BAB 14. IN KIAM DAN TIONG TENG
Gim Soan sangat jumawa dan ia juga angkuh. Dia tak menyangka telah dipermainkan oleh si nona. Dia malu dan mendongkol tapi dia tak dapat berbuat suatu terhadap nona jahil itu. Ketika dia menoleh, dia lihat Tiang Keng sedang mengawasinya dan seperti menertawakannya. Tiba-tiba dia jadi mendongkol sekali pada pemuda itu. Ini dia anggap sebagai saat yang baik untuk mengalihkan kemendongkolannya itu.
"Kau menertawakan apa?" tegur Gim Soan pada si anak muda. Alis Tiang Keng berdiri. "Bicara sopan sedikit!" kata Tiang Keng dingin. "Siapa yang menertawakanmu?"
Gim Soan panas atas jawaban itu. Dia anggap sikap Tiang Keng tak menyenangkan hatinya. Dia melompat maju sebelah tangannya melayang.
Tiang Keng tak sudi ditampar tanpa sebab. Ia pun gusar. Maka ia tangkis ugal-ugalan tangan lawan yang lalu diputar untuk menggaet lengan lawan dan langsung ditarik. Di lain pihak, tangan kirinya diluncurkan dan jari tangannya tajam seperti pedang, ia serang iga Gim Soan galak itu. Ia menangkis sambil menyerang.
Gim Soan terperanjat. Dia tak menduga lawannya begitu lihay. Dalam sejenak, lenyap anggapannya yang keliru terhadap Tiang Keng. Dia berkelit sambil menarik kedua tangannya untuk segera dipakai menyerang. Dia menuruti hatinya yang panas.
Keduanya langsung bertempur sambil disaksikan oleh In Kiam. Dengan cepat tanpa terasa mereka telah bertarung belasan jurus.
Si nona tertawa geli. bersama Siauw Keng dan Siauw Leng, dia mengundurkan diri untuk menonton dari tempat jauh dengan asyik. Meskipun mereka tampak tersenyum berseri- seri. hati mereka berpikir.
Pertarungan di antara dua anak muda itu tampak sederhana dan biasa saja. Tapi sebenarnya mereka tengah mengeluarkan seluruh kepandaian mereka masing-masing. Keduanya sama-sama lihay, siapa yang berlaku alpa bisa celaka.
Si nona lihay melihat semua itu. Dia sempat melihat ke kiri dan kanan serta ke bawah tembok. Sambil tertawa dia berkata, "Tuan-tuan, kalian berdua boleh bermain-main di sini! Siauw Keng, Siauw Leng, mari kita pergi!"
Sesudah berkata begitu, dia melompat turun ke luar tembok.
Siauw Keng dan Siauw Leng memandang ke kaki tembok.
Mereka mengerutkan alis akan tetapi terpaksa mereka melompat turun untuk menyusul nona itu. Sambil melompat, Siauw Keng berseru, "Nona Kin, kau sambut kami!"
Tiang Keng melihat gerak-gerik si nona. "Tahan!" dia berseru sambil ia menyampok serangan lawannya. Gim Soan berkelit mundur. Tanpa menanti lagi, putera Ho Jian ini melompat ke bagian bawah kota.
Menyaksikan hal itu, Gim Soan jadi heran. Waktu ia mangawasi ke bawah, ia melihat empat (tiga di depan, seorang di belakang) orang berlari-lari kencang ke arah rimba. Keempatnya lari sangat cepat hingga dalam sekejap mereka sudah jauh.
In Kiam gelisah sendiri. Sebenarnya ia sedang memikirkan daya untuk naik ke atas membantu putera sahabatnya itu.
Tiong Teng mengerutkan alis, ia berdiri tertegun di samping ayahnya. Ia juga kelihatan bingung.
Para penonton lainnya sudah mulai buyar dan mereka yang datang secara rombongan berlalu sambil membicarakan tentang pertempuran yang luar biasa itu. Mereka semua tidak mengetahui duduk persoalannya.
Tak lama To-pie Sin-Kiam berkata, "Tiong Teng, mari kita pergi ke luar kota untuk melihat mereka!" katanya sambil terus ia bertindak ke arah pintu kota.
Tiong Teng mengikuti ayahnya pergi.
Pintu kota sudah dipentang, banyak orang kelihatan mulai hilir-mudik keluar masuk. Mereka heran melihat dua orang yang berjalan seperti lari itu. Keduanya jadi menarik perhatian umum.
Seorang tukang sayur sedang memikul sayuran, dia terlanggar oleh In Kiam hingga terhuyung-huyung dan hampir saja roboh terguling.
"Tua bangka gila!" damprat si tukang sayur. Dia tak mau mengerti kalau dia kurang cepat menepi hingga terlanggar.
