BAB 24. TIANG KENG DIAJARI KHO KOAN
Tubuh Tiang Keng gemetar dan telinganya seperti mendengar suara guntur.
"Ayah suka menolong orang, ia juga seorang Kun-cu (bijaksana) tetapi sayang ia celaka di tangan perempuan jahat di depan isterinya, yaitu Ibuku." pikir Tiang Keng.
Ingat nasib orang tuanya Tiang Keng jadi berduka. Dia tak mampu mencegah air matanya yang menetes keluar dan meleleh di kedua pipinya....
Kho Koan I-su mengawasi ke arah Tiang Keng, diam-diam ia juga ikut berduka. Saat ia lihat air mata Tiang Keng kini membasahi bajunya yang berwarna hitam, si imam kelihatan heran. Ia heran melihat bahan pakaian si anak muda. Ia terus mengawasi baju Tiang Keng, alisnya berkerut otaknya bekerja. Ia ingat sesuatu, lalu ia segera melanjutkan ceritanya.
"Karena kematian Nio Tong Hong maka Beng Jie Kong tak mau hidup lebih lama lagi. Sungguh memilukan, karena saat itu ia pun sedang hamil lima bulan. Karena itu ia tak ingin bunuh diri dengan mengorbankan bayi yang masih ada di dalam perutnya "
Suara si imam tua perlahan, tak lama terdengar ia menghela nafas. Tiang Keng sedang berduka dan dugaannya makin bertambah.
"Nak, kau masih muda," kata si imam. "Pengalamanmu masih kurang, dan kau lain dariku yang sudah tua. Beng Jie Kong ingin bunuh diri tetapi tak mampu. Kita bayangkan penderitaannya sungguh hebat. Ketika itu kalau tak salah musim dingin, tetapi di pegunungan Biauw-san tidak terlalu dingin, angin bertiup kencang. Jie Kong menelungkup di atas tubuh suaminya yang telah menjadi mayat, la menangis tersedu-sedu, suara tangisnya kadang-kadang terbawa angin. Un Jie Giok memisahkan suami isteri itu. Mayat Nio Tong Hong dikubur di kanan gunung Kong-lee-san sedang Beng Jie Kong dibawa ke sebuah rumah batu. Jie Giok tidak membunuh isteri Nio Tong Hong karena ia ingin menyiksanya. Saat itu Beng Jie Kong menahan derita dan pasrah menerima kesengsaraan demi anaknya yang ada di dalam perutnya.. "
Cara berceritanya Kho Koan I-su didramatisir hingga cerita itu bertambah dramatis dan menyedihkan. Tiang Keng tak tahu jika cerita itu sebenarnya ada kaitannya dengan dirinya. Tak lama imam itu meneruskan kisahnya.
"Akhirnya lahirlah bayi perempuan dari kandungan Beng Jie Kong. Anak itu lalu diserahkan kepada wanita Biauw kenalan baiknya yang ia kenal beberapa bulan yang lalu di dalam kurungan. Setelah berpesan pada wanita Biauw itu, ia lalu pergi akan mencari Un Jie Giok untuk membalas dendam.
Sayang kepandaiannya tak memadai hingga ia harus binasa juga di tangan Un Jie Giok....
Tiba-tiba emosi Tiang Keng memuncak, ia menggebrak meja hingga mangkuk dan cangkir arak serta sumpit melonjak.
"Saudara muda, sabar," kata Kho Koan I-su sambil menghela napas. "Dalam hidup manusia memang lebih banyak dukanya daripada senangnya, oleh sebab itu saat hidup kita harus tahu diri. Pepatah mengatakan bahwa dari sepuluh bagian hidup ada delapan bagian yang tak menyenangkan
"Jika semua orang berpendapat begitu," kata Tiang Keng dengan sengit. "Bukankah si jahat bisa malang-melintang tanpa rintangan. Jika demikian di mana orang yang jujur menempatkan dirinya?"
"Anak muda kau gagah aku kagum sekali!" kata si imam sambil tertawa.
Setelah itu wajahnya biasa kembali dan ia menarik nafas panjang.
