam."
Diam-diam Un Kin menangis dan Tiang Keng hanya bisa mengawasinya saja.
Keduanya diam dan lenyaplah kegembiraan yang baru saja mereka rasakan. Tadi mereka bergembira sejenak, namun kesulitan yang sedang mereka hadapi belum lenyap, bahkan barangkali bahaya sedang mengancam mereka.
Di suatu tempat mereka akan bertemu dengan musuh besanua. mampukah mereka mengalahkannya. Tiba-tiba Tiang Keng mengusap bahu si nona. hingga Un Kin menengadah.
"Tiang Keng. bisakah kau menjawab pertanyaanku?" kata si nona.
"Katakan apa?"
"Kenapa suatu pertemuan harus selalu ada perpisahan yang segera datangnya?" kata si nona.
Tiang Keng mengawasi wajah si nona dan dia berpikir keras.
Un Kin menyeka air matanya lalu berkata perlahan. "Jika besok di saat seperti ini kita bisa berkumpul kembali seperti ini. waktu itu akan kumasakkan daging ayam dan akan kukurangi kecapnya, supaya aku tidak dikatakan berbesan dengan garam "
Ia memaksakan untuk tertawa manis. Tiang Keng diam saja. "Ketika kau pura-pura menyerang ku. aku kira itu Pit Su." kata si nona.
Tiang Keng tetap membisu dan diam saja.
"Pit Su itu lucu. hingga aku tak bisa tidak tertawa." kata si nona.
Tiang Keng tak menyahut dia tetap diam saja. Un Kin mengawasi anak muda itu ia heran sekali.
"Kau tak senang bicara denganku" tanya si nona. “apa kau tak bisa menyingkirkan kesulitanmu?"
Akhirnya Un Kin menangis karena sedih.
0oo0