Tiong Teng berlari di belakang ayahnya, ia mendengar dampratan itu, dia tepuk pundak tukang sayur itu seraya ia tegur, "Jaga mulutmu sedikit!" Tukang sayur itu kaget, lebih-lebih ketika ia menoleh dan melihat roman Jin-gie Kiam-kek. Terpaksa dia tutup mulut.
Tiong Teng merogoh sakunya dan mengeluarkan uang perak setengah tail. Kemudian dia lemparkan uang itu ke kaki si tukang sayur yang sayurnya terbalik. Lalu dia berlari terus menyusul ayahnya.
Ketika itu In Kiam sudah berdiri di atas sebuah batu yang letaknya agak tinggi untuk mengawasi ke sekitarnya. Sejak mereka menuju keluar kota, dia tidak melihat Tiang Keng atau ketiga nona itu. Yang tampak hanya orang lain.
Serdadu penjaga kota pun telah bertambah banyak, hal itu membuat rakyat tidak tenteram. Meski pun demikian para sedadu itu sengaja menyingkir ketika mereka melihat lewatnya In Kiam dan Tiong Teng.
Mungkin karena mereka melihat wajah si orang tua itu penuh kharisma. Mereka memang tahu tentang banyaknya orang Kang-ouw di lokasi itu. Hal ini membuat mereka tak berani sembarangan.
"Tiong Teng!" kata ayahnya. "Aku lihat, lebih baik kita kembali ke dalam kota. Tiang Keng entah pergi ke mana, tapi aku rasa dia tidak akan kurang suatu apa . . ."
Tiong Teng diam. Ia tidak menyangka ayahnya berpikir demikian. Ketika ia memandang muka ayahnya, dia lihat tegas kulit ayahnya sudah keriput, pertanda usianya sudah lanjut.
Sesaat itu ia merasa ayahnya mendadak jadi jauh terlalu tua
"Ya. Ayah, mari kita kembali," sahutnya perlahan. Ia berduka kalau ia ingat kemasgulan ayahnya itu.
In Kiam pun memandang sejenak ke arah anaknya. "Ya, Tiong Teng, mari!" ajak ayahnya.
Sambil meletakkan sebelah tangan di bahu anaknya, sang ayah berjalan kembali ke dalam kota. Ketika itu jatuh pada musim panas tetapi ayah dan anak ini tak merasakan kepanasan mereka sebaliknya merasa seperti di musim rontok. Itu disebabkan hati mereka yang tawar . .
"Tiong Teng," kata ayahnya di tengah jalan. "Benar seperti kata pepatah, gelombang di belakang mendorong ombak ke depan Aku lihat, kau pun sebaiknya mengundurkan diri
sejak sekarang. Dunia Kang-ouw sekarang bukan lagi seperti dunia Kang-ouw yang dulu lagi”
Sebelum suara jago tua itu berhenti dari belakang mereka terdengar suara berat, "Apakah yang di depan itu In Loo-ya- cu?"
Pertanyaan itu bercampuran dengan berisiknya derap kaki kuda yang terbawa oleh angin.
To-pie Sin-kiam ln Kiam menghentikan langkahnya dan menoleh.
Tiga ekor kuda terlihat sedang dilarikan ke arahnya. Saking cepatnya, ketiga penunggangnya melompat turun tanpa mempedulikan lagi kuda mereka. Tak lama mereka telah melompat dan maju ke depan In Kiam.
Ketika ln Kiam mengawasi dengan alis berkerut, orang itu sudah langsung menjatuhkan diri berlutut di depannya tak peduli tempat itu jalan besar atau jalan umum!
Jago dari Bu-ouw itu keheranan hingga ia mengawasi saja. Ia lihat pakaian orang-orang itu tampak kusut dan mukanya penuh debu. Sinar matanya menunjukan perasaan ketakutan, sepertinya mereka tengah menghadapi ancaman bencana besar.
"In Loo-ya-cu!" kata orang itu sambil mengangguk berulang-ulang. 'Loo-ya-cu tentu sudah tidak mengenaliku yang rendah! Aku sendiri masih ingat dengan baik sekali pada Loo-ya-cu yang pernah kulihat di pusat benteng air di Thay- ouw-cee " In Kiam baru ingat. "Oh, kiranya kau murid Hoo Sam-ya!" kata In Kiam agak heran. "Lekas bangun! Kalau mau bicara, kau bicaralah sambil berdiri. Apakah Hoo Sam-ya baik- baik saja? Ah, setelah berpisah dari Thay-ouw selang setahun, sudah sekian lama aku tidak melihat dia."
Orang itu tidak bangkit, dia tetap berlutut. Sekarang dia terlihat sangat bersusah hati. Dia menarik napas panjang.
"Mungkin Loo-ya-cu bakal tidak dapat bertemu lagi dengan Hoo Sam-ya .. . " kata orang itu sedih.