"Sekalipun demikian kemarahanku terhadap Un Jie Giok tak jauh berbeda dengan kemarahanmu. Setelah membunuh Jie Kong si wanita jahat Un Jie
Giok membakar mayat Beng Jie Kong. lalu abunya ia sebar di atas gunung Kong-lee-san. Abu itu sengaja ditebar maksudnya agar Beng Jie Kong tak dapat menyatu kembali dengan suaminya Nio Tong Hong. "
"Perempuan hantu itu kejam dan jahat, apakah ia juga membiarkan anak perempuan suami isteri itu tetap hidup?" tanya Tiang Keng. "Apa ia tak membasmi rumput sampai ke akar-akarnya?"
Ditanya demikian si imam tesenyum.
"Atas pertanyaanmu itu berarti kau terlalu memandang rendah pada Un Jie Giok," kata si imam.
Tiang Keng diam walau otaknya bekerja.
"Kalau begitu, perempuan Biauw yang dikatakan kenalan Beng Jie Kong itu masih orang Un Jie Giok. Apakah dia telah diatur oleh si perem-puan jahat sejak awal untuk menghabisi lawannya?" tanya Tiang Keng lagi.
Imam itu mengangguk mengiyakan sambil tertawa. "Aku bilang kau cerdas, sekarang memang terbukti," kata si imam. "Kiranya Un Jie Giok yang telah mengatur anak buahnya untuk terus mengawasi Beng Jie Kong. Sayang Jie Kong polos ia percaya saja pada orang yang berbuat baik padanya padahal kebaikannya palsu..."
Tiang Keng menghela nafas panjang.
"Jika demikian, bukankah anak itu jadi terancam jiwanya?" tanya Tiang Keng.
Imam itu tertawa.
"Kali ini kau salah terka!" kata si imam.
Tiang Keng keheranan mendengar jawaban itu. la awasi si imam.
"Ah barangkali anak itu tertolong oleh orang budiman sepertiku?" pikir Tiang Keng.
"Bukan saja Un Jie Giok tak membunuh anak itu malah ia sangat menyayanginya," kata si imam.
Mendengar keterangan itu Tiang Keng keheranan.
"Apa wajah anak itu mirip Nio Tong Hong hingga Un Jie Giok memindahkan cintanya pada anak itu?" kata Tiang Keng.
Imam itu bertepuk tangan.
"Tepat sekali, anak muda! Kau memang seorang yang cerdas, aku takluk padamu!" ia diam sejenak, lalu melanjutkan lagi. "Un Jie Giok membenci setiap orang, tetapi pada anak itu ia sangat sayang, tak heran ia menurunkan seluruh kepandaiannnya pada anak itu!"
Alis Tiang Keng berdiri.Ia juga tiba-tiba bangun. "Bukankah anak itu murid Un Jie Giok yang bernama Un
Kin?" tanya Tiang Keng. Imam itu mengangguk perlahan, matanya menatap ke arah Tiang Keng. Ia lihat Tiang Keng keheranan dan girang. Karena masalah rumit yang sulit ia pecahkan tak ia duga sekarang terbuka sendiri. Imam itu tertawa.
"Anak muda kau cerdas sekali," puji si imam. Ia menghela napas panjang kemudian menambahkan. "Benar anak yatim- piatu itu Un Kin yang kau sebutkan tadi. Sekarang Un Jie Giok telah menyerahkannya kepadamu."
Tiang Keng mengawasi imam itu dengan tajam.
"Kalau begitu Loo-tiang sudah lama berada di dalam rimba dan mendengarkan pembicaraanku dengan Un Jie Giok?" kata Tiang Keng.
Imam itu tertawa terbahak-bahak.
"Aku tak membohongimu anak muda," kata si imam. "Hidupku tak menentu, ke mana aku sampai itulah rumahku! Tadi aku terlalu letih, maka aku beristirahat di rimba. Aku pilih pohon besar dan lebat. Tak kusangka aku malah mendengar pembicaraan kalian, aku minta maaf."
Seperti orang kehabisan tenaga Tiang Keng menjatuhkan diri duduk ke kursinya. Sedang matanya terus menatap ke arah imam tua itu. Pikiran Tiang Keng kacau sekali. Di dadanya tercampur aduk berbagai perasaan, yaitu perasaan gusar, heran dan ragu-ragu. Malah ia duga si imam telah sengaja mengatur cerita agar bisa menceritakan kepadanya.
"Kisah Un Jie Giok dan Nio Beng Siang Hiap semakin misterius, mengapa Kho Koan I-su mengetahuinya dengan jelas? Padahal ia bilang ia seorang pengembara, jika benar seharusnya ia tak tahu tentang kisah Un Jie Giok itu!" pikir Tiang Keng.
Otak Tiang Keng bekerja keras untuk membuka tabir rahasia siapa imam tua ini sebenarnya.
"Siapa dia, mengapa ia baik padaku?" pikir Tiang Keng. Tapi karena anak muda ini tak bisa menjawab pertanyaannya, ia tatap terus si imam tua itu.
Si imam mengusap-usap kumis dan jenggotnya yang berwarna hitam dan panjang itu. Semula ia banyak tersenyum, tetapi sekarang senyumnya telah lenyap dan wajahnya tampak agung. Tiang Keng jadi semakin heran dan menganggap imam ini luar biasa. Sedang pada wajahnya tak kelihatan ia ini orang licik.
Imam itu menatap ke arah Tiang Keng.
'Masalah ini bukan saja misteri namun ada sangkut-pautnya dengan dunia Kang-ouw," kata si imam bersungguh-sungguh. "Tak banyak orang yang tahu tentang rahasia Un Jie Giok, bahkan suku Biauw yang bekerja sama dengannya pun sudah dibunuh semua, ini untuk menutup rahasianya. Pergaulan Nio Beng Siang Hiap sangat luas. sekalipun Un Jie Giok gagah sekali, ia tak berani buka rahasia sendiri. Rupanya Un Jie Giok khawatir kelak ada yang balas dendam. Hilangnya sepasang jago itu mengherankan, namun lama-lama masalah itu pun sudah dilupakan orang. Un Jie Giok tetap merahasiakan masalah itu sampai Un Kin dewasa karena ia takut kalau Un Kin mengetahui rahasianya. Bahkan ia sadar pasti Nio Beng Siang Hiap pun tak rela anaknya disandera oleh si jahat ini "
Imam itu menghela nafas, ia sangat berduka. Tiang Keng masih mengawasi ke arah si imam.
"Loo-tiang, bagaimana kau bisa mengetahui rahasia ini?" tanya Tiang Keng penasaran.
Itu pertanyaan dan keraguan yang baru ia sampaikan sekarang.
"'Satu saat aku pergi ke Biauw-kiang untuk mencari bahan obat." kata si imam. "Suatu hari aku bertemu dengan seorang Biauw yang hampir mati. Kiranya dia anak buah Un Jie Giok yang lolos dari pembunuhan dan tahu banyak mengenai rahasia Un Jie Giok. Seebelum meninggal dia minta agar aku membalaskan sakit hatinya "
Sesudah itu si imam menghela nafas.
"Mana bisa aku membalaskan dendam orang Biauw itu, aku sadar kepandaianku tidak cukup untuk mengalahkan Un Jie Giok. Selain itu aku juga tak berani membuka rahasia ini pada sembarang orang, hingga rahasia ini tetap terpendam bertahun-tahun lamanya. Sebenarnya aku pun ingin sekali melupakan masalah yang mengganjal di hatiku ini. Tetaoi sekarang setelah aku bertemu dengan kau, semua aku ceritakan padamu. Nak. kau tahu apa sebabnya aku berterus terang kepadamu?" kata si imam.
"Justru soal itu yang sangat ingin kuketahui darimu," kata Tiang Keng.
Imam itu mengawasi Tiang Keng.
"Anak muda kau masih muda dan gagah, kau juga cerdas hingga aku kagum padamu," kata si imam. "Padahal aku sudah belasan tahun merantau, baru kali ini aku bertemu pemuda sepertimu. Sebagai contoh, bisa kau bayangkan sekalipun Un Jie Giok itu musuhmu, tetapi dia malah menitipkan muridnya itu kepadamu. Hingga sekalipun Un Jie Giok jahat, dia masih menghargaimu!"