In Kiam terperanjat mendengar ucapan itu hingga ia membuka matanya lebar-lebar.
"Mengapa begitu?" tanya In Kiam dengan cepat. Orang itu menyeka peluhnya.
"Hoo Sam-ya berada di le-hang karena dia terkena tangan jahat..." sahutnya sedih dan tampak menyesal. "Lebih celaka lagi kami semua, tidak tahu siapa musuh Hoo Sam-ya itu ..."
Ketika itu Tiong Teng melihat ke sekitarnya. Banyak orang yang berlalu-lintas menunda langkah mereka atau berjalan perlahan-lahan. Semua mata diarahkan kepada tiga orang yang baru datang itu.
Rupanya orang-orang itu heran atau tertarik hati. Melihat demikian. Jin-gie Kiam-kek Tiong Teng menarik tangan orang yang berlutut itu.
"Mari bangun!" kata Tiong Teng. "Kau tetapkan hatimu.
Saudara! Kita bicara di dalam kota saja."
Orang itu meletakkan tangannya ke tanah, dia mendekam tak mau bangun.
"In Loo-ya-cu," kata orang itu, "Kaulah sahabat akrab dari Hoo Sam-ya, Cong-co-cu kami. Karena itu segalanya terserah kepada Loo-ya-cu!"
In Kiam membanting kakinya, ia menarik napas panjang. Tiong Teng mencekal tangan orang itu, kemudian ia ajak bangun.
"Mari!" ia mengajak, ia tarik tangan orang itu untuk dituntun masuk ke dalam kota terus ke penginapan. In Kiam berjalan di muka.
Setiba di dalam hotel, orang Hoo Sam-ya dapat menenteramkan hatinya dan bisa menutur dengan rapi. Dengan demikian In Kiam dan puteranya jadi mengetahui tentang pembunuhan yang aneh dan dilakukan secara gelap itu bukan hanya terjadi di kota Lim-an tetapi di tempat-tempat yang berdekatan dengan sekitar Thian-bak-san.
Semua kejadian mirip dengan yang dialami oleh Ang Kin Hwee dan Koay Too Hwee. Anehnya si pembunuh tidak diketahui siapa. ,
In Kiam si jago tua melengak. Ia bingung tak tahu harus bagaimana. Meski pun ia berminat membantu akan tetapi ia tidak berdaya. Bagaimana ia harus bertindak? Taruh kata ia sanggup membantu toh tak tahu siapa si pembunuh itu. .
Akhirnya jago tua ini mengharap kembalinya Tiang Keng. la berharap anak muda itu segera pulang dengan suatu berita yang ada sangkut pautnya dengan berbagai peristiwa hebat dan menyedihkan itu.
Sejak pagi sampai sore, bahkan sampai malam, tetap saja Tiang Keng belum kembali juga. Karena itu. dari mengharap- harap, jago tua itu jadi bimbang, kalau-kalau putera sahabatnya itu menghadapi suatu bahaya ...
In Kiam merasa peristiwa itu sangat mencurigakan. Ia jadi ingat pesta ulang tahunnya yang dikunjungi Kiauw Cian si Raja Copet dengan tiga gulung gambar lukisan yang luar biasa itu. Ketiga gambar itu mungkin saja yang menjadi titik permulaan dari rentetan kejadian-kejadian dahsyat itu. Sejak saat itu, si Copet ulung belum muncul lagi. "Apakah ketiga gambar itu menjadi umpan Un Jie Giok si Wanita Jelek?" demikian jago tua itu berpikir. "Apakah dia bukan dengan sengaja mau membuat semua orang gagah berkumpul di Thian-bak-san supaya di sana mereka dapat ditumpas habis?"
Menduga demikian, tanpa terasa si jago tua yang berpengalaman ini jadi miris hatinya....
Dalam kebingungnya, In Kiam menarik napas panjang. Ia mengawasi keluar jendela di sana mulai tampak sinar rembulan.
"Barangkali kita masih harus menyaksikan pertumpahan darah yang lain " kata In Kiam masgul.
Kemudian jago tua ini kembali memikirkan Tiang Keng, karena itu ia jadi ingat pada ketiga nona itu. Ia tanya dirinya, apa semua peristiwa itu bukan disebabkan ketiga nona tersebut? Kalau benar, mengapa itu sampai dilakukannya?
Mengapa pihak Koay Too Hwee disuruh pergi? Juga apa hubungan antara Un Jie Giok dan ketiga nona ini?
Mengenai hubungan di antara Un Jie Giok dan si nona serta dua orang budaknya, pikiran In Kiam sama dengan pemikiran Tiang Keng. Itu sebab yang membuat anak muda itu pergi menyusul nona-nona itu.
0oo0