Tiang Keng menggoyangkan tangannya, ia akan mengucapkan terima kasih pada si imam, tetapi si imam malah meneruskan kata-katanya. "Kita berdua bertemu secara kebetulan. Jika sekarang aku bercerita tentang semua rahasia Un Jie Giok padamu, semua itu hanya karena aku ingin minta bantuanmu untuk membereskan masalah yang ruwet ini, agar sakit hati Nio Beng Siang Hiap tidak terpendam untuk selamanya. Paling tidak anak mereka bisa diselamatkan. Tak selayaknya anak itu berada dalam kegelapan seperti sekarang ini. Dan tak pantas untuk selamanya tetap berada di samping perempuan jahat itu. Aku sudah tua dan tak berdaya, tapi jika kau butuh bantuanku, aku bersedia bekerja sama denganmu!"
"Tentang masalah ini," kata Tiang Keng. "Jangankan ada hubungannya denganku, sekalipun tidak, pasti aku ikut campur, tetapi..." Tiang Keng menghela nafas dan menunduk. Lalu ia meneruskan. "Sayang Un Jie Giok terlalu tangguh, aku bukan tandingannya Lalu bagaimana aku bisa membantu
Loo-tiang, sedangkan sakit hatiku pun belum terbalas?" Mendengar jawaban Tiang Keng imam itu tertawa.
"Aku tahu kau kalah olehnya. Anak muda." kata si imam. "Tetapi kau tak kalah banyak hanya selisih sedikit, asal kau memakai kecerdasanmu, aku yakin kau mampu menyingkirkannya "
Alis Tiang Keng berkerut. Tak lama ia berkata dengan bersemangat.
"Ah apa Loo-tiang berharap agar aku membuka rahasia pada Un Kin dan ia bentrok dengan Un Jie Giok kemudian "
Imam itu bertepuk tangan dan tertawa riang.
"Kau cerdas dan pandai. Anak muda," puji si imam. "Ternyata kau bisa menebak pikiranku. Aku yakin jika Un Kin sudah mengetahui bahwa gurunya yang mencintainya seperti ibu kandungnya itu adalah musuh besarnya, mustahil dia diam saja! Guru seperti ayah dan ibu, namun orang tua lebih tinggi nilainya. Aku juga tahu Un Jie Giok sangat sayang pada Un Kin, maka dalam pertarungan sekalipun Un Kin kalah, Un Jie Giok tak akan tega membinasakan murid yang ia sayangi bagai anak itu! Bahkan bukan tak mungkin malah karena ia sayang dan menyesali dosa karena telah membunuh orang tua muridnya, Un Jie Giok malah membiarkan Un Kin membunuhnya "
Mata Tiang Keng bersinar, ia anggap pendapat imam ini benar. Ia juga melihat mata imam itu bersinar tanda gembira. Tapi Tiang Keng pun heran, apakah imam ini bermusuhan dengan Un Jie Giok hingga ia sangat membenci dan bernapsu ingin membunuhnya.
"Loo-tiang," kata Tiang Keng. "Kau punya siasat demikian, mengapa kau tak bicara sendiri pada Un Kin?"
Imam itu mengangkat cawan araknya, ia menghirup arak itu. Dia tak heran bahkan tak marah ditanya demikian.
"Aku sudah berpikir ke arah sana. namun aku tak bisa melakukannya." kata si imam. "Jika aku yang menemuinya dan membuka rahasia itu, setelah dia tahu dia tak akan melupakan aku... Ah, aku ini sudah tua, keberanian di masa mudaku sudah lenyap, sekarang aku jadi takut mati....Sebenarnya aku malu untuk mengatakan soal ini "
Ia letakkan cangkir araknya di meja. Sebelum Tiang Keng bicara ia sudah menyambung kata-katanya, "Ketika aku lihat kau berduka, maka aku menduga kau sedang dibuat susah oleh dua masalah yang tak dapat kau pecahkan " Ia
tersenyum dan melanjutkan lagi, "Kesulitan pertama karena Un Jie Giok berharap kau menikah dengan Un Kin. Aku pun maklum waktu itu kau belum mengetahui rahasia yang kubeberkan padamu. Jika sudah tahu pasti kau tak bersedia menikah dengan murid musuhmu. Tetapi kau telah berjanji, mau tak mau kau harus mewujudkan janjimu itu dan kau harus menikah dengan nona itu. Oleh karena itu kau jadi pusing. Memang masalah ini tak boleh tersiar atau diberitahukan pada orang lain. Kau pun tak boleh minta bantuan orang lain. Tetapi sekarang masalahnya lain.
Sekarang kesulitan itu bukan kesulitan lagi. Benar Un Kin murid Un Jie Giok dan disayang, tetapi Un Kin bukan puterinya, bahkan dia musuh besarnya! Ini aneh tapi nyata!"
Tiang Keng menghela nafas. "Loo-tiang. kau cerdas!* kata Tiang Keng. "Kiranya kau lebih cerdas dariku."
Sesudah berkata begitu Tiang Keng berpikir. "Sungguh aneh imam ini. Saat aku menghela nafas, dia bisa menebak isi hatiku. Tetapi setelah tahu isi hatiku, malah ia bertanya padaku. Tampaknya ia sangat jujur terhadapku, tapi mungkin juga ia memikirkan sesuatu, apa itu?" pikir Tiang Keng bingung.
Ia lihat si imam mengurut-urut kumis dan janggutnya. "Aku bisa menerka masalah orang bukan karena aku
cerdas, tapi karena pengalamanku yang puluhan tahun." imam itu menjelaskan. "Sebaliknya, kau cerdas karena bakatmu. Jika kau kelak telah tua sepertiku, setelah pengalamanmu bertambah banyak, aku yakin kecerdasanmu akan melebihi siapapun."
"Terima kasih atas pujianmu. Loo-tiang," kata Tiang Keng. "Heran imam ini senantiasa memujiku," pikir Tiang Keng.
"Padahal usia maupun kepandaiannya melebihiku, mengapa
dia begitu baik terhadapku? Apa sebenarnya yang ada di otaknya?"
Sekalipun pengalamannya masih rendah namun ia merasa curiga pada imam yang bersikap baik kepadanya ini. Ia merasa yakin bahwa imam ini punya maksud tertentu atas dirinya.
Imam ini mengusap kumisnya saat ia lihat Tiang Keng mengawasinya, ia pun tersenyum.
"Apa kau sedang memikirkan masalah yang kedua?" kata si imam. "Aku hanya menerka asal-asalan saja. jika terkaanku keliru, maka..”
Tiang Keng tersenyum.
"Apa Loo-tiang juga bisa memecahkan masalah yang kedua?" kata Tiang Keng
Kho Koan I-su tertawa. "Kau cerdas dan bijaksana, Anak muda," katanya. "Mengenai masalah yang kedua, aku kira ini bukan urusan pribadimu, tapi aku yakin kau sedang memikirkan Dunia Persilatan "
Dia diam sejenak untuk menatap dengan tajam je arah Tiang Keng. Sesudah itu ia sambung lagi pembicaraannya. "Apa yang kukatakan bukan pujian belaka, tapi keluar dari hatiku. Mataku tak lamur. Mengenai dirimu aku tak salah lihat, maka aku yakin dugaanku ini pun tak salah!"
Ia tertawa. Kembali ia mengawasi ke arah Tiang Keng yang diam saja sambil menunggu si imam melanjutkan kata- katanya.
"Sudah 40 tahun lamanya Un Jie Giok berada di tengah suku Biauw," kata si imam. "Selama itu ia tak ikut campur dalam masalah dunia persilatan. Semua itu bukan karena dia sudah tak bersemangat atau tak ingin nama besar maupun harta! Bukan karena itu! Tetapi karena dia masih merasa jerih terhadap beberapa orang gagah, terutama kaum tuanya!
Hingga ia tak berani lancang berbuat jahat. Tapi akhir-akhir ini ia tahu. dari sekian banyak jago tua selain yang telah meninggal, kebanyakan sudah ada yang mengundurka diri dari dunia persilatan. Tak heran kalau sekarang ia jadi gatal tangannya, maka ia muncul lagi. Demikian juga pertandingan di atas Lui-tai yang akan diselenggarakan di Thian-bak-san itu. Sebenarnya pertandingan itu diadakan untuk kepentingan Un Kin. Di samping itu Un Jie Giok pun mengambil kesempatan akan menyapu semua jago, agar dia menjadi jago nomor satu. Aku yakin kau sudah bisa menduga sendiri dari ucapan Un Jie Giok. Oleh karena itu kau jadi berduka sekali "
"Jika benar demikian, apakah kau punya daya Loo-tiang?" kata Tiang Keng. "Barang kali kau bisa membantuku mnghilangkan keruwetan hatiku itu!"
Imam itu tersenyum di matanya tampak bersinar puas.
Setelah meneguk araknya ia tersenyum lagi. "Jadi tepat dugaanku itu!" kata si imam.
Ucapan Tiang Keng tadi membuktikan bahwa Tiang Keng mengakui ketepatan dugaan si imam Setelah meneguk lagi araknya si imam melanjutkan.
"Sebenarn>a masalah itu tidak mudah," kata si imam. "Memang pantas jika kau begitu berduka. Sedang umpan yang diumpankan di Thian-bak-san menarik hati para jago silat, hingga mereka rela berjalan jauh untuk ke sana. Mereka berdatangan secara bebondong-bondong. Keinginan mereka demikian keras untuk memiliki benda-benda itu. mana bisa kau cegah mereka itu! Mereka tak akan percaya padamu.
Malah mungkin mereka mencurigaimu. kaulah yang hendak menguasai semua benda berharga itu!"
Keterangan itu membuat alis Tiang Keng berkerut. "Benar!" kata Tiang Keng. "Mana mau mereka percaya
padaku! Mana mau mereka melepaskan kesempatan ini. Tapi
entah apa yang disiapkan Un Jie
Giok di Thian-bak-san? Sungguh kasihan jika banyak orang terjebak dan celaka tanpa mereka sadari
Mau tak mau anak muda yang masih hijau dan polos ini bicara seadanya Imam itu diam, ia seperti sedang berpikir keras. Saat mengangkat kepalanya dia tertawa.
"Ceritaku yang pertama telah menghilangkan kesulitanmu yang pertama, oleh karena itu sebaiknya kau gunakan cerita itu untuk melenyapkan kesulitanmu yang kedua..."
Tiang Keng melengak.
"Bagaimana caranya, Loo-tiang?" kata Tiang Keng. "Begini, kau harus pergi ke Thian-bak-san sebelum acara
dimulai, temui Un Kin untuk menceritakan rahasia itu padanya.
Kau ceritakan selengkapnya jangan ada yang terlewat. Sesudah itu....ha. ha...ha!" si imam tertawa. Kemudian ia meneruskan kata-katanya.
"Aku yakin, jika Un Kin percaya pada ceritamu tanpa sangsi sedikitpun, maka kau boleh membantu dia. Jika kau berdua mengepung Un Jie Giok, maka aku yakin Ang-i Nio-nio tak akan lolos sekalipun ia gagah luar biasa! Dulu Nio Beng Siang Hiap gagah dan bijaksana, orang pun kagum pada mereka.
Sekarang kau dan Nona Un bisa menggantikannya. Maka selanjutnya bukan saja kau telah membunuh musuh kalian bersama, kau pun bisa mendapat isteri yang cantik. Jika kalian berdua behasil melenyapkan si jahat maka kalian akan dipuji seperti orang tua Un Kin!"
Imam itu tertawa terbahak-bahak karena girangnya. "Dengan demikian," si imam melanjutkan. "Orang jahat
berhasil kalian singkirkan dan pertandingan di lui-tai bisa
dilanjutkan sesuai waktunya! Selain itu bencana yang akan menimpa kaum persilatan akan lenyap. Mari minum dan kuucapkan selamat!"
Imam itu kembali minum arak, tapi Tiang Keng diam saja.
Mata Tiang Keng mengawasi cawan araknya. Dia tak menyentuh cawan itu atau digunakan untuk bersulang...
0oo0